Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ikan asap merupakan salah satu produk pengolahan yang banyak disukai
oleh masyarakat Indonesia termasuk Sulawesi Utara. Pengolahan ikan asap
sebenarnya telah lama dikenal karena teknik pengolahannya yang tradisional,
sederhana, mudah dibuat serta biayanya yang bisa dijangkau. Proses pengasapan
ikan merupakan kombinasi dari dua jenis pengawetan yaitu pengawetan akibat
panas asap yang diberikan serta pengawetan oleh asap-asap yang mengendap ke
dalam ikan (Mandeno dan Kaim. 2015).
Salah satu produk olahan ikan yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe
adalah produk olahan ikan asap yang disebut dengan Pinekuhe yang dibuat dari
ikan layang (Decapterus ruselli) (Palawe et al. 2014). Ikan asap pinekuhe
merupakan ikan asap yang berbahan baku ikan layang (Decapterus russelli)
(Mandeno, 2014). Bentuk Ikan asap pinekuhe sangat unik, yaitu dengan cara
ditekuk dan dilipat (Karimela et al. 2013). Ikan pinekuhe berdasarkan data empiris
memiliki masa simpan yang cenderung singkat (2 sampai 3 hari), sehingga perlu
dilakukan upaya untuk mempertahankan masa simpan dengan cara proses
pengcoatingan dengan larutan chitosan.
Menurut Wulandari et al. (2015) edible coating dari chitosan merupakan
lapisan tipis yang dapat diterapkan secara langsung pada makanan atau dibuat
menjadi edible film yang kemudian digunakan untuk melapisi permukaan
makanan. Menurut Cahyono et al (2018) mekanisme utama penggunaan edible
coating dari chitosan yaitu meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa
simpan, penghalang terhadap oksigen dan air sehingga menekan pertumbuhan
bakteri dan jamur. Pengujian bakteri dan jamur memerlukan waktu yang cukup
lama dalam penentuan hasil sehingga perlu dilakukan pengujian secara visual
untuk menentukan estimasi masa simpan ikan pinekuhe yang telah terkontaminasi
oleh jamur melalui penampakan secara visual (gambar).

1
1.2 Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan III untuk mengetahui kenampakan
secara visual dan mutu organoleptik ikan pinekuhe asap yang dicoating dengan
chitosan selama penyimpanan 14 hari.

1.3 Manfaat
Larutan chitosan dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan ikan
asap pinekuhe selama 14 hari.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikan dan Morfologi Ikan Layang
Menurut Froese dan Pauly (2018), Klasifikasi ikan layang (Decapterus
russelli) adalah sebagai berikut:
Phyllum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Divisi : Perciformes
Sub divisi : Carangi
Familia : Carangidae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus russelli

Gambar 1. Ikan Layang (Decapterus russelli)


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Menurut Iksan dan Irham (2009) ikan layang (Decapterus russelli) pada
bagian punggungnya biru kehijauan dan putih perak pada bagian perut. Bentuk
tubuh memanjang dengan panjang total terkecil adalah 211 mm dengan bobot
101,8 gram dan untuk ikan betina dengan panjang 215 mm dengan bobot 113,5
gram. Panjang total terbesar ikan jantan 311 mm dengan bobot 288,3 gram dan
betina 315 mm dengan bobot 307,5 gram. Ikan layang memiliki dua sirip

3
punggung selain sirip yang ada pada umumnya, memiliki sirip tambahan
dibelakang sirip punggung dan dibelakang sirip dubur serta memiliki finlet yang
merupakan ciri khas dari genus Decapterus.

2.2 Ikan Pinekuhe


Ikan pinekuhe merupakan sebutan dalam bahasa Sangihe yang ditujukan
pada ikan layang (Decapterus ruselli) yang dibentuk dengan cara dilipat dan
ditekuk hingga menyerupai bentuk kodok. Ikan pinekuhe banyak ditemukan di
Pasar lokal Sangihe (Karimela et al, 2013). Ikan pinekuhe merupakan salah satu
turunan dari produk ikan asap. Proses pengasapan ikan pinekuhe dengan
menggunakan metode pengasapan panas. Waktu pengasapan ikan pinekuhe yang
ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe berkisar antara 1 sampai 2 jam. Berdasarkan
penelitian Mandeno dan Kaim (2015) bahwa dalam proses pengasapan ikan
pinekuhe menggunakan metode pengasapan panas dengan suhu 70 sampai 80 oC
selama kurang lebih 4 jam.

3.3 Chitosan
Chitosan merupakan polimer yang tersusun dari beberapa monomer-
monomer glukosamin yang dapat diperoleh dengan cara ekstraksi chitin. Chitosan
umumnya tidak larut dalam air tetapi sedikit larut dalam asam clorida dan asam
nitrat serta larut baik dalam asam asetat (Cahyono 2018). Menurut Lalenoh dan
Cahyono (2018) chitosan terdiri dari unit N-asetiglukosamin yang memiliki gugus
reaktif amino pada atom C-2 dan gugus karboksil pada atom C-3 dan C-6.
Chitosan dapat diaplikasikan lebih lanjut dalam bidang pangan maupun
nonpangan seperti sebagai antibakteri (Cahyono et al. 2018), sebagai edible
coating (Wulandari et al. 2015), dan chitosan sebagai anti jamur (Pratama 2013).

3.4 Edible Coating


Edible coating merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat
dimakan. Edible coating dapat dibuat dari berbagai bahan termasuk polisakarida,
protein dan lipid. Coating dapat diterapkan secara langsung untuk bahan makanan
atau dibuat menjadi edible film (Wulandari et al. 2015), diaplikasikan dalam
bidang sayuran (Anggara at al. 2015) dan dalam bidang buah-buahan (Ribeiro dan
Miranda 2006).

4
BAB III
METODE PRAKTEK

3.1 Waktu dan Tempat


Praktek Kerja Lapangan III dilaksanakan pada bulan April sampai bulan
Mei minggu pertama 2019, bertempat di Laboratorium Jurusan Perikanan dan
Kebaharian Politeknik Negeri Nusa Utara.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam pembuatan ikan asap pinekuhe yaitu pisau,
telenan, lemari pengasapan,. Bahan yang digunakan yaitu ikan layang yang dibeli
di Pasar Towo, sabut kelapa, tempurung kelapa, chitosan, aquades, dan asam
asetat.

3.3 Tahapan Praktek


Pembuatan Ikan Pinekuhe
1. Pencucian Pertama
Ikan yang digunakan yaitu ikan layang (Decapterus russelli) terlebih dahulu
dicuci dan diletakkan dalam wadah yang berisi es yang telah dihaluskan.
Proses pencucian dengan menggunakan air dingin (air dan es). Proses
pencucian pertama dapat dilihat dalam Gambar 2.

Gambar 2. Proses pencucian pertama

2. Proses Penyiangan
Ikan yang sudah melalui proses pencucian pertama, selanjutnya dilakukan
proses penyiangan. Proses penyiangan dapat dilihat pada Gambar 3.

5
Gambar 3. Proses penyiangan.

3. Proses Pembentukan
Proses pertama diawali dengan membela ikan dibagian punggung sampai
bagian kepala. Setelah ikan sudah terbela, ikan ditekuk kebawah dan ekornya
dimasukkan kedalam overculum. Proses pembentukan dapat dilihat pada
Gambar 4.

1 2 3

Gambar 4. Proses pembentukan


4. Proses Penyusunan
Penyusunan ikan pinekuhe dilakukan secara rapi dan berjarak, agar dalam
proses pengasapan ikan tidak menempel antara ikan yang satu dengan yang
lain. Proses penyusunan ikan pinekuhe dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses penyusunan

6
5. Proses pengasapan
Menurut Bawinto et al (2015) pengasapan dilakukan selama 4-5 jam, yang
dilakukan didalam lemari asap/rumah asap agar memperoleh aroma yang
khas dari ikan pinekuhe dan mengawetkannya. Bahan yang digunakan yaitu
tempurung kelapa. Proses pengasapan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses pengasapan.

6. Proses Pendinginan
Setelah ikan pinekuhe masak, ikan pinekuhe didinginkan selama 1 jam.
Proses pendinginan ikan pinekuhe dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses Pendinginan.

7
Diagram alir proses pembuatan ikan asap pinekuhe yang dicoating dengan
larutan chitosan dapat dilihat pada Gambar 8.

Ikan Layang

Proses Pencucian

Proses Penyiangan

Proses Pembentukan

Proses Penyusunan

Proses Pengasapan

Proses Pendinginan

Ikan Pinekuhe

Proses Pengcoatingan

Pengamatan Visual
Penyimpanan Organoleptik

Gambar 8. Diagram alir proses pembuatan ikan pinekuhe

8
Proses Pembuatan Larutan Chitosan
Proses pembuatan larutan chitosan diawali dengan menimbang sebanyak
50 gram serbuk chitosan yang dilarutkan dalam asam asetat 500 mL pada
konsentrasi asam asetat 1%. Tahap perhitungan dari pembuatan larutan
konsentrasi chitosan sebagai berikut

Menggunakan konsentrasi 10% dalam 500 mL air.

10
Cara perhitungan : x 500=50 gram
100

Keterangan : - 50 gram chitosan


- 500 mL air
- 100 mL asam asetat sebagai pengenceran

Tahap Pengcoatingan
Tahap Pengcoatingan ikan pinekuhe dengan menggunakan larutan
chitosan dengan konsentrasi 0,5%, 1,5%, 2,5% dan 3,5%. Larutan chitosan dalam
wadah beker gelas ukuran 1000 mL pada dimasing-masing konsentrasi larutan
chitosan,, kemudian ikan pinekuhe direndam dalam larutan chitosan selama 1
menit. Perendaman ini bertujuan untuk membungkus atau mengcoating ikan
pinekuhe. Ikan pinekuhe selanjutnya dikeringkan menggunakan oven dengan suhu
50oC selama 15 menit sampai mengering.

Tahap pengamatan secara visual

Pengamatan secara visual yaitu pengamatan yang dilakukan dengan cara


menampilkan gambar. Pengambilan gambar secara visual dilakukan dengan
menggunakan kamera handphone merk Oppo A3s. Jarak pengambilan gambar
antara objek dan kamera setinggi 10 cm. Beackground atau latar untuk mengambil
gambar berwarna putih. Untuk pencahayaan menggunakan lampu dengan
merk Phillips.

Organoleptik

Pengujian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan


penilaian dengan alat penginderaan yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau

9
dan pendengaran. Melalui hasil pengujian organoleptik, akan diketahui daya
penerimaan panelis (konsumen) terhadap suatu produk. Dalam organoleptik,
menggunakan spesifikasi kenampakan, bau, rasa, tekstur, jamur dan lendir.
Schore sheet pengujian organoleptik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Schore sheet pengujian organoleptik ikan asap pinekuhe


Kode
Spesifikasi Nilai
A15 A17 A21 A23 A25 A27
1. Kenampakan              
-Utuh, warna mengkilap spesifik produk 9            
-Utuh, warna kurang mengkilap spesifik
produk 7            
-Utuh, warna agak kusam 5            
-Tidak utuh, warna kusam 3            
-Tidak utuh, warna sangat kusam 1            
2. Bau            
-Spesifik ikan asap kuat 9            
-Spesifik ikan asap kurang kuat 7            
-Netral 5            
-Bau tambahan kuat, tercium bau amoniak
dan tengik 3            
-Busuk, bau amoniak kuat dan tengik 1            
3. Rasa            
-Spesifik ikan asap kuat 9            
-Spesifik ikan asap kurang kuat 7            
-Hambar 5            
-Getir 3            
-Basi/busuk 1            
4. Tekstur            
-Padat, kompak, antar jaringan sangat erat 9            
-Padat, kompak, antar jaringan cukup erat 7            
-Kurang padat, kurang kompak, antar
jaringan kurang erat 5            
-Lembek, antar jaringan longgar 3            
-Sangat lembek, mudah terurai 1            
5. Jamur            
-Tidak ada 9            
-Ada 1            
6.Lendir            
-Tidak ada 9            
-Ada 1            

10
3.4 Analisis Data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan analisis Deskriptif
kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan hasil penelitian yang menggambarkan
atau melukiskan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagamana adanya. Data ini umumnya disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengamatan Secara Visual Ikan Pinekuhe


Pengamatan visual merupakan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
indra mata. Pengamatan visual yang dilakukan pada ikan asap pinekuhe yang
dicoating dengan larutah chitosan konsentrasi 0%, 0,5%, 1,5%, 2,5%, dan 3,5%
selama penyimpanan 14 hari dapat dilihat pada Gambar 9.

H-0 UKM H-0 : K 0 % H-0 : K 0,5 % H-0 : K 1,5% H-0 : K 2,5 % H-0 : K 3,5 %

H-1 UKM H-1 : K 0 % H-1 : K 0,5 % H-0 : K 1,5 % H-1 : K 2,5 % H-1 : K 3,5 %

H-2 UKM H-2 : K 0 % H-2 : K 0,5 % H-2 : K 1,5% H-2 : K 2,5 % H-2 : K 3,5 %

H-3 : K 0 % H-3 : K 0,5 % H-3 : K 1,5% H-3 : K 2,5 % H-3 : K 3,5 %

12
H-4 : K 0 % H-4 : K 0,5 % H-4 : K 1,5% H-4 : K 2,5 % H-4 : K 3,5 %

H-5 : K 0 % H-5 : K 0,5 % H-5 : K 1,5% H-5 : K 2,5 H-5 : K 3,5 %


%

H-6 : K 0 % H-6 : K 0,5 % H-6 : K 1,5% H-6 : K 2,5 H-6 : K 3,5 %


%

H-7 : K 0 % H-7 : K 0,5 % H-7 : K 1,5% H-7 : K 2,5 % H-7 : K 3,5 %

H-8 : K 0 % H-8 : K 0,5 % H-8 : K 1,5% H-8 : K 2,5 % H-8 : K 3,5 %

13
H-9 : K 0 % H-9 : K 0,5 % H-9 : K 1,5% H-9 : K 2,5 % H-9 : K 3,5 %

H-10 : K 0 % H-10 : K 0,5 H-10 : K 1,5% H-10 : K 2,5 % H-10 : K 3,5 %


%

H-11 : K 0 % H-11 : K 0,5 H-11 : K 1,5% H-11 : K 2,5 % H-11 : K 3,5 %


%

H-12 : K 2,5 % H-12 : K 3,5 %

H-13 : K 2,5 % H-13 : K 3,5 %

H-14 : K 2,5 % H-14 : K 3,5 %

Gambar 9. Pengamatan visual ikan pinekuhe selama 14 hari

14
Berdasarkan pengamatan secara visual pada hari ke-0, ikan pinekuhe yang
dicoating dengan larutan chitosan untuk kesemua konsentrasi belum mengalami
penjamuran. Untuk hari ke 1 dan 2 ikan pinekuhe hasil UKM sudah mengalami
penjamuran sedangkan ikan yang dicoating dengan larutan belum mengalami
penjamuran. Pada pengamatan hari ke-11, ikan pinekuhe yang dicoating larutan
chitosan pada konsentrasi 0%, 0,5%, dan 1,5% mengalami penjamuran. Pada
pengamatan hari ke-12 sampai hari ke-14 ikan pinekuhe yang dicoating dengan
konsentrasi 2,5% dan 3,5% belum mengalami penjamuran. Menurut Andreas
(2016) suhu optimum untuk pertumbuhan jamur pada suhu 25 oC dan tidak dapat
tumbuh pada suhu lebih dari 37 oC. Tidak bertumbuhnya jamur dikarenakan
chitosan sebagai edible coating memiliki kemampuan sebagai anti bakteri
sehingga dapat menghambat pertumbuhan jamur. Menurut Cahyono et al. (2018)
men yatakan bahwa konsentrasi larutan chitosan 1,25% mampu membunuh
bakteri sebanyak 2,2 x 102 CFU/gr. Menurut Cahyono (2018) chitosan secara
alami memiliki bahan bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
dimana chitosan memiliki gugus amina yang bermuatan positif dan dinding sel
bakteri yang bermuatan negatif sehingga dapat membunuh bakteri.

