Anda di halaman 1dari 26

A.

KONSEP KEPERAWATAN GERONTIK


1. DEFINISI GERIATRI
Istilah geriatri pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher pada
tahun 1909. Namun ilmu geriatri sendiri, baru berkembang pada tahun 1935.
Pada saat itulah diterapkan penatalaksanaan terpadu terhadap penderita-
penderita lanjut usia (lansia) dilengkapi dengan latihan jasmani dan rohani
(Martono dan Pranarka, 2010). Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang
berusia lebih dari 60 tahun serta mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan
gejalanya tidak khas, daya cadangan faali menurun, dan biasanya disertai
gangguan fungsional. Penderita geriatri berbeda dengan penderita dewasa muda
lainnya, baik dari segi konsep kesehatan maupun segi penyebab, perjalanan,
maupun gejala dan tanda penyakitnya sehingga, tatacara diagnosis pada
penderita geriatri berbeda dengan populasi lainnya (Kushariyadi, 2010).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang
dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar
cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai
penyakit dan kematian (Juwita, 2013).
Lansia atau usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus kehidupan
manusia dan hal tersebut merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak
dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu (Prasetya, 2010). Tahap
usia lanjut menurut teori Erik Erikson tahun 1963 merupakan tahap integrity
versus despair, yakni individu yang sukses dalam melampauin tahap ini akan
dapat mencapai integritas diri (integrity), lanjut usia menerima berbagai
perubahan yang terjadi dengan tulus, mampu beradaptasi dengan keterbatasan
yang dimilikinya, bertambah bijak menyikapi proses kehidupan yang
dialaminya. Sebaliknya mereka yang gagal maka akan melewati tahap ini
dengan keputusasaan (despair), lanjut usia mengalami kondisi penuh stres, rasa
penolakan, marah dan putus asa terhadap kenyataan yang dihadapinya

2. Batasan Usia
Penduduk Lansia atau lanjut usia menurut UU kesejahteraan lansia
No.13 tahun 1998 adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya
berkisar antara 60-65 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
a. usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun,
b. lanjut usia (elderly) 60-74 tahun,
c. lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan
d. usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

Menurut KEMENKES RI (2013), batasan lansia terbagi dalam empat


kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan
usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara
45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki
usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun
keatas dan usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih
dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di
panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Di Indonesia, batasan lanjut usia
adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 43
tahun 2004

3. proses menua
Menurut Nugroho (2010), penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat
dihindarkan. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menhilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.  Menurut Constantinides
(1994) dalam (Darmojo dan Mastono, 2011) proses menua yang terjadi pada
lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap  yaitu, kelemahan
(impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan
(disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersama dengan
proses kemunduran. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lanjut usia
(Nusi Ferani dkk, 2010).
Menjadi tua (menua) adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang tidak hanya
dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui
tahap-tahap kehidupannya, yaitu neonatus, toddler, pra school, school, remaja,
dewasa dan lansia. Tahap berbeda ini di mulai baik baik secara biologis maupun
psikologis (Padila, 2013).

4. Teori proses menua


Berbagai penelitian eksperimental dibidang gerontologi dasar selama 20
tahun terakhir ini berhasil memunculkan teori baru mengenai proses menua.
Beberapa teori tentang penuaan yang dapat diterima saat ini, antara lain :
a. Teori biologis proses penuaan
1) Teori radikal bebas
Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh Denham
Harman pada tahun 1956, yang menyatakan bahwa proses menua adalah
proses yang normal, merupakan akibat kerusakan jaringan oleh radikal
bebas (Setiati et al., 2010).
Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak
berpasangan. Karena
elektronnya tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan
mencari pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan substansi lain
terutama protein dan lemak tidak jenuh. Sebagai contoh, karena
membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi dengan
radikal bebas sehingga membran sel mengalami perubahan. Akibat
perubahan pada struktur membran tersebut membran sel menjadi lebih
permeabel terhadap beberapa substansi dan memungkinkan substansi
tersebut melewati membran secara bebas. Struktur didalam sel seperti
mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh membran yang
mengandung lemak, sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas
(Setiati et al., 2010). Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan
radikal bebas berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri,
namun antioksidan tersebut tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan
akibat radikal bebas tersebut (Setiati et al., 2010).
2) Teori imunologis
Menurut Potter dan Perry (2006) dalam (Marta, 2012) penurunan
atau perubahan dalam keefektifan sistem imun berperan dalam penuaan.
Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan proteinnya sendiri
dengan protein asing sehingga sistem imun menyerang dan
menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat
secara bertahap. Disfungsi sistem imun ini menjadi faktor dalam
perkembangan penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan penyakit
kardiovaskular, serta infeksi.
3) Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka
menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju perbaikan (repair)
kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar ultraviolet (UV) pada berbagai
fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang mempunyai umur
maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar dan
korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata
(Setiati et al., 2010)
4) Teori genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di
pengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada
pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika adalah suatu proses
yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu
mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain, perubahan
rentang hidup dan panjang usia ditentukan sebelumnya (Stanley &
Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
5) Teori wear-and-tear
Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintensis
DNA, sehingga mendorong malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini
percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu
jadwal. Sebagai contoh adalah radikal bebas, radikal bebas dengan cepat
dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal (Stanley
& Beare, 2006 dalam Putri, 2013).

b. Teori psikososial proses penuaan


1) Teori disengagment
Teori disengagment (teori pemutusan hubungan),
menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran masyarakat
dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi,
sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari
masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila
kontak sosial berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi
lebih muda (Stanley & Beare, 2006 dalam Putri, 2013)
2) Teori aktivitas
Teori ini menegaskan bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah
penting untuk keberhasilan penuaan. Menurut Lemon et al (1972) dalam
(Marta, 2012) orang tua yang aktif secara sosial lebih cendrung
menyesuaikan diri terhadap penuaan dengan baik.

