Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

FRAKTUR MALUNION OS FEMUR DEXTRA 1/3 DISTAL

Untuk Memenuhi Tugas Dokter Internship


Periode November 2018 – November 2019

Disusun oleh :
dr. Albertus Maria Henry Santoso

Pembimbing :
dr. Anton Rumambi, DK, M. Kes
dr. Giselle Tambajong

RUMAH SAKIT TK. II R. W. MONGISIDI


MANADO
2019

i
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii
BAB I – PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 3
2.1 Anatomi .................................................................................................. 3
2.2 Fraktur .................................................................................................... 5
2.3 Fraktur Corpus Femoris ......................................................................... 13
2.4 Malunion Fraktur ................................................................................... 18
BAB III – LAPORAN KASUS ................................................................... 20
3.1 Identitas Pasien ....................................................................................... 20
3.2 Anamnesis .............................................................................................. 20
3.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 21
3.4 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 22
3.5 Diagnosis ................................................................................................ 23
3.6 Terapi ..................................................................................................... 23
3.7 Prognosis ................................................................................................ 23
3.8 Laporan Operasi ..................................................................................... 24
BAB IV – PEMBAHASAN ....................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 27
iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tulang femur .......................................................................... 4


Gambar 2.2 Tipe-tipe fraktur ...................................................................... 8
Gambar 2.3 Prinsip pemeriksaan radiologi pada fraktur ............................ 10
Gambar 2.4 Proses penyembuhan fraktur dengan terbentuknya kalus ....... 11
Gambar 2.5 Traction – Bracing pada fraktur femur ................................... 14
Gambar 2.6 ORIF pada fraktur 1/3 distal femur ........................................ 15
Gambar 2.7 Femur Intramedullary Nail (FIN) .......................................... 15
Gambar 2.8 External fixation fraktur corpus femoris ................................. 16
Gambar 2.9 Malunion fraktur corpus femoris 1/3 media (shortening) ...... 18

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Waktu yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan fraktur ...... 13
BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai negara yang tergolong masih negara berkembang, Indonesia masih


memiliki angka fatalitas kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang cukup tinggi.
Menurut Bambang Brodjonegoro (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional)
jumlah fatalitas pada tahun 2018 mencapai 25.869 jiwa, naik dibandingkan tahun
2015 yang hanya 24.334 jiwa, dan sepeda motor masih menjadi kontributor terbesar
penyumbang kematian akibat kecelakaan lau lintas. (Korlantas Polri, 2018)
Di Indonesia, angka kecelakaan lalu lintas tiap tahun terus meningkat, pola
yang sama juga didapatkan di Manado. Berdasarkan data 2010 hingga 2016, 80%
kejadian lalu lintas didominasi oleh korban usia produktif serta pencari nafkah, baik
pengendara sepeda motor maupun pejalan kaki. Lebih dari 80% pasien yang masuk
ke ruang gawat darurat adalah disebabkan kecelakaan lalu lintas berupa tabrakan
sepeda motor, mobil, sepeda, dan penyebrang jalan yang ditabrak (Rompis, 2016).
Luka yang dialami cukup bervariasi mulai dari luka lecet hingga luka berat, dengan
lokasi terbanyak pada daerah kepala dan ekterimitas bawah.
Sejak awal tahun 2018 BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sudah
melakukan kerja sama dengan PT Jasa Raharja untuk membuat sistem koordinasi
dalam penyelenggaraan kecelakaan penumpang angkutan umum, kecelakaan lalu
lintas jalan, serta jaminan kesehatan di Indonesia (Arnita, 2018). Alur mekanisme
penjaminan kecelakaan lalu ljntas sudah cukup jelas, yaitu pihak korban atau
keluarga pertama-tama harus segera mengurus surat Laporan Polisi (LP). Dokumen
tersebut nantinya berfungsi sebagai bukti sekaligus syarat penjaminan Jasa Raharja.
Namun, bagi beberapa warga masyarakat hal tersebut masih menjadi salah
satu kendala, karena proses yang terlalu panjang, lama, atau merepotkan, meskipun
pada dasarnya program tersebut untuk kepentingan pasien. Tidak jarang pula pasien
atau keluarga pasien harus mengeluarkan uang terlebih dahulu sebelum diganti oleh
pihak Jasa Raharja (sistem reimburse), dan tidak semua keluarga mampu untuk
melakukan pembiayaan ini. Hal ini menjadi alasana beberapa korban untuk memilih
pulang paksa dan memilih pengobatan tradisional dengan harga yang lebih

1
2

terjangkau. Beberapa alasan lain yang menyebabkan keluarga lebih memilih


pengobatan alternatif adalah anggapan adanya komplikasi yang didapat paska
operasi dan pembiusan serta stigma masyarakat yang takut untuk dioperasi.
Pengobatan alternatif bukanlah hal yang baru di Indonesia. Bahkan sebelum
dikenalnya dunia medis secara luas oleh masyarakat Indonesia, beberapa teknik
alternatif yang lebih akrab dikenal dengan berobat dukun sudah banyak menjadi
andalan. Salah satu teknik yang sangat popular sekarang adalah “sangkal putung”
atau “urut kampung”, yaitu teknik pijat dengan teknik, ilmu, dan ramuan tertentu
untuk menyembuhkan suatu tulang yang mengalami patah atau dislokasi.
Pada laporan kali ini akan disajikan sebuah kasus dimana seorang pasien
usia produktif mengalami kecelakaan sepeda motor setelah ditabrak sebuah mobil
pick-up dari arah samping. Pasien mengalami patah tulang paha sebelah kanan,
namun ia memilih untuk menjalani pengobatan alternatif berupa urut kampung
selama 2 bulan. Empat bulan kemudian pasien datang ke RS R. W. Mongisidi
dengan keluhan jalannya pincang dan setelah menjalani proses anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta penunjang, pasien didiagnosa dengan “malunion fraktur os
femur dextra 1/3 distal (neglected 4 months)”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Tulang berfungsi sebagai penunjang dan pelindung tubuh serta
tempat untuk melekatnya otot yang berperan untuk menggerakkan kerangka
tubuh. Didalam tulang terdapat ruang berisi jaringan hematopoietik yang
bertugas membentuk sel darah. Selain membentuk sel darah tulang juga
merupakan tempat primer untuk penyimpanan dan pengaturan kalsium dan
fosfat.
Tulang merupakan jaringan yang terstruktur dengan baik dan
mempunyai lima fungsi utama yaitu :
a) Membentuk rangka badan
b) Sebagai tempat melekat otot
c) Melindungi dan mempertahankan organ-organ vital
d) Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium dan garam
e) Sebagai organ produsen sel-sel darah
Tulang secara garis besar dibagi atas : tulang panjang, pendek dan
pipih, dimana os femur termasuk kedalam tulang panjang.
Os femur terdiri atas caput, corpus, dan collum dengan ujung distal
dan proksimal. Bersendi dengan tulang tibia pada sendi lutut. Os femur
merupakan tulang terpanjang dan terbesar pada tubuh yang termasuk
seperempat bagian dari panjang tubuh. Tulang paha terdiri dari 3 bagian
yaitu : epifisis proksimalis, diafisis, dan epifisis distalis.

a) Epifisis Proksimalis
Ujung bulatan 2/3 bagian bola disebut caput femoris yang
memiliki fasies artikularis untuk bersendi dengan asetabulum
dimana pada bagian tengah terdapat cekungan yang disebut
fovea capitis. Caput melanjutkan diri sebagai collum femoris
yang kemudian di sebelah lateral membulat disebut trochanter

3
4

major ke arah medial juga membulat kecil yang disebut


trochanter minor. Jika dilihat dari depan kedua bulatan major
dan minor ini dihubungkan oleh garis yang disebut linea
intertrochanterica (linea spiralis). Dilihat dari belakang, kedua
bulatan ini dihubungkan oleh rigi yang disebut crista
intertrochanterica. Jika dilihat dari belakang pula maka
disebelah medial trochantor major terdapat cekungan yang
disebut fossa trochanterica.

Gambar 2.1. Tulang Femur


5

b) Diafisis
Merupakan bagian yang disebut corpus. Penampang melintang
merupakan segitiga dengan basis menghadap ke depan.
Mempunyai dataran yaitu facies medialis, facies lateralis, facies
anterior. Batas antara facies medialis dan lateralis nampak di
bagian belakang berupa garis disebut linea aspera yang dimulai
dari bagian proximal dengan adanya suatu tonjolan kasar yang
disebut tuberositas glutea. Linea ini terbagi menjadi dua asal
yaitu labium mediale dan labium laterale, labium medial sendiri
merupakan lanjutan dari linea intertrochanterica. Linea aspera
bagian distal membentuk segitiga disebut planum popliseum.
Dari trochanter minor terdapat suatu garis disebut linea pectinea.
Pada dataran belakang terdapat foramen nutricium, labium
medial lateral disebut juga supracondilaris lateralis/medialis.

c) Epifisis Distalis
Merupakan bulatan sepasang yang disebut condylus medialis
dan condylus lateralis. Di sebelah proksimal tonjolan ini terdapat
lagi masing-masing sebuah bulatan kecil yang disebut
epikondilus medialis dan epikondilus lateralis. Epicondilus ini
merupakan akhir perjalanan linea aspera bagian distal yang
dilihat dari depan terdapat dataran sendi yang melebar disebut
facies patelaris untuk bersendi dengan os. Patella.
Intercondyloidea yang dibagian proksimalnya terdapat garis
disebut line intercondyloidea.

2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah rusaknya kontinuitas struktur baik
tulang keras, tulang rawan, maupun lempeng pertumbuhan, yang dapat
disebabkan baik oleh karena proses trauma maupun non-trauma. Fraktur
6

biasanya disertai dengan kerusakan jaringan sekitarnya, baik otot, pembuluh


darah, maupun saraf. Jenis fraktur bisa cukup bervariasi mulai dari yang
hanya berupa retakan, patah sebagian (incomplete), patah komplit, hingga
jenis kominutif.

2.2.2 Etiologi Fraktur


Tulang merupakan salah satu jaringan ikat yang relatif cukup kuat
menahan suatu beban tertentu. Suatu tulang memiliki kekuatan dan
ketahanan untuk menahan beban normalnya sesuai dengan fungsinya dalam
aktivitas sehari-hari. Namun ada kalanya beberapa faktor memungkinkan
untuk terjadinya fraktur, seperti :

1. Trauma yang tiba-tiba dengan beban melebihi


kemampuan tulang
Mekanisme fraktur jenis ini merupakan penyebab paling
sering dari semua fraktur. Fraktur yang terjadi bisa
merupakan dampak secara langsung maupun tidak langsung
dari suatu trauma. Trauma langsung berarti trauma yang
langsung terjadi pada titik frakturnya, sebagai contoh fraktur
tulang femur karena tabrakan mobil dari samping, atau
boxer’s fracture. Sedangkan trauma tidak langsung adalah
patah tulang yang terjadi bukan karena trauma yang tejadi,
namun karena dampak gaya lanjutan dari trauma itu sendiri.
Seperti contohnya, patahnya tulang tibia dan fibula karena
trauma gaya torsio pada kaki (pedis), atau fraktur kompresi
tulang vertebrae karena hiperfleksi vertebrae.

2. Stress fracture (fatigue fracture)


Stress fracture biasanya merupakan suatu retakan/ hairline
fracture, yang dikarenakan adanya stress berulang pada satu
titik tertentu. Bagian tulang yang paling sering terkena
7

adalah tibia, fibula, dan metatarsal, khusunya pada atlit,


penari, atau tentara yang menjalani latihan hanmars (long
march).

3. Fraktur patologis
Fraktur yang terjadi karena kondisi tulang yang memang
sudah tidak normal (patologis), meskipun hanya dengan
beban yang kecil sekalipun. Contohnya adalah pada pasien
dengan kondisi osteogenesis imperfecta (OI), osteoporosis,
Paget’s disease, atau adanya proses keganasan.

2.2.3 Tipe-tipe Fraktur


Bentuk tulang yang mengalami fraktur sangatlah bervariasi, namun
secara umum dapat dibagi menjadi beberapa kelompok.

1. Berdasarkan bentuknya :
a. Fraktur komplit. Tulang patah sepenuhnya menjadi 2
atau lebih bagian. Fraktur komplit bisa berbentuk patahan
transversal, oblique atau spiral, patah segmental, dan avulsi.
b. Fraktur inkomplit. Tulang yang mengalami fraktur
tidak patah sepenuhnya, namun masih ada bagian periosteum
yang menyambung. Contohnya adalah greenstick fracture,
stress fracture, fraktur kompresi.

2. Berdasarkan terpaparnya fraktur dengan dunia luar.


a. Fraktur tertutup (simple fracture). Fraktur yang
terjadi jika kulit di atas/ sekitar tempat fraktur masih utuh/
intak. Bisa dikatakan fragmen tulang tidak menembus kulit
atau tidak tercemar dengan lingkungan luar.
b. Fraktur terbuka (compound fracture). Fraktur di
mana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau pernah
8

berhubungan dengan dunia luar dan beresiko untuk


terjadinya kontaminasi atau infeksi.

Gambar 2.2. Tipe-tipe fraktur

2.2.4 Tanda dan Gejala


Cukup penting untuk mengetahui umur dan mekanisme trauma
penyebab dari fraktur (pada kasus trauma), karena hal ini akan mengarahkan
pada fraktur/ kelainan jenis apa yang kemungkinan akan terjadi. Beberapa
tanda yang patut dicurigai adanya fraktur adalah adanya nyeri, lebam,
bengkak, deformitas, mati rasa di bagian distal, motorik yang terganggu,
sianosis, darah di urin, nyeri perut, susah bernafas, hingga adanya periode
hilangnya kesadaran. Riwayat penyakit sebelumnya juga penting
ditanyakan terutama untuk kepentingan persiapan operasi.
Prinsip pemeriksaan pada pasien dengan kecerugiaan fraktur adalah
dengan prinsip Look – Feel – Move.
9

1. Inspeksi (Look). Bisa ditemukan adanya deformitas dan/ atau


pembengkakan. Pastikan tidak ada luka terbuka sekecil apapun
di daerah fraktur, untuk mengesampingkan terjadinya fraktur
terbuka. Atau curigai adanya potential open fracture.
2. Palpasi (Feel). Pada perabaan dapat dirasakan adanya
ketegangan local atau nyeri tekan. Pada pergerakan dapat
ditemukan adanya krepitasi, namun hal ini tidak rutin dilakukan,
biasanya ditemukan secara tidak sengaja.
3. Gerakan (Move). Pada tulang yang patah, terutama patah
komplit ditemukan adanya gerakan yang abnormal (false
movement) atau ”function laesa”.
4. Pemeriksaan fungsi neuro-vaskular distal, baik dari pulsasi
arteri, fungsi motorik, maupun sensorik bagian distal dari
fraktur.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Prinsip pemeriksaan radiologi pada kasus fraktur adalah :
1. 2 arah (antero-lateral dan lateral atau posisi yang lain)
2. 2 waktu yang berbeda (saat setelah trauma dan setelah
dilakukannya tindakan)
3. 2 sendi (sendi proksimal dan distal dari fraktur harus terlihat di
film)
4. 2 ekstremitas (khusus pada anak-anak untuk memastikan
adanya fraktur yang meragukan atau kelainan bawaan)
5. 2 trauma (lakukan pemeriksaan juga pada bagian atas atau
bawah dari lokasi trauma, seperti patah tulang femur, perlu
dilakukan foto pada tulang pelvis)
CT- scan dan MRI mungkin diperlukan pada kecerugiaan fraktur-
fraktur yang kadang kala kurang jelas jika diperiksa hanya dengan modalitas
foto polos. Seperti halnya pada faraktur di colum vertebralis, acetabulum,
ataupun calcaneus
10

Gambar 2.3. Prinsip pemeriksaan radiologi pada fraktur (a) – (b) 2 arah, fraktur spiral os ulna;
(c) – (d) 2 waktu, fraktur os scaphoid manus; (e) – (f) 2 sendi, fraktur-dislokasi Montegia;
(g) – (h) 2 sisi, fraktur epicondilus lateralis humerus pada anak kecil

2.2.6 Proses Penyembuhan Fraktur


Proses penyembuhan fraktur secara umum dibagi menjadi 2 metode
yang berbeda, yaitu penyembuhan dengan kalus dan tanpa kalus.

1. Proses penyembuhan dengan kalus


Terbentuknya kalus merupakan respon dari pergerakan yang
terjadi pada fraktur pada saat proses penyembuhannya. Kalus
merupakan salah satu respon tubuh untuk menstabilkan fraktur
secepat mungkin. Proses penyembuhan dengan kalus biasanya
terjadi pada tatalaksana fraktur selain ORIF (traksi, bracing, atau
gips). Ada 5 tahapan penyembuhan luka dengan kalus :
11

(1) Destruksi jaringan lunak sekitar fraktur dan


terbentuknya hematoma. Rusaknya pembuluh darah di
sekitar lokasi fraktur menyebabkan terbentuknya hematoma
di sekitar dan dalam tulang yang patah. Jaringan tulang di
permukaan yang patah perlahan-lahan mulai mati 1 – 2 mm
karena tidak adanya pasokan darah.

(2) Proses proliferasi sel dan inflamasi. Dalam 8 jam terjadi


reaksi inflamasi akut dengan proliferasi sel-sel di bawah
periosteum, termasuk kanal medularis, di lokasi fraktur. Di
tahap ini sudah mulai terjadi pembekuan hematoma dan
pembuluh darah kapiler baru sudah mulai tumbuh.

(3) Pembentukan kalus. Sel-sel yang berproliferasi di sekitar


lokasi patahan tulang merupakan sel kondrogenik dan
osteogenic, sehingga dengan kondisi yang mendukung
(tanpa adanya infeksi atau trombus) sel-sel tersebut akan
segera berubah menjadi tulang atau kartilago baru. Sel-sel
terserbut juga termasuk osteoclast yang berperan
menghancurkan sisa-sisa tulang yang sudah mati. Pada
proses ini jika imobilisasi tidak terlalu bagus, maka akan
terbentuklah kalus, fungsinya tidak lain adalah membantu
mengimobilisasi patahan tulang.

Gambar 2.4 Proses penyembuhan fraktur dengan terbentuknya kalus


12

(4) Konsolidasi. Pada proses ini tulang fibrosa (woven bone/


fibrous bone) sudah mulai berubah menjadi tulang lamellar
(lamellar bone). Proses konsolidasi berjalan cukup lama
hingga beberapa bulan sampai tugas dari osteoblast dan
osteoclast selesai membuat tulang menjadi kuat untuk
menopang beban yang normal.

(5) Remodeling. Proses ini merupakan tahap akhir pada proses


penyembuhan tulang. Dapat berlangsung selama bulanan
bahkan tahunan. Tulang padat di daerah bekas patahan
tulang akan terus dirapihkan dari luar maupun dalam, tulang
lamella akan semakin tebal dan kuat, kanal medularis sudah
mulai terbentuk kembali.

2. Proses penyembuhan tanpa kalus


Proses peyembenuhan fraktur tanpa pembentukan kalus dapat
terjadi bila dilakukan teknik fiksasi yang tepat seperti dengan
pemasangan plate atau nailing. Dengan tanpa adanya imobilisasi
maka pembentukan tulang dapat langsung terjadi. Jika celah
antar-tulang tidak terlalu lebar (200µm), maka osteogenesis
akan segera membentuk tulang lamellar, namun pada celah yang
lebih lebar akan didahului dengan tulang fibrosa (woven bone)
dulu.

Proses penyembuhan dengan kalus biasanya akan menghasilkan


tulang yang lebih tebal dan kuat, sebaliknya pada proses penyembuhan
dengan kalus akan menghasilkan tulang yang cenderung bersifat
osteoporotic. Hal ini dikarenakan selama proses penyembuhan beban tubuh
secara tidak langsung ditopang oleh implant yang terpasang, sehingga
proses penyembuhan tidak akan sempurna sampai implant tersebut dilepas.
13

Tabel 2.1. Waktu yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan fraktur

2.3 Fraktur Corpus Femoris


Tulang femur merupakan tulang panjang yang paling besar serta
dibungkus dengan rapat oleh banyak otot-otot besar, seperti m. vastus
medialis, m. vastus lateralis, m. rectus femoris, m. semimembranosus, m.
semitendinosus, dan m. biceps femoris. Keadaan ini bisa menjadi hal yang
menguntungkan karena dapat melindungi tulang dengan cukup kuat, namun
kerugiannya adalah pada saat terjadi trauma yang menyebabkan fraktur
komplit, maka akan cukup sulit untuk mereduksinya.
Karena struktur yang kuat dan diselubungi oleh berbagai otot-otot
besar, fraktur pada tulang femur membutuhkan tenaga yang cukup besar.
Pada lansia fraktur pada tulang femur patut dicurigai adanya kondisi
patologis yang mendasarinya, seperti osteoporosis atau keganasan. Pada
balita, perlu dicurigai adanya kekerasan pada anak.
Dengan kondisi seperti di atas, pada kasus-kasus fraktur tulang
femur dengan mekanisme trauma benturan yang sangat keras (high impact),
perlu dilakukan foto pada struktur di bagian proksimal seperti pelvis atau
lumbosacral, serta bagian distal, seperti genu. Hal ini untuk menghindari
misdiagnosis seperti adanya dislokasi hip joint atau fraktur pelvis.

2.3.1 Tatalaksana Fraktur Corpus Femoris Tertutup


Tatalaksana awal pada fraktur adalah dengan melakukan stabilisasi,
bisa dengan melakukan pembidaian dan traksi (splint-traction) untuk
14

mereduksi dan memfiksasi fraktur sebisanya sampai pasien mendapatkan


tatalaksana definitif.

1. Traksi dan bracing


Indikasi untuk dilakukan traksi adalah : (a) fraktur pada anak
kecil, (b) adanya kontraindikasi untuk dilakukan anastesi, (c)
tidak adanya fasilitas untuk melakukan internal fiksasi. Pilihan
ini memiliki kekurangan yaitu pasien (dewasa) harus terus di
atas tempat tidur dalam jangka waktu yang cukup lama (10 – 14
minggu), dengan segala efek samping yang ada, seperti ulkus
decubitus. Hal ini bisa diatasi dengan penggantian traksi dengan
plaster spica atau functional bracing pada minggu ke 6 – 8.

Gambar 2.5 Traction – Bracing pada fraktur femur

2. Open reduction – internal fixation (ORIF)


Fiksasi dengan plate dan screw pernah cukup popular di
masanya, namun komplikasi dari tindakan ini cukup tinggi.
Indikasi untuk dilakukan ORIF adalah : (a) fraktur tulang femur
yang melibatkan corpus dan colum femoris dan (b) fraktur
corpus femoris dengan disertai kerusakan vaskular.
15

Gambar 2.6 ORIF pada fraktur 1/3 distal femur

3. Intramedullary nailing
Nailing merupakan metode yang paling disarankan untuk kasus-
kasus fraktur corpus femoris. Proses nailing membutuhkan
intramedullary nail dan locking screws pada akhir proksimal dan
distal dari nail. Metode ini dapat mengurangi terjadinya rotasi
dan cukup stabil bahkan untuk fraktur subtrochanter dan 1/3
distal femur.

Gambar 2.7 Femur Intramedullary Nailing (FIN)

4. External fixation
Indikasi untuk dilakukan fiksasi eksternal adalah : (a) fraktur
terbuka yang parah, (b) pada pasien dengan multiple trauma
16

yang membutuhkan waktu operasi cukup singkat, (c) fraktur


femur pada dewasa.

Gambar 2.8 External fixation fraktur corpus femoris

2.3.2 Komplikasi
Secara umum komplikasi dari trauma dengan energi yang cukup
besar, seperti yang mungkin terjadi pada kasus-kasus patah tulang femur
adalah syok hipovolemik karena kehilangan darah, emboli lemak, dan
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).

1. Cedera vascular
Jika terjadi cedera vascular khususnya pembuluh-pembuluh
darah besar, harus segera dilakukan repair dan grafting jika
diperlukan. Pada saat yang sama dilakukan ORIF.

2. Tromboemboli
Trombus sering kali terjadi pada pasien yang ditatalaksana
dengan teknik traksi dan harus dirawat di atas tempat tidur dalam
jang waktu yang cukup lama. Oleh karena itu beberapa latihan
atau gerakan tertentu harus tetap dilakukan, penggunaan alat
kompresi seperti celana kompresi atau elastic verband, serta
antikoagulan dosis profilaksis juga sangat diperlukan untuk
17

mencegah terjadinya thrombus pada vena di daerah paha atau


pelvis.

3. Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi yang paling mungkin didapatkan
pada kasus patah tulang terbuka serta tatalaksana fraktur dengan
teknik ORIF. Namun hal ini bisa ditekan dengan penggunaan
antibiotic profilaksis serta memperhatikan konsep sterilisasi dan
asepsis.

4. Delayed union dan non-union


Fraktur corpus femoris normalnya akan mengalami proses
konsolidasi setalah hari ke 100 (± 20 hari). Lebih dari itu maka
dapat dikatakan fraktur tersebut mengalam delayed union atau
jika tidak didapatkan tanda-tanda penyembuhan sama sekali
disebut non-union.

5. Malunion
Malunion sangat mungkin terjadi pada tatalaksana fraktur
dengan teknik bracing and traction, sehingga mengakibatkan
terjadinya angulasi atau bahkan shortening. Malunion juga dapat
ditemukan pada penggunaan kaki yang belum sembuh total post
fraktur femur, hal ini akan mengakibatkan tulang demur
mengalami lateral atau anterior bowing. Batas toleransi angulasi
pada tulang femur adalah 15o.

6. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi merupakan hal yang sering ditemukan selama
proses penyembuhan fraktur femur. Sendi yang paling
terdampak adalah lutut. Oleh karena itu rehabilitasi medis untuk
18

memperbaiki ROM sendi harus dilakukan tepat setelah proses


konsolidasi selesai (12-16 minggu).

2.4 Malunion Fraktur


Saat fragmen-fragmen suatu fraktur menyatu dengan posisi yang tidak
semestinya atau diluar batas toleransi (pada tulang femur 15o angulasi) baik
angulasi, rotasi, atau terjadi pemendekan (pada kaki disebut LLD – Leg Length
Dicrepancy), maka kondisi ini disebut malunion. Penyebab dari kondisi ini bisa dari
proses reduksi yang kurang tepat, fiksasi yang kurang kuat, kondisi patologis
(seperti osteoporosis), tipe fraktur kominutif, atau yang paling sering ditemukan di
Indonesia adalah akibat pengobatan alternatif (urut atau sangkal putung).

2.4.1 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang paling mudah untuk didapatkan adalah
adanya deformitas, terutama jika terjadi pemendekan atau angulasi yang
bermakna, sedangkan rotasi dapat ditemukan dengan membandingkan hasil
foto polos kedua sisi.

Gambar 2.9 Malunion fraktur corpus femoris 1/3 media, dengan shoertening
19

2.4.2 Terapi
Tidak semua kasus malunion harus menjalani tindakan reksotruksi.
Ada beberapa panduan yang bisa digunakan untuk memutuskan apakah
malunion suatu fraktur tulang tertentu harus direkonstruksi atau tidak.

1. Pada orang dewasa, fraktur harus direduksi mendekati posisi


anatomisnya, baik dari kelurusan maupun rotasinya, karena hal
ini akan sangat mempengaruhi proses penyembuhan dan
fungsinya. Angulasi lebih dari 10-15o atau rotasi yang sangat
mencolok harus dilakukan remanipulasi (rekonstruksi) dan
internal fiksasi. Efek jangka panjang dari angulasi lebih dari 15o
akan sangat tampak pada sendi-sendi yang menjadi tumpuan
berat badan (weight bearing joint), karena akan menjadi faktor
resiko ternjadinya osteoarthritis sekunder.
2. Pada anak kecil, angulasi yang terjadi di daerah lempeng
pertumbuhan akan terjadi remodeling dengan sendirinya seiring
berjalannya waktu, namun tidak dengan rotasi.
3. Pada fraktur tungkai bawah, indikasi untuk dilakukannya
rekonstruksi adalah discrepancy lebih dari 2 cm. Selain dengan
rekonstruksi bisa ditatalaksana dengan penggunaan ganjalan
pada sepatu (shoe raise).
4. Pendapat pribadi dari sudut pandang pasien harus selalu
dipertimbangkan. Oleh karena itu sangat penting untuk
mendiskusikan kondisi pasien dengan dibantu hasil foto polos
kondisi tulang sekarang dengan prinsip foto yang sudah
disebutkan sebelumnya. Hal ini untuk menghindari kondisi yang
tidak diinginkan dikemudian hari.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. JK
Jenis Kelamin : Laki – laki
Umur : 32 tahun
Alamat : Malalayang, Manado
Bangsa : Indonsia
Suku : Minahasa
Agama : Kristen
Status : Menikah
Pekerjaan : TNI AD
Jenis Rawat : Rawat Inap Poli Bedah Ortopedi – Ruang Flamboyan
No. Register : 168xxx
DPJP : Kolonel Ckm dr. Basuki Widodo, Sp. OT

3.2 Anamnesis
Tn. JK/ laki-laki/ 32 tahun/ Poli Bedah Ortopedi – IGD – R. Flamboyan

Anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan Utama : Jalan pincang

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien mengeluhkan jalannya agak pincang sejak kurang lebih 2
bulan yang lalu. Pasien mengatakan kaki kanannya agak pendek sebelah,
jika berdiri tegak, kaki kanan harus agak menjijit.
Empat bulan yang lalu pasien mengalami kecelakaan lalu lintas
antara sepeda motor dan mobil. Pasien merupakan pengendara sepeda motor
yang ditabrak dari arah kanan oleh sebuah mobil pick up. Setelah

20
21

kecelakaan pasien mengaku dalam kondisi sadar, hanya mengalami luka


lecet di beberapa bagian tubuh dan paha kanan yang bengkak dan nyeri
sekali.
Setelah kecelakaan pasien tidak berobat ke rumah sakit ataupun
dokter, melainkan hanya urut kampung setiap hari selama 1 bulan,
kemudian 2 x/ minggu di 1 bulan berikutnya. Setelah urut 2 bulan pasien
mengaku bengkak dan nyeri berkurang dan pasien bisa berjalan kembali
meskipun agak pincang. Selama 2 bulan berikutnya pasien mengaku tidak
ada masalah kecuali jalan yang agak pincang.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak sakit ringan GCS : 4 5 6

Tanda-tanda Vital TD : 130/80 mmHg HR : 84 bpm, regular, kuat RR : 20 x/m Suhu : 36 0C

Kepala Jejas (-), hematom (-)


Pupil isokor, diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
Anemis (-/-) , ikterik (-/-)
Deformitas wajah (-)
Tanda perdarahan (-)
Leher JVP R+2 cm H2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax Cor Inspeksi : Ictus tidak terlihat
Palpasi : Ictus di ICS V MCL sinistra
Perpkusi : LHM ~ ictus, heart waist (+),RHM: SL D ICS V
Auskultasi : S1, S2 single, murmur (-)
Pulmo Inspeksi : gerakan simetris
Palpasi : SF D = S,
Perkusi : Sonor D=S
Auskultasi : ves + + Rh - - Wh - -
+ + - - - -
+ + - - - -
22

Abdomen Inspeksi : Bulat, distensi (-), scar (-), jejas (-)


Auskultasi : BU (+) N
Perkusi : liver span 10 cm, traube’s space tymphani, met (-)
Palpasi : supel, nyeri (-)
Extremitias Akral hangat, CRT< 2”, edema (-)

Status Lokalis Gait : Short Leg Gait


Arms : dbN
Legs : Regio Femur Dextra :
Look : deformitas (+), LLD : ±2cm
Feel : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Move : locking (-), ROM : dbN
NVD : dbN
Spine : dbN

3.4 Pemeriksaan Penunjang


- Foto rontgen femur D AP + Lateral, tampak 2 sendi
23

- Pemeriksaan Lab darah

Lab Nilai Lab Nilai


HGB 15,4 13,2 – 17,3 HbsAg negatif Negative
RBC 5,25 4,4 – 5,9 As urat 9,5 3,5 – 7,0
HCT 42,8 40,0 – 52,0 SGOT 25 0 – 37
PLT 275 150 – 440 SGPT 15 0 – 42
WBC 5,7 3,8 – 10,6 Na 138 135 – 155
MCV 81,7 80 – 100 K 4,1 3,6 – 5,5
MCH 29,3 27 – 34 Cl 107 95 – 108
MCHC 35,9 32 – 36 BT 1’ 39” 1 – 3 menit
Ureum 16 10 – 50 CT 8’ 45” 7 – 1 menit
Creatinin 0,82 0,7 – 1,3 GDS 107 70 – 140
24

3.5 Diagnosis
Fraktur malunion Os Femur Dextra 1/3 distal (4 months neglected)

3.6 Terapi
- Pro MRS
- Bedah : Rekonstruksi femur dextra + ORIF + bone grafting
- Medikamentosa
IVFD RL 20tpm
Inj : Cefotaxime 3 x 1 gr (profilaksis)
Ketorolac 3 x 30 gr
Ranitidine 3 x 1 amp
- Non medikamentosa : puasa 6-8 jam persiapan operasi

3.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

3.8 Laporan Operasi


- Pasien miring kanan dan dilakukan Spinal anastesi (SAB)
- Desinfeksi dan pembatasan lapang operasi
- Dilakukan insisi regio femur posterolateral approach. Insisi lapis demi
lapis sampai tampak farktur femur dengan callus tebal dan fibrosis soft
tissue
- Dilakukan release callus dan fibrosis sampai tampak tulang femur
(fracture site)
- Dilakukan open reduction dan internal fixation femur (rekonstruksi)
dengaan broad plate 9 hole, 7 cortex screw 4,5mm, 1 cancelous screw
6,5mm
- Dipasang drain
- Dilakukan pencucian luka
25

- Dilakukan pemasangan bone graft dari callus


- Dilakukan penjahitan fascia
- Dilakukan penjahitan kulit
- Operasi selesai

Komplikasi : perdarahan

Instruksi pasca bedah :


- IVFD RL : D5 (2 : 1) : 20 tpm
- Inj :
o Cefotaxime 2 x 1 gr
o Ketorolac 3 x 30 gr
o Ranitidine 2 x 1 amp
- Oral
o Asam tranexamat 3 x 500mg
o Multivitamin 1 x 1 tab

Foto rontgen femur dextra AP/ lat post operasi :


26
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan


jalannya agak pincang. Pasien merupakan rujukan dari poli orthopedi RS R. W.
Mongisidi. Pasien mengeluhkan jalannya agak pincang kurang lebih sejak 2 bulan
yang lalu. Pasien mengatakan kaki kanannya agak pendek sebelah jika berdiri
tegak, kaki kanan harus agak menjinjit. Empat bulan yang lalu pasien merupakan
pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan antara sepeda motor dan
mobil. Pasien ditabrak dari arah kanan. Setelah kecelakaan pasien mengaku dalam
kondisi sadar, dan hanya mengalamu luka lecet di beberapa bagian tubuh, serta
paha kanan yang bengkak dan nyeri sekali bila hendak digerakkan. Setelah
kecelakaan pasien tidak berobat ke rumah sakit ataupun dokter, melainkan hanya
urut kampung setiap hari selama 1 bulan, kemduain 2x seminggu selama 1 bulan
berikutnya. Setelah urut 2 bulan pasien mengaku bengkak dan nyeri berkurang, dan
pasien bisa berjalan kembali meskipun agak pincang.
Pada hasil anamnesis di atas terjadinya fraktur tertutup tulang femur
dikarenakan trauma dengan tenaga yang cukup besar yaitu tabrakan dari sebuah
mobil. Tanda dan gejala yang dialami pasien ini saat mengalami fraktur femur
adalah bengkak dan nyeri sekali saat akan menggerakkan kakinya. Pasien kemudian
datang ke tukang urut, sehingga teknik reduksi dan fiksasi yang diharapkan tidak
terjadi. 2 bulan kemudian pasien bisa berjalan lagi namun mengalami pemedekan
kaki (shortening) ini merupakan tanda terjadinya malunion, tulang telah menyatu
tetapi dengan bentuk anatomis yang tidak semestinya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan cara berjalan pasien pincang (short leg
gait), dan pada pemerikaan status lokalis didapatkan deformitas di paha kanan, serta
kaki kanan lebih panjang ± 2 cm terhadap kaki kiri. Pasien diduga mengalami
kondisi malunion, di mana patah tulang femur yang terjadi 4 bulan yang lalu sudah
mengalami proses penyembuhan, namun tidak kembali pada kondisi anatomis.
Kemudian dilakukan foto polos 2 sisi (AP - lateral), dan didaptakan fraktur femur
komplit trasnversal 1/3 distal dengan bagian proksimal dan distal fraktur tidak

27
28

bertemu, melainkan terjadi shortening. Sudah tampak adanya pembentukan kalus


di sekitar patahan. Kemungkinan sudah terjadi proses penyembuhan dengan kalus
pada tahap konsolidasi, karena tulang ekstremitas bawah sudah mengalami
konsolidasi dalam waktu 12 - 16 minggu. Dengan ini tegaklah diagnosis fraktur
malunion os femur dextra 1/3 distal.
Sebagai rencana tatalaksananya, pasien akan menjalani operasi rekonstruksi
femur dextra dengan ORIF dan bone grafting. Pemberian antibiotic selama di rawat
di rumah sakit, pre operasi, dan post operasi harus diberikan sebagai profilaksis
terjadinya komplikasi berupa infeksi. Keadaan pasien merupakan indikasi untuk
dilakukannya rekonstruksi dikarenakan sudah terdapat discrepancy sepanjang 2
cm. Jika tidak direkonstruksi tumpuan berat badan pasien saat berjalan akan
berpindah ke kaki kirinya, sehingga resiko untuk terjadi OA sekunder pada sendi
panggul dan lutut pasien sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Apley’s System of Orthopaedics and fractures, 9th edition. 2010.

Arnita, Neni. 2018. Klaim Asuransi Jasa Raharja (Persero) Terhadap Korban
Kecelakaan Tabrak Lari. e-Jurnal Unmuh. 18 Maret 2019

Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online]. 2007 Jul
19 [cited 2008 Oct 12]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.htm

Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor. Essentials
of orthopedic surgery. 3rd ed..Washington: Springer; 2007. p.40-83.

Lateef F. Riding motorcycles: is it a lower limb hazard? Singapore Med J


2002;43(11):566-9.

Puspitasari AD, Hendrati LY. Hubungan antara faktor pengemudi dan fator
lingkungan dengan kepatuhan mengendarai sepeda motor. Jurnal Berkala
Epidemiologi. 2013;1(2):192-200.

Rasjad C. Trauma Dalam: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang


Lamumpatue; 2000. h.343-536.

Ratnasari F, Kumaat LT, Mulyadi. Hubungan karakteristik remaja dengan


kecelakaan lalu lintas pada komunitas motor sulut king community (SKC)
Manado. eJurnal Unsrat. 2014;2(2).

Rompis, Arischa. 2016. Kematian Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Kota Tomohon
tahun 2010-2016. Jurnal e-Clinic. 4(1). 17 Maret 2019

Salter RB. Textbook of disorder and injuries of the musculoskeletal system.


Lippincot William & Wilkins; Baltimore. 1999.

World Health Organization. Global status report on road safety - Time for action.
WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. 2009.

29

Anda mungkin juga menyukai