Selama bertahun-tahun uterus dengan jaringan parut dianggap kontraindikasi persalinan karena
khawatir akan ruptur uterus. Jenis insisi uterus sebelumnya, pada pasien dengan jaringan parut
transversal teratas di segmen bawah uterus beresiko kecil mengalami pemisahan jaringan parut
simptomatik pada kehamilan berikutnya. Pada tabel di bawah ini diperlihatkan angka ruptur
uterus pada sesar.
Tabel 1. Angka Ruptur Uterus Berdasarkan Jenis dan Lokasi Insisi Uterus Sebelumnya
American College of Obstetricians and Gynecologists : Vaginal birth after previous caesarean
delivery.
Secara umum, angka terendah kejadian ruptur dilaporkan untuk insisi tranversal rendah dan
tertinggi untuk insisi yang meluas hingga ke fundus-insisi klasik. Angka ruptur uterus juga
dilaporkan tinggi (sekitar 8 persen) pada wanita dengan riwayat sesar dan malformasi uterus
unikornuata, bikornuata, didelfis, dan septata.
[hidepost=0]
Angka ruptur uterus pada wanita dengan riwayat insisi vertikal yang tidak meluas hingga ke
fundus masih diperdebatkan. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
menyimpulkan bahwa bukti ilmah masih inkonsisten atau terbatas, wanita dengan insisi vertikal
di segmen bawah uterus yang tidak meluas ke fundus dapat menjadi kandidat untuk VBAC.
Sebaliknya, riwayat insisi uterus klasik atau berbentuk T dianggap kontraindikasi untuk VBAC.
Namun, berdasarkan indikasi insisi vertical saat ini, hanya sedikit insisi yang tidak meluas
hingga ke segmen aktif. Dalam mempersiapkan laporan operasi setelah insisi uterus vertical jenis
apapun, perlu didokumentasikan secara pasti luas jaringan parut dengan suatu cara yang tidak
dapat disalahartikan oleh dokter berikutnya.
Wanita yang pernah mangalami ruptur uterus lebih besar kemungkinannya mengalami
kekambuhan. Mereka yag rupturnya tebatas di segmen bawah memiliki resiko kekambuhan
sekitar 6 persen pada persalinan selanjutnya, sedangkan mereka yang rupturnya mencakup uterus
atas memiliki resiko kekambuhan sekitar 1 dalam 3.
Ruptura uteri merupakan komplikasi langsung yang dapat terjadi pada PPBS, meskipun
kejadiannya kecil, tapi dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin. Untuk
menghindari terjadinya komplikasi ini, kita harus dapat mengenali faktor risiko yang terdapat
pada pasien sebelum dilakukannya PPBS (persalinan pervaginam pada bekas SC). Adapun faktor
risiko itu adalah :
a. Jenis parut
Insisi transversal rendah risikonya, kira-kira 1 % sedangkan insisi klasik 12%. Kepustakaan lain
menyatakan bahwa risiko terjadinya ruptur uterus pada bekas SC dengan insisi klasik adalah 4-9
%, T-shaped 4-8%, low vertikal 1-7% dan transversal 0,2-1,5%.
b. Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk PBBS sampai saat ini masih belum jelas,
karena terdapatnya hasil yang berbeda dari berbagai penelitian. Phelan dkk. tidak menemukan
satu kasus ruptur uteri pun pada 501 pasien dengan riwayat SC 2 kali dan menjalani PBBS pada
persalinan ketiganya. Sedangkan Miller dkk. menemukan resiko ruptur uterus tiga kali lebih
tinggi pada jumalah parut yang lebih dari satu.
