Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Preeklamsia adalah penyakit dengan gejala klinis berupa hipertensi dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan akibat vasospasme dan aktivasi endotel
saat usia kehamilan diatas 20 minggu (Denantika dkk., 2014). Sedangkan menurut
Cunningham dkk., (2013), preeklamsia paling tepat digambarkan sebagai sindrom
khusus kehamilan yang dapat mengenai setiap sistem organ, yaitu keadaan
hipertensi yang disertai dengan proteinuria, edema atau keduanya, terjadi akibat
kehamilan setelah 20 minggu kehamilan yang sebelumnya normal. Meskipun
preeklamsia lebih dari sekedar hipertensi gestasional sederhana ditambah
proteinuria, timbulnya proteinuria tetap merupakan kriteria diagnostik objektif
yang penting untuk diagnosis preeklamsia.
Preeklamsia tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya preeklamsia dan eklamsia (multiple
causation). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya preeklamsia, diantaranya
seperti nullipara, status gravida, genetik, kehamilan ganda, usia kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun, riwayat hipertensi, penyakit ginjal, diabetes melitus
yang sudah ada sebelum kehamilan dan obesitas (Rahmadani dkk., 2013).
Menurut Bothamley dan Maureen (2012) yang disitasi oleh Sutrimah (2014),
preeklamsia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu status gravida atau lebih dari
10 tahun sejak kelahiran terakhir, kehamilan pertama dengan pasangan baru,
riwayat preeklamsia sebelumnya, usia ibu, kehamilan kembar, kondisi medis
tertenu, adanya proteinuria, umur lebih dari 40 tahun, dan obesitas.
Ibu yang mengalami preeklamsia, 26% anak perempuannya mengalami
preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklamsia
(Prawirohardjo, 2009). Preeklamsia sepuluh kali lebih sering terjadi pada
primigravida. Kehamilan ganda memiliki risiko dua kali lipat, perempuan obesitas
dengan indeks massa tubuh lebih dari 29 meningkatkan risiko empat kali lipat
terjadi preeklamsia dan ibu yang memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya akan

1
meningkatkan 20% risiko mengalami kekambuhan (Chapman, 2006 sit. Sutrimah
dkk., 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Windaryani dkk., (2012), menyatakan bahwa
status gravida merupakan salah satu faktor risiko terjadinya preeklamsia, dimana
pada penelitiannya, proporsi ibu primigavida yang mengalami preeklamsia
sebesar 57,14% dan 42,86% ibu multigravida yang mengalami preeklamsia. Hal
ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Djannah dan Arianti (2009),
dengan proporsi 69,5% ibu primigravida dan 30,5% ibu mulitigravida yang
menderita preeklamsia, mengatakan bahwa ibu dengan status gravida memiliki
risko lebih besar untuk menderita preeklamsia.
Desi Yogi (2013), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang cukup
signifikan antara usia ibu dengan preeklamsia, dimana dalam penelitiannya,
proporsi ibu yang memiliki usia berisiko tinggi (<20 tahun atau >35 tahun)
sebesar 63% dan 37% usia ibu yang memiliki risiko rendah (20-35 tahun).
Penelitian tersebut serupa dengan peneltian yang dilakukan oleh Yanti Kusika
(2014), dimana dalam penelitiannya, ibu yang berusia <20 tahun atau >35 tahun
memiliki proporsi sebesar 34,7% dan proporsi ibu yang berusia antara 20-35
tahun sebesar 65,3%.
Di Indonesia, presentase kasus preeklamsia dan eklamsia pada tahun 2006
tidak terlalu tinggi, yaitu 4,91% dari keseluruhan kasus obstetri, namun
merupakan penyebab terbesar angka kematian ibu (AKI) pada tahun 2006 dengan
Case Fataliy Rate (CFR) 2,35% (Depkes, 2007). Di Jawa Barat tercatat angka
kematian ibu bersalin pada tahun 2002 adalah 373 per 100.000 kelahiran hidup,
salah satu penyebab kematian tersebut adalah preeklamsi-eklamsi yang
diperkirakan mencakup 75%-80% dari keseluruhan kematian maternal
(Ridlayanti, 2014). Tingginya angka kematian ibu yang diakibatkan oleh
preeklamsia di Indonesia membuat peneliti tertarik untuk meneliti ibu hamil
dengan preeklamsia yang dipengaruhi oleh status gravida dan usia ibu, hal ini
dikarenakan ibu dengan kehamilan primigravida memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami preeklamsia. Menurut teori yang dikemukanan oleh Cunningham
(2013), ibu hamil yang berusia <20 tahun atau >35 tahun juga memiliki risiko

2
lebih besar untuk mengalami preeklamsia dibandingkan dengan ibu hamil yang
berusia 20-35 tahun.
Berdasarkan survei yang sebelumnya telah dilakukan peneliti di Rumah
Sakit Evasari, Jakarta Pusat, dari seluruh kasus pasien dengan diagnosa
preeklamsia sepanjang tahun 2015, 31,03% diantaranya merupakan ibu dengan
primigravida dan 37,93% diantaranya merupakan ibu yang memiliki usia <20
tahun atau >35 tahun dengan risiko tinggi preeklamsia. Oleh karena latar belakang
tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan status
gravida dan usia ibu dengan preeklamsia di RSIA Evasari, Jakarta Pusat.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas, maka akan timbul pertanyaan yang hendak
dijawab dengan penelitian ini, yaitu :
a. Apakah ada hubungan antara status gravida dengan preeklamsia di RSIA
Evasari, Jakarta Pusat?
b. Apakah ada hubungan antara usia ibu dengan preeklmasia di RSIA
Evasari, Jakarta Pusat?

I.3 Tujuan Penelitian


a. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara status gravida dan usia ibu dengan
preeklamsia di RSIA Evasari, Jakarta Pusat.
b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui dan menganalisa hubungan status gravida dengan
preeklamsia di RSIA Evasari, Jakarta Pusat.
2) Mengetahui dan menganalisa hubungan usia ibu dengan preeklamsia
di RSIA Evasari, Jakarta Pusat.

I.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat Teoritis

3
Data dan analisis penelitian diharapkan dapat memberikan ilmu
kesehatan kedoteran di Indonesia dalam hal preeklamsia.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Peneliti
Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian khususnya untuk mengetahui hubungan status gravida dan
umur ibu dengan preeklmasia.
2) Bagi Subjek Penelitian
Dengan diketahuinya hubungan status gravida dan umur ibu
dengan preeklamsia pada ibu hamil, maka dapat dilakukan upaya
pencegahan preeklamsia agar dapat mencegah komplikasi eklamsia
serta menurunkan angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh
preeklamsia-eklamsia.
3) Bagi Tempat Penelitian
Memberikan masukan dan menambah informasi mengenai
preeklamsia pada ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di
Rumah Sakit Evasari sehingga dapat mencegah komplikasi eklamsia
serta meningkatkan kesadaran ibu untuk menurunkan faktor risiko
preeklamsia.

4
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 Preeklamsia
Preeklamsia adalah penyakit dengan gejala klinis berupa hipertensi dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan akibat vasospasme dan aktivasi endotel
saat usia kehamilan diatas 20 minggu (Denantika dkk., 2014). Cunningham dkk.,
(2013) mengatakan bahwa preeklamsia paling tepat digambarkan sebagai sindrom
khusus kehamilan yang dapat mengenai setiap sistem organ, yaitu keadaan
hipertensi yang disertai dengan proteinuria, edema atau keduanya, terjadi akibat
kehamilan setelah 20 minggu kehamilan yang sebelumnya normal. Sedangkan
menurut Mochtar (2013), preeklamsia merupakan kumpulan gejala yang timbul
pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias; hipertensi,
proteinuria, dan edema; yang kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma. Ibu
dengan preeklamsia, tidak menunjukan tanda-tanda kelainan vaskular atau
hipertensi sebelumnya.
Preeklamsia merupakan salah satu penyulit dalam kehamilan yang
menyebabkan sakit berat, kecacatan jangka panjang, serta kematian pada ibu,
janin dan neonatus.Kehamilan yang disertai preeklamsia tergolong kehamilan
yang berisiko tinggi karena preeklamsia merupakan penyebab dari 30% - 40%
kematian maternal dan 30% - 50% kematian perinatal (Denantika dkk., 2014).

II.1.1 Klasifikasi Preeklamsia


a. Preeklamsia ringan
Menurut Mochtar (2013), preeklamsia ringan, bila disertai dengan
keadaan sebagai berikut:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih atau kenaikan diastolik 15
mmHg atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak dua kali
pemeriksaan dengan jarak periksa satu jam, sebaiknya enam jam.

5
2) Edema umum, kaku, jari tangan, dan wajah; atau kenaikan berat badan
1 kg atau lebih per minggu
3) Proteinuria kuantitatif 0,3 gr atau lebih per liter, kualitatif 1+ atau 2+
pada urin kateter atau midstream
b. Preeklamsia berat
Preeklamsi berat menurut Mochtar (2013), bila disertai dengan
keadaan sebagai berikut:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam
4) Adanya ganguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di
epigastrium
5) Terdapat edema paru dan sianosis
c. Eklamsia
Eklamsia dalam bahasa Yunani berarti “halilintar”, karena
serejangan kejang-kejang timbul tiba-tiba seperti petir (Mochtar, 2013).
Timbulnya kejang pada perempuan dengan preeklamsia yang tidak
disebabkan oleh penyebab lain dinamakan eklamsia. Kejang yang timbul
merupakan kejang umum dan dapat terjadi sebelum, saat, atau setelah
persalinan.
Preeklamsi yang disertai komplikasi kejang umum tonik-klonik
sangat meningkatkan risiko bagi ibu maupun janin. Komplikasi utama
pada ibu mencakup solusio plasenta—10 persen, defisit neurologis—7
persen, pneumonia aspirasi—7 persen, edema paru—5 persen, henti
jantung—4 persen, dan gagal ginjal akut—4 persen. Bahkan 1 persen
diantaranya meninggal.
Kejang eklamtik hampir selalu didahului oleh preeklamsia.
Bergantung pada saat terjadinya kejang, apakah sebelum, saat, atau
setelah persalinan, eklamsia disebut sebagai antepartum, intrapartum,
atau pascapartum. Eklamsia paling sering terjadi pada trimester ketiga
dan menjadi semakin sering kehamilan mendekati aterm. Pada beberapa
tahun terakhir, telah terjadi pergeseran yang semakin besar pada insiden

6
preeklamsia ke arah periode pascapartum. Pergeseran ini diduga
berkaitan dengan perbaikan akses perbaikan prenatal, deteksi
preeklamsia yang lebih dini, dan penggunaan magnesium sulfat
profilaktik.
d. Sindrom HELLP
HELLP syndrome merupakan singkatan dari hemolysis,
elevated liver enzyme, low platelets yang artinya adalah hemolisis dan
peningkatan fungsi hepar, trombositopenia, adalah suatu sindroma klinis
yang terdiri dari ada nya hemolisis, peningkatan enzim hati, dan jumlah
trombosit yang rendah. Sindrom HELLP ini sudah sejak lama dikenal
sebagai komplikasi dari preeklamsi-eklamsi.
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang
sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan
tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom
HELLP. Pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau
nyeri perut kanan atas, beberapa mengeluh mual dan muntah, sebagian
lainnya mengeluh mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari
sebelum timbul tanda lain.
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis,
peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah, ketiga
kelainan tersebut ditandai oleh:
a) Hemolisis (penghancuran sel darah merah)
1. Kelainan apusan darah tepi.
2. Total bilirubin >1,2 mg/dl
3. Laktat dehidrogenase (LDH) >600 U/L
b) Peningkatan enzim hati (yang menunjukan adanya kerusakan
hati)
1. Serum aspartate aminotransferase (AST) >70 U/L
2. Laktat dehidrogenase (LDH) >600 U/L
c) Jumlah trombosit yang rendah (yang menunjukan adanya
gangguan pembekuan darah)
1. Hitung trombosit <100.000/mm3

7
II.1.2 Etiologi Preeklamsia
Preeklamsia tidaklah sesederhana suatu penyakit, melainkan merupakan
hasil akhir berbagai faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada ibu,
plasenta, dan janin. Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting dalam terjadinya
sindrom preeklamsia adalah:
a. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh
darah uterus.
b. Toleransi imunologis yang besifat maladaptif di antara jaringan maternal,
paternal (plasenta), dan fetal.
c. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau
inflamatorik yang terjadi pada kehamilan normal.
d. Faktor-faktor genetik, termaksud gen predisposisi yang diwariskan. Serta
pengaruh epigenetik.

II.1.2.1 Invasi Trofoblas Abnormal


Pada implantasi normal, arteriola spiralis uteri mengalami remodeling
ekstensif karena diinvasi oleh trofoblas endovaskular. Sel-sel ini menggantikan
lapisan otot dan endotel untuk memperlebar diameter pembuluh darah. Vena-vena
hanya diinvasi secara superfisial. Namun, pada preeklamsia, mungkin terjadi
invasi trofoblastik inkomplet. Bila terjadi invasi yang dangkal seperti ini,
pembuluh desidua, dan bukan pembuluh myometrium, akan dilapisi oleh trofoblas
endovaskular. Arteriola miometrium yang lebih dalam tidak kehilangan lapisan
endotel dan jaringan muskuloelastik mereka, dan rerata diameter eksternal mereka
hanya setengah dari diameter pembuluh pada plasenta normal.
Karena itu, lumen arteriola spiral yang teralu sempit (abnormal)
kemungkinan mengganggu aliran darah plasenta. Berkurangnya perfusi dan
lingkungan yang hipoksik akhirya menyebabkan pelepasan debris plasenta yang
mencetuskan respon inflamasi sistemik.

8
II.1.2.2 Faktor Imunologis
Hilangnya toleransi sistem imun ibu terhadap antigen janin dan plasenta
yang berasal dari maternal atau mungkin disregulasi proses toleransi, merupakan
teori lain yang berusaha menjelaskan sindrom preeklamsia.
Pada awal kehamilan, trofoblas ekstravilus mengekspresikan antigen
leukosit manusia G (HLA-G) yang bersifat imunosupresif. Ekspresi yang rendah
ini mungkin berperan dalam kecacatan vaskularisasi plasenta. Selama kehamilan
normal, dihasilkan limfosit T-penolong (Th) sehingga aktivitas tipe 2 meningat
dibandingkan tipe 1-dinamakan bias tipe 2. Sel-sel Th2 memacu imunitas humoral,
sedangkan sel Th1 merangsang sekresi sitokin peradangan. Sejak awal trimester
kedua pada perempuan yang selanjutnya mengalami preeklamsia, kerja Th1
meningkat dan terjadi perubahan rasio TH1/TH2.

9
II.1.2.3 Aktivasi Sel Endotel
Perubahan inflamatorik diduga merupakan kelanjutan perubahan yang
disebabkan oleh kecacatan dalam plasentasi. Faktor metabolik dan antiangiogenik
serta mediator inflamasi lainnya diduga memicu cedera endotel.
Telah diajukan suatu teori bahwa disfungsi endotel disebabkan oleh keadaan
leukosit yang terhiperakivasi dalam sirkulasi ibu. Sitokin, seperti faktor nekrosis
tumor-α (TNF-α) dan interleukin (IL) mungkin berperan dalam timbulnya stress
oksidatif terkait preeklamsia. Stress oksidatif ini ditandai dengan terdapatnya
spesies oksigen relatif dan radikal bebas yang menyebabkan terbentuknya
peroksida lipid yang berpropagasi-sendiri. Hal ini kemudian membentuk radikal-
radikal yang amat toksik yang akan mencederai sel endotel, mengubah produksi
nitrat oksida mereka, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Akibat lain
stres oksidatif mencakup produksi sel busa makrofag yang penuh lipid yang
tampak aterosis, aktivasi koagulasi mikrovaskular, yang bermanifestasi sebagai
trombositopenia, dan peningkatan permeabilitas kapiler, yang ditandai dengan
edema dan proteinuria.

II.1.2.4 Fakor Nutrisi


Pada populasi umum, diet tinggi buah dan sayuran yang memiliki aktivitas
antioksidan berkaitan dengan penurunan tekanan darah. Insidensi preeklamsia
meningkat dua kali lipat pada perempuan yang memiliki asupan asam askorbat
kurang dari 85 mg per hari. Asupan suplemen kalsium pada populasi yang
memiliki asupan kalsium diet yang rendah memiliki sedikit efek dalam
menurukan angka kematian perinatal, tetapi tidak berdampak pada insidensi
preeklamsi. Pada sejumlah penelitian, suplemen antioksidan vitamin C dan E
tidak menunjukan manfaat.

II.1.2.5 Faktor Genetik


Preeklamsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Risiko
insiden preeklamsia sebesar 20 hingga 40 persen pada anak dari ibu yang pernah
mengalami preeklamsia.

10
Kecenderungan herediter ini mungkin merupakan akibat interaksi ratusan
gen yang diwariskan-baik dari ayah maupun ibu-yang mengendalikan sejumlah
besar fungsi metabolik dan enzimatik di seiap sistem organ.

II.1.3 Patofisiologi Preeklamsia


Pada preeklamsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh
sehingga timbul hipertensi. Pada saat bersaamaan, faktor (faktor) yang tidak
diketahui-kemungkinan berasal dari plasenta-di sekresikan ke dalam sirkulasi
maternal dan mencetuskan aktivasi dan disfungsi endotel vaskular. Keruskan sel
endotel menyebabkan kebocoroan interstitial tempat lewatnya komponen-
komponen darah, termaksud trombosit dan fibrinogen yang kemudian tertimbun
di subendotel. Sindrom klinis preeklamsia diduga terjadi akibat perubahan sel
endotel yang tersebar luas.
Endotel yang utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respon otot polos pembuluh darah terhadap agonis dengan cara
melepaskan nitrat oksida. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat
menghasilkan lebih sedikit nitrat oksida dan menyekresikan substansi yang
memacu koagulasi, serta meningkatkan sensitivitas terhadap vasopresor. Bukti
lebih lanjut mengenai aktivasi endotel meliputi perubahan khas pada morfologi
endotel kapiler glomerulus, peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan
kadar zat-zat terkait aktivasi endotel dalam darah. Kemungkinan, berbagai faktor
dalam plasma perempuan preeklamsia berkombinasi untuk menyebabkan efek
vasoaktif tersebut. Keadaan tersebut menyebabkan berkurangnya aliran darah
akibat maldistribusi, iskemia pada jaringan sekitar akan menyebabkan nekrosis,
perdarahan dan gangguan end-organ lain yang khas pada sindrom tersebut.
Sejumlah prostanoid diduga menjadi pusat patofisiologi sindrom
preeklamsia. Secara khusus, penumpulan respons presor yang tampak pada
kehamilan normal paling tidak sebagian disebabkan oleh penurunan responsivitas
vaskular yang diantarai sintesis prostaglandin endotel. Misalnya, jika
dibandingkan dengan kehamilan normal, produksi prostaglandin endotel (PGI2)
menurun pada preeklamsia. Efek ini tampaknya dimediasi oleh fosfolipase A2.

11
Pada saat yang sama, sekresi tromboksan A2 oleh trombosit meningkat, dan rasio
prostasiklin tromboksan A2 menurun. Hasilnya cenderung meningkatkan
sensitvitas terhadap angiotensin II, dan pada akhirnya vasokonstriksi. Perubahan
ini tampak sejak kehamilan 22 minggu pada perempuan yang selanjutnya
mengalami preeklamsia.
Pada perempuan dengan preeklamsia berat, volume cairan ekstrasel, yang
bermanifestasi sebagai edema, biasanya jauh lebih besar dibandingkan pada
perempuan dengan kehamilan normal. Mekanisme yang berperan dalam retensi
patologis cairan ini diduga terjadi akibat cedera endotel. Selain edama umum dan
proteinuria, perempuan-perempuan ini memiliki ketidakseimbangan tekanan
onkotik plasma, ketidakseimbangan ini menyebabkan ketidakseimbangan filtrasi
dan semakin mendorong carian intravaskuler kedalam interstitial sekelilingnya.

II.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Preeklamsia


Faktor risiko preeklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi
menyebabkan kelainan mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis
dan kelainan vaskular serta jaringan ikat, dan nefropati. Faktor risiko lain
berhubungan dengan kehamilan itu sendiri atau dapat spesifik terhadap ibu atau
ayah dari janin (Sunaryo R, 2008).
Berbagai faktor risiko preeklamsia (American Family Physician, 2004 sit.
Artikasari, 2009) :
a. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
1) Kelainan kromosom
2) Mola hydatidosa
3) Hydrops fetalis
4) Kehamilan multifetus
5) Inseminasi donor atau donor oosit
6) Kelainan struktur kongenital
b. Faktor spesifik maternal
1) Primigravida
2) Usia > 35 tahun

12
3) Usia < 20 tahun
4) Ras kulit hitam
5) Riwayat preeklamsia pada keluarga
6) Nullipara
7) Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya
8) Kondisi medis khusus : diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas,
hipertensi kronis, penyakit ginjal, trombofilia
9) Stress
c. Faktor spesifik paternal
1) Primipatemitas
2) Patner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan
mengalami preeklamsia

II.1.5 Diagnosis Klinis Preeklamsia


Preeklamsia tidak selalu dapat di diagnosis pasti. Jadi berdasaran sifat alami
penyakit ini, baik American of Obstetricians dan Gynecologist (2002) maupun
kelompok Kerja National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP)
(2000) menganjurkan kunjungan antenatal yang lebih sering, bahkan jika
preeklamsia hanya dicurigai. Secara tradisional, frekuensi kunjungan antenatal
bertambah sering pada trimester ketiga, dan hal ini membantu deteksi preeklamsia
dini. Meningkatnya tekanan darah sistolik dan diastolik dapat merupakan
perubahan fisiologis normal dan atau tanda penyakit yang sedang berkembang.
Pemantauan yang lebih ketat memunginkan lebih cepatnya diidentifikasi
perubahan tekanan darah yang berbahaya, temuan labolarotium yang penting, dan
perkembangan tanda dan gejala penting.
Preeklamsia paling tepat digambarkan sebagai sindrom khusus kehamilan
yang dapat mengenai setiap sistem organ. Meskipun preeklamsia lebih dari
sekedar hipertensi gestasional sederhana ditambah proteinuria, timbulnya
proteinuria tetap merupakan kriteria diagnostik objektif yang penting. Proteinuria
didefinisikan sebagai ekskresi protein dalam urin yang melebihi 300 mg dalam 24
jam, atau terdapatnya protein sebanyak 30 mg/dL (carik celup 1+) dalam sampel
acak urin secara menetap. Tidak ada Satupun nilai tadi yang bersifat mutlak.

13
Kepekatan urin sangat bervariasi selama siang hari sehingga hasil pembacaan
carik celup juga sangat bervariasi. Karena itu, pemeriksaan bahkan mungkin
memberikan hasil 1+ atau 2+ pada spesimen urin pekat dari perempuan yang
mengekspresikan < 300mg/hari.
Semakin berat hipertensi atau proteinuria, semakin pasti diagnosis
preeklamsia, dan semakin mungkin terjadi komplikasi yang merugikan. Serupa
dengan hal tersebut, temuan labolatorium yang abnormal pada pemeriksaan fungsi
ginjal, hati, dan hematologi akan semakin memastikan diagnosis preeklamsia.
Tabel 1. Penanda Keparahan Penyakit Hipertensi dalam Kehamilan
Tanda Kelainan Tidak berat Berat
Tekanan darah diastolik <110 mmHg ≥110 mmHg
Tekanan darah sistolik <160 mmHg ≥160 mmHg
Proteinuria ≤ 2+ ≥ 3+
Nyeri kepala Tidak ada Ada
Gangguan pengelihatan Tidak ada Ada
Nyeri abdomen atas Tidak ada Ada
Oligouria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsia) Tidak ada Ada
Kreatinin serum Normal Meningkat
Trombositopenia Tidak ada Ada
Peningkatan transaminase Minimal Sangat meningkat
serum
Retriksi pertumbuhan janin Tidak ada Ada
Edema paru Tidak ada Ada

Nyeri kepala, atau gangguan pengelihatan, dapat merupakan gejala


pendahulu eklamsia. Nyeri epigastrik atau nyeri kuadran kanan atas sering timbul
pada nekrosis hepatoselular, iskemia hepar, dan edema hepar yang meregangkan
kapsula Glissoni. Nyeri khas ini sering disertai peningkatan kadar transaminase
hepar dalam serum. Trombositopenia juga khas untuk preeklamsia yang
memburuk. Trombositopenia mungkin disebabkan oleh pengaktifan dan agregasi
trombosit, serta hemolisis mikroangiopatik yang dicetuskan oleh vasospasme
yang hebat. Faktor lain yang menandakan preeklamsia berat meliputi tertekannya
ginjal atau jantung, serta retriksi pertumbuhan janin yang nyata yang menunjukan
durasi preeklamsia berat.

II.1.6 Penatalaksanaan Preeklamsia

14
Kehamilan yang disertai komplikasi hipertensi gestasional diterapi
berdasarkan keparahan, usia gestasi, dan adanya preeklamsia. Prinsip
tatalaksananya seperti yang ditekankan sebelumnya, juga mempertimbangkan
cedera endotel dan disfungsi multi-organ yang disebabkan oleh sindrom
preeklamsia.
Tujuan dasar tatalaksana untuk setiap kehamilan yang disertai komplikasi
preeklamsi adalah:
a. Terminasi kehamilan dengan trauma seminimal mungkin bagi ibu dan
janin.
b. Kelahiran bayi yang dapat bertahan hidup.
c. Pulihnya kesehatan ibu secara sempurna.
Pada preeklamsia ringan, pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain
rawat inap, maka penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang
lebih sering, misalnya 2 kali seminggu.
Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan
istirahat di tempat tidur, pengurangan aktivitas fisik hampir sepanjang hari. Tirah
baring profilaktik selama 4 hingga 6 jam sehari dirumah berhasil menurunkan
secara bermakna insidensi preeklamsia, tetapi tidak hipertensi gestasional.
Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap. Monitor keadaan
janin: kadar estriol urin, lakukan amnioskopi dan ultrasonografi atau lain
sebagainya. Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada
usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
Tatalaksana medikamentosa pada preeklamsia ringan dini telah menunjukan
hasil yang mengecewakan. Efektivitas labetalol dan perawatan inap dibandingkan
dengan perawatan inap saja menunjukan adanya tekanan darah yang secara
signifikan lebih rendah pada perempuan yang mendapatkan labetalol, tidak
terdapat perbedaan antara kedua kelompok dalam hal rerata perpanjangan masa
kehamilan, usia gestasi saat pelahiran, atau berat lahir. Bayi yang mengalami
retriksi pertumbuhan secara signifikan lebih banyak dua kalli lipat pada
perempuan yang mendapakan labetalol.
Dalam usaha pematangan paru-paru, glukokortikoid telah diberikan pada
perempuan yang mengalami hipertensi berat, tetapi masih jauh dari aterm. Terapi

15
ini tidak memperburuk hipertensi pada ibu, dan telah dilaporkan terjadinya
penurunan insidensi distress pernapasan janin. Komplikasi pada neonates
termaksud distress pernapasan, dan kematian, menurun secara signifikan pada
pemberian betamethasone dibandingkan placebo pada perempuan dengan usia
gestasi 26 sampai 34 minggu.

II.1.6.1 Terminasi Kehamilan


Tujuan utama penanganan adalah:
a. Untuk mencegah terjadinya preeklamsi dan eklamsi.
b. Hendaknya janin lahir hidup.
c. Meminimalisir trauma pada janin.
Terminasi kehamilan merupakan satu-satunya tatalaksana preeklamsia.
Nyeri kepala, gangguan kesehatan, atau nyeri epigastrium merupakan petunjuk
bahwa kejang mungkin akan terjadi, dan oliguria merupakan tanda bahaya yang
lainnya. Preeklamsia yang berat memerlukan terapi antikonvulsan dan
antihipertensi, dilanjutkan dengan pelahiran. Tujuan utamanya adalah untuk
mencegah kejang, mencegah perdarahan intrakranial dan kerusakan berat pada
organ vital lainnya, serta untuk melahirkan bayi yang sehat.
Apabila janin masih kurang bulan, cenderung dilakukan penundaan
terminasi kehamilan dengan harapan bahwa beberapa minggu tambahan di dalam
rahim akan mengurangi risiko kematian neonatal atau penyakit berat akibat
kurang bulanitas. Kebijakan seperti ini dibenarkan pada kasus yang lebih ringan.
Dilakukan penilaian kesejahteraan janin dan fungsi plasenta khususnya jika janin
imatur. Sebagain besar ahli menganjurkan dilakukan berbagai uji untuk menilai
kesejahteraan janin, seperti yang diuraikan oleh American College of Obstetricans
and Gynecologist (1999). Pemeriksaan –pemeriksaan ini mencakup uji non-stress
atau profil biofisik. Pengukuran rasio lesitin-sfingomielin (L/S) dalam cairan
amnion dapat memberikan informasi mengenai kematangan paru-paru.
Pada preeklamsia yang moderat atau berat yang tidak membaik setelah
perawatan inap, biasanya dianjurkan terminasi kehamilan untuk kesejahteraan
baik ibu maupun janin. Induksi persalinan dilakukan, biasanya dengan
pematangan serviks prainduksi menggunakan prostaglandin atau dilator osmotik.

16
Bila induksi tampaknya hampir pasti tidak akan berhasil, atau usaha induksi telah
gagal, pelahiran dengan bedah sesar diindikasikan untuk kasus-kasus yang lebih
berat.

II.1.7 Pencegahan Preeklamsia


a. Manipulasi diet
1) Diet rendah garam
Salah satu usaha pertama untuk mencegah preeklamsia adalah
retriksi garam. Retriksi ini diikuti dengan terapi diuretik.
2) Suplementasi kalsium
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-an di luar Amerika
Serikat memperlihatkan bahwa perempuan dengan asupan kalsium
diet yang rendah memiliki risiko yang meningkat untuk mengalami
hipertensi gestasional. Sejumlah besar penelitian telah dilakukan sejak
tahun tersebut, secara keseluruhan, penelitian-penelitian ini
menunjukan bahwa suplementasi kalsium tidak memiliki manfaat lain
kecuali perempuan tersebut memang kekurangan kalsium.
3) Suplementasi minyak ikan
Asam lemak yang bersifat kardioprotektif ditemukan dalam
sejumlah ikan berlemak.Setelah suplementasi asam lemak ini
dinyatakan dapat mencegah aterogenesis yang diperantarai
peradangan tidaklah mengherankan muncul teori bahwa asam lemak
tersebut mungkin dapat mencegah preeklamsia.
b. Obat antihipertensi
Karena adanya teori mengenai manfaat retriksi natrium, tidaklah
aneh terapi diuretik menjadi popular saat diperkenalkan klorotiazid pada
tahun 1957. Telah ditemukan bahwa perempuan yang diterapi dengan
diuretik mengalami penurunan insiden edema dan hipertensi, tetapi tidak
terapi preeklamsia.
Karena perempuan dengan hipertensi kronis berisiko tinggi
mengalami preeklamsia, beberapa penelitian teracak—hanya sebagian
yang menggunakan kontrol plasebo—telah dilakukan untuk

17
mengevaluasi berbagai terapi antihipertensi untuk menurunkan insidensi
preeklamsia yang bertumpang tindih pada hipertensi kronis. Analisis
kritis penelitian-penelitian tersebut gagal memperlihatkan penurunan
insidensi tersebut.
c. Antioksidan
Terdapat data empiris bahwa ketidakseimbangaan aktivitas oksidan
dan antioksidan mungkin memiliki peran penting dalam patogenesis
preeklamsia. Dua antioksidan alamiah adalah—vitamin C dan E— dapat
menurunkan oksidan tersebut. Lebih lanjut lagi, perempuan yang
mengalami preeklamsia ditemukan memiliki kadar plasma yang rendah
untuk kedua vitamin tersebut. Jadi, suplementasi diet diajukan sebagai
metode untuk memperbaiki kemampuan oksidatif perempuan berisiko
mengalami preeklamsia.
d. Agen antitrombotik
Terdapat alasan-alasan teoritis yang cukup banyak untuk menduga
bahwa agen antitrombotik dapat menurunkan insiden preeklamsia.
Sindrom ini ditandai oleh vasospasme, disfungsi sel endotel, dan aktivasi
trombosit serta sistem koagulasi-hemostasis. Lebih lanjut lagi,
ketidakseimbangan prostaglandin mungkin juga berperan, dan sekuele
lain preeklamsi mencakup infark plasenta dan trombosis arteria spiralis.
1. Aspirin dosis rendah
Dalam dosis oral 50 hinggal 150 mg per hari, aspirin secara
efektif menghambat biosintesis tromboksan A2 dalam trombosit
dengan efek minimal pada produksi prostasiklin vaskular. Pada
penelitian yang dilakukan mengenai efektivitas dan keamanan obat
anti-trombosit—terutama aspirin—dalam mencegah preeklamsia,
untuk perempuan yang mendapatkan obat antitrombosit, risiko relatif
preeklamsia menurun secara bermakna 10 persen untuk terjadi
preeklamsia, preeklamsia bertumpang tindih dengan hipertensi kronis,
pelahiran kurang bulan, atau setiap kehamilan dengan komplikasi.
Karena alasan marginal ini, tampaknya beralasan untuk menggunakan

18
aspirin dosis rendah yang disesuaikan bagi tiap individu untuk
mencegah berulangnya preeklamsia.
2. Aspirin dosis rendah plus heparin
Karena tingginya prevalensi lesi trombotik plasenta pada
preeklamsia berat, telah dilakukan beberapa penelitian observasional
untuk mengevaluasi terapi heparin untuk perempuan yang mengalami
preeklamsia berat. Efek profilaksis heparin berberat molekul rendah
ditambah aspirin dosis redah terhadap hasil akhir kehamilan pada
perempuan dengan riwayat preeklamsia berat awitan dini terhadap
bayi berat lahir rendah. Mereka melaporkan hasil akhir kehamilan
lebih baik pada perempuan yang mendapatkan heparin berberat
molekul rendah ditambah aspirin dosis rendah dibandingkan pada
perempuan yang mendapatkan aspirin dosis rendah saja.

