Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari
semua yang telah berkontribusi sehingga dapat dibuatnya makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman para pembaca
tentang STIGMA PADA ODHA.
Makalah yang kami buat ini, jauh dari kata sempurnadan masih banyak kekurangan-kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca, sehingga kedepannya kami dapat memperbaikinya.
Penyusun
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari tahun ke tahun kasus HIV AIDS masih terus meningkat dan menjadi perhatian di berbagai
negara. Sehingga banyak yang mengkampanyekan pencegahan HIV AIDS untuk menurunkan tingkat
penderita HIV AIDS. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang bisa menyembuhkan infeksi HIV,
namun ada pengobatan yang dapat memperlambat perkembangan virus HIV yaitu dengan rehabilitasi
terapi Antiretroviral (ARV) yang bisa membantu kualiats hidup Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) menjadi
lebih baik.
Menurut jurnal Langlois-Klassen, Kipp dan Jhangri (2007) , banyak pasien HIV/AIDS rawat jalan yang
menggunakan terapi tradisional, karena terapi ARV dinilai tidak adekuat terhadap gejala HIV/AIDS yang
terjadi. Pengobatan atau perawatan tradisional pada ODHA banyak macamnya, salah satunya dengan
TCAM (Therapy Comlementer and alternatife medicine) dan THM (therapy herbal medicine). Terapi
tradisional dinilai terjangkau dan dapat memberikan manfaat yang lebih efektif pada ODHA. Namun
masih banyak masyarakat tersebut yang mengabaikan resiko yang terjadi jika menggunakan pengobatan
tradisional bersamaan dengan pengobatan ARV.
Pemerintah sebagai penyelenggara tugas dan fungsi negara sebenarnya punya peran dan posisi sentral
dan strategis untuk melakukan penanganan kasus HIV/AIDS ini. Karena sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah daerah punya
kewajiban dan tugas untuk melakukan penanganan kesehatan dan penanggulangan masalah sosial. Oleh
karena itulah, pemerintah daerah dapat merancang dan mengkordinasikan aksi bersama bersama
seluruh elemen masyarakat, secara kongkrit, dalam rangka penanganan dan pencegahan HIV/AIDS.
Partisipasi masyarakat merupakan aspek sangat potensial untuk menunjang penanggulangan HIV/AIDS
untuk memberikan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS guna mencegah infeksi baru pada
masyarakat luas serta menurunkan stigma dan diskriminasi pada penderita.
Maka dari itu kami mengangkat issue tersebut sebagai topik dari makalah artikel ini akan dengan judul
“STIGMA PADA ODHA”
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Tanda dan gejala (Manifestasi) HIV/AIDS dibagi dua, yaitu manifestasi klinis dan manifestasi Oral
Hairy Leukoplakia.
Berikutnya menurut Tatiana Lucianelli Komatsu, Elena Riet Correa Rivero, dkk. dalam jurnalnya
yang berjudul Epstein-Bar Virus in Oral Hairy Leukoplakia Scrapes : Identification by PCR menyatakan
bahwa, OHL adalah lesi putih yang biasanya mengalir di tepi lateral lidah, seringkali secara bilateral.
Tipikal, korosi vertical terjadi secara bilateral pada batas lateral atau permukaan ventral lidah, namun
jika berada pada dorsum lidah penampilannya cenderung lebih homogeny.
Jadi, Oral Hairy Leukoplakia (OHL) merupakan suatu lesi spesifik pada infeksi HIV yang disebabkan
oleh virus Epstein Barr. OHL lebih banyak terjadi pada dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak. OHL
merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada tepi lateral lidah dan berkaitan
dengan virus . Lesi awal tampak sebagai plak vertikal, putih, besar, pada tepi lateral lidah, dan umumnya
bilateral. Lesi-lesi tersebut dapat menutup permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas ke mukosa pipi
dan langit-langit rongga mulut. Lesi tersebut tanpa gejala dan tidak dapat dihapus, serta mengganggu
estetika. Bukti histologi tampak tonjolan mirip rambut hiperkeratotik, kolisitosis, sedikit radang dan
infeksi kandida.
Ada banyak dampak yang ditimbulkan oleh HIV AIDS, salah satunya penyakit infeksi intrakranial.
Keterlibatan sistem saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus tersebut dan tidak
langsung akibat infeksi oportunistik akibat imunokompromis. Studi di negara Barat melaporkan
komplikasi sistem saraf terjadi pada 30% - 70% penderita HIV. HIV/AIDS dapat menyebabkan komplikasi
intrakranial seperti Toksoplasmosis Otak (TO), Meningitis Tuberkulosis, Meningitis Kriptokokus,
Demensia HIV, Leukoensefalopati multifokal progresif. Menurut data WHO diketahui sekitar 300 juta
orang menderita toksoplasmosis. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan berbagai jenis mamalia
dan juga merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering terjadi pada manusia. (Christy B.