4.2 Organoleptik Ikan Pinekuhe


Uji organoleptik atau uji indra atau uji sensori merupakan cara pengujian
dengan menggunakan indra manusia sebagai alat untama untuk pengukuran daya
penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting
dalam penerapan mutu. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi
kebusukan, kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari produk.

15
4.2 1 Penilaian Organoleptik Hari ke-0
Penilaian organoleptik pada ikan asap pinekuhe yang dicoating dengan
larutan chitosan pada hari ke-0 dapat dilihat pada Gambar 10.

10

8.84
999999 999999

8.69
8.53
8.38

8.38
8.38
9

8.23
8.23
8.07
8.07

7.92

7.92

7.92
7.76

7.76
7.67
7.61

7.61
7.61

7.46

7.46
8 7.3
7 UKM
6.35

7
0%
Presentasi (%)

6
0,5%
5
1,5%
4
2,5%
3 3,5%
2
1
0
Kenampakan Bau Rasa Tekstur Jamur Lendir
Mutu Organoleptik

Gambar 10. Histogram ikan pinekuhe hari ke-0

Berdasarkan histogram diatas menunjukkan bahwa nilai organoleptik ikan


asap pinekuhe masih dapat diterima oleh konsumen. Berdasarkan kategori
kenampakan (utuh, warna kurang mengkilap spesifik produk) dengan nilai 6,35
pada ikan pinekuhe UKM. Untuk kategori bau (spesifik ikan asap kuat) dengan
nilai 7,46 pada ikan pinekuhe UKM. Untuk kategori rasa (spesifik ikan asap
kurang kuat) dengan nilai 7,67 pada ikan pinekuhe UKM. Untuk kategori tekstur
(padat, kompak, antar jaringan cukup erat) dengan nilai 7,30 pada konsentrasi
chitosan 0%. Untuk kategori jamur dan lendir (tidak ada) dengan nilai 9,00.
Berdasarkan histogram diatas menunjukkan bahwa mutu organoleptik ikan
asap pinekuhe yang dicoating dengan larutan chitosan masih sesuai standar yang
ditetapkan oleh SNI (2013) yaitu minimal 7,00. Hal ini dikarenakan ikan asap
pinekuhe yang diuji masih pada hari ke-0 atau masih baru. Menurut Bawinto et al.
(2015) kenampakan ikan asap yang ideal pada proses pengasapan panas berwarna
kuning emas kecoklatan, memiliki bau yang has (aromatik) yang dikeluarkan oleh
zat phenol, rasa yang enak yang ditimbulkan dari aroma formaldehid serta tidak
berlendir dan berjamur.

16
4.2 2 Penilaian Organoleptik Hari ke-7
Organoleptik pada ikan asap pinekuhe yang dicoating dengan larutan
chitosan pada hari ke-7 dapat dilihat pada Gambar 11.

10
9999 9999

8.53

9
8.23

8.23

8.23
9

8.07

7.93
8.07
8.07

8.07

8.07

8.07
8.07

7.92
7.92
7.92

7.92
7.76

7.76
7.46
8 7.46
7 0%
Persentasi (%)

6 0,5%
5 1,5%
4 2,5%
3 3,5%
2
1
0
Kenampakan Bau Rasa Tekstur Jamur Lendir
Mutu Organoleptik

