Anda di halaman 1dari 60

CVER

REVIEW LITERATUR: APLIKASI EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KITOSAN YANG


DIOPTIMALISASI DENGAN PENAMBAHAN KOMPONEN BIOAKTIF SEBAGAI
KEMASAN PRIMER ANTIMIKROBA

SKRIPSI

Oleh:

QOTRUNNADA ARIFAIZA
NIM. 165080300111017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
HALAMAN JUDUL
REVIEW LITERATUR: APLIKASI EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KITOSAN YANG
DIOPTIMALISASI DENGAN PENAMBAHAN KOMPONEN BIOAKTIF SEBAGAI
KEMASAN PRIMER ANTIMIKROBA

LAPORAN SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana


Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya

Oleh:

QOTRUNNADA ARIFAIZA
NIM. 165080300111017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI

REVIEW LITERATUR: APLIKASI EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KITOSAN YANG


DIOPTIMALISASI DENGAN PENAMBAHAN KOMPONEN BIOAKTIF SEBAGAI
KEMASAN PRIMER ANTIMIKROBA

Oleh:
QOTRUNNADA ARIFAIZA
NIM. 165080300111017

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Jurusan MSP Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Muhamad Firdaus, MP. Dr. Ir. Dwi Setijawati, M.Kes
NIP. 19680919 200501 1 001 NIP. 19611022 1998802 2 001
Tanggal: Tanggal:
ABSTRAK

Edible film merupakan lapisan tipis dengan ketebalan ± 0,3 mm yang mampu
melapisi bahan atau produk pangan, dapat dimakan bersama produk dan berfungsi untuk
memperpanjang masa simpan produk pangan. Bahan penyusun edible film salah satunya
berbasis polisakarida kationik yaitu kitosan. Kitosan menjadi bahan baku yang potensial
untuk dimanfaatkan menjadi edible film karena melimpahnya jumlah kitin (sebesar 15-
20%) pada limbah kulit udang hasil pengolahan yang belum diproses lebih lanjut. Kitosan
sendiri telah terdaftar dalam Generally Recognized As Safe (GRAS) oleh Food and Drug
Administration (FDA) sebagai material yang aman untuk digunakan. Selain itu kitosan
bersifat antimikroba karena mengandung gugus asam amino aktif, sehingga selain
digunakan sebagai material dalam pembuatan edible film juga berperan sebagai zat aktif
itu sendiri. Edible film dari kitosan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan polimer
lainnya karena kemampuannya dalam membentuk lapisan (film) yang baik, tahan lama,
fleksibel, tidak mudah robek dan mudah terurai (biodegradable). Aplikasi edible film
kitosan disesuaikan dengan produk yang akan diaplikasikan sehingga dapat
memperpanjang masa simpan produk tanpa memodifikasi sifat dan karakterisitik asli
produk tersebut. Untuk mengoptimalkan fungsi edible film kitosan sebagai kemasan
pangan antimikroba, maka dilakukan penambahan komponen bioaktif seperti bakteriosin,
minyak esensial, ekstrak tumbuhan dan ekstrak mangrove. Pengaruh penambahan
komponen bioaktif tersebut disamping meningkatkan aktivitas biologis, juga meningkatkan
sifat fisik karena interaksi antara senyawa bioaktif dan rantai kitosan. Akan tetapi sifat
mekanis dan sifat barrier terhadap uap air dari edible film tidak meningkat. Oleh karena itu
studi tentang penambahan komponen bioaktif pada matriks kitosan terus dilakukan untuk
mendapatkan fungsi dan sifat yang diinginkan dari edible film. Tujuan dari studi ini yaitu
untuk menyediakan literatur review tentang edible film berbahan dasar kitosan yang
dioptimalisasi dengan penambahan komponen bioaktif serta aplikasinya sebagai
kemasan primer antimikroba, dimana akan dipaparkan mengenai pembuatan kitosan,
pembuatan edible film kitosan beserta penambahan komponen bioaktif, aplikasi edible
film kitosan pada produk dan analisis produk.

Keywords: Edible film, kitosan, minyak esensial, extract, kemasan antimikroba


1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Udang merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang permintaannya
tinggi di dunia. Pada tahun 2010, produksi udang Indonesia mencapai peringkat ke 4
tertinggi di dunia setelah China, Thailand dan Vietnam dengan nilai produksinya masing-
masing adalah China 1.300.000 ton, Thailand 560.000 ton, Vietnam 370.000 ton dan
Indonesia 350.000 ton (FAO, 2010), serta mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Berdasarkan data FAO (2017), terlihat bahwa produksi udang vaname dunia pada 2015
sudah mencapai lebih dari 3,5 juta ton. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar
penyumbang produksi vaname dunia setelah China dan India. Produksi udang vaname
Indonesia pada tahun 2015 mencapai kurang lebih 410.000 ton, sementara China dan
India mencapai 1,62 juta ton dan 416.000 ton. Tingginya permintaan udang untuk
diekspor pada umumnya dalam bentuk udang beku. Produk udang beku yang dipasarkan
diantaranya bentukan Head On (HO), Head Less (HL), Head On Shell On (HOSO), Head
Less Shell On (HLSO), Peel Deveined Tail On (PDTO), Peel Deveined (PD), Peel
Undeveined (PUD), dan Butterfly. Sehingga produk udang diatas menghasilkan limbah
berupa kepala dan kulit yang sangat melimpah.
Adanya limbah hasil pengolahan berupa kepala dan kulit yang jumlahnya melimpah,
sangat potensial untuk dimanfaatkan. Pada produk udang beku headless,limbah yang
diperoleh sekitar 60-70% dari berat udang yaitu berupa kepala dan kulit sedangkan pada
udang galah jantan limbah padat yang diperoleh sebesar 51,4% yaitu berupa karapas
4,64%, kepala 45,10% dan kulit 1,66%. Besarnya limbah yang dihasilkan tersebut
meningkat seiring dengan peningkatan target produksi udang nasional. Dimana pada
tahun 2010, produksi udang mencapai 350.000 ton sehingga limbah kulit dan kepala yang
dihasilkan diperkirakan mencapai 210.000-245.000 ton. Limbah kulit udang tersebut
mengandung kitin sebesar 15-20% sehingga sangat potensial untuk dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan kitosan. Data rendemen kitosan yang diperoleh dari kitin
sebesar 15% sehingga dapat diperkirakan menghasilkan kitosan sebanyak 31.500-36.750
ton. Pemanfaatan kitosan salah satunya dapat dijadikan sebagai bahan dasar dalam
pembuatan edible film, oleh karena itu dengan adanya edible film kitosan dapat
mengurangi dampak pencemaran lingkungan karena limbah dan menjadi nilai tambah
limbah udang (Nurhayati dan Agusman, 2011).
Edible film kitosan dapat menjadi salah satu alternatif kemasan pangan yang ramah
lingkungan. Karena pentingnya pengemas pada bahan pangan yang diperlukan untuk
menjaga kualitas bahan pangan agar tetap baik, maka ketergantungan terhadap
2

pengemas plastik sangat tinggi. Hal ini menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan
karena polimer sintetis dari plastik sulit diurai oleh mikroorganisme dalam tanah.
Sehingga terjadi penumpukan sampah plastik dikarenakan butuh waktu yang sangat lama
untuk menguraikan polimer sintetis dari plastik tersebut. Selain itu kemasan plastik
menurut Distantina et al. (2018), dapat mencemari bahan pangan yang dikemas karena
adanya zat-zat tertentu yang berpotensi menjadi karsinogenik ketika berpindah ke dalam
bahan pangan. Salah satu alternatif yang bisa dipilih yaitu membuat pengemas yang
ramah lingkungan (biodegradable) sekaligus dapat dimakan (edible film) berbasis polimer
alam, salah satunya kitosan. Sumber polimer alam yang akan digunakan sebagai
kemasan edible film jumlahnya sangat melimpah di Indonesia.
Kemasan edible film kitosan selain dapat menjaga kualitas bahan pangan atau produk
yang dikemas, juga dapat memperpanjang masa simpan produk tersebut karena kitosan
bersifat antimikroba. Antimikroba yang terkandung pada kitosan ini dikarenakan adanya
gugus asam amino aktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Hal ini
menjadikan kitosan digunakan sebagai pengawat alami yang aman dan tidak beracun
serta terdaftar dalam Generally Recognized As Safe (GRAS) oleh Food and Drug
Administration (FDA, 2013) sehingga mengurangi penggunaan pengawet kimia yang
sering ditambahkan pada produk. Adanya aktivitas antimikroba ini berpotensi apabila
dimanfaatkan untuk membuat kondisi yang aseptik sehingga selain digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan edible film juga berperan sebagai zat aktif itu sendiri.
Dengan demikian edible film kitosan dapat digunakan sebagai kemasan yang mampu
memperpanjang masa simpan produk yang mengalami kemunduran mutu oleh aktivitas
bakteri pembusuk seiring bertambahnya masa simpan produk tersebut (Nguyen et al.,
2020).
Untuk mengoptimalkan fungsi edible film kitosan sebagai kemasan pangan
antimikroba, maka dilakukan penambahan komponen bioaktif. Hal ini dikarenakan ketika
gugus amino aktif pada kitosan dalam bentuk tidak terlarut (insoluble), mekanisme
penghambatannya terhadap bakteri menjadi kurang jelas atau kurang efektif. Sehingga
untuk mengatasi kekurangannya, ditambahkan beberapa jenis komponen bioaktif seperti
bakteriosin, minyak esensial, ekstrak tumbuhan, ekstrak mangrove, dan komponen
bioaktif lainnya. Pengaruh penambahan komponen bioaktif tersebut disamping
meningkatkan aktivitas biologis, beberapa sifat fisik juga ditingkatkan karena interaksi
antara senyawa bioaktif dan rantai kitosan. Akan tetapi sifat mekanis dan sifat barrier
terhadap uap air dari edible film tidak meningkat seiring dengan penambahan komponen
bioaktif ke dalam matriks kitosan (Nguyen et al., 2020). Oleh karena itu penelitian tentang
penambahan komponen bioaktif pada matriks kitosan untuk mendapatkan kombinasi
3

yang lebih baik terus dilakukan agar mendapatkan fungsi dan sifat yang diinginkan dari
edible film kitosan sebagai pengemas bahan pangan.
Dengan demikian, edible film berbahan dasar kitosan yang dioptimalisasi dengan
penambahan komponen bioaktif menjadi solusi alternatif sebagai kemasan primer
antimikroba yang diaplikasikan pada bahan atau produk pangan. Edible film kitosan ini
sendiri menurut Sogut dan Seydim (2018), memiliki potensi yang besar untuk
diaplikasikan sebagai kemasan pangan karena kemampuannya dalam membentuk
lapisan (film) yang baik dan mudah terurai (biodegradable). Dengan ditambahkannya
komponen bioaktif sebagai antimikroba pada edible film dapat meningkatkan kualitas
edible film dan memperpanjang masa simpan produk yang diaplikasikan. Aplikasi edible
film kitosan dengan penambahan komponen bioaktif sebagai kemasan primer antimikroba
ini disesuaikan dengan produk yang akan diaplikasikan. Hal ini sesuai dengan Pavinatto
et al. (2019), bahwa teknologi yang digunakan untuk kemasan makanan sekaligus
merupakan lapisan yang dapat dimakan dikembangkan untuk memenuhi permintaan akan
kemasan yang dapat memperpanjang masa simpan produk atau makanan segar tanpa
memodifikasi sifat dan karakterisitik asli produk tersebut.
Keuntungan dari mengaplikasikan edible film kitosan dengan penambahan komponen
bioaktif sebagai kemasan primer antimikroba pada produk pangan selain dapat
melindungi dan memperpanjang masa simpan produk, diantaranya yaitu dapat bertindak
sebagai penghalang (barrier) sehingga mengurangi kerugian karena penurunan kualitas,
menghambat pertukaran gas, mengontrol laju respirasi dan mencegah pertumbuhan
mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan. Adapun kelebihan edible film dari
kitosan jika dibandingkan dengan polimer lainnya yaitu karena kitosan memiliki sifat
pembentukan film yang sangat baik, tahan lama, fleksibel dan tidak mudah sobek.
Lapisan film kitosan dapat memodikasi permukaan produk, mengurangi kehilangan
transpirasi serta menghambat pematangan buah dan sayuran karena kemampuan kitosan
untuk membentuk film semi permeabel (Tokatlı dan Demirdöven, 2020).
Penelitian telah menyebutkan efek edible film kitosan yang diaplikasikan pada buah
dan sayuran yaitu dapat meningkatkan penampakan dan karakteristik sensoris,
memberikan efek positif pada warna, meminimalkan perubahan yang mencolok,
mengurangi laju respirasi dan kehilangan bobot, menjaga kualitas, menghambat
pertumbuhan mikroorganisme dan memperpanjang masa simpan. Edible film kitosan
telah diaplikasikan pada beberapa buah dan sayuran diantaranya ceri, mangga, stroberi,
brokoli segar, pir, pomegranat dan apel merah (Tokatlı dan Demirdöven, 2020).
Sedangkan aplikasi kemasan primer antimikroba pada produk daging digunakan untuk
mengurangi kontaminasi mikroba yang terjadi pada permukaan produk dan mencegah
4

oksidasi lipid yang menyebabkan penurunan kualitas daging selama masa penyimpanan
dingin (Sogut dan Seydim, 2018).

1.2 Tujuan
Tujuan dari review literatur ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menyediakan referensi tentang edible film berbahan dasar kitosan yang
dioptimalisasi dengan penambahan komponen bioaktif serta aplikasinya sebagai
kemasan primer antimikroba
2. Untuk mendeskripsikan prosedur pembuatan kitosan, pembuatan edible film kitosan
beserta penambahan komponen bioaktif, aplikasi edible film kitosan pada produk dan
analisis produk
3. Untuk mengetahui pengaruh penambahan komponen bioaktif pada edible film kitosan
yang diaplikasikan sebagai kemasan primer antimikroba
4. Untuk mengetahui mutu serta masa simpan produk pangan yang diaplikasikan
kemasan primer antimikroba
5

2. METODE REVIEW

2.1 Metode Pencarian Data


Pada penulisan review literatur ini, pencarian data dilakukan dengan menggunakan
search engine Google Cendekia dan Portal Garuda untuk jurnal nasional serta Science
Direct, Elsevier dan Scopus untuk jurnal internasional. Pencarian sumber data
menggunakan kata kunci “edible film kitosan, edible film chitosan and plants extract,
antimicrobial packaging film, characterization edible film chitosan, chitosan film and
application”. Setelah didapatkan berbagai referensi jurnal, kemudian dilakukan
penyeleksian dimana jurnal yang digunakan minimal tahun 2010 dan jurnal diurutkan
berdasarkan tahun terbitnya. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap abstrak pada jurnal
dimana pembahasan yang tidak terlalu relevan dengan pembahasan tentang edible film
yang ditambahkan komponen bioaktif sebagai kemasan primer antimikroba, diganti
dengan mencari jurnal baru yang lebih relevan. Sehingga jurnal yang didapatkan
keseluruhan memenuhi kriteria minimal jurnal yang akan digunakan dengan proporsi 60%
untuk jurnal internasional dan 40% untuk jurnal nasional. Metode analisis yang digunakan
pada review literatur menggunakan metode deskriptif, dengan mengumpulkan informasi
berupa data yang relevan dengan topik tanpa adanya manipulasi dengan penelitian
eksperimen. Metode analisis secara deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan
penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya sehingga diharapkan
dapat mengidentifikasi permasalahan dengan baik.

2.2 Sumber Studi yang Digunakan


Sumber studi review yang digunakan sebanyak 21 buah jurnal dengan rincian 13
jurnal internasional dan 8 jurnal nasional, dengan kebaruan jurnal yang digunakan
minimal terbit pada tahun 2010. Rincian jumlah jurnal berdasarkan tahun terbitnya yaitu
sebanyak 2 jurnal yang terbit pada tahun 2010, 2 jurnal terbit tahun 2011, 1 jurnal terbit
tahun 2012, 1 jurnal terbit tahun 2016, 2 jurnal terbit tahun 2017, 9 jurnal terbit tahun
2018, 2 jurnal terbit tahun 2019 dan 2 jurnal terbit tahun 2020.
6

3. HASIL REVIEW

3.1 Kitosan
Kitosan merupakan produk deasetilasi dari kitin dengan cara pemanasan dalam
larutan basa. Kitin merupakan biopolimer polisakarida [(C8H13NO5)n] dengan rantai lurus
yang tersusun dari 2000–3000 monomer (2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukosa) yang
terangkai dengan ikatan 1,4-β-glikosida. Senyawa kitin ini dapat diubah menjadi kitosan
[(C6H11NO4)n] melalui tiga tahapan. Pada tahap memperoleh kitin, proses penghilangan
mineral (demineralisasi) dan penghilangan protein (deproteinasi) merupakan proses yang
penting, untuk selanjutnya dilakukan proses deasetilasi sehingga diperoleh kitosan
(Nurhayati dan Agusman, 2011).
Sumber perolehan kitosan selama ini banyak berasal dari udang vaname, hewan
laut kepiting (crab), udang karang (crawfish, lobster) dan udang windu. Teknik
pengolahan dan pengaturan variabel-variabel proses pada tahapan konversi kitin menjadi
kitosan, khususnya keseragaman ukuran partikel bahan baku cangkang udang sangat
mempengaruhi sifat-sifat kitosan (Sofia et al., 2016). Kitosan mempunyai sifat fisik
diantaranya adalah agak putih, transparan, berbentuk serpih atau serbuk dengan warna
agak mengkilap (Irawan, 2010).
Struktur kitosan berbentuk polielektrolit berupa rantai lurus atau bercabang dari
satuan yang lebih kecil yang sama atau terdiri dari dua atau tiga macam satuan yang
berbeda. Satuan tersebut dapat mengandung gugus –COOH, -OH, -POP3H2, -NH2+ dan
R1 NR2+ (Irawan, 2010). Kitosan bersifat polielektrolit kationik karena mempunyai gugus
fungsional berupa gugus amino, gugus hidroksil primer dan sekunder sehingga
menyebabkan kitosan mempunyai kereaktifitasan kimia yang tinggi Kondisi ini memberi
kemungkinan besar matriks kitosan dapat berikatan dengan senyawa anionik lainnya.
Gugus fungsi yang terdapat pada kitosan juga memungkinkan untuk modifikasi ikatan
kimia yang beraneka ragam termasuk reaksi dengan zat perantara silang (Nurhayati dan
Agusman, 2011).
Kitosan tidak larut dalam air dan larutan alkali dengan pH diatas 6,5 tetapi larut
dalam asam organik, sifat kitosan ini dapat disamakan dengan sifat polimer kationik.
Kitosan akan larut cepat dalam asam organik cair seperti asam formiat, asam asetat,
asam sitrat dan asam mineral lain kecuali asam sulfat (Irawan, 2010). Kemudian Sofia et
al. (2016), menambahkan bahwa kitosan yang dilarutkan dengan asam organik berbeda
menunjukkan efek penghambatan yang bervariasi terhadap pertumbuhan bakteri. Pelarut
asam organik seperti asam asetat, asam formiat dan asam laktat lebih efektif
menghambat pertumbuhan bakteri dibandingkan asam askorbat dan asam propionat.
7

Sedangkan Nurhayati dan Agusman (2011), melaporkan bahwa beberapa jenis asam
digunakan seperti asam asetat, laktat, formiat, malat dan propionat, namun hanya asam
asetat dan formiat yang menghasilkan film yang fleksibel, transparan dan sesuai sebagai
bahan pengemas. Hal itu disebabkan karena asam laktat dan malat memiliki gugus
hidroksil yang lebih banyak sehingga meningkatkan sifat hidrofilik pada kitosan. Sehingga
dapat diketahui bahwa asam asetat paling banyak digunakan sebagai pelarut karena
memiliki efek penghambatan terhadap bakteri dan pembentukan film yang paling baik.