Tumbelaka, Denny J. Ngantung, J. Maja P. S)
Jadi, infeksi intrakranial bisa terjadi pada HIV/AIDS seperti Toksoplasmosis otak (TO), Meningitis
Tuberculosis, Meningitis Kriptokokus, Demensia HIV.
E. Stigma Masyarakat terhadap Penerimaan ODHA
Stigma adalah penyimpangan yang mengarah ke dalam situasi dimana orang-orang tidak
dapat menyesuaikan diri dengan standar masyarakat normal. Mereka didiskualifikasi dari
kehidupan sosial, mereka mengalami stigmatisasi individu. Dikucilkan dari yang lainnya
sehingga harus terus berusaha menyesuaikan diri dengan identitas sosial masyarakat diamana
mereka tinggal. Mereka sendiri harus menghadapi hinaan setiap harinya yang direfleksikan
kembali kepada mereka.
Human Immunodefisiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Defisiency
Sindrome (AIDS). Sedangkan AIDS adalah kumpulan gejala berbagai penyakit yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh manusia yang menyebabkan mudah terserang berbagai penyakit.
HIV menular lewat hubungan sexual dengan orang yang sudah menderita HIV/AIDS, jarum
suntik yang bergantian dengan orang yang menderita HIV/AIDS pada penasun, mendapat
transfuse darah dari penderita HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) didefinisikan sebagai seorang yang telah terinfeksi oleh virus
HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala AIDS. Pada umumnya sebagian
besar orang dengan HIV akan sampai pada stadium AIDS dalam waktu antara 5-10 tahun (rata-
rata 6 tahun). Kerusakan sistem kekebalan tubuh secara bertahap terlihat dalam perkembangan
gejala penyakit mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai ke keadaan klinis dengan gejala berat.
Epidemi penularan dan kematian karena HIV/AIDS semakin meningkat hampir disetiap Negara
didunia. Hal ini terjadi karena permasalahan HIV/AIDS sangat komplek. Untuk memecahkan
permasalahan HIV membutuhkan integritas lintas sektor maupun lintas program. Salah satu
masalah yang paling besar didalamnya adalah persoalan stigma masyarakat terhadap ODHA.
Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan Human
Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia
adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang memercayai bahwa penyakit
AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapatditerima oleh masyarakat. Stigma
terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan, dan
pengalaman negatif terhadap ODHA. Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV
digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil.
Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS layak mendapatkan
hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan bahwa ODHA adalah orang
yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDSHal inilah yang menyebabkan orang
dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena
penyakit yang diderita. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan dalam pelbagai
lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan
merupakan bentuk stigma yang banyak terjadi. Tingginya penolakan masyarakat dan lingkungan
akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan sebagian ODHA harus hidup
dengan menyembunyikan status.
Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa
takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan
mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status HIV dan
memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada
semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol.
Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar ketika
mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya.
Menurut Lawrence W.Green (2000) faktor yang mempengaruhi perilaku spesifik yaitu
predisposing factors, enabling factors dan reinforcing factors. Predisposing factors meliputi
pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan keyakinan. Enabling factors meliputi kemampuan
untuk menjangkau sumber-sumber kesehatan, mengakses ke sarana kesehatan, peraturan
pemerintah, prioritas pembangunan, komitment terhadap kesehatan, kesehatan berhubungan
keterampilan.
Reinforcing factors meliputi dukungan keluarga, teman, guru, atasan, pemberi layanan
kesehatan, tokoh masyarakat dan pengambil keputusan. Uraian Green ini dapat diasumsikan
bahwa orang berstigma terhadap ODHA disebakan karena kurangnya pengetahuan tentang
HIV/AIDS, adanya persepsi negative tentang HIV/AIDS, dan adanya peran yang kurang
mendukung dari keluarga, teman, guru, tenaga kesehatan, pemerintah dan tokoh masyarakat.
Bentuk stigma dan diskriminasi staf RS terhadap pasien HIV/AIDS di RS adalah sebagai berikut
(Http://www.popcouncil.org) ;
1. Dianggap remeh dan mendapat judgement yang buruk
2. Tidak diberikan jaminan untuk mendapatkan fasilitas yang lain
3. Adanya “labelling” terhadapa pasien
4. Penggunaan alat perlindungan diri yang berlebihan terhadap pasien
5. Tes HIV tidak dilakukan secara tuntas
6. Konseling pre dan post yang tidak adekuat
Pada tahun 2010, hanya 6% penduduk diatas usia 15 tahun yang mengetahui layanan tes
sukarela dan rahsia (VCT).
