Anda di halaman 1dari 48

PROPOSAL

APLIKASI MENGUNYAH PERMEN KARET TERHADAP


PERISTALTIK USUS PADA PASIEN POST OP
APPENDIKTOMI DI
RSUD SAYANG KAB. CIANJUR

Oleh :

EGA APRILIANI

NIM. 34403518033

AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penelitian..................................................................................
D. Manfaat Penelitian................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Apendisitis...............................................................................
B. Konsep Appendiktomi..........................................................................
C. Konsep Asuhan Keperawatan Post Op Appendiktomi.........................
D. Konsep Peristaltik Usus........................................................................
E. Konsep Nyeri........................................................................................
F. Konsep Intervensi.................................................................................
G. Prosedur Mengunyah Permen karet......................................................
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian..................................................................................
B. Subjek Penelitian..................................................................................
C. Tempat Dan Waktu Penelitian..............................................................
D. Setting Penelitian..................................................................................
E. Metode Pengumpulan Data...................................................................
F. Metode Uji Keabsahan Data.................................................................
G. Metode Analisa Data............................................................................
H. Etik Penelitian.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendiks adalah umbai kecil menyerupai jari yang menempel pada
sekum tepat di bawah katup ileosekal. Karena pengosongan isi apendiks ke
dalam kolon tidak efektif dan ukuran lumennya kecil, apendiks mudah
tersumbat dan rentan terinfeksi (apendisitis). Apendiks yang tersumbat akan
meradang dan edema dan pada akhirnya di penuhi nanah (pus). Apendisitis
adalah penyebab utama inflamsi akut di kuardan kanan bawah abdomen dan
penyebab tersering pembedahan abdomen darurat. Meskipun dapat dialami
oleh semua kelompok usia, apendistitis paling sering terjadi antara usia 10
dan 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2014).
Apendistitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacaing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum).
Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah konflikasi yang umumnya berbahaya,
(NANDA, 2015).
Angka kejadian apendisitis di dunia cukup tinggi yaitu 321 juta kasus
tiap tahun. Data yang dirilis oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008
jumlah penderita apendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan
meningkat pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang. Tahun 2009, tercatat
2.159 orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat apendisitis
(Ummualya, 2008).
Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa
Appendiktomi dilakukan pada 4,8 % dan 2,6% dari total populasi penduduk
Asia dan Afrika sekitar 7% penduduk menjalani Appendiktomi dengan
insidens 1,1/1000 penduduk pertahun, sedangkan di Negara-negara Barat
sekitar 16%. Di Amerika Serikat lebih dari 250.000 Appendiktomi dikerjakan
tiap tahunya. Insiden Appendiksitis cenderung stabil di Amerika Serikat

6
selama 30 tahun terakhir, sedangkan insiden Apendiksitis lebih rendah di
negara berkembang dan negara terbelakang, terutama negara-negara Afrika,
dan lebih jarang pada kelompok sosial ekonomi rendah (Basri, 2018).
Dari rekapitulasi 10 besar penyakit klinik bedah di RSUD Kelas B di
Kabupaten Cianjur, 2017. Penyakit apendisitis berada diurutan ke enam,
urutan pertama Ca mamae, BPH, Tumor Mamae, Hernia Inguinal dan
appendicitis dengan jumlah total 476 sekitar 8,89 %.
Penatalaksanaan apendisitis pada kebanyakan kasus adalah
appendiktomi keterlambatan dalam penatalaksanaan dapat meningkatkan
kejadian perfoasi. Teknik laparoskopik, apendiktomi laparoskopi sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang
lebih cepat dan angka kejadian inifeksi luka yang lebih rendah. Akan tetapi
terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu
oprasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien
dengan akut abdomen, terutama pada wanita (NANDA, 2015).
Pada pasien post operasi Appendiktomi dilakukan tindakan
pembedahan abdomen dan dilakukan pengangkatan apendiks yang meradang,
pemilihan anastesi regional diperlukan dalam proses operasi yang bertujuan
untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Pengaruh agen anestesi dapat
menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus, kerja anestesi tersebut
dapat memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltik. Pada keadaan
pasca operasi tanpa komplikasi, normalnya peristaltik usus kembali kurang
lebih 24 jam pasca operasi (Perry & Potter, 2005 dalam Damayanti, 2018).
Dalam masa pemulihan, paristaltik usus pasien post Appendiktomi
belum aktif kembali secara normal. Karena keadaan tersebut, pasien di
anjurkan untuk tidak makan dan minum terlebih dahulu selama beberapa
waktu hingga aktivasi usus kembali seperti semula. Hal tersebut sering di
keluhkan oleh pasien post operasi. Selain itu operasi pada organ abdomen
tidak terkecuali Appendiktomi dapat menyebabkan ileus paralitik. Kondisi ini
dapat menghambat atau menghentikan kerja dari usus, menimbulkan rasa
nyeri, mual, distensi abdomen, serta semakin lama pasien harus di rawat di

6
rumah sakit. Lama nya pasien tinggal di rumah sakit akan menyebabkan
tingginya resiko infeksi dan mahalnya biaya perawatan (Majid dkk, 2011).
Oleh karena itu di perlukan tindakan yang dapat mempercepat kembalinya
peristaltik usus pasien. Salah satu intervensi yang dapat di lakukan adalah
dengan mengunyah permen karet (Damayanti, 2018).
Menurut penelitian Basaran & Piktin (2009) setelah melakukan post
appendiktomi mengunyah permen karet adalah suatu treatment yang
dipercaya memberikan hasil dalam menstimulasi usus halus untuk kembali
bekerja normal kembali pasca pembedahan. Mengunyah permen karet adalah
suatu proses seperti makan, dimana ada massa di dalam mulut, ada proses
mengunyah. Dengan adanya mekanisme Vagal Cholinergic (Parasimpatis)
menstimulasi saluran pencernaan, hal ini sama dengan proses makan secara
oral, namun secara teori, proses ini lebih jarang menimbulkan respon muntah
pada pasien dan mencegah terjadinya aspirasi.
Mengunyah permen karet berfungsi sebagai Sham Feeding (makan
pura-pura) dapat mempengaruhi stimulasi vagal dan pelepasan hormon-
hormon gastrointestinal dan meningkatkan sekresi saliva serta cairan getah
pankreas, gastrin, dan neurotensin yang dapat mempengaruhi proses motilitas
usus, duodenum, dan rektum di perut manusia (Ledari FM, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Basri (2018). Didapatkan hasil uji
statistik Uji T paired sample test diketahui bahwa nilai rata-rata sebelum
diberikan permen karet adalah 2.00 dan nilai standart deviasinya .000,0
sedangkan nilai rata-rata sesudah diberikan permen karet adalah 1.19 dan
nilai standart deviasinya 0.40. Hasil penelitian yang diperoleh dari analisa
dengan uji statistic Uji T paired sample test didapatkan nilai signifikan =
0.000 berarti p<0.05 maka H1 diterima artinya ada pengaruh Mengunyah
Permen Karet Terhadap Paristaltik Usus Pada Pasien Post Appendiktomi.
Berdasarkan uraian diatas maka peniliti tertarik untuk melakukan
“Aplikasi Mengunyah Permen Karet Terhadap Peristaltik Usus Pada Klien
Post Op Appendiktomi Di RSUD Sayang Cianjur”

