Disusun Oleh:
Kelompok 1
Auliana Ratih Mustika
(2015349086)
Dian puspita
(2014340031)
(2014340096)
(2014340034)
(2014340062)
Latifah Sofiana
(2014340032)
(2014340049)
Mumpuni Widyastuti
(2014340024)
Triwijayanti
(2014340095)
Ddaftar Isi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 2
Latar Belakang Pembuatan.............................................................................. 3
BAB II LANDASAN TEORI.............................................................................. 3
BAB III HASIL PENGAMATAN.........................................................................6
A.
B.
Alur Kerja............................................................................................. 6
C.
Hasil Pengamatan................................................................................... 7
D.
Perlakuan.............................................................................................. 7
E.
Data pengamatan.................................................................................... 7
F.
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................... 9
BAB V KESIMPULAN................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki perairan darat dan laut yang cukup luas dengan potensi
perikanan yang tinggi sebagai penyediaan protein hewani yang relatif murah.
Namun demikian ikan mudah sekali mengalami kerusakan yaitu kerusakan kimiawi,
biologis maupun fisik yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu ikan. Dalam
industri pengolahan ikan, kesempurnaan penanganan ikan segar memegang peranan
penting karena hal ini menentukan hasil olahan, sehingga perlu dipikirkan suatu
teknologi yang dapat memperbaiki penanganan pasca panen dan dapat menganeka
ragamkan hasil olahan dari ikan. Alternatif penanganan ikan yang hingga kini masih
dilakukan secara tradisional adalah pindang.
Pemindangan ikan merupakan upaya pengawetan sekaligus pengolahan ikan yang
menggunakan
teknik
penggaraman
dan
pemanasan selama
waktu
tertentu.
Pengolahan ikan ini sudah cukup memasyarakat, terutama dikalangan nelayan. Cara
pemindangan yang dilakukan sangat bervariasi tergantung daerah, jenis ikan, dan
kebiasaan pengolah.
Pemasakan ikan menggunakan air garam adalah salah satu jenis pemindangan
ikan. Cara ini di Jakarta dikenal sebagai pemindangan cue atau pemindangan dengan
perebusan. Di Sumatera Utara, ikan olahan ini dikenal dengan ikan rebus. Pada cara
ini, ikan disusun pada keranjang bambu (naya atau besek). Beberapa naya berisi ikan
disusun vertikal pada suatu kerangka, lalu direbus dalam larutan garam mendidih.
Lama perebusan relatif jauh lebih singkat daripada pemindangan biasa yang
membutuhkan waktu 4 6 jam, yaitu hanya 30 60 menit tergantung ukuran ikan.
Setelah perebusan, wadah dimana ikan tersusun kemudian diangkat lalu disiram
dengan air tawar mendidih untuk membersihkan permukaan ikan, selanjutnya
ditiriskan dan didinginkan. Setelah itu produk siap untuk didistribusikan dan
dipasarkan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Ikan pindang merupakan salah satu produk olahan ikan tradisional yang sangat
populer dan banyak disukai oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan urutan disposisi
dalam pengolahan tradisional, produk pindang menduduki posisi ke 2 setelah produk
ikan asin (Anon., 2006).
Beberapa jenis pindang yang tersedia di pasar adalah pindang presto, pindang
badeng atau paso dan pindang naya atau cue. Pindang presto merupakan jenis
pindang yang pada umumnya dibuat dari ikan bandeng, berduri lunak, dan paling
awet karena dalam pembuatannya menggunakan pemanas bertekanan (autoclave) dan
dikemas dalam kantung plastik hampa udara/vakum. Pindang jenis ini biasa dijajakan
di pasar swalayan.
Penggaraman
penggaraman merupakan cara pengawetan yang sudah lama dilakukan orang.
Pada proses penggaraman, pengawetan dilakukan dengan cara mengurangi kadar air
dalam badan ikan sampai titik tertentu sehingga bakteri tidak dapat hidup dan
berkembang lagi.
Pengawetan ikan dengan cara penggaraman terdiri dari dua proses, yaitu proses
penggaraman dan proses pengeringan. Adapun tujuan utama dari penggaraman sama
dengan tujuan pengawetan dan pengolahan lainnya, yaitu untuk memperpanjang daya
tahan dan daya simpan ikan. Ikan yang mengalami proses penggaraman menjadi awet
karena garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab kebusukan pada
ikan.
Garam merupakan faktor utama dalam proses penggaraman ikan. Sebagai bahan
pengawet, kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu ikan yang dihasilkan. Garam
juga merupakan bahan pembantu yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan
tujuan untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman
dan kebasaan, serta dapat memantapkan bentuk dan rupa.
Selama proses penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan
keluarnya cairan dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan
cepat dapat melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. bersamaan
dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh
ikan. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan semakin lambat
dengan menurunnya konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya
konsentrasi garam didalam tubuh ikan. Bahkan pertukarn garam dan cairan tersebut
berhenti sama sekali setelah terjadi keseimbangan. Proses itu mengakibatkan
pengentalan cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan protein denaturasi
serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat dagingnya berubah.
Ikan yang telah mengalami proses penggaraman, sesuai dengan prinsip yang
berlaku, akan mempunyai daya simpan tinggi karena garam dapat berfungsi
menghambat atau membunuh bakteri yang terdapat di dalam tubuh ikan. Cara kerja
garam di dalam menjalankan fungsi kedua adalah garam menyerap cairan tubuh ikan,
selain itu garam juga menyerap cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme
bakteri terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan
dan mati.
Garam pada dasarnya tidak bersifat membunuh mikroorganisme (germisida).
Konsentrasi garam rendah (1 3%), justru membantu pertumbuhan bakteri halofilik.
Garam yang berasal dari tempat- tempat pembuatan garam di pantai mengandung
cukup banyak bakteri halofilik yang dapat merusak ikan kering. Beberapa jenis
bakteri dapat tumbuh pada larutan garam berkonsentrasi tinggi, misalnya red halofilic
bacteria yang menyebabkan warna merah pada ikan. Selain mengakibatkan
terjadinya proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis.
Kadar air dalam sel bakteri ekstraksi, sehingga menyebabkan kematian bakteri.
Penggaraman ikan biasanya diikuti dengan pengeringan untuk menurunkan kadar air
dalam daging ikan. Dengan demikian, pertumbuhan bakteri semakin terhambat.
Pemindangan Ikan
a. Proses
b. Wadah : Pindang naya (pindang cue dengan wadah naya), pindang besek
(pindang cue dengan wadah besek), pindang badeng (pindang garam dalam
wadah badeng), pindang paso (pindang garam dalam paso), pindang kendil
(pindang garam dalam kendil).
a. Pemindangan garam, yaitu proses pemindangan dimana ikan dan garam yang
telah tersusun dalam wadah kedap air dan telah ditambah sedikit air kemudian
dipanaskan bersama-sama. Perubahan berlangsung agak lama sampai
beberapa jam. Cairan perebus kemudian dibuang melalui lubang kecil di
bagian bawah wadah.
Selanjutnya permukaan lapisan ikan paling atas ditutup dengan kertas dan di atas
permukaan kertas ini disebarkan merata selapis garam. Kemudian pemasakan
dilanjutkan lagi untuk menguapkan sisa air di sekitar ikan dan dasar wadah.
Setelah selesai proses pemasakan kemudian wadah diberi penutup, diikat dan
siap dipasarkan. Wadah perebus yang digunakan biasanya terbuat dari tanah
(paso), logam (bandeng), dan lain-lain.
b. Pemindangan air garam, yaitu proses pemindangan dimana ikan dan garam
yang telah tersusun dalam wadah tembus air (besek, keranjang bambu)
dicelupkan dalam larutan garam mendidih dan direbus selama waktu yang
singkat dalam beberapa menit. Setelah perebusan, wadah dimana ikan
tersusun kemudian diangkat, disiram atau direndam sebentar dengan air tawar
mendidih untuk membersihkan permukaan ikan, selanjutnya ditiriskan dan
didinginkan. Setelah itu produk siap untuk didistribusikan dan dipasarkan.
Sejauh ini, mutu ikan pindang yang dihasilkan belum memuaskan karena cara
pengolahan yang belum baik dan benar. Penampilan fisik kurang menarik, banyak
luka, terkelupas, daging retak, warna agak kecoklatan, berbau sedikit tengik, dan
sebagainya. Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan pada ikan pindang antara
lain :
Dalam proses pemindangan yang dilakukan masyarakat masih cukup besar tingkat
kerusakan yang terjadi, sehingga tidak memenuhi standar kualitas produk untuk
dipasarkan. Kerusakan ini meliputi, produk cacat atau ikan hasil olahan cacat seperti
ekor patah, terlalu masak (lunak) sampai kepala ikan patah, dimana biasanya ikan
dianggap tidak layak untuk dipasarkan.
BAB III
HASIL PENGAMATAN
2. Prestocooker
3. Kompor
4. Timbangan
5. Pisau
Bahan
1. Ikan Laut
2. Garam dapur
B. Alur Kerja
1. Bersihkan Ikan dari sisik, isi perut dan insangnya. Cuci sampai
bersih
2. a. Rebus ikan dalam kuali dengan larutan air garam 30% hingga
ikan matang
b. Rebus ikan dalam Prestocooker dengan larutan air garam 30%
hingga ikan matang
D. Perlakuan
Perlakuan
Uji Eber
Uji Postma
Uji IES
E. Data pengamatan
F. Hasil Pengamatan
Udang
165 g
105 g
Segar
Hitam cerah
Amis
Ikan bandeng
390 g
300 g
Segar
Putih agak hitam cerah
amis
Sample (Udang)
Terdapat gas putih
Negatif
Negatif
BAB IV
PEMBAHASAN
terjadinya perubahan warna kertas lakmus karena MgO merupakan ikatan kovalen
rangkap yang sangat kuat sehingga walaupun terdapat unsur basa pada MgO tersebut,
namun basa tersebut tidak lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya NH3 maka ikatan
tersebut akan terputus sehingga akan terbentuk basa lemah NH 3OH yang akan
merubah warna kertas lakmus merah menjadi biru.
