2. Batasan Usia
Penduduk Lansia atau lanjut usia menurut UU kesejahteraan lansia
No.13 tahun 1998 adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya
berkisar antara 60-65 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
a. usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun,
b. lanjut usia (elderly) 60-74 tahun,
c. lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan
d. usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
3. proses menua
Menurut Nugroho (2010), penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat
dihindarkan. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menhilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menurut Constantinides
(1994) dalam (Darmojo dan Mastono, 2011) proses menua yang terjadi pada
lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan
(impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan
(disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersama dengan
proses kemunduran. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lanjut usia
(Nusi Ferani dkk, 2010).
Menjadi tua (menua) adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang tidak hanya
dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui
tahap-tahap kehidupannya, yaitu neonatus, toddler, pra school, school, remaja,
dewasa dan lansia. Tahap berbeda ini di mulai baik baik secara biologis maupun
psikologis (Padila, 2013).
a. Berdasarkan waktu: Psoriasis tipe plak kronis merupakan bentuk yang paling
sering digunakan dalam uji klinis karena tingkat objektivitas yang tinggi.
Bentuk ini merepresentasikan 70-80% penderita psoriasis. Pada satu pasien
psoriasis dapat ditemukan bentuk lesi jenis psoriasis lain secara bersamaan
dalam satu area yang sama.
b. Berdasarkan predileksi anatomis: Psoriasis tipe plak paling sering ditemukan
pada daerah lipatan kulit (fleksular/intertriginosa) seperti: inguinal, aksila,
glandula mammae. Hal tersebut sangat rentan akan terjadinya iritasi karena
gesekan dan keringat. Sebopsoriasis, biasa terjadi bersamaan dengan psoriasis
plak. Psoriasis seboroik sering ditemukan di daerah lipatan hidung dengan
karakteristik khas lesi tipis, eritem, dengan gambaran seperti sisik. Scalp/kulit
kepala merupakan situs awal manifestasi psoriasis. Tempat-tempat predileksi
lain yang terkena adalah postaurikular dan oksiput. Psoriasis palmoplantar
25% ditemukan membersamai kejadian psoriasis tipe plak namun memiliki
demografi perempuan lebih besar dari pria.
3. Etiologi
Penyebab psoriasis sampai saat ini belum diketahui.Diduga penyakit ini
diwariskan secara poligenik. Walaupun sebagian besar penderita psoriasis timbul
secara spontan, namun pada beberapa penderita dijumpai adanya faktor pencetus
antara lain:
a. Trauma
Psoriasis pertama kali timbul pada tempat-tempat yang terkena trauma,
garukan, luka bekas operasi, bekas vaksinasi, dan sebagainya.Kemungkinan
hal ini merupakan mekanisme fenomena Koebner.Khas pada psoriasis timbul
setelah 7-14 hari terjadinya trauma.
b. Infeksi
Pada anak-anak terutama infeksi Streptokokus hemolitikus sering
menyebabkan psoriasis gutata. Psoriasis juga timbul setelah infeksi kuman
lain dan infeksi virus tertentu, namun menghilang setelah infeksinya sembuh
c. Iklim
Beberapa kasus cenderung menyembuh pada musim panas, sedangkan pada
musim penghujan akan kambuh.
d. Faktor endokrin
Insiden tertinggi pada masa pubertas dan menopause.Psoriasis cenderung
membaik selama kehamilan dan kambuh serta resisten terhadap pengobatan
setelah melahirkan.Kadang-kadang psoriasis pustulosa generalisata timbul
pada waktu hamil dan setelah pengobatan progesteron dosis tinggi.
e. Sinar matahari
Walaupun umumnya sinar matahari bermanfaat bagi penderita psoriasis
namun pada beberapa penderita sinar matahari yang kuat dapat merangsang
timbulnya psoriasis.Pengobatan fotokimia mempunyai efek yang serupa pada
beberapa penderita.
f. Metabolik
Hipokalsemia dapat menimbulkan psoriasis.
g. Obat-obatan
Antimalaria seperti mepakrin dan klorokuin kadang-kadang dapat
memperberat psoriasis, bahkan dapat menyebabkan eritrodermia.
h. Pengobatan dengan kortikosteroid topikal atau sistemik dosis tinggi dapat
menimbulkan efek “withdrawal”.
i. Lithium yang dipakai pada pengobatan penderita mania dan depresi telah
diakui sebagai pencetus psoriasis.
j. Alkohol dalam jumlah besar diduga dapat memperburuk psoriasis.
k. Hipersensitivitas terhadap nistatin, yodium, salisilat dan progesteron dapat
menimbulkan psoriasis pustulosa generalisata.
l. Berdasarkan penelitian para dokter, ada beberapa hal yang diperkirakan dapat
memicu timbulnya Psoriasis, antara lain adalah :
1) Garukan/gesekan dan tekanan yang berulang-ulang , misalnya pada saat
gatal digaruk terlalu kuat atau penekanan anggota tubuh terlalu sering
pada saat beraktivitas. Bila Psoriasis sudah muncul dan kemudian
digaruk/dikorek, maka akan mengakibatkan kulit bertambah tebal.
2) Obat telan tertentu antara lain obat anti hipertensi dan antibiotik.
3) Mengoleskan obat terlalu keras bagi kulit.
4) Emosi tak terkendali.
5) Makanan berkalori sangat tinggi sehingga badan terasa panas dan kulit
menjadi merah , misalnya mengandung alcohol.
4. Epidemiologi
Psoriasis menyerang sekitar 2% - 3% populasi dunia, dimana laki-laki
dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang sama besar (Kuchekar
dkk.,2011; Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Ras Asia memiliki angka
prevalensi psoriasis yang cukup rendah yakni sekitar 0,4%. Penelitian yang
menginvestigasi prevalensi psoriasis antara ras African-American dibanding ras
white-American menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (1,3% vs.
2,5%). Psoriasis jarang muncul pada usia dibawah 10 tahun dan usia puncaknya
adalah sekitar 15 – 30 tahun (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan karena adanya
kemungkinan terkena psoriatis artritis dan berbagai penyakit sistemik lainnya
(Mak dkk., 2010). Sekitar 10% - 30% pasien psoriasis berisiko terkena psoriasis
artritis (Krueger dan Bowcock, 2014). Selain risiko morbiditas yang meningkat,
pasien dengan derajat keparahan tinggi juga berisiko untuk mengalami
peningkatan mortalitas, dimana pasien psoriasis diteliti meninggal lebih cepat
yaitu laki-laki 3,5 tahun dan wanita 4,4 tahun dibanding subjek yang sehat (Mak
dkk., 2010). Studi longitudinal menunjukkan remisi spontan dapat terjadi pada
sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan frekuensi yang bervariasi (Gudjonsson
dan Elder, 2012)
5. Manifestasi Klinis
Dilaporkan 80% pasien psoriasis mengalami pruritus dan sebagian besar
terjadi pada malam hari. Jika tidak segera ditangani pruritus akan meluas pada
area non plak psoriatik dan kurang responsif terhadap antipruritik. Gatal yang
ditimbulkan oleh psoriasis sering menyebabkan adanya gangguan tidur, semakin
digaruk biasanya pasien akan mengalami bangun dari tidurnya yang berakibat
kurang tidur sehingga menyebabkan performa kegiatan aktivitas di siang hari
pun menurun. Pada pasien wanita gatal ditemukan lebih sering membawa kearah
manifestasi klinis lain seperti gangguan kecemasan dan depresi. Pasien psoriasis
diharapkan mendapat dukungan sosial penuh dari sekitarnya agar tidak
menimbulkan komorbid lain (Barbara et al., 2016)
Ujud kelainan kulit psoriasis berupa lesi tipikal plak eritematosa
(Gambar 4), dengan ukuran bervariasi dari millier sampai numular dengan