6
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
bagaimana “Aplikasi Mengunyah Permen Karet Terhadap Peristaltik
Usus Pada Klien Post Op Appendiktomi Di RSUD Sayang Cianjur”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
“Melakukan Aplikasi Mengunyah Permen Karet Terhadap Peristaltik
Usus Pada Klien Post Op Appendiktomi Di RSUD Sayang Cianjur “
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien Post Op Appendiktomi
yang mengalamai peristaltik usus di RSUD Sayang Cianjur
b. Menetapkan diagnosis keperawatan pada klien Post Op Appendiktomi
yang mengalami peristaltik usus di RSUD Sayang Cianjur
c. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien Post Op
Appendiktomi yang mengalami peristaltik usus di RSUD Sayang
Cianjur
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien Post Op
Appendiktomi yang mengalami peristaltik usus di RSUD Sayang
Cianjur
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien Post Op Appendiktomi
yang mengalami peristaltik usus di RSUD Sayang Cianjur
f. Menganalisis aplikasi tindakan penerapan pengaruh mengunyah
peremen karet terhadap peristaltik usus pada klien Post Op
Appendiktomi di RSUD Sayang Cianjur

D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data mengenai aplikasi
mengunyah permen karet terhadap peristaltik usus pada klien Post Op
Appendiktomi di RSUD Sayang Cianjur. Hasil penelitian ini diharapkan

6
dapat menjadi informasi dasar untuk menerapkan antara ilmu
pengetahuan dan teori yang di peroleh di bangku kuliah.

b. Manfaat Praktis
a. Bagi perawat
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi perawat untuk menambah
pengetahuan dan wawasan tentang pengaruh mengunyah permen karet
terhadap peristaltik usus pada klien Post Op Appendiktomi
b. Manfaat bagi rumah sakit
Diharapkan istitusi rumah sakit khususnya perawat dapat menerapkan
terapi non farmakologi dengan mengunyah permen karet pada pasien
dengan gangguan peristaltik usus sehingga dapat menjadikan acuan
baru untuk menemukan tindakan praktis dan mudah dilakukan dan
menggurangi dampak negativ farmakologi dari obat-obatan.
c. Manfaat bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu dan sebagai
referensi bahan pembelajaraan mengenai aplikasi mengunyah permen
karet terhadap paristaltik usus pada klien Post Op Appendiktomi
d. Bagi Klien/Keluarga
Menambah pengetahuan bagi keluarga klien, membantu klien dan
keluarga klien dalam penanganan penyakitnya khususnya pada pasien
yang terdapat gangguan peristaltic usus, dan dapat menggurangi biaya
untuk penggobatan farmakologi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Apendisitis
1. Pengertian
Apendistitis adalah inflamasi akut pada apendiks, yang bukan
merupakan organ esensial dalam proses pencernaan. Apendiks adalah
sebuah kantong kecil pada usus yang dapat terisi oleh materi usus,
menjadi terinflamasi dan kemungkinan ruptur. Pembedahan untuk
apendistitis merupakan salah satu pembedahan abdomen yang paling
sering dilakukan (NANDA, 2015).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena
struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri
untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010).
Apendiks adalah umbai kecil menyerupai jari yang menempel pada
sekum tepat di bawah katup ileosekal. Karena pengosongan isi apendiks
ke dalam kolon tidak efektif dan ukuran lumennya kecil, apendiks mudah
tersumbat dan rentan terinfeksi (apendisitis). Apendiks yang tersumbat
akan meradang dan edema dan pada akhirnya di penuhi nanah (pus).
Apendisitis adalah penyebab utama inflamsi akut di kuardan kanan
bawah abdomen dan penyebab tersering pembedahan abdomen darurat.
Meskipun dapat dialami oleh semua kelompok usia, apendistitis paling
sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2014).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacaing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum
(cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah konflikasi yang
umumnya berbahaya (NANDA, 2015).

6
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Apendisitis adalah
peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering sehingga memerlukan tindakan bedah
segera untuk mencegah konflikasi.

2. Etiologi
Menurut (NANDA, 2015). Apendiks merupakan organ yang belum
diketahui fungsinya tetapi menghasilkan lender 1-2 ml perhari yang
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir keskum.
Hambatan aliran lender dimuara apendiks tampaknya berperan dalam
pathogenesis apendiks.
Menurut klasifikasi:
a. Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteria, dan
faktor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain
itu hyperplasia jaringan limf, fikalit (tinja)/batu, tumor apendiks, dan
cacing akraris yang dapat menyebabkan sumbatan dan juga erosi
mukosa apendiks karena parasit (E.Histolytica).
b. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan
bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi
bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh sepontan. Namun
apendisistis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi
pibrosis dan jaringan parut.
c. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan
bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan nikroskopik (pibrosis menyeluruh didinding apendiks, sumbatan
parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan keluhan menghilang
setelah apendiktomi.

36
3. Pathway
Bagan 2.1
Pathway Apendisitis Dan Appendiktomi

Invasi dan Multiplikasi Hipertermi


Hiperter Febris

Peradangan Pada Kerusakan control suhu


Apendistisis
Jaringan terhadap cemas

Operasi Sekresi mukus berlebih pada lum en Apendiks

Apendiks Teregang

Luka Insisi Ansietas


Insisi
Tekanan intraluminal lebih
Kerusakan Jaringan Pintu masuk kuman
dari tekanan vena

Ujung saraf putus Risiko


Risiko Infeksi
Infeksi
Hipoksia jaringan apendiks

Pelepasan Prostaglandin Kerusakan


Kerusakan Integritas
Integritas Jaringan
Jaringan
Ulcerasi

Stimulasi Dihantarkan
Perforasi
Spasme dinding apendiks
Spinal Cord

Nyeri
Cortex Serebri

Nyeri Risiko Akumulasi sekret


Risiko ketidakefektifan
ketidakefektifan
dipersepsikan gastrointestinal
gastrointestinal
Ketida
Ketida kefektifan
kefektifan
Reflek batuk bersihan
bersihan jalan
jalan nafas
nafas
Anoreksia

Depresi sistem respirasi


Ketidakseimbangan
Ketidakseimbangan nutrisi
nutrisi
kurang
kurang dari
dari kebutuhan
kebutuhan

Anestesi->
Anestesi-> Peristaltik
Peristaltik usus-
usus- Mual dan muntah
>Distensi
>Distensi abdomen->
abdomen->
Gangguan
Gangguan rasa
rasa nyaman
nyaman
Risiko
Sumber : Nanda, 2015
Risiko kekurangan
kekurangan volume
volume
cairan
cairan
36
4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer,
2007) .
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi (Mansjoer, 2007) .
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum
lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,
2007) .

36
5. Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendistis
adalah nyeri samar (nyeri tumpul) didaerah epigastrium disekitar
umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa
mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan
menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih kekuardan
kanan bawah, ketitik Mc bruney. Dititik ini nyeri terasa lebih tajam dan
jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun
terkadang,tidak dirasakan adanya nyeri didaerah epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan derajat
rendah sekitar 37,5-38,5 derajat celcius (NANDA, 2015).
Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan
skor alvarado, sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis
apendisitis. Selain gejala kelinis, ada beberapa gejala lain yang dapat
timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung
pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul
tersebut:
a. Bila letak apendiks retrosekal retroperioneal, yaitu dibelakng sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih
kearah perut atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti
berjalan ,bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul
karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak didekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rectum, sehingga peristltik
meningkat, pengosongan rectum akan lebih cepat dan berulang-ulang
(diare).

36
c. Bila apendiks terletak didekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, rangsangan dindingnya
( Brunner & Suddarth, 2014,p:37 ).

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (NANDA, 2015), pemeriksaan penunjang pada appendisitis
adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang
diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar
pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil
diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah
serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
b. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang
diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan.
Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
apendicalith serta perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran dari saekum.
d. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya

36
abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
e. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

7. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk
membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah
anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila
apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli
bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa
dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat
laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat
segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C.
Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis
adalah sebagai berikut:
a. Tindakan medis
1) Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda
apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting
dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat
tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut.  Bila diperlukan maka
dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik

36
jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau
penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan
abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi
secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi
tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari
tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah
timbul gejala.
2) Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis
atau toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang
sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah
lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan
pipa tetap terpasang.
3) Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik
dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
b. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera
setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan
gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit
persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik
mempunyai  praksi mortalitas 1 % secara primer  angka morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi
ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
c. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan 
pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga
aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi
fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih

36
besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa
diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan
minum mulai  15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam.  Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari
berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien
dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit.
Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk  diluar kamar. Hari
ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

8. Komplikasi
Menurut (Mansjoer, 2007), Komplikasi terjadi akibat
keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat
berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi
pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan
terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua.
Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak
dan orang tua. 43 anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi
gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuardan kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini
mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh momentum.

36
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam
pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis.

B. Konsep Appendiktomi
1 Definisi
Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan
apendiks (Haryono, 2012). Apendiktomi merupakan pengobatan melalui
prosedur tindakan operasi hanya untuk penyakit apendisitis atau
penyingkiran/pengangkatan usus buntu yang terinfeksi. Apendiktomi
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi lebih
lanjut seperti peritonitis atau abses (Marijata dalam Pristahayuningtyas,
2015).
Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya
tindakan pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi
post operasi dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan

36
berakhir sampai evaluasi selanjutnya. Pasien yang telah menjalani
pembedahan dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan post
pembedahan memperoleh istirahat dan kenyamanan (Muttaqin, 2009).
Aktivitas keperawatan post operasi berfokus pada peningkatan
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan. Peran perawat yang
mendukung proses kesembuhan pasien yaitu dengan memberikan
dorongan kepada pasien untuk melakukan mobilisasi setelah operasi
(Potter & Perry, 2010). Mobilisasi penting dilakukan karena selain
mempercepat proses kesembuhan juga mencegah komplikasi yang
mungkin muncul (Muttaqin, 2009).
Pembedahan adalah suatu tindakan membuka atau membuang
jaringan tubuh dan dapat mengubah struktur dan fungsi tubuh (Heriana,
2014). Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana
pada tubuh terdiri dari tiga fase: praoperatif, intraoperatif dan pasca
operasi. Tiga fase ini secara bersamaan disebut periode perioperatif
(Kozier et al, 2010).
Berdasarkan lokasinya, pembedahan dapat dibagi menjadi bedah
thorak, kardiovaskuler, bedah neurologi, bedah orthopedi, bedah urologi,
bedah kepala leher, bedah digestif, dan lain-lain (Hidayat, 2008). Peran
perawat selama fase post operasi sangat penting terutama untuk
pemulihan klien. Anestesi menghambat kemampuan klien untuk
berespon terhadap stimulus lingkungan dan untuk membantu mereka
sendiri, meskipun derajat kesadaran klien mungkin akan sangat beragam
(Kozier et al, 2010).

2 Tujuan Umum Appendiktomi


Tujuan umum asuhan keperawatan selama periode pascaoperatif
adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan rasa nyaman dan penyembuhan
b. Mengembalikan semaksimal mungkin derajat kesehatan

36
c. Mencegah resiko terkait seperti infeksi atau komplikasi pernafasan
dan kardiovaskular.
Menurut (Kozier et al, 2010) intervensi keperawatan
pascaoperatif yang dilakukan antara lain:
a. Melakukan manajemen nyeri
b. Mengatur posisi yang tepat
c. Mendorong spirometri insentif serta latihan nafas dalam dan batuk
efektif
d. Mempertahankan hidrasi dan status nutrisi yang adekuat
e. Meningkatkan eliminasi urine
f. Melanjutkan pengisapan gastrointestinal
g. Memberikan perawatan luka

C. Konsep Asuhan Keperawatan Post Op Appendiktomi


1. Pengkajian
Pengkajian adalah cara perawat dalam mengumpulkan data, baik secara
objektif atau bisa secara verbal yang bisa digali oleh seorang perawat
terhadap klien, keluarga, dan seseorang yang dekat dengan klien
(Wilkinson, 2007). Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data
tentang kebutuhan klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali
masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik,
mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012).
a. Pengumpulan Data
1) Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2) Keluhan Utama
Klien dengan post appendiktomi mempunyai keluhan nyeri yang
disebabkan insisi abdomen.
3) Riwayat Kesehatan Sekarang

36
Umumnya pasien mengeluh nyeri di daerah luka post
appendiktomi, badan terasa panas tidak nafsu makan, muntah dan
lemah Karena pembatasan pra oprasi (puasa) dan pengaruh anastesi
4) Riwayat Kesehatan Dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti
hipertensi, oprasi abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk
rumah sakit, obat-obatan yang pernah digunakan apakah
mempunyai riwayat alergi dan imunisasi apa yang pernah diderita.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Beberapa masalah pasien sistem pencernaan apendistitis
merupakan penyakit yang terjadi akibat makan makanan yang tidak
mengandung serat dan banyak mengandung biji-bijian dan dapat
mempengaruhi apendik dan tidak menular baik pada keluarga
maupun pada orang lian.
b. Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
a) Pola Makan
Biasanya pasien mengeluh lemah karena tidak ada nafsu
makan yang dipengaruhi oleh adanya nyeri didaerah
abdomen disertai pengaruh anastesi.
b) Pola Minum
Biasanya pola minum pasien tidak mengalami gangguan.
2) Pola Istirahat
Pada umumnya pola istirahat pada pasien mengalami gangguan
disebabkan nyeri pada luka insisi.
3) Pola Aktivitas
Umumnya pada pasien oprasi appendiktomi pada aktivitas
mengalami gangguan karena disebabkan nyeri pada daerah bekas
insisi.

36
4) Pola Eliminasi
Biasanya pada pasien post op appendiktomi pola BAB dan BAK
mengalami gangguan karena pengaruh anastesi.
5) Pola Sosial
Biasanya pada pasien post op appendiktomi menanyakan
masalah/perhatian.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Pasien tampak lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital : TD : Hipertensi/Hipotensi
Nadi : Takikardi/Bradikardi
Rr : Takipnea/Bradipnea
Suhu : Hipertermi/Hipotermi
2) Pemeriksaan Integumen
a) Kulit : jika klien kekurangan oksigen, kulit klien akan
tampak pucat, dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit
akan jelek,
b) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger dan sianosis
c) Rambut : umumnya tidak ada kelainan
3) Pemeriksaan Kepala
Biasanya bentuk kepala simestris, rambut warna hitam, distribusi
rambut merata, gambaran wajah simetris, biasanya wajah
meringis karena nyeridan tidak ada kalinan pada kepala.
4) Pemeriksaan Mata
Biasanya bentuk mata simetris, sclera tidak ikterik, konjungtiva
tidak anemis, pupil isokor.
5) Pemeriksaan Hidung
Biasanya bentuk hidung simetris, tidak ada peradangan, tidak ada
sumbatan atau pupil, mukos hidung lembab, terpasang atau
tidaknya oksigen, fungsi penciuman baik atau tidak dibuktikan

36
dengan mengintruksikan pasien untuk membedakan minyak
wangi dan minyak kayu putih
6) Pemeriksaan Telinga
Biasanya bentuk mata simetris, tidak ada peradangan atau
serumen, fungsi pendengaran baik atau tidak dapat dibuktikan
dengan memperhatikan pasien menjawab pertanyaan tanpa
diulang atau menggunakan tes garputala.
7) Pemeriksaan Mulut
Biasanya bentuk bibir simetris, mukosa bibir lembab, tidak
terdapat sianosis, lidah berwarna merah muda, tidak ada
pembesaran tonstil, fungsi pengecapan baik atau tidak dapat
dibuktikan dengan pasien dapat merasakan manisnya gula atau
asinnya garam.
8) Pemeriksaan Leher
Biasanya leher tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening.
9) Pemeriksaan Dada
a) Paru-paru: Biasanya bentuk simetris, ada tidaknya sumbatan
jalan nafas, gerakan cuping hidung maupun alat bantu nafas
frekuensi pernafasan biasnya normal (15-24 kali permenit).
Apakah ada ronchi, whezzing dan stridor.
10) Pemeriksaan Abdomen
Biasanya klien mengatakan terdapat luka oprasi dibagian
perut/abdomen, kondisi balutan bersih/kotor, umunya sering
terjadi ada tidaknya peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen, tidak flatus dan mual, apakah bisa kencing spontan atau
retensi urine apakah jernih, keruh atau hematuri jika dipasang
kateter periksa apakah mengalir lancar, tidak ada pembuntuan
serta terfikasi dengan baik.

36
11) Pemeriksaan Ekstremitas
Biasanya ekstremitas dalam batas normal kecuali orang yang
mempunyai keterbatasan fisik.
12) Pemeriksaan Genetalia
Biasanya keluarga klien mengatakan genetalia, tidak ada edema,
tidak ada kelainan, dan tidak gatal.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penelitian klinis mengenai
pengalaman/respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah
kesehatan yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan memberi
dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil akhir
sehingga perawat menjadi aktual (NANDA-I (North American Nursing
Dianosis Associtation), 2015).
a. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi post op apendiks
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan terputusnya ujung
saraf.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya jalan masuk kuman
melalui luka insisi
d. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan aktif, mekanisme kerja peristaltik usus menurun.
e. Ansietas berhubungan dengan pemulihan setelah pembedahan

3. Intervensi
Tahap perencanaan memberi kesempatan kepada perawat, klien,
keluarga, dan orang terdekat klien untuk merumuskan rencana tindakan
keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami klien. Perencanaan
merupakan suatu petunjuk atau bukti tertulis yang menggambarkan
secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien
sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatan
(Asmadi, 2008).

36
Tabel 2.1
Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA NOC NIC


1 Nyeri akut Noc: Nic:
berhubungan dengan - Pain level Pain Management
luka insisi post op - Pain control - Lakukan pengkajian nyeri
apendiks - Comfort level secara konperhensif termasuk
Batasan Kriteria Hasil: lokasi, karakteristik, durasi,
Karakteristik: - Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan faktor
- Perubahan selera - Melaporkan bahwa nyeri presfitasi
makan berkurang dengan - Observasi reaksi non verbal
- Perubahan tekanan menggunakan manajemen nyeri dari ketidak nyamanan
darah - Mampu mengenali nyeri - Gunkan teknik komunikasi
- Perubahan - Menyatakan rasa nyaman terapetik untuk mengetahui
prekuensi setelah nyeri berkurang pengalaman nyeri pasien
pernafasan - Kaji kultur yang
- Mengekspresikan mempengaruhi respon nyeri
perilaku (gelisah, - Ajarkan teknik non
meringis, farmakologik
merengek) - Berikan analgetik untuk
- Fokus menyempit mengurangi nyeri
2 Kerusakan integritas Noc: Nic:
jaringan a. Tissue integrity: skin and Pressure ulcer prevention
berhubungan dengan muccous wound care
terputusnya ujung b. Wound healing: Primary and - Anjurkan pasien untuk
saraf. secondary intention. memakai pakaian longgar
Batasan Kriteria Hasil: - Jaga kulit agar tetap kering
Karakteristik: - Perfusi jaringan normal dan bersih
- Kerusakan jaringan - Tidak ada tanda-tanda infeksi - Mobilisasi pasien setap 2
(Misal: kornea, - Ketebalan dan tekstur jaringan jam sekali
membrane mukosa, normal - letakan lotion atau
integument, dan - Menunjukan pemahaman minyak/baby oil pada
subkutan) dalam proses perbaikan kulit daerah yang tertekan
- Kerusakan jaringan dan mencegah terjadinya - Monitor kulit adanya
cedera kemerahan atau tidak
- Menunjukan proses - Monitor status nutrisi pasien
penyembuhan luka - Observasi luka

36
- Ajarkan keluarga tentang
luka dan perawatan luka
- Cegah kontaminasi feses
dan urin
- Lakukan tekhik perawatan
luka dengan prinsip steril
- Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada
luka
- Hindari kerutan pada tempat
tidur
- Mandikan pasien dengan air
hangat.
3 Resiko infeksi Noc: Nic:
berhubungan dengan Immune Status Infection Control (control
jalan masuk kuman Knowledge: infection control infeksi)
melalui luka insisi Risk control - Cuci tangan setiap sebelum
Kriteria Hasil: dan sesudah tindakan
- Klien bebas dari tanda dan keperawatan
gejala infeksi - Monitor tanda dan gejala
- Mendeskrifsikan proses infeksi sistemik dan lokal
penularan penyakit, faktor - Batasi pengunjung
yang mempengaruhi penularan - Ajarkan cara menghindari
serta penatalaksanaannya. infeksi
- Menunjukan kemampuan - Intruksikan pasien untuk
untuk mencegah timbulnya minum antibiotic sesuai
infeksi resep

4 Resiko Kekurangan Noc: Nic:


volume cairan - Fluid balance Fluid Management
berhubungan dengan - Hydration - Pertahankan catatan intake
kehilangan cairan - Nutritional Status: Food and dan output yang akurat
aktif, mekanisme Fluid Intake - Monitor status hidrasi
kerja peristaltik usus Kriteria Hasil: (klembaban membran
menurun. - Mempertahankan urin output mukosa, nadi adekuat,
Batasan sesuai dengan usia dan BB, BJ tekanan darah ortostatik).

36
Karakteristik: urin normal, HT normal - Monitor vital sign
- Tekanan darah, nadi,suhu - Monitor masukan
- Penurunan turgor
tubuh dalam batas normal makanan/cairan dan hitung
kulit
- Tidak ada tanda-tanda inteks kalori harian
- Penurunan turgor
dehidrasi, elastisitas turgor - Kolaborasi pemberian cairan
lidah
kulit baik, membrane mukosa iv
- Membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa haus - Monitor setatus cairan
kering
yang berlebihan. termasuk inteks dan output
- Peningkatan
cairan.
hematocrit
- Terapi mengunyah permen
Peningkatan suhu
karet
tubuh
5 Ansietas Noc: Nic:
berhubungan dengan Anxiety self-control - Gunakan pendekatan yang
pemulihan setelah Anxiety level menenangkan
pembedahan Coping - Jelaskan semua prosedur
Batasan Kriteria Hasil: dan apa yang dirasakan
Karakteristik: - Klien mampu mengidentifikasi selama prosedur
dan mengungkapkan gejala - Identifikasi tingkat
- Penurunan
cemas kecemasan
produktivitas
- Mengidentifikasi, - Bantu pasien mengenal
- Gelisah
mengungkapkan dan situasi yang menimbulkan
- Tampak waspada
menunjukan tehnik untuk kecemasan
- Wajah tegang
mengontrol cemas - Dorong keluarga untuk
- Vital sign dalam batas normal menemani
- Postur tubuh, ekspresi wajah, - Intruksikan pasien
Bahasa tubuh dan tingkat menggunakan teknik
aktivitas menunjukan relaksasi
berkurangnya kecemasan

4. Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu

36
klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus
dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan
komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan
saling percaya dan saling bantu, kemampuan melakukan teknik
psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan
memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan
kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali ke
dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment)
(Asmadi, 2008).
Evaluasi pasien Post Op Appendiktomi
a. Nyeri akut berkuarang/hilang
b. Kerusakan integritas jaringan dapat teratasi
c. Resiko Infeksi tidak terjadi
d. Resiko kekurangan volume cairan dapat terpenuhi
e. Ansietas dapat teratasi

D. Konsep Parestaltik Usus


1 Definisi Paristaltik Usus

36
Peristaltik usus merupakan suara gemiricing dari usus pertanda
usus melakukan kontraksi ritmik yang bertujuan untuk pencampuran
makanan atau dorongan makanan ( Basri,2018).
2. Proses Yang Terjadinya Pada Peristaltik
Perut manusia terkadang suka mengeluarkan bunyi tertentu, perut
yang berbunyi bisa menjadi pengingat, tapi suara perut yang kadang
keras atau pelan bisa juga tanpa alasan sama sekali. Suara-Suara gerakan
tersebut berasal dari perut dan usus kecil serta berhubungan dengan
fungsi dari pencernaan. Pada dasarnya sistem pencernaan adalah suatu
tabung panjang yang dimulai dari mulut dan berakhir pada anus. Tabung
ini menghubungkan berbagai macam oragan dan bagian – bagian lain
yang beruhubungan sistem pencernaan.
Cara mendorong makanan dalam sistem pencernaan manusia
adalah dengan gelombang kontraksi otot yang bergerak terus menerus
untuk mendorong isinya ke bawah yang disebut dengan gerakan
peristaltik. Selain mendorong makanan, kontraksi ini juga membantu
mengaduk makanan dan cairan pencernaan yang berbeda sehingga
menjadi campuran lengket yang disebut dengan Chyme. Seperti yang
ditutupi dari Horwstuff works, perut yang berbunyi merupakan hasil dari
proses mendorong makanan ini yaitu pergerakan antara benda padat,
cairan Chyme serta adanya gas dan udara. Perut yang berbunyi ini bisa
terjadi sewaktu-waktu  tidak hanya sebatas saat seseorang merasa lapar
saja. Tapi jika ada makanan didalam perut atau usus kecil maka bunyi
yang dihasilkan akan sedikit lebih tenang dan pelan
(https://www.dosenpendidikan.co.id diperoleh tanggal 16 Februari 2020).
3. Gerak Peristaltik Pada Sistem Pencernaan Manusia
Sistem pencernaan makanan terbagi atas rongga mulut, tekuk,
kerongkongan, lambung, usus halus, dan usus besar. Makanan yang kita
makan pertama masuk ke mulut yang kemudian menjadi halus karena
telah dikunyah dengan gigi kita dengan dibantu oleh kelenjar
ludah. Setelah halus barulah dapat kita telan dengan cepat melalui bagian

36
bawah tekanan dan kerongkongan, pangkal dari kerongkongan adalah
leher, di belakang tenggorok, kemudian didaerah dada di belakang
jantung, menembus sekat rongga badan di depan tulang belakang dan
bermuara dalam lambung (Syaifuddin, 2013).
Lambung merupakan saluran pencernaan makanan yang melebar
seperti kantong, terletak dibagian atas rongga perut sebelah kiri, dan
bagian lainnya tertutup oleh hati, usus besar dan limpa. Makanan yang
ditelan terkumpul dalam lambung dan bercampur dengan getah lambung,
sehingga makanan menjadi encer seperti bubur. Jalan keluar lambung
tertutup karena tebalnya lapisan otot lingkar yang sewaktu – waktu
terbuka untuk melewatkan bubur makanan sedikit demi sedikit kedalam
usus  halus (Syaifuddin, 2013).
Bagian pertama dari usus halus adalah usus dua belas jari, yang
melengkung seperti ladam. Di usus halus ini bermuara pipa – pipa
penyalur dari hati dan dari kelenjar ludah perut. Dan pada daerah dalam
lambung pula makanan dicerna secara kimiawi. Dinding lambung
tersusun dari tiga lapisan otot yakni otot melingkar, memanjang dan
menyerong. Kontraksi dan ketiga macam lapisan otot tersebut
mengakibatkan gerak peristaltik (gerak gelombang). Gerak peristaltik
menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk – aduk (Syaifuddin,
2013).
Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar –
kelenjar yang menghasilkan getah lambung, aroma, bentuk, warna, selera
terhadap makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi getah
lambung mengandung  asam lambung (HCl), pepsin, musin dan rennin.
Asam lambung berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan
mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi pepsin (Syaifuddin, 2013).

36
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan
menjadi lembut seperti bubur, disebut Chyme (kim) atau bubur makanan.
Otot lambung bagian pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi
sedikit dalam duodenum. Caranya otot pilorus yang mengarah kelambung
akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim yang bersifat asam.
Sebaiknya otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan berkontraksi
(mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim bersifat asam tiba di
pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat.
Oleh karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup.
Makanan tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang
bersifat basa dibelakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka.
Akibatnya makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum.
Demikian seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju duodenum
segumpal demi segumpal agar makanan tersebut dapat tercerna
efektif. Setelah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali (Syaifuddin,
2013).

4. Bagian-Bagian Sistem Pencernaan


Proses pencernaan makanan dalam tubuh ada dua macam, yaitu :
a. Pencernaan Mekanis
Merupakan pemecahan atau penghancuran makanan secara fisik atau
proses pencampuran makanan dengan getah (enzim) pencernaan.
b. Pencernaan Kimiawi
Merupakan proses pemecahan makanan dari molekul kompleks
menjadi molekul – molekul yang sederhana dengan bantuan getah
pencernaan (enzim) yang dihasilkan oleh kelenjar pencernaan.
Saluran pencernaan terdiri dari alat-alat pencernaan yang
berhubungan langsung dengan proses pencernaan mekanis dan
kimiawi (Syaifuddin, 2013).

E. Konsep Nyeri
1 Pengertian Nyeri

36
Nyeri (pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan.
Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah
yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya
(Hidayat 2008).
Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan
potensial yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian
tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan
rasanya seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi,
perasaan takut, dan mual (Potter, 2015)
2. Sifat Nyeri
Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual, ada 4 atribut
pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri bersifat individual, tidak
menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, bersifat
tidak berkesudahan (Manwaba, 2008).
3. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,
penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat
dengan intensitas yang bervariasi (Ringan sampai Berat), dan
berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013).
Nyeri akut berdurasi singkat (Kurang lebih 6 Bulan) dan akan
menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali
(Prasetyo, 2010).
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri constant yang intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung lama dengan
intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan
(Potter & Peryy, 2007).
4. Pengukuran Intensitas

36
Nyeri intensitas adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat
subjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh 2
orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013).
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon pisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri,
namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Andarmoyo,
2013).

Tabel 2.2
Skala Nyeri

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Berat Nyeri Berat


Tidak Nyeri terkontrol tidak terkontrol

5. Manajemen Penatalaksanaan Nyeri


a. Manajemen Non Farmakologi
Manajemen non farmakologi merupakan tindakan menurunkan respon
nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi. Dalam melakukan
intervensi keperawatan, manajemn non farmakologi merupakan
tindakan dalam mengatasi respon nyeri klien (Sulistyo, 2013).
b. Manajemen Farmakologi
Manajemen farmakologi merupakan metode yang menggunakan obat-
obatan dalam praktik penanganannya. Cara dan metode ini

36
memerlukan instruksi dari medis. Ada beberapa strategi menggunakan
pendekatan farmakologis dengan manajemen nyeri dengan
penggunaan analgesik maupun anastesi (Sulistyo, 2013).
F. Konsep Intervensi
1. Mengunyah Permen Karet
a. Pengertian Mengunyah/ Mastikasi
Mastikasi menurut kamus Kedokteran Dorland edisi 29 tahun
2002 adalah proses pengunyahan makanan sebagai persiapan untuk
menelan dan mencerna. Mastikasi adalah suatu proses penghancuran
makanan yang melibatkan organ-organ didalam rongga mulut dan
saliva sehingga mengubah ukuran dan konsistensi makanan. Organ
yang membantu proses mastikasi ini antara lain gigi geligi, otot-otot
mastikasi, rahang, dan pensarafan (Setya ND, 2008).
Gerakan mastikasi merupakan gerakan penghancuran makanan
sehingga suatu partikel yang lebih kecil untuk membentuk suatu bolus
yang lunak dan mudah ditelan. Proses mastikasi sangat memerlukan
suatu cairan pembantu (saliva), disamping gigi geligi, otot-otot
mastikasi (otot masetter, otot temporalis, otot pterygoideus lateralis,
otot pterygoideus medialis serta otot tambahan) persyarafan, dan
rahang (Setya ND, 2008).

b. Mengunyah Permen Karet


Beberapa tahun terakhir, penggunaan mengunyah permen karet
telah dikatakan sebagai sebuah cara baru dan sederhana untuk
mengurangi dan mencegah ileus post operasi. Hal ini beraksi dengan
menstimulasi motilitas intestinal melalui refleks sefalik vagal dan
dengan meningkatkan poduksi hormon-hormon gastrointestinal yang
berkaitan dengan motilitas usus (Asao T, 2002 dalam Marwah, 2013).
Mengunyah berfungsi sebagai Sham Feeding (makan purapura)
dapat mempengaruhi stimulasi vagal dan pelepasan hormon-hormon

36
gastrointestinal dan meningkatkan sekresi saliva serta cairan getah
pankreas, gastrin, dan neurotensin yang dapat mempengaruhi proses
motilitas usus, duodenum, dan rektum di perut manusia (Ledari FM,
2013).
Mortimor Lorber (2000) menyatakan bahwa aktifitas
mengunyah (mastikasi) tidak hanya melibatkan gigi tetapi juga
jaringan periodontal, yang terdiri dari dua jaringan lunak, gusi dan
ligamentum periodontal, dan dua jaringan kapur, sementum gigi dan
tulang alveolar. Pergerakan rahang seperlunya membutuhkan aktifitas
otot-otot mastikasi dan sendi temporomandibular. Akibatnya, apabila
proses mastikasi menstimulasi motilitas usus seperti meningkatnya
sekresi gaster, beberapa bagian dari struktur oral dapat pula dilibatkan
oleh aktifitas motorik.
Mengunyah permen karet menyebabkan seseorang merasakan
reaksi yang disebabkan oleh stimulasi abdomen serta sekresi dari
getah lambung dan usus. Hal ini akan menyebabkan keinginan orang
tersebut untuk makan dan meningkatkan peristaltik dan mempercepat
proses pemulihan ileus. Hal ini telah dipertimbangkan oleh beberapa
peneliti sebagai sebuah strategi dalam menghadapi penurunan fungsi
ileus (Ledari FM, 2013).
Mengunyah permen karet telah dipelajari selama sepuluh tahun
terakhir ini sebagai suatu bentuk sham feeding untuk menstimulasi
proses pemulihan usus pasca operasi minimal 8 jam. Mekanisme aksi
yang diperkirakan adalah vagalcholinergic (parasympatethic)
stimulasi dari saluran sistem pencernaan, yang mirip dengan oral
intake tetapi rendah akan resiko muntah dan aspirasi (Mohsenzadeh
Ledari et al., 2013). Dalam lima penelitian seperti ini terhadap pasien
yang menjalani operasi reseksi kolon, mengunyah permen karet
menurunkan waktu hingga munculnya flatus pertama dan pergerakan
usus pertama, tetapi tidak ada perbedaan signifikan pada lama
perawatan (Quah HM et al 2006 dalam Ledari FM, 2013). Adapun

36
Sham feeding (makan pura-pura) telah di demonstrasikan sebagai
salah satu metode untuk meningkatkan motilitas gatsrointestinal. Hal
ini disebabkan oleh stimulasi vagal dan pelepasan hormon; salah satu
maupun keduanya dapat mengatur motilitas gastrointestinal.
Mengunyah permen karet, sebagai salah satu alternatif dari
Sham Feeding memberikan manfaat terhadap stimulasi
gastrointestinal tanpa komplikasi yang berhubungan dengan
pemberian makanan. Beberapa tahun terakhir ini, penggunaan
mengunyah permen karet untuk mengurangi ileus secara luas telah
ditinjau dalam beberapa randomized clinical trials pada beberapa
anastomosis intestinal terpilih dan telah dikemukakan bahwa hal ini
dapat memberikan manfaat dalam mengurangi ileus post operasi.
Tinjauan - tinjauan ini menyimpulkan bahwa terdapat manfaat yang
sesuai untuk pasien yang mengunyah permen karet setelah bedah
abdomen dalam hal penurunan waktu timbulnya flatus pertama,
pergerakan usus, dan lama rawat inap pasca operasi. Meskipun
pembuktiannya berdasarkan percobaan yang sederhana, tetapi
ditemukan bahwa intervensi yang sederhana dan murah ternyata dapat
memiliki manfaat yang besar baik bagi kesehatan maupun secara
ekonomis (Marwah et al., 2012).
Mengunyah permen karet pada pasien posca operasi abdomen
karena mampu memberikan manfaat untuk pencegahan ileus serta
percepatan kembalinya pungsi gastrointestinal normal pada pasien
pasca operasi abdomen (Budiyanto, 2017).
c. Jenis Permen Karet
Beberapa penelitian tentang mengunyah permen karet terhadap
durasi pemulihan sistem pencernaan menggunakan permen karet
bebas gula atau permen karet yang menggunakan gula seperti Xylitol,
Manitol, Happydent, Sorbitol. Farideh M. Ledari 2013 menggunakan
permen karet bebas gula “Orbit” setelah pasien pulih dari pengaruh
anastesi. Beberapa Tahun terakhir, telah diajukan bahwa Hexitol yang

36
terkandung dalam permen karet bebas gula kemungkinan besar juga
memiliki peran penting dalam ameliorasi dari ileus karena hal tersebut
telah diketahui menyebabkan gejala gastrointestinal seperti gas
(flatus), kembung, dan kram perut dalam sebuah cara tergantung
ukurannya (Tandeter 2009 dalam Marwah, 2012).
Farideh M. Ledari, pada penelitiannya tahun 2013 tentang
mengunyah permen karet bebas gula dapat mengurangi ileus setelah
operasi sesar pada ibu nullipara menyimpulkan bahwa hasil yang
didapatkan menunjukkan bahwa motilitas gastrointestinal setelah
operasi seksio sesaria pada ibu nullipara dapat ditingkatkan dengan
mengunyah permen karet. Juga bahwa mengunyah permen karet ini
adalah sebuah metode yang bermanfaat, murah, dan dapat ditoleransi
dengan baik untuk ibu post operasi sectio sesaria (Ledari FM, 2013).
d. Mekanisme Penurunan Ileus dengan Mengunyah Permen Karet
Mekanisme inti yang terkait dengan hubungan antara
mengunyah permen karet dengan Ileus post operatif masih belum
jelas. Salah satu penjelasan yang paling mungkin adalah mengunyah
berfungsi sebagai Sham Feeding, stimulasi motilitas usus, duodenum,
dan rektum di perut manusia. Penjelasan yang lainnya adalah dengan
mengunyah dapat memicu pelepasan hormon-hormon gastrointestinal
dan meningkatkan sekresi saliva serta cairan getah pankreas, gastrin,
dan neurotensin. Hal ini menunjukkan bahwa mekanismenya bersifat
multimodal (lebih dari satu mekanisme). Meskipun demikian, untuk
sebuah intervensi yang sangat murah, efektif, dan bebas dari efek
samping, hal ini dapat dipakai secara klinis sekalipun mekanisme
dibalik keberhasilannya belum diketahui tetapi hal ini penting untuk
kesehatan serta sangat bermanfaat secara ekonomis (Ledari FM,
2013).
G. Prosedur Mengunyah Permen Karet
1. Definisi

