Anda di halaman 1dari 4

PENEMUAN HUKUM

Nama : Wanda Ayu A.


NPM : 19/452927/PHK/10918
Kelas : Magister Ilmu Hukum Jakarta Litigasi
Dosen : Prof. Zainal Arifin Mochtar

SOAL:

1. Bacalah Putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016 pada pokoknya memutuskan


bahwa frasa “Perda propinsi dan” yang tercantum dalam Pasal 251 Ayat 7,
serta Pasal 251 Ayat 5 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
bertentangan dengan UUD dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat.
Jelaskan dengan detail metode penemuan hukum yang dilakukan oleh MK
pada Putusan tersebut. Lalu analisislah apakah Anda setuju dengan hal itu
atau tidak! (50 Poin)

2. Salah satu hal yang menentukan penemuan hukum adalah pilihan akan teori
hukum. Jelaskan maksud hal tersebut. Lalu Anda sendiri mazhab pemikiran
hukumnya adalah yang mana? Mengapa Anda memilih itu? (Bobot 50 Poin)

JAWABAN:

1. Dalam putusan MK ini, hakim telah melakukan penemuan hukum dengan


kronologis sebagai berikut:

Dalam putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016, melalui pertimbangan hukumnya,


Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kewenangan yang diberikan kepada
Menteri dan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk membatalkan Perda
Kabupaten/Kota telah menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 serta menegasikan
peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Begitu juga mengenai kepentingan umum dan/atau kesusilaan yang juga
dijadikan tolok ukur dalam membatalkan Perda yang termuat dalam Pasal 251 ayat
(2) dan ayat (3) UU Pemda, menurut Mahkamah juga merupakan ranah Mahkamah
Agung untuk menerapkan tolok ukur tersebut, selain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dikarenakan telah termuat dalam undang-
undang, sehingga juga dapat dijadikan batu uji oleh Mahkamah Agung dalam
mengadili pengujian Perda. Lebih lanjut pembatalan Perda Kabupaten/Kota dengan
dikeluarkannya keputusan Gubernur tidak sejalan dengan rezim peraturan
perundang-undangan karena selain keputusan Gubernur tidak dikenal sebagai salah
satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang
dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 juga telah terjadi
kekeliruan jika Perda Kabupaten/Kota yang hakekatnya berbentuk peraturan
(regeling) dibatalkan dengan Keputusan (beschikking). 1
Pertimbangan hukum yang demikian pada dasarnya merupakan
pertimbangan hukum dalam putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, bertanggal
5 April 2017, yang menurut penilaian MK pertimbangan hukum tersebut
berlaku juga terhadap putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016. Sehingga Mahkamah
berpendapat, Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4) UU 23 Tahun 2014 sepanjang
mengenai frasa “Perda Provinsi dan” bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan
Pasal 251 ayat (2) terkait dengan Perda Kabupaten/Kota menjadi kehilangan objek.
Sebab menurut Mahkamah telah dipertimbangkan dan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015.
Sementara itu, berkenaan dengan Pasal 251 ayat (7), menurut Mahkamah
Konstitusi karena terkait dengan Perda Provinsi sudah dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, maka jangka waktu pengajuan keberatan pembatalan Perda
Provinsi paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan pembatalan Perda
diterima menjadi kehilangan relevansinya, sehingga frasa “Perda Provinsi dan” yang
terdapat dalam Pasal 251 ayat (7) UU No. 23/2014 juga dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945. Kemudian pada ayat (8) mengenai “Perda Kabupaten/Kota”
menurut Mahkamah kehilangan objek sebab telah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dalam Putusan 137/PUU-XIII/2015 yang telah diputus pada 5 April 2017.
Bertolak pada pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah Konstitusi
menyatakan dalam amar putusannya tidak menerima perihal Perkada Bupati/
Walikota dan Perda Bupati/Walikota pada Pasal 251 ayat (2) dan ayat (8).
Sedangkan mengenai frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat
(4), dan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (7), serta Pasal 251 ayat
(5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Metode penemuan hukum yang digunakan adalah metode interpretasi


secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan
pasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan
Undang-undang lain, dalam hal ini adalah ddengan dihubungkannya pasal-pasal ini
dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 7 ayat
(1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011. Metode lainnya adalah metode
konstruksi hukum dengan menggunakan logika berpikir secara: Argumentum
per analogiam atau sering disebut analogi. Pada analogi, peristiwa yang berbeda
namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan
sama. Dalam hal ini, hakim MK menggunakan analogi dengan keputusan MK
sebelumnya, yaitu putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, bertanggal 5 April 2017,

1
Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 4, Diskursus Pembatalan Putusan MK no 137/ PUU-XII/2015,
Desember 2018, hlm. 36
2. Penemuan Hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat
penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa
hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil
keputusan. Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan
pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada
asas :2

1. Menyesuaikan Undang-undang dengan fakta konkrit


2. dapat juga menambah Undang-undang apabila perlu.

Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang tidak akan
pernah lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk menyesuaikan peraturan
Undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat
mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum.
Namun demikian tidak semua ahli hukum sependapat dengan hal tersebut di atas
dan sebagai reaksinya lahirlah aliran yang yang menolak dan menerima penemuan
hukum oleh hakim:3

 Aliran ini berpandangan klasik (Aliran konservatif) yang di tenggari oleh


Montesquieu, dan juga Immanuel Kant berpendapat bahwa Hakim dalam
menetapkan Undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak
menjalankan perannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau
corong Undang-undang (“Bouchedelaloi”) sehingga tidak dapat merubah
kekuatan hukum Undang-undang, tidak dapat menambah, tidak dapat
menguranginya disebabkan Undang-undang satu-satunya sumber hukum positif.
Undang-undang merupakan premis mayor dan peristiwa konkrit merupakan
premis minor; sedangkan keputusan Hakim adalah konklusi (kesimpulannya).
Hal ini merupakan kesimpulan logis tidak akan melebihi dari yang terdapat pada
premis-premisnya. Ini adalah pandangan yang logiscistis. karena sandarkan pada
Pasal 20 AB bersumber dari pandangan ini yaitu : Pasal 20 AB “Hakim harus
mengadili menurut Undang-undang kecuali ditentukan dalam pasal 11, hakim
sama sekali tidak boleh menilai anti atau keadilan dari undang-undang”. Pasal 21
AB : “Tiada seorang Hakim pun dengan jalan peraturan umum, disposisi atau
reglemen boleh memutuskan dalam perkara yang tunduk kepada keputusannya”.

 Sebagai reaksi aliran ini lahir pula penentangnya yang berpandangan lebih
modern yaitu Aliran Progresif yang di pelopori oleh Van Eikema Hommes teori
dan pendapatnya disebut materi Yuridis, yang di Jerman dipertahankan oleh
Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, dan di Perancis oleh Francois Geny serta di Amerika
oleh Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank. Geny menentang penyalahgunaan
cara berfikir yang abstrak logistis dalam pelaksanaan hukum dan fiksi bahwa

2
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.  (Jakarta: Sinar Grafika.
2010) hlm. 78
3
Ibid., hlm 101
Undang-undang berisikan hukum yang berlaku. Oliver Wendel Holmes & J. Frank
menentang pendapat yang mengatakan bahwa hukum yang ada itu lengkap yang
dapat menjadi sumber bagi Hakim dalam memutuskan peristiwa konkrit.
Penemuan hukum lebih menggunakan pandangan Mazhab historis yang
dipelopori oleh Carl Von Sevigny yaitu Hakim perlu juga memperhatikan
kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, karena setiap bangsa itu
memiliki jiwa bangsanya masing-masing (Volkgeist) yang berbeda untuk setiap
tempat. Hukum precedent dinegara-negara Anglo Saxon adalah hasil penemuan
hukum yang otonom sepanjang pembentukan peraturan & penerapan peraturan
dilakukan oleh hakim berdasarkan hati nuraninya tetapi juga sekaligus bersifat
heteronom karena Hakim terikat kepada keputusan-keputusan terdahulu
(faktor-faktor diluar diri hakim).

Saya sendiri memilih aliran kedua, yaitu progresif, karena hal ini lebih sesuai
dengan kondisi negara Indonesia yang majemuk dengan berbagai suku bangsa,
sehingga setiap daerah mempunyai kebiasaan hukum yang berbeda. Menurut saya, dalam
melaksanakan tugasnya dalam melakukan penemuan hukum, hakim harus
mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan hidup yang tumbuh di masyarakat ini, agar
tercipta asas kemanfaatan serta keadilan hukum. Dalam konteks ini, perdebatan memang
sangat mungkin terjadi terkait kepastian hukum, namun menurut saya masalah ini bisa
teratasi dengan memasukkan unsur interpretasi hakim dalam regulasi kita, seperti
dimasukkannya unsur living law dalam RKUHP saat ini. Selain itu para hakim juga harus
dilatih untuk menggunakan metode penemuan hukum dalam memecahkan kasus. Menurut
saya, metode ini lebih pas dengan Indonesia, karena tanpa adanya living law yang
dimasukkan ke dalam undang-undang pun, Indonesia sudah sejak lama menggunakan
sistem hukum Hibrida akibat warisan kolonialisme, yaitu sistem hukum yang bercampur
antara Hukum Adat, Hukum Nasional, dan Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai