Anda di halaman 1dari 5

Ringkasan Masalah dan Peran Mahasiswa Menyikapi Masalah

A. Globalisasi
Ringkasan Masalah :
Saat ini, gerai kopi Starbucks memang telah menjadi salah satu hal yang mudah
untuk ditemukan bahkan di penjuru dunia manapun. Jika diperhatikan, hal ini tentunya
merupakan sebuah fenomena yang menarik. Pada tahun 1971, Starbucks awalnya
hanyalah sebuah toko kopi kecil yang terletak di daerah Seattle, Amerika Serikat. Namun
sekarang, gerai kopi tersebut telah berhasil membesar dan bahkan Starbucks menjadi
salah satu perusahaan terbesar di dunia. Sejak awal, Starbucks memang telah berniat
menjadi perusahaan yang sedikit berbeda dari perusahaan-perusahaan lainnya.
Perusahaan Starbucks ini tidak hanya berminat untuk sekedar menyediakan dan
mengagungkan kopi dalam usahanya, namun juga berusaha membangun perasaan saling
terhubung di antara tiap individu yang terlibat. Dari yang awalnya hanya sebuah gerai
kopi kecil di Seattle, saat ini terdapat lebih dari 18.000 gerai kopi telah buka dan tersedia
di 62 negara. Selain itu, Starbucks juga saat ini dianggap menjadi produsen kopi dengan
ciri khas khusus utama di dunia dan terus membawa serta menyediakan kopi sebagai
salah satu elemen utama dalam kehidupan manusia. Starbucks pun terus didatangi oleh
jutaan konsumen di seluruh penjuru dunia yang tanpa ragu-ragu mau menghabiskan uang
cukup besar demi menikmati segelas kopi yang ditawarkan oleh gerai kopi tersebut.
Dapat dilihat bahwa fenomena muncul dan berkembangnya Starbucks sebagai
salah satu korporasi penjualan kopi ternama di dunia merupakan sebuah fenomena yang
luar biasa. Dalam hal ini, dapat terlihat bahwa usaha ekspansi yang dilakukan Starbucks
nyatanya memunculkan banyak respon-respon dari masyarakat di berbagai penjuru dunia.
Tidak dapat dipungkiri pula bahwa berkembang pesatnya Starbucks Coffee di seluruh
dunia ini dimotori oleh sebuah fenomena yang dikenal sebagai globalisasi yaitu proses
menyeluruh dan mendunia yang berhasil menggeser nilai – nilai dan membentuk gaya
hidup baru dalam masyarakat. Globalisasi dalam hal ini membantu memotori Starbucks
Coffee untuk dapat melakukan ekspansi dan meng- „global‟. Globalisasi memfasilitasi
terjadinya dan penyebaran nilai-nilai serta produk Starbucks yang dikemas dalam bentuk
kopi dan gerai kopinya sehingga nilai serta produk tersebut dapat berpengaruh pada
kehidupan sebagian manusia di dunia. Kopi bahkan seolah telah menjadi gaya hidup bagi
sebagian masyarakat akibat Starbucks. Kopi tidak lagi dinikmati karena beberapa orang
membutuhkan kafein pada pagi hari untuk beraktivitas, tetapi lebih karena meminum
kopi merupakan sebuah pengalaman menyenangkan yang dapat dinikmati kapan saja.
Budaya meminum dan menikmati kopi ini bahkan telah menjadi sebuah gaya hidup
modern yang berkembang saat ini.