5. Peran dan fungsi perawat gerontik


a. Peran perawat
Peran perawat gerontik secara garis besar dapat digolongkan menjadi
dua macam, yaitu peran secara umum dan peran spesialis. Peran secara
umum yaitu pada berbagai setting, seperti rumah sakit, rumah, nursing
home, komunitas, dengan menyediakan perawatan kepada individu dan
keluarganya (Hess, Touhy, & Jett, 2015). Perawat bekerja di berbagai
macam bentuk pelayanan dan bekerja sama dengan para ahli dalam
perawatan klien mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Peran secara
spesialis terbagi menjadi dua macam yaitu perawat gerontik spesialis
klinis/gerontological clinical nurse specialist (CNS) dan perawat gerontik
pelaksana/geriatric nurse practitioner (GNP).
Peran CNS yaitu perawat klinis secara langsung, pendidik, manajer
perawat, advokat, manajemen kasus, dan peneliti dalam perencanaan
perawatan atau meningkatkan kualitas perawatan bagi klien lansia dan
keluarganya pada setting rumah sakit, fasilitas perawatan jangka
panjang, outreach programs, dan independent consultant. Sedangkan peran
GNP yaitu memenuhi kebutuhan klien pada daerah pedalaman; melakukan
intervensi untuk promosi kesehatan, mempertahankan, dan mengembalikan
status kesehatan klien; manajemen kasus, dan advokat pada setting klinik
ambulatori, fasilitas jangka panjang, dan independent practice. Hal ini
sedikit berbeda dengan peran perawat gerontik spesialis klinis. Perawat
gerontik spesialis klinis memiliki peran, diantaranya:
1) Provider of care
Perawat klinis melakukan perawatan langsung kepada klien, baik di
rumah sakit dengan kondisi akut, rumah perawatan, dan fasilitas
perawatan jangka panjang. Lansia biasanya memiliki gejala yang tidak
lazim yang membuat rumit diagnose dan perawatannya. Maka perawat
klinis perlu memahami tentang proses penyakit dan sindrom yang
biasanya muncul di usia lanjut termasuk faktor resiko, tanda dan gejala,
terapi medikasi, rehabilitasi, dan perawatan di akhir hidup.
2) Peneliti
Level yang sesuai untuk melakukan penelitian adalah level S2 atau
baccalaureate level. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas perawatan
klien dengan metode evidence based practice. Penelitian dilakukan
dengan mengikuti literature terbaru, membacanya, dan mempraktekkan
penelitian yang dapat dipercaya dan valid. Sedangkan perawat yang
berada pada level undergraduate degrees dapat ikut serta dalam
penelitian seperti membantu melakukan pengumpulan data.
3) Manajer Perawat                
Manajer perawat harus memiliki keahlian dalam kepemimpinan,
manajemen waktu, membangun hubungan, komunikasi, dan mengatasi
perubahan. Sebagai konsultan dan sebagai role model bagi staf perawat
dan memiliki jiwa kepemimpinan dalam mengembangkan dan
melaksanakan program perawatan khusus dan protokol untuk orang tua
di rumah sakit. Perawat gerontik berfokus pada peningkatan kualitas
perawatan dan kualitas hidup yang mendorong perawat menerapkan
perubahan inovatif dalam pemberian asuhan keperawatan di panti jompo
dan setting perawatan jangka panjang lainnya.
4) Advokat
Perawat membantu lansia dalam mengatasi adanya ageism yang sering
terjadi di masyarakat. Ageism adalah diskriminasi atau perlakuan tidak
adil berdasarkan umur seseorang. Seringkali para lansia mendapat
perlakuan yang tidak adil atau tidak adanya kesetaraan terhadap berbagai
layanan masyarakat termasuk pada layanan kesehatan. Namun, perawat
gerontology harus ingat bahwa menjadi advokat tidak berarti membuat
keputusan untuk lansia, tetapi member kekuatan mereka untuk tetap
mandiri dan menjaga martabat, meskipun di dalam situasi yang sulit.
5) Edukator
Perawat harus mengambil peran pengajaran kepada lansia, terutama
sehubungan dengan modifikasi dalam gaya hidup untuk mengatasi
konsekuensi dari gejala atipikal yang menyertai usia tua. Perawat harus
mengajari para lansia tentang pentingnya pemeliharaan berat badan,
keterlibatan beberapa jenis kegiatan fisik seperti latihan dan manajemen
stres untuk menghadapi usia tua dengan kegembiraan dan kebahagiaan.
Perawat juga harus mendidik lansia tentang cara dan sarana untuk
mengurangi risiko penyakit seperti serangan jantung, stroke, diabetes,
alzheimer, dementia, bahkan kanker.
6) Motivator
Perawat memberikan dukungan kepada lansia untuk memperoleh
kesehatan optimal, memelihara kesehatan, menerima kondisinya. Perawat
juga berperan sebagai inovator  yakni dengan mengembangkan strategi
untuk mempromosikan keperawatan gerontik serta melakukan riset/
penelitian untuk mengembangkan praktik keperawatan gerontik.
7)  Manajer kasus
Manajemen kasus adalah metode intervensi lain yang dapat mengurangi
penurunan fungsional klien lansia berisiko tinggi dirawat di rumah sakit.
Umumnya, manajemen kasus disediakan bagi klien yang mendapatkan
berbagai perawatan yang berbeda.

