Anda di halaman 1dari 24

FILSAFAT PENDIDIKAN SEBAGAI PONDASI

PENDIDIKAN DI INDONESIA

Nama Anggota kelompok:

Ni Luh Dwi Widiawati (1911031053)

Ni Kadek Rempini (1911031051)

I Wayan Dwiyana (1911031054)

Ni Nyoman Utami Dewi (1911031059)

I Komang Leo Saputra (1911031055)

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS DHARMA ACARA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
KAMPUS BANGLI
TAHUN AJARAN 2019/2020

i
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PEMBAHASAN ............................................................................................. 1

1.1. Pengertian dan Makna Filsafat ................................................................. 1

1.2. Pengertian dan Makna Pendidikan ........................................................... 3

1.3. Pengertian Filsafat Pendidikan ................................................................. 6

1.4. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan ........................................ 10

1.5. Pandangan Filsafat tentang Pendidikan .................................................... 12

1.6. Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan........................................................ 14

1.7. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan ................................................... 17

BAB II PENUTUP ...................................................................................................... 20

2.1. Kesimpulan................................................................................................ 20

2.2. Saran ......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 22

ii
BAB I

PEMBAHASAN

1.1. Pengertian dan Makna Filsafat

Berbicara mengenai filsafat pendidikan, dapat dipahami dari dua bangunan katanya,
yaitu filsafat dan pendidikan. Karena kedua hal tersebut begitu esensi maka akan dibahas
pengertian kedua kata-kata tersebut. Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philos
dan sophia, yang berarti cinta akan kebijaksanaan, pengetahuan dan pengalaman yang praktis.
Melalui pengertian secara bahasa tersebut dapatlah dipahami bahwa filsafat adalah sebuah
kajian yang menyadari tidak adanya kesempurnaan dalam jiwa manusia maupun
lingkungannya, karena filsafat akan mulai dari keraguan dan akan berakhir pada keraguan
pula. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia.
(bagus, 2002:242).

Sokrates sebagai bapak filsafat mendefenisikan filsafat sebagai suatu peninjauan diri
yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan
bahagia (principlesofthejustandhappylife). Melihat makna filsafat yang diungkapkan oleh
sokrates tersebut, maka tidaklah berlebihan jika ia mengeluarkan statement: theexaminedlifeis
not worthliving, bahwa kehidupan yang tidak teruji dan tak pernah dipertanyakan, merupakan
kehidupan yang tidak berharga. Dari pendapat sokrates tersebut membuka cakrawala berpikir
bahwa semua yang ada di dunia ini memberi makna dan menunggu untuk ditemukan apa yang
ada di balik iu semua.

Mencoba menilik sejarah kembali jauh sebelum Sokrates berfilsafat sesungguhnya


Adam dan Hawa sebagai manusia pertama telah berfilsafat, berfilsafat dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya di bumi, berfilsafat untuk memperoleh keturunan sebagai
generasi penerus, semua itu merupakan hasil dari berpikir sedalam dalamnya, seluas-luasnya,
setinggi-tingginya, itulah yang dinamakan dengan filsafat.

Menarik juga menarik hikmah dari pendahulu kita Rasulullah Muhammad SAW,
sebagai suri tauladan bagi umat Islam dan rahmat bagi sekalian, ketika pertama kali diangkat
menjadi Rasul, maka perintah yang pertama kali yang ia dapatkan adalah Iqro’ yang artinya
baca. Baca disin bukanlah hanya sekedar baca saja namun dibalik itu semua baca
mengandung makna yang luas, dalam, mencari dibalik hikah, baca ingkungan, baca keadaan

iii
sekitar. Semua itu merupakan bagian dari filsafat. Filsafat menuntun manusia untuk tetap
mampu berdiri tegak dan eksis di muka bumi ini.

Harold H Titus, dalam karya filosofinya, persoalan-persoalan filsafat, menurunkan


setidaknya lima macam pengertian filsafat.

 Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara kritis.
 Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi.
 Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan
 Filsafat adalah sebagian analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang kata dan
konsep.
 Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian
dari manusia dan yang dicaraikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

Dari pandangan Alwasilah tersebut dapat dipahami bahwa filsafat merupakan sebuah
gambaran tentang kenyataan yang tiada habisnya, yang menghasilkan pemikiran-pemikiran,
gagasan-gagasan dalam rangka memecahkan masalah yang ada, bahkan untuk dapat
menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Soetrisno, dkk merumuskan mengenai berbagai pendapat khusus mengenai filsafat


antara lain:

 Rasionalisasi menggunakan akal


 Materialisme yang menggunakan materi
 Idealisme yang menggunakan ide
 Hedonisme yang menggunakan kesenangan
 Stoikisme mengagungkan tabiat saleh

Aliran-aliran tersebut jelas mempunyai kekhususan dan menekankan kepada sesuatu


yang dianggap sebagai inti permasalahan hidup yaitu akal, kebendaan, pikiran, kesenangan,
kesolehan, semua merupakan esensi yang sangat lumrah dalam menghadapi kehidupan ini
jika dikaji secara filsafati.

Oleh sebab itu dari beberapa pendapat ahli di atas mengenai filsafat dapatlah dirangkum
menjadi beberapa poin saja antara lain:

iv
 Filsafat adalah hasil pemikiran manusia yang paling kritis secara sedalam dalamnya,
seluas luasnya, sebesar-besarnya dalam bentuk yang sistematis.
 filsafat merupakan refleksi dari ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan selanjutnya.
 Filsafat adalah pandangan hidup
 Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia secara dalam, luas, mendasar sampai
ke akar-akarnya, dan menyuluruh yang melibatkan semua unsur.

Menjadi sebuah keniscayaanlah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang lebih


aplikatif dan normatif, setiap ilmuwan maupun individu dituntut untuk terus berfilsafat, dalam
rangka memenuhi basicneed manusia itu sendiri, sampai kepada kesejahteraan yang
didambakan oleh manusia. Kesenangan dunia dan akhirat dalam bingkai agama menjadi
sakinah mawaddah dan warahmah begitu pandangan agama.

1.2. Pengertian dan makna Pendidikan

Berbicara mengenai pendidikan merupakan sebuah bahasan dan kegiatan yang tiada
habis-habisnya untuk dibahas, krena memang sesungguhnya pendidikan itu berlangsung
sepanjang kahidupan manusia. Oleh sebab itu tidaklah salah jika pepatah mengatakan
tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Alquran sebagai kitab suci jelas
mengabadikan dan menjanjikan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang berilmu.
Perlu disadari ilmu yang didpat itu merupakan bagian dari pendidikan. Mulai dari pendidikan
yang paliung terkecil adalah keluarga oleh ayah dan ibu, kemudian lingkungan sekolah dan
luar sekolah, semua membaur menjadi satu dalam rangka membentuk karakter anak sehingga
menghasilkan generasi yang cerdas, berimtaq, dalam pusaran pendidikan.

Pendidikan secara bahasa berasal dari bahasa Inggris yaitu toeducate yaitu kata kerja
yang berarti mendidik, oleh sebab itu secara terminologis pendidikan menjadi sebuah
pengetian yang sangat luas. Indonesia sebagai negara yang berdaulat sangat mengakui dan
menyadari bahwa pendidikan merupakan hak yang wajib diterima oleh setiap warga negara.
Ini berarti hak memperoleh pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya merupakan hak setiap
individu yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh hukum.

v
Di indonesia, secara yuridis formal perolehan hak asasi manusia di bidang layanan
pendidikan telah termuat dalam UUD 1945, UU No 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas, ataupun
GBHN 1993 sampai kepada yang terakhir adalah UU SisdiknasNo 20 tahun 2003. Berikut
dokumen formal yang memuat garapan pendidikan sebagai hak asasi segenap bangsa
Indonesia, yaitu:

Pembukaan UUD 1945, alinea keempat yang menyatakan, ....melindungi segenap


bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa,....semenjak Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945, unsur
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa telah merupakan
komitmen pokok sebagai pintu gerbang utama untuk meningkatkan harkat dan martabat
bangsa Indonesia.

Dalam bagian lain UUD 1945, pasal 31 ayat 1, dinyatakan bahwa tiap warga negara
berhak mendapat pengajaran. Pasal ini merupakan jaminan atas hak segenap bangsa
Indonesia untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan.

GBHN 1993, antara lain mengungkapkan bahwa pembangunan pendidikan dan


pengemabangan generasi muda merupakan bagian integral dari upaya pengembangan sumber
daya manusia di berbagai bidang yang pada hakikatnya bertujuan meningkatkan kualitas
hidup manusia dan kehidupan masyarakat yang utuh menyeluruh. Sedangkan pendidikan
nasional bertujuan untukj meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian,
beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani.

UUSPN No 2 Tahun 1989:

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan (Bab III
pasal 5)

Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti
pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-
kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan
dasar. (Bab III Pasal 6)

Warga negara yang memiliki kelainan fisik atau mental berhak memperoleh pendidikan
luar biasa

vi
UUSPN N0 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasuna belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya ,
masyarakat bangsa dan negara.

Itulah perjalanan penting pendidikan di Indonesia dari masa ke masa sebagai refleksi
awal dalam memberikan gambaran utuh mengenai pendidikan dimulai dari cakrawala berpikir
pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan.

Berikutnya kita akan mencoba melihat pengetian pendidikan dari sudut pandang kajian
para ahli. Istilah pendidikan dalm terminologi agama disebut dengan tarbiyah, yang
mengandung arti dasar sebagai pertumbuhan, peningkatan, atau membuat sesuatu yang lebih
tinggi. Karena makna dasarnya adalah pertumbuhan dan dan peningkatan, maka dengan
asumsi positif bahwa pada hakikatnya manuasia memiliki nilai-nilai kebaikan yang ada di
dalam dirinya. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah upaya dan proses
meningkatkan potensi-potensi positif yang ada di dalm diri individu setinggi-tingginya, dan
proses itu akan berlangsung dari kelahairan sampai pada kematian.

Menurut Suhartono makna pendidikan dapat dilihat dari dua perspektif yang luas dan
arti sempit. Dalam arti luas, pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang
berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kehidupan. Pendidikan berlangsung di
segala jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan hidup, yang kemudian mendorong pertumbuhan
potensi yang ada dalam diri individu. Secara sederhana pendidikan merupakan usaha untuk
meningkatkan pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri.

Dalam arti sempit, pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, kapan saja,
dan dimana saja, karena menjadi dewasa, cerdas, dan matang adalah hak asasi manusia pada
umumnya, itulah sebabnya di awal dijelaskan bagaimana negara melindungi hak asasi warga
negara indonesia melalui pendidikan.

Dari pendapat tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidiakan adalah usaha sadar
dengan segala daya dan upaya untuk membentuk manusia menjadi lebih baik dengan
memaksimalkan segala potensi-potensi positif yang telah dimilikinya. Dengan demikian
jelaslah proses pendidikan itu merupakan sebuah kebudayaan dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar manusia, oleh sebab itu tidaklah salah lagi pendidikan dapat diartikan
sebagai pembudayaan kehidupan manusia. Dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan

vii
merupakan suatu kegiatan enkulturasi budaya untuk menjadikan manusia menjadi manusia
yang seutuhnya.

Dari pengertian pendidikan menurut para ahli dan UUSPN NO 20 tahun 2003, dapatlah
ditarik sebuah pemahaman yang luas, bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dengan
seluruh daya dan upaya unn]tuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar dalam rangka
memaksimalkan potensi-potensi positif manusia, yang akan berguna bagi pribadi, masyarakat,
maupun bangsa dan negara.

1.3. Pengertian Filsafat Pendidikan

Setelah membahas secara dalam dan luas mengenai filsafat dan pendidikan secara
terpisah, maka pada bagian ini akan dibahas mengenai filsafat pendidikan itu secara utuh,
sehingga menghasilkan sebuah konsep yang jelas mengenai hakikat filsafat pendidikan.

Kita menyadari bahwa semua aspek kehidupan ini mulai dari alam, ekonomi, politik,
sosial, budaya diilhami dan berpedoman pada ajaran-ajaran filsafat. Pendidikan sebagai salah
satu aspek kehidupan jelas juga berpdoman dan berasal dari filsafat, agar pendidikan dapat
berkembang secara terus menerus maka filsafat adalah kuncinya.

Manusia sebagi pribadi ataupun sebagi masyarakat, sebagi bangsa dan negara hidup
dalam sosio budayanya. Aktivitas untuk mewariskan dan mengembangkan sosio-budaya itu
terutama melalui pendidikan. Untuk menjamin agar pendidikan itu benar prosesanya secara
efektif dan efisien maka dibutuhkan landasan-landasan yang kuat pula, itulah yang dinamakan
dengan landasan filosofis dan landsan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman
pelaksanaan pembinaan. Karena pendidikan sebagi usaha pembudyaan kehidupan manusia,
sehingga pendidikan bukanlah sekedar usaha yang spekulatif tanpa perkiraan. Nmun
sesungguhnya pendidikan harus secara fundamental didasarkan atas asas-asa filosofis dan
ilmiah yang menjamin pencapian tujuan yakni meningkatkan perkembangan sosio-budaya
bahkan harkat dan martabat bangsa.

Menurut Jalaludin, filsafat pendidikan dapat diartikan sebagai kaidah filosofis dalam
bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan
menitik bertakan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercyaan yang menjadi dasar dari
filsafat umumdalam upaya memecahkan persoalan pendidikan secara praktis.

viii
Menurut Hasan Langgulung menyatakan bahwa Filsafat pendidikan adalah penerapan
metoda dan pandangan filsafat dalam bidang pengalaman manusia yang disebut pendidikan.
Filsafat pendidikan adalah mencari konsep-konsep yang dapat menyelaraskan gejala yang
berbeda-beda dalam pendidikan dan suatu rencana menyeluruh, menjelasakan istilah-istilah
pendidikan, mengajukan prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar tempat tegaknya
pernyataan-pernyataan khusus mengenai pendidikan dan menyingkapkan klasifikasi-
klasifikasi yang berhubungan antara pendidikan dan bidang-bidang kepribadian manusia.

Dari beberapa asumsi yang bersumber dari pengertian filsafat, pendidikan kemudian
membahas secara awal mengenai filsafat pendidikan maka dapatlah ditarik sebuah defenisi
yang luas dan mendalam bahwa filsafat pendidikan merupakan terapan dari llmu filsafat yang
memabahas mengenai seluk-beluk pendidikan dalam rangka enkulturasi kebudayaan yang
mampu menjawab segala permasalahan-permasalahan pendidikan dalam rangka menjawab
kebutuhan masyarakat menuju kemajuan bangsa.

Urgensi Filsafat terhadap pendidikan di Indonesia

Filsafat mengajarkan manusia, untuk berpikir secara holistik dengan menggunakan


berbagai sudut pandang, sebelum akhirnya membuat suatu keputusan, ini berarti tanggung
jawab merupakan suatu tanggung jawab dalam berfilsafat. Filsafat membantu menjamin agar
tujuan selalu menentukan pilihan-pilihan sarana, mempertajam dan menjelaskan seni, dan
menumbuhkan keterampilan. Tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan dalam diri
peserta didik kebebasan sehingga membentuk subjek moral yang bertanggung jawab. Ilmu
pengetahuan yang memungkinkan untuk menjelasakan, mengontrol, dan memprediksi tetap
mendasarkan diri pada ideal moral untuk mendidik para individu yang berkarakter, mandiri
dan mampu mengendalikan dirinya.

Mengapa ilmu pendidikan selalu mengandalkan filsafat sebagai landasan utama, karena
memang landasan filosofis sebagai landasan dasar akan membantu menjawab permasalahan-
permasalahan pendidikan yang menyangkut ranah antropologi, epistemik, dan politik.

Pertama lapis antropologis bertitik tolak dari pengandaian bahwa manusia adalah
makhluk yang memiliki potensi dan harus dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan
menjadi kekhasan manusia yang hidup dalam budaya dan bahasa. Bahsa yang menjadi
kekhasan manusia dibandingkan dengan makhuk lain. Pendidikan membantu manusia untuk
mengatur dirinya sendiri dan mengatur hubungannya dengan orang lain. Oleh sebab itu
kajian-kajian masyarakat secara kolektif dalam pendidikan perlu menjadi kajian utama,

ix
karena dalam masyarakat kolektif akan banyak timbul keinginan-keinginan setiap individu
yang akan berpadu, sehingga filsafat akan membantu pendidikan dalam menyelesaikan
masalah yang timbul akaibat permasalahan kolektif dari masyarakat tersebut.

Kedua, lapis epistemik menjadi penting karena masyarakat modern membawa kekhasan
analisis dan pertanyaan yang selalu timbul dalam benak mereka. Lapis epistemik
memperhitungkan keseluruhan pengetahuan atau struktur pemaknaan yang khas bagi suatu
kelompok masyarakat tertentu. Sebagian pendidikan berlangsung di sekolah. Sekolah tidak
bisa dipisahkan dari penggunaan metode, tapi subjek rasional harus tetap diperhitungkan
sebagai faktor utama dalam penyebaran dan penenrapan pengetahuan.

Dalam tingkat budaya yang lebih luas, struktur kognitif masyarakat akan lebih banyak
berbicara, sehingga sekolah sebagipenyelenggra pendidikan bukanlah sebuah pengajaran
yang absolut dalm melaksanakan pendidikan dan pengajaran, tetapi memerlukan diskusi yang
panjang melalui dari orang tua, guru, kepala sekolah, sampai kepada pemerintah. Dengan
demikian maka pendidikan akan dirasakan sebagai tanggung jawab bersama sebagai tanggung
jawab kolektif, sehingga pengawasan yang baik akan mendukung pelaksanaannya. Siswa
tidak lagi diibaratkan sebagi gelas kosong, tetapi lebih dari sekedar itu, siswa merupakan
aktor yang akan menentukan masa depannya, sekolah diharapkan hanya sebagai fasilitator
dalam megenbangkanketerampilan,bakat, minat, karakter anak dengan berdasarkan norma-
norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Ketiga disebut sebagi lapis politik karena pendidikan telah menjadi ranah dan bagian
politik pemerintahan, karena pendidikan utama diselenggarakan oleh negara, jelas dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan tentulah melewati kebijakan-kebijakan politik
terlebih dahulu. Hal itu merupakan hal yang wajar dalam tatanan masyarakat demokrasi
seperti Indonesia. Oleh sebab itu pada lapis politik ini pendidikan diharapkan akan
memungkinkan terlaksananya tiga unsur integrasi yaitu:

 Integrasi budaya budaya bangsa sebagai kesatuan politik


 Integrasi sosial karena berkat pendidikan sesorang bisa sukses di masyarakat
 Integrasi subjektif yang mendefinisikan nilai-nilai moral yang memungkinkan
setiap individu bisa mandiri sebagi makhluk sosial.

Ketiga integrasi ini menunjukkan bahwa kebahagiaan masyarakat bisa dicapai melalui
pendidikan. Pendidikan kemudian menjadi imperatif dan tidak bisa ditaawar lagi bagi suatu
bangsa. Dalam konteks ini, rumusan tentang kebutuhan dasar untuk belajar seperti

x
dideklarasikan dalam theworldconfrenceoneducationforall menjadi sangat berarti. Dalam
pernyataannya dikatakan:

Kebutuhan dasar belajar itu meliputi baik sarana belajar yang pokok (membaca/menulis,
kemampuan berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah) maupun isinya (pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap) yang diperlukan manusia agar bisa bertahan, untuk bisa
mengembangkan kemampuan-kemampuan secara penuh, hidup dan bekerja sesuai dengan
martabatnya, ambil bagian secara penuh dalam pembangunan, meningkatkan kualitas hidup
mereka, memperoleh informasi untuk kepuusan-keputusan mereka dan selalu belajar dan
bekelanjutan.

Betapa mulianya sebenarnya tujuan pendidikan yang diselenggrakan oleh negara,


karena negara menyadari bahwa individu-individu merupakan generasi penenrus yang tutut
mengemabngkan negara pada masa kini maupun yang akan datang. Menilik sejarah bahwa
sesungguhnya pendidikan di zaman dahulu aksesnya sangat terbatas, yang membedakan
manusia-manusia berdasarkan posisi-posisinya, distulah peran filsafat sebagai penyelaras
perbedaan, sehingga pendidikan untuk semua yang selaama ini menjadi slogan pendidikan,
bukan hanya slogan semata tetapi benar-benar terwujud dan dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat.

Filsafat adalh induknya semua ilmu pengetahuan, dengan sudut pandang yang
komprehensif yang disebut dengan hakikat. Artinya filsafat memandang setiap objek dari segi
hakikatnya. Sedangkan pendidikan adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang tujuan
utamanya adalah mengembangkan potensi individu sehingga mewujudkan pribadi yang
matang bukan hanya dari sisi akademis juga sisi mentalitas yang mampu mandiri dan
mengendaikan diri. Jadi jelaslah bahwa filsafat pendidikan memandang persoalan sentral
berupa hakikat pematangan manusia. Tradisi filsafat adalah selalu berpikir dialektis dari
tingkat metafisis, teoritis, sampai pada tingkat praktis. Tingkat metafisis disebut aspek
ontologi, tingkat teoritis disebut epistimologi, dan tingkat praktis disebut aspek aksiologi.

Jika diterapakan pada kegiatan pendidikan, aspek ontologi adalah proses pendidikan
dengan penenkanan pada pendirian filsafat hidup, suatu pandangan hidup yang dijiwai dengan
nilai keluhuran budaya dan nilai-nilai moral budaya. Dari filsafat hidup tersebut, diharapkan
adanya pertumbuhan dan perkembangan kematangan spritual dan emosional setiap diri
individu.

xi
Aspek epistimologi pendidikan menekankan sistem kegiatan pendidikan pada
pembentukan sikap ilmiah, suatu yang dijiwai oleh nilai kebenaran, dari sikap ilmiah itu,
diharapkan adanya pertumbuhan dan perkembangan kematangan intelektual, berupa
kreativitas dan keterampilan hidup. Sedangkan aspek aksiologi pendidikan menekankanpada
sistem kegiatan pada pengembangan perilaku dan tanggung jawab, suatu perilaku yang
dijiwai dengan nilai keadilan. Dan akan memberikan manfaat bukan hanya kepada individu
itu sendiri tetapi lebih jauh kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Ketiga taraf sistem pendidikan tersebut saling berhubungan antara satu aspek dengan
yang lainnya secara kausalistik. Aspek ontologi mendasari aspek epistimologi, dan aspek
epistimologi memberikan jalan atau metode kepada aspek aksiologi yang menhasilkan produk
dari pendidikan, yaitu individu yang matang dan dewasa dalam kepribadiannya.

Selanjutnya dapat diasumsikan bahwa jika paradigma filosofi pendidikan tersebut


dipergunakan sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia baik di dalam
keluarga, sekolah, maupun dalam kehidupan masyarakat, dapat diharapkan kehidupan
masyarakat bisa meliputi nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kearifan loka, spritual keagamaan
dalam bingkai pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian maka sudah bisa dipastikan
pendidikan di Indonesia akan menjadi sebuah model pendidikan yang khas dan sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri.

1.4. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan

Dalam berbagai bidang ilmu sering kita dengar istilah vertikal dan horisontal. Istilah ini
juga akan terdengar pada cabang filsafat bahkan filsafat pendidikan.

Antara filsafat dan pendidikan terdapat hubungan horisontal, meluas kesamping yaitu
hubungan antara cabang disiplin ilmu yang satu dengan yang lain yang berbeda-beda,
sehingga merupakan synthesa yang merupakan terapan ilmu pada bidang kehidupan yaitu
ilmu filsafat pada penyesuaian problema-problema pendidikan dan pengajaran. Filsafat
pendidikan dengan demikian merupakan pola-pola pemikiran atau pendekatan filosofis
terhadap permasalahan bidang pendidikan dan pengajaran.

Adapun filsafat pendidikan menunjukkan hubungan vertikal, naik ke atas atau turun ke
bawah dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain, seperti pengantar pendidikan,
sejarah pendidikan, teori pendidikan, perbandingan pendidikan dan puncaknya filsafat

xii
pendidikan. Hubungan vertikal antara disiplin ilmu tertentu adalah hubungan tingkat
penguasaan atau keahlian dan pendalaman atas rumpun ilmu pengetahuan yang sejenis.

Maka dari itu, filsafat pendidikan sebagai salah satu bukan satu-satunya ilmu terapan
adalah cabang ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada penerapan pendekatan
filosofis pada bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup dan
penghidupan manusia pada umumnya dan manusia yang berpredikat pendidik atau guru pada
khususnya.

Dalam buku filsafat pendidikan karangan Prof. Jalaludin dan Drs. Abdullah Idi
mengemukakan bahwa Jhon S. Brubachen mengatakan hubungan antara filsafat dan
pendidikan sangat erat sekali antara yang satu dengan yang lainnya. Kuatnya hubungan
tersebut disebabkan karena kedua disiplin tersebut menghadapi problema-problema filsafat
secara bersama-sama.

Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan, yaitu sebagai berikut :

 Filsafat, dalam arti filosofis merupakan satu cara pendekatan yang dipakai dalam
memecahkan proplematika pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikan oleh para
ahli.
 Filsafat, berfungsi member arah bagi teori pendidikan yang telah ada menurut aliran
filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata.
 Filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan
petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu
pendidikan (paedagogik).
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan,  bahwa antara filsafat pendidikan dan
pendidikan terdapat hubungan yang erat sekali dan tak terpisahkan. Filsafat pendidikan
mempunyai peranan yang amat penting dalam suatu system pendidikan karena filsafat
merupakan pemberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan
kemajuan dan landasan kokoh bagi tegaknya system pendidikan.

xiii
1.5.  Pandangan Filsafat Tentang Pendidikan

Filsafatmempunyai pandangan hidup yang menyeluruh dan sistematis sehingga


menjadikan manusis berkembang, maka hal semacam ini telah dituangkan dalam sistem
pendidikan, agar dapat terarah untuk mencapai tujuan pendidikan. Penuangan pemikiran ini
dituangkan dalam bentuk kurikulum. Dengan kurikulum itu sistem pengajaranya dapat
terarah, lebih dapat mempermudah para pendidik dalam menyusun pengajaran yang akan
diberikan peserta didik.

Untuk merealisasikan pandangan filsafat tentang pendidikan terdapat beberapa unsur


yang akan menjadi tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut, yaitu antara lain :

a. Dasar dan Tujuan Pendidikan

Dasar pendidikan yaitu suatu aktifitas untuk mengembangkan dalam bidang pendidikan
dan pengembangan kepribadian, tentunya pendidikan memerlukan landasan kerja untuk
memberi arah bagi programnya. Sebab dengan adanya dasar juga dapat berfungsi sebagai
semua sumber peraturan yang akan dicitakan sebagai pegangan hidup dan pegangan langkah
pelaksanaan dan langkah jalur yang menentukan. Tujuan pendidikan dapat diuraikan menjadi
4 macam, yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan Pendidikan Nasional


Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).
2. Tujuan Intitusional.

Adalah perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuan yang harus
dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.

3. Tujuan Kurikuler

Adalah perumusan pola perilaku dan pola kemampuan serta keterampilan yang harus
dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.

xiv
4. Tujuan Instruksional

Adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh peserta didik
sesudah ia menyelesaikan kegiatan instruksional yang bersangkutan.

b.  Pendidik dan Peserta didik

Pendidik merupakan individu yang manpu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu
situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan peserta didik adalah anak
yang sedang tumbuh dan berkembang baik ditinjau dari segi fisik maupun segi perkembangan
mental.

Setiap anak memiliki pembawaan yang berlainan. Karena itu pendidik wajib senantiasa
berusaha untuk mengetahui pembawaan masing-masing anak didiknya, agar layanan
pendidikan yang diberikan sesuai dengan keadaan pembawaan masing-masing.

c. Kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Pasal 1 butir 19 UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Tujuan pendidikan yang ingin dicapai itulah yang
menentukan kurikulum dan isi pendidikan yang diberikan. Dengan kurikulum dan isi
pendidikan inilah kegiatan pendidikan itu dapat dilaksanakan secara benar seperti apa yang
telah dirumuskan..

Hubungan kurikulum dengan pandangan filsafat adalah dalam bentuk kurikulum yang
dilaksanakan. Adapun salah satu tugas pokok dari filsafat adalah memberikan arah dari
tujuan pendidikan. Suatu tujuan pendidikan yang hendak dicapai itu haruslah direncanakan
(diprogramkan) dalam apa yang disebut kurikulum.

d. Sistem Pendidikan

Pendidikanmerupakan salah satu usaha yang sengaja dan terencana untuk


membantuperkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi
kepentinganhidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat,
denganmemilih isi (materi),srategi kegiatan dan tekdik penilaian yang sesuai. Sistem
pendidikan merupakan suatu alat, pendidikan merupakan suatu aplikasi dari kebudayaan,

xv
yang posisinya itu tidak netral melainkan selalu bergantung pada siapa dan bertujuan apa
pendidikan itu dilaksanakan.

Adapun hubungan filsafat pendidikan dengan sistem pendidikan yaitu :

 Bahwa sistem pendidikan bertugas merumuskan alat-alat, prasarana, pelaksanaan


teknik-teknik dan atau pola-pola proses pendidikan dan pengajaran yang makna
akan dicapai akan dicapai dan dibina tujuan-tujuan pendidikan, dan ini meliputi
proplematika kepemimpinan dan metode pendidikan, politik, sampai seni
pendidikan (The Art ofEducation).
 Isi moral atau pendidikan adalah berupa perumusan norma-norma atau nilai
spiritual etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan atau merupakan konsepsi
dasar moral pendidikan, yang derlaku segala jenis dan tingkat pendidikan.
 Filsafat pendidikan sebagai suatu sumber lapangan studi bertugas mwrumeskan
secara normatif dasar-dasar dan tujuan pendidikan, hwkikat dan sifat hakikat
manusia, hakikat dan segi-segi pendidikan, isi moral pendidikan, sistem pendidikan
yang meliputi politik kependidikan, kepemimpinan pendidikan dan metodologi
pengajaranya, pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan
masyarakat.

1.6. Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan


Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaarfilsafah keilmuan terkait dalam arti dasar
ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.

a. Dasar ontologis ilmu pendidikan.

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan
ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia
yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai
makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik
(goodcitizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

xvi
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu
pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan.
Didalamsituiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh
saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar
mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan
tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi
yang menjadi syarat mutlak (conditiosinequa non) bagi terlaksananya mendidik dan
mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro.

Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh
memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor
umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh
demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang
(themissinglink) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan
egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya
hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi
jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

b. Dasar epistemologis ilmu pendidikan

Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan
data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek
formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin
stuiempirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat
kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh
pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena
penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan&Biklen, 1982)
melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan
maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan
seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan
penelitian expost facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa

xvii
dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan
ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom
yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat
hnyamenggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell& Stanley,
1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

c. Dasar aksiologis ilmu pendidikan

Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya
bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktekmmelalui kontrol terhadap
pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis
antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagipedagok. Dalam hal ini relevan
sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan
oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh
pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih
di Indonesia.

Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada
ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu
terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

d. Dasar antropologis ilmu pendidikan

Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik
sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan
kepada pihak yang belakangan dalaamupaayanyabelajr mencapai kemandirian dalam batas-
batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat
dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2)

xviii
individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia
pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem
pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu
(4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro
berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

1.7. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

a. Implikasi Bagi Guru

Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka


filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja
professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan
dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang
tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru
juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan
cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu
menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada
gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik
tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena
itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka
penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang
dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian
tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan
behavioral secara berlebihan.

Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan
pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan
pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara
keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan
pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan
dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat

xix
transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga
kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur
kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik
untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learningto Be, Fauredkk,
1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat
belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama
semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal


hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam
masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai
tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus
menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk
penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan,
tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan
martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa,
karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat.
Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang
diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka
gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi
personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik
yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya,
maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka,
pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki
sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan
penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan
pembudayaan manusia.

2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori
tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita
masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatuprasaratnya yaitu
teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita

xx
masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan
pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan
bangunan dasarnya.

Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum
ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang
dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan
sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa
belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang
lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang
menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan;
ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang
memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing
dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas
memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di
implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan
guru dan tenaga kependidikan yang efektif.

Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang
memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan
program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan
tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan
civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang
diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian
ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu
yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti
telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi
filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi
program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud
merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun
didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun
dari serangan-serangan konseptual.

xxi
BAB II

PENUTUP

2.1. Kesimpulan

Filsafat pendidikan adalah mencari konsep-konsep yang dapat menyelaraskan gejala


yang berbeda-beda dalam pendidikan dan suatu rencana menyeluruh, menjelasakan istilah-
istilah pendidikan, mengajukan prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar tempat tegaknya
pernyataan-pernyataan khusus mengenai pendidikan dan menyingkapkan klasifikasi-
klasifikasi yang berhubungan antara pendidikan dan bidang-bidang kepribadian manusia.

Filsafat pendidikan akan menjiwai seluruh pelaksanaan pendidikan di Indonesia,


terutama menyangkut falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945. Oleh
sebab itu penyelenggraan pendidikan di Indonesia tetap akan berlandaskan pada kedua hal
tersebut. Dan filsafat pendidikan lahir untuk menjawab permasalahan-permasalahan
pendidikan yang timbul dalam pelaksanaannya baik menyangkut desain kurikulum,
pembelajaran, penyampaian guru. Semua itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi
pelaksanaan pendidikan terkhusus di Indonesia.

Hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan. Antara filsafat dan pendidikan
terdapat hubungan horisontal, meluas kesamping yaitu hubungan antara cabang disiplin ilmu
yang satu dengan yang lain yang berbeda-beda, sehingga merupakan synthesa yang
merupakan terapan ilmu pada bidang kehidupan yaitu ilmu filsafat pada penyesuaian
problema-problema pendidikan dan pengajaran. Filsafat pendidikan dengan demikian
merupakan pola-pola pemikiran atau pendekatan filosofis terhadap permasalahan bidang
pendidikan dan pengajaran.

Pandangan filsafat tentang pendidikan. Filsafat mempunyai pandangan hidup yang


menyeluruh dan sistematis sehingga menjadikan manusis berkembang, maka hal semacam ini
telah dituangkan dalam sistem pendidikan, agar dapat terarah untuk mencapai tujuan
pendidikan. Penuangan pemikiran ini dituangkan dalam bentuk kurikulum. Dengan
kurikulum itu sistem pengajaranya dapat terarah, lebih dapat mempermudah para pendidik
dalam menyusun pengajaran yang akan diberikan peserta didik.

xxii
Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan. Dasar-dasaarfilsafah keilmuan terkait dalam arti
dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan antara lain:
Implikasi Bagi Guru. Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan
guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai
pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus
dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin
kompetensi seorang tukang.

Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan. Tidaklah berlebihan


kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru
dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja
menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatuprasaratnya yaitu teori tentang
pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum
berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan
pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan
dasarnya.

2.2. Saran

Pendidikan di Indonesia dalam pelaksanaan, hendaknya selalu berpedoman pada


filsafat bangsa Indonesia, yaitu Pancasila agar pendidikan Indonesia dapat berhasil seperti
Negara-negara yang telah Berjaya dalam bidang pendidikan.

xxiii
DAFTAR PUSTAKA

A. Chaedar Al wasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2008)

Dinn Wahyudin Dkk, Pengantar Pendidikan, (Jakarta:UT, 2005)

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utamam, 2010)

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)

Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Malang:1984)

Prayitno, Konseling Integritas, (Padang: UNP)

Soetrisno, Dkk, Filsafat Ilmu Dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007)

Suhartono Suparlan, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)

Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2012)

Bernadib. 1987. Filsafat Pendidikan/ Sistem dan Metode. IKIP Yogyakarta.

Jalaluddin dan Abdullah, Idi. 2002. Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jakarta: Gaya Media Pratama.

2006. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aanchoto. 2010. Filsafat Pendidikan dan perspektif Islam.a Diakses pada


situshttp://aanchoto.com/2010/06/filsafat-pendidikan-dan-perspektif-islam/ tanggal 4
Maret 2011.

Massofa. 2008. Peranan Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan.


Diakses pada situs  

xxiv

Anda mungkin juga menyukai