36
Mengunyah permen karet berfungsi sebagai Sham Feeding (makan
purapura) dapat mempengaruhi stimulasi vagal dan pelepasan hormon-
hormon gastrointestinal dan meningkatkan sekresi saliva serta cairan getah
pankreas, gastrin, dan neurotensin yang dapat mempengaruhi proses
motilitas usus, duodenum, dan rektum di perut manusia (Ledari FM,
2013).
Mengunyah permen karet, sebagai salah satu alternatif dari Sham
Feeding memberikan manfaat terhadap stimulasi gastrointestinal tanpa
komplikasi yang berhubungan dengan pemberian makanan (Marwah et
al.,2012).
2. Tujuan
a. Mempengaruhi stimulasi vagal dan Pelepasan hormon-hormon
gastrointestinal
b. Meningkatkan sekresi saliva
c. Meningkatkan peristaltik usus
3. Persiapan Alat
a. Permen Karet
b. Stestoscope
c. Plastik kuning/nierbeken
d. Alat Tulis
e. Arloji
f. Format penilaian dan Informent consent

4. Prosedur Pelaksanaan
Sebelum melakukan tindakan pertama memberikan salam, panggil
klien/ keluarga dengan namanya lalu menjelasakn tujuan prosedur dan
lamanya tindakan pelaksanaan dan memberikan kesempatan klien atau
keluarga untuk bertanya sebelum kegiatan dimulai, kita tanyakan
persetujuan/kesiapan klien, bila pasien bersedia diminta menandatangani

36
inform consent, berikan privasi pada klien untuk memulai tindakan ,
terlebih dahulu.
Dekatkan alat-alat disamping klien lalu mencuci tangan dengan
teknik yang benar, pakai handscoon, sesudah memakai handscoon
auskultasi abdomen untuk memeriksa gerak peristaltik usus lalu kita kaji
keadaan mukosa mulut dan pastikan pasien mampu untuk mengunyah
permen karet, lalu kita ambil permen karet sesuai kebutuhan dan
memberikan permen karet kepada klien pada waktu & cara yang benar
dengan frekuensi mengunyah permen 3x sehari selama 30 menit sekali
mengunyah. Setelah selesai kita catat waktu pemberian permen karet yang
sudah diberikan dan dekatkan pelastik kuning/nierbeken untuk membuang
permen karet, setelah selesai kita periksa kembali/auskultasi peristaltik
usus menggunakan stestoscope tiap jam. Setelah selesai tindakan kita catat
kegiatan dalam lembar catatan keperawatan (dokumentasi) (Azzizah,
2014).

36
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriftif kualitatif, yaitu
penelitian yang menghasilkan data dekriptif yang berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif
juga merupakan sutu pendekatan induktif untuk penyusunan pengetahuan
yang menggunakan riset dan menekankan subjektifitas serta arti
pengalaman bagi individu (Brockopp, Marie T, 2008).
Metode studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang secara
khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks
kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara
penomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai
sumber data. Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusu
(Yin, 2009).
Metode ini dipilih oleh peneliti untuk megaplikasikan tindakan
penerapan pengaruh mengunyah peremen karet terhadap peningkatan
peristaltik usus pada klien Post Op Appendiktomi di RSUD sayang
Cianjur.

B. Subjek Penelitian/ Partisipan


Subjek yang digunakan adalah 2 klien atau (2 kasus) dengan masalah
keperawatan dan diagnosis yang sama dengan pasien Post Op
Appendiktomi yang di rawat di RSUD Sayang Cianjur dengan kriteria
yang menjadi sampel dalam penelitian ini diantaranya:
1. Kriteria Inkulsi

36
Kriteria inkulsi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Pertimbangan ilmiah
harus menjadi pedoman saat menenutukan kriteria inklusi (Nursalam,

36
7

2016). Yang termasuk dalam kriteria inklusi dalam penelitian ini


diantaranya:
a. Pasien Post Op Appendektomi yang di rawat di RSUD Sayang
Cianjur
b. Pasien yang bersedia menjadi responden
c. Composmentis
d. Pasien yang kooperatif
e. Pasien Post Op Appendektomi yang tanpa indikasi dan komplikasi
f. Pasca bedah minimal 6 jam
2. Kriteria Eklusi
Kriteria eklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab, antara lain
terdapat keadaan atau penyakit yang mengganggu pengukuran
maupun interpretasi hasil, terdapat keadaan yang mengganggu
kemampuan pelaksanaan, hambatan etis, subjek menolak
berpartisipasi (Nursalam, 2016). Yang termasuk dalam kriteria eklusi
dalam penelitian ini diantaranya:
a. Pasien Appendiktomi yang masuk di ruang ICU
b. Gangguan tenggorokan
c. Stomatitis
d. Tidak Bergigi
e. Klien dengan diagnosa Diabetes Melitus

C. Lokasi Dan Waktu Penelitian `


1. Lokasi Penelitian
Peneliti ini akan dilakukan di RSUD Sayang Cianjur.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari - Mei 2020.

D. Setting Penelitian
Setting penelitian dapat dinyatakan sebagai situasi sosial penelitian
yang ingin diketahui apa yang terjadi di dalamnya. Pada obyek penelitian
8

ini, penelitian dapat mengamati secara mendalam aktivitas (activity),


orang-orang (actors) yang ada pada tempat (place) tertentu (Sugiyanto,
2007). Penelitian ini akan dilakukan dilakukan di wilayah kerja RSUD
Sayang Cianjur.

E. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan cara peneliti untuk
mengumpulkan data dalam penelitian sebelum melakukan pengumpulan
data, perlu dilihat alat ukur pengumpulan data agar dapat memperkuat
hasil penelitian. Alat ukur pengumpulan data tersebut antara lain dapat
berupa kuesioner/angket, observasi, wawancara, atau gabungan ketiganya
(Hidayat,2010).
1. Observasi (pengamatan)
Observasi dan pemeriksaan fisik (dengan pendekatan IPPA: inspeksi,
palpasi, perkusi, auskultasi) pada system tubuh klien. (Hidayat,2010).
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemeriksaan fisik
dengan pendekatan IPPA: inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi pada
sistem tubuh klien. Peneliti juga menggunakan metode pengumpulan
data observasi, yang meninjau langsung keadaan responden. Dalam
hal ini peneliti dapat mengetahui kondisi tempat tinggal, status
kesehatan, dan keadaan psikologis responden.
2. Wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan cara
mewawancarai langsung responden yang diteliti, metode ini
memberikan hasil secara langsung. Metode dapat dilakukan apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden secara mendalam
serta jumlah responden sedikit. Dalam metode wawancara ini, dapat
digunakan instrument berupa pedoman wawancara kemudian daptar
periksa atau checklis (Hidayat,2010).
Dalam metode ini peneliti melakukan anamnesis dengan fokus
pertanyaan: pengkajian identitas pasien, keluhan utama, riwayat
9

kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan


keluarga, serta pola aktivitas sehari-hari dan lain-lain.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara
mengambil data yang berasal dari dokumen asli. Dokumen asli
tersebut dapat berupa gambar, table atau daftar periksa, dan film
documenter (Hidayat,2010).
Penulis melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan
berdasarkan pada lima pokok asuhan keperawatan yaitu: pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan, dan evaluasi keperawatan, serta mendokumentasikan
tindakan melalui catatan perkembangan.