b. Fungsi perawat gerontik


Perawat memiliki banyak fungsi dalam memberikan pelayanan prima dalam
bidang gerontik. Menurut Eliopoulus (2015), fungsi dari perawat
gerontologi adalah :
1) Guide persons of all ages toward a healthy aging process (membimbing
orang pada segala usia untuk mencapai masa tua yang sehat)
2) Eliminate ageism (menghilangkan perasaan takut tua)
3) Respect the tight of older adults and ensure other do the
same (menghormati hak orang yang lebih tua dan memastikan yang lain
melakukan  hal yang sama)
4) Overse and promote the quality of service delivery (memantau dan
mendorong kualitas pelayanan)
5) Notice and reduce risks to health and well being (memerhatikan serta
menguragi resiko terhadap kesehatan dan kesejahteraan)
6) Teach and support caregives (mendidik dan mendorong pemberi
pelayanan kesehatan)
7) Open channels for continued growth (membuka kesempatan untuk
pertumbuhan selanjutnya)
8) Listen and support (mendengarkan dan member dukungan)
9) Offer optimism, encouragement and hope (memberikan semangat,
dukungan, dan harapan)
10) Generate, support, use, and participate in research (menghasilkan,
mendukung, menggunakan, dan berpartisipasi dalam penelitian)
11) Implement restorative and rehabilitative measures (melakukan perawatan
restorative dan rehabilitative)
12) Coordinate and managed care (mengoordinasi dan mengatur perawatan)
13) Asses, plan, implement, and evaluate care in an individualized, holistic
maner (mengkaji, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
perawatan individu dan perawatan secara menyeluruh)
14) Link service with needs (memberikan pelayanan sesuai kebutuhan)
15) Nurtuere futue gerontological nurses for advancement of the
speciality (membangun masa depan perawat gerontik untuk menjadi ahli
dibidangnya)
16) Understand the unique physical, emotical, social, spiritual aspect of
each other (saling memahami keunikan pada aspek fisik, emosi, social,
dan spiritual)
17) Recognize and encourage the appropriate management of
ethical concern (mengenal dan mendukung manajemen etika yang sesuai
dengan tempatnya bekerja)
18) Support and comfort through the dying process (memberikan dukungan
dan kenyamanan dalam menghadapi proses kematian)
19) Educate to promote self care and optimal independence (mengajarkan
untuk meningkatkan perawatan mandiri dan kebebasan yang optimal)

B. TEORI KONSEP PENYAKIT PADA SISTEM INTEGUMEN PSORIASIS


1. Definisi
Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronis dengan
karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis, dan
berwarna putih keperakan (Gudjonsson dan Elder, 2012). Penyakit ini bersifat
kronis dan rekuren, dimana pasien akan terus mengalami periode remisi dan
eksaserbasi secara bergantian (Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Psoriasis
dikenal sebagai penyakit autoimun paling prevalen yang disebabkan oleh
aktivasi berlebihan dari sistem imunitas seluler (Krueger dan Bowcock, 2014).
2. Klasifikasi
Menurut Raychauduri dkk (2014) secara umum psoriasis diklasifikasikan dalam
2 kategori:
a. Sesuai fenotip : psoriasis gutata, inversa, plak/vulgaris, eksudatif, seboroik,
pustulosa dan eritroderma psoriatika.
b. Sesuai lokasi anatomi : scalp psoriasis, psoriasis fleksural, psoriasis
palmoplantar, psoriasis kuku dan psoriasis genital.

Dalam penelitian mengenai subtipe psoriasis, Zangeneh & Shooshtary (2013)


mengemukakan psoriasis tipe plak dibagi juga berdasarkan waktu dan predileksi
anatomis :

a. Berdasarkan waktu: Psoriasis tipe plak kronis merupakan bentuk yang paling
sering digunakan dalam uji klinis karena tingkat objektivitas yang tinggi.
Bentuk ini merepresentasikan 70-80% penderita psoriasis. Pada satu pasien
psoriasis dapat ditemukan bentuk lesi jenis psoriasis lain secara bersamaan
dalam satu area yang sama.
b. Berdasarkan predileksi anatomis: Psoriasis tipe plak paling sering ditemukan
pada daerah lipatan kulit (fleksular/intertriginosa) seperti: inguinal, aksila,
glandula mammae. Hal tersebut sangat rentan akan terjadinya iritasi karena
gesekan dan keringat. Sebopsoriasis, biasa terjadi bersamaan dengan psoriasis
plak. Psoriasis seboroik sering ditemukan di daerah lipatan hidung dengan
karakteristik khas lesi tipis, eritem, dengan gambaran seperti sisik. Scalp/kulit
kepala merupakan situs awal manifestasi psoriasis. Tempat-tempat predileksi
lain yang terkena adalah postaurikular dan oksiput. Psoriasis palmoplantar
25% ditemukan membersamai kejadian psoriasis tipe plak namun memiliki
demografi perempuan lebih besar dari pria.

3. Etiologi
Penyebab psoriasis sampai saat ini belum diketahui.Diduga penyakit ini
diwariskan secara poligenik. Walaupun sebagian besar penderita psoriasis timbul
secara spontan, namun pada beberapa penderita dijumpai adanya faktor pencetus
antara lain:
a. Trauma
Psoriasis pertama kali timbul pada tempat-tempat yang terkena trauma,
garukan, luka bekas operasi, bekas vaksinasi, dan sebagainya.Kemungkinan
hal ini merupakan mekanisme fenomena Koebner.Khas pada psoriasis timbul
setelah 7-14 hari terjadinya trauma.
b. Infeksi
Pada anak-anak terutama infeksi Streptokokus hemolitikus sering
menyebabkan psoriasis gutata. Psoriasis juga timbul setelah infeksi kuman
lain dan infeksi virus tertentu, namun menghilang setelah infeksinya sembuh 
c. Iklim
Beberapa kasus cenderung menyembuh pada musim panas, sedangkan pada
musim penghujan akan kambuh.
d. Faktor endokrin
Insiden tertinggi pada masa pubertas dan menopause.Psoriasis cenderung
membaik selama kehamilan dan kambuh serta resisten terhadap pengobatan
setelah melahirkan.Kadang-kadang psoriasis pustulosa generalisata timbul
pada waktu hamil dan setelah pengobatan progesteron dosis tinggi.
e. Sinar matahari
Walaupun umumnya sinar matahari bermanfaat bagi penderita psoriasis
namun pada beberapa penderita sinar matahari yang kuat dapat merangsang
timbulnya psoriasis.Pengobatan fotokimia mempunyai efek yang serupa pada
beberapa penderita.
f. Metabolik
Hipokalsemia dapat menimbulkan psoriasis.
g. Obat-obatan
Antimalaria seperti mepakrin dan klorokuin kadang-kadang dapat
memperberat psoriasis, bahkan dapat menyebabkan eritrodermia.
h. Pengobatan dengan kortikosteroid topikal atau sistemik dosis tinggi dapat
menimbulkan efek “withdrawal”.
i. Lithium yang dipakai pada pengobatan penderita mania dan depresi telah
diakui sebagai pencetus psoriasis.
j. Alkohol dalam jumlah besar diduga dapat memperburuk psoriasis.
k. Hipersensitivitas terhadap nistatin, yodium, salisilat dan progesteron dapat
menimbulkan psoriasis pustulosa generalisata.
l. Berdasarkan penelitian para dokter, ada beberapa hal yang diperkirakan dapat
memicu timbulnya Psoriasis, antara lain adalah :
1) Garukan/gesekan dan tekanan yang berulang-ulang , misalnya pada saat
gatal digaruk terlalu kuat atau penekanan anggota tubuh terlalu sering
pada saat beraktivitas. Bila Psoriasis sudah muncul dan kemudian
digaruk/dikorek, maka akan mengakibatkan kulit bertambah tebal.
2) Obat telan tertentu antara lain obat anti hipertensi dan antibiotik. 
3) Mengoleskan obat terlalu keras bagi kulit.
4) Emosi tak terkendali.
5) Makanan berkalori sangat tinggi sehingga badan terasa panas dan kulit
menjadi merah , misalnya mengandung alcohol.

4. Epidemiologi
Psoriasis menyerang sekitar 2% - 3% populasi dunia, dimana laki-laki
dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang sama besar (Kuchekar
dkk.,2011; Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Ras Asia memiliki angka
prevalensi psoriasis yang cukup rendah yakni sekitar 0,4%. Penelitian yang
menginvestigasi prevalensi psoriasis antara ras African-American dibanding ras
white-American menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (1,3% vs.
2,5%). Psoriasis jarang muncul pada usia dibawah 10 tahun dan usia puncaknya
adalah sekitar 15 – 30 tahun (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan karena adanya
kemungkinan terkena psoriatis artritis dan berbagai penyakit sistemik lainnya
(Mak dkk., 2010). Sekitar 10% - 30% pasien psoriasis berisiko terkena psoriasis
artritis (Krueger dan Bowcock, 2014). Selain risiko morbiditas yang meningkat,
pasien dengan derajat keparahan tinggi juga berisiko untuk mengalami
peningkatan mortalitas, dimana pasien psoriasis diteliti meninggal lebih cepat
yaitu laki-laki 3,5 tahun dan wanita 4,4 tahun dibanding subjek yang sehat (Mak
dkk., 2010). Studi longitudinal menunjukkan remisi spontan dapat terjadi pada
sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan frekuensi yang bervariasi (Gudjonsson
dan Elder, 2012)
5. Manifestasi Klinis
Dilaporkan 80% pasien psoriasis mengalami pruritus dan sebagian besar
terjadi pada malam hari. Jika tidak segera ditangani pruritus akan meluas pada
area non plak psoriatik dan kurang responsif terhadap antipruritik. Gatal yang
ditimbulkan oleh psoriasis sering menyebabkan adanya gangguan tidur, semakin
digaruk biasanya pasien akan mengalami bangun dari tidurnya yang berakibat
kurang tidur sehingga menyebabkan performa kegiatan aktivitas di siang hari
pun menurun. Pada pasien wanita gatal ditemukan lebih sering membawa kearah
manifestasi klinis lain seperti gangguan kecemasan dan depresi. Pasien psoriasis
diharapkan mendapat dukungan sosial penuh dari sekitarnya agar tidak
menimbulkan komorbid lain (Barbara et al., 2016)
Ujud kelainan kulit psoriasis berupa lesi tipikal plak eritematosa
(Gambar 4), dengan ukuran bervariasi dari millier sampai numular dengan
gambaran yang beraneka ragam seperti, arsinar/anular (lingkaran), sirsinar
(bulan sabit), polisiklik (bulat bersatu), atau geografis (seperti peta). Makula
berbatas tegas, dikelilingi oleh skuama kasar berwarna putih mengkilat. Jika
skuama digores akan menunjukkan tanda tetesan lilin (+) dan tanda Auspitz (+)
dengan bintik darah. Jika pada daerah lesi dilakukan garukan ditemukan
timbulnya fenomena Koebner atau reaksi isomorfik. Trauma fisik akibat
gesekan/garukan menimbulkan adanya fenomena koebner yang menjadi salah
satu ciri khas ujud kelainan kulit psoriasis. (Gambar 5). Penyakit ini memiliki
lesi yang khas berupa bercak (plak) eritem berbatas tegas berwarna salmon
merah muda (Gambar 6), ditutupi oleh skuama tebal berlapis berwarna putih
mengkilat (Griffiths et al., 2016)
Dalam rangka menghitung derajat keparahan psoriasis, klinisi bisa
menilai dengan berbagai metode pengukuran dan metode yang paling
direkomendasikan adalah dengan menggunakan skor PASI dengan syarat
setidaknya 3% dari luas permukaan tubuh harus dipengaruhi oleh penyakit
(Rodgers et al., 2011). Kalkulasi skor PASI mencakup 2 kriteria:
a. Penilaian luas area (Trunk, Upper Extrimity and Lower Extrimity) sesuai
dengan presentasi lesi dan
b. Derajat keparahan (eritema (E), infiltrasi (I), deskuamasi (D)) sesuai dengan
skala yang ditetapkan dari 0-4 (Oji & Luger., 2015).

6. Faktor Pencetus
Psoriasis dianggap sebagai penyakit autoimun, namun antigen
pemicunya hingga kini belum dapat diidentifikasi. Faktor predisposisi genetik
yang kompleks ditambah dengan faktor pemicu dari lingkungan dapat
menyebabkan timbulnya penyakit ini. Belakangan telah dilaporkan bahwa
fenomena genetik yang bertanggung jawab atas timbulnya psoriasis adalah
mutasi pada gen caspase recruitment domain 14 (CARD14) yang berfungsi
mengkode protein untuk fosforilasi BCL10, promotor apoptosis, dan
mengaktivasi NF-kB (Abdelnoor, 2013).
Faktor lingkungan yang dapat memicu psoriasis antara lain adalah
infeksi viral dan bakterial seperti HIV dan faringitis streptokokal. Trauma fisik
(respons Koebner), tingkat stres yang berlebihan, obesitas, serta konsumsi obat-
obatan seperti beta bloker, ACE inhibitor, lithium dan hidroksiklorokuin juga
telah diasosiasikan dengan timbulnya psoriasis (Nograles dkk., 2010;
Abdelnoor, 2013).

7. Patogenesis
Imunopatogenesis psoriasis sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai
perubahan pada sistem imun innate (keratinosit, sel dendritik, histiosit, neutrosit,
mastosit, sel endotel) dan sistem imun didapat (limfosit T). Aktivasi sel sistem
imun innate menghasilkan growth factor, sitokin dan kemokin yang berpengaruh
pada sistem imun didapat dan sebaliknya (Sanchez, 2010).
Pada fase awal, terjadi aktivasi sel-sel sistem imun innate (sel dendritik
dan keratinosit) oleh berbagai faktor lingkungan seperti trauma mekanis, infeksi,
obat-obatan maupun stres emosional. Keratinosit kemudian melepaskan sitokin
(IL-1 dan TNF-α) serta protein syok termis. Senyawa ini mengaktivasi sel
dendritik (sel langerhans dan sel dendritik residen) pada epidermis dan dermis.
Antigen agen infeksius yang berikatan dengan toll-like receptor pada DC
(dendritic cell) dan keratinosit juga dapat mengaktivasi sel-sel tersebut, yang
kemudian melepaskan berbagai mediator inflamasi (Sanchez, 2010).
Setelah inisiasi kaskade inflamasi, disregulasi jalur sinyal IL-23 dapat
memicu ekspansi dan aktivasi sel T tipe Th17 dan Th22 (Gambar 2.2). Efek
produk sitokin mereka, seperti halnya TNF dan IFN-γ pada keratinosit, dapat
menginduksi sirkuit inflamatori kompleks yang menstimulasi proliferasi
keratinosit, proliferasi vaskuler, dan akumulasi serta aktivasi leukosit lanjutan
pada lesi psoriasis. Variasi genetik pada lokus IL-4/IL-13 dapat menyebabkan
berkurangnya respons Th2 dan meningkatkan aktivitas Th17/Th1. Berkurangnya
efisiensi regulator negatif NF-κB, TNFAIP3 dan TNIP1 dapat mempertahankan
inflamasi yang diinisiasi oleh TNF, IL-1, ligasi TLR, dan IL-17 pada individu
yang rentan (Nograles dkk., 2010)
Adanya faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, obat,
sinar ultraviolet, stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap
psoriasis [PSORS1, late cornified envelope-3C1 (LCE3C1) dan, late cornified
envelope-3B (LCE3B), interleukin (IL)-23R, IL-23A, IL4/IL13] akan memicu
pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37. Komplek ini akan memicu sintesa
interferon-α (IFN-α) oleh sel dendritik plasmasitoid dan maturasi sel dendritik
myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur akan migrasi ke
limfonodi dan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan
ekspansi sel T naif menjadi sel T helper 1 atau Th1 (seperti IL-12), sel Th17
(seperti IL-6, tumor growth faktor- β1 atau TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (seperti
TNF-α, IL-6). Baik sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1(tumor necrosis faktor-
α atau TNF-α, IFN-γ, IL-21) dan Th17 ( IL-17A, IL-17F, IL-22, IL-21) akan
menstimulasi proliferasi keratinosit untuk memproduksi CCL20, suatu kemokin
atraktan yang mengekspresikan reseptor CCR6 dari sel dendritik dan sel T, yang
akan memicu proliferasi keratinosit. Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi
seperti IL-1β, IL-6 dan TNF-α yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel
dendritik dan ekspansi inflamasi lokal. Tumor necrosis faktor-α akan
menginduksi ekspresi molekul adhesi seperti intracelluler adhesion molecules-1
(ICAM-1) dan vascular endothelial growth faktor (VEGF) pada kulit, yang akan
mengatur lalu lintas sel. Selain itu TNF-α dapat meningkatkan ekspresi IL-8
yang merupakan salah satu anggota dari kemokin, dimana pada keratinosit
berperan meningkatkan infiltrasi sel T ke dalam epidermis. Secara singkat
pembentukan lesi psoriasis tipe plak melalui 3 langkah berbeda yaitu aktivasi sel
T, migrasi sel T ke dalam lesi kulit, pelepasan sitokin yang diaktivasi oleh sel T
pada kulit (Monteleone dkk.,2011).

Gambar 2.1 Patogenesis Psoriasis. Adanya faktor pencetus dari lingkungan akan
memicu pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37 (Monteleone dkk.,2011).