Gambar 11. Histogram ikan pinekuhe hari ke-7

Berdasarkan histogram diatas menunjukkan bahwa nilai organoleptik ikan


asap pinekuhe masih dapat diterima oleh konsumen. Berdasarkan kategori
kenampakan (utuh, warna kurang mengkilap spesifik produk) dengan nilai 7.46
pada ikan pinekuhe konsentrasi chitosan 0%. Untuk kategori bau (spesifik ikan
asap kurang kuat) dengan nilai 7,92 pada ikan pinekuhe konsentrasi chitosan
3,5%. Untuk kategori rasa (spesifik ikan asap kurang kuat) dengan nilai 7,93 pada
ikan pinekuhe konsentrasi chitosan 0%. Untuk kategori tekstur (padat, kompak,
antar jaringan cukup erat) dengan nilai 7,76 pada konsentrasi chitosan 3,5%.
Untuk kategori jamur dan lendir (tidak ada) dengan nilai 9,00.
Berdasarkan histogram diatas menunjukkan bahwa mutu organoleptik ikan
asap pinekuhe yang dicoating dengan larutan chitosan masih sesuai standar yang
ditetapkan oleh SNI (2013) yaitu minimal 7,00. Hal ini dikarenakan ikan asap
pinekuhe yang dicoating masih memiliki kenampakan, bau, rasa, dan tekstur
hamper serupa dengan ikan asap yang baru dibuat. Kemungkinan ini diduga peran
dari edible chitosan yang membungkus produk secara utuh dan tanpa mengalami
perubahan dari segi kenampakan, bau, rasa, tektur, jamur dan lendri. Menurut

17
Wulandari et al (2015) edible coating dari chitosan memiliki kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri sehingga produk yang dicoating tidak cepat
mengalami pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan produk dengan yang tidak
dicoating dengan larutan chitosan.

4.2 3 Penilaian Organoleptik Hari ke-14


Organoleptik pada ikan asap pinekuhe yang dicoating dengan larutan
chitosan pada hari ke-14 dapat dilihat pada Gambar 12.

9.2
9 9 9 9
9
8.8
8.6
8.38
8.38
Persentasi (%)

8.4
8.23
8.23

8.07

8.07
8.2
7.92

7.92

8 2,5%
3,5%
7.8
7.6
7.4
7.2
Kenampakan Bau Rasa Tekstur Jamur Lendir
Mutu Organoleptik

Gambar 12. Histogram ikan pinekuhe hari ke-14

Berdasarkan histogram diatas menunjukkan bahwa nilai organoleptik ikan


asap pinekuhe masih dapat diterima oleh konsumen. Berdasarkan kategori
kenampakan (utuh, warna kurang mengkilap spesifik produk) dengan nilai 7.92
pada ikan pinekuhe konsentrasi chitosan 35%. Untuk kategori bau (spesifik ikan
asap kurang kuat) dengan nilai 7,92 pada ikan pinekuhe konsentrasi chitosan
3,5%. Untuk kategori rasa (spesifik ikan asap kuat) dengan nilai 8,38 pada ikan
pinekuhe konsentrasi chitosan 2,5% dan 3,5%. Untuk kategori tekstur (padat,
kompak, antar jaringan sangat erat) dengan nilai 8,07 pada konsentrasi chitosan
2,5%. Untuk kategori jamur dan lendir (tidak ada) dengan nilai 9,00.
Berdasarkan histogram diatas menunjukkan bahwa mutu organoleptik ikan
asap pinekuhe yang dicoating dengan larutan chitosan pada konsentrasi 2,5% dan
3,5% masih sesuai standar yang ditetapkan oleh SNI (2013) yaitu minimal 7,00.

18
Hal ini dikarenakan ikan asap pinekuhe yang dicoating pada konsentrasi tersebut
memiliki kemampuan terbaik dalam mempertahankan mutu organoleptik seperti
kenampakan, bau, rasa, dan tekstur hampir serupa dengan ikan asap yang baru
dibuat. Wulandari et al (2015) edible coating dari chitosan memiliki kemampuan
dalam menekan pertumbuhan bakteri sehingga produk yang dicoating tidak cepat
mengalami pertumbuhan bakteri.

19
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan Praktek Kerja Lapangan III dapat
disimpulkan bahwa:

1. Pengamatan secara visual menunjukkan bahwa konsentrasi larutan


chitosan 2,5% dan 3,5% merupakan perlakuan terbaik dalam mencegah
pertumbuhan bakteri dan jamur.
2. Nilai mutu organoleptik berdasarkan kenampakan, bau, rasa, tekstur,
jamur dan lendir selama pengujian hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14
masih layak dikonsumsi sesuai standar SNI.

