Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

KISTA BARTHOLIN

Disusun oleh :
Annisa Robiyanti
1102011038

Pembimbing :
dr. Reino Rambey, SpOG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN DEPARTEMEN


ILMU KEBIDANAN RS.BHAYANGKARA TINGKAT I R.SAID SUKANTO 11
NOVEMBER 2019 – 18 JANUARI 2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kista barhtolini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli anatomi Belanda pada
tahun 1677 bernama Casper Bartholin. Kelenjar ini merupakan kelenjar vestibuler terbesar
menyerupai kelenjar cowper (kelenjar bulbouretral) pada laki-laki, yang letaknya tertutup dan
berpasangan.7 Kelenjar ini berfungsi untuk mensekresi cairan pembersih, mukus yang alkalis
kedalam duktus yang bagian dalamnya tersusun atas sel kolumner dan bagian luar tersusun atas
epitel transisional.
Kista barhtolini adalah tersumbatnya saluran lubrikasi pada vagina atau membesarnya
muara saluran lubrikasi, yang berakibat tidak keluarnya cairan lubrikasi yang mestinya keluar
(perempuan yang belum 40 tahun). Kondisi ini disebabkan oleh adanya bakteri, yang antara lain
adalah E-coli, kuman/bakteri penyakit kelamin, dll.
Kista bartholini merupakan masalah yang sering didapatkan pada wanita usia
reproduksi, kebanyakan kasus terjadi pada usia 20 sampai 30 tahun dengan sekitar 1 dalam 50
wanita akan mengalami kista bartolini atau abses dalam hidup mereka, sehingga hal ini
merupakan masalah yang perlu untuk dicermati. Hal ini berhubungan dengan aktifitas kelenjar
bartholin yang berkurang pada masa menopause. Kista bartholini terbentuk akibat tersumbatnya
kelenjar minyak dibibir kemaluan bagian dalam (ada dua, di kiri dan kanan) akibat adanya
infeksi. Untuk menghindari timbulnya kista dengan menjaga kebersihan (hygienis). Selama kista
ini tidak terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur kista ini tidak menimbulkan masalah, si wanita tidak
akan merasa sakit hanya saja akan ada rasa benjolon di labia mayora vagina (bibir bagian luar
vagina). Tapi seandainya kista ini terinfeksi maka disebut dengan abses bartholini. Kelenjar
Bartholini berkembang dari epithelium pada area posterior dari vestibula. Kelenjar bartholin
terletak bilateral pada sepertiga bawah labia minora dan mempunyai saluran kelenjar bartholin
panjangnya 2 cm- 2,5 cm dengan posisi pada jam 4 dan jam 8, bermuara pada vestibula. Kelenjar
tersebut biasanya hanya berukuran sebesar kacang polong dan jarang melebihi ukuran 1 cm.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Kelenjar bartolini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar bartolini atau
glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar, dan berada di sebelah dorsal
dari bulbus vestibulli. Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang terdapat diantara
labium minus pudendi dan tepi hymen. Glandula ini homolog dengan glandula bulbourethralis
pada pria.
Kelenjar Bartholin berkembang dari tunas dalam epitel daerah posterior dari
vestibulum. Kelenjar ini terletak bilateral di dasar labia minora dan mengalirkan hasil sekresinya
melalui duktus sepanjang 2 – 2.5 cm, yang bermuara ke dalam vestibulum pada arah jam 4 dan
jam 8. (Gambar 1). Kelenjar ini biasanya berukuran sebesar kacang dan ukurannya jarang
melebihi 1 cm. 1
Kelenjar ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan sekresinya untuk membasahi
atau melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. kelenjar bartolini diperdarahi oleh arteri
bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh nervus pudendus dan nervushemoroidal inferior. Kelenjar
bartolini sebagian tersusun dari jaringan erektil dari bulbus, jaringan erektil dari bulbus menjadi
sensitif selama rangsangan seksual dan kelenjar ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang
bertindak sebagai lubrikan. Drainase pada kelenjar ini oleh saluran dengan panjang kira- kira 2
cm yang terbuka ke arah orificium vagina sebelah lateral hymen, normalnya kelenjar bartolini
tidak teraba pada pemeriksaan palapasi. Seperti pada gambar dibawah ini :

3
2.2 Definisi
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah
kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini
menjadi tersumbat. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,
peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka
saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan
yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak
dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.2

2.3 Epidemiologi
Dua persen wanita mengalami kista Bartolini atau abses kelenjar pada suatu saat dalam
kehidupannya.3 Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak dari pada kista. Salah satu
penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan hitam yang lebih
cenderung untuk mengalami kista bartolini atau abses bartolini dari pada wanita hispanik, dan
bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terendah. 4 Kista Bartolini, yang
paling umum terjadi pada labia mayora. Involusi bertahap dari kelenjar Bartolini dapat terjadi
pada saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya
terjadi kista Bartolini dan abses selama usia reproduksi. Biopsi eksisional mungkin diperlukan
lebih dini karena massa pada wanita pascamenopause dapat berkembang menjadi kanker.
Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa eksisi pembedahan tidak diperlukan karena
rendahnya risiko kanker kelenjar Bartholin (0,114 kanker per 100.000 wanita-tahun).5 Namun,
jika diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat menjadi lebih buruk. Sekitar 1 dalam 50 wanita
akan mengalami kista Bartolini atau abses di dalam hidup mereka. Jadi, hal ini adalah masalah
yang perlu dicermati. Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia antara 20 sampai 30 tahun. 3
Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.

2.4 Histologi
Kelenjar bartolini dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel kolumnair atau
kuboid. Duktus dari kelenjar bartolini merupakan epitel transsisional yang secara embriologi
merupakan daerah transisi abtara traktus urinarius dengan traktus genital.

4
2.5 Fisiologi
Kelenjar Bartholini berfungsi mensekresikan cairan ke permukaan vagina. Mukosa
kelenjar dilapisi oleh sel-sel epitel kubus. Cairan ini mengalir ke dalam duktus sepanjang 2,5 cm
dan dilapisi oleh sel-sel epitel transisional. Duktus ini bermuara diantara labia minor dan hymen
dan dilapisi pada bagian ini terdiri atas epitel skuamosa. Oleh karena itu, kelenjar ini dapat
berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa atau adenokarsinoma. Kelenjar ini mengeluarkan
lendir untuk memberikan pelumasan vagina. Kelenjar Bartolini mengeluarkan jumlah lendir
yang relatif sedikit sekitar satu atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme.
Tetesan cairan pernah dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi penelitian
dari Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina berasal dari bagian vagina lebih
dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan labia vagina, sehingga kontak dengan
daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.

2.6 Etiologi
Kista Bartolini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar Bartolini tersumbat.
Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi. 2
Abses Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme yang
menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore serta bakteri yang biasanya
ditemukan di saluran pencernaan, seperti Escherichia coli. Umumnya abses ini melibatkan lebih
dari satu jenis organisme. Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan,
dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan
abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu harus terjadi sebelum abses
kelenjar. Kelenjar Bartolini adalah abses polimikrobial. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah
mikroorganisme aerobik yang dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling
umum. Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran
Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari infeksi menular
seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses tersebut.

5
Infeksi pada kelenjar ini disebabkan oleh kuman gram negative ,yaitu a.l :

1. Golongan staphylococcus 2. Golongan Gonococcus

Kista Bartolini merupakan tumor kistik jinak. Ditimbulkan akibat saluran kista Bartolini
yang mengalami sumbatan. Sumbatan biasanya disebabkan oleh infeksi. Kuman yang sering
menginfeksi kelenjar Bartolini adalah Neisseria gonorrhoeae.
Pada laki laki kuman ini menyebabkan penyakit kelamin yang disebut kencing nanah atau
gonore,tidak sama dengan sipilis.
Perjalanannya. Karena kelenjar terus menerus menghasilkan cairan,maka lama kelamaan
sejalan dengan membesarnya kista,tekanan didalam kista semakin besar. Dinding kelenjar/kista
mengalami peregangan dan meradang. Demikian juga akibat peregangan pada dinding kista,
pembuluh darah pada dinding kista terjepit mengakibatkan bagian yang lebih dalam tidak
mendapatkan pasokan darah sehingga jaringan menjadi mati (nekrotik). Dibumbui dengan
kuman,maka terjadilah proses pembusukan, bernanah dan menimbulkan rasa sakit. Karena
letaknya di vagina bagian luar,kista akan terjepit terutama saat duduk dan berdiri menimbulkan
rasa nyeri yang terkadang disertai dengan demam. Pasien berjalan mengegang ibarat menjepit
bisul diselangkangan.
2.7 MANIFESTASI KLINIK

6
Pasien dengan kista dapat memberi gejala berupa pembengkakan labial tanpa disertai
nyeri. Pasien dengan abses dapat memberikan gejala sebagai berikut:
 Nyeri yang akut disertai pembengkakan labial unilateral.
 Dispareunia
 Nyeri pada waktu berjalan dan duduk
 Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge ( sangat mungkin
menandakan adanya ruptur spontan dari abses)
Hasil pemeriksaan fisik yang dapat diperoleh dari pemeriksaan terhadap Kista
Bartholin adalah sebagai berikut:
 Pasien mengeluhkan adanya massa yang tidak disertai rasa sakit, unilateral, dan tidak
disertai dengan tanda – tanda selulitis di sekitarnya.
 Jika berukuran besar, kista dapat tender.
 Discharge dari kista yang pecah bersifat nonpurulent
Sedangkan hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap abses
Bartholin sebagai berikut:
 Pada perabaan teraba massa yang tender, fluktuasi dengan daerah sekitar yang eritema
dan edema.
 Dalam beberapa kasus, didapatkan daerah selulitis di sekitar abses.
 Demam, meskipun tidak khas pada pasien sehat, dapat terjadi.
 Jika abses telah pecah secara spontan, dapat terdapat discharge yang purulen.

Gambar 3. Abses Bartholin

7
Kista Bartholin harus dibedakan dari abses dan dari massa vulva lainnya.
Karakteristik dari lesi kistik dan solid dari vulva dapat dilihat pada Tabel 2. Karena
kelenjar Bartholin mengecil saat usia menopause, suatu pertumbuhan massa pada wanita
postmenopause perlu dievaluasi terhadap tanda – tanda keganasan, terutama bila massanya
bersifat irreguler, nodular, dan keras.7
Karsinoma kelenjar Bartholin memiliki persentase sekitar 1% dari kanker vulva, dan
walaupun kasusnya jarang, merupakan tempat tersering timbulnya adenocarcinoma.
Sekitar 50% dari tumor kelenjar Bartholin adalah karsinoma sel skuamosa. Jenis lain dari
tumor yang timbul di kelenjar Bartholin adalah adenokarsinoma, kistik adenoid (suatu
adenokarsinoma dengan histologis spesifik dan karakteristik klinis), adenosquamousa, dan
transitional cell carcinoma.
Karena mungkin sulit untuk membedakan tumor Bartholin dari kista Bartholin yang
jinak hanya dengan pemeriksaan fisik, setiap wanita berusia lebih dari 40 tahun perlu
menjalani tindakan biopsi untuk menyingkirkan kecurigaan neoplasma, dimana penyakit
inflamasi jarang ditemui pada usia tersebut. Karena lokasinya yang jauh di dalam, tumor
dapat mempengaruhi rektum dan langsung menyebar melalui fossa ischiorectalis.
Akibatnya, tumor ini dapat masuk ke dalam saluran limfatik yang langsung menuju ke
kelenjar getah bening inguinal profunda serta superficialis. Kesalahan dalam mendiagosis
keganasan Bartholin akan memberikan prognosa yang buruk, sehingga ketepatan dan
kecepatan dalam mendiagnosa sangat diperlukan.
Beberapa kondisi berikut ini dapat merupakan sugestif keganasan kelenjar Bartholin,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut hingga biopsi:
 Usia yang lebih tua dari 40 tahun
 Massa yang tidak nyeri, kronis, dan bertambah besar secara progresif
 Massa yang solid, tidak fluktuasi, dan tidak nyeri
 Terdapat riwayat keganasan labial sebelumnya.

8
2.8 DIAGNOSIS
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu diagnosis. Pada
anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti :
 Panas
 Gatal
 Sudah berapa lama gejala berlangsung
 Kapan mulai muncul
 Faktor yang memperberat gejala
 Apakah pernah berganti pasangan seks
 Keluhan saat berhubungan
 Riwayat penyakit menular seks sebelumnya
 Riwayat penyakit kulit dalam keluarga
 Riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin
 Riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi
 Riwayat pengobatan sebelumnya
Kista atau abses Bartholini didiagnosis melalui pemeriksaan fisik, khususnya dengan
pemeriksaan ginekologis pelvis. Pada pemeriksaan fisis dengan posisi litotomi, kista terdapat di
bagian unilateral, nyeri, fluktuasi dan terjadi pembengkakan yang eritem pada posisi jam 4 atau 8
pada labium minus posterior. Jika kista terinfeksi, pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk
mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi
akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan Chlamydia. Untuk kultur diambil swab
dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam kemudian,

9
tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini dapat diketahui antibiotik yang
tepat yang perlu diberikan. Biopsi dapat dilakukan pada kasus yang dicurigai keganasan.

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Beberapa jenis lesi vulva dan vagina dapat menyerupai kista Bartholin. Beberapa
diantaranya adalah:
1. Kista sebaceous pada vulva sangat sering ditemukan. Kista sebaseous ini merupakan
suatu kista epidermal inklusi dan seringkali asimptomatik. Pada keadaan terinfeksi,
diperlukan incisi dan drainase sederhana.
2. Dysontogenetic cysts merupakan kista jinak yang berisi mukus dan berlokasi pada
introitus atau labia minora. Terdiri dari jaringan yang menyerupai mukosa rektum,
dan seringkali asimptomatik.
3. Hematoma pada vulva. Dapat dibedakan dengan adanya trauma akibat berolahraga,
kekerasan.
4. Fibroma merupakan tumor solid jinak vulva yang sering ditemukan. Indikasi untuk
eksisi berupa timbulnya rasa nyeri, pertumbuhan yang progresif, dan kosmetik.
5. Hidradenoma merupakan tumor jinak yang dapat muncul pada labia majora dan labia
minora. Perlu dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi apabila timbul perdarahan dan
diangkat bila timbul gejala.
6. Kista parauretra
7. Hidradenoma
8. Kista endometriosis

Diagnosis banding kistik dan lesi padat vulva:


Lesion Location Characteristics

Cystic lesions

Bartholin's duct Vestibule Usually unilateral; asymptomatic if remains small


cyst

Epidermal Labia majora Benign, mobile, nontender; caused by trauma or

10
inclusion cyst (usually) obstruction of pilosebaceous ducts

Mucous cyst of Labia minora, Soft, less than 2 cm in diameter, smooth surface,
the vestibule vestibule, periclitoral superficial location; solitary or multiple; usually
area asymptomatic

Hidradenoma Between labia Benign, slow-growing, small nodule (2 mm to 3


papilliferum majora and labia cm); arises from apocrine sweat glands
minora

Cyst of the canal Labia majora, mons Soft, compressible; peritoneum entrapped within
of Nuck pubis round ligament; may mimic inguinal hernia

Skene's duct cyst Adjacent to urethral Benign, asymptomatic; if large, may cause
meatus in vestibule urethral obstruction and urinary retention

Solid lesions

Fibroma Labia majora, Firm, asymptomatic; may develop pedicle; may


perineal body, undergo myxomatous degeneration; potential for
introitus malignancy

Lipoma Labia majora, clitoris Benign, slow-growing; sessile or pedunculated

2.10 PENATALAKSANAAN
TERAPI
Pengobatan kista Bartholin bergantung pada gejala pasien. Suatu kista tanpa gejala
mungkin tidak memerlukan pengobatan, kista yang menimbulkan gejala dan abses kelenjar
memerlukan drainase.1

11
Tindakan Operatif
Beberapa prosedur yang dapat digunakan:
1. Incisi dan Drainase
Meskipun insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan mudah
dilakukan serta memberikan pengobatan langsung pada pasien, namun prosedur ini
harus diperhatikan karena ada kecenderungan kekambuhan kista atau abses. 8 Ada
studi yang melaporkan, bahwa terdapat 13% kegagalan pada prosedur ini.1

2. Word Catheter
Word catheter ditemukan pertama kali pada tahun 1960-an. Merupakan sebuah
kateter kecil dengan balon yang dapat digembungkan dengan saline pada ujung
distalnya. biasanya digunakan untuk mengobati kista dan abses Bartholin.9 Panjang
dari kateter karet ini adalah sekitar 1 inch dengan diameter No.10 French Foley
kateter. Balon kecil di ujung Word catheter dapat menampung sekitar 3-4 mL larutan
saline (Gambar 4).

Gambar 4. Word Catheter

Adapun alat – alat yang diperlukan dalam pemasangan Word catheter


tercantum pada tabel 3. Setelah persiapan steril dan pemberian anestesi lokal, dinding
kista atau abses dijepit dengan forceps kecil dan blade no.11 digunakan untuk
membuat incisi sepanjang 5mm pada permukaan kista atau abses.10 Penting untuk
menjepit dinding kista sebelum dilakukan incisi, atau bila tidak kista dapat collapse
dan dapat terjadi incisi pada tempat yang salah.10 Incisi harus dibuat dalam introitus
external hingga ke cincin hymenal pada area sekitar orifice dari duktus.7,10 Apabila
incisi dibuat terlalu besar, Word catheter dapat lepas.

12
Setelah insisi dibuat, Word catheter dimasukkan, dan ujung balon
dikembangkan dengan 2ml hingga 3 ml larutan saline. Balon yang mengembang ini
membuat kateter tetap berada di dalam rongga kista atau abses (Gambar 5). Ujung
bebas dari kateter dapat dimasukkan ke dalam vagina. 10 Agar terjadi epitelisasi pada
daerah bekas pembedahan, Word catheter dibiarkan di tempat selama empat sampai
enam minggu,7 meskipun epithelialisasi mungkin terjadi lebih cepat, sekitar tiga
sampai empat minggu. Jika Kista Bartholin atau abses terlalu dalam, pemasangan
Word catheter tidak praktis, dan pilihan lain harus dipertimbangkan.7
Abses biasanya dikelilingi oleh selulitis yang signifikan, dan pada kasus-kasus
tersebut, antibiotik diperlukan. Antibiotik yang digunakan harus merupakan
antibiotik spektrum luas untuk mengobati infeksi polymicrobial dengan aerob dan
anaerob. Dapat dilakukan kultur untuk mencari kuman penyebab. Selama menunggu
hasil kultur, diberikan terapi antibiotik empiris. Pasien dianjurkan untuk merendam
di bak mandi hangat dua kali sehari (Sitz bath). Koitus harus dihindari untuk
kenyamanan pasien dan untuk mencegah lepasnya Word catheter.

13
Gambar 5. Pemasangan Word Catheter

Sitz bath (disebut juga hip bath, merupakan suatu jenis mandi, dimana hanya
bagian pinggul dan bokong yang direndam di dalam air atau saline; berasal dari
Bahasa Jerman yaitu sitzen yang berarti duduk.) dianjurkan dua sampai tiga kali
sehari dapat membantu kenyamanan dan penyembuhan pasien selama periode pasca
operasi.

Gambar 6. Alat yang digunakan untuk Sitz Bath


3. Marsupialisasi
Alternatif pengobatan selain penempatan Word catheter adalah marsupialisasi
dari kista Bartholin (Gambar 7). Prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat
tanda – tanda abses akut.7

14
Gambar 7. Marsupialisasi Kista Bartholin;
(Kiri) Suatu incisi vertikal dibuat pada bagian tengah kista, lalu pisahkan mukosa
sekitar; (Kanan) Dinding kista dieversi dan ditempelkan pada tepi mukosa vestibular
dengan jahitan interrupted.

Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian anestesi lokal, dinding
kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat incisi vertikal pada vestibular
melewati bagian tengah kista dan bagian luar dari hymenal ring. Incisi dapat dibuat
sepanjang 1.5 hingga 3 cm, bergantung pada besarnya kista. Berikut adalah peralatan
yang diperlukan dalam melakukan tindakan marsupialisasi.

15
Setelah kista diincisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat diirigasi dengan
larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat. Dinding kista ini lalu
dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular mukosa dengan jahitan
interrupted menggunakan benang absorbable 2-0.1 Sitz bath dianjurkan pada hari
pertama setelah prosedur dilakukan. Kekambuhan kista Bartholin setelah prosedur
marsupialisasi adalah sekitar 5-10%. Komplikasi yang timbul berkaitan dengan
dyspareunia, hematoma, dan infeksi.8

4. Eksisi (Bartholinectomy)
Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak
berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada
infeksi aktif.
Eksisi kista bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka sebaiknya
dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi umum. Pasien ditempatkan
dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit berbentuk linear yang
memanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat ujung medial labia minora dan
sekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal ring. Hati – hati saat melakukan incisi
kulit agar tidak mengenai dinding kista.
Struktur vaskuler terbesar yang memberi supply pada kista terletak pada bagian
posterosuperior kista. Karena alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian bawah
kista dan mengarah ke superior. Bagian inferomedial kista dipisahkan secara tumpul
dan tajam dari jaringan sekitar (Gambar 8). Alur diseksi harus dibuat dekat dengan
dinding kista untuk menghindari perdarahan plexus vena dan vestibular bulb dan
untuk menghindari trauma pada rectum.

16
Gambar 8. Diseksi Kista

Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi utama dari
kista dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong dan diligasi
dengan benang chromic atau benang delayed absorbable 3-0 (Gambar 9).

Gambar 9. Ligasi Pembuluh Darah

17
Cool packs pada saat 24 jam setelah prosedur dapat mengurangi nyeri,
pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, dapat dianjurkan sitz bath
hangat 1-2 kali sehari untuk mengurangi nyeri post operasi dan kebersihan luka.

Pengobatan Medikamentosa
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual
biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia. Idealnya,
antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase.
Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan abses bartholin:
1. Ceftriaxone
Sebuah monoterapi efektif untuk N gonorrhoeae. Ceftriaxone adalah
sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad spectrum terhadap bakteri gram-
negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri gram-positif, dan efficacy yang
lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat pada satu atau lebih
penicillin-binding protein, akan menghambat sintesis dari dinding sel bakteri dan
menghambat pertumbuhan bakteri.
Dosis yang dianjurkan: 125 mg IM sebagai single dose

2. Ciprofloxacin
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan antibiotik
tipe bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan
menghambat pertumbuhan bakteri dengan menginhibisi DNA-gyrase pada bakteri.
Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari

3. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan
dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk C
trachomatis.
Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari

4. Azitromisin

18
Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh
beberapa strain organisme. Alternatif monoterapi untuk C trachomatis.
Dosis yang dianjurkan: 1 g PO 1x

2.11. KOMPLIKASI
 Komplikasi yang paling umum dari abses Bartholin adalah kekambuhan.
 Pada beberapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah dilakukan drainase abses.
 Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati.
 Timbul jaringan parut.

2.12. PROGNOSIS
Jika abses dengan didrainase dengan baik dan kekambuhan dicegah, prognosisnya
baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang dari 20%.

BAB III
Kesimpulan

Kista Bartholin dan abses Bartholin merupakan masalah umum pada wanita usia
reproduksi. Incidensnya adalah sekitar 2% dari wanita usia reproduksi. Usia yang paling sering
terserang penyakit kelenjar Bartholin adalah wanita antara usia 20 dan 30 tahun. Pembesaran
kelenjar Bartholin pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun jarang ditemukan, dan perlu
dikonsultasikan pada gynecologist untuk dilakukan biopsi. Penyakit ini seringkali recurrence,
sehingga diperlukan suatu penanganan yang adekuat.
Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya bagian distal dari duktus
kelenjar yang menyebabkan retensi dari sekresi, sehingga terjadi pelebaran duktus dan
pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan selanjutnya berkembang menjadi
abses. Abses Bartholin selain merupakan akibat dari kista terinfeksi, dapat pula disebabkan
karena infeksi langsung pada kelenjar Bartholin.

19
Kista bartholin bila berukuran kecil sering tidak menimbulkan gejala. Dan bila bertambah
besar maka dapat menimbulkan dispareunia. Pasien dengan abses Bartholin umumnya
mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan bertambah secara cepat dan progresif.
Dalam penanganan kista dan abses bartholin, ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan.
Dapat berupa intervensi bedah, dan medikamentosa. Intervensi bedah yang dapat dilakukan
antara lain berupa incisi dan drainase, pemasangan Word catheter, marsupialisasi, dan eksisi.
Pemilihan terapi ini disesuaikan dengan ukuran dan keadaan kista. Jika Kista Bartholin atau
abses terlalu dalam, pemasangan Word catheter tidak praktis, dan pilihan lain harus
dipertimbangkan. Prosedur seperti marsupialisasi tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda –
tanda abses akut. Oleh sebab itu, abses perlu diobati dengan pemberian antibiotik broad
spectrum. Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak berespon
terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada infeksi aktif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F.G., MacDonald, P.C. (2005). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.


2. Anwar, M, Baziad, A , Prabowo, w, ed. 3, Cet, 2. 2014. Ilmu Kandungan. Jakarta : PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
3. Norwitz, E., Schorge, J. (2008). At A Glance : Obstetri & Ginekologi. Edisi 2. Jakarta :
Erlangga.

4. Aghajanian A, Bernstein L, Grimes DA. Bartholin's duct abscess and cyst: a case-control
study.South Med J. 1994;87:26–9.

5. Visco AG, Del Priore G. Postmenopausal Bartholin gland enlargement: a hospital-based


cancer risk assessment. Obstet Gynecol. 1996;87:286–90
6. Brook I. Aerobic and anaerobic microbiology of Bartholin's abscess. Surg Gynecol
Obstet. 1989;169:32–4.

20
7. Word B. Office treatment of cyst and abscess of Bartholin's gland duct. South Med J.
1968;61:514–8.
8. Stenchever MA. Comprehensive gynecology. 4th ed. St. Louis: Mosby, 2001:482–6,645–
6.
9. Landay Melanie, Satmary Wendy A, Memarzadeh Sanaz, Smith Donna M, Barclay David
L, "Chapter 49. Premalignant & Malignant Disorders of the Vulva & Vagina" (Chapter).
DeCherney AH, Nathan L: CURRENT Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology,
10e. USA: McGraw-Hill
10. Apgar BS. Bartholin's cyst/abscess: Word catheter insertion. In: Pfenninger JL, Fowler
GC, eds. Procedures for primary care physicians. St. Louis: Mosby, 1994:596–600.

21

Anda mungkin juga menyukai