8. Gambaran Klinis
Lesi klasik psoriasis berbentuk plak eritematosa berbatas tegas,
meninggi, dengan permukaan yang dilapisi skuama keperakan (Gudjonsson dan
Elder, 2012). Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari papul pinpoint hingga plak
multipel yang menutupi sebagian besar tubuh. Dibawah skuama kulit pasien
tampak berwarna kemerahan mengkilat yang homogen dan ketika skuama
diangkat akan tampak titik perdarahan yang muncul karena trauma pada kapiler
yang dilatasi disebut tanda Auspitz (Gambar 2.5). Erupsi psoriasis biasanya
bersifat simetris, namun terkadang erupsi unilateral dapat dijumpai. Fenotipe
psoriatik yang berbeda-beda dapat muncul pada satu pasien yang sama
(Gudjonsson dan Elder, 2012)
Gambar 2.2 Gambaran Klinis

Fenomena Koebner (dikenal pula dengan sebutan respons isomorfik)


adalah induksi psoriasis secara traumatik pada kulit non-lesional (Gambar 2.5).
Fenomena ini sering muncul pada periode eksaserbasi dan selalu mengenai
lokasi trauma atau tidak sama sekali (all-or-none phenomenon). Reaksi Koebner
biasanya muncul 7-14 hari setelah trauma dan sekitar 25% pasien pasti pernah
mengalami reaksi ini, yang meningkat menjadi 76% jika ada faktor pemicu
tambahan seperti stres emosional, infeksi, dan reaksi akibat obat. Fenomena
Koebner tidak spesifik untuk psoriasis, namun dapat menjadi petunjuk yang
berguna dalam mendiagnosis psoriasis (Sanchez, 2010)
Psoriasis memiliki manifestasi klinis yang bervariasi. Bentuk yang umum
dijumpai yang disebut “plak psoriasis vulgaris” yang ditemui pada lebih dari
80% pasien dan ditandai oleh plak eritematosa berskuama, yang berlokasi di
siku, lutut, kulit kepala, dan pantat. Ukuran plak bervariasi, mulai dari lesi
minimal hingga melibatkan hampir seluruh permukaan kulit. Psoriasis dapat
menyebabkan morbiditas dan pengurangan kualitas hidup yang signifikan, yang
umumnya disebabkan oleh eksaserbasi klinis dan lesi yang parah pada area kulit
yang tidak tertutup, manifestasi sistemik, serta efek samping obat (Monteleone
dkk., 2011).
Luasnya daerah yang terlibat bervariasi antara satu pasien dengan
lainnya. Kelainan kuku ditemukan pada 40-50 persen kasus dan jarang dijumpai
jika tidak ada penyakit kulit di tempat lain. Kelainan kuku paling sering berupa
pitting nail yaitu cekungan bervariasi mulai dari 0,5-2,0 mm, dapat tunggal atau
multipel dan lebih sering mengenai jari-jari tangan dibanding kaki. Selain pitting
nail, kelainan pada kuku yang jarang dijumpai adalah onikolisis, perubahan
warna, penebalan kuku dan distrofi (Langley dan Ellis, 2014)
Psoriasis gutata (dari kata latin gutta yang berarti tetes) ditandai dengan
erupsi berupa papul kecil dengan ukuran diameter 0,5-1,5 cm pada badan bagian
atas dan ekstremitas bagian proksimal. Biasanya muncul pada usia muda dan
sering dijumpai pada orang dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki
hubungan yang paling kuat dengan HLA-Cw6 dan adanya infeksi streptokokus
pada tenggorokan sering kali mendahului atau bersamaan dengan terjadinya
psoriasis gutata. Meksipun begitu, pengobatan antibiotik tidak memberikan
manfaat maupun memperpendek masa erupsi. Pasien dengan riwayat psoriasis
plak kronis dapat timbul lesi gutata, dengan atau tanpa memperburuk kondisi
dari lesi plak kronis yang yang sudah ada. Psoriasis gutata akut biasanya sembuh
dengan sendirinya, membaik dalam 3 sampai 4 bulan. Suatu studi menyatakan
bahwa hanya sepertiga individu dengan psoriasis gutata berkembang menjadi
plak psoriasis klasik (Raychaudhuri dan Farber, 2000; Camisa, 2014)
Psoriasis inversa (fleksural) yaitu lesi psoriasis dapat muncul pada daerah
lipatan kulit seperti aksila, regio genito-krural, serta leher. Skuama yang ada
lebih minimal atau tidak ada. Lesi berupa eritema batas tegas dan mengkilap
yang elalu terletak pada daerah yang memiliki kontak kulit dengan kulit. Proses
berkeringat terganggu pada daerah yang terkena (Griffiths dan Barker, 2010)
Psoriasis eritroderma menunjukkan gambaran klinis berupa erupsi yang
meluas hingga seluruh tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan, serta
ekstremitas. Walaupun semua gejala psoriasis dapat muncul namun gambaran
klinis yang ada didominasi oleh eritema. Skuama yang muncul berbeda dengan
skuama pada psoriasis plak kronis. Yang tampak hanya skuama superfisial
bukan skuama yang putih dan tebal. Pasien dengan psoriasis eritroderma ini
kehilangan panas berlebihan akibat vasodilatasi generalisata dan dapat
menyebabkan hipotermi. Pasien menggigil sebagai usaha untuk meningkatkan
temperatur tubuh. Kulit penderita psoriasis seringkali hipohidrotik akibat
sumbatan kelenjar keringat dan sangat berisiko mengalami hipertemi saat udara
panas. Edema pada ekstremitas bawah sering dijumpai sebagai akibat
vasodilatasi dan hilangnya protein dari pembuluh darah ke jaringan (Langley
dan Ellis, 2014).
Psoriasis pustulosa juga merupakan erupsi psoriasis akut. Pasien
mengeluh panas badan, pustul kecil steril monomorfik, nyeri dan sering dipicu
oleh infeksi kambuhan atau penghentian mendadak dari steroid topikal
superpoten atau sistemik. Hal ini dapat terlokalisir pada telapak tangan maupun
kaki (psoriasis palmoplantar) atau dapat menyeluruh dan berpotensi mengancam
nyawa (Sanzhes, 2010).
Sebopsoriasis mempunyai gambaran klinis berupa plak eritema dengan
skuama yang berminyak lokalisata di daerah seboroik seperti kepala, glabela,
lipatan nasolabial, perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Bila
tidak dijumpai lesi psoriasis di tempat lain maka sulit untuk kita
membedakannya dengan dermatitis seboroik. Sebopsoriasis digambarkan
sebagai modifikasi dermatitis seboroik dengan didasari oleh faktor genetika
psoriasis dan relatif resisten terhadap pengobatan. Walaupun peran etiologi
Pityrosporum masih belum terbukti namun pemberian preparat jamur dapat
bermanfaat juga (Gudjonsson dan Elder, 2012)
Psoriasis artropati adalah komplikasi dari psoriasis yang terjadi pada 5-
10% pasien dan dapat juga terjadi pada pasien tanpa manifestasi kulit psoriasis.
Manifestasi yang paling sering adalah artritis dengan gejala yang sama dengan
rheumatoid arthritis. Gejala yang patognomonik adalah artritis pada sendi
interfalangeal dari tangan. Kadang monoartritis dan poliartritis dari sendi besar
dapat terjadi. Pasien dengan psoriasis artropati, peningkatan frekuensi dari
HLAB27 dan HLA-Bw38 telah ditemukan (Kimura dan Esumi, 2013).
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PSORIASIS
1. Pengkajian
a. Pola Persepsi Kesehatan
1) Adanya riwayat infeksi sebelumya.
2) Pengobatan sebelumnya tidak berhasil.
3) Riwayat mengonsumsi obat-obatan tertentu, mis., vitamin; jamu.
4) Adakah konsultasi rutin ke Dokter.
5) Hygiene personal yang kurang.
6) Lingkungan yang kurang sehat, tinggal berdesak-desakan.