3.2 Pembuatan Kitosan


Pada pembuatan kitosan menurut Nurhayati dan Agusman (2011), dilakukan melalui
beberapa tahapan diantaranya adalah proses deproteinasi yaitu penghilangan senyawa
protein, lalu dilanjutkan proses demineralisasi yaitu proses penghilangan senyawa mineral
dan kemudian depigmentasi yaitu proses penghilangan zat warna atau pemutihan hingga
terbentuk kitin. Setelah didapatkan kitin, tahap selanjutnya adalah proses deasetilasi kitin
berupa penghilangan gugus asetil (-COCH3) pada gugus asetil amino kitin menjadi gugus
amino bebas kitosan dengan menggunakan larutan basa hingga diperoleh biopolimer
kitosan. Pelarut basa yang digunakan berkonsentrasi tinggi seperti NaOH 50% sehingga
dapat memutuskan ikatan yang kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil. Kitosan
murni umumnya bersifat kohesif, kompak, dan memiliki lapisan yang mulus tak berpori
dan retak.
Selanjutnya pembuatan kitosan menurut Sofia et al. (2016), dilakukan dengan
persiapan bahan terlebih dahulu lalu dilanjutkan dengan prosedur kerja pembuatan
kitosan. Persiapan bahan baku dilakukan dengan membersihkan limbah cangkang udang
basah dari kotoran-kotoran organik dengan air hangat yang mengalir. Selanjutnya dijemur
hingga cukup kering dengan sinar matahari selama 2 – 3 hari. Cangkang udang kering
dihaluskan dalam alat crusher, dan dilanjutkan dengan pengayakan (sieving) hingga
diperoleh bahan baku cangkang udang halus (ukuran 200 mesh). Sisa cangkang udang
yang tidak berukuran 200 mesh dilakukan penghalusan kembali hingga diperoleh bubuk
cangkang udang yang seragam. Selanjutnya dilakukan penyiapan dan pembuatan larutan
kimia, pelarut yang digunakan diantaranya ; larutan NaOH 3,5% dan 505, HCl 1N dan
NaOCl 0,32% disiapkan untuk keperluan proses ekstraksi, deproteinasi, demineralisasi,
dekolorisasi dan deasetilasi. Kemudian tahap selanjutnya dilakukan prosedur pembuatan
kitosan, antara lain:
 Proses DP (Deproteinasi)
Cangkang udang yang telah halus akan dilakukan penghilangan protein dengan
larutan NaOH 3,5 % (b/b) selama 2 jam pada suhu 65°C dan dilakukan pengadukan.
8

Ratio padatan dan pelarut yang digunakan adalah 1:10 (b/v). Kemudian sampel disaring
dan dicuci dengan aquadest dan dikeringkan di oven.
 Proses DM (Demineralisasi)
Cangkang udang yang telah dideproteinasi, akan didemineralisasi dengan larutan
HCl 1 N selama 30 menit pada suhu kamar, dengan ratio padatan dan larutan 1:15 (b/v).
Selanjutnya disaring, dicuci dengan aquadest sampai netral dan dikeringkan di oven.
 Proses DK (Dekolorisasi)
Setelah didemineralisasi, sampel ditambahkan aseton selama 10 menit dan
dikeringkan selama 2 jam pada suhu ruang, dilanjutkan dengan pemucatan dengan
menambahkan natriumhipoklorida (NaOCl) 0,32 % selama 5 menit pada suhu ruang.
Rasio padatan dan solven yang ditambahkan 1:10 (b/v) atas dasar berat kering
padatan/cangkang. Sampel selanjutnya dicuci dengan aqudest dan dikeringkan secara
vakum selama 2-3 jam hingga terbentuk bubuk halus/tepung.
 Proses DA (Deasetilasi)
Proses deasetilasi dilakukan dalam autoklaf pada tekanan 15 psi, suhu 121°C selama
30 menit. Deasetilasi dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 50%, dengan
perbandingan padatan dan larutan 1:10 (b/v). Sampel (kitosan) dicuci untuk dinetralkan
dengan air bersih mengalir. Kemudian air diuapkan dan dikeringkan pada suhu 60°C
selama 24 jam di oven.

3.3 Edible Film Kitosan


Edible film merupakan lapisan tipis dengan ketebalan ± 0,3 mm yang mampu
melapisi bahan atau produk pangan, dapat dimakan bersama produk dan berfungsi untuk
memperpanjang masa simpan produk pangan. Bahan penyusun edible film salah satunya
berbasis polisakarida kationik yaitu kitosan. Kelebihan edible film dari biopolimer kitosan
menurut Balti et al. (2017), karena biopolimer ini memiliki karakteristik unik diantaranya
non toksik, melimpah, biokompatibel, mudah terurai, mampu membentuk lapisan film
yang baik, stabil dan fleksibel sehingga diangap sebagai bahan kemasan yang ramah
lingkungan. Selain itu, Edible film kitosan menurut Sofia et al. (2016), mempunyai
kemampuan menahan gas (gas-barrier). Sifat ini dapat menghalangi perubahan rasa dan
aroma dari bahan pangan yang dilapisi, sehingga sifat inilah yang memungkinkan edible
film kitosan dapat digunakan sebagai pembungkus untuk meningkatkan daya simpan
(storability) pangan. Perbedaan sumber kitin untuk pembuatan kitosan, karakteristik
kitosan, solven yang digunakan, teknik metode pembuatan film, dan jenis serta jumlah
bahan pemlastis yang digunakan sangat berpengaruh terhadap kualitas dari film yang
diperoleh.
9

3.3.1 Prosedur Pembuatan Edible Film Kitosan


Prosedur pembuatan edible film kitosan menurut Sofia et al. (2016), yaitu larutan
kitosan 1% (b/v) dibuat dengan cara melarutkan bubuk kitosan dalam larutan asam asetat
1%. Campuran diaduk kuat selama 30 menit, lalu direndam dalam air mendidih selama 10
menit, didinginkan pada suhu kamar dan kemudian disaring dengan glass-wool filter untuk
menghilangkan partikel yang tidak larut. Campuran tersebut selanjutnya dibagi dalam
beberapa wadah beaker glass 500 mL. Setiap wadah masing-masing ditambahkan
gliserol sebagai bahan pemlastis dengan rasio (gliserol : larutan kitosan) 0,2 : 1 (b/b).
Larutan film plastis yang terbentuk kemudian dicetak dan dibiarkan kering pada suhu
kamar selama 48 jam. Selanjutnya film yang telah kering dipindahkan dan diletakkan
dalam desikator, untuk dilakukan analisis fisiokimia (ketebalan, warna dan densitas);
karakteristik mekanik (kuat tarik dan % elongasi); serta fungsionalnya (WVTR, Water
Vapour Transmission Rate).
Edible film kitosan dengan penambahan plasticizer gliserol menurut Irawan (2010),
dibuat dengan melarutkan tiga gram kitosan dengan 100 ml asam asetat glacial 1%, pada
temperatur 50°C selama 60 menit dengan pengadukan. Larutan kitosan kemudian
disaring dengan bantuan pompa vacuum, agar gelembung udara dan kotoran yang
terperangkap di dalam larutan kitosan dapat hilang. Kemudian larutan kitosan dipanaskan
kembali pada temperatur 50°C selama 15 menit, selama pemanasan dilakukan
pengadukan dan penambahan plasticizer gliserol, dengan variasi konsentrasi plasticizer
sebesar 0 mL; 0,2 mL; 0,4 mL; 0,6 mL dan 0,8 mL kedalam setiap gram kitosan yang
dilarutkan. Setelah batas waktu 15 menit tercapai, diharapkan campuran telah homogen.
Campuran tersebut dituang ke media cetak berupa akrilik (24 x 34) cm, yang sebelumnya
terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 96%. Setiap sampel dituangkan kedalam
media cetak dengan jumlah sama, agar diketahui perbedaan ketebalan masing-masing
sampel seiring dengan penambahan konsentrasi plasticizer dan bahan aditif. Kemudian
larutan didinginkan pada temperatur 22°C selama ± 24 jam agar membeku dan
membentuk lembaran edible film kitosan. Lembaran tersebut kemudian dikelupas dari
media cetak dan dilakukan pengujian terhadap karakteristik/sifat mekanik meliputi WVTR,
O2TR, kuat tarik, perpanjangan putus, dan ketebalan.
Pembuatan Edible film kitosan dengan penambahan plasticizer beeswax menurut
Nabila et al. (2018), dimulai dengan melarutkan kitosan dalam 100 mL asam asetat 1% di
atas heat stirrer pada suhu 60°C dengan perputaran 6.000 rpm selama 15 menit. Kitosan
dilarutkan dalam pelarut sedikit demi sedikit supaya tercampur sempurna. Setelah larutan
kitosan terbentuk maka ditambahkan plasticizer beeswax dengan perlakuan konsentrasi
sebesar 0%, 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%. Kemudian dihomogenkan kembali selama 15
menit. Penambahan beeswax dilakukan sedikit demi sedikit disertai pengadukan agar
10

terdispersi merata dalam larutan. Suspensi kemudian dituangkan di atas cetakan kaca
yang telah dilapisi plastik polietilen. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven
pada suhu 60°C selama 3 jam.
Pembuatan edible film kitosan dengan perlakuan variasi konsentrasi polimer dan
suhu pengeringan menurut Homez-Jara et al. (2018), yaitu larutan kitosan dengan
konsentrasi 0,5% (CH05), 1% (CH10) dan 1,5% (CH15), dipersiapkan dengan melarutan
bubuk kitosan (BM Rendah 50-190 kDa, deasetilasi 75 – 85%) dalam larutan asam 1%
(v/v). kemudian larutan tersebut dilakukan pengadukan pada suhu 25°C selama 1 jam.
Selanjutnya ditambahkan Tween 80 0,1% dan gliserol 0,3%, campuran tersebut lalu
dihomogenisasi pada suhu 60°C dengan pengadukan selama 30 menit. Campuran larutan
tersebut lalu disaring vakum dan dibiarkan semalaman. Kemudian setiap larutan
sebanyak ± 0,27 g/cm2 dengan berbagai variasi konsentrasi dicetak dalam pelat akrilik
dan dikeringkan pada suhu 2°C selama 2 minggu (T02), 25°C selama 1 minggu (T25) dan
40°C selama 24 jam (T40). Setelah dikeringkan hingga kering, film distabilkan dengan
disimpan dalam desikator selama 24 jam dibawah kelembapan (RH) 54%, untuk
kemudian dilakukan analisis.
Pembuatan edible film kitosan yang dipengaruhi oleh metode pengeringan yang
berbeda dan variasi konsentrasi plasticizer menurut Thakhiew et al. (2010), yaitu larutan
kitosan dipreparasi dengan melarutkan kitosan bubuk dengan konsentrasi 1,5% (w/v) dan
gliserol sebagai plasticizer dengan variasi konsentrasi 0%, 25%, 75% dan 125% (w/w) ke
dalam asam asetat 1% (v/v), dilakukan penghomogenan konstan dengan magnetic stirrer
dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah larutan kitosan
tercampur, dilanjutkan sentrifugasi menggunakan sentrifuge dingin dengan kecepatan
12.400 rpm selama 15 menit untuk menghilangkan partikel yang tidak terlarut. Kemudian
larutan dihilangkan gasnya dengan sonikator pada frekuensi 30 kHz selama 1 jam.
Selanjutnya larutan kitosan setiap 16 g dituangkan ke dalam pelat akrilik dengan dimensi
13 x 10 cm untuk mencetak lapisan edible film kitosan untuk selanjutnya dilakukan proses
pengeringan dengan berbagai metode. Metode pengeringan yang digunakan diantaranya:
 Hot Air Drying (Pengeringan Udara Panas), yaitu larutan kitosan dikeringkan dalam
Hot Air Tray Dryer dengan kecepatan inlet 0,25 m/s. Metode pengeringan ini
digunakan sebagai kontrol metode pengeringan.
 Low-pressure Superheated Steam Drying (LPSSD), yaitu larutan kitosan dikeringkan
dengan LPSSD pada suhu 90°C dan tekanan 10 kPa, adanya pengurangan tekanan
operasi dari tekanan atmosfer menjadi 10 kPa bertujuan agar tidak terjadi
pembentukan gelembung pada edible film selama pengeringan berlangsung.
11

 Vacuum Drying, yaitu larutan kitosan dikeringkan dengan sistem yang sama dengan
LPSSD (suhu 90°C dan tekanan 10 kPa), hanya saja tanpa mengaplikasikan uap
(steam) pada drying chamber.

3.3.2 Karakterisasi Edible Film Kitosan


Tabel 1. Karakteristik fisikokimia edible film kitosan

Karakteristik Fisikokimia
Referensi
Ketebalan (mm) Lainnya
Densitas : 1,365 g / m3
Sofia et al., 2016 0,30
Warna : Bening
P0 (0,024)
P1 (0,025)
Irawan, 2010 P2 (0,029) -
P3 (0,032)
P4 (0,035)
P0 (0,012)
P1 (0,14)
Nabila et al., P2 (0,24)
-
2018 P3 (0,27)
P4 (0,29)
P5 (0,36)
- Kadar Air (%) : CH05T02 (31,3),
CH10T02 (16,2), CH15T02 (17,7),
CH05T25 (12,7), CH10T25 (21,3),
CH05T02 (32,4) CH15T25 (19,4), CH05T40 (10,8),
CH10T02 (24,7) CH10T40 (16,5), CH15T40 (10,8)
CH15T02 (39,3) - Swelling Power (%) : CH05T02 (198),
CH05T25 (34,5) CH10T02 (181), CH15T02 (184),
Homez-Jara et
CH10T25 (28,4) CH05T25 (113), CH10T25 (167),
al., 2018
CH15T25 (30,6) CH15T25 (204), CH05T40 (224),
CH05T40 (32,8) CH10T40 (214), CH15T40 (236)
CH10T40 (23,9) - Kelarutan (%) : CH05T02 (30)
CH15T40 (30,8) CH10T02 (32,3), CH15T02 (25,1),
CH05T25 (19,6), CH10T25 (19,2),
CH15T25 (19,3), CH05T40 (24,6),
CH10T40 (18,4), CH15T40 (24,4)
Hot Air Drying Kadar air (%)
P0 (0,015) - Hot Air Drying
P1 (0,015) P0 (18,4), P1 (19,3)
P2 (0,032) P2 (26,2), P3 (35,4)
P3 (0,047)
Vacuum drying - Vacuum drying
P0 (0,016) P0 (19,1), P1 (22,4)
Thakhiew et al.,
P1 (0,015) P2 (26,2), P3 (30,3)
2010
P2 (0,015)
P3 (0,019) - LPSSD
LPSSD P0 (18,1), P1 (20,6)
P0 (0,015) P2 (20,3), P3 (28,7)
P1 (0,015)
P2 (0,015)
P3 (0,020)
12

Berdasarkan hasil nilai ketebalan yang diukur menggunakan jangka sorong atau
mikrometer yang dapat dilihat pada Tabel 1, ketebalan yang dihasilkan berbeda beda
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Irawan (2010), ketebalan edible film
dipengaruhi banyaknya total padatan dalam larutan dan ketebalan cetakan. Dengan
cetakan yang sama, edible film yang terbentuk akan lebih tebal apabila volume larutan
yang dituangkan ke dalam cetakan lebih banyak. Demikian juga total padatan dengan
jumlah yang lebih banyak akan membuat edible film menjadi lebih tebal. Dalam hal ini
penambahan gliserol sebagai bahan pemlastis pada larutan pembentuk edible film
mempengaruhi ketebalan lapisan yang dihasilkan. Ketebalan nilainya akan meningkat
seiring dengan meningkatnya volume gliserol yang ditambahkan, hal ini karena total
padatan dalam larutan semakin banyak. Hal ini seiring dengan yang dilaporkan oleh
Nabila et al. (2018), bahwa edible film dengan penambahan plasticizer beeswax lebih
tebal sebanding dengan bertambahnya konsentrasi dari beeswax tersebut. Peningkatan
konsentrasi beeswax dapat meningkatkan ketebalan film karena terbentuknya kristal lilin
lebah pada matriks film. Berdasarkan hasil Uji Duncan, perbedaan ketebalan pada edible
film kitosan yang dipengaruhi dengan penambahan beeswax dengan konsentrasi yang
berbeda sebagai plasticizer menghasilkan berbeda nyata, karena semakin banyak jumlah
padatan dalam larutan maka edible film akan semakin tebal.
Faktor lain yang berpengaruh pada ketebalan edible film kitosan adalah metode
pengeringan yang berbeda dengan peningkatan konsentrasi bahan pemlastis. Menurut
Thakhiew et al. (2010), pengaruh konsentrasi gliserol menghasilkan efek yang signifikan
pada ketebalan film. Dalam hal ini pada metode Hot Air Drying meningkatkan ketebalan
edible film sebanding dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Karena gliserol
merupakan pemlastis yang bersifat hidrofilik sehingga konsentrasi gliserol yang tinggi
dapat menyerap air dan menyebabkan pembengkakan sehingga meningkatkan ketebalan
film. Akan tetapi dengan metode pengeringan vakum dan LPSSD hanya film dengan
konsentrasi glierol 125% (w/w) yang ketebalannya meningkat signifikan. Hal ini karena
temperatur pengeringan yang tinggi menyebabkan pembentukan rantai polimer dalam
matriks film yang menghasilkan struktur yang lebih padat dan kompak. Dengan demikian
metode pengeringan berpengaruh terhadap ketebalan film yang dihasilkan seiring juga
dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Sedangkan pengaruh peningkatan konsentrasi
polimer kitosan dengan suhu dan lama pengeringan yang berbeda tidak dijelaskan oleh
Homez-Jara et al. (2018).
Berpedoman pada JIS (Japanesse Industrial Standard), film yang digunakan
sebagai kemasan makanan yang dikategorikan film adalah yang memiliki ketebalan
maksimal 0,25 mm (Sofia et al., 2016). Dapat disimpulkan bahwa ketebalan film
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi atau volume bahan pemlastis,
13

konsentrasi total padatan dalam larutan kitosan, volume larutan yang dicetak dan metode
pengeringan yang berbeda.
Karakteristik fisikokimia lainnya yang diuji diantaranya densitas, warna, kandungan
air, Swelling Power (SP) dan kelarutan. Menurut Sofia et al. (2016), pengukuran nilai
densitas sangat penting karena densitas menunjukkan kemampuan film melindungi
produk yang dikemas dari partikel-partikel dalam udara bebas seperti uap air, O 2 dan
CO2. Semakin besar densitas film maka kualitasnya semakin baik karena film dengan
densitas rendah memiliki struktur yang lebih terbuka dengan porositas yang lebih besar.
Selanjutnya pada parameter warna semakin bening warna edible film maka akan semakin
baik. Sedangkan kandungan air, Swelling Power, dan kelarutan saling berkaitan erat,
dimana kemampuan mengikat air dari edible film menurut Homez-Jara et al. (2018),
berpengaruh signifikan pada karakteristik fisiknya. Kandungan air pada edible film
dipengaruhi oleh suhu pengeringan yang digunakan. Dimana sampel yang dikeringkan
pada suhu rendah menghasilkan edible film dengan kandungan air yang tinggi. Hal ini
dikarenakan suhu pengeringan berkaitan dengan lama waktu yang dibutuhkan, sehingga
pengeringan dengan suhu rendah menyebabkan lama waktu yang dibutuhkan semakin
lama. Hal ini membuat interaksi antara molekul air dengan rantai hidrofilik pada polimer
kitosan selama pengeringan semakin lama dan menyebabkan kandungan air meningkat.
Semakin tinggi kandungan air maka Swelling Power juga meningkat karena Swelling
Power mengacu pada kemampuan sebuah film untuk menahan air dalam matriksnya.
Semakin tinggi kandungan air maka % kelarutan juga meningkat karena kemampuan
untuk larut dalam air semakin tinggi.