5.2 Saran
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan melakukan pengujian proksimat,
Total Plate Count (TPC), kapang dan kamir, uji fenol, uji TAR dan PAH
(Policyclic Aromatic Hydrocarbon).

20
DAFTAR PUSTAKA

Andreas M. 2016. Identifikasi dan Prevalensi Jamur pada Ikan Gurami


(Osphronemus gouramy) di Pasar Modern Surabaya. [Skripsi] Budidaya
Perairan, Perikanan dan Kebaharian, Universitas Airlangga.

Bawinto A,. Mongi E,. Kaseger B. 2015. Analisa Kadar Air, pH, Organoleptik,
dan Kapang pada Produk Ikan Tuna (Thunnus Sp) Asap, di Kelurahan
Girian Bawah, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Teknologi Hasil Perikanan
FPIK Unsrat Manado. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 3 (2).

Cahyono E. 2018. Karakteristik Kitosan dari Limbah Cangkang Udang Windu


(Panaeus monodon). Teknologi Pengolahan Hasil Laut, Politeknik Negeri
Nusa Utara. Jurnal Akuatika Indonesia. 4 (2): 96-102.

Cahyono E,. Wodi S,. Kota N. 2018. Aplikasi Kitosan Kulit Udang Windu
(Panaeus monodon) sebagai Pengawet Alami pada Tahu. Teknologi
Pengolahan Hasil Laut, Politeknik Negeri Nusa Utara. Jurnal Ilmiah
Tindalung. 4 (1): 41-44.

Froese dan Pauly. 2018. Layang Benggol (Decapterus russelli).


http://.fishbase.org//. Diakses pada tanggasl 10 Januari 2018.

Iksan dan Irham. 2009. Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Layang Biru
(Decapterus macarellus) di Perairan Maluku Utara. Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Khairun. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9 (2): 163-174.

Karimela E. J,.Ijong F. G,. Agustin A. G. 2013. Staphylococcus sp. Pada Ikan


Layang (Decapterus russelli) Asap Pinekuhe Produk Khas Sangihe. Jurnal
Media Teknologi Hasil Perikanan. 1 (2): 59.

Lalenoh B,. Cahyono E. 2018. Karakteristik Kitosan dari Limbah Rajungan


(Portunus pelagicus). Teknologi Pengolahan Hasil Laut, Politeknik Negeri
Nusa Utara. Jurnal Ilmiah Tindulang. 4 (1): 30-33.

Mandeno J. 2014. Pengaruh Pengemasan Terhadap Mutu Pinekuhe Layang


(Decapterus sp) Asap. Jurnal Tindalung. Vol 1. 2014. Tahuna.

Mandeno A. J, dan Kaim A. M. 2015. Pengaruh Pengemasan Terhadap Mutu Ikan


Pinekuhe Layang (Decapterus sp) Asap (Packaging Influence of Smoked
Pinekuhe Fish). Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Laut,
Politeknik Negeri Nusa Utara. Jurnal Ilmiah Tindalung. 1 (1): 7-11.

Miranda C,. Ribeiro C. 2007. Optimization of Edible Coating Composition to


Retard Strowberry Fruit Senescence. Postharvest Biology and Technology.
Elsevier. 63-70.

21
Palawe F. J,. Mandey C. L,. Suwetja K. L. 2014. Karakteristik Mutu Mikrobiologi
Ikan Pinekuhe Kabupaten Kepulauan Sangihe. Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Universitas Sam Ratulangi Manado. 2 (1).

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2013. Ikan Asap dengan Pengasapan Panas.
Jakarta. Badan Standardisasi Nasional.

Wulandari K,. Sulistijowati R,. Mile L. 2015. Kitosan Kulit Udang Vaname
Sebagai Edible Coating pada Bakso Ikan Tuna. Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas dan Ilmu Kelautan, Unversitas Negeri Gorontalo. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan. 3 (3).

22
LAMPIRAN

23

Anda mungkin juga menyukai