Berdasarkan pengujian postma untuk sampel yang dilakukan pengujian
didapatkan ikan tersebut memiliki hasil negatif yaitu ditandai dengan tidak terjadi
perubahan warna kertas lakmus merah menjadi biru pada cawan petri yang
digunakan.
Pengujian ketiga yaitu menggunakan pengujian IES. Uji IES ini memiliki
hasil pengujian H2S. Pengujian H2S ini pada dasarnya adalah uji untuk melihat H 2S
yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi ikan tersebut. H2S yang dilepaskan
pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb asetat menjadi Pb sulfit (PbSO 3)
dan menghasilkan bintik-bintik berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan Pb
asetat tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri penghasil H2S tidak tumbuh
maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan
ditempat terbuka dalam waktu relative lama sehigga aktivitas bakteri pembusuk
meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam
sulfida dan ammonia.
Berdasarkan pengujian IES untuk sampel yang dilakukan pengujian
didapatkan hasil negative yaitu tidak adanya perubahan warna coklat pada kertas
saring yang diteteskan Pb asetat. Warna coklat yang terbentuk menandakan adanya
pembentukan bakteri penghasil H2S. Bakteri ini akan mengganggu system pencernaan
jika dikonsumsi.
Pada pembuatan produk olahan, bahan baku ikan harus diplih yang segar.
Tujuannya untuk mendapatkan kualitas produk yang baik dari segi rasa, aroma,
tekstur, dan juga warnanya. Ikan kakap yang digunakan pada praktikum ini beraroma
amis yang sangat menyengat yang disebabkan perlakuan terhadap penyimpanan ikan
yang terlalu lama terpapar suhu ruangan. Perlakuan ikan setelah dimatikan
memengaruhi kualitas organoleptik terutama terhadap aroma amis ikan.
Sebelum ikan dimasak, ditambahkan perasan jeruk nipis dengan
melumurkannya pada tubuh ikan. Fungsi jeruk nipis ini untuk mengurangi atau
menghilangkan aroma amis ikan perendaman dilakukan sekitar 5-10 menit dan
ditambahkan pula garam dengan konsentrasi 10% dari bobot ikan yang tujuannya
untuk mengikat kadar air dalam tubuh ikan.
Selanjutnya ikan dikukus dengan dua perlakuan yang berbeda, ada yang
menggunakan dandang dan presto. mAsing-masing dikukus selama 30 menit.
Pengukusan selama kurang lebih 30 menit ini untuk mematangkan ikandan
meresapkan bumbu. Setelah proses perlakuan pemberian jeruk nipis dan bumbubumbu seharusnya bau amis ikan tidak ada, tetapi pada praktikum ini bau amis tetap
menyengat karena daging ikan yang tidak segar. Selanjutnya ikan direbus dan
ditambahkan bumbu kembali, pada proses ini terjadi perebusan dengan air garam.
Berdasarkan hasil uji organoleptik, terhadap parameter aroma yaitu baik
perlakuan 1 dan 2 didapatkan hasil sangat amis. Bau amis yang sulit hilang
dikarenakan ikan yang digunakan tidak segar. Selanjutnya pada parameter rasa,
perlakuan dengan dikukus menghasilkan rasa yang lebih gurih. Pada parameter
tekstur, perlakuan dengan presto menghasilkan tekstur yang lebih lunak daripada
dikukus. Hal ini terjadi karena ketika merebus atau mengukus, maka temperatur
maksimal rebusan atau kukusan tidak akan lebih dari 1000C (pada tekanan atmosfer)
selama masih terdapat air. Untuk menaikkan temperatur rebusan ini, kita perlu
menaikkan tekanan air dalam panci, sehingga temperatur rebusan juga akan naik.
Karena bentuk panci yang tertutup, maka tekanan air dalam panci akan naik dan
temperatur nya juga naik, sehingga bahan makanan yang kita letakkan dalam panci
presto akan lebih cepat empuk dan tulang-tulangnya menjadi lebih lunak.
BAB V
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Adawyah, Pengolahan dan Pengawetan Ikan. 2007. Jakarta : Bumi Aksara.
Moeljanto. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. 1992. Jakarta :
Penebar Swadaya
Ariyai, Farida. Pengawetan Pindang Ikan Layang (Decapterus
russelli) Menggunakan Kitosan.2008. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 3 No. 2.