Tabel 2. Karakteristik mekanik edible film kitosan

Karakteristik Mekanik
Referensi Perlakuan
Kuat Tarik (TS) Elongasi (%)
Sofia et al., 2016 - 1,90 MPa 70,28
P0 182,112 kgf/mm2 3,6
2
P1 146,982 kgf/mm 4,2
Irawan, 2010 P2 122,230 kgf/mm2 6,2
P3 115,570 kgf/mm2 7,0
P4 92,652 kgf/mm2 12,2
P0 47,53 kgf/cm2 3,34
P1 - 4,46
P2 - 6,36
Nabila et al., 2018
P3 - 6,85
P4 - 7,44
P5 13,72 kgf/cm2 5,72
CH05T02 120 MPa 8,51
CH10T02 351 MPa 42,4
Homez-Jara et al.,
CH15T02 398 MPa 7,72
2018
CH05T25 107 MPa 13,8
CH10T25 372 MPa 15,5
14

CH15T25 309 MPa 26,5


CH05T40 210 MPa 2,46
CH10T40 231 MPa 1,50
CH15T40 656 MPa 2,77
P0 64,3 MPa 13,7
P1 44,9 MPa 16,9
P2 15,8 MPa 39,9
P3 8,7 MPa 48,7
P0 60,5 MPa 11,9
P1 44,3 MPa 14,2
Thakhiew et al., 2010
P2 37,2 MPa 14,8
P3 39,6 MPa 20,2
P0 55,2 MPa 12,1
P1 40,9 MPa 19,3
P2 43,7 MPa 19
P3 38,6 MPa 20,2

Kuat tarik merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap
bertahan sebelum putus, sedangkan persentase pemanjangan (% elongasi) merupakan
ukuran kemampuan film untuk meregang saat ditarik (Sofia et al., 2016). Kekuatan tarik
merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap sifat mekanik edible film.
Edible film dengan kekuatan tarik yang tinggi akan mampu melindungi produk pangan dari
gangguan mekanis dengan baik (Nabila et al., 2018). Berdasarkan hasil nilai kuat tarik
atau tensile strength yang dapat dilihat pada Tabel 2, nilai kuat tarik menurun seiring
dengan meningkatnya penambahan plasticizer. Hal ini menurut Nabila et al. (2018),
dikarenakan sifat beeswax sebagai plasticizer adalah menurunkan kekakuan supaya film
lebih fleksibel sehingga kekuatan film juga menurun. Hal tersebut juga dilaporkan oleh
Irawan (2010), bahwa kekuatan tarik edible film kitosan yang dilarutkan dalam asam
asetat dan mendapat tambahan gliserol memiliki kuat tarik yang cenderung menurun,
sejalan dengan meningkatnya volume gliserol yang ditambahkan. Penambahan gliserol
akan mengurangi gaya antar molekul sepanjang rantai polisakarida sehingga struktur film
yang dibentuk menjadi lebih halus dan fleksibel. Sedangkan Homez-Jara et al. (2018),
melaporkan adanya peningkatan terhadap nilai kuat tarik, yang dipengaruhi oleh suhu
pengeringan dan konsentrasi kitosan. Nilai TS akan meningkat ketika suhu pengeringan
dan konsentrasi kitosan meningkat. Suhu pengeringan yang tinggi meningkatkan interaksi
yang lebih besar antara rantai polimer, dalam hal ini seiring dengan meningkatnya
konsentrasi kitosan, menghasilkan nilai kuat tarik yang lebih besar.
Berdasarkan Tabel 2, nilai persentase pemanjangan menjadi lebih besar seiring
dengan peningkatan konsentrasi gliserol, namun dalam batasan edible film yang tidak
sampai lembek. Hal tersebut dikarenakan adanya peningkatan volume gliserol maka akan
menurunkan kekuatan gaya antarmolekul sehingga mobilitas antar rantai molekul
meningkat dan persentase pemanjangan juga meningkat (Irawan, 2010). Sedangkan
15

pada penambahan plasticizer beeswax terjadi peningkatan persentase pemanjangan


pada konsentrasi beeswax 1% - 4% namun mengalami penurunan pada konsentrasi 5%.
Hal tersebut dikarenakan komposisi campuran melampaui titik jenuh sehingga beeswax
yang berlebih berada pada fase tersendiri diluar fase kitosan yang menyebabkan film
tidak homogen. Sehingga analisis tersebut menunjukkan bahwa penambahan beeswax
yang paling efektif untuk meningkatkan pemanjangan adalah tidak lebih dari 4% per berat
volume (Nabila et al., 2018). Kemudian suhu pengeringan memiliki efek yang berbanding
terbalik terhadap persentase pemanjangan, presentase pemanjangan menurun ketika
suhu pengeringan meningkat. Hal tersebut disebabkan suhu pengeringan yang tinggi
mempersingkat lama waktu pengeringan sehingga memperkecil peluang tergabungnya
molekul air ke dalam struktur edible film, molekul air tersebut dapat berperan sebagai
plasticizer ketika tergabung dalam struktur film (Homez-Jara et al., 2018).
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa konsentrasi plasticizer memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap nilai kuat tarik/tensile strength dan persentase
pemanjangan (% elongasi). Pada semua sampel, edible film tanpa plasticizer memiliki
kuat tarik tertinggi dan persentase pemanjangan terendah. Sebaliknya, dengan
penambahan plasticizer maka dihasilkan kuat tarik terendah dan persentase
pemanjangan tertinggi serta menghasilkan film yang lebih fleksibel (Thakhiew et al.,
2010).

Tabel 3. Karakteristik fungsional edible film kitosan

Referensi Perlakuan WVP


Sofia et al., 2016 - 4,0155
P0 330,680
P1 226,240
Irawan, 2010 P2 165,560
P3 245,800
P4 358,880
CH05T02 72,5
CH10T02 62,5
CH15T02 84,5
CH05T25 66,3
Homez-Jara et al.,
CH10T25 92,2
2018
CH15T25 79,3
CH05T40 38,5
CH10T40 40,8
CH15T40 0,27

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada analisis laju transmisi uap air (WVP)
sesuai dengan Tabel 3, didapatkan hasil nilai WVP yang tinggi pada penelitian Irawan
(2010), hal ini dikarenakan film kitosan yang dihasilkan dipengaruhi oleh sifat bahan baku
(kitosan) yang termasuk polimer polar dan mempunyai jumlah ikatan hidrogen yang
16

besar, sehingga menghasilkan penyerapan air pada RH tinggi. Selain itu terdapat celah-
celah rantai molekul polimer kitosan yang belum terisi merata lalu terjadi penyerapan uap
air secara difusi aktif. Ketika film hidrofilik menyerap air dan menggumpal, molekul air
yang ditambahkan kemudian akan bergerak dan menyebabkan mobilitas rata-rata dari
molekul air meningkat sehingga akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas dan laju
transmisi uap air. Ditambahkan oleh Homez-Jara et al. (2018), bahwa konsentrasi polimer
kitosan tidak menghasilkan efek yang konsisten terhadap WVP, akan tetapi tetap
menghasilkan nilai WVP yang besar. Perbedaan dihasilkan oleh pengaruh suhu
pengeringan dimana pengeringan dengan suhu rendah menunjukkan nilai WVP yang
paling tinggi. Hal ini berkaitan dengan kandungan air yang terdapat pada film.
Bioplastik untuk kemasan makanan yang dikategorikan film menurut JIS
(Japanesse Industrial Standard) adalah yang mempunyai nilai laju transmisi uap air
maksimal 7 g/ m2.hari (Sofia et al., 2016). Oleh karena itu untuk hasil dari WVP edible film
kitosan di atas yang melebihi batas tersebut belum memenuhi karakteristik fungsional
edible film kitosan sebagai barrier yang baik.

3.4 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Komponen Bioaktif


Adanya permasalahan oksidasi dan kontaminasi mikroba yang mempengaruhi
terjaminnya keamanan pangan, banyak bahan kemasan berbasis biopolimer yang
digabungkan dengan berbagai senyawa antioksidan dan antimikroba telah
dikembangkan. Beberapa studi telah melaporkan beberapa polifenol alami sebagai
alternatif yang digunakan sebagai senyawa antioksidan dan antimikroba (Balti et al.,
2017). Beberapa komponen bioaktif diantaranya bakteriosin, minyak esensial (atsiri,
kunyit, oregano, marjoram, sunflower oil), ekstrak tumbuhan (Grape Seed Extract,
Pomegranate Peel Extract, Spirulina, minyak biji dan buah Berberis crataegina, teh hijau),
ekstrak mangrove (Sonneratia caseolaris) serta nanopartikel antimikroba ditambahkan ke
dalam edible film kitosan murni sebagai alternatif bioaktif alami. Hal tersebut juga
bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi edible film kitosan sebagai kemasan antimikroba,
sehingga selain digunakan sebagai material dalam pembuatan edible film juga berperan
sebagai zat aktif itu sendiri.

3.4.1 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Daun Mangrove (Nguyen
et al., 2020)
a) Persiapan Ekstrak Daun Mangrove Sonneratia caseolaris
Daun mangrove Sonneratia caseolaris dicuci terlebih dahulu dengan distilled water
lalu dikeringkan pada suhu 60°C selama 48 jam. Kemudian daun kering digiling dengan
grinder hingga terbentuk bubuk halus dan disimpan pada suhu -25°C sebelum digunakan.
Ekstraksi dilakukan dengan merendam 1 g bubuk daun mangrove dengan 10 mL larutan
17

ethanol 90% pada suhu ruang selama 24 jam. Kemudian cairan yang dihasilkan disaring
melalui corong buchner dan filtrat diuapkan menggunakan rotary evaporator dengan
vakum untuk mendapatkan ekstrak kasar. Terakhir ekstrak daun mangrove yang
dihasilkan disimpan pada suhu 2°C untuk dianalisis lanjutan.
b) Pembentukan Edible Film
Edible film kitosan yang ditambahkan ekstrak daun mangrove dibuat dengan
metode pembentukan larutan. Larutan kitosan dipreparasi dengan menambahkan kitosan
dg konsentrasi 1% (w/v) dalam pelarut asam asetat 1% (v/v) dengan pengadukan
menggunakan magnetic stirrer pada kecepatan 200 rpm hingga bubuk kitosan terlarut
sempurna. Kemudian gliserol sebagai bahan pemlastis ditambahkan ke dalam larutan
dengan perbandingan 30% (w/w) terhadap berat bubuk kitosan, kemudian dilakukan
pengadukan kembali selama 1 jam. Selanjutnya, ektstrak daun mangrove dengan
berbagai konsentrasi (1%, 2% dan 3%) (w/v) ditambahkan ke dalam larutan kitosan yang
konsentrasinya dibandingkan dengan larutan film yang terbentuk. Lalu dilakukan
pengadukan kembali pada suhu ruang selama 1 jam. Campuran tersebut lalu disentrifus
dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit untuk menghilangkan gelembung dan
partikel yang tidak diinginkan. Larutan film yang dihasilkan setiap 250 mL dicetak pada
plastik polipropilene (PP) (20x20 cm) dan dikeringkan pada suhu 40°C selama 48 jam.
Lembaran film yang terbentuk dikelupas dan disimpan pada desikator dengan suhu 25°C
sebelum dianalisis.
c) Karakterisasi Edible Film
Karakterisasi edible film meliputi : 1). Water Vapor Permeability dengan metode
ASTM E96-95, 2). Uji Kuat Tarik (Tensile Strength) dan % Elongasi dengan metode
ASTM D882-18, 3). Uji transparansi dengan metode ASTM D1003, 4). Evaluasi Scanning
Electron Microscopy (SEM), 5). Analisis FT-IR (Fourier Transform Infrared), 6). Uji
stabilitas termal dengan Thermogravimetric Analysis (TGA), 7). Analisis total kandungan
polifenol atau Total Phenol Content (TPC), 8). Analisis total kandungan flavonoid, 9). Uji
aktivitas antibekteri meliputi penentuan aktivitas antibakteri dari ekstrak daun mangrove
dan penentuan kuantitatif aktivitas antibakteri dari edible film dan 10). Penentuan
kandungan air, kelarutan dalam air dan swelling degree.

3.4.2 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Pomegranate Peel Extract (Kumar
et al., 2019)
a) Preparasi Pomegranate Peel Extract (PGPE)
Kulit buah delima yang telah matang, dikupas dan dicuci terlebih dahulu untuk
menghilangkan debu dan partikel yang tidak diinginkan. Kemudian kulit buah delima
disimpan dalam freezer selama 24 jam. Setelah itu kulit buah diliofilisasi menggunakan
18

liofilizer pada suhu – 45°C selama 94 jam. Kulit buah kering dihaluskan dengan mixture
grinder untuk menghasilkan bubuk halus dan disimpan pada wadah kedap udara pada
suhu –40°C untuk preparasi ekstrak. Selanjutnya ekstraksi kulit delima dalam bentuk
freeze dried dilakukan dengan menggunakan pelarut methanol untuk menghasilkan
ekstrak yang jernih dan kaya akan kandungan antioksidan. Pada mulanya, sebanyak 0,2
g bubuk kulit delima halus disonikasi dalam 10 mL methanol menggunakan ultrasonic
bath selama 30 menit pada suhu 45°C. Selanjutnya sampel disentrifugasi pada suhu 5°C
dengan kecepatan 8654 rpm selama 10 menit, lalu disaring dengan kertas Whatman
No.11 untuk menghasilkan ekstrak yang transparan. Kemudian pelarut methanol
dievaporasikan menggunakan vakum rotary evaporator pada suhu 42°C. Kemudian
endapan bubuk hasil evaporasi (0,2 g) dilarutkan dengan 10 mL air untuk preparasi
ekstrak yang akan dicampurkan kedalam matriks kitosan.
b) Pembentukan Edible Film
Larutan edible film kitosan-pullulan dipreparasi dengan formulasi yang berbeda.
Perbandingan rasio kitosan dan pullulan yang digunakan ada 5 perlakuan diantaranya
(100%, 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, 100%), larutan disiapkan dengan mencampurkan
larutan kitosan : Pullulan dengan konsentrasi 2% (v/v) sesuai dengan rasio perlakuan
dengan plasticizer gliserol 1% (w/v) dan ekstrak kulit delima (PGPE) 5% (v/v), formulasi
dapat dilihat pada Tabel 4. Kitosan (2%) disiapkan dengan melarutkan bubuk kitosan
dalam larutan asam sitrat 0,5%, sedangkan pullulan (2%) disiapkan dengan melarutkan
bubuk pullulan dalam akuades. Kedua larutan tersebut dihomogenkan secara terpisah
menggunakan magnetic stirrer selama 60 menit pada suhu ruang. Setelah itu, proporsi
yang berbeda antara kitosan dan pullulan dipreparasi untuk membentuk larutan dasar
edible film, lalu dihomogenkan dengan homogenizer dengan kecepatan 9000 rpm selama
2 menit dan dilanjutkan stirrer atau pengadukan selama 60 menit pada suhu ruang
dengan perlahan-lahan ditambahkan plasticizer gliserol dan ekstrak kulit delima (PGPE)
(0,02 g/mL). Campuran ini dilakukan analisis karakteristik rheology. Kemudian untuk
mendapatkan edible film, campuran tersebut (100 mL) dicetak dengan pelat kaca ukuran
13 x 13 cm serta disimpan pada suhu 22 ± 5°C selama 48 jam. Setelah kering, lapisan
film dikelupas dan disimpan dalam desikator dengan kelembapan 53% (Mg(NO 3)2.5H2O)
pada suhu 25°C selama 72 jam untuk selanjutnya dilakukan analisis.

Tabel 4. Formulasi kitosan : pullulan pada edible film

Dispersi dalam 100 Ml


Formulasi Kitosan (2%) Pullulan (2%) Gliserol (w/v %) PGPE (%)
Kitosan = 100 (C100, F1) 4 0 1 5
Ki:Pul = 75:25 (C2P, F2) 3 1 1 5
Ki:Pul = 50:50 (C3P, F3) 2 2 1 5
19

Ki:Pul = 25:75 (C4P, F4) 1 3 1 5


Pullulan = 100 (P100, F5) 0 4 1 5
C = Edible Coating Material, F = Edible Film, Ki = Kitosan, Pul = Pullulan

c) Karaktersisasi Edible Film


Karakterisasi edible film meliputi: 1). Karakteristik rheologi menggunakan
rheometer, 2). Analisis stabilitas thermal menggunakan Differential Scanning Calorimetry
(DSC) (DSC 200 F3 Maia, NETZSCH, Germany), 3). Analisis sifat optis/ transparansi
menggunakan spektrofotometer UV-Vis, 4). Uji % Kelarutan dalam air (%KdA), 5). Uji %
Kelembapan, 6). Uji kuat tarik/ Tensile Strength (TS) menggunakan Textur Analyzer
metode ASTM, 7). Analisis permeabilitas uap air/ Water Vapor Permeability (WVP)
menggunakan WVP Tester, 8). Analisis ketebalan / Thickness menggunakan digital
micrometer, 9). Uji Swelling degree, 10). Uji Warna menggunakan Hand held Chroma
meter, 11). Uji kandungan total phenol/ Total Phenolic Contents (TPC) menggunakan
metode Folin Ciocalteu’s reagent standards, 12). Uji aktivitas antioksidan dengan DPPH,
13). Uji kandungan total flavonoid (TFC) dengan metode spektrofotometri.

3.4.3 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Grape Seed Extract (Sogut dan
Seydim, 2018)
a) Preparasi Grape Seed Extract (GSE)
Biji buah anggur dikeringkan dan dihaluskan, lalu bubuk biji anggur direndam
dalam air distilasi selama 6 jam pada suhu 25°C untuk membantu mengekstrak
komponen fenol (10 g bubuk biji anggur/ 100 g). Kemudian larutan ekstrak disaring secara
vakum dan di freeze dried untuk mengonsentrasikan kandungan akhir fenol (Ekstrak biji
anggur, GSE).
b) Pembentukan Edible Film
Edible film kitosan dipreparasi melarutkan bubuk kitosan dalam larutan asam
asetat 1% (w/w) dengan konsentrasi 1,5% (w/w). Kemudian ditambahkan gliserol 0,3%
(w/w) dan GSE (5%, 10% dan 15%, w/w, dalam basis kering bahan dasar film kitosan)
dalam larutan film kitosan dan dihomogenkan selama 5 menit. Penelitian sebelumnya
mengindikasikan bahwa edible film kitosan dengan kandungan GSE kurang dari 5%
(dalam basis kering bubuk kitosan) menunjukkan aktivitas antioksidan dan antimikroba
yang rendah, sedangkan dengan konsentrasi lebih dari 15% mengakibatkan hilangnya
struktur. Sehingga range konsentrasi 5-15% dipilih sebagai batas atas dan batas bawah
yang menunjukkan karakteristik antioksidan dan antimikroba bahkan di dalam matriks film
sekaligus mempertahankan integritas sampel edible film. Larutan film kitosan kemudian
dihilangkan gasnya untuk menghindari terbentuknya gelembung ketika dicetak. Setelah
itu, 50 g larutan film dicetak dalam Teflon (pelat berlapis) (Ø=150 mm) dan diratakan.
20

Kemudian dikeringkan dalam suhu ruang selama 48 jam. Kemudian film yang terbentuk
dikondisikan pada suhu 25°C dengan kelembapan (RH) 50% selama satu minggu.
Selanjutnya digital micrometer diunakan untuk mengukur ketebalan lapisan film pada 6
posisi acak. Kandungan air dari film berkisar antara 21,90 ± 0,40% dan 29,71 ± 0,01%.
Sampel yang mengandung GSE 5, 10 dan 15% diberi kode sampel CH5G, CH10G dan
CH15G pada masing masing sampel.
c) Karakterisasi Edible Film
Karakterisasi edible film meliputi 1). Uji Scanning Electron Microscopy (SEM), 2).
Penentuan Water Vapor Permeability (WVP) mengacu pada metode ASTM E96-95
(ASTM,1995), 3). Uji Kuat Tarik/ Tensile Strength (TS) mengacu pada metode ASTM
D882 (ASTM, 2001), 4). Analisis sifat optis menggunakan spektrofotometer UV-vis dan
penentuan warna menggunakan Chroma Meter, 5). Analisis Total Phenolic Content (TPC)
menggunakan spektrofotometer UV-vis 6). Uji aktivitas antioksidan dengan larutan DPPH,
dan 7). Uji aktivitas antimikroba dengan bakteri target Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa dalam media
cair.

3.4.4 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Spirulina (Balti et al., 2017)
a) Ekstraksi Kandungan Polifenol dari Spirulina
Ekstraksi kandungan polifenol dari Spirulina menggunakan ekstraktor pelarut
yang diakselerasi. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah ethanol dan ekstrak
ethanol diperoleh dalam kondisi optimal (115°C selama 15 menit). Ekstrak yang diperoleh
ditutup dengan alumunium foil dan disimpan pada suhu – 18°C. Lalu pelarut dihilangkan
dibawah aliran gas nitrogen, kemudian ekstrak yang kering dilarutkan kembali dengan
ethanol dengan konsentrasi 50 mg/mL. dengan cara yang sama, campuran disimpan
pada suhu – 18°C.
b) Pembentukan Edible Film
Kitosan diperoleh dari ekstraksi cangkang kepiting laba-laba (Maja crispata).
Larutan pembentuk film disiapkan dengan melarutkan 2 g tepung kitosan dalam 100 mL
larutan asam asetat glasial 1%. Gliserol sebagai bahan pemlastis ditambahkan ke dalam
larutan dengan konsentrasi 30% (w/w) dari berat kitosan. Larutan yang dihasilkan lalu
dipanaskan dengan waterbath shaking incubator pada suhu 60°C dengan kecepatan 100
rpm selama 30 menit. Kemudian, larutan disaring dengan penyaring kaca untuk
menghilangkan partikel yang tidak terlarut. Selanjutnya, larutan didinginkan pada suhu
ruang dan ekstrak Spirulina (SE) dilarutkan dalam larutan pembentuk film dengan
konsentrasi 0, 2.5, 5, 10,15 dan 20% (w/v). Campuran yang dihasilkan dihomogenisasi
menggunakan homogenizer, lalu dilanjutkan dengan penghilangan gas pada larutan
21

menggunakan ultrasonikator untuk menghilangkan gelembung udara. Masing-masing


larutan sesuai dengan konsentrasinya dicetak dalam pelat keramik dan dikeringkan pada
suhu ruang. Film yang dihasilkan disimpan dalam desikator pada suhu 25°C dengan
kelembapan (RH) 50% selama 48 jam untuk selanjutnya dianalisis.
c) Karakterisasi Edible Film
Karakterisasi edible film meliputi 1). Ketebalan film diukur dengan digital
micrometer dan Uji Warna (L*,a*,b*) diukur dengan colorimeter, 2). Barrier Properties
meliputi Water Vapor Transmission Rate (WVTR) atau laju transmisi uap air dan Oxygen
Transmission Rate (OTR) atau laju transmisi oksigen, 3). Karakteristik mekanis meliputi
Tensile Strength (TS) dan % Elongasi, 4). Analisis Fourrier Transform Infrared
Spectroscopy (FT–IR), 5). Penentuan kandungan total fenol, 6). Uji aktivitas antioksidan
meliputi uji pengikatan radikal bebas DPPH, Ferric Reducing Antoxidant Power (FRAP)
dan uji kemampuan pengkelat terhadap ion besi, dan 7). Uji aktivitas antibakteri dengan
bakteri target Eschericia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Listeria
monocytogenes, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis dan Bacillus cereus dengan
metode difusi agar menggunakan cakram.

3.4.5 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Teh Hijau (Siripatrawan
dan Noipha, 2012)
a) Preparasi Ekstrak Teh Hijau
Preparasi ekstrak teh hijau yaitu yang pertama daun teh hijau dikukus, dikeringkan
dan dihaluskan hingga terbentuk serbuk teh. Kemudian serbuk dicampurkan dengan air
distilasi dengan perbandingan 1:5 (w/v) untuk mendapatkan cairan ekstrak teh hijau, lalu
dilakukan pengadukan dengan kecepatan 100 Oscillation/ menit selama 10 menit serta
dikontrol pada suhu 90°C. Selanjutnya penentuan kandungan polifenol dalam cairan
ekstrak teh hijau dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC).
b) Pembentukan Edible Film
Larutan film kitosan dibuat dengan melarutkan tepung kitosan dalam 1% larutan
asam asetat sehingga menghasilkan konsentrasi 2% (w/v), lalu menambahkan gliserol
sebagai bahan pemlastis dengan konsentrasi 30% (w/w) dari berat tepung kitosan.
Ekstrak cairan teh hijau lalu dicampurkan ke dalam larutan film kitosan sehingga diperoleh
konsentrasi akhir 20% (w/v) dari ekstrak teh hijau dalam larutan film kitosan. Campuran
tersebut lalu dihomogenkan dengan homogenizer, selanjutnya dihilangkan gasnya untuk
menghilangkan gelembung udara menggunakan sonikator. Setiap larutan pembentuk film
(90 g) dicetak diatas pelat keramik berukuran 12 x 28,5 cm 2 dan dikeringkan pada suhu
22

ruang (26°C). lembaran film yang dihasilkan disimpan dalam enviromental chamber pada
suhu 25°C dengan kelembapan (RH) 50% selama 48 jam sebelum diaplikasikan.

3.4.6 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Buah dan Biji Berberis
crataegina (Kaya et al., 2018)
a) Preparasi Ekstrak Buah dan Biji Berberis crataegina
Preparasi ekstrak dilakukan dengan memisahkan biji dari buah Berberis
crataegina. Untuk buah dari Berberis crataegina dilakukan ekstrak untuk diambil air
buahnya. Sedangkan untuk biji dari Berberis crataegina diekstrak dengan pelarut
petroleum eter hingga dihasilkan minyak dari biji tersebut. Untuk tahapan ekstraksi buah
dan biji diantaranya yaitu buah Berberis crataegina segar dikeringkan pada suhu ruang.
Setelah itu, pulp kering dari buah dipisahkan dari bijinya. Selanjutnya, pulp buah kering
dimaserasi dalam air mendidih untuk mengeksraksi kandungan air. Selain itu, biji kering
dihaluskan dan dilarutkan dalam petroleum eter dengan diaduk selama 6 jam untuk
mengekstraksi kandungan minyak. Setelah diekstrak, air dan petroleum eter
dievaporasikan dibawah vakum dengan suhu 50°C. Sehingga dihasilkan bubuk kering dari
ekstrak buah dan minyak dari ekstrak biji.
b) Pembentukan Edible Film
Larutan film kitosan dioreparasi dengan melarutkan 1 g tepung kitosan dalam 100
mL larutan asam asetat 1% (v/v). Larutan film tersebut dihomogenkan dengan magnetic
stirrer selama 10 jam. Larutan pembentuk film dipreparasi dengan 3 jenis yang berbeda.
Larutan film pertama, sebanyak 60 mL larutan kitosan digunakan sebagai sampel kontrol
(Kitosan-kontrol). Larutan film kedua, sebanyak 60 mL larutan kitosan dicampur dengan 1
mL minyak biji Berberis crataegina didalam beaker glass. Larutan film ketiga, sebanyak
60 mL larutan kitosan dicampur dengan 1 g bubuk ekstrak buah Berberis crataegina
didalam beaker glas. Lalu 100 µL gliserol ditambahkan ke dalam setiap larutan sebagai
bahan pemlastis. Setelah itu, setiap larutan dihomogenkan selama 10 menit dengan
kecepatan 26.000 rpm menggunakan homogenizer. Campuran yang telah
dihomogenisasi, dituang ke dalam cawan petri plastik dan dikeringkan selama 48 jam
pada suhu 30°C. ketebalam lapisan film diukur dengan digital micrometer.
c) Karakterisasi Edible Film
Karakterisasi edible film meliputi: 1). Analisis Attenuated Total Reflectance Infrared
Spectroscopy (ATR/ FT-IR), 2). Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM), 3).
Analisis Differential Scanning Microscopy (DSC), 4). Analisis karakteristik mekanik
meliputi Kuat tarik/ Tensile Strength (TS), Modulus Young (YM) dan % Elongasi, 5).
Pengukuran transmisi optis menggunakan spektrofotometer UV-vis, 6). Pengukuran sudut
23

kontak, 7). Uji % kelarutan dalam air (KdA), 8). Analisis komposisi asam lemak
menggunkan HP N gas chromatograph, 9). Uji aktivitas antioksidan diantaranya
determinasi radikal bebas DPPH dan determinasi kandungan total fenol, 10). Uji aktivitas
antimikroba film kitosan yang ditambahkan ekstrak buah dan bij Berberis crataegina
dengan bakteri target Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Proteus microbilis,
Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter aerogenes, Bacillus
thuringiensis,Salmonella enterica serotype typhmurium dan Streptococcus mutans, diuji
dengan metode difusi cakram, 11). Uji aktivitas anti-quorum sensing dengan metode difusi
cakram dan determinasi penghambatan terhadap bakteri C. violaceum.

3.4.7 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Sunflower Oil (Vargas et al., 2011)
Larutan edible film kitosan disiapkan dengan mendispersikan 1% (w/w) tepung
kitosan dalam 1% (w/w) larutan asam asetat (A) atau asam laktat (L). Selanjutnya minyak
bunga matahari ditambahkan ke dalam larutan dengan konsentrasi 1% (w/w). Campuran
tersebut lalu dihomogenisasi dengan homogenizer dengan kecepatan 21.500 rpm selama
4 menit. Setelah itu, dihomogenkan kembali dengan Microfludizer bertekanan tinggi
dengan tekanan 165 Mpa dalam sekali proses. Kemudian larutan film dicetak dan
dikeringkan pada suhu ruang dengan kelembapan (RH) 60% untuk membentuk lapisan
film, densitas permukaan film yaitu 56 mg/ cm2 . Lapisan tersebut dikelupas dari pelat
cetakan dan dikondisikan dalam kelembapan 58% pada suhu 5°C selama seminggu.
Analisis permeabilitas terhadap uap air (WVP) dan strukstur permukaan film dilakukan
terhadap sampel edible film kitosan asam asetat (CH_A), kitosan asam asetat dengan
Sunflower Oil (CH_A:S), kitosan asam laktat (CH_L), dan kitosan asam laktat dengan
Sunflower Oil (CH_L:S).

3.4.8 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Minyak Esensial Oregano dan
Marjoram (Sedlaříková et al., 2017)
a) Pembentukan Edible Film
Minyak esensial yang ditambahkan pada larutan pembentuk film adalah minyak
esensial oregano (Origanum vulgare) dan minyak esensial marjoram (Origanum
majorana). Lautan kitosan dipreparasi dengan melarutkan tepung kitosan 1% (w/v) dalam
1% (v/v) asam asetat, lalu dilakukan pengadukan pada suhu ruang selama 24 jam.
Larutan kemudian disaring dengan glass filter untuk menghilangkan partikel yang tidak
terlarut. Setelah itu campuran dari pengemulsi Tween 80 (20%, w/w) dan minyak esensial
(80%, w/w) disiapkan dan ditambahkan ke dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 0.5,
1, 2, 3, 4 dan 5% (w/w). Larutan yang telah terdispersi tersebut dihomogenkan dengan
vortex mixer selama 1 menit dan dilanjutkan penghomogenan kembali dengan
24

homogenizer pada kecepatan 15.600 rpm selama 5 menit. Kemudian larutan pembentuk
film tersebut (25 mL) dicetak pada cawan petri steril (diameter 90 mm) dan dikeringkan
menggunakan oven sirkulasi pada suhu 35°C. Setelah film kering, disimpan pada suhu
25°C dengan kelembapan (RH) 60% untuk dilanjutkan analisis. Sampel diberi kode CH
untuk film kitosan tanpa minyak esensial, CH-O 0,5 – CH-O 5 untuk film kitosan yang
mengandung minyak oregano dengan konsentrasi 0,5-5% dan CH-M 0,5 – CH-M 5 untuk
film kitosan yang mengandung minyak marjoram dengan konsentrasi 0,5-5%.
b) Karakterisasi Edible Film
Karakterisasi edible film meliputi 1). Analisis gas kromatografi dari minyak
esensial, 2). Analisis Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS) dari minyak
esensial, 3). Karakterisasi Film-Forming Solutions (FFS) diantaranya pengukuran partikel
dan potensial zeta, ketegangan permukaan dan pengujian pH dengan pH meter, 4).
Pengukuran ketebalan film dengan digital micrometer, 5). Penentuan kandungan air/
Moisture Content (MC), 6). Penentuan % kelarutan dalam air (% KdA), 7). Penentuan
Water Vapor Permeability (WVP) dengan metode ASTM E 96-95, 8). Analisis Scanning
Electron Microscopy (SEM), 9). Uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi agar
menggunakan cakram.

3.4.9 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Minyak Atsiri Serai (Nanda dan
Azizati, 2018)
Langkah pertama yang dilakukan yaitu membuat film kitosan kontrol, yaitu dengan
menimbang 1,5 g tepung kitosan lalu dilarutkan dalam 40 mL asam asetat 1% (v/v) dan
diaduk menggunakan magnetc stirrer pada suhu 60°C selama 60 menit. Kemudian
ditambahkan sorbitol sebagai bahan pemlastis sebanyak 1 mL dan dilakukan
penghomogenan kembali dengan magnetik stirrer selama 15 menit pada suhu 60°C.
Selanjutnya dilakukan pembuatan film kitosan eksperimen dengan penambahan minyak
atsiri serai, yaitu dengan menimbang 1,5 g tepung kitosan lalu dilarutkan dalam 40 mL
asam asetat 1% (v/v) dan diaduk menggunakan magnetc stirrer pada suhu 60°C selama
60 menit. Kemudian ditambahkan sorbitol sebagai bahan pemlastis sebanyak 1 mL dan
dilakukan penghomogenan kembali dengan magnetik stirrer selama 15 menit pada suhu
60°C. Kemudian ditambahkan minyak atsiri serai sebanyak 1 mL dan diaduk kembali
hingga homogen. Kedua larutan sampel kemudian dicetak masing-masing dalam cetakan
alumunium foil dan dioven selama 3 jam dengan suhu 60°C. Film kitosan yang dihasilkan
lalu diuji karakteristik mekanik yaitu kuat tarik/ Tensile Strength (TS) dan % Elongasi.
25

3.4.10 Edible Film Kitosan dengan Penambahan Minyak Kunyit (Aprianda et al.,
2018)
a) Ekstraksi Kunyit
Kunyit sebanyak 30 g dihaluskan dengan penumbuk, lalu kunyit yang telah halus
dimasukkan ke dalam soklet. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi yaitu ethanol,
proses ekstraksi minyak kunyit dengan menambahkan ethanol sebanyak 200 mL lalu
diproses pada suhu 78°C selama beberapa jam dalam soklet hingga tidak ada kondensat
yang jatuh lagi. Hasil ekstrak minyak kunyit kemudian dipekatkan lagi dengan cara
distilasi, hingga dihasilkan minyak esensial kunyit.
b) Pembuatan Edible Film
Pembuatan larutan film dilakukan dengan melarutkan 5 g bubuk kitosan dalam 0,5
mL asam asetat 1% lalu ditambahkan 50mL akuades. Kemudian ditambahkan gliserol
sebagai bahan pemlastis sebanyak 1 mL, 1,5 mL, dan 2 mL. Lalu masing-masing
campuran dihomogenkan dengan pengaduk stirrer pada suhu 50°C selama 60 menit
sampai larutan film tersuspensi dengan sempurna. Pada perlakuan terakhir larutan film
ditambahkan dengan minyak kunyit masing-masing sebanyak 0,5 mL, 1 mL dan 1,5 mL.
Kemudian larutan dihomogenisasi kembali selama 30 menit dengan pengaduk stirrer.
Setelah itu, larutan dituangkan pada cetakan yang sudah dibersihkan dengan ethanol
96%, lalu dikeringkan selama 3 hari. Film yang terbentuk dan sudah kering kemudian
dilepas dari cetakan. Selanjutnya film yang terbentuk dilakukan analisa yaitu Uji
Biodegradabilitas (Soil Burial Test).

3.5 Karakterisasi Edible Film Kitosan dengan Penambahan Komponen Bioaktif


3.5.1 Analisis Fisikokimia
a) SEM (Scanning Electron Microscopy)
Tabel 5. Hasil analisis menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy)

Kandungan Bioaktif Gambar Hasil Analisis SEM

Ekstrak Daun Mangrove Permukaan datar, halus,


Sonneratia caseolaris homogen, kompak dan
(Nguyen et al., 2020) tanpa retakan

Perlakuan Kontrol
26

Permukaan film muncul


tonjolan dan tidak teratur

Ekstrak Mangrove 1%

Permukaan film tidak


terlalu kasar, tidak ada
tonjolan namun tampak
beberapa bintik putih

Ekstrak Mangrove 2%

Tampak gelembung pada


permukaan dan terjadi
flokulasi tanpa retakan

Ekstrak Mangrove 3%

Permukaan tampak terjadi


keretakan

Grape Seed Extract


Perlakuan Kontrol
(Sogut dan Seydim,
2018)

Permukaan film
terdispersi dengan baik

GSE 15%
27

Permukaan datar, halus


namun tampak bintik yang
tidak terdistribusi merata

Perlakuan Kontrol

Ekstrak Minyak Biji dan


Buah Berberis Permukaan kasar dengan
crataegina (Kaya et al., pori-pori kecil pada
2018) seluruh permukaan

Ekstrak Minyak Biji

Permukaan heterogen,
berongga dan muncul
gelembung yang
berukuran tidak teratur

Ekstrak Buah

Permukaan yang halus,


rata, tanpa pori-pori atau
retak

Minyak Esensial
Perlakuan Kontrol
Oregano dan Marjoram
(Sedlaříková et al., 2017)

Struktur kurang kompak


dengan partikel tetesan
minyak yang distribusi
seragam dengan diameter
rata-rata 6 µm

Minyak Oregano
28

Struktur lebih kompak


dengan partikel kecil
berukuran 1-2 µm

Minyak Marjoram

Berdasarkan hasil pengamatan pada permukaan film menggunakan SEM


(Scanning Electron Microscopy) pada Tabel 5, dapat dilihat pada penambahan ekstrak
daun mangrove menghasilkan permukaan film yang kasar dan kurang kompak jika
dibandingkan dengan film kitosan kontrol. Pada penambahan ekstrak dengan konsentrasi
1% dan 3% menghasilkan permukaan film yang kurang baik yaitu muncul tonjolan pada
permukaan serta terjadi flokulasi. Hal tersebut diasumsikan karena terjadi penggabungan
antara komponen ekstrak dengan matriks kitosan. Akan tetapi pada konsentrasi 2%
dihasilkan permukaan yang tidak terlalu kasar dan tidak ada tonjolan walaupun tampak
beberapa bintik putih sehingga menunjukkan kompatibilitas yang baik antara matriks
kitosan dengan komponen bioaktif (Nguyen et al., 2020). Begitu juga dengan
penambahan ekstrak biji dan buah Berberis crataegina menghasilkan permukaan film
yang kasar dengan pori-pori diseluruh permukaan dikarenakan minyak dari ektrak biji
tercampur secara merata dalam matriks film dan terevaporasi pada saat pengeringan
serta permukaan film yang heterogen, berongga dan gelembung berbagai ukuran
dikarenakan penguapan air dari ekstrak buah pada saat pengeringan (Kaya et al., 2018).
Selanjutnya pada penambahan minyak esensial oregano dan marjoram juga dihasilkan
struktur yang kurang baik jika dibandingkan dengan film kitosan murni yaitu struktur yang
kurang kompak dengan partikel yang terdistribusi seragam berdiameter 6 µm (oregano)
dan struktur lebih kompak dengan partikel kecil berukuran 1-2 µm (marjoram)
(Sedlaříková et al., 2017). Berbeda dengan hasil diatas, pada penambahan Grape Seed
Extract (GSE) film yang dihasilkan dengan penambahan GSE lebih baik daripada film
kitosan murni. Permukaan film dengan GSE terdisepersi dengan baik sedangkan film
kitosan murni terjadi keretakan (Sogut dan Seydim, 2018).

b) Sifat Optis
Analisis sifat optis mejadi penting pada kemasan edible film karena adanya transmisi
sinar ultraviolet menjadi penyebab utama terjadinya oksidasi lipid yang mengakibatkan
kualitas bahan pangan terdegradasi. Karakteristik optis yang menjadi parameter
pengukuran adalah transparansi dari film. Adanya penambahan komponen tertentu ke
29

dalam film kitosan dapat menurunkan transparansi dari film yang dihasilkan sehingga
banyak penelitian tentang penambahan komponen tertentu pada film dilakukan. Hal
tersebut dapat meningkatkan aplikasinya sebagai kemasan pangan karena
kemampuannya melindungi permukaan produk serta kualitasnya. Salah satunya yaitu
dengan penambahan ekstrak minyak biji dan buah Berberis crataegina dapat menurunkan
transparansi dari film. Hal tersebut karena minyak biji bersifat hidrofobik sehingga dapat
menurunkan transparansi dengan memecah struktur rantai kitosan, sedangkan ekstrak
buah dapat menghasilkan penampakan film akhir dengan warna merah, lalu material
berwarna warna merah tersebut menyerap spektrum biru pada panjang gelombang
rendah sehingga menghasilkan transparansi dengan nilai yang rendah (Kaya et al., 2018).
Dapat dilihat penampakan film pada Gambar 1, bahwa film kitosan perlakuan kontrol
nampak transparan, film kitosan dengan minyak biji nampak tembus pandang dan film
kitosan dengan ekstrak buah nampak buram.

Gambar 1. Perbedaan transparansi film minyak biji dan buah Berberis crataegina
(Kaya et al., 2018)

Penurunan transparansi juga terjadi pada film dengan penambahan ekstrak daun
mangrove Sonneratia caseolaris dengan konsentrasi 1%, 2% dan 3%. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak maka transparansi semakin mengalami penurunan. Penurunan ini
disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen oleh matriks kitosan dengan kandungan
polifenol. Hal ini berhubungan dengan perubahan struktur dari fase semi-kristal pada
matriks kitosan menjadi lebih kristal setelah ditambahkan ekstrak daun mangrove. Akan
tetapi film yang dihasilkan juga cukup transparan untuk memenuhi permintaan konsumen.
Dapat dilihat pada Gambar 2, bahwa film yang dihasilkan menjadi lebih keruh dengan
meningkatnya konsentrasi ekstrak mangrove yang ditambahkan. Film kitosan kontrol tidak
menampakkan retakan, gelembung dan kerutan. Film dengan konsentrasi 2%
terhomogenkan dengan baik sedangkan film dengan konsentrasi 1 dan 3% tampak tidak
homogen dan mengkilap (Nguyen et al., 2020).
30

Gambar 2. Peningkatan konsentrasi SCELE terhadap transparansi film


(Nguyen et al., 2020)

Selanjutnya penurunan nilai transparansi secara konsisten juga terjadi pada film
dengan penambahan Grape Seed Extract (GSE), yang menghasilkan tingkat keburaman
lebih tinggi dibandingkan dengan film kitosan kontrol. Hal ini juga dikarenakan adanya
interaksi antara kandungan fenolik dengan matriks kitosan sehingga tidak dapat ditembus
oleh cahaya atau sinar ultraviolet dengan menghamburkan cahaya melalui film, dengan
demikian dapat mencegah oksidasi lemak maupun diskolorasi pada produk yang dikemas
(Sogut dan Seydim, 2018). Akan tetapi pada penambahan Pomegranate Peel Extract
(PPE) pada film kitosan tidak menunjukkan efek pada transparansi dari film namun tidak
menunjukkan efek yang negatif pada film yang dikembangkan (Kumar et al., 2019).

c) Kandungan Air dan Kelarutan dalam Air


Tabel 6. Kandungan Air (KA) dan Kelarutan dalam Air (%KdA) film kitosan

Komponen Bioaktif Perlakuan KA (%) KdA (%)


Kontrol 18,50 13,19
Ekstrak Daun Mangrove
SCELE 1% 10,31 18,23
Sonneratia caseolaris
SCELE 2% 6,64 25,69
(Nguyen et al., 2020)
SCELE 3% 2,35 28,46
F1 15,15 52,47
F2 15,45 58,68
Pomegranate Peel Extract
F3 23 67,56
(PPE)(Kumar et al., 2019)
F4 27,48 78,15
F5 28,98 83
Ekstrak Minyak Biji dan Buah Kontrol - 73
Berberis crataegina (Kaya et Minyak Biji - 61
al., 2018) Ekstrak Buah - 64
Minyak Esensial Oregano Kontrol 20,93 22,25
dan Marjoram (Sedlaříková et Minyak Oregano 24 22
al., 2017) Minyak Marjoram 18 22

Kandungan air atau Moisture Content (MC), % kelarutan dalam air dan derajat
pengembangan merupakan parameter penting pada penentuan sifat resistensi edible film
terhadap air. Pada penambahan komponen bioaktif berupa ekstrak daun mangrove
menunjukkan hasil adanya penurunan yang signifikan pada Kandungan Air (KA) seiring
dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun mangrove (SCELE 1% – 3%) yaitu dari
18% menjadi 2%. Hal tersebut disebabkan oleh pembentukan ikatan hidrogen yang
31

mengurangi gugus fungi hidrofilik, yaitu adanya gugus hidroksil dan amino yang
membatasi interaksi kitosan dengan air sehingga kandungan air menurun seiring
meningkatnya konsentrasi ekstrak yang ditambahkan. Berbanding terbalik dengan itu, %
Kelarutan dalam Air (% KdA) mengalami peningkatan secara bertahap dengan
meningkatnya konsentrasi ekstrak yang ditambahkan. Hal yang sama juga terjadi pada
penambahan polifenol lain ke dalam matriks kitosan (Nguyen et al., 2020). Akan tetapi,
pada penambahan minyak biji dan ekstrak buah Berberis crataegina mengakibatkan
penurunan pada % Kelarutan dalam Air (%KdA) dibandingkan film kitosan kontrol. Hal
tersebut karena penambahan ekstrak mengurangi afinitas molekul air oleh adanya ikatan
antara ekstrak dengan rantai polimer kitosan. Sifat film tersebut dibutuhkan karena
resistensi film dan integritas struktur tetap terjaga setelah 24 jam perendaman (Kaya et
al., 2018). Sedangkan pada penambahan Pomegranate Peel Extract (PPE) tidak
berpengaruh terhadap kelarutan edible film dalam air, kelarutan film dipengaruhi oleh
komposisi kitosan dan pullulan yang digunakan (Kumar et al., 2019). Kemudian pada
penambahan minyak esensial pada film menunjukkan adanya peningkatan Kandungan
Air (KA) jika dibandingkan kontrol. Hal tersebut dikarenakan adanya emulsifier yang
digunakan, sehingga menghomogenkan minyak dengan polimer kitosan. Semakin tinggi
konsentrasi minyak yang ditambahkan, ukuran partikel yang diukur semakin kecil,
sehingga kandungan air juga meningkat secara bersamaan. Kemudian kelarutan film
kitosan maupun film kitosan dengan minyak esensial menunjukkan tingkat kelarutan yang
tidak jauh berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan baku kitosan memberikan
peran penting terhadap Kandungan Air (KA) maupun kelarutan dalam air (Sedlaříková et
al., 2017).

3.5.2 Analisis Mekanik


Tabel 7. Analisis mekanik edible film kitosan dengan komponen bioaktif

Komponen Bioaktif Perlakuan TS (MPa) E (%)


Kontrol 55,83 35,57
Ekstrak Daun Mangrove
SCELE 1% 39,40 10,05
Sonneratia caseolaris
SCELE 2% 56,81 26,10
(Nguyen et al., 2020)
SCELE 3% 45,01 18,42
F1 49,53 -
F2 59,20 -
Pomegranate Peel Extract
F3 62,02 -
(PPE) (Kumar et al., 2019)
F4 48 -
F5 46,40 -
Kontrol 50,96 14,10
Grape Seed Extract (GSE) GSE 5% 39,21 10,25
(Sogut dan Seydim, 2018) GSE10% 30,6 15,51
GSE 15% 21,30 18,63
Ekstrak Spirulina (Balti et al., Kontrol 21,24 26,13
2017) Spirulina 2,5% 22,45 27,45
32

Spirulina 5% 24,62 36,81


Spirulina 10% 26,55 39,53
Spirulina 15% 28,77 35,17
Spirulina 20% 29,65 34,29
Ekstrak Minyak Biji dan Buah Kontrol 17,5 5
Berberis crataegina (Kaya et Minyak Biji 8 35
al., 2018) Ekstrak Buah 3 55
Minyak Atsiri Serai (Nanda Kontrol 1,427 3,97
dan Azizati, 2018) Eksperimen 3,502 7,54

Kuat tarik atau Tensile Strength (TS) merupakan besarnya gaya yang diperlukan
untuk membuat film putus. Semakin tinggi nilai TS maka semakin baik film yang
dihasilkan, karena dapat melindungi produk dari gangguan mekanis. Nilai TS yang rendah
menunjukkan kualitas film yang mudah rusak. Pada penambahan minyak atsiri serai
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sifat mekanik film (Gambar 3). Dimana
penambahan minyak atsiri menghasilkan nilai TS yang lebih besar dibandingkan kontrol
(Nanda dan Azizati, 2018). Kemudian nilai kuat tarik (TS) yang dihasilkan dengan
penambahan ekstrak Spirulina juga menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan
terhadap karakteristik mekanis film kitosan berbasis cangkang kepiting. Nilai kuat tarik
meningkat jika dibandingkan dengan kontrol seiring dengan peningkatan konsentrasi
ekstrak Spirulina (2,5% - 20%). Pengaruh ekstrak Spirulina terhadap nilai kuat tarik film
dipengaruhi oleh interaksi antara matriks kitosan dengan senyawa polifenol dari ekstrak
Spirulina. Interaksi ini dapat menghasilkan adhesi yang lebih kuat antara molekul kitosan
dengan senyawa ekstrak dalam matriks film dan mempererat interaksi antar rantai yang
mengarah pada ketahanan mekanis yang lebih baik (Balti et al., 2017).

Gambar 3. Film kitosan dengan minyak atsiri serai


(Nanda dan Azizati, 2018)

Sedangkan nilai kuat tarik (TS) mengalami penurunan bertahap dibandingkan


dengan kontrol pada penambahan Grape Seed Extract (GSE) konsentrasi 5 – 15%, hal ini
dipengaruhi oleh perubahan struktur internal film dimana terjadi pelemahan interaksi
antarmolekul dan fisik pada rantai polimer (Sogut dan Seydim, 2018). Nilai kuat tarik (TS)
juga menurun secara siginifikan pada penambahan ekstrak minyak biji dan buah Berberis
crataegina, penurunan nilai kuat tarik ini utamanya disebabkan oleh kerusakan ikatan
pada film (Kaya et al., 2018). Kemudian pada penambahan ekstrak daun mangrove terjadi
33

peningkatan nilai TS pada konsentrasi 2% dan penurunan nilai TS pada konsentrasi 1


dan 3% jika dibandingkan kontrol, hal ini karena terdapat ikatan hidrogen yang lebih
lemah pada rantai polimer dengan senyawa ekstrak yang sebagian besar menggantikan
ikatan polimer yang lebih kuat (Nguyen et al., 2020). Selanjutnya pada penambahan
Pomegranate Peel Extract (PPE) pada film kitosan yang dikombinasikan dengan pullulan,
tidak berpengaruh terhadap karakteristik mekanis film, nilai kuat tarik dipengaruhi oleh
komposisi kitosan dan pullulan yang digunakan (Kumar et al., 2019).
Persentase pemanjangan (% Elongation) merupakan besarnya kemampuan film
untuk dapat meregang sebelum putus. Semakin tinggi persentase pemanjangan maka
mengindikasikan film yang dihasilkan tidak mudah putus karena mampu menahan beban
dan gaya tarik yang diberikan. Pada penambahan minyak atsiri serai memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap persentase pemanjangan dimana menghasilkan
persen pemanjangan yang lebih besar dibandingkan kontrol. Hal tersebut karena minyak
atsiri serai bertindak sebagai pemlastis yang menurunkan kekakuan rantai polimer kitosan
dan mempermudah rantai polimer berotasi sehingga elastisitasnya meningkat (Nanda dan
Azizati, 2018). Kemudian peningkatan persen pemanjangan juga ditunjukkan pada
penambahan ekstrak minyak biji dan buah Berberis crataegina jika dibandingkan dengan
kontrol, terjadinya peningkatan yang signifikan dianggap karena meningkatnya
kandungan air. Selain itu karena meningkatnya mobilitas rantai polimer oleh senyawa
fenol dengan adanya pembentukan ikatan hidrogen antara alkohol dan gugus karboksil
dari senyawa fenolik dan gugus amina dari kitosan (Kaya et al., 2018).
Lebih lanjut, peningkatan sekaligus penurunan persentase pemanjangan yang
dibandingkan dengan kontrol terjadi pada penambahan ekstrak Spirulina, daun mangrove
dan Grape Seed Extract (GSE). Peningkatan nilai persentase pemanjangan menurut
Sogut dan Seydim (2018), karena penambahan ekstrak yang bersifat hidrofilik ke dalam
struktur film kitosan dapat meningkatkan mobilitas rantai dengan pembentukan gugus
lanjutan sehingga menghasilkan fleksibilitas yang tinggi. Sedangkan penurunan nilai
persentase pemanjangan menurut (Balti et al., 2017) karena adanya senyawa fenol pada
konsentrasi tinggi dapat menghasilkan efek ikatan silang, yang mengurangi volume bebas
dan mobilitas molekul polimer kitosan sehingga menyebabkan penurunan persentase
pemanjangan. Selain itu karena karena terbentuknya kristal komponen polifenol
berlebihan dalam matriks kitosan yang mengarah pada pengurangan fleksibilitas film.
Dengan demikian adanya perbedaan terhadap naik atau turunnya nilai kuat tarik
(TS) dan persentase pemanjangan (%E) yang dibandingkan kontrol pada film yang
ditambahkan ekstrak, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tipe kitosan (pelarut dan
berat molekul) yang digunakan, kemudian interaksi partikular antara matriks kitosan
34

dengan senyawa ekstrak dimana hal ini dipengaruhi oleh kondisi kelembapan (RH),
adanya surfaktan, temperatur dan lainnya (Balti et al., 2017).

3.5.3 Analisis Fungsional (Barrier)


Tabel 8. Analisis fungsional edible film kitosan dengan komponen bioaktif

Komponen Bioaktif Perlakuan WVP


Kontrol 1115,01
Ekstrak Daun Mangrove
SCELE 1% 1061,95
Sonneratia caseolaris
SCELE 2% 991,12
(Nguyen et al., 2020)
SCELE 3% 945,83
F1 1,79
F2 0,75
Pomegranate Peel Extract
F3 0,30
(PPE) (Kumar et al., 2019)
F4 0,70
F5 0,40
Kontrol 9,60
Grape Seed Extract (GSE) GSE 5% 9,87
(Sogut dan Seydim, 2018) GSE10% 9,90
GSE 15% 10,66
Kontrol 0,5242
Spirulina 2,5% 0,4671
Ekstrak Spirulina (Balti et al., Spirulina 5% 0,4014
2017) Spirulina 10% 0,3996
Spirulina 15% 0,3877
Spirulina 20% 0,3786
Kontrol Asetat 345
Sunflower Oil (Vargas et al., Kontrol Laktat 280
2011) CH_A:S 60
CH_L:S 352
Kontrol 16,51
Minyak Esensial Oregano
dan Marjoram (Sedlaříková et Oregano 8,71
al., 2017) Marjoram 12,85

Permeabilitas uap air atau Water Vapor Permeability (WVP) merupakan salah satu
parameter penting pada edible film sebagai pengemas karena berhubungan dengan sifat
mekanis dan barrier film. Permeabilitas uap air dipengaruhi oleh volume bebas,
kristalinitas dan interaksi molekular antara bahan baku, pemlastis dan komponen lain
yang digunakan (Nguyen et al., 2020). Bahan baku edible film berbasis polisakarida salah
satunya yaitu kitosan, bersifat hidrofilik sehingga menyebabkan terjadinya interaksi antara
molekul air dengan gugus polar pada struktur film sehingga cenderung menyebabkan nilai
WVP tinggi (Balti et al., 2017). Semakin rendah nilai WVP maka semakin baik edible film
tersebut diaplikasikan sebagai pengemas pangan (Kumar et al., 2019).
Efek penambahan komponen bioaktif ekstrak daun mangrove Sonneratia caseolaris
terhadap nilai WVP yaitu menurunkan nilai WVP secara bertahap seiring dengan
meningkatnya konsentrasi ekstrak yanng ditambahkan. Hal ini dikarenakan susunan
35

ikatan hidrogen antara matriks kitosan dengan komponen flavonoid mengurangi afinitas
film terhadap molekul air sehingga nilai WVP mengalami penurunan dibandingkan film
kitosan murni. Sehingga adanya penambahan ekstrak tersebut memiliki efek yang positif
pada resistensi film terhadap uap air (Nguyen et al., 2020). Kemudian pengaruh yang
positif pada nilai WVP juga terjadi pada penambahan Ekstrak Spirulina. Penambahan
ekstrak Spirulina memiliki efek yang signifikan terhadap WVP walaupun nilai WVP tidak
mengalami perubahan yang signifikan seiring dengan meningkatnya ekstrak Spirulina.
Film kitosan tanpa ekstrak Spirulina memiliki nilai WVP paling besar sehingga
penambahan ekstrak Spirulina berpengaruh positif pada resistensi film terhadap uap air.
Penurunan nilai WVP oleh adanya penambahan ekstrak Spirulina dikarenakan interaksi
ikatan hidrogen dan kovalen antara matriks kitosan dengan kandungan polifenol dapat
mengurangi kemampuan gugus hidrofilik dan selanjutnya menurunkan afinitas film kitosan
terhadap molekul air (Balti et al., 2017). Penurunan nilai WVP pada film juga terjadi pada
penambahan minyak oregano dan marjoram jika dibandingkan film kontrol, hal ini
dikarenakan struktur hidrofobik yang dihasilkan oleh kandungan karvakrol yang
terkandung dalam minyak oregano (Sedlaříková et al., 2017).
Akan tetapi, peningkatan pada nilai WVP terjadi ketika film ditambahkan komponen
Grape Seed Extract (GSE), hal ini dikarenakan GSE yang ditambahkan bersifat hidrofilik
sehingga pada ikatan hidrogen lebih banyak dihasilkan ikatan hidrofilik yang
meningkatkan nilai WVP seiring dengan meningkatnya GSE (Sogut dan Seydim, 2018).
Sedangkan pada penambahan Pomegranate Peel Extract (PPE) tidak menunjukkan
adanya pengaruh terhadap nilai dan karakteristik WVP karena nilai WVP dipengaruhi oleh
komposisi kitosan dan pullulan yang digunakan (Kumar et al., 2019). Selanjutnya hasil
penelitian Vargas et al. (2011) melaporkan bahwa penggunaan perbedaan pelarut tidak
berpengaruh signifikan terhadap karakteristik WVP dari film. Adanya penambahan minyak
esensial pada matriks kitosan yang menyebabkan penurunan nilai WVP pada film kitosan.
Hal tersebut juga dilaporkan pada penambahan asam lemak tak jenuh seperti asam oleat
pada film kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik semua komponen diantaranya tipe
polimer yang digunakan, komponen bioaktif yang ditambahkan, emulsifier yang
diaplikasikan serta interaksi antar komponen tersebut berperan penting terhadap
karakteristik WVP yang dihasilkan (Sedlaříková et al., 2017).

3.5.4 Analisis Komponen Bioaktif


Kandungan fenol alami yang berasal dari ekstrak tumbuhan dapat berperan sebagai
antioksidan karena bersifat mereduksi senyawa oksidatif. Kemampuan reduksi tersebut
karena adanya gugus OH. Adanya kandungan senyawa fenol pada edible film kitosan
36

dapat meningkatkan aktivitas antioksidan edible film (Kumar et al., 2019). Ekstrak
tumbuhan telah banyak digunakan pada berbagai bidang. Sedangkan untuk film kitosan,
penambahan ekstrak tumbuhan telah terbukti secara signifikan mengubah sifat-sifat film,
seperti aktivitas antimikroba (ekstrak bunga kamperfuli, ekstrak jeruk), aktivitas
antioksidan (cengkeh, ekstrak maqui berry), karakteristik barrier, karakteristik mekanis,
stabilitas thermal dan warna, sehingga menghasilkan efek yang sinergis antara film
kitosan dan ekstrak tumbuhan. Penambahan asam galat pada film kitosan, dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan, aktivitas antimikroba, peningkatan kuat tarik film dan
penurunan permeabilitas uap air (WVP) sehingga menghasilkan efek yang positif pada
film kitosan. Kemudian penambahan minyak esensial pada film, seperti minyak kayu
manis, minyak zaitun, buriti oil, rosemary essential oil dan minyak oregano dengan
kandungan karvakrol dapat meningkatkan aktivitas antimikroba, meningkatkan
karakteristik mekanik, barrier dan aktivitas antioksidan pada film kitosan sehingga
berpotensi menjadi active packaging film (Wang et al., 2018).

Tabel 9. Kandungan bioaktif pada edible film kitosan dengan ekstrak tumbuhan

Ekstrak Tumbuhan Kandungan Bioaktif


Ekstrak Daun Mangrove Flavonoid yaitu luteolin dan luteolin 7-o-β-
Sonneratia caseolaris (Nguyen glukosida
et al., 2020)
Pomegranate Peel Extract Fenol, Flavonoid
(PPE) (Kumar et al., 2019)
Grape Seed Extract (GSE) Fenol
(Sogut dan Seydim, 2018)
Ekstrak Spirulina (Balti et al., Asam fenolik diantaranya asam salisilat,
2017) asam sinamat, asam sinaptat, asam
klorogenat, asam kuinat dan asam kafeat.
Serta pigmen fikobilin dan fikosianin
Ekstrak Minyak Biji dan Buah Asam fenolik dari ekstrak buah
Berberis crataegina (Kaya et al., diantaranya asam galat, asam klorogenat,
2018) asam kafeat, asam hidroksibenzoat dan
katekin. Kandungan utamanya adalah
asam hidroksibenzoat

Berdasarkan Tabel 9, kandungan total bioaktif beserta aktivitas antioksidan pada edible
film kitosan yang ditambahkan ekstrak yaitu:
 Dengan penambahan ekstrak daun mangrove Sonneratia caseolaris pada edible film
kitosan, total kandungan flavonoid (TFC) menunjukkan peningkatan yang signifikan
seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak 1% hingga 3% (Nguyen et al., 2020).
 Dengan penambahan Pomegranate Peel Extract (PPE) pada edible film kitosan yang
dikombinasikan dengan pullulan, menunjukkan adanya peningkatan pada kandungan
total fenol (TPC) film kombinasi tersebut. Namun dengan peningkatan konsentrasi
pullulan, menunjukkan nilai kandungan total fenol (TPC) yang lebih rendah.
37

Sedangkan pada penambahan PPE, nilai kandungan total flavonoid (TFC)


mengalami penurunan pada edible film kitosan yang dikombinasikan dengan pullulan
jika dibandingkan dengan film kitosan murni. Kemudian edible film kombinasi kitosan
dan pullulan yang ditambahkan PPE menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi jika dibandingkan film kitosan murni. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penambahan Pomegranate Peel Extract (PPE) meningkatkan aktivitas antioksidan
secara signifikan pada edible film kombinasi (Kumar et al., 2019).
 Dengan penambahan Grape Seed Extract (GSE) pada edible film kitosan, total
kandungan fenol (TPC) meningkat signifikan seiring dengan peningkatan konsentrasi
GSE yang ditambahkan, peningkatan juga terjadi pada aktivitas antioksidan dari film
dimana nilai aktivitas oksidan meningkat seiring dengan peningkatan kandungan total
fenol (TPC) dan konsentrasi GSE. Akan tetapi hasil ini lebih rendah jika dibandingkan
penelitian lain tentang penambahan GSE pada edible film, hal ini karena perbedaan
tipe, asal, metode ekstraksi dan pengeringan ekstrak biji anggur yang digunakan
pada penelitian (Sogut dan Seydim, 2018).
 Dengan penambahan ekstrak Spirulina pada edible film kitosan, total kandungan
fenol (TPC) meningkat signifikan seiring dengan peningkatan konsentrasi Spirulina.
Selanjutnya aktivitas antioksidan yang ditentukan dengan reduksi DPPH, ion logam
dan lipid peroksidase juga mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
konsentrasi ekstrak Spirulina. Aktivitas antioksidan tersebut karena adanya
komponen bioaktif dari Spirulina seperti asam fenolat dan pigmen fikobilin serta
fikosianin berperan sebagai penstabil ion hidrogen reaktif (H +), pereduksi radikal
bebas, aseptor peroksinitrit serta penghambat aktivitas enzim tertentu (Balti et al.,
2017).
 Dengan penambahan ekstrak minyak dan buah Berberis crataegina pada edible film
kitosan, dapat meningkatkan aktivitas antioksidan secara signiifikan. Penambahan
minyak biji menghasilkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada film kitosan
kontrol sedangkan penambahan ekstrak buah menghasilkan aktivitas antioksidan
paling tinggi. Berdasarkan penelitian tersebut, penambahan ekstrak dengan jumlah
yang sedikit ke dalam film kitosan dapat meningkatkan aktivitas antioksidan. Hal
tersebut karena terdapat kandungan asam hidroksibenzoat sebagai agen antioksidatif
utama yang terkandung dalam ekstrak buah Berberis crataegina (Kaya et al., 2018).

3.5.5 Analisis Antimikroba


Kitosan dengan sifat polikationik, secara alami bersifat antimikroba. Edible film
berbasis kitosan berpotensi diaplikasikan sebagai kemasan pangan, melindungi produk
dari mikroorganisme dan menjamin keamanan produk yang dikemas. Aktivitas
38

antimikroba edible film kitosan dipengaruhi oleh pelarut asam yang digunakan, suhu
pengeringan, berat molekul, perlakuan panas, konsentrasi polimer, ketebalan film,
komponen aditif serta jenis mikroba target yang digunakan. Pengaruh aktivitas
antimikroba berbeda antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa edible film kitosan memiliki aktivitas antibakteri yang lebih
besar pada bakteri gram negatif daripada gram positif, sedangkan penelitian lainnya
melaporkan sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan berat molekul kitosan dan struktur
membran sel bakteri yang berbeda. Perbedaan aktivitas antimikroba juga berbeda antara
bakteri dan fungi, bakteriostatis film kitosan lebih besar daripada fungistatis pada suhu
rendah. Secara umum edible film kitosan menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap
bakteri patogen diantaranya ; bakteri gram positif (Staphylococcus aureus, Listeria
innocua, BAL), bakteri gram negatif (Escherichia coli, Pseudomonas spp., Salmonella
spp.) dan fungi (kapang, khamir, Aspergillus niger dan Candida albicans) (Wang et al.,
2018).

Gambar 4. Mekanisme antibakteri edible film kitosan


(Wang et al., 2018)

Tabel 10. Aktivitas antimikroba edible film kitosan dengan komponen bioaktif
Komponen Bioaktif Bakteri Target
Ekstrak Daun Mangrove Staphylococcus aureus
Sonneratia caseolaris (Nguyen Pseudomonas aeruginosa
et al., 2020)
Grape Seed Extract (GSE) Escherichia coli, Pseudomonas
(Sogut dan Seydim, 2018) aeruginosa, Staphylococcus aureus,
Listeria monocytogenes
Ekstrak Spirulina (Balti et al., Escherichia coli, Pseudomonas
2017) aeruginosa, Staphylococcus aureus,
Listeria monocytogenes, Salmonella
typhimurium, Bacillus subtilis,
Bacillus cereus
Ekstrak Minyak Biji dan Buah Escherichia coli, Staphylococcus
Berberis crataegina (Kaya et al., aureus, Proteus microbilis, Proteus
2018) vulgaris, Pseudomonas aeruginosa,
Enterobacter aerogenes, Bacillus
thuringiensis, Salmonella typhmurium
dan Streptococcus mutans
39

Minyak Esensial Oregano dan Staphylococcus aureus, Bacillus


Marjoram (Sedlaříková et al., cereus, Salmonella typhimurium,
2017) Escherichia coli, Candida albicans
dan Aspergillus niger

Berdasarkan Tabel 10, edible film kitosan dengan komponen bioaktif menunjukkan
adanya aktivitas antimikroba sebagai berikut:
 Pengaruh penambahan ekstrak daun mangrove ke dalam edible film kitosan terhadap
aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa bakteri gram negatif (Pseudomonas
aeruginosa) menghasilkan aktivitas antibakteri terkuat oleh film kitosan dengan
konsentrasi ekstrak 1% dan 3% setelah 12 jam pengamatan. Namun aktivitas
antibakteri tidak dapat ditunjukkan oleh bakteri gram positif (Staphylococcus aureus),
hal tersebut karena kandungan flavonoid (luteolin, luteolin 7-o-β-glukosida) memiliki
aktivitas penghambatan yang lemah terhadap Staphylococcus aureus. Mekanisme
penghambatan ekstrak daun mangrove sebagai antibakteri yaitu ekstrak tersebut
akan bereaksi dengan membran sel terluar bakteri, yang menyebabkan permukaan
sel terganggu dan kehilangan integritas struktur, lalu selanjutnya berpenetrasi ke
dalam sel untuk menghambat transkripsi gen dan sintesis protein sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri. Adanya aktivitas penghambatan yang rendah
pada konsentrasi 2% ekstrak terhadap bakteri gram negatif karena adanya lapisan
lipopolisakarida pada membran terluar sel berperan sebagai penghalang. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa edible film kitosan dengan ekstrak mangrove
memiliki aktivitas antibakteri lebih kuat pada Pseudomonas aeruginosa daripada
Staphylococcus aureus (Nguyen et al., 2020).
 Pengaruh penambahan Grape Seed Extract (GSE) ke dalam edible film kitosan
terhadap aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa semua sampel menghasilkan
aktivitas antibakteri yang lebih besar pada bakteri gram positif (S. aureus, L.
monocytogenes) daripada bakteri gram negatif (E. coli, P. aeruginosa). Aktivitas
antimikroba yang lebih besar dikarenakan adanya kandungan fenolik pada ekstrak
yang ditambahkan (Sogut dan Seydim, 2018).
 Pengaruh penambahan ekstrak Spirulina ke dalam edible film kitosan terhadap
aktivitas antimikroba menunjukkan adanya aktivitas penghambatan yang baik
terhadap bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif, dengan besar
penghambatan bergantung pada konsentrasi ekstrak Spirulina yang ditambahkan.
Aktvitas antimikroba tersebut dihasilkan karena ekstrak Spirulina mengandung asam
klorogenat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Akan tetapi, efek
penghambatan lebih efektif pada bakteri gram positif (L. monocytogenes)
dibandingkan bakteri gram negatif (E. coli, P. aeruginosa, S. typhimurium) karena
40

adanya perbedaan pada struktur dinding sel dimana bakteri gram negatif memiliki
lapisan lipopolisakarida yang menghalangi bioaktif mencapai membran sitoplasma.
Mekanisme antibakteri yaitu kandungan polifenol akan berinteraksi dengan membran
sel terluar, lalu gugus hidroksil akan mengkonjugasi ikatan rangkap dan gugus galoil,
sehingga interaksi ini menyebabkan kematian bakteri (Balti et al., 2017).
 Pengaruh penambahan ekstrak minyak biji dan buah Berberis crataegina ke dalam
edible film kitosan terhadap aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa semua sampel
efektif menghambat pertumbuhan semua bakteri yang diuji. Dimana edible film
dengan penambahan ekstrak buah memiliki aktivitas antibakteri yang lebih besar
daripada edible film dengan penambahan minyak biji maupun film kitosan kontrol.
Bahkan aktivitas antimikroba film kitosan dengan ekstrak buah lebih besar daripada
antibiotik (gentamicin) yang digunakan. Hal tersebut karena ekstrak buah kaya akan
kandungan polifenol, serta memiliki efek yang sinergis dengan antimikrobial alami
yang terkandung dalam kitosan (Kaya et al., 2018).

Gambar 5. Aktivitas antibakteri ekstrak Berberis crataegina


(Kaya et al., 2018)

 Pengaruh penambahan minyak oregano dan marjoram ke dalam edible film kitosan
terhadap aktivitas antimikroba menunjukkan adanya aktivitas penghambatan pada
semua sampel terhadap semua mikroorganisme yang diuji setelah 3 dan 8 hari
pengamatan. Aktivitas antimikroba pada film dengan minyak oregano lebih besar
daripada film dengan minyak marjoram. Efisiensi penghambatan yang dihasilkan
pada fungi (Aspergillus niger, Candida albicans) lebih besar daripada bakteri.
Kemudian bakteri gram negatif (E. coli, S. typhimurium) sedikit lebih sensitif terhadap
minyak esensial daripada bakteri gram positif (S. aureus, B. cereus). Aktivitas
antimikroba yang tinggi pada film kitosan dengan minyak oregano karena adanya
kandungan karvakrol dan timol pada minyak oregano yang berperan sebagai
substansi aktif utama. Mekanisme penghambatannya sebagai antimikroba yaitu
terjadinya interaksi antara kandungan zat aktif tersebut dengan membran sel bakteri
41

yang menyebabkan peningkatan permeabilitas sel dan kerusakan sitoplasma


sehingga menyebabkan kematian bakteri (Sedlaříková et al., 2017).

Gambar 6. Efek minyak marjoram dan oregano pada Candida albicans


(Sedlaříková et al., 2017)

Gambar 7. Efek minyak marjoram dan oregano pada Aspergillus niger


(Sedlaříková et al., 2017)

3.6 Aplikasi produk


3.6.1 Aplikasi Edible Film Kitosan Pada Stroberi

Gambar 8. Edible film kitosan sebelum diaplikasikan pada stroberi


(Pavinatto et al., 2019)

Edible film berbahan dasar kitosan menurut Pavinatto et al. (2019) dibuat dari 1%
(w/w) polimer kitosan dalam larutan asam asetat 0,5% (v/v) dengan penambahan gliserol
30% (w/w) dari berat kitosan, dilakukan penghomogenan dan dikeringkan (Chi/30%Gly)
(Gambar 8). Larutan film tersebut dapat diaplikasikan sebagai pelapis buah stroberi,
kemudian dilakukan analisis terhadap aktivitas antibakteri, antifungi dan analisis sensory.
Sebelum dianalisis, sampel dipreparasi terlebih dahulu sesuai dengan analisis yang akan
dilakukan.
 Analisis antibakteri
Analisis antibakteri dilakukan dengan teknik difusi agar dengan media PCA (Plate
Count Agar). Bakteri target diantaranya Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan
Bacillus cereus didilusikan hingga konsentrasi 105 CFU/mL. Kemudian cakram dari film
kitosan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanam bakteri target. Lalu
cawan diinkubasikan pada suhu 37° selama 24 jam dan diamati aktivitas antibakteri pada
film yang digunakan sebagai cakram.
42

 Analisis antifungi
Langkah preparasi yang dilakukan yaitu dengan menyiapkan buah stroberi yang telah
dipanen dan dicuci bersih kemudian dicelupkan ke dalam larutan kitosan. Lalu
dikeringkan pada suhu ruang di dalam laboratorium selama 24 jam untuk memastikan
struktur lapisan film pada permukaan stroberi. Setelah kering, stroberi yang telah dilapisi
maupun stroberi yang tidak dilapisi disimpan dalam box akrilik tertutup pada suhu yang
terkontrol ± 25°C untuk selanjutnya diamati setelah satu minggu. Analisis terhadap
adanya fungi dilakukan dengan pengamatan langsung dan dibantu dengan stereoskop
dengan perbesaran 400x.
 Analisis sensory
Langkah preparasi yang dilakukan yaitu menyiapkan stroberi yang tidak dilapisi
maupun yang akan dilapisi dengan larutan kitosan (Chi/30%Gly). Pada hari sebelum
dianalisis, stroberi dibersihkan dengan larutan 1% hipoklorit dan dikeringkan. Stroberi
dibelah menjadi 2 bagian dan daunnya dihilangkan. 50 potongan buah dilapisi dengan
larutan kitosan yang telah dipreparasi dan 50 potongan lainnya digunakan sebagai
kontrol. Potongan buah yang dilapisi dikeringkan selama 24 jam pada suhu ruang.
Sampel kemudian disajikan dalam wadah sekali pakai dan diidentifikasi dengan 3 digit
kode angka acak. Setelah itu, sampel dinilai oleh 50 panelis tidak terlatih dan uji
penerimaan produk dinilai berdasarkan uji hedonik dengan skala 1-9 poin yang
mengevaluasi tingkat kesukaan dan preferensi.
Sedangkan aplikasi edible film kitosan sebagai pelapis pada buah stroberi menurut
Nurmala et al. (2018), dilakukan dengan mencelupkan buah stroberi ke dalam larutan
edible film sesuai perlakuan. Larutan edible film dibuat dengan melarutkan 2% dan 2,5%
(b/v) kitosan dalam 50 mL asam asetat, dipanaskan pada suhu 70°C lalu ditambahkan
gliserol 1% (b/v) sebagai bahan pemlastis dan diaduk secara konstan selama 15 menit.
Kemudian ditambahkan larutan CMC 1% sebanyak 1 mL sebagai pengemulsi dan
ditambahkan lilin lebah dengan konsentrasi (0%, 4%, 4.5%) pada suhu 80°C serta diaduk
hingga homogen. Setelah larutan tersebut diaplikasikan pada buah stroberi, dilakukan
analisis parameter mutu meliputi analisis susut bobot, kadar air dan abu, kadar vitamin C
dan total mikroba dengan metode TPC.

3.6.2 Aplikasi Edible Film Kitosan Pada Ceri Manis (Prunus avium L.) (Tokatlı dan
Demirdöven, 2020)
Aplikasi edible film kitosan pada ceri manis diawali dengan mencuci buah ceri
dibawah air mengalir lalu dikeringkan pada suhu ruang, untuk selanjutnya dicelupkan
secara langsung dalam larutan kitosan (1% kitosan dalam larutan asam asetat 1%, lalu
ditambahkan 1,5 mL gliserol pada setiap 1 g kitosan) selama 15 menit dan dikeringkan
43

selama 1 jam pada suhu ruang. Selanjutnya dilakukan pelapisan kembali dengan
memasukkan ceri ke dalam larutan kitosan dengan mencelupkan-mengangkat berulang
kali selama 15 menit hingga terbentuk lapisan yang seragam pada permukaan buah.
Buah ceri kemudian dikeringkan selama 3 jam pada suhu ruang, ditimbang, lalu
ditempatkan pada box polietilen. Buah yang telah dilapisi dan buah tanpa dilapisi
disimpan pada suhu 4°C selama 25 hari dan suhu 20°C selama 15 hari. Semua analisis
dilakukan setiap 5 hari. Analisis yang dilakukan diantaranya:
 Analisis fisikokimia meliputi; % bobot susut, nilai derajat keasaman (pH), total
padatan terlarut (TSS), total kandungan karbohidrat (g/L), nilai aktivitas air serta laju
produksi CO2 dan konsumsi O2,
 Analisis mikrobiologi meliputi; Total Bakteri Mesofilik Aerob (TMAB), Total Bakteri
Psikrofilik Aerob (TPAB), total bakteri koliform, kapang dan khamir.
Total Bakteri Mesofilik Aerob (TMAB) dideterminasi menggunakan media PCA dan
inkubasi pada suhu 35 ± 2°C selama 48 jam, Total Bakteri Psikrofilik Aerob (TPAB)
dihitung menggunakan media PCA setelah diinkubasi pada suhu 4 ± 1°C selama 5 –
15 hari, kapang dan khamir dihitung dengan penanaman pada media PDA dengan
penambahan 10% asam tartarat setelah diinkubasi pada suhu 25 ± 2°C selama 5
hari. Total bakteri koliform ditentukan menggunakan metode Most Probable Number
(MPN) dengan cara menginokulasikan setiap seri pengenceran ke dalam media
Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LSTB) yang mengandung tabung durham dan
diinkubasikan pada suhu 37 ± 2°C selama 24 – 48 jam. Lalu diamati setiap tabung
yang positif dan dicocokkan dengan tabel MPN.

3.6.3 Aplikasi Edible Film Kitosan dengan Ekstrak Daun Mangrove Pada Pisang
(Nguyen et al., 2020)
Sebelum dilakukan aplikasi edible film kitosan yang ditambahkan ekstrak daun
mangrove, buah pisang terlebih dahulu dilakukan pre-treatment dengan mencuci buah
menggunakan 0,01% larutan NaCl selama 2 menit. Kemudian dikeringkan dibawah kipas
angin pada suhu ruang. Larutan kitosan yang digunakan untuk melapisi buah pisang
dibedakan dengan 2 perlakuan yaitu larutan 1% kitosan (w/v) dengan 1% (w/v) ekstrak
daun mangrove dan larutan 1% kitosan (w/v) tanpa ekstrak daun mangrove. Selanjutnya
sampel yang telah di pre-treatment, dicelupkan secara terpisah ke dalam masing-masing
larutan kitosan yang telah dipreparasi sesuai dengan perlakuan selama 30 detik,
pencelupan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 10 menit.
Kemudian buah yang telah dilapisi dikeringkan dengan diangin-anginkan pada suhu 30°C
untuk membentuk lapisan pada permukaan pisang, lalu disimpan pada suhu ruang
selama 4 hari. Terakhir dilakukan pengamatan pada 3 jenis sampel diantaranya sampel
44

kontrol tanpa pelapisan, sampel dengan dilapisi larutan kitosan saja, dan sampel yang
dilapisi larutan kitosan dengan penambahan ekstrak daun mangrove. Pengamatan
dilakukan untuk membandingkan kenampakan buah pisang antara sampel kontrol dengan
sampel yang dilapisi. Dokumentasi semua sampel diambil dari hari pertama hingga hari
ke 4 pengamatan.

3.6.4 Aplikasi Edible Film Kitosan dengan Grape Seed Extract Pada Daging Ayam
Filet (Sogut dan Seydim, 2018)
Sebelum edible film kitosan dengan grape seed extract diaplikasikan pada daging
ayam filet, dilakukan preparasi terlebih dahulu pada sampel daging dimana daging yang
terdapat lemak dihilangkan lemaknya dan kemudian dipotong dengan ukuran 5 x 10 x 1,5
cm menggunakan peralatan pemotong dalam kondisi steril. Lalu daging ayam filet
dikumpulkan dalam kondisi steril dan dipisahkan menjadi 3 kelompok. Kemudian, sampel
disisipkan diantara 2 lapisan film kitosan yang sama. Kelompok pertama disisipkan
diantara lapisan film kitosan kontrol (tanpa penambahan GSE). Kelompok kedua
disisipkan diantara lapisan film kitosan mengandung GSE (5, 10 dan 15%). Kelompok
ketiga sampel tanpa dilapisi film kitosan (kontrol negatif, C). Semua sampel kemudian
dikemas secara vakum dengan kemasan LDPE (Low Density Polyethylene) untuk
menjaga lapisan film yang terdapat pada permukaan daging ayam filet. Pengemasan
dilakukan dengan kondisi: 50 µm, laju transmisi oksigen 911.145 ml O 2 per m2 pada suhu
23°C selama 24 jam, tekanan 1 atm dan RH 0%. Semua material pengemas disterilisasi
terlebih dahulu dibawah sinar UV-C sebelum tahap pengemasan. Sampel yang telah
dikemas disimpan dalam refrigerator suhu 4°C hingga 15 hari. Sampel kemasan (3) pada
masing-masing kelompok diambil pada hari ke 0, 3, 6, 9, 12 dan 15 untuk dianalisis.
Analisis yang dilakukan diantaranya:
 Pengukuran pH, menggunakan pH meter
 Pengukuran warna, yaitu nilai (L*a*b*) menggunakan chroma meter
 Pengujian mikroba, meliputi Total Bakteri Mesofilik Aerob (TMAB) dengan media PCA
dan Total Bakteri Koliform dengam media VRBA, diinkubasi pada suhu 35°C selama
2 hari
 Oksidasi lemak, yaitu pengukuran nilai substansi reaktif dari asam tiobarbiturat (TBA)
atau asam trikloroasetat (TCA) menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan
panjang gelombang 532 nm.
45

3.6.5 Aplikasi Edible Film Kitosan dengan Ekstrak Teh Hijau Pada Sosis
(Siripatrawan dan Noipha, 2012)
Sosis yang telah dimasak diperoleh dari industri pengolahan daging ketika baru
diproduksi. Sosis yang akan diaplikasikan memiliki kandungan air 61,43 ± 0,93%,
kandungan lemak 18,94 ± 0,86%, kandungan protein 16,26 ± 0,78% dan kandungan abu
2,12 ± 0,31%. Film dari kitosan (C) dan film kitosan dengan penambahan ekstrak teh hijau
(CGT) digunakan sebagai pembungkus yang menutup seluruh permukaan sosis. Sampel
sosis tanpa film kitosan digunakan sebagai perlakuan kontrol. Sehingga ada 3 perlakuan
yaitu dibungkus dengan film kitosan (C), kitosan dengan kandungan ekstrak teh hijau
(CGT) dan tanpa lapisan film. Selanjutnya setiap sampel secara individu dikemas dengan
kemasan LDPE (Low Density Polyethylene) berukuran 8 x 12 cm dengan ketebalan 85
µm yang dilapisi dengan plastic bag poliamida dibawah kondisi atmosfer dan direkatkan
menggunakan sealer. Setelah dikemas semua sampel disimpan pada suhu 4 ± 1°C dan
dianalisis pada hari ke 0, 4 ,8, 12, 16 dan 20 (hanya sampel yang dibungkus dengan film
CGT yang dsimpan hingga 24 hari). Sampel sosis dianalisis dengan segera setelah
kemasan dibuka dan menghilangkan lapisan pembungkus film kitosan. Semua analisis
dilakukan secara terpisah pada 3 perlakuan secara duplo. Analisis sampel yang dilakukan
diantaranya:
 Analisis mikrobiologi, meliputi 1). Total mikroba dengan metode tebar pada media
PCA dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam, 2). Kapang dan khamir dengan
metode tebar pada media PDA dan diinkubasi pada suhu 25°C selama 72 jam, 3).
Bakteri Asam Laktat (BAL) dengan metode tuang pada media MRS-Agar dan
diinkubasi pada suhu 37°C selama 72 jam.
 Oksidasi lemak, yaitu pengukuran nilai substansi reaktif dari asam tiobarbiturat (TBA)
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 538 nm
 Pengukuran warna, yaitu nilai (L*a*b*) menggunakan chroma meter
 Pengukuran tekstur menggunakan Texture Analyzer
 Evaluasi sensory, diuji oleh 10 panelis dengan analisis deksriptif kuantitatif dengan
penilaian 4 atribut untuk mendeskripsikan sampel yaitu atribut bau, kenampakan
(warna dan lendir) serta penerimaan secara keseluruhan dengan skala 0, 5 dan 9
(untuk atribut bau dan penerimaan secara keseluruhan, skala 9 = diterima dengan
baik, 5 = penerimaan rendah, 0 = tidak dapat diterima. Sedangkan untuk atribut
warna dan lendir, skala 0 = baik, 5 = rendah, 9 = tidak dapat diterima).
46

3.6.6 Aplikasi Edible Film Kitosan dengan Sunflower Oil Pada Hamburger (Vargas et
al., 2011)
Sebelum edible film kitosan dengan penambahan sunflower oil diaplikasikan pada
hamburger, dilakukan preparasi terlebih dahulu pada sampel dengan menghaluskan
daging menggunakan penggiling, lalu dicetak pada cawan petri untuk menghasilkan
hamburger. Pada permukaan kedua sisi hamburger dilapisi dengan film kitosan-sunflower
oil. Sampel tanpa dilapisi film dijadikan sebagai kontrol. Sampel yang dilapisi dan sampel
tanpa dilapisi diletakkan pada nampan PET, lalu disimpan pada suhu 4°C. Analisis
terhadap sampel yang dilakukan diantaranya; analisis substansi reaktif asam tiobarbiturat
(TBARS) dan metmioglobin (MtMb) serta analisis mikrobiologi yaitu jumlah total mikroba
yang diuji pada media PCA secara triplo dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam,
dan jumlah total bakteri koliform diuji pada media VRBA secara triplo lalu diinkubasi pada
suhu 37°C selama 24 jam.

3.6.7 Aplikasi Edible Film Kitosan Sebagai Pengemas Bumbu Mi Instan (Distantina
et al., 2018)
Aplikasi edible film kitosan sebagai pengemas bumbu mi instan dilakukan preparasi
dengan mengisi film yang telah kering dengan bumbu mie instan, lalu direkatkan
menggunakan sealer dan kemudian dibiarkan di udara terbuka. Setelah itu dilakukan
analisis diantaranya analisis kelembapan bumbu dalam edible film, yaitu dengan cara
mengukur banyaknya air dari udara yang terserap ke dalam edible film digunakan sebagai
parameter kelembapan yang dinyatakan dengan indeks hidrasi. Perhitungan indeks
hidrasi menggunakan persamaan = (Mi-Ms)/Mi, dimana Mi adalah berat awal (g) dan Ms
adalah berat setelah beberapa hari (g). Analisis kedua yaitu kelarutan edible film dalam
air dilakukan dengan prosedur memasukkan bumbu mi instan yang telah dikemas dengan
edible film ke dalam air rebusan mi instan. Kelarutan edible film dievaluasi berdasarkan
waktu yang dibutuhkan bumbu dapat keluar dari edible film ke dalam rebusan mi instan.

3.7 Analisis Produk


Adanya polimer kitosan yang bersifat antimikroba dan antifungi, berpotensi untuk
diaplikasikan sebagai lapisan pelindung untuk produk pangan sehingga dengan
karakteristik mekanik dan barrier nya dapat menjamin produk yang diaplikasikan dari
kontaminan fisik maupun biologis. Selain itu film kitosan tidak merubah warna dan rasa
sehingga ketika diaplikasikan sebagai lapisan pelindung dapat meningkatkan karakteristik
dan penerimaan produk dengan tetap menjaga penampilan, warna dan rasa produk yang
diaplikasikan (Pavinatto et al., 2019). Edible film kitosan dapat diaplikasikan pada produk
47

buah-buahan (stroberi, ceri manis, pisang), produk daging (filet ayam), daging olahan
(sosis, hamburger) dan pengemas bumbu mi instan.

3.7.1 Analisis Aplikasi Edible Film Kitosan Pada Buah-Buahan

a) Stroberi dilapisi b) Stroberi tanpa c) stroberi dilapisi d) Stroberi tanpa


film kitosan hari ke 0dilapisi film kitosan film kitosan hari ke 7 dilapisi film kitosan
hari ke 0 hari ke 7
Gambar 9. Perbedaan kenampakan stroberi pada penyimpanan suhu ruang
(Pavinatto et al., 2019)

Edible film kitosan yang diaplikasikan pada buah stroberi menunjukkan adanya
aktivitas antimroba, antifungi serta menghasilkan penerimaan produk dengan baik
berdasarkan evaluasi sensori. Aktivitas antimikroba ditunjukkan dengan adanya
penghambatan pada bakteri S. aureus, B. cereus (Gram +) dan E. coli (Gram -). Aktivitas
penghambatan yang terbentuk lebih besar pada bakteri Gram negatif (E.coli) daripada
Gram positif (S. aureus dan B. cereus). Kemudian aktivitas antifungi yang dilihat pada
Gambar 9, dapat diamati dengan jelas bahwa stroberi yang tidak dilapisi film dipenuhi
oleh fungi dan stroberi yang dilapisi film menunjukkan tidak ada fungi yang tumbuh
setelah 7 hari pengamatan. Sehingga sangat mungkin untuk dilakukan aplikasi film
kitosan sebagai pelapis buah stroberi selama tidak ada perubahan pada penampakan.
Evaluasi penerimaan produk stroberi yang diaplikasikan film kitosan juga dinilai
mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi oleh panelis dengan data yang
menunjukkan bahwa aplikasi film tidak berpengaruh signifikan terhadap penampakan,
aroma, tekstur dan rasa (Pavinatto et al., 2019).
Selanjutnya efek edible film kitosan dengan penambahan beeswax yang
diaplikasikan pada buah stroberi juga dilaporkan oleh Nurmala et al. (2018), dimana
pengaruh aplikasi film kitosan terhadap susut bobot buah stroberi menunjukkan adanya
penurunan jika dibandingkan susut bobot stroberi tanpa pelapisan. Hal tersebut karena
film sebagai penghalang masuknya gas oksigen yang menyebabkan proses respirasi
terhambat sehingga produksi CO2 sebagai hasil dari respirasi berkurang dan proses
transpirasi buah juga terhambat. Kemudian efek yang positif juga terjadi pada penurunan
kadar vitamin C dimana stroberi yang diaplikasikan film kitosan mengalami penurunan
kadar vitamin C terkecil selama 4 hari penyimpanan karena film berperan sebagai
48

penghalang masuknya gas oksigen yang berperan dalam reaksi reduksi oksidasi
(redoks).
Analisis pada edible film yang diaplikasikan sebagai lapisan pelindung buah ceri
manis (Prunus avium L.) yaitu analisis fisikokimia dan analisis mikrobiologi. Hasil analisis
mikrobiologi menunjukkan bahwa film kitosan efektif mengurangi total bakteri mesofilik
aerob (TMAB) dan kapang khamir (<2 log cfu/g) hingga hari ke 25 pada penyimpanan
suhu 4°C. Sedangkan pada penyimpanan suhu 20°C pengurangan total bakteri mesofilik
aerob (TMAB) terjadi hingga hari ke 10 dan kapang khamir hingga hari ke 5
penyimpanan. Sedangkan untuk total bakteri psikrofilik aerob (TPAB) dan koliform
menunjukkan jumlah dibawah batas pada semua suhu dan lama waktu penyimpanan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa lapisan film kitosan dapat mengurangi secara
signifikan pertumbuhan bakteri dan fungi selama masa penyimpanan pada suhu 4°C dan
20 °C. Mekanisme antimikroba dikarenakan gugus amino bermuatan positif pada kitosan
berikatan dengan gugus karboksil bermuatan negatif pada membran sel bakteri sehingga
mengubah distribusi muatan pada permukaan sel dan merusak stabilitas membran
(Tokatlı dan Demirdöven, 2020).

b) Pisang dengan film c) Pisang dengan film


a) Pisang tanpa film
kitosan kitosan+ekstrak mangrove

Gambar 10. Penampakan pisang pada hari ke 0 dan ke 4


(Nguyen et al., 2020)

Aplikasi edible film kitosan pada pisang dapat dilihat pada Gambar 10, dimana
perbedaan penampakan luar pisang setelah 4 hari penyimpanan dapat diamati antara
pisang tanpa film kitosan, pisang dengan film kitosan kontrol dan pisang dengan film
kitosan yang dtambahkan ekstrak mangrove. Pada hari ke 0 dapat dilihat bahwa kulit luar
semua pisang tampak bersih berwarna kuning cerah dan tanpa bintik gelap. Kemudian
setelah 4 hari penyimpanan, kulit pisang berubah warna menjadi kuning kecoklatan
dengan bintik gelap akibat kerusakan selama penyimpanan. Permukaaan kulit pisang
yang dilapisi film kitosan dengan ekstrak mangrove terlihat lebih baik daripada kulit pisang
tanpa film dan dengan film kitosan saja. Hal ini dapat disimpulkan bahwa penambahan
ekstrak mangrove ke dalam film kitosan dapat menunda terjadinya kerusakan pada
pisang (Nguyen et al., 2020).
49

Gambar 11. Mekanisme antifungi film kitosan pada stroberi


(Pavinatto et al., 2019)

Pada dasarnya mekanisme aktivitas antimikroba edible film kitosan yaitu karena
adanya kandungan polikationik alami yang menyebabkan kebocoran elektrolit intraseluler
dan konstituen protein ketika terjadi kontak dengan sel fungi, bahkan dapat menghambat
pembentukan RNA dan sintesis protein. Spesies fungi utama yang menyerang buah-
buahan pasca panen yaitu Botrytics cinerea, fungi berfilamen dari famili Sclerotiniaceae,
dimana ketika mengontaminasi buah-buahan maka proses kolonisasi terjadi dalam waktu
singkat (Pavinatto et al., 2019). Sedangkan mekanisme kerja antibakteri film kitosan yaitu
adanya interaksi antara kelompok amina dengan dinding sel bakteri yang menyebabkan
penurunan permeabilitas selektifnya dan menyebabkan kebocoran zat intraseluler seperti
protein, asam amino, glukosa dan dehidrogenase laktat. Sehingga mengakibatkan
terhambatnya metabolisme bakteri dan akhirnya menyebabkan kematian sel (Nurmala et
al., 2018).

3.7.2 Analisis Aplikasi Edible Film Kitosan Pada Produk Daging


Analisis pH menjadi parameter kualitas filet daging ayam yang diaplikasikan edible
film kitosan karena semakin rendah nilai pH menunjukkan kualitas semakin buruk. Hal
tersebut karena kandungan Bakteri Asam Laktat (BAL) tinggi pada produk sehingga
meningkatkan produksi asam dan menurunkan nilai pH. Adanya aplikasi edible film
kitosan yang ditambahkan ekstrak biji anggur pada filet daging ayam menunjukkan pH
yang lebih stabil selama penyimpanan jika dibandingkan sampel tanpa film (Sogut dan
Seydim, 2018). Sehingga aplikasi film kitosan dengan ekstrak biji anggur pada filet daging
ayam menghasilkan pengaruh yang positif karena stabilitas pH yang dihasilkan.
Kemudian analisis warna pada produk daging olahan sosis menunjukkan sampel
kontrol mengalami diskolorasi warna selama masa penyimpanan karena terjadi oksidasi
lipid dan aktivitas bakteri pembusuk. Sedangkan sampel yg dilapisi film kitosan dengan
ekstrak teh hijau tidak mengalami perubahan warna (diskolorasi) yang signifikan jika
dibandingkan sampel kontrol, karena adanya aktivitas polifenol dari ekstrak teh hijau
50

berperan sebagai antioksidan dan antimikroba sehingga dapat mempertahankan kualitas


produk sosis. Dari hasil uji warna tersebut, menghasilkan tingkat penerimaan warna
produk sosis pada rentang yang dapat diterima. Tingkat penerimaan secara keseluruhan
juga menunjukkan hasil dengan rentang yang dapat diterima oleh panelis karena tidak
menghasilkan perubahan bau, lendir dan diskolorasi warna pada produk sehingga aplikasi
film kitosan dengan ekstrak teh hijau terbukti dapat mempertahankan kualitas dan
memperpanjang masa simpan produk sosis tersebut (Siripatrawan dan Noipha, 2012).
Oksidasi lemak pada produk daging selama penyimpanan menunjukkan terjadinya
penurunan kualitas produk tersebut. Oksidasi lemak ditunjukkan oleh adanya nilai
substansi reaktif asam tiobarbiturat (TBARS) dan metmioglobin (MtMb) yang dihasilkan
oleh produk. Semakin tinggi nilai tersebut menunjukkan kualitas produk yang semakin
menurun karena mengindikasikan tingginya oksidasi lipid yang terjadi. Akan tetapi dengan
aplikasi film kitosan yang dikombinasikan ekstrak biji anggur pada filet daging ayam dapat
membatasi oksidasi lipid secara efektif, ditunjukkan dengan nilai TBARS yang rendah. Hal
tersebut karena adanya kandungan fenolik seperti asam galat, katekin dan epikatekin dari
ekstrak biji anggur yang berperan sebagai antioksidan selama masa penyimpanan filet
daging ayam (Sogut dan Seydim, 2018). Aplikasi film kitosan yang dikombinasikan
dengan ekstrak teh hijau pada sosis juga dapat meningkatkan aktivitas antioksidan film
sehingga menurunkan oksidasi lipid yang ditunjukkan dengan nilai TBA yang rendah.
Tingginya antioksidan yang dihasilkan ekstrak teh hijau dapat berinteraksi dengan radikal
bebas, mencegah inisiasi ikatan radikal serta mengikat katalis ion logam tranisisi, dengan
demikian oksidasi lipid pada sosis dapat dicegah (Siripatrawan dan Noipha, 2012).
Selanjutnya aplikasi film kitosan yang ditambahkan minyak biji bunga matahari pada
hamburger juga dapat menurunkan oksidasi lemak, yang ditunjukkan dengan nilai MtMb
yang rendah jika dibandingkan hamburger tanpa dilapisi film. Hal tersebut karena minyak
biji bunga matahari dapat menurunkan permeabilitas oksigen pada permukaan hamburger
yang dilapisi film sehingga terjadinya oksidasi lemak dapat dicegah (Vargas et al., 2011).
Analisis total mikroba meliputi total bakteri mesofilik aerob (TMAB), total bakteri
koliform, total mikroba dalam cawan (ALT), total bakteri asam laktat (BAL) dan total
kapang khamir. Mikroorganisme yang terdapat pada produk merupakan mikroorganisme
patogen maupun yang menyebabkan penurunan kualitas pada produk. Aplikasi film
kitosan yang dikombinasikan dengan ekstrak biji anggur (15%) pada filet daging ayam
menghasilkan total bakteri mesofilik aerob (TMAB) dan koliform dengan nilai terendah
selama masa penyimpanan dingin (15 hari), jika dibandingkan dengan filet daging ayam
kontrol tanpa film yang menghasilkan nilai TMAB dan koliform melebihi batas yang dapat
diterima hanya selama 6 hari penyimpanan (Sogut dan Seydim, 2018). Aplikasi film
kitosan yang dikombinasikan dengan esktrak teh hijau pada sosis juga menghasilkan
51

ALT, total BAL dan kapang khamir dengan nilai yang lebih rendah selama masa
penyimpanan dingin (20 hari), jika dibandingkan dengan sosis tanpa film yang
menghasilkan nilai ALT, total BAL dan kapang khamir melebihi batas yang dapat diterima
selama 12 hari penyimpanan (Siripatrawan dan Noipha, 2012). Namun aplikasi film
kitosan yang dikombinasikan dengan minyak biji bunga matahari pada hamburger tidak
menunjukkan penurunan secara signifikan pada nilai ALT dan total koliform selama masa
penyimpanan dingin jika dibandingkan dengan hamburger tanpa film (Vargas et al., 2011).
Sehingga dapat diketahui bahwa penambahan ekstrak biji anggur dan teh hijau
pada edible film kitosan dapat menurunkan jumlah total mikroorganisme secara efektif
selama masa penyimpanan dingin ketika diaplikasikan pada produk daging sehingga
dapat memperpanjang masa simpan produk daging filet maupun daging olahan.
Sedangkan penambahan minyak biji bunga matahari tidak secara efektif menurunkan
jumlah total mikroorganisme karena minyak biji bunga matahari menyebabkan efek dilusi
pada polimer kitosan sehingga menurunkan efek antibakteri dari film kitosan. Adanya
mikroorganisme pembusuk dalam jumlah yang tinggi pada produk menurut Siripatrawan
dan Noipha (2012), dapat menyebabkan perubahan pada karakteristik organoleptik.
Bakteri Asam Laktat (BAL) umunya dapat ditemukan pada produk olahan seperti sosis
pada penyimpanan suhu rendah. BAL dapat menyebabkan keasaman, berlendir dan
diskolorasi pada produk serta menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek
yang menyebabkan bau tak sedap. Sedangkan kapang dan khamir dalam jumlah tinggi
dapat menyebabkan permukaan yang berlendir pada sosis. Efek antimikroba film kitosan
disebabkan oleh interaksi elektrostatis antara muatan positif gugus NH 3+ pada monomer
glukosamin molekul kitosan dengan muatan negatif membran sel mikroba yang
menyebabkan kerusakan intraseluler sel. Dengan penambahan ekstrak teh hijau yang
mengandung epikatekin dan kafein dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, B.
subtilis, E. coli, S. typhimurium, L. monocytogenes dan Campylobacter jejuni. Adanya
kandungan quercetin dan kaempferol menunjukkan penghambatan pada bakteri gram
positif dan fungi fitopatogenik.

3.7.3 Analisis Aplikasi Edible Film Kitosan Sebagai Pengemas Bumbu Mi Instan

Gambar 12. Edible film kitosan sebagai pengemas bumbu mi instan


(Distantina et al., 2018)
52

Kelembapan bumbu dalam edible film kitosan diukur dengan indeks hidrasi.
Indeks hidrasi mengindikasikan banyaknya uap air dari udara yang terserap ke dalam
edible film dan digunakan sebagai parameter kelembapan. Semakin rendah nilai indeks
hidrasi menunjukkan bahwa edible film semakin baik diaplikasikan sebagai pengemas
karena transmisi oksigen dapat diminimalisir ke dalam edible film. Hasil analisis
kelembapan menunjukkan bahwa bumbu dalam edible film dengan keadaan baik pada
hari 1 dan bumbu lengket pada hari ke 6 dengan nilai indeks hidrasi mencapai 0,1
mengindikasikan adanya penurunan kualitas fisik. Kelarutan edible film pada air rebusan
mi menunjukkan bahwa film tidak larut bersama bumbu mi instan, melainkan sobek dan
memiliki tekstur seperti sayuran rebus. Bumbu mi instan dapat keluar dari film dan larut di
dalam air rebusan mi dalam waktu ± 1 menit. Dalam aplikasi edible film sebagai
pengemas bumbu mi instan ini dapat dilihat bahwa film tidak mempengaruhi rasa, warna
maupun bau pada bumbu mi instan. Akan tetapi, ketahan bumbu yang dikemas dalam
edible film kitosan ini belum dibandingkan dengan ketahanan bumbu yang dikemas
seperti kemasan mi komersial (Distantina et al., 2018).
Karakteristik antimikroba yang dihasilkan setelah diuji menggunakan daya hambat
metode difusi menunjukkan adanya aktivitas antimikroba yang dihasilkan (Gambar 13).
Potongan edible film dengan diameter 6 mm yang diletakkan pada media EMBA,
menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri Escherichia coli yang
telah diinokulasikan sebelumnya, dengan besar penghambatan pada kategori sedang.
Sehingga aplikasi edible film kitosan sebagai pengemas bumbu mi instan sangat
berpotensi untuk dilakukan karena menunjukkan karakteristik yang baik termasuk
karakteristik antimikroba (Distantina et al., 2018).

Gambar 13. Daya hambat antimikroba edible film kitosan


(Distantina et al., 2018)
53

4. KESIMPULAN

Edible film merupakan lapisan tipis dengan ketebalan ± 0,3 mm yang mampu
melapisi bahan atau produk pangan, dapat dimakan bersama produk dan berfungsi untuk
memperpanjang masa simpan produk yang diaplikasikan. Bahan penyusun edible film
salah satunya berbasis polisakarida kationik yaitu kitosan. Kitosan bersifat antimikroba
sehingga selain digunakan sebagai material dalam pembuatan edible film juga berperan
sebagai zat aktif itu sendiri, dengan demikian kitosan berpotensi untuk diaplikasikan
sebagai kemasan pangan antimikroba. Edible film berbasis kitosan memiliki karakteristik
diantaranya mampu membentuk lapisan film yang baik, stabil, fleksibel dan mudah terurai
(biodegradabel). Edible film kitosan dapat menghasilkan sifat mekanis yang baik dengan
penambahan bahan pemlastis namun film kitosan belum memiliki sifat barrier yang baik
karena bersifat hidrofilik. Adanya penambahan komponen bioaktif dapat meningkatkan
karakteristik fisikokimia, mekanik, biologis serta barrier edible film kitosan. Komponen
bioaktif yang ditambahkan diantaranya ekstrak mangrove, Spirulina, kulit buah
pomegranat, minyak biji anggur, minyak biji dan buah Berberis crataegina, teh hijau,
minyak biji bunga matahari, minyak atsiri serai, minyak oregano dan marjoram serta
ekstrak minyak kunyit. Komponen bioaktif tersebut memiliki kandungan polifenol dan
flavonoid yang berperan sebagai antioksidan dan antimikroba. Aplikasi edible film kitosan
yang dioptimalisasi dengan penambahan komponen bioaktif pada produk dapat
mencegah terjadinya oksidasi lemak. Selain itu, menunjukkan aktivitas antimikroba yang
dapat mencegah pertumbuhan bakteri Gram positif, Gram negatif, kapang dan khamir
sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk yang diaplikasikan. Edible film
kitosan dengan penambahan komponen ekstrak dan minyak esensial berpotensi
diaplikasikan pada buah-buahan, produk daging serta pengemas bumbu mi instan.
54

DAFTAR PUSTAKA

Aprianda, R., Fachraniah, dan Rihayat, T. 2018. Pemanfaatan kitosan sebagai biofilm
dengan penambahan turmeric essential oil untuk meningkatkan aktivitas antibakteri.
Prosiding Seminar Nasional Politeknik Negeri Lhokseumawe. 2(1): 221–225.

Balti, R., Mansour, M. Ben, Sayari, N., Yacoubi, L., Rabaoui, L., Brodu, N., dan Massé, A.
2017. Development and characterization of bioactive edible films from spider crab
(Maja crispata) chitosan incorporated with Spirulina extract. International Journal of
Biological Macromolecules. 105: 1464–1472.

Distantina, S., Ayuni, N. N., dan Sarjani, V. S. Y. 2018. Karakter edible film Ulva lactuca-
kitosan sebagai pengemas bumbu mi instan. CHEMICA: Jurnal Teknik Kimia. 5(1):
1–6.

Homez-Jara, A., Daza, L. D., Aguirre, D. M., Muñoz, J. A., Solanilla, J. F., dan Váquiro, H.
A. 2018. Characterization of chitosan edible films obtained with various polymer
concentrations and drying temperatures. International Journal of Biological
Macromolecules. 113: 1233–1240.

Irawan, S. 2010. Pengaruh gliserol terhadap sifat fisik/mekanik dan barrier edible film dari
kitosan. Jurnal Kimia Dan Kemasan. 32(1): 6–12.

Kaya, M., Ravikumar, P., Ilk, S., Mujtaba, M., Akyuz, L., Labidi, J., Salaberria, A. M.,
Cakmak, Y. S., dan Erkul, S. K. 2018. Production and characterization of chitosan
based edible films from Berberis crataegina’s fruit extract and seed oil. Innovative
Food Science and Emerging Technologies. 45: 287–297.

Kumar, N., Neeraj, Ojha, A., dan Singh, R. 2019. Preparation and characterization of
chitosan - pullulan blended edible films enrich with pomegranate peel extract.
Reactive and Functional Polymers. 144: 1–12.

Nabila, S. D. P., Kusdarwati, R., dan Agustono. 2018. Pengaruh penambahan beeswax
sebagai plasticizer terhadap karakteristik fisik edible film kitosan. Jurnal Ilmiah
Perikanan Dan Kelautan. 10(1): 34–39.

Nanda, K. P., dan Azizati, Z. 2018. Pembuatan bioplastik dari kitosan dan sorbitol dengan
penambahan minyak atsiri serai. Walisongo Journal of Chemistry. 2(2): 79–82.

Nguyen, T. T., Thi Dao, U. T., Thi Bui, Q. P., Bach, G. L., Ha Thuc, C. N., dan Ha Thuc, H.
2020. Enhanced antimicrobial activities and physiochemical properties of edible film
based on chitosan incorporated with Sonneratia caseolaris (L.) Engl. leaf extract.
Progress in Organic Coatings. 140: 1–9.

Nurhayati, dan Agusman. 2011. Edible film kitosan dari limbah udang sebagai pengemas
pangan ramah lingkungan. Squalen. 6(1): 38–44.

Nurmala, N. A., Susatyo, E. B., dan Mahatmanti, F. W. 2018. Sintesis kitosan dari
cangkang rajungan terkomposit lilin lebah dan aplikasinya sebagai edible coating
pada buah stroberi. Indonesian Journal of Chemical Science. 7(3): 278–284.

Pavinatto, A., de Almeida Mattos, A. V., Malpass, A. C. G., Okura, M. H., Balogh, D. T.,
dan Sanfelice, R. C. 2019. Coating with chitosan-based edible films for
mechanical/biological protection of strawberries. International Journal of Biological
Macromolecules. 151: 1004–1011.
55

Sedlaříková, J., Doležalová, M., Egner, P., Pavlačková, J., Krejčí, J., Rudolf, O., dan Peer,
P. 2017. Effect of oregano and marjoram essential oils on the physical and
antimicrobial properties of chitosan based systems. International Journal of Polymer
Science. 1–12.

Siripatrawan, U., dan Noipha, S. 2012. Active film from chitosan incorporating green tea
extract for shelf life extension of pork sausages. Food Hydrocolloids. 27(1): 102–108.

Sofia, I., Murdiningsih, H., dan Yanti, N. 2016. Pembuatan dan kajian sifat-sifat
fisikokimia, mekanikal, dan fungsional edible film dari kitosan udang windu. Jurnal
Bahan Alam Terbarukan. 5(2): 54–60.

Sogut, E., & Seydim, A. C. 2018. The effects of chitosan and grape seed extract-based
edible films on the quality of vacuum packaged chicken breast fillets. Food
Packaging and Shelf Life. 18: 13–20.

Thakhiew, W., Devahastin, S., dan Soponronnarit, S. 2010. Effects of drying methods and
plasticizer concentration on some physical and mechanical properties of edible
chitosan films. Journal of Food Engineering. 99(2): 216–224.

Tokatlı, K., dan Demirdöven, A. 2020. Effects of chitosan edible film coatings on the
physicochemical and microbiological qualities of sweet cherry (Prunus avium L.).
Scientia Horticulturae. 259: 1–7.

Vargas, M., Albors, A., dan Chiralt, A. 2011. Application of chitosan-sunflower oil edible
films to pork meat hamburgers. Procedia Food Science. 1: 39–43.

Wang, H., Qian, J., dan Ding, F. 2018. Emerging chitosan-based films for food packaging
applications. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 66(2): 395–413.
56

LAMPIRAN

Lampiran 1. Metode aplikasi edible film kitosan

Anda mungkin juga menyukai