7. Hasil tes HIV biasanya diberikan oleh pasien sendiri
8. Tidak adanya jaminan kerahasiaan terhadap hasil tes kepada keluarga dan staf kesehatan
yang tidak merawat pasien tersebut
9. Penolakan / Denial terhadap perawatan.
Keluarga dan anak-anak yang hidup denagn HIV-AIDS rentan terhadap stigma dan diskriminasi,
yang dapat dilihat dari berkurangnya akses ke layanan kesehatan, kehilangan martabat dan
meningkatnya kemiskinan dan deprivasi. Ketakutan menimbulkan resistensi terhadap tes HIV,
rasa malu untuk memulai pengobatan, dan dalam beberapa hal keengganan untuk menerima
pendidikan tentang HIV. Semua ini mempersulit pengendaliuan epidemic.
Hal-hal yang dapat menyebabkan stigma pada pasien dengan HIV/AIDS tersebut diantaranya
adalah (Http://www.popcouncil.org) :
1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Banyak tenaga kesehatan memiliki pengetahuan dan training yang kurang terhadap dasar-
dasar transmisi HIV, kontrol infeksi dan manajemen klinis terhadap HIV/AIDS
2. Dukungan institusi
Kurangnya kebijakan RS dalam melindungi pasien dengan HIV, SOP (Standart
Operational prosedure), penyediaan sarana-fasilitas, bahan dan alat perlindungan diri
serta jaminan terhadap keamanan staf dalam pelayanan perawatan.
3. Tingkat pendidikan
4. Lama bekerja
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma perawat terhadap pasien dengan
HIV/AIDS dapat dilakukan dengan cara berikut ini (Http://www.popcouncil.org) ;
1. Mengkaji dan meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap HIV pada seluruh tenaga
kesehatan
Informasi yang keliru dan sikap menghakimi pada petugas kesehatan dapat menimbulkan stigma,
ketakutam dan perawatan yang berbeda pada penderita dengan HIV. Dalam studi ditemukan
bahwa sering tenaga kesehatansenior tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap transmisi
dan pencegahan HIV. Sehingga sangatlah penting untuk diadakannya pelatihan agar dapat
meningkatkan pengetahuan sehingga staf dapat memiliki kepedulian, memenuhi kebutuhan dan
memberikan hak-hak pasien HIV.
6. Melakukan riset. Jumlah penderita HIV yang semakin meningkat perlu didukung dengan
adanya penelitian untuk mendapatkan penilaian balik tentang intervensi dari pasien
dengan HIV positif. Selain itu pada riset yang akan datang harus dapat mengukur tentang
peran dan peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam pemberian terapi
antiretroviral pada ODHA dan penelitian mendalam tentang stigma dan diskriminasi
pada area perawatan kesehatan.
3. Hal – hal yang dapat mengurangi stigma di masyarakat
1. Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV adalah salah satu cara yang efektif
untuk menjelaskan tentang pencegahan dan penularan HIV. Seseorang dengan
pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat menurunkan bahkan
menghilangkan stigma pada ODHA,
2. Media telah lama digunakan untuk memberikan informasi terkait HIV/AIDS dengan
tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegaha penularan
HIV/AIDS. Selain itu, informasi ten tentan HIV/AIDS melalui media juga memberikan
dampak dalam penurunan stigma masyarakat terhadap ODHA,meskipun hal tersebut
belum terjadi di semua negara dan semua kalangan masyarakat.
f. Stigma
Adapun faktor penghambat menjalani terapi menurut sugiharti,yuyun dan heni dalam
jurnal gambaran kepatuhan orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dalam minum obat arv di kota
bandung, provinsi jawa barat, tahun 2011-2012 adalah sebagi berikut :
1. Biaya berobat
3. Kejenuhan
4. Stigma
kepatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral lumayan susah dikarenakan banyak factor
yang membuat si penderita saat menjalani terapi ini tidak mau menjalaninya. Akibat dari
ketidakpatuhan ini akan membuat penyakit ini menjadi resisten dan sukar diobati.
Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa penggunaan THM pada pasien rawat jalan yang
digunakan bersamaan denganpengobatan ARV sangatlah tinggi, hal tersebut dipengaruhi oleh
kurangnya pengetahuan mengenai resiko penggunaan pengobatan ARV bersamaan dengan THM.
Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa pemilihan obat tradisional oleh ODHA dilakukan
karena memiliki pemikiran bahwa pengobatan ARV tidak adekuat terhadap gejala yang ditimbulkan oleh
HIV AIDS.
Sedangkan menurut Pertistiawan dkk dalam laporan penelitiannya didapatkan hasil bahwa :
1. Ramuan jamu imunostimulan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS pada kelompok
jamu setelah 28 hari perlakuan.
2. Kualitas hidup penderita HIV/AIDS antara kelompok jamu dan placebo (pemberian sugesti) tidak
berbeda nyata pada pengukuran hari ke-0, 14 dan 28.
3. Setelah 28 hari, kadar CD4 penderita HIV/AIDS kelompok jamu tidak mengalami perbedaan yang
signifikan. Sedangkan pada kelompok placebo, kadar CD4 mengalami penurunan yang signifikan.
4. Selama 28 hari intervensi ramuan jamu imunostimulan dan placebo, tidak ditemukan gejala efek
samping yang serius.
5. Pemberian ramuan jamu imunostimulan dan placebo (pemberian sugesti) pada subjek penelitian selama
28 hari tidak mengganggu fungsi hati dan fungsi ginjal.
Adapun jenis-jenis pengobatan terapi herbal yang sering digunakan oleh pasien hiv yang berkaitan
dengan gejala hiv berdasarkan jurnal Langlois-Klassen, Kipp dan Jhangri (Langlois-Klassen, et al. 2007).
Hal tersebut menunjukan bahwa semakin banyak gejala yang dirasakan semakin meningkat pula
frequensi penggunaan THM oleh pasien AIDS di Kabarole.
Dari data diatas dapat diambil kesimpulan, keseluruhan 63,5% partisipan terindikasi menggunakan obat
herbal tradisional setelah tediagnosa infeksi HIV. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh persepsi mereka.
Jadi penggunaan TCAM atau pun THM pada ODHA dapat membantu mengembalikan sistem
imunitas dan kualitas hidup pada ODHA , tetapi harus diperhatikan dalam penggunaannya. Karna
penggunaaan terapi atau perawatan ODHA dengan TCAM atau THM dapat menurunkan efektivitas
pengobatan ARV.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hiv aids adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya infeksi retrovirus yang menyerang sel T
sistem imunitas tubuh.
1. Kesimpulan
Stigma adalah penyimpangan yang mengarah ke dalam situasi dimana orang-orang tidak
dapat menyesuaikan diri dengan standar masyarakat normal.Stigma terhadap ODHA memiliki
dampak yang besar bagi program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas
hidup ODHA.Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang
berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap ODHA. Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap
penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak
adil.Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV adalah salah satu cara yang efektif untuk
menurunkan bahkan menghilangkan stigma pada ODHA.
2. Saran
Dalam masalah diatas sangat diperlukan peran dari tim kesehatan terutama perawat untuk
mengubah stigma masyarakat terhadap ODHA . Stigma yang buruk terhadap ODHA dapat
mempengaruhi kesehatan dari ODHA itu sendiri. Pendidikan kesehatan yang baik tentang penyakit HIV
AIDS bisa menjadi salah satu cara untuk merubah stigma terhadap penyakit maupun penderita dengan
mengetahui lebih baik tentang HIV.
Daftar Pustaka
amankwaa, adansi. “pengaruh defiinisi cdc kasus hiv/aidsdi kalangan remaja kemaatian dan dewasa di
amerika.” global jurnal of diseases inc, 2013: vol. 13.
komatsu, tatiana lucianelli, elena riet correa rivero, marina helena cury, gallottini de magalhaes, dan
fabio daumas nunes. “Epstain-Barr virus in oral hairy leukoplakia scrapes : identification by
PCR.” Braz Oral Res, 2005: 317-21.
Langlois-Klassen, Deanne, Walter Kipp, Gian S. Jhangri, dan Tom Rubaale. “Use of Traditional Herbal
Medicine by AIDS Patients in Kabarole District, Western Uganda.” The American Society of
Tropical Medicine and Hygiene, 2007: 757–763.
md, james w buehler. “the surveillancedefinition for aids .” american journal of public health, 1992:
vol.82.
Peltzer, Karl, Natalie Friend-du Preez, Shadir Ramlagan, dan Henry Fomundam. “Use of Traditional
complementary and Alternative Medicine for HIV Patients in KwaZulu-Natal, South Africa.” BMC
Public Health, 2008: 8-255.
reeves, jacqueline d, dan robert w doms. “human immunodeficiency virus type 2.” journal of general
virology, 2002: 1253-1265.
Jurnal Kesehatan Prima.Stigma Petugas Kesehatan terhadap Pasien HIV/AIDS dan Problem Solving.Volume : 9,
No.2, Agustus 2015, Halaman : 1471-1477
Sismulyanto, S supriyanto, dan nursalam. “model to reduce hiv related stigma among indonesia
nurses.” IJPHS, 2015: 182-191.
waluyo, agung, prima agustia nova, dan chiyar edison. “perilaku perawat terhadap orang dengan
hiv/aids di rumah sakit dan puskesmas.” jurnal keperawatan indonesia, 2011: 127-132.
Fufa Nandasari, Lucia Y Hendrati. (2015). Identification of Sexsual Behavior and HIV Insidence on Public
Transportation Driver in Sidoarjo, Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 377–386.