gambaran yang beraneka ragam seperti, arsinar/anular (lingkaran), sirsinar
(bulan sabit), polisiklik (bulat bersatu), atau geografis (seperti peta). Makula
berbatas tegas, dikelilingi oleh skuama kasar berwarna putih mengkilat. Jika
skuama digores akan menunjukkan tanda tetesan lilin (+) dan tanda Auspitz (+)
dengan bintik darah. Jika pada daerah lesi dilakukan garukan ditemukan
timbulnya fenomena Koebner atau reaksi isomorfik. Trauma fisik akibat
gesekan/garukan menimbulkan adanya fenomena koebner yang menjadi salah
satu ciri khas ujud kelainan kulit psoriasis. (Gambar 5). Penyakit ini memiliki
lesi yang khas berupa bercak (plak) eritem berbatas tegas berwarna salmon
merah muda (Gambar 6), ditutupi oleh skuama tebal berlapis berwarna putih
mengkilat (Griffiths et al., 2016)
Dalam rangka menghitung derajat keparahan psoriasis, klinisi bisa
menilai dengan berbagai metode pengukuran dan metode yang paling
direkomendasikan adalah dengan menggunakan skor PASI dengan syarat
setidaknya 3% dari luas permukaan tubuh harus dipengaruhi oleh penyakit
(Rodgers et al., 2011). Kalkulasi skor PASI mencakup 2 kriteria:
a. Penilaian luas area (Trunk, Upper Extrimity and Lower Extrimity) sesuai
dengan presentasi lesi dan
b. Derajat keparahan (eritema (E), infiltrasi (I), deskuamasi (D)) sesuai dengan
skala yang ditetapkan dari 0-4 (Oji & Luger., 2015).
6. Faktor Pencetus
Psoriasis dianggap sebagai penyakit autoimun, namun antigen
pemicunya hingga kini belum dapat diidentifikasi. Faktor predisposisi genetik
yang kompleks ditambah dengan faktor pemicu dari lingkungan dapat
menyebabkan timbulnya penyakit ini. Belakangan telah dilaporkan bahwa
fenomena genetik yang bertanggung jawab atas timbulnya psoriasis adalah
mutasi pada gen caspase recruitment domain 14 (CARD14) yang berfungsi
mengkode protein untuk fosforilasi BCL10, promotor apoptosis, dan
mengaktivasi NF-kB (Abdelnoor, 2013).
Faktor lingkungan yang dapat memicu psoriasis antara lain adalah
infeksi viral dan bakterial seperti HIV dan faringitis streptokokal. Trauma fisik
(respons Koebner), tingkat stres yang berlebihan, obesitas, serta konsumsi obat-
obatan seperti beta bloker, ACE inhibitor, lithium dan hidroksiklorokuin juga
telah diasosiasikan dengan timbulnya psoriasis (Nograles dkk., 2010;
Abdelnoor, 2013).
7. Patogenesis
Imunopatogenesis psoriasis sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai
perubahan pada sistem imun innate (keratinosit, sel dendritik, histiosit, neutrosit,
mastosit, sel endotel) dan sistem imun didapat (limfosit T). Aktivasi sel sistem
imun innate menghasilkan growth factor, sitokin dan kemokin yang berpengaruh
pada sistem imun didapat dan sebaliknya (Sanchez, 2010).
Pada fase awal, terjadi aktivasi sel-sel sistem imun innate (sel dendritik
dan keratinosit) oleh berbagai faktor lingkungan seperti trauma mekanis, infeksi,
obat-obatan maupun stres emosional. Keratinosit kemudian melepaskan sitokin
(IL-1 dan TNF-α) serta protein syok termis. Senyawa ini mengaktivasi sel
dendritik (sel langerhans dan sel dendritik residen) pada epidermis dan dermis.
Antigen agen infeksius yang berikatan dengan toll-like receptor pada DC
(dendritic cell) dan keratinosit juga dapat mengaktivasi sel-sel tersebut, yang
kemudian melepaskan berbagai mediator inflamasi (Sanchez, 2010).
Setelah inisiasi kaskade inflamasi, disregulasi jalur sinyal IL-23 dapat
memicu ekspansi dan aktivasi sel T tipe Th17 dan Th22 (Gambar 2.2). Efek
produk sitokin mereka, seperti halnya TNF dan IFN-γ pada keratinosit, dapat
menginduksi sirkuit inflamatori kompleks yang menstimulasi proliferasi
keratinosit, proliferasi vaskuler, dan akumulasi serta aktivasi leukosit lanjutan
pada lesi psoriasis. Variasi genetik pada lokus IL-4/IL-13 dapat menyebabkan
berkurangnya respons Th2 dan meningkatkan aktivitas Th17/Th1. Berkurangnya
efisiensi regulator negatif NF-κB, TNFAIP3 dan TNIP1 dapat mempertahankan
inflamasi yang diinisiasi oleh TNF, IL-1, ligasi TLR, dan IL-17 pada individu
yang rentan (Nograles dkk., 2010)
Adanya faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, obat,
sinar ultraviolet, stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap
psoriasis [PSORS1, late cornified envelope-3C1 (LCE3C1) dan, late cornified
envelope-3B (LCE3B), interleukin (IL)-23R, IL-23A, IL4/IL13] akan memicu
pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37. Komplek ini akan memicu sintesa
interferon-α (IFN-α) oleh sel dendritik plasmasitoid dan maturasi sel dendritik
myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur akan migrasi ke
limfonodi dan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan
ekspansi sel T naif menjadi sel T helper 1 atau Th1 (seperti IL-12), sel Th17
(seperti IL-6, tumor growth faktor- β1 atau TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (seperti
TNF-α, IL-6). Baik sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1(tumor necrosis faktor-
α atau TNF-α, IFN-γ, IL-21) dan Th17 ( IL-17A, IL-17F, IL-22, IL-21) akan
menstimulasi proliferasi keratinosit untuk memproduksi CCL20, suatu kemokin
atraktan yang mengekspresikan reseptor CCR6 dari sel dendritik dan sel T, yang
akan memicu proliferasi keratinosit. Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi
seperti IL-1β, IL-6 dan TNF-α yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel
dendritik dan ekspansi inflamasi lokal. Tumor necrosis faktor-α akan
menginduksi ekspresi molekul adhesi seperti intracelluler adhesion molecules-1
(ICAM-1) dan vascular endothelial growth faktor (VEGF) pada kulit, yang akan
mengatur lalu lintas sel. Selain itu TNF-α dapat meningkatkan ekspresi IL-8
yang merupakan salah satu anggota dari kemokin, dimana pada keratinosit
berperan meningkatkan infiltrasi sel T ke dalam epidermis. Secara singkat
pembentukan lesi psoriasis tipe plak melalui 3 langkah berbeda yaitu aktivasi sel
T, migrasi sel T ke dalam lesi kulit, pelepasan sitokin yang diaktivasi oleh sel T
pada kulit (Monteleone dkk.,2011).
Gambar 2.1 Patogenesis Psoriasis. Adanya faktor pencetus dari lingkungan akan
memicu pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37 (Monteleone dkk.,2011).
8. Gambaran Klinis
Lesi klasik psoriasis berbentuk plak eritematosa berbatas tegas,
meninggi, dengan permukaan yang dilapisi skuama keperakan (Gudjonsson dan
Elder, 2012). Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari papul pinpoint hingga plak
multipel yang menutupi sebagian besar tubuh. Dibawah skuama kulit pasien
tampak berwarna kemerahan mengkilat yang homogen dan ketika skuama
diangkat akan tampak titik perdarahan yang muncul karena trauma pada kapiler
yang dilatasi disebut tanda Auspitz (Gambar 2.5). Erupsi psoriasis biasanya
bersifat simetris, namun terkadang erupsi unilateral dapat dijumpai. Fenotipe
psoriatik yang berbeda-beda dapat muncul pada satu pasien yang sama
(Gudjonsson dan Elder, 2012)
Gambar 2.2 Gambaran Klinis
c. Pola Eliminasi
1) Sering berkeringat.
2) Tanyakan pola berkemih dan bowel.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi zat kimia, faktor
mekanik, faktor nutrisiditandai dengan kerusakan jaringan kulit (kulit bersisik,
turgor kulit buruk, pecah-pecah, bercak-bercak, gatal).
b. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik, penyakit, dan perseptual
ditandai dengan tidak percaya diri, minder, perasaan terisolasi, interaksi
berkurang.
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan
klien gelisah, ketakutan, gangguan tidur, sering berkeringat
4. Rencana Asuhan Keperawatan