II.2 Hubungan Gravida dengan Preeklamsia


Gravida adalah ibu hamil (Dorland, 2012) atau wanita yang sedang hamil
(Manuaba, 1998). Berdasarkan jumlahnya, kehamilan seseorang dapat dibedakan
menjadi:
a. Primigravida : adalah wanita yang hamil untuk petama kalinya
b. Multigravida : adalah wanita yang hamil dan sebelumnya sudah pernah
hamil sedikitnya dua kali.
Risiko preeklamsia 1,5 kali lebih besar pada ibu dengan kehamilan
primigravida (Artikasari, 2009). Teori imunologik menjelaskan secara jelas
perihal hubungan gravida atau paritas dengan insiden preeklamsia. Teori tersebut
menyebutkan blocking antibodies terhadap antigen plasenta yang terbentuk pada
kehamilan pertama menjadi penyebab preeklamsia. Teori ini juga menyebutkan
karena penurunan human antigen protein G (HLA) yang berperan penting dalam
modulasi respon imun sehingga ibu menolak hasil konsepsi (Angsar, 2004).
Gravida pada ibu adalah keadaan yang tidak dapat dirubah secara actual. Proses
pertama menuju respon adaptif tubuh seorang ibu terhadap keadaan berbeda akan
terjadi pada kehamilan pertama (teori imunologik). Hal ini terjadi karena
kehamilan pertama akan menjadi pembeda antara keadaan ibu yang sebelumnya

19
tidak hamil menjadi hamil. Intoleransi benda asing (plasenta dan janin) kehamilan
pertama akan mendekatkan ibu pada risiko kegawatan obstetri (preeklamsia).
Pada multigravida proses menuju adaptif justru terjadi karena ibu harus
menghadapi proses pelemahan organ reproduksi akibat kehamilan dan persalinan
berulang sehingga beresiko preeklamsia (Sumarni dkk., 2014).

II.3 Hubungan Usia Ibu dengan Preeklamsia


Usia adalah umur individu terhitung mulai saat dia dilahirkan sampai saat
berulang tahun (Nursalam, 2001). Usia 20-30 tahun adalah periode paling aman
untuk hamil atau melahirkan. Wanita yang hamil pada usia ekstrem (<20 tahun
atau >35 tahun) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami preeklamsia
dibandingkan dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi (20-35 tahun). Ibu
yang hamil pada usia ektrem, cenderung mengalami preeklamsia berat
dibandingan dengan ibu hamil yang berusia 20-15 tahun.
Kehamilan pada usia yang terlalu muda dan terlalu tua termaksud dalam
kriteria kehamilan risiko tinggi dimana keduanya akan berperan dalam
peningkatan moriditas dan mortalitas pada ibu maupun janin (Mochtar, 1998). Ibu
hamil dengan usia dibawah 20 tahun cenderung akan terjadi peningkatan insidensi
preeklamsia, hal ini terjadi karena fisik dan psikis pada wanita yang usianya
terlalu muda belum siap dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Pada usia
tersebut, ibu hamil cenderung tidak mau atau tidak rutin melakukan pemeriksaan
antenatal saat kehamilan (Rozikhan, 2007).
Saat ini cenderung terjadi pergeseran usia dimana seorang wanita
melahirkan untuk perrtama kalinya. Perkembangan bidang pendidikan dan
semakin luasnya lapangan kerja membuat kebanyakan wanita menunda kehamilan
hingga usia 35 tahun (Anna, 2011). Pengawasan terhadap wanita yang hamil atau
melahirkan pertama kali pada usia 35 tahun atau lebih perlu diperhatikan karena
dapat terjadi hipertensi karena stress pekerjaan. Hipertensi dapat menjadi pemicu
preeklamsia/eklamsia, diabetes militus, perdarahan antepartum, abortus,
persalinan prematur, kelainan kongenital, gangguan tumbuh kembang janin dalam
Rahim (Mochtar, 1998). Kerusakan endotel pembuluh darah yang mempengaruhi
kejadian preeklamsia dapat dipengaruhi oleh proses penuaan pada wanita usia tua

20
(M Nojomi dkk., 2010 sit. Ruciningsih, 2014). Wanita yang lebih tua, berisiko
lebih besar mengalami preeklamsia pada hipertensi kronik kerena pada umur ini
dengan bertambahnya usia penyakit degeneratif mulai muncul.

II.4 Kerangka Teori


Maternal Interaksi Fetal

Intoleransi
Usia Kondisi Gravida Paritas Genetik
imonologi ibu
medis
dan janin
- Hipertensi Primigravida Primiparitas
<20 tahun >35 tahun
Mulai kronis
Ketidaksia-
muncul 21
pan fisik - Diabetes Pembentukan blocking antibodies yang tidak Ekspresi rendah
penyakit
dan psikis melitus sempurna dari HLA-G
Produksi Th1 lebih
degeneratif
banyak
II.5 Narasi Kerangka Teori
Keterangan :
Preeklamsia dapat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor maternal yang
: Variabel yang tidak diteliti
mencakup usia <20 tahunBagan atau 1. Kerangka
>35 Teori medis tertentu seperti -ibu
tahun, kondisi
: Variabel yangdengan
diteliti hipertensi kronis
Sumber
atau :diabetes
Cunningham dkk., primigravida,
mellitus-, 2013 primiparitas dan

22
adanya faktor genetik yang mempengaruhi. Faktor fetal berupa adanya kelainan
vaskularisasi plasenta dan akibat adanya interaksi fetal dan maternal.
Ibu yang hamil pada usia <20 tahun cenderung memiliki fisik dan psikis
yang belum siap dalam menghadapi kehamilan dan persalinan, sedangkan ibu
yang hamil pada usia >35 tahun, lebih berisiko mengalami preeklamsia, hal ini
dikarenakan dengan bertambahnya usia, penyakit degeneratif lebih mudah
muncul. Kerusakan endotel pembuluh darah yang mempengaruhi kejadian
preeklamsia juga dapat dipengaruhi oleh proses penuaan pada wanita usia tua.
Kondisi medis yang dialami ibu juga mempengaruhi risiko preeklamsia, ibu
dengan riwayat hipertensi kronis dan atau diabetes mellitus memiliki risiko lebih
besar terhadap terjadinya kerusakan atau disfungsi endotel. Hubungan status
gravida dan paritas pada ibu dengan preeklamsia dijelaskan dengan teori
imunologi yang menyebutkan adanya blocking antibodies terhadap antigen
plasenta yang terbentuk pada kehamilan pertama. Teori ini juga menyebutkan
bahwa adanya penurunan human antigen protein G (HLA-G) yang berperan
penting dalam modulasi respon imun sehinga ibu menolak hasil konsepsi.
Ekspresi yang rendah ini berperan dalam kecacatan vaskularisasi plasenta. Sejak
awal trimester kedua pada perempuan yang selanjutnya mengalami preeklamsia,
kerja Th1 meningkat dan terjadi perubahan rasio Th1/Th2 yang akan merangsang
sekresi sitokin peradangan. Secara genetik, kecenderungan herediter preeklamsia
merupakan akibat dari interaksi ratusan gen yang diwariskan baik dari ayah
maupun ibu yang kemudian mempengaruhi teori imunologi pada preeklamsia.
Interaksi antara fetal dan maternal pada awal kehamilan, menyebabkan
timbulnya intoleransi imunologi ibu dan janin. Keadaan tersebut kemudian akan
berpengaruh terhadap ekspresi rendah dari HLA-G yang kemudian akan
mencetuskan reaksi peradangan dan kerusakan atau difungsi endotel.
Faktor fetal yang mempengaruhi preeklamsia merupakan akibat adanya
kelainan vaskularisasi plasenta dimana pada keadaan tersebut, terjadi invasi
trofoblas yang abnormal. Invasi dangkal yang tidak mencapai arteriola
miometrium, arteriola miometrium yang lebih dalam tidak kehilangan lapisan
endotel dan jaringan muskuloelastiknya, menyebabkan diameter eksternal mereka
hanya setengah dari diameter pembuluh pada plasenta normal. Keadaan tersebut

23
menyebabkan lumen arteriola menjadi terlalu sempit dan mengganggu aliran
darah plasenta. Berkurangnya perfusi menyebabkan terbentuknya lingkungan
yang hipoksik dan memicu pelepasan debris plasenta yang kemudian
mengrangsang respon inflamasi dan sekresi faktor-faktor yang mencetuskan
disfungsi endotel vaskular.
Sel endotel yang rusak hanya akan menghasilkan sedikit nitrat oksida
(berfungsi sebagai antikoagulan pada endotel dan menumpulkan respon otot polos
pembuluh darah terhadap agonis) dan menyekresikan substansi yang memacu
koagulasi mikrovaskular, serta meningkatkan sensitivitas terhadap vasopresor dan
menyebabkan efek vasoaktif (vasokonstriksi) pada pembuluh darah sistemik. Hal
ini bermanifestasi sebagai trombositopenia, dan peningkatan permeabilitas
kapiler, yang ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuria, disebut sebagai
sindrom preeklamsia.

II.6. Kerangka Konsep

Primigravida
Preeklamsia

24
Multigravida

Usia

- <20 tahun
- >35 tahun
Tidak

Usia

- >20 tahun
- <35 tahun

Variabel Independen Variabel Dependen

Keterangan :
: Variabel yang diteliti

Bagan 2.Kerangka Konsep


Sumber : Lukita Sari dan Sulastri, 2008

II. 7. Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan anantara status gravida, dan usia ibu dengan
preeklamsia.
H1 : Ada hubungan antara status gravida, dan usia ibu dengan
preeklamsia.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

25
III.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis analitik yaitu, mendeskripsikan
mengenai fenomena yang ditemukan, baik berupa faktor risiko maupun efek atau
hasil serta melakukan analisis dengan tujuan mencari hubungan antar variabel
(Sastroasmoro, 2011).

III.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Evasari yang berlokasi di Jalan
Rawamangun No. 47, Pramuka, Jakarta Pusat, DKI Jakarta periode Oktober 2015
sampai Maret 2016.

III.3 Subjek Penelitian


III.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono,2007). Populasi
pada penelitian ini adalah semua ibu hamil yang terdiagnosis preeklamsia dan ibu
hamil normal yang memeriksakan kehamilannya di RSIA Evasari, Jakarta Pusat.
III.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi sebagai perangkat elemen yang dipilih untuk dipelajari (Sugiono,2007).
Sampel adalah sebagian dari populasi, dalam penelitian ini sampel adalah semua
pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi. Dengan retriksi
sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
1) Semua pasien ibu hamil atau melahirkan dengan diagnosis medis
preeklamsia yang dirawat atau pernah dirawat di RSIA Evasari serta
memiliki catatan rekam medik lengkap yang mencakup variabel
penelitian status gravida dan usia ibu.
2) Pasien ibu hamil dengan usia kehamilan >20 minggu.

26
b. Kriteria ekslusi
1) Pasien ibu hamil dengan preeklamsia yang memiliki penyakit kronis,
misalnya: hipertensi dan diabetes.
2) Ibu hamil kembar dengan dua janin atau lebih.
3) Pasien ibu hamil dengan preeklamsia yang memiliki riwayat
preeklamsia sebelumnya
4) Pasien ibu hamil dengan preeklamsia yang memiliki riwayat keluarga
dengan preeklamsia
Dalam penelitian ini, besar sampel didapat berdasarkan perhitungan rumus
besar sampel untuk studi case control (Sastroasmoro, 2011).
a. Uji Hipotesis

M= ( Z 1−α / 2 (√ 1+ 1k ) P(1−P)+ Z 1−ᵝ √ P1 ( 1−P 1 ) +(P 2(1−P 2))/k


) 2
P1−P2

Keterangan :
N1 = Jumlah sampel kelompok 1; N2 = Jumlah sampel kelompok 2
α (alpha)= Tingkat kesalahan I ditetapkan sebesar 5%, maka nilai Zα adalah
1,96
ß (beta) = Tingkat kesalahan II sebesar 20%, maka nilai Zß adalah 0,842

Untuk mendapatkan nilai P1 dan P2, peneliti melihat penelitian sebelumnya


untuk mengetahui ibu yang mengalami dan faktor risikonya.

Tabel 3 . Jumlah Proporsi


Variabel P1 P2 N
Status Gravida 0.70 0.25 20
Usia ibu 0.75 0.30 22
Sumber: Rohaya dan Suprida, 2009
b. Kasus drop out
Untuk mengantisipasi adanya subjek drop out sebesar 10% maka
ditetapkan jumlah sampel untuk setiap kelompok adalah:

27
N
Ndo=
(1−do)
Peneliti membuat perbandingan antara jumlah kelompok kasus dengan
jumlah kelompok kontrol yaitu dengan perbandingan 1:1, sehingga dalam
penelitian ini, penelitian ini memerlukan sampel 25 rekam medik ibu hamil
dengan preeklamsia untuk kelompok kasus dan 25 rekam medik ibu hamil
normal untuk kelompok kontrol dengan total besar sampel adalah 50 ibu
hamil.

III.4 Teknik Sampling


Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik non-
probability sampling berupa consecutive sampling dimana rekam medik ibu hamil
yang sesuai dengan kriteria penelitian akan diambil sebagai subyek penelitian.

III.5 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah case control yaitu untuk
mempelajari perbedaan angka kejadian preeklamsia yang dipengaruhi oleh status
gravida dan usia ibu, dengan cara membandingkan kelompok kasus yaitu rekam
medis ibu hamil dengan preeklamsia dengan faktor risiko tersebut dan kelompok
control yaitu rekam medis ibu hamil normal yang memiliki karakteristik yang
sama dengan kelompok kasus.

III.6 Identifikasi Variabel Penelitian


a. Varibel bebas
Variabel bebas atau independent variabel adalah variabel yang bila ia
berubah akan mengakibatkan perubahan pada variabel lain
(Sastroasmoro, 2011). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah status
gravida dan usia ibu.

b. Variabel terikat

28
Variabel terikat atau dependent variabel adalah variabel yang berubah
karena variabel bebas tersebut (Sastroasmoro, 2011). Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah preeklamsia.

III.7 Definisi Operasional


Variabel Definisi Operasional Alat Hasil Ukur Skala
Ukur
Gravida Jumlah kehamilan Rekam 1 = Nomial
yang dialami ibu Medis Primgravida
yang dilihat dari 2 =
rekam medis Multigravida
Usia ibu Usia ibu saat Rekam 1 = Risiko Nominal
terdiagnosis Medis tinggi
preeklamsia yang 2 = Risiko
dilihat dari rekam rendah
medis
Preeklamsia Keadaan hipertensi 1 = Iya Nominal
dengan tekanan darah 2 = Tidak
≥ 140/90 mmHg,
disertai dengan
proteinuria, edema
atau keduanya yang
terjadi akibat
kehamilan, dilihat
dari rekam medis

III.8 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan data
penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah dengan melihat
rekam medis yang berhubungan dengan faktor risiko terjadinya preeklamsia pada
ibu hamil terutama dari status gravida dan usia ibu.
III.9 Protokol Penetian

Identifikasi dan perumusan Masalah

29
Menentuan Desain Penelitian

Menetukan cara dan besar sampel

Menentukan kriteria inklusi dan ekslusi

Pengambilan data sesuai dengan kriteria


inklusi dan ekslusi melalui Rekam Medik

Memasukkan dan mengolah data dengan


meggunakan komputerisasi

Hasil pengolahan data dan kesimpulan

III.10 Analisa Data


III.10.1 Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang mendeskripsikan variabel
dependen dan independen yang diteliti sesuai dengan jenis datanya, sehingga data
yang dikumpulkan bisa menjadi informasi yang berguna. Hasil analisis univariat
bertujuan menggambarkan proporsi variabel dependen dan independen dengan
menggunakan distribusi frekuensi yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel
atau diagram. Dalam penelitian ini analisis univariat yang digunakan untuk
melihat hubungan status gravida dan usia ibu dengan preeklamsia di RSIA
Evasari, Jakarta pusat.

III.10.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel.
Pada penelitian ini analisisnya menggunakan uji chi-square yaitu digunakan untuk

30
menguji hipotesis bila dalam populasi terdiri atas dua atau lebih kelas dimana
datanya berbentuk kategorik (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini, skala
pengukuran variabelnya adalah kategorik tidak berpasangan (nominal) maka uji
yang akan digunakan adalah uji Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95%.
Rumus Chi-Square (X2) :
2(O−E)2
X =∑
E

Df = (k – 1)(b – 1)
Keterangan :
X2 = chi – square
O = frekuensi observasi (Observed)
E = frekuensi harapan (Ekspected)
Df = Degree of freedom (derajat kebebasan)
K = jumlah kolom
B = baris
Keputusan Chi – square , H0 ditolak apabila p<α (0,05) artinya ada
hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. H0 diterima
apabila p>α (0,05) artinya tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan
variabel independen.
Tabel hasil uji yang akan didapatkan pada penelitian ini

Jenis Data
Variabel Kategori Kasus Kontrol OR P
n % n %
Status Gravida Primigrvida
Multigravida
Usia Ibu Risiko Tinggi
Risiko Rendah

DAFTAR PUSTAKA

31
Angsar, MD 2009, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo: Hipertensi dalam
Kehamilan, Edisi 4, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Artikasari, K 2009, ‘Hubungan Antara Primigravida dengan Angka Kejadian


Preeklamsia/Eklamsia di RSUD Moewrdi Surakarta Periode 1 Januari-31
Desember 2008’, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah,
Surakarta.

Cunningham, FG, Leveno, KJ, Bloom, SL, Hauth, JC, Rouse, DJ, Spong, CY,
2013, Obstetri Williams, edisi 23, vol 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.

Denantika, O, Serudji, J & Revilla, G 2014, ‘Hubungan Status Gravida dan Usia
Ibu terhadap Kejadian Preeklampsia di RSUP Dr. M. Djamil Padang
Tahun 2012-2013’, Skripsi, Universitas Andalas, Padang.

Departemen Kesehatan RI 2007, Profil Kesehatan Indonesia 2005, Jakarta:


Departemen Kesehatan RI.

Djannah, SN & Arianti, IS 201, ‘Gambaran Epidemiologi Kejadian Preeklampsia


/ Eklampsia di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2007-2009’,
Skripsi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Dorland, NWA 2012, Kamus Kedokteran Dorland, edisi 31, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Hidayati, N & Kurniawati, T 2012, ‘Hubungan Umur dan Paritas dengan


Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil di Puskesmas Bangetayu Kota
Semarang’, Skripsi, Akademi Kebidanan Abdi Husada, Semarang.

Kusika, SY, Masni & Syafar, M 2014, ‘Faktor Risiko Kejadian Preeklamsia di
Rumah Sakit Umum Anutapura Palu’, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hassanudin, Palu.

Manuaba, IBG 1998, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga


Berencana Untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta.

Nursalam 2001, ‘Pendekatan Praktis dan Dokumentasi Pendekatan Keperawatan,


Konsep dan Praktik’, Salemba Medika, Jakarta.

Rahmadani, A, Noerjasin, H & Zamri, A 2012, ‘Faktor-faktor yang Berhubungan


dengan Terjadinya Preeklampsia – eklampsia di RSUD Raden Mattaher
Jambi Tahun 2012’, Skripsi, Jambi.

Ridlayanti, A 2014, ‘Proposal Penelitian Tesis Hubungan Kadar Alfa – Tokoferol


dengan Kejadian Preeklampsia Berat’, Tesis, Universitas Brawijaya,
Malang.

32
Rohaya & Suprida 2009, ‘Hubungan Umur, Usia Kehamilan dan Gravida dengan
Kejadian Pre-eklampsia pada Ibu Bersalin di Instalasi Rawat Inap
Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP DR. MOH Hoesin Palembang
Tahun 2009’, Dosen Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Palembang,
Palembang.

Rozikhan 2007. ‘Faktor-faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat di Rumah


Sakit Dr. H. Soewondo Kendal’, Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas
Diponegoro, Semarang.

Ruciningsih, S 2014, ‘Hubungan Antara Usia, Paritas, dan Indeks Masa Tubuh
Wanita Hamil dengan Preeklampsia di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Periode 1 Januari 2010 – 31 Desember 2013’, Fakultas Kedokteran,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Sibernagl, S 2012, Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Sofian, A 2013, Rustam Mochtar Sinopsis obstetri: obstetric fisiologi, obstetric


patologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sumarni, S, Hidayat, S & Mulyadi, E 2014, ‘ Hubungan Gravida Ibu dengan


Kejadian Pre eklamsia’, Program Studi Ilmu Kepewerawatan UNIJA,
Sumenep.

Sunaryo, R 2008, ‘Diagnosis dan Penatalaksanaan Preeklamsia-Eklamsia’,


Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Sutrimah, Mifbakhuddin & Wahyuni, D 2014, ‘Faktor-faktor yang Berhubungan


dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Roemani
Muhammadiyah Semarang’, Skripsi, Universitas Muhammadiyah,
Semarang.

Windaryani, Y, Dode, S & Mallo, A 2013, ‘Hubungan antara Primigravida /


Multigravida dengan Angka Kejadian Preeklampsia / Eklampsia di
RSKDIA Siti Fatimah Makassar’, STIKES Nani Hasanuddin, Makassar.

Yogi, ED, Hariyanto & Sonbay, E 2014, ‘Hubungan Antara Usia dengan
Preeklamsia pada Ibu Hamil di POLI KIA RSUD Kafamenanu Kabupaten
Timor Tengah Utara’, Jurnal Delima Harapan, Timor Tengah.

33

Anda mungkin juga menyukai