Anda di halaman 1dari 2

Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal

Sesuai Pasal 1706 Kepmenkeu 466/KMK.01/2006, PPRF (Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal) sebagai risk
management unit bertugas membuat analisis, evaluasi, rekomendasi, melakukan pengelolaan risiko
ekonomi global, BUMN dan memberi dukungan kepada pemerintah.

Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) sebagai suborganisasi Badan Kebijakan Fiskalyang didirikan dalam
Kementerian Keuangan pada tahun 2006, pada intinya adalahuntuk mengelola risiko ekonomi makro,
risiko utang pemerintah pusat, risiko kewajiban kontinjensi pemerintah, risiko pengeluaran negara
bersifat wajib yang berpotensi menyebabkan (1) risiko tujuan negara tak tercapai akibat kelemahan
manajemen fiskal dan (2) anggaran defisit.

Risiko fiskal tiap negara berbeda-beda, demikian pula risiko fiskal tiap pemerintah daerah. Tingkat risiko
adalah kombinasi antara dampak fiskal dengan probabilitas terjadi jenis risiko fiskal tersebut. Dampak
fiskal dapat masif, besar, signifikan, strategis, berpengaruh dalam jangka yang panjang Pemerintah
Daerah dan/atau bagi NKRI, atau sebaliknya.

Risiko Fiskal Pemerintah Daerah

Risiko fiskal pemerintah pusat dan daerah adalah

1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak bermaksud menggunakan wewenang


merencanakan defisit fiskal, secara nasional selalu diupayakan agar (1) anggaran selalu
berimbang, defisit anggaran APBN & APBD tidak lebih besar dari 3 % PDB NKRI, dan (2) nisbah
utang pemerintah pusat dan daerah tidak lebih besar dari 60 % PDB NKRI.

2. Risiko defisit anggaran daerah melebihi batas defisit direncanakan, misalnya rencana defisit
APBD dibatasi sebesar 6 % dari perkiraan pendapatan daerah. Risiko defisit berbagai APBD
melebihi batas rencana defisit akan berisiko menular menjadi defisit APBN. Risiko defisit
anggaran pusat dan daerah menimbulkan risiko kewajiban mencari pinjaman penutup defisit,
risiko penerbitan surat utang negara, obligasi pemerintah pusat dan obligasi daerah.

3. Risiko pertumbuhan DAK karena pertambahan bidang baru aloksasi DAK dan risiko kesalahan
atau ketidakadilan alokasi.

4. Risiko tata kelola pemerintah daerah berupa kepemimpinan daerah – baik DPRD maupun kepala
daerah – yang tidak berorientasi kepada pembangunan sektor produktif.

5. Risiko pertumbuhan DAU menuju 75% atau lebih, dari seluruh jumlah transfer ke daerah, risiko
pertumbuhan nisbah (rasio, perbandingan) belanja pegawai dalam DAU menuju 100 % dan risiko
alokasi DAU yang melanggar azas keadilan distributif kepada 17.504 pulau.

6. Risiko transfer ke daerah berbentuk (1) alokasi transfer kurang adil dan bijaksana, misalnya
daerah dengan senjang fiskal (fiscal gap) kapasitas fiskal tidak memeroleh dana transfer
memadai, (2) transfer salah sasaran karena (1) kesalahan formula alokasi, (2) data tentang
daerah tidak valid atau kurang tepat.

8. Dua aspek pemberdayaan terpenting bagi setiap daerah otonom adalah prasarana dan SDM
daerah tersebut. Risiko kesalahan alokasi APBN kepada pemerintah daerah dalam hal ini daerah,
yang bukan berbasis perencanaan strategis pembangunan daerah, tidak merealisasi aspirasi
daerah.

9. Motif desentralisasi pemerintahan adalah uang. Desentralisasi fiskal berisiko memperbesar


keinginan pemekaran daerah, sehingga pemerintah harus membatasi pemekaran yang tidak
sehat.

10. Terdapat risiko KKN dan salah sasaran Dana Penyesuaian, risiko karena tidak ada kesepakatan
kriteria distribusi antara pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Keuangan dan DPR , dan
tidak ada audit kepatuhan BPK terhadap transparansi proses seleksi daerah yang tidak KKN dan
Daftar Nominasi Daerah Layak Menerima Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah berdasar
kriteria tersepakati. Sejarah mencatat bahwa seorang anggota Banggar ditetapkan KPK sebagai
tersangka penyalahgunaan kekuasaan distribusi DPID.

Anda mungkin juga menyukai