Dengan demikian, dalam hal ini Starbucks tidak hanya menggeser apa yang kita
minum dan apa yang kita makan, tetapi juga merubah beberapa hal lainnya seperti di
mana manusia bekerja, berkumpul, atau bermain. Starbucks dalam hal ini berhasil
menjadi salah satu perangkat yang melengkapi gaya hidup manusia, dan bahkan beberapa
orang melihat bahwa menjadi konsumen Starbucks mampu mempromosikan status
seseorang di masyarakat. Tentunya tidak semua dari negara-negara yang memiliki gerai
Starbucks merupakan negara yang mayoritas penduduknya mengkonsumsi kopi. Namun
demikian, penyesuaian dan sistem yang diterapkan oleh Starbucks nyatanya mampu
menggeser hal-hal tersebut sehingga negara-negara tersebut pun pada akhirnya juga
mengkonsumsi kopi Starbucks, terlepas dari berapa biaya yang mereka keluarkan.
Peran Mahasiswa Menyikapi Masalah :
Secara umum, mahasiswa memiliki 3 peran utama yaitu : sebagai “Iron Stock”,
“Guardian of Value”, dan “Agent of Change”. Maksudnya disini adalah mahasiswa
harusnya dapat menjadi pelindung nilai – nilai dan juga sebagai agen perubahan. Posisi
mahasiswa cukuplah rentan sebab kita berada diantara idealisme dan realita yang tidak
bisa luput dari yang namanya globalisasi. Saat kita berpihak pada idealism ternyata kita
melohat realita masyarakat yang semakin buruk. Saat kita berpihak pada realita ternyata
secara tidak sadar kita telah meninggalkan idealisme kita. Dari masalah globalisasi
starbucks yang telah mengubah gaya hidup masyarakat, peran kita sebagai mahasiswa
adalah tidak ada salahnya untuk tetap mengikuti gaya hidup masyarakat zaman now yang
mengonsumsi starbucks (kopi) sebagai keseharian dan kebiasaan. Hal ini wajar – wajar
saja jika hal tersebut dilakukan dalam batasan yang normal. Karena kita tidak bisa untuk
tidak mengikuti perubahan globalisasi yang ada. Yang bisa kita lakukan hanyalah
berusaha untuk beradaptasi dengan proses globalisasi yang ada saat ini dengan
mengambil hal – hal yang positif. Selain itu kita juga sebagai mahasiswa harusnya lebih
mencintai produk dalam negeri dan kebudayaan dalam negeri dibandingkan luar negeri.
Selain itu, kita sebagai mahasiswa juga harus memiliki wawasan yang luas, berpikir
kritis, cerdas dalam menyikapi berbagai hal, berani bersaing, bersikap terbuka, mamou
bekerja sama dengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda - beda, serta harus
bersikap responsive terhadap dinamika dan pluralisme.
B. Otonomi Daerah
Ringkasan Masalah :
Publik tengah dilanda semacam euforia penyelenggaraan Pilkada serentak 2018.
Kemenangan sejumlah pasangan calon yang selama ini dianggap sebagai representasi
pemimpin daerah ideal telah membangkitkan optimisme dan harapan akan tata kelola
daerah yang lebih baik. Sayangnya, optimisme dan harapan itu tercederai oleh peristiwa
terjaringnya dua kepala daerah dalam penangkapan yang dilakukan KPK. Seperti
diwartakan media massa, Selasa 3 Juli 2018 lalu, Gubernur Aceh dan Bupati Bener
Meriah ditangkap KPK atas dugaan kasus suap dana otonomi daerah. Secara umum,
peristiwa ini kian memperpanjang daftar kepala daerah yang menjadi pesakitan hukum
lantaran terjerat korupsi. Lebih dari itu, kasus ini sekaligus juga menguatkan tesis bahwa
otonomi daerah dan korupsi adalah dua hal yang saling berkait-kelindan dan sulit
dipisahkan.
Otonomi daerah merupakan salah satu agenda utama reformasi yang bertujuan
memangkas kesenjangan ekonomi-politik antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti
kita tahu, kebijakan sentralistis yang dipraktikkan di era Suharto telah memunculkan
ketimpangan kewenangan antara pusat dan daerah yang berujung pada munculnya
ancaman disintegrasi. Reformasi 1998 menjadi titik tolak bergesernya paradigma
pemerintahan dari sentralistis menuju desentralistis. Publik pun menaruh harapan besar
bahwa desentralisasi yang dimanifestasikan ke dalam aturan otonomi daerah akan
membawa perbaikan bagi daerah. Publik berharap, otonomi daerah akan membawa
mewujudkan pemerintahan daerah yang demokratis, adaptif pada lokalitas, namun tetap
dalam kerangka integritas-nasional.
Survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2017 lalu, misal,
menyebut bahwa praktik otonomi daerah gagal dalam mewujudkan tujuan awalnya.
Indikator kegagalan tersebut dapat dilihat dari sejumlah hal. Pertama, tingginya angka
kemiskinan yang menunjukkan ada problem terkait distribusi dan pemerataan hasil
pendapatan. Kedua, rendahnya kualitas layanan publik sebagai ekses dari kegagalan
reformasi birokrasi di level daerah. Ketiga, menguatnya sentimen politik identitas
berbasis kesukuan dan kedaerahan yang tentunya mengancam integrasi nasional.
Keempat, tumbuh suburnya politik dinasti, yakni kekuasaan politik daerah yang
dijalankan oleh orang-orang dalam satu rumpun keluarga. Keempat, maraknya fenomena
korupsi di level daerah yang umumnya melibatkan oknum pejabat daerah, anggota
legislatif daerah dan elite ekonomi lokal.
Maraknya kasus OTT KPK yang menyasar pejabat daerah selama ini adalah bukti
sahih bahwa terdapat korelasi positif antara otonomi daerah dan praktik korupsi.
Terhitung sejak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, yakni pada tahun
2005, sampai saat ini tidak kurang dari 355 kepala daerah menjadi tersangka kasus
korupsi. Di antara sekian banyak kasus tersebut, modus operandi korupsi yang paling
banyak dilakukan pejabat daerah adalah menerima suap atas perijinan pengelolaan
sumber daya alam, suap pemenangan tender proyek atau pengadaan barang, serta suap
dalam penyusunan anggaran. Kewenangan penuh yang dimiliki kepala daerah
memungkinkan terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang
berujung pada perilaku koruptif.
Peran Mahasiswa Menyikapi Masalah :
Mahasiswa layak untuk disebut sebagai agent of change, social control, kaum intelektual,
insane akademis ataupun kita mengenal slogan “Maju mundurnya suatu bangsa
tergantung pada pemudanya”. Sebagai mahasiswa kita memiliki peran dengan
menunjukkan kepedulian kita dalam pembangunan daerah untuk mendukung
terlaksananya otonomi daerah. Dalam masalah diatas, membahas tentang kegagalan
otonomi dareah yang disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan daerah sehingga
menimbulkan adanya korupsi di kalangan kepala daerah. Kita tentu patut memberikan
penghargaan setinggi-tingginya pada KPK yang tanpa lelah memberantas korupsi.
Operasi tangkap tangan sebagai salah satu strategi andalan KPK tentu layak
dipertahankan. Namun demikian, kita harus sadar bahwa pemberantasan korupsi tentu
tidak akan tuntas jika hanya dibebankan pada KPK dengan model operasi tangkap
tangan. Diperlukan upaya pencegahan korupsi yang lebih sistematis dan terencana untuk
menutup celah potensi korupsi yang disisakan oleh sistem otonomi daerah tersebut.
Mahasiswa dapat berperan dengan memberikan saran membuat mekanisme layanan e-
procurement, e-catalog, e-planning dan e-budgetting idealnya menjadi hal yang wajib
dipraktikkan oleh semua daerah di Indonesia. Di samping itu semua, partisipasi aktif
dalam mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan daerah merupakan hal yang
mutlak. Tanpa adanya kekuatan check and balance yang berasal dari civil society, dapat
dipastikan kepala daerah akan menjadi raja-raja kecil yang congkak, arogan dan korup.

Anda mungkin juga menyukai