Anda di halaman 1dari 40

STUDENT PROJECT

COMPOSITE RESIN

Pembimbing: drg. Mia Ayustina Prasetya, Sp.KGA


Penguji: drg. Eka Pramudita Ramadhany, Sp. Perio., Sert. KGI., FISID

KELOMPOK SGD 4

Ni Putu Ayu Sathya Wika Putri  1802551005


Ida Ayu Triadi Pratimordika Putri 1802551007
Ivan Soendoro 1802551015
Dwika Irfan Herianto 1802551017
Sri Kresna Anggapati 1802551019
Rika Aprillia 1802551021
Ayu Bintang Rena Sanjiwani Budhiarta 1802551023
Made Indira Paramita 1802551043

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI


DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya kami dapat menyusun Student Project ini tepat pada waktunya.
Student Projectini membahas Literature Review “Composite Resin”.
Terima kasih kami ucapkan kepada drg. Mia Ayustina Prasetya, Sp.KGA
selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan serta
bimbingan yang sangat berarti bagi penyusunan Student Project ini.
Penulis menyadari bahwa Student Project ini belum sempurna seperti yang
diharapkan dikarenakan keterbatasan kemampuan dan keilmuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun, demi kebaikan Student Project ini.
Semoga Student Project ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya. Terima Kasih.

Denpasar, 19 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan......................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................. 4
2.1 Definisi Composite Resin……....................................................... 4
2.2 Komposisi Composite Resin…………........................................... 4
2.3 SejarahComposite Resin............................................................... 6
2.4 KlasifikasiComposite Resin......................................................... 7
2.4.1 Berdasarkan Ukuran Partikel Filler……………………… 7
2.4.2 Berdasarkan Bentuk Sediaan…...………………………… 10
2.4.3 Berdasarkan Sistem Polimerisasi………………………… 11
2.5 Sifat Composite Resin................................................................... 12
2.5.1 Sifat Fisik Composite Resin ……………………………… 12
2.5.2 Sifat Mekanis Composite Resin……………………...…… 14
1
2.6. Reaksi PolimerisasiComposite Resin..........................................
4
2.6.1 Shrinkage Stress……………………………………… 16
2.6.2 Faktor yang Berperan dalam Stress Polimerisasi
16
Shrinkage…………………………………………………
2.7 AdhesiComposite Resin…………………...…………………… 18
2.7.1 Klasifikasi Sistem Adhesi 19
2.7.1.1 Total Etch System………………………………… 19
2.7.1.2 Self Etch System…………….…………………... 19
2.7.2 Adhesi Enamel dengan Composite Resin……………….. 20
2.7.3 Adhesi Dentin dengan Composite Resin………………... 20
2.8 Restorasi Composite Resin…...……………………………….. 21
2.8.1 Prosedur Pengaplikasian Restorasi Composite Resin 21
2.8.2 Indikasi dan kontraindikasi Composite Resin 22
2.8.3 Kelebihan dan Kekurangan Composite Resin 23
2.9 Inovasi terbaruComposite Resin….…………………………… 24
2.9.1 Antibacterial Light Cured Resin Composite mengandung
nano-MgO………………………………………………. 24

ii
iii

2.9.2 Carbon fiber-Si3N4 nanowires-hydroxyapatite (CF-


Si3N4nws-HA)/Phenolic Resin Composites untuk
Biological Applications (Bonegraft)……………………... 28
BAB 3: PENUTUP...................................................................................... 29
3.1 Kesimpulan............................................................................... 29
3.2 Saran......................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Formulasi Composite Resin yang akan diteliti................................ 26


Tabel 2. Hasil Uji Composite Resin……………........................................... 26
Tabel 3. Kehilangan tinggi (A) dan kehilangan volume (B) komposit resin
setelah 800 siklus pemakaian………………………………… 26
Tabel 4. Compressive Strength (CS) dari Composite Resin eksperimental 27

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Nilai C-factor Pada Setiap Kavitas............................................. 18

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Composite Resin merupakan salah satu bahan restorasi yang sewarna
dengan gigi yang saat ini banyak digunakan karena memiliki nilai estetis yang
tinggi dibandingkan dengan bahan restorasi yang lain. Resin komposit
merupakan salah satu polimer yang dapat menggeras atau setting melalui
proses polimerisasi, dengan self cure maupun light cure. Menurut
terminologinya resin komposit atau resin-based composite adalah struktur
yang terbentuk dari 3 komponen utama yaitu cross-linked polimer matriks
yang diperkuat oleh dispersi dari glass, mineral atau partikel resin filler, dan
coupling agent. Filler anorganik berperan terhadap kekuatan dari resin
komposit itu sendiri. Matriks resin digunakan untuk membentuk fisik dari
resin komposit agar bisa diaplikasikan. Sedangkan coupling agent berfungsi
untuk menyatukan filler dan matriks resin. Resin ini digunakan untuk
restorasi dan menggantikan jaringan gigi yang telah hilang atau rusak
disebabkan oleh penyakit atau trauma, dan juga untuk bahan lutting dan
cement crown, veneer, dan alat dental lainnya (Anusavice, 2013).
Bahan restorasi lainnya seperti amalgam memiliki kelemahan seperti
estetika yang kurang baik, bahaya kesehatan karena kebocaran merkuri pada
tumpatan, dan sisa bahan yang digunakan. Karena resin komposit bisa dibuat
sama atau match dengan warna natural gigi, ia menjadi bahan restorasi yang
paling banyak digunakan untuk estetika. Kelebihan lain resin komposit,
konsistensinya dapat dimanipulasi dari sangat encer sampai keras, dimana hal
ini sangat menguntungkan pada pengaplikasiannya (Anusavice, 2013).
Pengaplikasiannya beragam mulai dari material restorasi kavitas dan crown,
adhesive bonding agent, pit and fissure sealants, endodontik sealant, bonding
untuk ceramic veneer dan semen untuk crown, bridge, dan gigi tiruan lainnya.
Klasifikasi resin komposit salah satunya berdasarkan ukuran partikel
filler dan distribusinya. Ada juga kategori hybrid yang menggabungkan filler
dari kecil dengan micro dan nanofiller. Banyak dental komposit modern yang
memiliki ukuran partikel yang kurang dari 0,5 sampai 1,0 μm dengan

1
2

kombinasi 10% atau lebih beratnya dengan micro atau nanofiller untuk
mendapatkan pasta dengan viskositas yang diinginkan, yang nantinya
berfungsi untuk kemudahan manipulasi bahan (Anusavice, 2013). Ukuran
filler pada resin komposit dapat berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanis
resin komposit. Filler berukuran nano akan mudah dipolish dan menghasilkan
tambalan resin komposit yang mengkilat. Untuk meningkatkan sifat mekanis
resin komposit bahan pengisi tidak hanya ditambah volumenya, tetapi juga
harus dimodifikasi agar sifat mekanisnya bertambah baik. Modifikasi resin
komposit dapat dilakukan dengan penambahan fiber (Lohbauer dkk.,2013).
Resin komposit tidak mampu berikatan secara kimiawi dengan jaringan
keras gigi. Hal ini dapat menyebabkan marginal leakage, marginal stain,
karies sekunder dan iritasi pulpa, sehingga dibutuhkan suatu bahan yaitu
bonding. Bonding merupakan suatu proses interaksi zat padat maupun cair
dari suatu bahan (adhesive) dengan bahan lain (adherend). Penggunaan
bonding berperan pada perlekatan resin komposit ke struktur jaringan keras
gigi, sehingga meningkatkan perlekatan resin komposit sebagai bahan
restorasi. Penyusutan pada saat polimerisasi tetap menjadi kekurangan dari
bahan resin komposit. Dalam mengurangi penyusutan saat polimerisasi, resin
komposit flowable memperkenalkan generasi terbaru yaitu Stress Decreasing
Resin (SDR). Stress Decreasing Resin merupakan resin komposit flowable
terbaru yang direkomendasikan sebagai pengganti dentin. Bahan ini
merupakan suatu komponen berisi fluoride¸ visible light cure, resin komposit
yang bersifat radiopak dan didesain untuk digunakan sebagai basis restorasi
klas I dan II yang memiliki risiko yang tinggi (Mine, 2019).
Karena masih banyak kelemahan dari resin komposit, maka untuk
mengembangkan penggaplikasian resin komposit perlu diteliti lebih lanjut
demi mengatasi kekurangan-kekurangan yang dimiliki resin komposit saat
ini. Tetapi, sebelum memulai sebuah penelitian dan pengembangan suatu
dental material, dasar-dasar dari suatu bahan perlu dipelajari dan dikuasai
terlebih dahulu, sehingga nantinya tidak terjadi kesalahan pada penelitian
berikutnya.
3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dimbil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari resin komposit?
2. Apa saja komposisi dari resin komposit?
3. Bagaimana sejarah penggunaan resin komposit?
4. Apa saja klasifikasi dan sifat dari resin komposit?
5. Bagaimana terjadinya reaksi polimerisasi resin komposit?
6. Bagaimana adhesi yang terjadi pada resin komposit?
7. Bagaimana prosedur restorasi resin komposit?
8. Apa kelebihan dan kekurangan dari penggunaan resin komposit?
9. Apa isu terkini tentang resin komposit?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan ini
sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui pengertian resin komposit.
2. Dapat memahami komposisi dari resin komposit.
3. Dapat mengetahui sejarah dari penggunaan resin komposit.
4. Dapat mengetahui klasifikasi dan sifat dari resin komposit.
5. Dapat mengetahui reaksi polimerisasi dari resin komposit.
6. Dapat mengetahui bagaimana adhesi yang terjadi pada resin komposit.
7. Dapat mengetahui prosedur restorasi resin komposit.
8. Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari penggunaan resin
komposit.
9. Dapat mengetahui isu terkini tentang resin komposit.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Secara khusus: untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan
mahasiswa tentang Composite Resindalam Kedokteran Gigi.
2. Secara umum: sebagai tinjauan pustaka untuk penelitian selanjutnya
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Composite Resin


Composite resinadalah bahan restorasi gigi yang digunakan di sebagai
bahan restorasi karies, abrasi enamel, dan juga kebutuhan estetika yang
akhirnya diharapkan dapat mengembalikan fungsi dari gigi tersebut. Secara
umum, Composite resin adalah penambahan polimer yang digunakan untuk
memperbaiki email dan dentin. Komponen enamelin pada email mewakili
matriks organik, pada dalam dentin, matriks terdiri dari kolagen
(Noort,2013).
Perkembangan bahan composite resin dimulai dari akhir 1950 dan awal
1960-an. Ketika bowen melakukan uji coba untuk memperkuat resin epoksi,
percobaan ini menghasilkan perkembangan molekul bis-GMA. Ternyata
molekul tersebut memenuhi persyaratan matriks resin suatu komposit gigi.
Dengan adanya penemuan ini, semen silikat dan resin akrilik dengan cepat
digantikkan menggunakan bahan resin komposit untuk restorasi anterior di
bidang kedokteran gigi (Anusavice,2013).

2.2 Komposisi Composite Resin


Composite Resinmemiliki tiga kompenen utama yang berasal dari
bahan organik dan anorganik kemudian disatukan oleh bahan interfacial atau
coupling agent. Bahan organik tersebut adalah matriks dan bahan anorganik
tersebut adalah filler, kemudian kedua bahan ini diikat oleh coupling agent
dan bahan-bahan lainnya (Cabe and walls,2012).
1. Matriks Organik (Resin)
Matriks resin tersusun dari monomer aromatic atau aliphatic
diacrilat. Bahan dimetakrilat yang paling sering digunakan yaitu
Bishpenol-A-Glycidyl Metachrylate (Bis GMA), Uretan dimetakrilat
(UDMA), dan tri eltilen glikol dimetakrilat (TEGDMA).
Ketiga komponen tersebut digunakan untuk membentuk polimer
cross linked yang kuat pada komposit, material sealent, dan mengontrol

4
5

konsistensi pada resin komposit. Tri eltilen glikol dimetakrilat


(TEGDMA) merupakan matriks yang mengatur viskositas dan dianggap
sebagai faktor internal terjadinya diskolorisasi pada resin komposit.
Matriks resin BISGMA memiliki kekentalan tinggi yang disintesi
melalu melalu reaksi bisphenol A dan glycidyl methacrylate oleh
bowen. Monomer dengan kekentalan rendah terkandung didalam
TEGDMA dan UDMA. Sayangnya, penambahan TEGDMA dengan
berat molekul rendah dapat meningkatkan polimerisasi shrinkage
(Anusavice, 2013).
2. Partikel bahan pengisi (filler)
Filler merupakan bahan anorganik yang dihasilkan dari
pengolahan quartz atau kaca untuk menghasilkan partikel yang berkisar
0,1-100 µm. Filler yang berikatan dengan matriks akan meningkatkan
sifat bahan matriks tersebut. Komposit yang ditambahkan dengan filler
secara signifikan akan mengurangi terjadinya pengerutan pada saat
polimerisasi, mengurangi penyerapan cairan, ekspansi koefisien panas,
serta meningkatkan sifat mekanis seperti, kekerasan, kekuatan,
kekakuan, dan ketahanan terhadap abrasi atau pemakaian (Anusavice,
2013).
Partikel filler pada resin komposit adalah silica organik. Partikel ini
dapat mengurangi shrinkage dan memberikan sifat radiopak. Faktor
lainnya yang perlu diperhatikan adalah banyaknya bahan pengisi yang
ditambahkan, ukuran filler yang digunakan dan distribusinya, serta
kekerasan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi sifat komposit
dan pengaplikasian secara klinis (Anusavice, 2013).
3. Coupling agent(bahan pengikat)
Coupling agentberfungsi sebagai bahan pengikat untuk mengikat
partikel bahan pengisi dengan matriks. Bahan pengikat tersebut
memiliki kegunaan untuk meningkatkan sifat mekanis dan sifat fisik
resin, bahan ini berfungsi untuk mengikat filler ke matriks dan sebagai
bahan stress absorber yang akan meneruskan tekanan ke partikel
pengisi. Bahan pengikat yang paling sering digunakan adalah
6

organosilanes (3-metoksi-profil-trimetoksi silane), Zirconate, dan


titanates (Noort, 2013).

2.3 Sejarah Composite Resin


Resin komposit merupakan material restorasi yang pada saat ini
sering digunakan di dunia kedokteran gigi. Perkembangan resin komposit
juga sejalan lurus dengan perkembangan teknologi saat ini. Pertama kali,
resin komposit merupakan perkembangan dari resin akrilik namun gagal
untuk dikembangkan. Hal ini lah yang memicu para peneliti terus meneliti
dan menginovasi perkembangan resin komposit
Pada tahun 1962, Dr. Ray L. Bowen mulai mengembangkan
material resin komposit yang baru. Dr, Bowen melakukan inovasi dengan
mengganti resin akrilik dengan bisphenol A glycidyl methacrylate (bis-
GMA), dimethakrilat dan silane orgnaik yang disebut dengan coupling agent
untuk mengikat partikel filler dan matriks resin. Inovasi terus dilakukan,
mulai dari merubh komponen dan ukuran filler, jumlah filler, proses
polimerisasi/curing, serta komposisi etsa-bonding. Ukuran filler semakin
lama semakin diperkecil, hal ini bertujuan untuk meningkatkan estetik dan
memudahkan pada saat pemolesan. Penambahan barium dan beberapa
mineral inorganik pada filler juga dilakukan untuk meningkatkan
radiopasitas, sehingga tampak terlihat jelas gambaran restorasi resin komposit
apabila dilakukan foto rontgen. Selain itu, penambahan ini juga dapat
mempermudah proses manipulasi, mengurangi shrinkage ketika proses
curing/polimerisasi dan meningkatkan sifat mekanis.
Pada awal tahun 1970, komposit tradisional (konvesional atau
makrofiller komposit) mulai dikembangkan. Komposit ini memiliki
kandungan partikel filler yang sangat besar sehingga permukaan yang
dihasilkan pada saat setting agak kasar, akibatnya didapatkan abrasi pada
resin matriks yang mengelilingi partikel filler. Hal ini dikarenakan pada
komposit tradisional, resin matriksnya memiliki struktur yang lebih lunak
dibandingkan dengan partikel filler. komposit tradisional ini tidak
memerlukan activator dalam proses polimerisasinya karena material komposit
7

ini bekerja secara self-cured. Pada pertengahan tahun1970-an mulai


dikembangkan lagi komposit dengan ukuran filler yang lebih kecil, sehingga
dihasilkan komposit midifiller, namu masih dengan metode self-cured dalam
proses polimerisasinya.
Penelitian mengenai penurunan ukuran filler komposit terus
dikembangkan. Akhirnya pada awal tahun 1980, ukuran filler mulai diubah
menjadi 0,5 µm dan diikuti dengan jumlah filler yang bertambah di dalam
komposit, sehingga komposit ini dinamakan mikrofiller. Mikrofiller
menghasilkan permukaan yang lebih halus, meningkatkan wear resistance,
dan menurunkan shrinkage. Pada awal tahun 1990an, mulai dikembangkan
komposit midihybrid yaitu komposit yang menggabungkan komposit
midifiller dan komposit mikrofiller. Komposit midihybrid ini mulai
menggunakan activator sinar tampak biru selama proses polimerisasinya.
Pada awal tahun 2000, perkembangan material resin komposit
semakin meningkat. Selain semakin menurunkan ukuran filler nya, saat ini
sudah muncul sampai dengan ukuran nanometer, jumlah filler yang
digunakan juga bervariasi. Jumlah filler yang sedikit digunakan untuk
mendapatkan viskositas resin komposit yang agak encer yang dinamakan
dengan flowable komposit dan penggunaan jumlah filler yang cukup banyak
digunakan untuk mendapatkan viskositas yang cukup padat, sehingga
dinamakan packable komposit (Istikharoh,2018).

2.4 Klasifikasi Composite Resin


2.4.1 Berdasarkan Ukuran Partikel Filler
1. Resin Komposit Makrofiller
Resin komposit makrofiller adalah resin komposit yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1960an. Namun, saat ini resin komposit
makrofill sudah jarang digunakan di klinisi. Resin komposit makrofill
pada umumnya mengandung 75% - 80% filler anorganik berdasarkan
berat. Rata-rata ukuran partikel pada resin komposit ini kurang lebih
8µm – 12µm. Ukuran partikel yang cukup besar dan sifatnya yang
8

sangat keras, menyebabkan resin komposit mempunyai struktur


permukaan yang kasar (Pasril, 2013).

2. Resin Komposit Mikrofiller


Resin komposit mikrofill diperkenalkan pada akhir tahun 1970an.
Material ini didesain untuk menggantikan resin komposit sebelumnya
yang permukaannya kasar. Resin komposit mikrofill mengandung
partikel koloida silika dengan diameter 0,04 sampai 0,4 µm (Kiptia,
2014). Ukuran partikel yang kecil inilah yang membuat resin komposit
jenis ini memiliki permukaan halus dan mengkilap yang menyerupai
email. Resin komposit mikrofill umumnya memiliki kandungan filler,
berdasarkan berat, sebanyak 35% - 60%. Kandungan filler yang lebih
sedikit membuat sifat mekanis dan fisik resin komposit mikrofill lebih
rendah dibandingkan resin komposit makrofill. Komposit mikrofill baik
digunakan untuk restorasi kelas 3 dan 5 yang membutuhkan nilai estetis
tinggi (Pasril, 2013).

3. Resin Komposit Hibrid


Resin komposit hybird dibuat dengan mengkombinasikan sifat
mekanis dan fisik dari komposit macrofiller dengan permukaan yang
halus dan mengkilap yang dimiliki komposit microfiller dengan ukuran
partikel filler rata-rata 0,6-1,0 um. Anusavice (2003) mengemukakan
bahwa resin komposit lain yang memiliki kandungan dua atau lebih
filler dengan ukuran partikel yang berbeda dapat dikategorikan sebagai
resin komposit hibrid. Secara umum, material ini mengandung filler
sebanyak 75% - 85% berdasarkan berat. Resin komposit hybrid
memiliki sifat fisik dan mekanis yang baik, permukaan yang halus,
serta mudah dipoles. Kelebihan resin komposit jenis ini adalah
memiliki tingkat kekuatan yang tinggi dan memiliki permukaan yang
halus sehingga resin komposit jenis hybrid sering digunakan untuk
bahan restorasi gigi anterior maupun posterior. Resin komposit hybrid
9

juga memliki kekurangan seperti resin konvensional yaitu mudah


mengalami diskolorasi atau perubahan warna (Kiptia, 2014).
Ada dua jenis resin komposit hybrid yaitu :
a. Resin Komposit Microhybrid
Resin komposit microhybrid merupakan gabungan antara resin
komposit macrofiller dan microfiller. Kandungan filler yang dimiliki
oleh resin komposit mikrohibrid rata rata berukuran 0,4µm - 1µm.
Komposit ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan
restorasi yang kuat namun tetap estetik, sehingga resin komposit
microhybrid lebih unggul dibandingkan dengan resin komposit
microfiller (Anusavice, 2013)
b. Resin Komposit Nanohybri
Komposit nanohybrid merupakan gabungan antara komposit
microfiller dan komposit nanofiller. Kandungan filler yang dimiliki
resin komposit nanohibrid rata rata berukuran 0,2µm-3µm. Komposit
nanohybrid memiliki kekuatan yang baik serta permukaan yang baik
ketika dipoles (Anusavice, 2013).

4. Resin Komposit Nanofiller


Resin komposit jenis ini memiliki partikel filler yang sangat kecil
(0,005-0,01 µm). Ukuran partikel filler yang sangat kecil inilah yang
menyebabkan partikel mudah menggumpal. Oleh karena itu, pada resin
komposit ini dilakukan packaging yang optimal. Ukuran partikel filler
yang sangat kecil ini juga memudahkan proses pemolesan (Pasril,
2013).
Komposit nanofiller memiliki kekuatan mekanis setara komposit
hybrid dan karakteristik estetis yang baik seperti komposit microfiller.
Bonding agent diperlukan agar menghasilkan ikatan yang baik antara
gigi dan resin komposit nanofiller. Partikel nano yang kecil menjadikan
resin komposit nanofiller dapat mengurangi polymerization shrinkage
dan mengurangi adanya micro fissure pada tepi email yang berperan
pada marginal leakage, dan perubahan warna (Cabe & Walls, 2012).
10

Keuntungan yang dimiliki resin komposit nanofiller antara lain adalah


a. Kandungan filler yang tinggi dapat meningkatkan sifat fisik resin
komposit tanpa meningkatkan viskositasnya.
b. Mudah dilakukan pemolesan, tahan lama serta memiliki nilai
estetis yang tinggi.
c. Mengingkatkan ketahanan terhadap keausan.
d. Mengurangi volumetric shrinkage (1,5% - 1,7%) dibandingkan
dengan resin komposit jenis lain.

2.4.2 Berdasarkan Bentuk Sediaan


Klasifikasi resin komposit berdasarkan manipulasi, terdiri dari
packable composite dan flowable composite. Perbedaan antara kedua
komposit tersebut, terdapat dalam kandungan filler dan matriks
sehingga menentukan viskositas material. Resin komposit “packable”
atau “condensable” mengandung muatan filler yang lebih tinggi dan
ukuran filler yang beraneka ragam, sehingga mempengaruhi handling
dan konsistensinya. Penambahan muatan filler memberi keuntungan
packable composite mempunyai kemampuan menyerupai kemampuan
handling dan kondensasi amalgam, sehingga dapat membentuk kontak
proksimal dengan baik. Resin komposit jenis flowable memiliki
viskositas yang lebih rendah dibandingkan resin komposit packable
(Nurhapsari, 2018).

1. Resin Komposit Packable


Packable merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebut
resin komposit pasta yang memiliki viskositas tinggi. Viskositas yang
tinggi ini akan memudahkan saat diaplikasikan pada gigi.
Pengembangan resin komposit jenis ini memiliki dua tujuan, yaitu
memudahkan pengaplikasian pada restorasti di area kontak proksimal
dan cara pengaplikasian yang sama dengan amalgam. Viskositas yang
tinggi membuat resin jenis ini sulit untuk mencapai adaptasi marginal
yang optimal, untuk mengatasi ini, klinisi dapat mengaplikasikan
11

flowable resin komposit terlebih dahulu sepanjang marginal bagian


proximal untuk memperbesar adaptasi (Pasril, 2013).

2. Resin Komposit Flowable


Resin komposit flowable memiliki viskositas/ kekentalan yang
rendah. Komposisi filler yang rendah dan kemampuan flow yang tinggi
menyebabkan bahan ini dapat dengan mudah mengisi atau menutup
kavitas kecil. Kelebihan bahan ini adalah memiliki kemampuan untuk
membasahi permukaan gigi, memastikan penetrasi ke dalam setiap
iregularitas, membentuk lapisan dengan ketebalan minimal,
memperbaiki dan mengeliminasi udara yang masuk, radio-opaqueness,
dan fleksibilitas tinggi. Resin komposit flowable diindikasikan untuk
restorasi klas I, II, V, pit dan fissure sealants, bahan reparasi batas tepi
restorasi, dan lebih sering digunakan sebagai liner dibawah resin
komposit hybrid dan packable.
Komposit flowable umumnya memiliki kandungan filler yang lebih
sedikit dan memiliki sifat fisik serta mekanis yang lebih rendah
dibandingkan dengan resin komposit jenis lain yang mengandung filler
lebih banyak. Resin jenis ini juga memiliki resiko polimerisasi
shrinkage yang lebih tinggi (Pasril, 2013).

2.4.3 Berdasarkan Sistem Polimerisasi


1. Resin Komposit Diaktivasi Kimia (self-cured)
Resin komposit self-cured merupakan resin yang diaktivasi secara
kimia. Resin komposit terdiri dari dua pasta. Salah satu pasta berisi
inisiator benzoyl peroxide dan pasta lain berisi activator tertiary amine.
Apabila kedua pasta diaduk, amin bereaksi dengan benzoil peroksida
untuk membentuk radikal bebas dan polimerisasi tambahan dimulai.
Resin komposit self-cured mempunyai working time 1-1,5 menit dan
setting time 4-5 menit (Kiptia, 2014).
12

2. Resin Komposit Diaktivasi oleh Sinar (Light Cure)


Resin ini merupakan tipe resin komposit yang paling sering
digunakan dalam praktek kedokteran gigi. Resini tipe ini mudah
dimanipulasi karena setting time yang dapat dikontrol karena resin ini
baru akan mengeras apabila sudah diaplikasikan sinar (light-cured).
Blue light memiliki pajang gelombang sekitar 468 nm yang bekerja
sebagai aktivasi setiap inisiator camphoroquinone untuk bereaksi
dengan accelelator amine organik. Apabila tidak di aplikasikan curing
maka kedua bahan tersebut tidak akan bereaksi (Kiptia, 2014).

3. Resin Komposit Dual-cured


Resin ini merupakan resin dengan sistem dua pasta, yang
mengandung inisiator dan aktivator cahaya serta kimia. Keuntungan
dari pemakaian resin ini adalah ketika dua pasta dicampur dan
diaplikasikan, lalu di curing dengan light cure unit sebagai reaksi
pengerasan awal kemudian secara kimia akan melanjutkan reaksi
pengerasan pada bagian yang semula tidak terkena sinar sehingga
pengerasan terjadi sempurna (Kiptia, 2014).

2.5 Sifat Composite Resin


2.5.1 Sifat Fisik Composite Resin

1. Kedalaman Penyinaran
Penyinaran yang tidak adekuat pada lapisan bawah dari restorasi
menyebabkan pembentukan celah (gap), kebocoran tepi, karies
sekunder, pulpa sensitif dan kegagalan restorasi secara keseluruhan. Hal
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tipe filler dan komposisi,
sifat kimia dari resin, warna dan translusensi, konsentrasi aktivator-
inisiator, intensitas, distribusi spektrum dan durasi dari penyinaran.
Penumpatan restorasi resin komposit harus dilakukan secara
incremental, dengan ketebalan maksimal 2mm untuk mendapatkan
uniform polymerization. Pada saat penumpatan jarak dari ujung light
cure 3-4 mm ke arah permukaan restorasi (Pasril, 2013).
13

2. Polymerisation shrinkage
Menyebabkan Postoperative sensitivity, tooth fracture, microleakage
& secondary caries. Semakin kecil partikel filler memyebabkan
polymerisation shrinkage meningkat. Hal-hal yang dapat mengurangi
terjadinya shrinkage yaitu peletakan resin komposit secara incremental,
peletakan glass-ionomer sebagai basis, peletakan glass-ionomer sebagai
liner/shock absorber (Pasril, 2013).

3. Sifat Termal
Koefisien ekspansi termal resin komposit tiga kali lebih besar dari
struktur gigi dan bervariasi tergantung dari persentase filler. Resin
komposit dengan volume filler rendah (microfill) memiliki koefisien
ekspansi termal rendah. Koefisien ekspansi termal (α) adalah 25-38 x
10 -6 /°C fine particles & 55-68 x 10 -6/°C microfine particles
(Sitanggang, 2015).

4. Kemampuan Menyerap Air dan Kelarutan


Kemampuan resin komposit menyerap air, tergantung pada matriks
resin dan komposisi resin. Intensitas penyinaran yang tidak adekuat
menyebabkan polimerisasi yang tidak adekuate mengakibatkan
peningkatan penyerapan air & kelarutan sehingga terjai marginal
staining. Pada partikel hybrid, kemampuan penyerapan air adalah (5-
17µg/mm3) lebih kecil dibandingkan dengan komposit dengan partikel
microfine (26-30µg/mm3). Kualitas dan stabilitas dari silane coupling
agent meminimalisasi lepasnya ikatan antara filler dan matriks
menurunkan resiko penyerapan air oleh komposit. Resin komposit
mencapai kestabilan terhadap penyerapan air setelah 7 hari pasca
penumpatan (Kafalia, 2017).
14

5. Stabilitas Warna
Dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik & faktor ekstrinsik (kopi, teh,
beberapa obat kumur dan pemutih). Stress cracks dalam polimer
matriks & lepasnya sebagian ikatan antara filler dan resin (hidrolisis)
menyebabkan peningkatan opasitas dan perubahan warna dari
komposit. Diskolorisasi juga dapat disebabkan karena adanya proses
oksidasi dan adanya pertukaran air di dalam polimer matriks (Kafalia,
2017).

2.5.2 Sifat Mekanis Composite Resin

1. Sterength & Modulus


Flexural & Compressive Moduli dari resin komposit jenis
microfilled dan flowable 50% lebih rendah daripada resin komposit
jenis hybrids & packable. Resin komposit memiliki Compressive
modulus yang lebih kecil dibandingkan amalgam (62 GPa), dentin (19
GPa) dan email (83 GPa) (Sitanggang, 2015).

2. Knoop Hardness
Resistensi suatu material terhadap indentasi di bawah tekanan
fungsional. Resin komposit memiliki knoop hardness 22-80 kg/mm2,
dimana lebih rendah dibandingkan email (343 kg/mm2) dan amalgam
(110 kg/mm2). Resin komposit dengan fine particles memiliki knoop
hardness yang lebih besar dibandingkan resin komposit dengan
microfine particles. (Sitanggang, 2015).

2.6 Reaksi Polimerisasi Composite Resin


Polimerisasi adalah reaksi kimia yang mengubah molekul-molekul kecil
menjadi polimer besar (Pires-de-Souza, et al., 2009). Proses polimerisasi
dimulai oleh activator (kimia atau sinar) yang menyebabkan molekul inisiator
membentuk radikal bebas. Proses polimerisasi terbagi menjadi tiga tahap,
yaitu tahap inisiasi, propagasi dan terminasi (Powers & Sakaguchi, 2006).
Tahap inisiasi merupakan pembentukan radikal bebas dari suatu molekul
15

yang diperlukan untuk tahap propagasi. Radikal dapat dihasilkan dari inisiator
radikal. Tahap propagasi merupakan tahap reaksi yang cepat karena radikal
yang terbentuk menyerang molekul lain dan menghasilkan radikal baru.
Monomer yang telah bereaksi dengan radikal bebas bereaksi dengan molekul
lain sehingga terjadi perpanjangan rantai. Pada tahap terminasi ini terjadi
proses pemutusan rantai. Terminasi terjadi karena reaksi penggabungan
reaktan radikal yang membentuk molekul tunggal (Powers & Sakaguchi,
2006).
Shrinkage polimerisasi adalah salah satu dari perhatian utama klinisi
saat melakukan restorasi direk dengan resin komposit. Polimerisasi dari
komposit berbasis dimethacrylate selalu diikuti dengan
shrinkagevolumetricsekitar 2-6%. Selama polimerisasi konversi dari molekul
monomer menyatu membentuk jaringan polimer menghasilkan gugusan
molekul yang lebih rapat dan mengarah pada kontraksi yang besar. Proses
polimerisasi menyebabkan monomer secara fisik bergerak lebih dekat untuk
bereaksi secara kimia melalui proses radikal bebas. Molekul monomer pada
awalnya memiliki jarak intermolekul sekitar 3-4 Å, namun ketika
berpolimerisasi, jarak antara unit polimer yang terbentuk hanya 1,5 Å. Proses
ini menyebabkan hilangnya volume yang disebut shrinkage polimerisasi jika
tidak dicegah. (Burgess, 2010)
Ketika proses shrinkage ini dibatasi stress akan menumpuk di dalam
material. Pada tahap awal polimerisasi, monomer dan rantai polimer kecil
dengan mudah menghilangkan stress karena masih bebas bergerak dan
menghilangkan stress. Seiring dengan semakin banyaknya monomer yang
bereaksi, polimer menyatu bersama untuk membentuk sebuah jaringan. Titik
dimana jaringan ini dibentuk disebut dengan gel point. Reaksi berlanjut
dengan monomer dan polimer terus menambah jaringan dan akhirnya
kehilangan kemampuannya untuk bergerak sehingga material menjadi kaku
(rigid). Titik ini disebut dengan vitrificationpoint. Pada proses ini stress
terbentuk dengan cepat karena tidak dapat disebarkan oleh gerakan lagi.
Material yang menahan shrinkage dan menghasilkan gaya pada komposit
disebut dengan stress polimerisasi (Burgess,2010)
16

2.6.1 Shrinkage Stress


Shrinkage polimerisasi pada resin saat mencapai gel point dan
mulai mengeras menghasilkan stress yang tidak terbebaskan. Shrinkage
polimerisasi dan resultan stress dapat dipengaruhi oleh total volume
material resin komposit, tipe komposit, kecepatan polimerisasi, dan C-
factor. Stress yang terbentuk cenderung berkembang pada interfasial
jaringan atau komposit. Akibatnya risiko kebocoran marginal dan
masalah yang mengikutinya seperti stainingmarginal serta karies
sekunder semakin parah. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah
salah satu masalah terbesar dari komposit yang digunakan untuk
restorasi Klas II dan V. Kondisi ini sering mengakibatkan restorasi pre-
stressed dan memiliki dampak merugikan lain seperti deformasi gigi,
kegagalan ikatan gigi dengan retorasi, dan keretakan mikro pada
restorasi. (Burgess, 2010).

2.6.2 Faktor yang Berperan dalam Stress Polimerisasi Shrinkage


1. Muatan Filler
Resin komposit terdiri dari polimer matriks dan material filler.
Shrinkage adalah suatu fungsi langsung dari fraksi volume dari polimer
matriks dalam komposit. Semakin banyak monomer yang menyatu
membentuk rantai polimer dan jaringan, semakin tinggi kontraksi
komposit. Pada sisi lain, ruang yang diisi partikel filler tidak ikut dalam
kontraksi polimerisasi. Maka, dengan tingkat filler yang lebih tinggi
merupakan dasar untuk mengurangi shrinkage dari komposit selama
polimerisasi. Muatan filler secara langsung mempengaruhi sifat
mekanis dan ketahanan dari suatu resin komposit. Dikarenakan
pengaruhnya terhadap modulus elastisitas dan shrinkage volumetrik,
muatan filler yang terkandung di dalam komposit merupakan faktor
utama dalam perkembangan stress kontraksi polimerisasi. Dengan
manipulasi yang tepat komposit menunjukan hasil yang cukup baik,
namun shrinkage masih dapat ditemukan. Oleh karena itu eliminasi dari
17

shrinkage polimerisasi dan stress masih menjadi perhatian utama


(Amore, R et al 2003).

2. Derajat Konversi
Derajat konversi merupakan peristiwa dimana resin monomer
berikatan dan membentuk suatu jaringan polimer. Dengan kata lain,
derajat konversi merupakan suatu ukuran dari presentasi ikatan ganda
karbon dengan karbon yang telah berubah menjadi ikatan tunggal untuk
membentuk suatu resin polimerik (Amor, R et al 2003).Terdapat
hubungan langsung antara derajat konversi dengan shrinkage.
Pengurangan dalam derajat konversi akhir akan mengarah pada
shrinkage dan stress kontraksi yang lebih rendah. Namun, derajat
konversi yang rendah dapat mempengaruhi beberapa sifat mekanis
material. Sebaliknya, sedikit peningkatan pada derajat konversi akan
menghasilkan peningkatan yang cukup besar pada stress namun akan
meningkatkan sifat mekanik material. Konversi dari monomer menjadi
polimer tergantung pada beberapa faktor seperti komposisi resin,
transmisi cahaya melalui material, dan konsentrasi dari initiator dan
inhibitor (Burgess, 2010).

3. Modulus Elastisitas
Penelitian in vitro menunjukkan stress interfasial selama shrinkage
pengerasan dari resin komposit berkorelasi dengan tingkat kekakuan
dari pengerasan material yang dikenal sebagai modulus elastisitas. Oleh
karena itu, pada nilai shrinkage yang telah ditentukan, material paling
rigid (material yang menunjukkan modulus elatisitas paling tinggi)
akan menyebabkan stress tertinggi. Tentu saja modulus elastisitas juga
meningkat selama reaksi polimerisasi berlangsung (Amor, R et al
2003).
18

4. C-Factor
Faktor konfigurasi kavitas atau c-factor adalah rasio dari permukaan
yang berikatan dengan kavitas dengan permukaan yang tidak berikatan.
Terdapat hubungan antara konfigurasi kavitas dengan perkembangan
stress. Nilai c-factor pada setiap kavitas berbeda, hal ini dipengaruhi
dari desain kavitas. Kavitas dengan permukaan rata dan dangkal
menunjukkan kondisi yang paling menguntungkan untuk ikatan dentin
dan komposit yang tahan lama. Pada kavitas seperti ini kontraksi
terbatas pada satu arah, dengan demikian menyebabkan komposit
dengan bebas mengalir pada tahap rigid awal. Kondisi ini mencegah
gaya kontrasi untuk menciptakan stress dan membantu suatu ikatan
kuat terhadap dinding kavitas (Amore, R et al 2003).

Gambar 1.Nilai c-factor berbeda pada setiap kavitas

2.7 Adhesi Composite Resin


Bahan bonding adalah bahan yang berguna untuk menciptakan ikatan
antara permukaan gigi dengan resin komposit dan membentuk hybrid layer
pada dentin. Bahan bonding digolongkan menjadi dua, yaitu bonding generasi
19

V kebawah termasuk golongan total-etch dan generasi ke VI keatas


merupakan golongan self-etch (Van Landuyt et al, 2008).
Nurhapsari A (2016) melakukan penelitian evaluasi kebocoran tepi
pada dua tipe resin komposit yang biasa digunakan untuk gigi posterior
dengan aplikasi dua generasi bonding. Berdasarkan hasil penelitian didapat
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan anatara 4 kelompok, tetapi pada
uji antar kelompok didapat kelompok yang menggunakan bonding generasi V
mempunyai hasil yang lebih baik daripada kelompok yang menggunakan
bonding generasi VII. Pada penelitian ini, kelompok yang menggunakan
bonding generasi V menunjukkan kebocoran tepi yang lebih rendah. Hal ini
mungkin terjadi karena proses etsa dan aplikasi adhesif yang terpisah. Etsa
yang mengandung asam fosfat dapat menghasilkan mikroporositas sebesar 2
um pada permukaan email sehingga menghasilkan kekuatan interlocking
yang kuat (Anusarvice,2012).

2.7.1Klasifikasi Sistem Adhesi


2.7.1.1 Total Etch System
1. Three step total etch adhesive
Sistem ini terdiri dari tiga tahap apikasi yaitu tahap etching,
priming dan bonding. Keseluruhan bahan ini berada dalam botol
yang berbeda.

2.Two step total etch adhesif


Sistem ini menggunakan bahan primer dan bonding yang
digabung menjadi satu sehingga hanya perlu dua tahap aplikasi
yaitu etching dan self priming resin.

2.7.1.2 Self Etch System


1. Two step self etch adhesif
Sistem adhesif ini terdiri dari dua tahap aplikasi yaitu aplikasi
self etch primer kemudian dilanjutkan dengan aplikasi bonding.
20

2. One step self etch adhesif


Sistem ini menggabungkan semua tahap aplikasi menjadi satu,
sehingga hanya membutuhkan satu kali aplikasi (single
application).

2.7.2 Adhesi Enamel dengan Composite Resin


Secara mikroskopik, enamel terdiri dari prisma-prisma enamel
yang saling berkaitan dan tersusun rapi. Antara prisma-prisma terdapat
substansi interprisma yang juga tersusun rapi, berisikan kristal
hidroksiapatit yang akan larut oleh pengetsaan, sehingga permukaan
enamel yang telah teretsa akan berbentuk rongga-rongga. Rongga ini
akan menjadi retensi mekanik bagi bahan bonding yang dikenal dengan
istilah resin tags. Mekanisme dasar dari perlekatan resin-enamel adalah
pembentukan resin tag didalam permukaan enamel. Resin tags yang
terbentuk di sekitar enamel rods, yaitu diantara prisma-prisma enamel
disebut dengan macrotags dan jaringan halus dari beberapa small tags
yang terbentuk di tiap-tiap ujung rod di tempat larutnya kristal
hidroksiapatit disebut dengan microtags(Anusarvice, 2012).
Pembentukan microtag dan macrotag dengan permukaan enamel
merupakan mekanisme dasar dari perlekatan resin dan enamel. Etsa
yang biasa digunakan adalah asam fosfor, umumnya waktu pengetsaan
berkisar 15 detik dengan kadar fosfor 30% - 40%. Kemudian etsa dicuci
dengan air sampai bersih sehingga akan tercipta resin tag(Van Landuyt
et al, 2008).

2.7.3 Adhesi Dentin dengan Composite Resin


Perlekatan bonding pada dentin kurang kuat atau lebih sulit
daripada perlekatan dengan email disebabkan karena perbedaan
komposisi dan struktur. Dentin memiliki komponen anorganik
sebanyak 50%, organik 25%, dan air 25% (Vinay, 2010). Perlekatan
pada dentin menjadi sulit dengan keberadaan smear layer. Smear layer
merupakan lapisan debris organik yang terdapat pada permukaan dentin
21

akibat preparasi. Smear layer menghalangi tubulus dentin dan berperan


sebagai barier, sehingga menurunkan permeabilitas dentin dan sangat
membantu bahan bonding yang bersifat hidrofobik dan menutupi
tubulus dentin. Smear layer melalui pengetsaan akan dihilangkan,
sehingga menyebabkan tubulus dentin terbuka. Pengetsaan terhadap
intertubular dan peritubular dentin mengakibatkan penetrasi dan
perlekatan bagi bahan bonding sehingga membentuk hybrid layer.
Hybrid layer merupakan perlekatan resin adhesif yang terpolimerisasi
dengan fibril kolagen (pada sistem total etch) dan sisa kristal
hidroksiapatit (pada sistem self-etch) menghasilkan struktur interfasial.
Selain itu, cairan tubulus pada tubulus dentin yang terus menerus
mengalir keluar juga akan mengurangi adhesi pada dentin. Oleh karena
itu diperlukan primer dengan komponen hydrophilic contohnya HEMA
yang dapat membasahi dentin dan berpenetrasi ke strukturnya. Hema
memiliki kemampuan untuk berpenetrasi ke dalam permukaan dentin
yang mengalami demineralisasi dan kemudian berikatan dengan
kolagen melalui gugus hidroksil dan amino yang terdapat pada kolagen
(Van Landuyt et al, 2008).

2.8 Restorasi Composite Resin


2.8.1cProsedur Pengaplikasian Restorasi Composite Resin
Teknik penumpatan Resin Komposit menggunakan teknik Etsa
dan Bonding.:
1. Pembersihan jaringan karies dan preparasi gigi, Bavel pada gigi
anterior dibuat diseluruh tepi luar kavitas kurang lebih 2mm (45
derajat). Sedangkan pada gigi posterior dibuat dinding proksimal

2. Cuci kavitas dan keringkan

3. Aplikasikan etsa (asam ortoposporat 37%) ke seluruh kavitas selama


15 detik untuk membentuk mikroporus pada enamel. Cuci sampai
seluruh etsa hilang, lalu keringkan (sehingga daerah etsa terlihat
22

buram). Kavitas harus dalam keadaan lembab agar serat kolagen


tetap mengembang sehingga mrningkatkan ikatan hibrida.

4. Aplikasikan bonding ke seluruh kavitas, scrubbing (diusap dengan


aplikator) tunggu 20 detik untuk memberi waktu penetrasi ke tubuli
dentin dan berikatan dengan serat kolagen, tipiskan dengan blower
lalu di curing selama 10 detik (aplikasi bonding 2x).

5. Apabila diperlukan, pasang matriks band (biasanya pada kavitas site


2).

6. Pilih warna resin komposit yang sesuai, tumpat dengan Teknik


inkremental, sinari selama 20 deik (kedalaman tidak boleh lebih dari
2mm karena akan mengakibatkan kebocoran akibat polimerisasi
tidak sampai lapisan terbawah, hal inilah yang menyebabkan
terjadinya karies skunder)

7. Cek oklusi artikulasi, perbaiki bentuk anatomi dan poles dengan


enhance dalam keadaan basah dan pita pemoles untuk bagian
proksimal (Soeprapto, 2017).

2.8.2 Indikasi dan kontraindikasi Composite Resin


Resin komposit memiliki indikasi dan juga kontraindikasi dalam
penggunaannya, Indikasi dari Resin Komposit adalah sebagai berikut:
a. Restorasi untuk gigi yang membutuhkan nilai estetik terutama
pada gigi anterior
b. Untuk sementasi restorasi indirect seperti tumpatan inlay, onlay
dan crown
c. Sebagai sealant pada restorasi resin preventif untuk mencegah
terjadi karies pada pit dan fissure yang dalam dan sempit
d. Bahan tumpatan gigi posterior dengan kavitas kecil atau sedang
e. Menggantikan tumpatan amalgam yang lama
f. Memperbaiki restorasi yang tidak sempurna atau yang kurang
baik
g. Memperbaiki fraktur yang besar
23

h. Veneer parsial maupun full veneer komposit


i. Splinting gigi yang mobile
j. Ikatan ortodhonti
k. Indirect komposit inlay karies gigi yang hanya tersisa sedikit
enamel dengan menambahkan fibers yang digabungkan dengan
matriks resin pada saat proses curing untuk menguatkan resin
komposit
l. Dapat digunakan untuk restorasi porselen
m. Memperbaiki diastema, abrasi dan erosi pada servikal gigi
Kontraindikasi dari resin komposit:
a. Pada gigi posterior yaitu gigi dengan beban kunyah yang besar
b. Pasien dengan insiden karies yang tinggi
c. Pasien dengan sensitivitas terhadap material resin komposite
d. Pada pasien yang sulit mengontrol saliva
e. Isolasi bidang operasi yang sulit
f. Pasien dengan oral hygiene yang buruk

2.8.3 Kelebihan dan Kekurangan Composite Resin


Resin komposit terdiri dari resin organic, reinforcing filler, dan
coupling agent.memungkinkan resin komposit dicetak dan diatur
dengan polimerisasi (light curing atau chemical curing); pengisi
berkontribusi pada kekuatan dan kekerasan bahan; dan agen kopling
mengikat komponen bersama[ CITATION Sch10 \l 1033 ].
Kelebihan:
a. Dapat mendukung estetika karena resin komposit memiliki sifat
transluen. Sehingga dapat diaplikasikan untuk gigi anterior.
b. Operator sepenuhnya dapat mengendalikan working time Light-
cured resin.
c. Kuat dan tidak mudah rapuh
d. Memiliki kekuatan mekanikal untuk bonding pada struktur gigi.
e. Operator dapat bersikap konservatif selama restorasi (karena
ikatan mekanik)
24

Kekurangan:
a. Harus mengikuti instruksi pabrik untuk mendapatkan hasil yang
bagus.
b. Sering terjadi shrinkage saat proses polimerisasi atau perubahan
dimensi saat curing. Selama polimerisasi, molekul monomer dari
matriks diubah menjadi struktur jaringan tiga dimensi crosslinked,
disertai dengan pengepakan molekul yang mengarah ke kontraksi
volumetric. Penyusutan biasanya 1,5-5% untuk resin komposit
karena adanya tekanan penyusutan pada komposit dan permukaan
gigi.
c. Saat aplikasi membutuhkan lebih banyak waktu daripada restorasi
amalgam
d. Tidak melepaskan fluoride sehingga dapat menimbulkan karies
skunder mengacu pada lesi yang terjadi pada batas restorasi dan
jaringan gigi. Hal ini menyebabkan kegagalan klinis dan
penggantian restorasi.

