Anda di halaman 1dari 19

PENERAPAN KETENTUAN KEPAILITAN TERHADAP BANK

YANG BERMASALAH
Frendy

Program Studi S-2 Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Hukum Kepailitan, Frendy.zhu@yahoo.com.

ABSTRAK

Penelitian hukum ini dilatarbelakangi bahwa Bank merupakan badan usaha yang memiliki
karakteristik khusus sehingga pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum, dan likuidasi
bank tidak dapat dipersamakan dengan prosedur yang berlaku umum. Dalam situasi bank tidak
dapat mengatasi kesulitannya atau keadaan bank yang bersangkutan membahayakan sistem
perbankan nasional maka diperlukan peran dari Bank Indonesia. Apakah kepailitan dapat
diterapkan pada bank yang bermasalah? Dengan menggunakan pendekatan normatif, maka
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perbankan, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk
mencabut izin usaha bank bermasalah. Undang-Undang Kepailitan juga memberikan
kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengajukan kepailitan terhadap bank bermasalah.
Selama ini Bank Indonesia dalam menangani bank bermasalah setelah upaya penyelamatan tidak
berhasil menggunakan proses likuidasi, belum pernah menggunakan upaya kepailitan.

PENDAHULUAN Sementara itu, usaha penyelamatan dan


penyehatan perbankan nasional adalah salah
Bank adalah badan usaha yang satu cara utama yang harus ditempuh agar
menghimpun dana dari masyarakat dalam kondisi ekonomi nasional dapat pulih. Bank
bentuk simpanan dan menyalurkannya Indonesia yang mempu nyai kewenangan
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan dan kewajiban melakukan pembinaan dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam mening pengawasan terhadap bank melakukan
katkan taraf hidup rakyat banyak. Guna berbagai upaya, baik tindakan yang bersifat
mencapai tujuan tersebut pelaksanaan preventif dalam bentuk ketentuan, petunjuk,
pembangunan harus senanti asa pengarahan dan pemeriksaan, maupun yang
memperhatikan keserasian, keselarasan, dan bersifat represif dalam bentuk tindakan.
keseimbangan berbagai unsur pembangunan, Dengan berdasarkan pada ketentuan pasal
termasuk di bidang ekonomi dan keuangan. 37, 37 A dan 37 B Undang-Undang Nomor
Sektor perbankan memiliki posisi strategis 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
sebagai lembaga intermediasi (posisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
strategis sebagai lembaga intermediasi tentang Perbankan (selanjutnya ditulis UU
(financial intermediary) untuk menunjang Perbankan Tahun 1998) maka langkah
kelancaran perekonomian.1) strategis pertama mengembalikan
Johannes Ibrahim, Pengimpasan
1)1) kepercayaan terhadap perbankan nasional
Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan adalah melalui skim penjaminan dengan
Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, harapan dapat mengembalikan kepercayaan
(Bandung: Utomo, 2003), hal. 4.
masyarakat dan menarik kembali dana dari perlu dibahas adalah apakah kepailitan dapat
bank asing atau campuran. diterapkan pada bank yang bermasalah?

Sejak tahun 1994 dalam orasi Dies METODE PENELITIAN


Natalis Universitas Airlangga Surabaya,
Jenis penelitian hukum adalah
Sutan Remi Sjahdeni telah mengemukakan
penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
agar supaya penanganan bank bermasalah
yang dibangun berdasarkan disiplin ilmiah
dengan cara mencabut izin dan
dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif.
melikuidasinya sebaiknya dihindarkan.
Ilmu hukum normatif yaitu ilmu hukum
Alasannya adalah implikasi yuridis yang
yang obyeknya hukum itu sendiri.2)
sangat kompleks dan proses penyelesaian
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudikno
yang memakan waktu lama, selain dapat
Mertokusumo, obyek ilmu hukum adalah
menggoncangkan kepercayaan masyarakat
hukum yang terutama terdiri atas kumpulan
terhadap sistem perbankan dan likuidasi
peraturan-peraturan hukum, tidak terbilang
suatu bank dapat menimbulkan keresahan
banyaknya peraturan perundang-undangan
sosial dan implikasi yang sangat jauh. Hal
yang dikeluarkan setiap tahunnya, serta
tersebut sesuai dengan praktek negara-
dilihat sebagai suatu sistem struktur yang
negara lain di dunia, dimana likuidasi juga
menyeluruh.3) Dalam penelitian hukum
bukan cara diminati. Tampak dari laporan
normatif digunakan pendekatan perundang-
tahunan ke-63 (tahun 1993) dari Bank for
undangan, sebagaimana yang dikatakan oleh
International Settlements (BIS) yang antara
Johnny Ibrahim, bahwa “suatu penelitian
lain menyebutkan bahwa penyelamatan bank
hukum normatif tentu harus menggunakan
yang bermasalah di Amerika Serikat melalui
pendekatan perundang-undangan, karena
likuidasi hanya menempati porsi tidak
yang akan diteliti adalah berbagai aturan
berarti, hanya 5,2%, sedangkan di Jepang,
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema
Norwegia, Finlandia dan Swedia cara itu
sentral suatu penelitian”.4) Pendekatan
bahkan tidak dikenal.
perundang-undangan dapat dilakukan
RUMUSAN MASALAH dengan cara menelaah semua Undang-
Undang dan regulasi yang bersangkut paut
Berdasarkan pada hal di atas maka dengan isu hukum yang sedang ditangani.5)
diperlukan sebuah kajian untuk melengkapi
hal-hal yang belum tersentuh pengaturannya PEMBAHASAN
berkaitan dengan kewenangan Bank
Pengertian Kepailitan
Indonesia untuk melakukan pencabutan,
pembubaran dan likuidasi bank, disamping 2)2)
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi
tidak menutup kemungkinan memunculkan Penelitian Hukum Normatif litian Hukum Normatif,
(Malang: Bayumedia Pub-, 2006), hal. 57.
alternatif lain dalam penanganan bank 3)3)
Soedikno Mertokusumo, Mengenal
bermasalah. Salah satu alternatif yang dapat Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty
dilakukan adalah melalui sarana Undang- 2005), hal. 34.
4)4)
Ibid, hal. 302.
Undang Kepailitan. Oleh karena itu, yang 5)5)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, (Jakarta: Kencana 2005), hal. 94.
Beberapa definisi tentang kepailitan pembagian sama rata.9) Dalam Kamus
antara lain: dikatakan oleh Abdurahman Hukum Ekonomi ELIPS menyebutkan:
dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan “liquidation, likuidasi: pembubaran
Perdagangan disebutkan bahwa yang perusahaan diikuti dengan proses penjualan
dimaksud dengan “pailit atau bangkrut harta perusahaan, penagihan piutang,
antara lain adalah seseorang yang oleh suatu pelunasan utang, serta penyelesaian sisa
pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang harta atau utang antara para pemegang
aktivanya atau warisannya telah saham”.
diperuntukkan untuk membayar hutang-
hutangnya”.6) Kemudian Fred B.G. Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004
Tumbuan dalam tulisannya yang berjudul mengatur secara normatif pengertian
Pokok-Pokok Undang-Undang tentang kepailitan sebagaimana diatur dalam yang
Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu menyatakan, bahwa “kepailitan adalah sita
No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
“Kepailitan adalah sita umum yang yang pengurusan dan pemberesannya
mencakup seluruh kekayaan debitur untuk dilakukan oleh Kurator di bawah
kepentingan semua krediturnya. Tujuan pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana
kepailitan adalah pembagian kekayaan diatur dalam Undang-Undang ini”.
debitur oleh kurator kepada semua kreditur Dari definisi kepailitan dalam Undang-
dengan memperhatikan hak-hak mereka Undang Kepailitan Tahun 2004 dikatakan
masing-masing”.7) Berikutnya, Abdul R. adanya unsur sita umum, yaitu penyitaan
Saliman dkk. Menyatakan bahwa “Pailit atau pembeslahan terhadap seluruh harta
adalah suatu usaha bersama untuk mendapat Debitor pailit. Pengertian sita umum ini
pembayaran bagi semua kreditor secara adil untuk membedakan dengan sita khusus,
dan tertib, agar semua kreditor mendapat seperti revindicatoir beslag, conservatoir
pembayaran menurut imbangan besar beslag conservatoir beslag danecsecutor
kecilnya piutang masing-masing dengan beslag yang semuanya merupakan yang
tidak berebutan”.8) Selanjutnya, H. Man S. semuanya merupakan beslag atau sita atau
Sastrawidjaja merumuskan “kepailitan sita khusus karena terhadap benda-benda
sebagai beslah umum yang dilakukan oleh tertentu. Meskipun kepailitan tersebut
yang berwenang yang diikuti dengan dikatakan sebagai sita umum sebagaimana
6)6)
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori yang diatur dalam Pasal 21 UU Kepailitan
dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
Tahun 2004, namun terdapat beberapa benda
hal. 8.
7)7)
Rudhy A Lontoh., Denny Kailimang, dan yang di luar budel pailit artinya tidak masuk
Benny Ponto (ed.), Penyelesaian Utang-Piutang disita.
melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang: Suatu Tinjauan Mengenai Apabila kita perhatikan rumusan
Kepailitan, Penundaan Pembayaran dan Likuidasi
Khususnya dalam Kaitannya dengan Lembaga definisi kepailitan yang dikemukakan oleh
Perbankan, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 9.
8)8)
Abdul R Saliman., Hermansyah, dan 9)9)
H. Man S Sastrawidjaja, Hukum
Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
(Jakarta: Predana Media Group, 2007), hal. 141. Utang, (Bandung: Alumni, 2006), hal. 81.
H. Man S. Satrawidjaja, dimana dikatakan dapat dituntut pemenuhannya di muka
bahwa “kepailitan sebagai beslah umum pengadilan. Menurut H. Man S.
yang dilakukan oleh yang berwenang yang Sastrawidjaja, bahwa pengertian Kreditor
diikuti dengan pembagian sama rata”, maka dan pengertian piutang yang dianut oleh UU
dapat ditentukan unsur-unsur kepailitan Kepailitan Tahun 2004 merupakan
10)
yaitu: a. beslah umum atau sita umum; b. pengertian yang sangat luas.
dilakukan oleh yang berwenang. Maksudnya
penyitaan tersebut dilakukan oleh instansi Dalam pengertian sangat luas, maka
yang diberi wewenang untuk itu, yaitu oleh perjanjian tidak dibatasi kepada perjanjian
pengadilan niaga. Dengan demikian, utang-piutang saja, melainkan semua jenis
menunjukkan bahwa sita yang dilakukan itu perjanjian, serta bahkan hak yang timbul
tidak tanpa dasar hukum, dan bukan karena adanya perbuatan melanggar hukum
sembarangan; c. diikuti dengan pembagian pun dapat diartikan sebagai piutang.
sama rata. Maksudnya, pembagian demikian Jenis Kreditor dalam kepailitan terdiri
adalah pembagian yang seimbang sesuai dari 3 jenis kreditor, yaitu: 1. Kreditor
dengan besar kecilnya piutang sebagaimana separatis (Secured Creditor). Kreditor
diatur dalam Pasal 1132 BW. separatis tidak terkena akibat putusan
UU Kepailitan Tahun 2004 menyatakan pernyataan pailit, artinya hak eksekusi
bahwa “Kreditor adalah orang yang Kurator separatis tetap dapat dilaksanakan
mempunyai piutang karena perjanjian atau seperti tidak ada kepailitan atas debitur; 2.
undang-undang yang dapat ditagih di muka Kreditor preferen (Preferential Creditor).
pengadilan”, maka rumusan itu mengandung Kreditor preferen yang juga disebut juga
unsur-unsur untuk dapat dikatakan sebagai Kreditor istimewa adalah kreditor yang
kreditor, yaitu: a. Orang. Orang disini memiliki hak istimewa yang diberikan
diartikan baik orang perorangan (orang undang-undang sehingga kedudukan
dalam pengertian orang alamiah) maupun kreditor dimaksud menjadi lebih tinggi dari
badan usaha baik yang berbentuk badan kreditor biasa (Kreditor konkuren). Kreditor
hukum maupun yang tidak berbadan hukum; preferen ini diatur dalam Pasal 1139 BW
b. Piutang. Dalam UU Kepailitan Tahun dan Pasal 1149 BW; 3. Kreditor konkuren
2004 tidak ada rumusan atau definisi (Unsecured Creditor). Kreditor konkuren
piutang, namun yang ada adalah definisi adalah seluruh kreditor yang tidak termasuk
utang. Untuk pengertian piutang dapat Kreditor separatis dan Kreditor preferen.
digunakan penafsiran a contrario dari Kreditor konkuren menerima pembayaran
definisi utang; c. Piutang tersebut dapat dari harta pailit setelah Kreditor separatis
timbul dari perjanjian atau dari undang- dan Kreditor preferen menerima
undang. Dengan demikian, piutang tersebut pembayaran piutangnya. Kreditor konkuren
menimbulkan suatu perikatan (Pasal 1233 dapat menerima pembayaran dari hasil
BW); d. dapat ditagih di muka pengadilan. penjualan harta pailit sesuai dengan
Artinya piutang itu dapat digugat di besarnya piutang masing-masing.
pengadilan. Pada umumnya, setiap prestasi 10)10)
Ibid, hal. 85.
Sedangkan pengertian Debitor mempunyai kewajiban tidak melaksanakan
disebutkan dalam UU Kepailitan Tahun kewajibannya, maka permohonan pailit
2004 dapat ditarik unsurunsur Debitor, tidak dapat dikabulkan.
yaitu: a. orang yang menurut Pasal UU
Kepailitan Tahun 2004 dapat berupa orang Yang dapat dinyatakan pailit adalah
perorangan atau korporasi termasuk Debitor yang sudah dinyatakan tidak mampu
korporasi yang berbentuk badan hukum dan membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat
yang bukan badan hukum; b. utang yang dinyatakan atas: a. Permohonan debitor
rumusannya terdapat dalam Pasal 1 angka 6 sendiri (Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan
UU Kepailitan Tahun 2004; c.karena Tahun 2004); b. Permohonan satu atau lebih
perjanjian atau undang-undang; d. kreditornya (Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan
pelunasannya dapat ditagih di muka Tahun 2004); c. Pailit harus dengan putusan
pengadilan. Seperti halnya untuk pengertian pengadilan (Pasal 3 UU Kepailitan Tahun
Kreditor, maka pengertian Debitor yang 2004); d. Pailit bisa atas permintaan
dianut oleh Undang-Undang Kepailitan kejaksaan untuk kepentingan umum (Pasal 2
merupakan pengertian Debitor dalam arti ayat (2) UU Kepailitan Tahun 2004); e. Bila
yang sangat luas. debitornya bank, permohonan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia (Pasal 2
Rumusan utang demikian mengandung ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004); f. Bila
unsurunsur sebagai berikut: a. kewajiban; b. Debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek,
yang dinyatakan atau dapat dinyatakan Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
dalam jumlah uang. Kalimat “dapat Penyimpanan dan Penyelesaian,
dinyatakan dengan uang” membawa permohonan pailit hanya dapat diajukan
pengertian bahwa UU Kepailitan Tahun oleh Badan Pengawas Pasar Modal
2004 mengartikan “utang” dalam pengertian (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU
sangat luas, sebab pada dasarnya setiap Kepailitan Tahun 2004); 7. Dalam hal
kewajiban-kewajiban atau prestasi dapat debitornya Perusahaan Asuransi, Perusahaan
dinyatakan dalam jumlah uang; 3. baik Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan
secara langsung maupun yang timbul di Usaha Milik Negara yang bergerak di
kemudian hari; 4. timbul karena perjanjian bidang kepentingan publik, permohonan
atau undangundang; 5. wajib dipenuhi pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Debitor; 6. hak Kreditor untuk menuntut. Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU
Kepailitan Tahun 2004).
Menganut pengertian utang dalam arti
sangat luas berarti utang adalah setiap Sedangkan tujuan pernyataan pailit
prestasi dari Debitor. Pengertian utang yang adalah “untuk mendapatkan suatu penyitaan
pasti penting untuk dijadikan pegangan, umum atas kekayaan debitor (segala harta
karena syarat utama seseorang dinyatakan benda disita atau dibekukan) untuk
pailit adalah adanya utang. Apabila suatu
kewajiban atau prestasi tidak termasuk
pengertian utang meskipun pihak yang
kepentingan semua orang yang Debitornya adalah bank. Yang dimaksud
mengutangkannya (kreditor)”.11) dengan “bank” adalah bank sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pembubaran dan likuidasi ada
keterkaitan dengan kondisi kepailitan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit
Dalam hal kepailitan, pada dasarnya setiap bagi bank sepenuhnya merupakan
debitur (bank juga dapat bertindak sebagai kewenangan Bank Indonesia dan semata-
debitur dalam hal tertentu), baik perorangan mata didasarkan atas penilaian kondisi
maupun badan hukum dapat dinyatakan keuangan dan kondisi perbankan secara
pailit oleh pengadilan niaga, apabila dia keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu
dianggap: berada dalam keadaan berhenti dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank
membayar, yaitu tidak mampu atau tidak Indonesia untuk mengajukan permohonan
mau membayar sedikitnya satu “utang yang kepailitan ini tidak menghapuskan
telah jatuh waktu dan dapat ditagih” dan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan
telah terdapat dua atau lebih kreditur yang ketentuan mengenai pencabutan izin usaha
salah seorang dari mereka piutangnya sudah bank, pembubaran badan hukum, dan
dapat ditagih. likuidasi bank sesuai peraturan perundang-
undangan (Penjelasan Pasal 1 ayat (3)
Pihak yang dapat mengajukan Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004).
permohonan pernyataan pailit, selain debitur
sendiri juga dapat diajukan oleh seorang Kepailitan Pada Bank
kreditur atau lebih, atau oleh jaksa atas dasar
kepentingan umum. Khusus dalam hal Kepailitan adalah keadaan hukum yang
kepailitan bank, maka yang dapat ditetapkan oleh pengadilan niaga dimana
melakukan permohonan pailit hanya dapat seorang debitor tidak (tidak mampu ataupun
diajukan oleh Bank Indonesia sebagaimana tidak mau) membayar paling sedikit satu
diatur dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan ditagih dan sebagai konsekuensi hukum dari
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepailitan tersebut semua harta kekayaan
(untuk selanjutnya ditulis UU Kepailitan debitor maupun yang ada pada saat pailit
Tahun 2004). Ketentuan tersebut merupakan dan termasuk juga harta kekayaan yang akan
suatu langkah untuk mensinkronkan dengan datang berada dalam status sita umum yang
ketentuan yang berlaku di bidang perbankan, dilakukan pengurusan dan pemberesannya
dengan mengingat karakteristik lembaga oleh seorang atau lebih Kurator yang berada
perbankan yang terutama bergerak sangat di bawah pengawasan Hakim Pengawas
terkait sekali dengan dana masyarakat. Pasal yang diangkat bersama dengan Kurator oleh
2 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004 hanya pengadilan niaga.
Bank Indonesia yang dapat mengajukan Dengan demikian, status pailit belum
permohonan pernyataan pailit apabila secara otomatis menyatakan bahwa Debitur
11)11)
Abdul R Saliman., Hermansyah, dan Pailit tersebut telah berada dalam keadaan
Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, tidak mampu untuk membayar utang-
(Jakarta: Predana Media Group, 2007), hal. 142.
utangnya. Artinya, ketika debitur tersebut pencabutan izin usaha bank dan dilikuidasi,
sebenarnya mampu untuk melunasi maka pembayaran atau pengembalian dana
utangutangnya kepada krediturnya, maka diutamakan kepada nasabah penyimpan
Debitur Pailit tersebut dapat mengajukan dana daripada dengan kreditur konkuren
usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144 lainnya, namun tetap dengan tidak
Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004. mengabaikan pembayaran kewajiban kepada
Apabila usulan perdamaian yang diajukan kreditur-kreditur yang harus diistimewakan
oleh Debitur Pailit tersebut ditolak oleh para berdasarkan peraturan perundang-undangan
krediturnya, atau Debitur Pailit tersebut yang berlaku; c. bank yang telah dilikuidasi
ternyata tidak mengajukan usulan tetap tunduk pada ketentuan rahasia bank.12)
perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178
Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004 Kegiatan usaha bank adalah
barulah debitur tersebut dinyatakan menyangkut kepentingan orang banyak dan
insolvensi, atau dalam keadaan yang tidak Bank Indonesia adalah bank sentral (Pasal 4
mampu untuk melunasi utang-utangnya ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
kepada para krediturnya. 2004 tentang Bank Indonesia menyatakan:
“Bank Indonesia adalah Bank Sentral
Dalam hal bank sebagai debitur, tidak Republik Indonesia”. Yang dimaksud
dapat diajukan permohonan pernyataan dengan Bank Sentral adalah lembaga negara
pailit disebabkan bank adalah badan usaha yang mempunyai wewenang untuk
yang menghimpun dana dari masyarakat mengeluarkan alat pembayaran yang sah
dalam bentuk simpanan dan dari suatu Negara, merumuskan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam melaksanakan kebijakan moneter, mengatur
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf mengatur dan mengawasi perbankan, serta
hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU menjalankan fungsi sebagai lender of the
Perbankan Tahun 1998). last resort (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
Sehubungan dengan karakteristik Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
lembaga perbankan yang mengelola dana tentang Bank Indonesia) yang mengadakan
masyarakat, apabila bank sebagai debitur pengawasan terhadap bank-bank yang
berhubungan dengan soal kepail itan, maka: bermasalah maupun yang tidak bermasalah,
a. pengajuan permohonan kepailitan tidak jelasnya bank tersebut tidak berhak diajukan
dapat diajukan sendiri oleh bank yang pailit dengan sendirinya.
bersangkutan, karena didasarkan alasan
untuk mencegah agar kondisi seperti itu Ketentuan yang berkaitan dengan
digunakan oleh pemegang saham atau kepailitan pada bank adalah Pasal 2 ayat (3)
pemilik bank guna berupaya untuk UU Kepailitan Tahun 2004 serta Pasal 9
menghindarkan diri dari tanggungjawab ayat (3) UU Perbankan Tahun 1992, yang
terhadap para kreditur, termasuk nasabah 12)12)
Muhamad Djumhana, Hukum
penyimpan dana; b. apabila terjadi Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003), hal. 215.
landasan hukum yang cukup kuat bagi Bank bermasalah ternyata sampai saat ini belum
Indonesia untuk mengajukan kepailitan bagi pernah dilakukan, sehingga memunculkan
bank bermasalah. berbagai asumsi, apakah bank-bank di
Indonesia “kebal pailit”.15)
Apakah mungkin pihak selain Bank
Indonesia untuk mengajukan kepailitan pada Adanya faktor “X”, sehingga hanya
bank bermasalah. Secara teori bank dapat Bank Indonesia dapat memanfaatkan
dimohonkan pailit dengan melihat otoritas otoritas tersebut atau terdapat standar ganda:
yang telah diberikan oleh UU Kepailitan, Pertama, Bank Indonesia tidak pernah
tetapi dalam praktek bank kebal pailit. menjadi pihak dalam perjanjian kredit
Dengan demikian, dapat diartikan tidak Antara kreditor dan debitor, kecuali Bank
memberikan kepastian hukum atas suatu Indonesia memberikan KLBI maupun BLBI;
peraturan perundang-undangan. Apalagi hal dan Kedua, dalam ketentuan Undang-
ini memungkinkan adanya faktor tertentu Undang Kepailitan yang mengatur bank
yang memanfaatkan otoritas tersebut. sebagai kreditor dalam menghadapi debitor
Realitas Bank Indonesia tidak pernah nonbank, dapat mandiri menjalankan haknya
menjadi pihak dalam perjanjian kredit antara untuk mengajukan permohonan pailit, tetapi
kreditor dan debitor, kecuali Bank Indonesia kalau debitornya adalah bank, maka hanya
memberikan Kredit Likuiditas Bank menjadi hilang (Sri Hariningsih, 2002:35).
Indonesia (KLBI) maupun Bantuan Ketiga, peng ecualian bagi bank yang telah
13)
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). go public dimana pengajuan kepailitannya
oleh BAPEPAM tidak tetap, seharusnya
Untuk itu perlu adanya pembuatan suatu Bank Indonesia lebih proaktif melindungi
daftar tindakan yang memberikan pedoman masyarakat dengan mengaktualisasi
kepada Bank Indonesia dapat mengajukan kewenangan kejaksaan mengajukan
kepailitan pada bank bermasalah, baik dalam permohonan pailit dengan alasan untuk
kedudukannya sebagai bank sentral maupun kepentingan umum, dan dengan tetap
menfasilitasi kepentingan pihak lain.14) melewati satu jalur, yaitu Bank Indonesia.
Mengapa sampai saat ini Bank Adapun alasan yang bisa diberikan
Indonesia belum pernah mengajukan terhadap pengajuan kepailitan kepada bank
kepailitan bagi bank bermasalah? Otoritas adalah berkaitan dengan kepentingan umum
Bank Indonesia untuk menjadi pihak yang dan masyarakat. Pengertian kepentingan
mengajukan kepailitan bagi bank umum disini adalah kepentingan bangsa dan
13)13)
Sri Hariningsih, “Perbandingan negara dan/atau kepentingan masyarakat
Pengaturan Masalah Kepailitan PERPU 1/1998 jo. luas, sehingga termasuk diantaranya adalah
UU No. 4/1998 dengan RUU tentang Kepailitan”,
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17 Januari 2002, hal.
debitor mempunyai utang kepada BUMN
34.
15)15 )
14)14)
Sri Hariningsih, “Perbandingan Ricardo Simanjuntak, “Rancangan
Pengaturan Masalah Kepailitan PERPU 1/1998 jo. Perubahan UU Kepailitan dalam Perspektif
UU No. 4/1998 dengan RUU tentang Kepailitan”, Pengacara dan Komentar terhadap Perubahan UU
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17 Januari 2002, hal. Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17
35. Januari 2002, hal. 9.
atau badan usaha lain yang menghimpun maka Bank Indonesia menjaga prinsip
dana dari masyarakat luas, atau debitor kehati-hatian janganlah terlalu hati-hati
mempunyai utang yang berasal dari padahal dari sudut tingkat kesehatan bank
penghimpunan dana masyarakat yang luas. memang sudah krisis, lalu kemudian
Memang, untuk menentukan apakah kepenti melakukan tindakan yang terkesan
ngan umum dan masyarakat yang sudah melindungi bank sebagai debitor.
dilanggar perlu adanya parameter yang jelas.
Perlu adanya pertimbangan apakah tingkat Bagaimanakah keuntungan dan
kesehatan bank dan pelanggaran atas prinsip kerugian penggunaan kepailitan bagi bank?
kehati-hatian dapat dijadikan acuan seperti Mengenai keuntungan penggunaan
halnya dalam melakukan tindakan kepalitian bagi bank: Pertama, bagi nasabah,
pencabutan izin usaha, pembubaran badan para kreditor atau masyarakat umum antara
hukum, dan likuidasi bank. lain: mengurangi praktek-praktek curang
yang dilakukan oleh bank; mengurangi
Sebuah bank bermasalah, kalau munculnya bankbank baru yang hanya
mengacu pada ketentuan yang ada dalam berorientasi mengumpulkan keuntungan
UU Kepailitan Tahun 2004 adalah “Debitor tanpa memperhatikan hak orang lain atau
yang mempunyai dua atau lebih Kreditor peraturan perundang-undangan yang
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu berlaku; Kedua, bagi bank antara lain: masih
utang yang telah jatuh waktu dan dapat memiliki kesempatan untuk meneruskan
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan usahanya; menjaga nama baik (pemilik,
pengadilan, baik atas permohonannya pengurus dan pihak ketiga yang secara
sendiri maupun atas permohonan satu atau langsung maupun tidak langsung terlibat
lebih Kreditornya”. Unsur debitor dalam usaha yang bersangkutan);
bermasalah cukup sederhana, yaitu Debitor menumbuhkan atau memperkuat
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan kepercayaan masyarakat kepada dunia
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang perbankan; Ketiga, bagi pemerintah, antara
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. lain: melalui Bank Indonesia dapat
Namun, bilamana bank sebagai Debitornya, menimbulkan kepercayaan akan peran dan
memang perlu pertimbangan antara lain fungsi Bank Indonesia; sebagai sarana
fungsi bank sebagai pihak yang penegakan hukum; melindungi masyarakat
menghimpun dana dari masyarakat yang dari permainan curang lembaga perbankan.
memiliki kelebihan dana, serta menyalurkan
dana tersebut kepada masyarakat yang Adapun kerugian yang nampak antara
membutuhkannya, namun sebagai debitor lain: hilang atau kurangnya kepercayaan
yang mungkin bermasalah tentunya harus masyarakat terhadap lembaga perbankan
dapat dimintai pertanggungjawaban agar apabila jika pengelolaan kurang profesional.
tidak menjadi preseden bagi para pengurus Disamping itu, Paulus Effendi Lotulung
bank untuk ikut tidak bertanggungjawab. mengatakan bahwa Undang-Undang
Dengan mempertimbangkan fungsi bank Kepailitan yang berlaku saat ini merupakan
untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional, proses “pencangkokan” antara peraturan
lama dan pemikiran baru dalam hukum maka apa sebenarnya peran keterlibatan dari
acara yang khusus, sehingga dalam Bank Indonesia sebagaimana yang
penerapannya terhadap hal-hal yang tidak dimaksudkan oleh Pasal 2 ayat (3) Undang-
jelas pengaturannya dan menimbulkan Undang Kepailitan Tahun 2004? Menurut
berbagai interpretasi dan bahkan kekoso Ricardo Simanjutak, bahwa “maksud
ngan hukum untuk penyelesaiannya.16) dilibatkannya Bank Indonesia sebagai
otoritas perbankan adalah untuk
Jika dicermati redaksi Pasal 2 ayat (3) memberikan kepastian pemberlakuan yang
UndangUndang Kepailitan Tahun 2004, semestinya kepada bank sebagai lembaga
yang menyatakan bahwa permohonan keuangan yang memegang peran yang
pernyataan pailit terhadap bank hanya dapat sangat penting dan sangat sensitif dalam
diajukan oleh Bank Indonesia, pada aktivitas masyarakat dan juga aktivitas
dasarnya tetap menegaskan bahwa sebuah Negara”.17)
bank dapat dimohonkan pailit. Hanya
kewenangan untuk mengajukan permohonan Oleh karena itu, hadirnya Pasal 2 ayat
pailit yang dipindahkan kepada Bank (3) UndangUndang Kepailitan Tahun 2004
Indonesia. secara ideal dimaksudkan antara lain untuk:
a. Menjaga citra perbankan di mata
Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004 masyarakat dan di mata dunia, dan juga
juga memberikan ketegasan bahwa menghindarkan efek beruntun terhadap
pengadilan niaga masih merupakan satu- keberadaan bank lainnya; b. Menghindari
satunya pengadilan yang berwenang untuk permohonan pailit yang diajukan oleh pihak-
memeriksa dan memutuskan perkara kepai pihak yang tidak bertanggungjawab terhadap
litan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 bank, seperti misalnya pihak-pihak yang
angka 7 Jo. Pasal 3 ayat (1). Mengingat sebenarnya bukan kreditur, ataupun
konflik juga terjadi adalah antara kreditur pihakpihak yang sebenarnya hanyalah untuk
(pemohon pailit) dengan bank, maka dalam mempermalukan atau pun untuk
pelaksanaannya, ketika seorang pemohon menghancurkan citra bank tersebut di dalam
pailit ingin mengajukan permohonan pailit maupun di luar negeri, atau termasuk juga
kepada bank atas alasan tidak dilunasi utang pihak-pihak dari bank itu sendiri (ataupun
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dari groupnya) yang ingin melakukan
maka permohonan pernyataan pailit tersebut penekanan terhadap para krediturnya untuk
harus diajukan kepada Bank Indonesia. tunduk kepada langkah yang diinginkan oleh
Apabila pengadilan niaga adalah bank ataupun group bank tersebut dengan
pengadilan yang mempunyai wewenang ancaman akan mempailitkan bank tersebut
untuk memutuskan pailit atau tidaknya jika para krediturnya tetap memaksa bank
seorang debitur yang dimohonkan pailit, tersebut untuk membayar utang-utangnya; c.
17)17)
Ricardo Simanjuntak, “Rancangan
Paulus Effendi Lotulung, “Kendala-
16)16)
Perubahan UU Kepailitan dalam Perspektif
Kendala Prosedural dalam Penerapan Undang- Pengacara dan Komentar terhadap Perubahan UU
Undang Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17
12 Tahun 2001, hal. 7. Januari 2002, hal. 8.
Memaksimalkan fungsi Bank Indonesia memindahkan peran pengajuan permohonan
dalam melakukan tugas pengawasan dan pailit dari kreditur kepada Bank Indonesia.
pembinaan sehingga dalam hal adanya Artinya, dalam hal benarbenar terbukti
permohonan pailit diajukan oleh kreditur secara sederhana bahwa sebuah bank
kepada sebuah bank, diharapkan Bank tersebut mempunyai utang yang telah jatuh
Indonesia yang memegang kewenangan tempo dan dapat ditagih sebagaimana yang
untuk mengajukan permohonan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan
terhadap bank tersebut, terlebih dahulu Tahun 2004, dan dalam proses penyelesaian
secara maksimal melakukan fungsinya di luar pengadilan yang melibatkan Bank
sebagai otoritas untuk memeriksa Indonesia ternyata tidak menemukan
permasalahan tersebut dan melihat apakah penyelesaiannya, dan kreditur tersebut tidak
persoalan utang-piutang tersebut memang dibayar, apakah Bank Indonesia dapat
benar, dan apakah terhadap kewajiban dengan begitu saja menyatakan bahwa bank
tersebut anggotanya telah melakukan tersebut tidak dapat dipailitkan?
aktivitas perbankannya secara prudent.
Dalam hal ini, Bank Indonesia juga Kemudian, dalam hal kreditur pemohon
menjalankan peran sebagai pihak ketiga pailit yang sebenarnya melihat bahwa Bank
ataupun mediator untuk memediasi masalah Indonesia ternyata tidak menjalankan
ini sehingga diharapkan dapat lebih perannya dengan semestinya, dan Bank
membangun langkah-langkah penyelesaian Indonesia cenderung menunjukkan sikap
secara damai di luar pengadilan (out of arogan dan secara subyektif melindungi
court settlement). Tetapi, bila itu kesalahan bank-bank yang berada di bawah
anggotanya maka Bank Indonesia pengawasannya, apakah kewenangan yang
diharapkan dapat memerintahkan bank diberikan Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan
dalam konflik tersebut untuk segera Tahun 2004 tersebut dapat disimpangi oleh
melunasi kewajibannya tersebut, dimana kreditur pemohon pailit sebenarnya, dalam
bila bank tersebut tidak memenuhi maka arti, pemohon pailit tersebut dapat
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan mengesampingkan peran Bank Indonesia
ataupun menjatuhkan sanksi terhadap bank dan memohonkan bank tersebut pailit
tersebut sesuai dengan undang-undang.18) langsung dengan membuktikan pada
pengadilan niaga bahwa Bank Indonesia
Timbul permasalahan, mengingat telah gagal melakukan perannya dalam
inisiatif permohonan pailit datang dari menyelesaikan konflik utang-piutang itu.
kreditur, apakah peran Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat Potensi-potensi masalah yang
(3) UU Kepailitan Tahun 2004 tersebut dikemukakan tersebut yang membuat
dapat menghentikan kewenangan dari pemberian kewenangan kepada Bank
pemohon pailit untuk mempailitkan bank Indonesia sebagaimana dimaksudkan oleh
tersebut, mengingat Pasal 2 ayat (3) UU Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004
Kepailitan Tahun 2004 tersebut hanya tidak bisa dihadirkan begitu saja. Artinya,
ketika undang-undang memberikan peran
18)18)
Ibid, hal. 9.
bagi Bank Indonesia dalam penyelesaian dengan Bank Nusa Internasional, dimana
konflik utang-piutang yang melibatkan Bank Nusa Internasional meminjam
bank, maka harus pula diatur bagaimana tata US$5.000.000 kepada Bank IFI untuk
cara pelaksanaan kewenangan tersebut memenuhi komitmen bagian dari pemberian
dilakukan oleh Bank Indonesia, dan apa pinjaman sindikasi kepada PT Riau Prima
akibat hukumnya bila Bank Indonesia tidak Energi. Lalu sebagai konsekuensi hukum
menjalankan peran tersebut. Kalau hal ini atas mergernya bebe rapa bank, termasuk
tidak diatur, maka Pasal 2 ayat (3) Undang- Bank Nusa Internasional menjadi PT Bank
Undang Kepailitan Tahun 2004 akan Danamon Indonesia, maka kewajiban Bank
cenderung membangun ketidakpastian Nusa Internasional tersebut menjadi
hukum, yang kemudian akan menimbulkan kewajiban dari anak merger, yaitu Bank
keadaan dimana secara teoritis bank dapat Danamon Indonesia.
dimohonkan pailit tetapi secara praktek bank
kebal dari pailit. Keadaan lebih buruk lagi, Terhadap sengketa ini, sebenarnya Bank
kalau wilayah kewenangan ini dapat Indonesia sebagai otoritas telah juga
menjadi wilayah abu-abu (grey area) beberapa kali mengadakan pertemuan dalam
sebagai tempat berlindung dari bank-bank upaya untuk mencari penyelesaian secara
nakal dari kejaran para krediturnya dengan damai. Bahkan debitur sendiri telah
melakukan perbuatan yang tidak terpuji. melakukan upaya penyelesaian
Pasal ini tidak boleh diartikan dengan kewajibannya dengan melakukan penawaran
pengertian “benar ataupun salah, bank tetap pembayaran kewajibannya dengan
benar”.19) konsinyasi melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Ketika upaya penyelesaian
Kekuatiran terhadap munculnya secara damai tidak berhasil dan Bank IFI
ambivalensi ambivalensi atau pun menolak pembayaran konsinyasi melalui
ketidakpastian hukum dalam pengadilan tersebut, maka sengketa utang
mengimplementasikan Pasal 2 ayat (3) UU piutang tersebut belum selesai. Meskipun
Kepailitan Tahun 2004 (dulu Pasal 1 ayat demikian Bank Indonesia tetap tidak
(3) UU Nomor 4 Tahun 1998, dapat dilihat melanjutkan permohonan pailit yang
dalam kasus permohonan pailit yang diajukan oleh Bank IFI ke pengadilan niaga.
diajukan oleh PT Bank IFI terhadap PT Kemudian Bank IFI mengajukan langsung
Bank Danamon Indonesia (Putusan No. permohonan pernyataan pailit ke pengadilan
21/Pailit/2001/PN Niaga/Jkt Pst tanggal 6 niaga dengan alasan bahwa Bank Indonesia
Juni 2001 jo. Penetapan No. 26 K/N/2001 tidak melanjutkan permohonan pailit yang
tanggal 11 Juli 2001). Kasus muncul dari diajukan oleh pemohon pailit melalui Bank
perjanjian subpartisipasi antara Bank IFI Indonesia ke pengadilan niaga.
19)19)
Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Yang perlu dicermati disini adalah
Perubahan UU Kepailitan dalam Perspektif pemahaman Bank Indonesia tentang
Pengacara dan Komentar terhadap Perubahan UU
Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17 kewenangan yang diberikan oleh Pasal 1
Januari 2002, hal. 10. ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 1998 (sekarang
Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004) tahun 1999 tidak mengenal adanya
kepada Bank Indonesia yang ditegaskan mekanisme kepailitan dan dalam rangka
oleh Yunus Husein, saksi ahli di bawah mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban
sumpah dari Bank Indonesia dalam bank diatur dengan cara pencabutan izin
persidangan di Pengadilan Niaga pada usaha, pembubaran dan likuidasi.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara lain
sebagai berikut: permohonan pailit oleh Dalam menyikapi kasus pengajuan
Bank Indonesia terhadap suatu bank adalah permohonan pailit yang langsung diajukan
kebijaksanaan atau diskresi Bank Indonesia oleh Bank IFI ke pengadilan niaga, maka
sendiri bukan karena permintaan pihak lain, majelis hakim niaga antara lain mengakui
saksi mengakui PT Bank IFI (Pemohon bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.
pailit) telah mengirimkan surat kepada Bank 4 Tahun 1998 (sekarang Pasal 2 ayat (3)
Indonesia tanggal 12 April 2001 perihal: UndangUndang Kepailitan Tahun 2004)
permohonan untuk mempailitkan PT Bank telah terpenuhi sebagai berikut: “Bahwa
Danamon Indonesia, Tbk. (Vide bukti P-28), berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
dan surat-surat serta bukti-bukti telah tersebut di atas dihubungkan satu sama lain,
diterima oleh Bank Indonesia tanggal 16 terbukti bahwa unsur Pasal 1 ayat (1)
April 2001 (Vide bukti P-30), saksi meng UndangUndang No. 4 tahun 1998 telah
akui bahwa PT Bank IFI dengan surat terbukti.”
tanggal 12 April 2001 No. 0338/ Meskipun majelis hakim pengadilan
0196.04/HPH-JP/SHA/yk telah memohon niaga telah membuktikan adanya utang yang
kepada Bank Indonesia agar Bank Indonesia telah jatuh tempo dan dapat ditagih, tetap
memohonkan permohonan pernyataan menolak permohonan pailit yang diajukan
kepailitan termohon pailit kepada oleh Bank IFI dengan pertimbangan hukum
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, saksi bahwa Bank IFI tidak berwenang
mengakui PT Bank IFI melengkapi semua mengajukan permohonan pailit secara
persyaratan yang diperlukan sebagai syarat- langsung berdasarkan Pasal 1 ayat (3)
syarat untuk permohonan pailit, akan tetapi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
Bank Indonesia atas dasar diskresi atau (sekarang Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
kebijaksanaannya sendiri tidak memproses Kepailitan Tahun 2004).
permohonan pailit tersebut terhadap PT
Bank Danamon Indonesia, Tbk (Termohon Adapun pertimbangan selengkapnya
pailit) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dari hakim pengadilan niaga dalam perkara
Bank Indonesia mengakui tidak meng ini, yaitu: syarat untuk mengajukan
ajukan permohonan pailit tersebut ke permohonan pailit telah terpenuhi yaitu
Pengadilan Niaga Negeri Jakarta Pusat adanya Debitur, mempunyai dua Kreditor
karena di dalam ketentuan Undang-Undang atau lebih dan adanya utang yang telah jatuh
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang tempo dan dapat ditagih, PT Bank Danamon
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Indonesia Tbk dalam perkara ini dapat
tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan) dikategorikan sebagai Debitur, dengan
beserta peraturan pelaksanaan PP No. 25 ditolaknya tawaran pembayaran yang
disertai dengan konsinyasi melalui khusus itu telah diperluas kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Majelis Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Hakim berpendapat bahwa PT Bank Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Danamon Indonesia Tbk masih mempunyai Penyimpanan dan Penyelesaian,
utang kepada PT Bank IFI, unsur-unsur permohonan pailit hanya dapat diajukan
tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- oleh Badan Pengawas Pasar Modal
Undang No. 4 Tahun 1998 (UUK) telah (BAPEPAM), serta Perusahaan Asuransi,
terbukti, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 jo. Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di
UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang bidang kepentingan publik, permohonan
Perbankan dan Pasal 1 ayat (3) Undang- pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Undang Kepailitan, Pemohon Pailit, PT Menteri Keuangan. Dalam Pasal 6 ayat (3)
Bank IFI, tidak mempunyai kapasitas UU Kepailitan Tahun 2004, kewenangan
sebagai Pemohon Pailit, sedangkan yang untuk menolak permohonan pailit yang
berkapasitas hanyalah Bank Indonesia. diajukan kepada pihak-pihak tersebut di
atas, tidak lagi diletakkan kepada hakim,
Apabila dicermati kasus ini, dapat tetapi telah menjadi kewenangan dari
ditarik kesimpulan, yaitu: 1. Pasal l ayat (3) Panitera Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004:
(sekarang Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan “Panitera wajib menolak pendaftaran
Tahun 2004) menunjukkan bank selaku permohonan pernyataan pailit bagi institusi
debitur dapat dimohonkan pernyataan pailit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
namun permohonan pernyataan pailit (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan
dimaksud harus diajukan oleh Bank tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Indonesia; 2. Mekanisme kepailitan, tidak ayatayat tesebut”.
efektif untuk digunakan sebagai mekanisme
untuk menyelesaikan persoalan utang Dengan hadirnya Pasal 6 ayat (3) UU
piutang dimana debiturnya adalah bank; 3. Kepailitan Tahun 2004, maka semakin tegas
Guna melindungi kepentingan kreditur, bahwa tidak bersedianya otoritas untuk
peran serta Bank Indonesia untuk turut serta mengajukan langkah mengajukan
dalam menyelesaikan permasalahan utang permohonan pailit terhadap bank sebagai
piutang sangat dibutuhkan; 4. Perlu kelanjutan permohonan yang diajukan oleh
diciptakan mekanisme out of court kreditur secara absolut akan menutup
settlement atau non-litigasi, baik dengan kesempatan dari kreditur tersebut untuk
arbitrase perbankan atau mediasi perbankan. mempailitkan bank debiturnya meskipun
telah terbukti adanya utang yang telah jatuh
Hal ini tentunya menimbulkan tempo dan dapat ditagih. Dengan demikian,
pertanyaan bagi pemberian hak khusus tindakan dari Bank IFI yang mengambil
kepada Bank Indonesia untuk tidak dapat langkah memohonkan pailit secara langsung
dimohonkan pailit secara langsung, dimana atas alasan bahwa Bank Indonesia tidak
menurut UU Kepailitan Tahun 2004 hak menjalankan fungsinya berdasarkan Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun dalam kepailitan menjadi tidak diutamakan
1998 (sekarang Pasal 2 ayat (3) UU sehingga kepercayaan masyarakat luas
Kepailitan Tahun 2004) tidak dapat lagi terhadap lembaga perbankan menjadi
diajukan, karena pada saat pendaftaran berkurang dengan akibat lebih luas dapat
permohonan pailit, Panitera telah dapat mengganggu stabilitas keuangan negara; e.
menolak permohonan tersebut. Penerapan Undang-Undang Kepailitan
dengan prosedur yang sangat sederhana
Penyelesaian sengketa utang-piutang terhadap bank bermasalah dapat
bank melalui upaya kepailitan tidak menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian
dilakukan oleh Bank Indonesia kareana hukum, yang berakibat lebih lanjut akan
adanya beberapa kelemahan. Adapun alasan menimbulkan peluang terjadinya KKN dan
mengapa terhadap bank yang bermasalah dapat disalahgunakan untuk memperoleh
tidak perlu menempuh jalur kepailitan keuntungan pribadi oleh pemilik bank yang
dengan menggunakan UU Kepailitan Tahun beritikad tidak baik.20)
2004 adalah: a. Proses likuidasi dan
insolvensi yang diatur dalam Memang, dalam prakteknya, Bank
UndangUndang Kepailitan tidak dapat Indonesia belum pernah mengajukan
diterapkan terhadap lembaga perbankan pemohonan pernyataan pailit atas suatu
yang sudah memiliki aturan tentang proses bank. Hal ini disebabkan ketentuan syarat
likuidasi dan insolvensi tersendiri secara kepailitan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
lebih rinci dan lengkap sebagai lex specialis, Kepailitan Tahun 2004, tidak tepat (kurang
oleh karena lembaga perbankan tidak dapat pas) untuk diterapkan pada bank, yaitu: a.
disamakan dengan perusahaan pada Syarat kepailitan tersebut didasarkan pada
umumnya (berdasarkan Kamus Hukum pemikiran terjadinya keadaan berhenti
Ekonomi ELIPS, halaman 86, insolvensi membayar karena tidak mampu atau tidak
adalah ketidakmampuan seseorang atau mau membayar utang. Apabila dikaitkan
badan usaha untuk membayar utangnya dengan bank sebagai debitur, maka hal ini
yang telah jatuh tempo, atau keadaan yang erat kaitannya dengan pertaruhan
menunjukkan jumlah pasiva melebihi kredibilitas bank. Secara logika awam, bagi
jumlah aktiva); b. Peranan kurator dalam bank yang pada dasarnya hanya dapat
kepailitan bank akan menghilangkan menjalankan usahanya atas dasar
peranan dan intervensi Bank Indonesia kepercayaan masyarakat, mempertaruhkan
terhadap bank-bank bermasalah yang kredibilitas, misalnya “mengemplang”
dinyatakan pailit, yang untuk utang, tentu akan sangat merugikan sehingga
penyelesaiannya membutuhkan keahlian sewajarnya bank akan berusaha untuk tidak
khusus; c. Kepailitan lembaga perbankan dipailitkan; b. Tidak ada hubungan langsung
dapat membahayakan posisi banknya sendiri (kausalitas) antara syarat pengajuan
dan bank-bank lain, bahkan membahayakan permohonan pernyataan pailit dengan
kedudukan Bank Indonesia; d. Perlindungan Adrian Sutedi, Hukum Perbankan
20)20)

terhadap kepentingan masyarakat (Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi,


dan Kepailitan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.
penyimpan dana sebagai kreditor konkuren
78.
tingkat kesehatan ( pailit dengan tingkat Penyelesaian kepailitan dilakukan melalui
kesehatan (performance) bank, artinya bank jalur pengadilan (Pengadilan Niaga)
yang digolongkan masuk dalam kriteria sehingga prudent, sementara penyelesaian
untuk dimohonkan pailit, belum tentu likuidasi melalui jalur di luar pengadilan; b.
tergolong tidak viable.21) Putusan penyataan pailit oleh Pengadilan
Niaga segera dapat dilaksanakan walau ada
Likuidasi dalam kepailitan tidak upaya hukum Kasasi atau Peninjauan
berakibat langsung bubarnya suatu Kembali, sementara dalam likuidasi tidak
perusahaan, bahkan apabila kepailitan telah ada pengaturan yang demikian sehingga
berakhir, perusahaan dapat hidup kembali tidak ada ketegasan kapan dimulai
dengan memenuhi persyaratan setelah pelaksanaannya; c. Dalam kepailitan
direhabilitasi. Hal yang demikian tidak terdapat ketentuan tindakan sementara yang
mungkin dapat diterapkan terhadap lembaga dapat dimanfaatkan untuk melindungi harta
perbankan, yang apabila izin usahanya yang menjadi obyek kepailitan dari
dicabut dan banknya dibubarkan, maka kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak
otomatis banknya tidak dapat beroperasi yang menguasainya sebelum adanya putusan
lagi. Menurut Rudhy Prasetya, konsekuensi pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga,
likuidasi bagi bank adalah: a. Bilamana sementara dalam likuidasi tidak ada
menggunakan Undang-Undang Perbankan ketentuan mengenai tindakan sementara
maka aset bank dicairkan semua dan tersebut; e. Dalam kepailitan ditetapkan
dibagikan kepada para nasabah berdasarkan bahwa Kurator yang menangani harta pailit
urutan prioritas; b. Bilamana menggunakan harus independen dan tidak memiliki
Undang-Undang Kepailitan, maka aset bank benturan kepentingan dengan debitur atau
yang di cairkan adalah sebagian saja yaitu kreditor dan Kurator diawasi oleh Hakim
sebatas dana simpanan nasabah dan tagihan Pengawas, sementara dalam likuidasi
dari para kreditornya. Bank masih dapat penanganan harta likuidasi dilakukan oleh
jalan terus (tidak bubar) dan yang Tim Likuidasi tanpa ada Hakim Pengawas
mengendalikan adalah kurator diawasi oleh yang mengawasinya sehingga terkesan
Hakim Pengawas. Oleh karena itu, bila kurang pruden; d. Dalam kepailitan dikenal
menggunakan kepailitan maka maksud Bank upaya perdamaian yang bila dapat,
Indonesia untuk membagikan seluruh aset disepakati antara para kreditor (Kreditor
bank tidak tercapai. konkuren) dan debitur serta disahkan oleh
Namun, di sisi lain Adrian Sutedi Pengadilan Niaga. Dalam hal demikian,
berpendapat bahwa lebih baik Bank kepailitan akan diangkat (dicabut) sehingga
Indonesia memanfaatkan upaya kepailitan perusahaan kembali beroperasi normal,
daripada likuidasi karena kepailitan sementara dalam likuidasi tidak dikenal
mempunyai prospek yang lebih baik dan perdamaian; e. Terkait butir e, dalam
lebih pasti dibandingkan dengan likuidasi. kepailitan tidak ada pencabutan izin usaha
Adapun alasan-alasannya adalah: a. bank oleh Bank Indonesia dan pembubaran
badan hukum bank oleh RUPS terlebih
21)21)
Ibid, hal. 206. dahulu, sementara pada likuidasi
pelaksanaan kedua tindakan hukum itu Indonesia); k. Dalam sidang kepailitan Bank
terlebih dahulu merupakan syarat agar IFI melawan Bank Danamon Indonesia
likuidasi dapat dilaksanakan; f. Sebagai sebagai debiturnya, Pengadilan Niaga
variasi butir f, dalam kepailitan menolak permohonan Bank IFI dan
kemungkinan pencabutan izin usaha bank memutuskan bahwa pihak yang dapat
oleh Bank Indonesia dan pembubaran badan mengajukan permohonan pernyataan pailit
hukum bank oleh RUPS hanya dilakukan terhadap bank sebagai debitur adalah Bank
jika harta pailit berada dalam keadaan Indonesia; l. Di luar negeri seperti Amerika,
insolvensi yang terjadi karena gagalnya Inggris, dan Korea, ketentuan kepailitan dan
upaya perdamaian antara para kreditor ketentuan likuidasi atas bank merupakan
(Kreditor konkuren) dan debitur. Dalam satu rangkaian sehingga kepailitan akan
kepailitan, tanggungjawab Bank Indonesia selalu mendahului likuidasi kecuali
lebih ringan karena tidak mengawasi perdamaian dapat terwujud di antara para
pelaksanaan kepailitan sebab pihak yang kreditor (Kreditor konkuren) dan debitur.
mengawasi pengurusan dan pemberesan
PENUTUP
harta pailit adalah Hakim Pengawas,
sementara dalam likuidasi, Bank Indonesia Kesimpulan
mengawasi pelaksanaan pembubaran badan
hukum bank oleh RUPS dan pelaksanaan Berdasarkan Undang-Undang
likuidasi oleh Tim Likuidasi; h. Terkait butir Kepailitan, Bank Indonesia diberikan untuk
h, penanganan bank bermasalah melalui mengajukan kepailitan terhadap bank
kepailitan membebaskan Bank Indonesia bermasalah. Kepailitan merupakan alternatif
dari gugatan publik karena pelaksanaan penyelamatan atau pemberesan harta pailit
kepailitan menjadi tanggung jawab bank bermasalah melalui jalur Pengadilan
Pengadilan Niaga; i. Bukti empiris Niaga jika tindakan-tindakan penyelamatan
menunjukkan bahwa penyelesaian melalui bank berdasarkan Undang-Undang
likuidasi adalah penyelesaian yang belum Perbankan tidak berhasil menyelamatkan
selesai. Seba gai contoh penyelesaian bank bermasalah. Namun, upaya kepailitan
likuidasi 16 bank, dalam rentang beberapa ini belum pernah dimanfaatkan oleh Bank
tahun belum menunjukkan hasil yang Indonesia karena selama ini upaya likuidasi
optimal, demikian juga dengan likuidasi bank dianggap lebih pas untuk digunakan
Bank Summa; j. Telah ada bank yang untuk menyelesaikan bank yang bermasalah.
memohon Bank Indonesia mengajukan
Saran
permohonan pernyataan pailit atas
debiturnya yang juga bank, namun Bank Dengan demikian, untuk masalah ini
Indonesia belum memenuhinya (Bank IFI dapat direkomendasikan, bahwa Bank
pada bulan April 2001 memohon kepada Indonesia bisa memanfaatkan penggunaan
Bank Indonesia untuk mengajukan kepailitan untuk melakukan penyelesaian
permohonan pernyataan pailit terhadap Bank bank yang bermasalah. Dengan segala
Danamon Indonesia sebagai debitur Bank kelebihan dan kekurangan yang ada, maka
IFI, namun tidak dipenuhi oleh Bank
kalau Bank Indonesia menggunakan Mertokusumo, Soedikno, 2005,
kewenangan yang dimilikinya menurut Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Undang-Undang Kepailitan seyogyanya Yogyakarta: Liberty.
Bank Indonesia tetap berhati-hati dalam
menggunakan upaya kepailitan sebelum ada Saliman, Abdul R., Hermansyah, dan
suatu produk undang-undang yang secara Ahmad Jalis, 2007, Hukum Bisnis untuk
khusus mengatur kepailitan untuk bank. Perusahaan (Teori dan 139 Contoh Kasus),
Jakarta: Predana Media Group.
DAFTAR PUSTAKA
Sastrawidjaja, H. Man S., 2006,
I.Buku: Hukum Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung:
Djumhana, Muhamad, 2003, Hukum Alumni.
Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti. Sutedi, Adrian, 2007, Hukum
Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Fuady, Munir, 1999, Hukum Pailit Merger, Likuidasi, dan Kepailitan), Jakarta:
(1998) dalam Teori dan Praktek, Bandung: Sinar Grafika.
Citra Aditya Bakti.
II. Peraturan Perundang-Undangan
Ibrahim, Johannes, 2003,
Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perdata (BW) Peraturan Pemerintah Nomor
Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Utomo. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum Normatif Undang-Undang Nomor 10 Tahun
litian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Pub- , Malang: Bayumedia Publishing. Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Lontoh, Rudhy A., Denny
Kailimang, dan Benny Ponto (ed.), 2001, Undang-Undang Nomor 37 Tahun
Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Kewajiban Pembayaran Utang.
Utang: Suatu Tinjauan Mengenai Kepailitan,
Penundaan Pembayaran dan Likuidasi III. Jurnal
Khususnya dalam Kaitannya dengan Paulus Effendi Lotulung, “Kendala-
Lembaga Perbankan, Bandung: Alumni. Kendala Prosedural dalam Penerapan
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Undang-Undang Kepailitan”, Jurnal Hukum
Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Bisnis, Volume 12 Tahun 2001.

Ricardo Simanjuntak, “Rancangan


Perubahan UU Kepailitan dalam Perspektif
Pengacara dan Komentar terhadap Sri Hariningsih, “Perbandingan
Perubahan UU Kepailitan”, Jurnal Hukum Pengaturan Masalah Kepailitan PERPU
Bisnis, Volume 17 Januari 2002. 1/1998 jo. UU No. 4/1998 dengan RUU
tentang Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis,
Volume 17 Januari 2002.

Anda mungkin juga menyukai