Anda di halaman 1dari 15

FORTIFIKASI MAKANAN UNTUK MENGATASI

PERMASALAHAN GIZI MIKRO

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Gizi, Iptek, dan Kesehatan

disusun oleh

Elsa Sihotang (P17331112015)

2A

JURUSAN GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

TAHUN AJARAN 2013-2014


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang MahaKuasa, karena berkat anugerah-Nya, saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Fortifikasi Makanan Untuk Mengatasi Permasalahan
Gizi Mikro. Makalah ini ditulis bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi, Iptek, dan Kesehatan
semester 4 (empat) Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung. Tujuan yang
lebih khusus dari penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan tentang peranan Fortifikasi
Makanan Untuk Mengatasi Permasalahan Gizi Mikro.
Akhirnya, harapan penulis semoga makalah yang berjudul Jurus-Jurus dan Rambu-
rambu dalam Berwirausaha ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha sebisa
mungkin untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik, namun penulis menyadari makalah
ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang
sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini

Cimahi, 4 April 2014

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat
mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha   pemenuhan kebutuhan
pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar. Beberapa ahli bahkan
menyatakan kebutuhan atas pangan merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar.
Dalam kaitan ini, penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 7  Tahun 1996
tentang Pangan, bahkan secara tegas  menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar
manusia yang  pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus   senantiasa
tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan  beragam dengan harga yang
terjangkau oleh daya beli masyarakat”.
Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient), yaitu iodium, besi, dan
vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari
kekurangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar
secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.
Di Indonesia terdapat lebih dari 100 juta orang mengalami defisiensi zat gizi mikro.
(Depkes, 2003). Berdasarkan data Riskesdas dan Survei Kesehatan Dasar Rumah Tangga
prevalensi Anemia gizi besi tertinggi di Indonesia merupakan kelompok anak usia 5 tahun
(48,1 %) dan kelompok ibu hamil (40,1%). (Tildon, 2010). Beberapa negara menetapkan
target untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro pada tahun 2000. Tujuan dasar dari
semua program-program zat gizi mikro nasional adalah untuk menjamin bahwa zat gizi
mikro yang dibutuhkan tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk
(terutama penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro tersebut).
Strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan
sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi
pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan
meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi. (Siagian, 2003)
Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan
rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu
menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu
dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk
daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal
untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan
terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat
dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan. (Siagian, 2003)

1.2 Rumusah Masalah


a. Apa yang dimakud dengan fortifikasi pangan?
b. Bagaimana sejarah fortifikasi pangan di Indonesia?
c. Bagaimana klasifikasi fortifikasi pangan?
d. Apa saja jenis-jenis klasifikasi pangan?
e. Bagaimana peran industry dalam fortifikasi pangan?

1.3 Tujuan
a. Diketahui definisi dari fortifikasi pangan
b. Diketahui sejarah fortifikasi pangan
c. Diketahui jenis-jenis dan klasifikasi fortifikasi pangan
d. Diketahui peran industry dalam fortifikasi pangan

1.4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Fortifikasi Pangan


Fortifikasi pangan merupakan penambahan zat gizi pada bahan makanan dalam proses
pengolahan, untuk meningkatkan nilai gizi pangan yang bersangkutan. Penambahan zat gizi
ini biasanya berupa vitamin dan mineral. Fortifikasi pangan ini merupakan bagian dari
perbaikan gizi. (Anonim, 2010).

Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke pangan, terdapat istilah-istilah lain
selain fortifikasi, seperti enrichment (pengkayaan), standardization, restoration, dan
supplementation. (Martianto, 2012). Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi
pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan
sebanding. Enrichment merupakan penambahan zat gizi ppada pangan untuk memenuhi
standar yang ditetapkan badan pengawas. Restoration mengacu kepada penggantian zat gizi
yang hilang selama proses pengolahan, Standardization merupakan penambahan zat gizi
pada pangan untuk mengatasi variasi alami. Dan Supplementation merupakan penambahan
zat gizi yang secara alami tidak terdapat pada zat pangan (atau ada dalam jumlah kecil
sekali), seringkali penambahannya pada konsentrasi cukup tinggi.

Dalam fortifikasi dikenal istilah double fortijication dan multiple fortification yang
digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau
campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle’, sementara
zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Fortificant ‘. Secara umum fortifikasi pangan dapat
diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:

 Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi


akan zat gizi yang ditambahkan).
 Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang signifikan
dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.
 Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan
sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.
 Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan
pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega.

Adapun langkah-langkah dalam pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain


a. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien
b. Menentuka Segmen populasi
c. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan
d. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial
e. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan
f. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
g. Mencari dukungan industri pangan
h. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industry pengolahan
(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
i. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya
j. Kembangkan teknologi fortifikasi
k. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas
organoleptik dari produk fortifikasi.
l. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi
m. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan
n. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi
o. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan
p. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance
q. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.