2.9 Inovasi TerbaruComposite Resin


Seiring dengan perkembangan teknologi, inovasi pada bahan
kedokteran gigi juga ikut berkembang. Inovasi dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan kualitas produk yang lebih baik dan lebih berguna. Pada sub bab
ini penulis akan membahas dua inovasi terbaru bahan resin based composite.

2.9.1 Antibacterial Light Cured Resin Composite mengandung nano-MgO


Resin composite telah banyak digunakan sebagai bahan restorasi
untuk menggantikan struktur gigi yang rusak dengan kemampuan
estetik dan sifat physiochemical yang cukup. Namun, resin composite
lebih banyak membentuk biofilm jika dibandingkan dengan bahan
restorative lainnya seperti amalgam dan glass ionomer. Selain itu, sifat
resin composite yang mudah mengalami penyusutan polimerisasi
(polymerization shrinkage) juga memperbesar kemungkinan terjadinya
karies sekunder pada restorasi. Untuk itu, banyak upaya telah dilakukan
25

untuk memberikan resin composite sifat-sifat antibakteri, seperti secara


langsung menambahkan komponen-komponen antibakteri ke dalam
matriks resin, mengikat kelompok-kelompok fungsional antibakteri
pada matriks resin, atau secara kovalen mengikat bahan-bahan
antibakteri ke permukaan bahan filler anorganik. Contoh upaya untuk
menambahkan bahan seperti chlorhexidine sudah pernah dilakukan.
Namun, pada resin composite dengan chlorhexidine terjadi burst
release pada tahap awal, sehingga tidak bertahan lama. Selain itu,
ammonium salt monomer juga pernah ditambahkan pada resin
composite. Namun, diperlukan dosis tinggi sehingga sitotoksisitas
bahan juga meningkat. Metal nano-particles berupa nano-titanium
oxide juga pernah ditambahkan pada resin composite. Namun, ada
kekurangannya yaitu, menyebabkan diskolorasi. Untuk menghindari
kekurangan tersebut, studi penambahan nano-MgO pada resin
composite dilakukan. Nano-MgO memiliki efek antibacterial dengan
spektrum luas dan biokompatibilitas yang bagus.
Sebuah jurnal yang ditulis oleh Wu, et al (2020) meneliti dan
menguji mengenai antibacterial light-cured resin composite yang
mengandung nano-MgO. Material resin yang digunakan pada jurnal
tersebut terdiri dari matriks resin konvensional yaitu, Bis-GMA dan
TEGDMA, system inisasi yaitu CQ (camphorquinone), DMAEMA, dan
coupling agent silikat KH-570. Filler anorganik SiO2 (silikon dioksida)
dengan diameter rata-rata 2μm dan agen antibakteri anorganik MgO
dengan diameter rata-rata sekitar 130 +/- 18 nm. Filler SiO2 terlebih
dahulu dimodifikasi oleh coupling agent KH-570. Campuran 95%
ethanol dan KH-750 (95:5 mL) disiapkan dan dituangakn ke wadah
yang telah berisi bubuk SiO2. Kemudian campuran tersebut dikeringkan
dengan oven dengan suhu 80°C selama empat jam.
26

Tabel 1 Formulasi dari composite resin yang akan diteliti

Lalu dilakukan tes dengan metode kontak film untuk formula tersebut.
Tabel dibawah menunjukkan perkembangan S. Mutans pada tiap-tiap
formula.

Tabel 2 Hasil uji composite resin

Tes tersebut, membuktikan bahwa semakin banyak kadar nano-


MgO yang ada pada composite resinmaka semakin tinggi sifat
antibakterinya.
Selain menguji sifat antibacterial resin composite, Wu, et all
(2020) juga menguji wear resistance dan compressive strength dari
resin composite yang mengandung nano-MgO tersebut.
27

Tabel 3. Kehilangan tinggi (A) dan kehilangan volume (B) komposit resin
setelah 800 siklus pemakaian.

Hasil uji menunjukkan bahwa kehilangan tinggi dan


kehilangan volume kelompok A0 secara statistik lebih tinggi daripada
kelompok A2, A3 dan A4 (p <0,05) setelah 800 siklus pemakaian.
Kehilangan tinggi badan dan kehilangan volume kelompok A0 secara
statistik lebih tinggi daripada kelompok A2, A3 dan A4 (p <0,05)
setelah 800 siklus pemakaian. Dapat disimpulkan bahwa penambahan
nano-MgO tidak akan mengurangiwear resistance resin composite.
Sebaliknya, penambahan nano-MgO meningkatkan wear resistance
resin composite.
Jurnal karya Wu, et al (2020) juga membandingkan compressive
strength dari resin composite yang ditambhakan nano-MgO dengan
yang tidak.
28

Tabel 4.Compressive Strength (CS) dari Composite


Resineksperimental
Hasil menunjukkan bahwa nilai-nilai compressive strength resin
composite cenderung menurun dengan meningkatnya proporsi nano-
MgO. Perbedaan antara dua kelompok adalah signifikan secara statistik
(P <0,05) kecuali untuk A2 dan A3. Ini bisa dianggap berasal dari
aglomerasi nano-MgO. Karena ukuran partikel yang kecil, rasio
permukaan ke volume yang besar dan energi permukaan yang tinggi,
nanopartikel berada dalam kondisi energi yang tidak stabil dan mudah
untuk menggumpal dan membentuk partikel sekunder, membuat ukuran
partikel lebih besar. Pengisi nano agregat menunjukkan struktur
berporus, dan mungkin meningkatkan propagasi retak pada spesimen
yang dibebani. Sehingga, penambahan nano-MgO tidak secara
keseluruhan mampu menahan beban mekanis.
Penerapan nanoteknologi untuk menangani karies gigi
adalah terapan yang cukup menjanjikan untuk pencegahan dan
perawatan kerusakan gigi. Nano-MgO dapat memberikan komposit
resin dengan sifat antibakteri yang sangat baik dan meningkatkan wear
resistance resin composite (Wu, et all., 2020).

2. 9. 2 Carbon fiber-Si3N4 nanowires-hydroxyapatite (CF-Si3N4nws-


HA)/Phenolic Resin Composites untuk Biological Applications
(Bonegraft)
Jurnal yang ditulis Liu, Y., et al (2020), penelitian mengenai CF-
Si3N4nws-HA/resin komposit masih dilakukan secara in vitro, dimana
CF-Si3N4nws-HA/resin komposit disintesis dalam penelitiantersebut.
Si3N4nws disiapkan pada CF dengan metode PIP (precursor
impregnation-pyrolysis), sedangkan HA disintesis pada Si3N4nws
dengan metode PED (pulse electro- chemical deposition). HA secara
seragam dibentuk pada setiap Si3N4nw, terlepas dari permukaan luar
atau bagian dalam Si3N4nws. Gap antara Si3N4nws dipertahankan
setelah persiapan HA. Kekuatan tarik komposit CF-Si3N4nws-HA /
29

resin meningkat 41,7% dibandingkan dengan komposit CF-HA / resin.


CF-Si3N4nws-HA / komposit resin menunjukkan koefisien gesekan
yang lebih tinggi dan tingkat wear rate yang lebih rendah daripada CF-
HA / komposit resin. CF-Si3N4nws-HA / resin komposit bisa
melakukan proliferasi sel dan memiliki bioaktivitas in-vitro yang baik.
Sehingga, CF-Si3N4nws-HA / komposit resin mungkin memiliki
potensi untuk aplikasi dalam bonegraft.
Perkembangan teknologi pada bidang kedokteran gigi diharapkan
dapat semakin maju dan inovatif sehingga dapat membantu semakin
banyak orang di masa depan.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Resin komposit merupakan perkembangan bahan bahan kedokteran gigi
lainnya untuk memperbaiki sifat dari bahan bahan tersebut. Resin komposit
biasanya digunakan sebagai bahan restorasi karies, abrasi enamel, dan juga
kebutuhan estetika yang akhirnya diharapkan dapat mengembalikan fungsi dari
gigi tersebut. Untuk saat ini resin komposit lebih populer sebagai bahan restorasi
karena memiliki nilai estetik yang tinggi dan juga lebih kuat menahan beban
kunyah selain bahan sewarna gigi lainnya. Resin komposit terdiri dari bahan
matrik dan juga bahan pengisi (filler) yang kemudian diikat oleh bahan pengikat
atau coupling agent. Tetapi dari sekian kelebihan komposit dibandingkan bahan
kedokteran gigi lainnya komposit masih memiliki kelemahan yaitu seringnya
terjadi shrinkage pada polimerisasi resin dengan light cured. Semakin
perkembangan zaman, resin komposit semakin banyak diperbarui sehingga
semakin bertambahnya klasifikasi dari resin komposit mulai dari perkembangan
ukuran, kekuatan, cara polimerisasi dan lain lain, tetapi perkembangan ini jelas
ingin memperbaiki sifat fisik dari bahan tersebut agar semakin baik agar dimasa
depan dapat digunakan dengan baik tanpa adanya kekurangan pada saat restorasi.
.

3.2 Saran
Untuk para dokter gigi tetap mengikuti perkembangan dan inovasi dari
bahan bahan kedokteran gigi, bukan hanya resin komposit tetapi bahan lainnya
dan juga bukan hanya untuk bahan restorasi saja tetapi bahan kedokteran gigi
lainnya. Karena seiring dengan perkembangan dunia teknologi maka bahan pada
bidang kedokteran gigi khususnya akan semakin dipermudah dan menjadi lebih
baik dimasa depan. Terutama nilai estetik karena di zaman sekarang bidang
kedokteran gigi sangat erat dibidang estetika. Maka setelah dipermudah pasien
akan lebih peduli dengan kesehatan gigi.

30
31

Untuk para mahasiswa kedokteran gigi agar benar benar menguasai sifat
sifat serta cara pengaplikasian bahan kedokteran gigi agar nantinya ketika sudah
menjadi seorang dokter gigi maka tidak merugikan pasien, serta diharapkan bagi
generasi selanjutnya dapat mengembangkan bahan kedokteran gigi agar semakin
nyaman digunakan pasien, semakin mempermudah operator dan semakin tinggi
estetikanya.
DAFTAR PUSTAKA

Amore, R., Pagani,C., Youssef,M.N., Netto,C.A., Lewgoy.H.R. Polymerization


shrinkage evaluation of three packable composite resins using a gas
pycnometer.Odontol.Bras.2003.17(3)
Anusavice, K. J., Phillips, R. W., Shen, C., & Rawls, H. R., 2013. Phillips'
science of dental materials. 12th ed. St. Louis, Mo: Elsevier/Saunders.
Anusarvice, K.J., Shen. C., Rawls, H.R. Phillip’s science of dental materials. Ed
12. St Louis:Elsevier.2012.
Burgess J1, Cakir D. Comparative proteties of low-shrinkage composite resins.
Compend Contin Educ Dent. 2010;31 Spec No 2:10-5.
Cabe, J. F. M., & Walls, A. W. (2012). Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Fatmawati, Dwi Warna Aju. 2011. Macam-Macam Restorasi Rigid Pasca
Perawatan Endodontia. Stomatognatic (J. K. G Unej), 8 (2): 96-102.
Gambaran Tumpatan Resin Komposit Pada Gigi Permanen Di Poliklinik Gigi
Rumkital Dr. Wahyu Slamet. Jurnal e-GiGi, 2 (2).
Istikharoh, Feni. 2018. Dental Resin Komposit: Teori, Instrumentasi, dan
Aplikasi. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Kafalia, R. F., Firdausy, M. D., & Nurhapsari, A. (2017). Pengaruh jus jeruk dan
minuman berkarbonasi terhadap kekerasan permukaan resin komposit.
ODONTO: Dental Journal, 4(1), 38-43.
Kiptia, M. (2014). Kekasaran Permukaan Bahan Restorasi Resin Komposit
Mikrohibrid setelah Direndam dalam Susu Fermentasi. Fakultas Kedokteran
Gigi Unuversitas Sumatera Utara, Medan.
Liu, Y., Zhang, L., Zhao, W., Sheng, H., Li, H., 2020. Fabrication and properties
of carbon fiber-Si3N4 nanowires-hydroxyapatite/phenolic resin composites
for biological applications. Ceramics International.
https://doi.org/10.1016/j.ceramint.2020.03.199
Lohbauer, U., Belli, R., Ferracane, J.L., 2013. Factors Involved in Mechanical
Fatigue Degradation of Dental Resin Composites. Journal J Dent Res.
92(7):584-91.
Mine, Atsushi, dkk., 2019. Effectiveness of current adhesive systems when
bonding to CAD/CAM indirect resin materials. Japanese Dental Science
Review. Vol 55(1): 41-50
Noort R.V. 2013. Introduction to dental materials. Fourth edition. Elsevier, 95-
103
Nurhapsari, A., & Kusuma, A. R. P. (2018). Penyerapan air dan kelarutan resin
komposit tipe microhybrid, nanohybrid, packable dalam cairan asam.
ODONTO: Dental Journal, 5(1), 67-75.
Pasril, Y., & Pratama, W. A. (2013). Perbandingan kekuatan tekan resin komposit
Hybrid menggunakan sinar Halogen dan LED. Insisiva Dental Journal:
Majalah Kedokteran Gigi Insisiva, 2(2), 84-91.
Sitanggang, P., Tambunan, E., & Wuisan, J. (2015). Uji kekerasan komposit
terhadap rendaman buah jeruk nipis (Citrus Aurantifolia). e-GiGi, 3(1).
Scheller, C. & Sheridan, 2010. Basic Guide to Dental Material. s.l.:Wiley-
Blackwell

Soeprapto, drg. Andrianto. "Buku Pedoman dan Tatalaksana Praktik Kedokteran


Gigi." Ed. Y. Edwin Wijaya. Yogyakarta: STPI Bina Insan Mulia, 2017. 56-
59.
Tulenan, Devistha M. P., Wicaksono, Dinar A., Soewantoro, Joenda S. 2014.
Van Landuyt, K.L., Snauwaert, J, Peumans,M.,De Munck, J., Lambrechts, P., Van
Meerbeek,B. The role of HEMA in one step self etch adhesives. Dent. Mater.
2008. 24 (oct), pp. 1412–1419.
Vinay, S. dan Shivanna, V. Comparative Evaluation of Microleakage of Fifth,
Sixth, and Seventh Generation Dentin Bonding Agents: An in Vitro Study.
Journal of Conservative Dentistry. 2010.13(3):136-140
Widyastuti, Noor Hafida Dan Nabila Amalia Hermanegara. 2017. Perbedaan
Perubahan Warna Antara Resin Komposit Konvensional, Hibrid, Dan
Nanofil Setelah Direndam Dalam Obat Kumur Chlorhexidine Gluconate
0,2%. Jurnal Ilmu Kedokteran Gigi, 1 (1).
Wu, Z., Xu, H., Xie, W., Wang, M., Wang, C., Gao, C., Gu, F., Liu, J., Fu, J.,
2020. Study on a novel antibacterial light-cured resin composite containing
nano-MgO. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces 188, 110774.
https://doi.org/10.1016/j.colsurfb.2020.110774

Anda mungkin juga menyukai