Suatu penelitian yang sangat besar menunjukkan efek protektif yang signifikan dari riwayat
persalinan pervaginam pada bekas SC satu kali, dan mungkin merupakan faktor protektif juga
pada bekas SC dua kali. Penelitian kohort yang besar oleh Zelop dkk. menemukan bahwa riwayat
persalinan pervaginam pada bekas SC menurunkan resiko terjadinya ruptur uterus. Ruptur 1,1%
terjadi pada wanita tanpa riwayat persalinan pervaginam dan hanya 0,2% pada wanita yang
pernah mengalami persalinan pervaginam setelah SC.
d. Interval persalinan
Shipp dkk. menyatakan bahwa waktu yang pendek antara SC dan percobaan persalinan
pervaginam berikutnya dapat meningkatkan resiko terjadinya ruptur uterus karena tidak tersedia
waktu yang adekuat untuk penyembuhan luka. Wanita dengan interval persalinan kurang dari 18
bulan, mempunyai resiko 2,3% dibandingkan dengan yang intervalnya lebih dari 18 bulan yaitu
1%.
Deman post partum SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka yang jelek dan pada
beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya PBBS.
Faktor Ibu
a. Umur
Suatu studi oleh Shipp dkk menyatakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin berhubungan
dengan kejadian ruptur yang lebih tinggi.
b. Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus.
a. Makrosomia
Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin karena terjadinya
distensi uterus.
Hanya satu penelitian mengenai hal ini dan ternyata dari 92 wanita, tidak terjadi ruptura uteri.
Risiko terjadinya ruptur 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 0,6% bila 2,6-3,5 mm dan 9,8% bila
tebalnya < 2,5 mm
d. Malpresentasi
Flamm dkk. melaporkan tidak terjadi ruptur pada 56 pasien yang dilakukan versi luar pada
presentasi bokong saat hamil aterm, namun karena tidak ada data yang definitif, prosedur ini
mungkin bisa berhubungan dengan terjadinya ruptur uterus.
Keberhasilan PPBS dapat diprediksi sebelumnya berdasarkan data-data yang diperoleh baik dari
anamnesis maupun pemeriksaan fisik terhadap pasien. Terdapat dua metoda yang bisa digunakan
untuk memprediksi hal ini, yaitu Skor dari Weinstein dan Alamia.
Tabel 2. Skor Weinstein
Skor Weistein :
Weinstein TidakYa
Indikasi SC yang lalu 0 4
Grade A 0 6
Malpresentasi
PIH
Gemelli
Grade B 0 5
Prematur
Ketuban pecah
Grade C 0 4
Gawat janin
Makrosomia
PJT
Interpretasi :
Interpretasi :
Infus Oksitosin merupakan metoda yang dominan untuk menginduksi ataupun augmentasi
persalinan, dan dari hasil metaanalisis ternyata kejadian ruptur uterus pada bekas SC
dibandingkan tanpa riwayat SC yang mendapat infus Oksitosin adalah seimbang, kira-kira 0,5 –0
1 % pada kedua kelompok.
Mengenai apakah terdapat perbedaan dosis Oksitosin pada wanita tanpa dan dengan riwayat SC
dihubungkan dengan terjadinya ruptur uterus masih merupakan pertanyaan. Goetzl
dkk. melakukan suatu panelitian case control tentang hal ini, dan menemukan tidak ada perbadan
yang signifikan dalam hal penggunaan oksitosin antara yang belum pernah SC dengan yang
pernah, baik dalam hal dosis awal, interval titrasi dosis, dosis maksimum, waktu saat dosis
maksimum.
Meskipun sebagian dokter kebidanan secara rutin mencatat integritas jaringan parut lama dengan
palpasi setelah persalinan pervaginam, namun menurut sebagian dokter lain eksplorasi uterus
semacam ini dirasakan tidak diperlukan. Saat ini, tidak diketahui apa efek dokumentasi suatu
jaringan parut asimptomatik pada reproduksi atau rute persalinan selanjutnya. Namun, terapat
kesepakatan umum bahwa harus dilakukan perbaikan bedah terhadap jaringan parut yang terbuka
hanya jika dijumpai perdarahan yang signifikan. Pemisahan asimptomatik umumnya tidak
memerlukan laparatomi eksplorasi dan perbaikan.