B. Sejarah Fortifikasi Pangan di Indonesia


Perkembangan program fortifikasi di Indonesia berawal sejak tahun 1994 dengan
dikeluarkannya INPRES wajib yodisasi garam. Sebenarnya pemerintah Belanda di tahun
1927, telah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan yodisasi garam bagi garam rakyat.
Waktu itu garam hanya dihasilkan oleh satu-satunya pabrik  P.N.  Garam di Madura. Berarti
keinginan untuk fortifikasi di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda, pada saat
teknologinya baru ditemukan di dunia barat. Sejak merdeka tahun 1945 dimana garam tidak
lagi monopoli P.N. Garam, peraturan itu tidak lagi dilaksanakan.
Gagasan untuk melakukan fortifikasi khususnya untuk garam dan tepung terigu
sudah menjadi wacana sejak awal tahun 1970-an, di seminar-seminar gizi dan pangan.
Dengan advokasi  UNICEF, perhatian pertama diarahkan untuk mengatasi masalah
kekurangan yodium dengan fortifikasi garam yang dikenal dengan yodisasi garam. Melalui
koordinasi Bappenas dan Departemen Kesehatan, gagasan untuk yodisasi garam rakyat
secara nasional, dibicarakan dengan Departemen Perindustrian dan Departemen
Perdagangan serta Departemen Dalam Negeri.

Dilanjutkan dengan percobaan-percobaan fortifikasi terigu dengan zat besi pada


tahun 1997 berhasil mendorong terbitnya SNI wajib fortifikasi tepung terigu tahun
2001/2002. Perkembangan kedua fortifikasi di atas diprakrasai oleh Bappenas, Departemen
Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, didukung oleh UNICEF. 
Dari sudut kebijakan, perkembangan fortifikasi di Indonesia, didukung oleh terbitnya UU
Pangan tahun 1996, dan masuknya gizi sebagai prioritas dalam REPELITA.
Tahun 2003 berdiri suatu lembaga independent non pemerintah yang mendukung
kebijakan dan program fortifikasi, dan terbentuklah Yayasan Koalisi Fortifikasi Indonesia
(KFI).  Kementerian Kesehatan dengan bantuan dana dari ADB dan dukungan teknis dari
KFI mengembangkan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A di Makassar dan Taburia
(“sprinkles”) di Jakarta Utara. Hasil kedua percobaan tersebut pada tahun 2010 sudah
ditingkatkan menjadi program nasional. Tahun 2010 dirintis pula kebijakan fortifikasi beras
RASKIN dengan zat besi yang dikoordinasi oleh Bappenas, Perum. Bulog, Kementerian
Pertanian dengan Kementerian Kesehatan dan KFI.
Menghadapi proyeksi penduduk 2025, ketersediaan pangan berkualitas menjadi
tuntutan. Tak hanya garam atau terigu, beras pun ke depan perlu difortifikasi dengan mineral
atau vitamin tertentu. Di beberapa negara, fortifikasi sedang dikembangkan. Salah satunya
adalah Golden Rice, padi yang mengandung vitamin A. Di negara-negara maju, fortifikasi
pangan merupakan strategi yang terbukti paling efektif untuk mengontrol kekurangan zat
gizi mikro. Sebagai contoh, program fortifikasi margarin dengan vitamin A berhasil
menghilangkan ricket di Inggris, Kanada dan Eropa Utara.
C. Klasifikasi Fortifikasi Pangan
Fortifikasi bahan pangan dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu fortifikasi sukarela
(voluntary) dan Fortifikasi wajib (mandatory, dan fortifikasi khusus. Fortifikasi sukarela
dilakukan atas prakarsa pengusaha produsen pangan untuk meningkatkan nilai tambah
produknya sehingga lebih menarik konsumen. Upaya ini tanpa diharuskan oleh undang-
undang atau peraturan pemerintah. Dasar pertimbangan fortifikasi sukarela lebih banyak
mengacu kepada segi bisnis dan komersial daripada gizi dan kesehatan, meskipun dalam
promosinya segi kesehatan ini yang ditonjolkan. Produsen menentukan sendiri komoditi
makanan yang akan difortifikasi. Sasaran fortifikasi sukarela adalah semua orang yang
mampu dan mau membeli komoditi yang difortifikasi.
Fortifikasi wajib (mandatory) diharuskan oleh undang-undang dan peraturan
pemerintah. Sasaran utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat miskin,
meskipun masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup. Oleh karena itu fortifikasi
wajib lebih banyak menjadi perhatian pemerintah sebagai bagian tanggung jawabnya
untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa zat
gizi sebagai fortifikan yang penting, yaitu zat besi, vitamin A, dan iodium. Di
Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk
pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu.

Pemerintah Indonesia mencanangkan fortifikasi wajib pada beberapa produk, yaitu:


1. Yodisasi Garam
Berdasarkan SKB Menkes, MenIndustri, MenDagri 1982, JSKB 4 Menteri plus
Pertanian, 1984, dan INPRES No. 64/1994. Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi
permasalahan kesehatan terkait gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
2. Fortifikasi Tepung Terigu
Berdasarkan SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan SNI tepung terigu
tahun 2001 menyatakan bahwa semua tepung terigu yang diproduksi dan
diperdagangkan di Indonesia harus difortifikasi dengan zat besi, seng, asam folat,
vitamin B1, vitamin B2
3. Minyak Goreng
Misalnya harus mengandung vitamin A sebanyak 45 IU.
4. Fortifikasi Beras Raskin
Harus mengandung asam folat, zat besi, zink, dan lain-lain.

Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam
penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka
prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang
digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu oleh
seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi
fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan “tunggangan” baru yang lebih umum dan
banyak dikonsumsi masyarakat.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk fortifikasi wajib, yaitu:
1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara
teratur dan terus-menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin.
2. Makanan itu diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar
mudah diawasiproses fortifikasinya.
3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih.
4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi.
5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu program
fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi
dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus.
6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang
menjadi sasaran.(Soekirman, 2012)
Fortifikasi khusus sama dengan fortifikasi wajib, hanya sasarannya kelompok
masyarakat tertentu, seperti anak-anak, balita atau anak sekolah. (Anonim.2013)

D. Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan


 Fortifikasi Yodium
Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi permasalah Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY). Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium
Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KIO3). Negara-negara dengan program iodisasi
garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan
prevalensi GAKI. (Siagian, 2003) Contoh : Beras Fortifikasi Iodium
Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium
untuk anakanak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari, sedangkan untuk
ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari dan 150 μg/hari.
Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu menggunakan
peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada
komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium.
Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan
bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut
fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung pada
kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008) .
  Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi
besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi
termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang
terbesar, dan menjamin pendekatan jangka panjang (Cook and Reuser, 1983).
Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah
keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-
produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi,
yaitu mereka yang rentan mengalami defisiensi zat besi, merupakan strategi yang
aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan
pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG,
1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan
senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus
diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir
trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa fortifikan yang umum digunakan untuk
fortifikasi besi seperti  besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan
lain-lain. (Siagian, 2003)
Contoh: fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung
terigu dan tepung singkong
   Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk
mengatasi masalah kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara
asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi
jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin
yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang
terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak
(seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution),
emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan
campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan.
Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan
vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol  atau karoten (sebagai beta-
karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan
ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan
monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi  oleh vitamin A. (Siagian,
2003).

E. Peran Industri dalam Fortifikasi


Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industry
pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehatan sering tidak
dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak
melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari
perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai
penasehat, konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri
pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan menguntungkan.
lndustri pangan/makanan juga dapat memainkan peranan yang nyata dalam strategi
fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan tenik preservation yang dikembangkan
dan melalui peningkatan (promosi) pangan yang kaya zat gizi mikro yang tersedia
secara lokal atau sebagai fortifikan.
Spesifiknya, industri pangan (baik nasional maupun multinasional) perlu untuk:
- berpartisipasi sejak permulaam perencanaan program, yang akan menetapkan
strategi fortifikasi yang layak,
- mengidentifikasi mekanisme untuk kolaborasi antara pemerintah, industri
pangan dan sistem pemasarannya, dan organisasi non pemerintah dan
perwakilan donor,
- membantu dalam mengidentifikasi pangan pembawa dan fortifikan yang
sesuai,
- menetapkan dan mengembangkan sistem jaminan mutu (quality assurance
system),
- berpatisipasi dalam dukungan-dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai
- populasi sasaran. (Siagian, 2003)

Untuk mengatasi permasalahan gizi mikro dengan cara fortifikasi diperlukan


beberapa kerjasama dari beberapa pihak yang harus terlibat, diantaranya:
a. Pemerintah : fasilitator, regulator, Quality Control dan Pembinaan, Social
Marketing
b. Industri : Proses Produksi dan Distribusi, Quality Assurance sesuai
Standar SNI
c. Konsumen : Partisipasi Konsumsi dan Pengawasan
(Martianto, 2012)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fortifikasi pangan merupakan salah satu metode dalam penanganan masalah gizi
mikro di dunia khususnya di Indonesia dengan upaya meningkatkan mutu bahan
pangan yang sering dikonsumsi. Adapun pemilihan bahan makanan yang akan
difortifikasi harus dikaji terlebih dahulu sifat-sifatnya. Untuk berjalannya usaha
fortifikasi ini perlu dilakukan kerjasama yang baik antara Pemerintah, Industri, dan
Konsumen.

3.2 Saran
Diperlukan pengawasan dan pemilihan bahan pangan yang akan difortifikasi
(vehicle) agar masyarakat dapat terjangkau dalam pembelian bahan makanan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Siagian, Albiner. 2003. “Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah


Kekurangan Zat Gizimikr.” http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3762/1/fkm-
albiner5.pdf (diakses pada 1 April 2014, pukul 21:43 WIB)

http://seafast.ipb.ac.id/lectures/MPTP-2011/fortifikasi_pangan.pdf (diakses pada 1 April, 2001)

Anonim. 2010. Fortifikasi Pangan di Indonesia http://www.kulinologi.co.id/index1.php?


view&id=98160. (diakses pada 1 April 2014, pukul 22.21 WIB)

Martianto, Drajat. 2012. Fortifikasi Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas
Ekologi Manusia

Soekirman. 2011. Perkembangan Fortikasi di Indonesia. http://www.kfindonesia.org/index.php?


pgid=11&contentid=12

Anda mungkin juga menyukai