b. Pola Nutrisi Metabolik


1) Pola makan sehari-hari: jumlah makanan, waktu makan, berapa kali
sehari makan.
2) Kebiasaan mengonsumsi makanan tertentu: berminyak, pedas.
3) Jenis makanan yang disukai.
4) Nafsu makan menurun.
5) Muntah-muntah.
6) Penurunan berat badan.
7) Turgor kulit buruk, kering, bersisik, pecah-pecah, benjolan.
8) Perubahan warna kulit, terdapat bercak-bercak, gatal-gatal, rasa terbakar
atau perih

c. Pola Eliminasi
1) Sering berkeringat.
2) Tanyakan pola berkemih dan bowel.

d. Pola Aktivitas dan Latihan


1) Pemenuhan sehari-hari terganggu
2) Kelemahan umum, malaise.
3) Toleransi terhadap aktivitas rendah.
4) Mudah berkeringat saat melakukan aktivitas ringan.
5) Perubahan pola napas saat melakukan aktivitas.
e. Pola Tidur dan Istirahat
1) Kesulitan tidur pada malam hari karena stres.
2) Mimpi buruk.

f. Pola Persepsi dan Konsep Diri


1) Perasaan tidak percaya diri atau minder.
2) Perasaan terisolasi.

g. Pola Reproduksi Seksualitas


1) Gangguan pemenuhan kebutuhan biologis dengan pasangan.
2) Penggunaan obat KB mempengaruhi hormon.

h. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress


1) Emosi tidak stabil
2) Ansietas, takut akan penyakitnya
3) Disorientasi, gelisah

i. Pola Sistem Kepercayaan


1) Perubahan dalam diri klien dalam melakukan ibadah
2) Agama yang dianut

j. Pola Persepsi Kognitif


1) Perubahan dalam konsentrasi dan daya ingat.
2) Pengetahuan akan penyakitnya.

k. Pola Hubungan dengan Sesama


1) Hidup sendiri atau berkeluarga
2) Frekuensi interaksi berkurang
3) Perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
2. Analisa Data
Data-data Etiologi Masalah
Ds : Iritasi zat kimia, faktor Gangguan integritas
mekanik, faktor nutrisi. kulit
Do :
 Turgor kulit buruk, kering,
bersisik, pecah-pecah,
perubahan warna kulit,
terdapat bercak-bercak,
gatal-gatal, rasa terbakar,
kurangya personal hygiene,
lingkungan tidak sehat,
mengkonsumsi makanan
berminyak dan pedas.