Risiko ruptur uterus meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya. Secara spesifik, terjadi
peningkatan sekitar tiga kali lipat resiko ruptur uterus pada wanita yang mencoba melahirkan per
vaginam dengan riwayat duakali sesar dibandingkan dengan riwayat satu kali sesar. American
College of Obstetricians and Gynecologists mengambil posisi bahwa wanita dengan riwayat dua
kali sesar transversal-rendah dapat dijadikan kandidat untuk VBAC.
Angka keberhasilan untuk percobaan persalinan sedikit banyak bergantung pada indikasi sesar
sebelumnya. Secara umum, sekitar 60 sampai 80 persen percobaan persalinan setelah sesar
menghasilkan pelahiran pervaginam. Angka keberhasilan agak meningkat jika sesar sebelumnya
dilakukan atas indikasi presentasi bokong atau distress janin dibandingkan jika indikasinya
adalah distosia. Faktor prognostik yang paling mendukung adalah riwayat pelahiran pervaginam.
Sterilisasi Elektif
Keinginan untuk sterilisasi permanen pada seorang wanita dengan riwayat sesar bukan
merupakan indikasi untuk mengulang sesar karena morbiditas akibat persalinan pervaginam dan
ligasi tuba pascapartum jauh lebih kecil daripada morbiditas akibat sesar berulang.
Pemakaian oksitosin untuk menginduksi atau memperkuat persalinan diduga berperan dalam
ruptur uterus pada wanita dengan riwayat sesat. American College of Obstetricians and
Gynecologists (2002) baru-baru ini menyarankan untuk tidak menggunakan prostaglandin untuk
mematangkan serviks atau menginduksi persalinan pada wanita yang mencoba melahirkan per
vaginam karena meningkatnya risiko ruptur uterus.
Dahulu, pemakaian analgesia epidural diperdebatkan karena adanya kekhawatiran bahwa teknik
ini dapat menyamarkan nyeri yang ditimbulkan oleh ruptur uterus. Hal ini terbukti tidak benar
dan sebagian besar otoritas tidak ragu melakukan analgesia epidural untuk wanita yang berupaya
melakukan VBAC.
Ruptur uterus dibedakan dari dehisens. Ruptur uterus mengacu kepada pemisahan insisi uterus
lama disertai ruptur membran janin sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum berhubungan.
Seluruh atau sebagian dan janin atau plasenta menonjol ke dalam rongga peritoneum. Pada
dehisens uterus, membran janin utuh dan janin atau plasenta, atau keduanya, tidak keluar ke
dalam rongga peritoneum ibu. Pemisahan jaringan parut semacam ini sering disebut sebagai
“jendela”.
Ruptur uterus umumnya bermanifestasi sebagai deselerasi denyut jantung janin. Kurang dari 10
persen wanita yang mengalami ruptur uterus mengalami nyeri dan perdarahan sebagai temuan
utama. Temuan klinis lain yang berkaitan dengan ruptur uterus adalah iritasi diafragma akibat
hemoperitoneum dan tidak diketahuinya tinggi janin yang terdeteksi sewaktu pemeriksaan
dalam. Beberapa wanita mengalami penghentian kontraksi setelah ruptur.
Penatalaksanaan ruptur uterus antara lain adalah sesar darurat atas indikasi gawat janian, terapi
pendarahan ibu, dan perbaikan defek uterus atau histerektomi jika perbaikan dianggap tidak
mungkin.
Rekomendasi VBAC
Kriteria Seleksi
Riwayat satu atau dua sesar transversal rendah
Tersedia dokter selama persalinan aktif yang mampu memantau persalinan dan melakukan sesar
darurat
Referensi:
American Coswllege of Obstericians and Gynecologists: Vaginal birth after previous cesarean
delivery. Practice bulletin No. 5, Juli 1999.