F. Metode Uji Keabsahan Data


Uji keabsahan data dimaksud untuk menguji kualitas data/informasi
yang diperoleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data dengan
validitas tinggi. Disamping integritas peneliti (karena peneliti menjadi
instrumen utama) maka uji keabsaahan data dapat menggunakan trigulasi
sumber/metode. Yaitu menggunakan klien, perawat, keluarga klien
sebagai sumber informasi, sumber dokumentasi dan lain-lain. Jika
informasi yang didapatkan dari sumber klien, sama dengan yang
didapatkan dari perawat dan keluarga klien, maka informasi tersebut vaild.
Keabsahan hasil peneliti merupakan kredibilitas hasil riset dan
kekuatan ilmiah yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
dibahas dengan strategi yang disusun untuk meningkatkan validitas dan
realibilitas. Untuk itu digunakan:

1. Memperpanjang waktu pengamatan atau tidak


2. Sumber informasi menggunakan triagulasi dari tiga sumber utama yaitu
pasien, perawat, dan keluarga partisipan yang berhubungan dengan
masalah.
10

Menurut Norman K Denkin dalam Moleong (2009). Triangulasi :


sebagai gabungan / kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk
mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan
perspektif yang berbeda,
a. Triangulasi metode
Dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan
cara yang berbeda. Dalam peneletian kualitatif peneliti
menggunakan metode wawancara (bebas/terstruktur), observasi, dan
survei. Traingulasi tahap ini dilakukan jika data atau informasi yang
diperoleh dari subjek atau infromen penelitian diragukan
kebenarannya, (pasien, perawat, keluarga).
b. Triangulasi sumber data
Menggali kebenaran informal tertentu melelui berbagai metode dan
sumber peroleh data. Misalnya selain wawancara dan observasi,
peneliti bisa menggunakan observasi terlibat, catatan resmi, catatan
atau tulisan pribadi.

G. Metode Analisa Data


Metode analisa data dalam penelitian kualitatif, penulisan deskriptif
sebagai mana yang dikemukakan oleh Moleong 2009 mengikuti prosedur
sebagai berikut.
1. Analisis deskriptif dengan menggambarkan kategori-kategori yang
relevan dengan tujuan
2. Penafsiran atas hasil analisis deskriptif dengan berpedoman dengan
teori yang sesuai
3. Mengacu pada pendapat tersebut, maka dalam penelitian ini data yang
terkumpul diolah dan di interpetasikan secara kualitatif dengan maksud
menjawab masalah penelitian. Data tersebut ditapsirkan menjadi
kategori-kategori yang berarti menjadi bagian dari teori atau
mendukung teori yang di permulasikan secara deskriptif.
11

ANALISA PICOT
P : Pasien / Problem (Seperti apa karakteristik pasien kita / poin-poin
pentingnya saja, hal-hal yang berhubungan atau relevan).
Pada penelitian ini pasien yang digunakan adalah dua pasien
dengan diagnosa Post Op Appendiktomi
Problem: Pasien dengan gangguan peristaltik usus Post Op
Appendiktomi
I : Intervensi (Berisikan hal yang berhubungan dengan intervensi
yang diberikan ke pasien).
Intervensi: Pada intervensi di penelitian ini adalah penerapan
mengunyah peremen karet pada pasien Post Op Appendiktomi
C : Comparison (Pembanding / hal yang dapat menjadi alternative
intervensi yang digunakan / perbandingan tindakan yang lain /
korelasi hubungan dari intervensi).
Pada peneliti ini diberikan intervensi mengunyah permen karet
untuk meningkatkan peristaltik usus pada pasien post op
Appendiktomi dilakukan selama 3x sehari dengan intensitas
dilakukan sebanyak 30 menit, sesuai dengan jurnal penelitian
Damayanti (2018) dan Basri (2018).
O : Out Come (Hasil / harapan yang kita inginkan dari intervensi
yang diberikan).
Out Come : Setelah dilakukan intervensi mengunyah permen
karet dapat meningkatkan gerak peristaltik usus.
T : Timing (Waktu). Mendeskripsikan durasi dalam pengumpulan
data. Menurut jurnal penelitian Damayanti (2018) dan Basri
(2018). Penelitian ini akan di lakukan selama 3 hari
12

H. Etik Peneliti
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan
untuk mendapat ijin melakukan penelitian di RSUD Cianjur. Setelah ada
persetujuan barulah penelitian ini dilakukan dengan menekankan pada
masalah kesehatan yang meliputi :
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Lembar persetujua diberikan kepada responden yang akan diteliti,
peneliti menjelasakan maksud dari penelitian serta dampak yang
mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Jika
responden bersedia, maka mereka harus mendatadatangani surat
persetujuan peneliti, jika responden menolak untuk diteliti maka
peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya
(Hidayat, 2011).
Peneliti mengajukan lembar persetujuan yang ditanda tangani
oleh klien sebagai bukti klien bersedia menjadi responden.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan
dicantumkan nama dan lembar pengumpulan data dan cukup diberikan
kode tertentu (Hidayat, 2011).
Peneliti tidak mencantumkan nama dan lembar
pengumpulan data, cukup dengan menggunakan inisial dan telah
disepakati oleh klien.
3. Confidentiality (Kerahasian)
Kerahasian informasi yang diperoleh dari reponden dijamin oleh
peneliti, hanya sekelompok data tertentu yang akan disajikan dan
dilaporkan sebagai hasil peneliti (Hidayat, 2011).
Peneliti menjamin yang bersifat rahasia dari responden tidak
akan menyebarkan kepada orang lain.
4. Benefisience (Berbuat Baik)
Masalah ini merupakan masalah etik dengan melakukan sesuatu
yang baik, kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau
13

kejahatan, penghapusan kesalahan dan peningkatan kebaikan oleh dari


dan orang lain (Hidayat, 2011).
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penerapan
mengunyah peremen karet pada pasien Post Op Appendiktomi
5. Non Malefisience (Tidak Merugikan)
Masalah ini merupakan masalah etik dengan tidak menimbulkan
bahaya atau cedera secara fisik atau psikologis (Hidayat, 2011).
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan tindakan mengunyah
peremen karet pada pasien Post Op Appendiktomi. Penelitian ini tidak
menggunakan alat berbahaya yang dapat menimbulkan cedera bagi
klien.
14

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 12. Jakarta: EGC

Basri & Sulistiawati, (2018). Pengaruh Mengunyah Permen Karet Terhadap


Peristaltik Usus Post Appendiktomi. Vol. 09, Nomor 01.

Damayanti & Syara, (2018). Pengaruh Mengunyah Permen Karet Terhadap


Peristaltik Usus Post Appendiktomi. Vol. 1. Nomer 1

Ledari, F.M., Barat, S., & Delevar, M.A. (2013) Bosnian journal of Basic
Medical sciences

Chang, E., Daly, J., & Elliott, D., 2010. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik
Keperawatan, 112-113. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapiu.

Smeltzer & Bare. (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol. 1 Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai