PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan asap merupakan salah satu produk pengolahan yang banyak disukai
oleh masyarakat Indonesia termasuk Sulawesi Utara. Pengolahan ikan asap
sebenarnya telah lama dikenal karena teknik pengolahannya yang tradisional,
sederhana, mudah dibuat serta biayanya yang bisa dijangkau. Proses pengasapan
ikan merupakan kombinasi dari dua jenis pengawetan yaitu pengawetan akibat
panas asap yang diberikan serta pengawetan oleh asap-asap yang mengendap ke
dalam ikan (Mandeno dan Kaim. 2015).
Salah satu produk olahan ikan yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe
adalah produk olahan ikan asap yang disebut dengan Pinekuhe yang dibuat dari
ikan layang (Decapterus ruselli) (Palawe et al. 2014). Ikan asap pinekuhe
merupakan ikan asap yang berbahan baku ikan layang (Decapterus russelli)
(Mandeno, 2014). Bentuk Ikan asap pinekuhe sangat unik, yaitu dengan cara
ditekuk dan dilipat (Karimela et al. 2013). Ikan pinekuhe berdasarkan data empiris
memiliki masa simpan yang cenderung singkat (2 sampai 3 hari), sehingga perlu
dilakukan upaya untuk mempertahankan masa simpan dengan cara proses
pengcoatingan dengan larutan chitosan.
Menurut Wulandari et al. (2015) edible coating dari chitosan merupakan
lapisan tipis yang dapat diterapkan secara langsung pada makanan atau dibuat
menjadi edible film yang kemudian digunakan untuk melapisi permukaan
makanan. Menurut Cahyono et al (2018) mekanisme utama penggunaan edible
coating dari chitosan yaitu meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa
simpan, penghalang terhadap oksigen dan air sehingga menekan pertumbuhan
bakteri dan jamur. Pengujian bakteri dan jamur memerlukan waktu yang cukup
lama dalam penentuan hasil sehingga perlu dilakukan pengujian secara visual
untuk menentukan estimasi masa simpan ikan pinekuhe yang telah terkontaminasi
oleh jamur melalui penampakan secara visual (gambar).
1
1.2 Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan III untuk mengetahui kenampakan
secara visual dan mutu organoleptik ikan pinekuhe asap yang dicoating dengan
chitosan selama penyimpanan 14 hari.
1.3 Manfaat
Larutan chitosan dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan ikan
asap pinekuhe selama 14 hari.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikan dan Morfologi Ikan Layang
Menurut Froese dan Pauly (2018), Klasifikasi ikan layang (Decapterus
russelli) adalah sebagai berikut:
Phyllum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Divisi : Perciformes
Sub divisi : Carangi
Familia : Carangidae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus russelli
Menurut Iksan dan Irham (2009) ikan layang (Decapterus russelli) pada
bagian punggungnya biru kehijauan dan putih perak pada bagian perut. Bentuk
tubuh memanjang dengan panjang total terkecil adalah 211 mm dengan bobot
101,8 gram dan untuk ikan betina dengan panjang 215 mm dengan bobot 113,5
gram. Panjang total terbesar ikan jantan 311 mm dengan bobot 288,3 gram dan
betina 315 mm dengan bobot 307,5 gram. Ikan layang memiliki dua sirip
3
punggung selain sirip yang ada pada umumnya, memiliki sirip tambahan
dibelakang sirip punggung dan dibelakang sirip dubur serta memiliki finlet yang
merupakan ciri khas dari genus Decapterus.
3.3 Chitosan
Chitosan merupakan polimer yang tersusun dari beberapa monomer-
monomer glukosamin yang dapat diperoleh dengan cara ekstraksi chitin. Chitosan
umumnya tidak larut dalam air tetapi sedikit larut dalam asam clorida dan asam
nitrat serta larut baik dalam asam asetat (Cahyono 2018). Menurut Lalenoh dan
Cahyono (2018) chitosan terdiri dari unit N-asetiglukosamin yang memiliki gugus
reaktif amino pada atom C-2 dan gugus karboksil pada atom C-3 dan C-6.
Chitosan dapat diaplikasikan lebih lanjut dalam bidang pangan maupun
nonpangan seperti sebagai antibakteri (Cahyono et al. 2018), sebagai edible
coating (Wulandari et al. 2015), dan chitosan sebagai anti jamur (Pratama 2013).
4
BAB III
METODE PRAKTEK
2. Proses Penyiangan
Ikan yang sudah melalui proses pencucian pertama, selanjutnya dilakukan
proses penyiangan. Proses penyiangan dapat dilihat pada Gambar 3.
5
Gambar 3. Proses penyiangan.
3. Proses Pembentukan
Proses pertama diawali dengan membela ikan dibagian punggung sampai
bagian kepala. Setelah ikan sudah terbela, ikan ditekuk kebawah dan ekornya
dimasukkan kedalam overculum. Proses pembentukan dapat dilihat pada
Gambar 4.
1 2 3
6
5. Proses pengasapan
Menurut Bawinto et al (2015) pengasapan dilakukan selama 4-5 jam, yang
dilakukan didalam lemari asap/rumah asap agar memperoleh aroma yang
khas dari ikan pinekuhe dan mengawetkannya. Bahan yang digunakan yaitu
tempurung kelapa. Proses pengasapan dapat dilihat pada Gambar 6.
6. Proses Pendinginan
Setelah ikan pinekuhe masak, ikan pinekuhe didinginkan selama 1 jam.
Proses pendinginan ikan pinekuhe dapat dilihat pada Gambar 7.
7
Diagram alir proses pembuatan ikan asap pinekuhe yang dicoating dengan
larutan chitosan dapat dilihat pada Gambar 8.
Ikan Layang
Proses Pencucian
Proses Penyiangan
Proses Pembentukan
Proses Penyusunan
Proses Pengasapan
Proses Pendinginan
Ikan Pinekuhe
Proses Pengcoatingan
Pengamatan Visual
Penyimpanan Organoleptik
8
Proses Pembuatan Larutan Chitosan
Proses pembuatan larutan chitosan diawali dengan menimbang sebanyak
50 gram serbuk chitosan yang dilarutkan dalam asam asetat 500 mL pada
konsentrasi asam asetat 1%. Tahap perhitungan dari pembuatan larutan
konsentrasi chitosan sebagai berikut
10
Cara perhitungan : x 500=50 gram
100
Tahap Pengcoatingan
Tahap Pengcoatingan ikan pinekuhe dengan menggunakan larutan
chitosan dengan konsentrasi 0,5%, 1,5%, 2,5% dan 3,5%. Larutan chitosan dalam
wadah beker gelas ukuran 1000 mL pada dimasing-masing konsentrasi larutan
chitosan,, kemudian ikan pinekuhe direndam dalam larutan chitosan selama 1
menit. Perendaman ini bertujuan untuk membungkus atau mengcoating ikan
pinekuhe. Ikan pinekuhe selanjutnya dikeringkan menggunakan oven dengan suhu
50oC selama 15 menit sampai mengering.
Organoleptik
9
dan pendengaran. Melalui hasil pengujian organoleptik, akan diketahui daya
penerimaan panelis (konsumen) terhadap suatu produk. Dalam organoleptik,
menggunakan spesifikasi kenampakan, bau, rasa, tekstur, jamur dan lendir.
Schore sheet pengujian organoleptik dapat dilihat pada Tabel 1.
10
3.4 Analisis Data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan analisis Deskriptif
kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan hasil penelitian yang menggambarkan
atau melukiskan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagamana adanya. Data ini umumnya disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.
11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
H-0 UKM H-0 : K 0 % H-0 : K 0,5 % H-0 : K 1,5% H-0 : K 2,5 % H-0 : K 3,5 %
H-1 UKM H-1 : K 0 % H-1 : K 0,5 % H-0 : K 1,5 % H-1 : K 2,5 % H-1 : K 3,5 %
H-2 UKM H-2 : K 0 % H-2 : K 0,5 % H-2 : K 1,5% H-2 : K 2,5 % H-2 : K 3,5 %
12
H-4 : K 0 % H-4 : K 0,5 % H-4 : K 1,5% H-4 : K 2,5 % H-4 : K 3,5 %
13
H-9 : K 0 % H-9 : K 0,5 % H-9 : K 1,5% H-9 : K 2,5 % H-9 : K 3,5 %
14
Berdasarkan pengamatan secara visual pada hari ke-0, ikan pinekuhe yang
dicoating dengan larutan chitosan untuk kesemua konsentrasi belum mengalami
penjamuran. Untuk hari ke 1 dan 2 ikan pinekuhe hasil UKM sudah mengalami
penjamuran sedangkan ikan yang dicoating dengan larutan belum mengalami
penjamuran. Pada pengamatan hari ke-11, ikan pinekuhe yang dicoating larutan
chitosan pada konsentrasi 0%, 0,5%, dan 1,5% mengalami penjamuran. Pada
pengamatan hari ke-12 sampai hari ke-14 ikan pinekuhe yang dicoating dengan
konsentrasi 2,5% dan 3,5% belum mengalami penjamuran. Menurut Andreas
(2016) suhu optimum untuk pertumbuhan jamur pada suhu 25 oC dan tidak dapat
tumbuh pada suhu lebih dari 37 oC. Tidak bertumbuhnya jamur dikarenakan
chitosan sebagai edible coating memiliki kemampuan sebagai anti bakteri
sehingga dapat menghambat pertumbuhan jamur. Menurut Cahyono et al. (2018)
men yatakan bahwa konsentrasi larutan chitosan 1,25% mampu membunuh
bakteri sebanyak 2,2 x 102 CFU/gr. Menurut Cahyono (2018) chitosan secara
alami memiliki bahan bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
dimana chitosan memiliki gugus amina yang bermuatan positif dan dinding sel
bakteri yang bermuatan negatif sehingga dapat membunuh bakteri.
15
4.2 1 Penilaian Organoleptik Hari ke-0
Penilaian organoleptik pada ikan asap pinekuhe yang dicoating dengan
larutan chitosan pada hari ke-0 dapat dilihat pada Gambar 10.
10
8.84
999999 999999
8.69
8.53
8.38
8.38
8.38
9
8.23
8.23
8.07
8.07
7.92
7.92
7.92
7.76
7.76
7.67
7.61
7.61
7.61
7.46
7.46
8 7.3
7 UKM
6.35
7
0%
Presentasi (%)
6
0,5%
5
1,5%
4
2,5%
3 3,5%
2
1
0
Kenampakan Bau Rasa Tekstur Jamur Lendir
Mutu Organoleptik
16
4.2 2 Penilaian Organoleptik Hari ke-7
Organoleptik pada ikan asap pinekuhe yang dicoating dengan larutan
chitosan pada hari ke-7 dapat dilihat pada Gambar 11.
10
9999 9999
8.53
9
8.23
8.23
8.23
9
8.07
7.93
8.07
8.07
8.07
8.07
8.07
8.07
7.92
7.92
7.92
7.92
7.76
7.76
7.46
8 7.46
7 0%
Persentasi (%)
6 0,5%
5 1,5%
4 2,5%
3 3,5%
2
1
0
Kenampakan Bau Rasa Tekstur Jamur Lendir
Mutu Organoleptik
17
Wulandari et al (2015) edible coating dari chitosan memiliki kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri sehingga produk yang dicoating tidak cepat
mengalami pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan produk dengan yang tidak
dicoating dengan larutan chitosan.
9.2
9 9 9 9
9
8.8
8.6
8.38
8.38
Persentasi (%)
8.4
8.23
8.23
8.07
8.07
8.2
7.92
7.92
8 2,5%
3,5%
7.8
7.6
7.4
7.2
Kenampakan Bau Rasa Tekstur Jamur Lendir
Mutu Organoleptik
18
Hal ini dikarenakan ikan asap pinekuhe yang dicoating pada konsentrasi tersebut
memiliki kemampuan terbaik dalam mempertahankan mutu organoleptik seperti
kenampakan, bau, rasa, dan tekstur hampir serupa dengan ikan asap yang baru
dibuat. Wulandari et al (2015) edible coating dari chitosan memiliki kemampuan
dalam menekan pertumbuhan bakteri sehingga produk yang dicoating tidak cepat
mengalami pertumbuhan bakteri.
19
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan Praktek Kerja Lapangan III dapat
disimpulkan bahwa:
5.2 Saran
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan melakukan pengujian proksimat,
Total Plate Count (TPC), kapang dan kamir, uji fenol, uji TAR dan PAH
(Policyclic Aromatic Hydrocarbon).
20
DAFTAR PUSTAKA
Bawinto A,. Mongi E,. Kaseger B. 2015. Analisa Kadar Air, pH, Organoleptik,
dan Kapang pada Produk Ikan Tuna (Thunnus Sp) Asap, di Kelurahan
Girian Bawah, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Teknologi Hasil Perikanan
FPIK Unsrat Manado. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 3 (2).
Cahyono E,. Wodi S,. Kota N. 2018. Aplikasi Kitosan Kulit Udang Windu
(Panaeus monodon) sebagai Pengawet Alami pada Tahu. Teknologi
Pengolahan Hasil Laut, Politeknik Negeri Nusa Utara. Jurnal Ilmiah
Tindalung. 4 (1): 41-44.
Iksan dan Irham. 2009. Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Layang Biru
(Decapterus macarellus) di Perairan Maluku Utara. Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Khairun. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9 (2): 163-174.
21
Palawe F. J,. Mandey C. L,. Suwetja K. L. 2014. Karakteristik Mutu Mikrobiologi
Ikan Pinekuhe Kabupaten Kepulauan Sangihe. Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Universitas Sam Ratulangi Manado. 2 (1).
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2013. Ikan Asap dengan Pengasapan Panas.
Jakarta. Badan Standardisasi Nasional.
Wulandari K,. Sulistijowati R,. Mile L. 2015. Kitosan Kulit Udang Vaname
Sebagai Edible Coating pada Bakso Ikan Tuna. Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas dan Ilmu Kelautan, Unversitas Negeri Gorontalo. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan. 3 (3).
22
LAMPIRAN
23