Ds : - Biofisik, penyakit, dan Gangguan body


Do : perseptual. image
 Kulit kering, bersisik,
pecah-pecah, terdapat
bercak-bercak, minder,
tidak percaya diri, perasaan
terisolasi, interaksi
berkurang.
Ds : - Perubahan status kesehatan Ansietas
Do :
 Klien tampak gelisah, takut
akan penyakitnya,
ragu, gangguan pola tidur,
sering berkeringat,
anoreksia, mual, perubahan
pola berkemih.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan  integritas kulit berhubungan dengan iritasi zat kimia, faktor
mekanik, faktor nutrisiditandai dengan kerusakan jaringan kulit (kulit bersisik,
turgor kulit buruk, pecah-pecah, bercak-bercak, gatal).
b. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik, penyakit, dan perseptual
ditandai dengan tidak percaya diri, minder, perasaan terisolasi, interaksi
berkurang.
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan
klien gelisah, ketakutan, gangguan tidur, sering berkeringat
4. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1 Gangguan integritas Setelah dilakukan  Kaji atau catat  Memberikan
kulit berhubungan intervensi selama ukuran, warna, informasi dasar
dengan iritasi zat 3x24 jam, keadaan luka / tentang penanganan
kimia, faktor diharapkan kondisi sekitar kulit.
mekanik, faktor Kerusakan luka.  Merupakan
nutrisiditandai integritas kulit  Lakukan kompres tindakan protektif
dengan kerusakan dapat teratasi, basah dan sejuk yang dapat
jaringan kulit (kulit dengan atau terapi mengurangi nyeri.
bersisik, turgor kulit Kriteria hasil : rendaman  Memungkinkan
buruk, pecah-pecah, -Turgor kulit baik  Lakukan pasien lebih bebas
bercak-bercak, -Gatal hilang perawatan luka bergerak dan
gatal). -Kulit tidak dan hygiene meningkatkan
bersisik sesudah itu kenyamanan.
-Bercak-bercak keringkan kulit  Mempercepat
hilang dengan hati-hati proses rehabilitasi
dan taburi bedak pasien.
yang tidak iritatif.  Untuk mempercepat
 Berikan prioritas penyembuhan.
untuk
meningkatkan
kenyamanan dan
kehangatan
pasien.
 Kolaborasi
dengan dokter
dalam pemberian
obat-obatan
2 Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan  Berikan  Klien membutuhkan
berhubungan dengan tindakan asuhan kesempatan pada pengalaman
biofisik, penyakit, keperawatan klien untuk didengarkan dan
dan perseptual selama 1X24 jam, mengungkapkan dipahami dalam
ditandai dengan tidak diharapkan tidak perasaan tentang proses peningkatan
percaya diri, minder, terjadi gangguan perubahan citra kepercayaan diri.
perasaan terisolasi, body image. tubuh.  Memberikan
interaksi berkurang Dengan  Nilai rasa kesempatan kepada
Kriteria hasil : keprihatinan dan perawat untuk
-Menyatakan ketakutan klien. menetralkan
penerimaan  Bantu klien kecemasan dan
situasi diri. dalam memulihkan realitas
-Bicara dengan mengembangkan situasi.
keluarga/orang kemampuan  Kesan seseorang
terdekat tentang untuk menilai diri terhadap dirinya
situasi, perubahan dan mengenali sangat berpengaruh
yang terjadi. serta mengatasi dalam
masalah. pengembalian
 Mendukung kepercayaan diri.
upaya klien untuk  Pendekatan dan
memperbaiki saran yang positif
citra diri, dapat membantu
mendorong menguatkan usaha
sosialisasi dengan dan kepercayaan
orang lain dan yang dilaku
membantu klien
ke arah
penerimaan diri.
3 Ansietas yang Setelah dilakukan  Kaji tingkat  Identifikasi masalah
berhubungan dengan intervensi selama ansietas dan spesifik akan
perubahan status 3x24 jam, diskusikan meningkatkan
kesehatan ditandai diharapkan penyebab bila kemampuan
dengan klien gelisah, Ansietas dapat mungkin. individu untuk
ketakutan, gangguan diminimalkan  Ka kaji ulang menghadapinya
tidur, sering sampai dengan keadaan umum dengan lebih
berkeringat. diatasi, dengan pasien dan TTV. realistis.
Kriteria hasil :  Berikan waktu  Sebagai indikator
-Klien tampak pasien untuk awal dalam
tenang mengungkapkan menentukan
-Klien menerima masalahnya dan intervensi
tentang dorongan berikutnya.
penyakitnya ekspresi yang  Agar pasien merasa
-Gangguan tidur bebas, misalnya diterima.
hilang rasa marah, takut,  Ke tidaktahuan dan
-Pola berkemih ragu. kurangnya
normal  Jelaskan semua pemahaman dapat
prosedur dan menyebabkan
pengobatan. timbulnya ansietas.
 Diskusikan  Mengurangi
perilaku koping kecemasan pasien
alternatif dan
tehnik
pemecahan
masalah
DAFTAR PUSTAKA

1. Barbara, K . 2016. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses dan


Praktik edisi VII Volume I. Jakarta : EGC.
2. Boedhi, Darmojo, R. (2011). Buku Ajar Geriatric (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia)
Edisi Ke-4. Jakarta: FKUI
3. Eliopoulus, C. 2015. Gerontological Nursing (6th Ed). Philadelphia: JB.
Lippincorl
4. Griffiths CEM, Barker JNWN. 2016, Psoriasis. In: Burns T, Breathnach S, Cox
N, Griffits C, editors. Rook's Textbook of dermatology. Edisi ke-8. New York:
Wiley Blackwell
5. Gudjonsson JE, Elder JT. 2012. Psoriasis. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill
6. Juwita R. 2013. Hubungan Keluarga dengan Depresi Pada Lansia di UPTD
Rumoh Sejahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Banda Aceh Tahun 2013.
Penelitian. STIKES U’Budiyah Banda Aceh. Banda Aceh.
7. Kemenkes RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia Di Indonesia. Buletin
Jendela Data Dan Informasi Kesehatan. Jakarta
8. Kushariyadi, 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta:
Salemba Medika.
9. Marta, O. F. (2012). Determinan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta Selatan. Universitas Indonesia.
10. Martono, H., Pranaka, K. editor. 2010. Buku ajar Boedhi-Darmojo geriatri (Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
11. Nugroho W. (2010). Keperawatan Gerontik & Geriatik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. EGC
12. Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Jogjakarta : Nuha Medika
13. Prasetya, A. S. (2010). Pengaruh Terapi Kognitif Dan Senam Latih Otak
Terhadap Tingkat Depresi Dengan Harga Diri Rendah Pada Klien Lansia Di
Panti Tresna Wreda Bhakti Yuswa Natar Lampung. Jakarta: Universitas
Indonesia
14. Putri, Zulfitri, dan karim. (2013). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat
Kecemasan Pada Lansia Di Kelurahan Lembah Sari Rumbai Pesisir.
15. Sanchez AF, Santillan EM, Bautista M. Inflammation, oxidative stress and
obesity. Int J Mol Sci 2010: 3117-32.
16. Zangeneh F., Shooshtary F., 2013, Psoriasis — Types, Causes and Medication:
http://dx.doi.org/10.5772/54728.

Anda mungkin juga menyukai