Anda di halaman 1dari 23

STIGMA PADA ODHA

(Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HIV/AIDS)

Disusun Oleh:

KELOMPOK 2

DELLA BUANA PUTRI 1811311019

JANUAR RAMADHAN 1811311023

DINDA TSURAYYA 1811311025

FITRI RAHMILI 1811311027

CHINTIA PAULINA 1811311029

YULIA MUSTIKA SARI 1811311031

DINDA ANATIA KHARISAA 1811311033

INDAH RAHMADHANI 1811311035

AZUHRI TAKHWIN 1811312001

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari
semua yang telah berkontribusi sehingga dapat dibuatnya makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman para pembaca
tentang STIGMA PADA ODHA.

Makalah yang kami buat ini, jauh dari kata sempurnadan masih banyak kekurangan-kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca, sehingga kedepannya kami dapat memperbaikinya.

Padang, mei 2020

Penyusun
Daftar isi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
     

Dari tahun ke tahun kasus HIV AIDS masih terus meningkat dan menjadi perhatian di berbagai
negara. Sehingga banyak yang mengkampanyekan pencegahan HIV AIDS untuk menurunkan tingkat
penderita HIV AIDS. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang bisa menyembuhkan infeksi HIV,
namun ada pengobatan yang dapat memperlambat perkembangan virus HIV yaitu dengan rehabilitasi
terapi Antiretroviral (ARV) yang bisa membantu kualiats hidup Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) menjadi
lebih baik.
Menurut jurnal Langlois-Klassen, Kipp dan Jhangri (2007) , banyak pasien HIV/AIDS rawat jalan yang
menggunakan terapi tradisional, karena terapi ARV dinilai tidak adekuat terhadap gejala HIV/AIDS yang
terjadi. Pengobatan atau perawatan tradisional pada ODHA banyak macamnya, salah satunya dengan
TCAM (Therapy Comlementer and alternatife medicine) dan THM (therapy herbal medicine). Terapi
tradisional dinilai terjangkau dan dapat memberikan manfaat yang lebih efektif pada ODHA. Namun
masih banyak masyarakat tersebut yang mengabaikan resiko yang terjadi jika menggunakan pengobatan
tradisional bersamaan dengan pengobatan ARV.

Pemerintah sebagai penyelenggara tugas dan fungsi negara sebenarnya punya peran dan posisi sentral
dan strategis untuk melakukan penanganan kasus HIV/AIDS ini. Karena sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah daerah punya
kewajiban dan tugas untuk melakukan penanganan kesehatan dan penanggulangan masalah sosial. Oleh
karena itulah, pemerintah daerah dapat merancang dan mengkordinasikan aksi bersama bersama
seluruh elemen masyarakat, secara kongkrit, dalam rangka penanganan dan pencegahan HIV/AIDS.

Partisipasi masyarakat merupakan aspek sangat potensial untuk menunjang penanggulangan HIV/AIDS
untuk memberikan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS guna mencegah infeksi baru pada
masyarakat luas serta menurunkan stigma dan diskriminasi pada penderita.

Maka dari itu kami mengangkat issue tersebut sebagai topik dari makalah artikel ini akan dengan judul
“STIGMA PADA ODHA”
B.       Rumusan Masalah

1.         Apa itu HIV/AIDS ?


2.         Bagaimana Etiologi Penyebab HIV/AIDS ?
3.         Bagaimana Tanda dan Gejala HIV/AIDS ?
4.         Bagaimana Resiko atau Dampak dan Komplikasi dari HIV/AIDS ?
5.         Bagaimana Stigma Masyarakat terhadap Penerimaan ODHA ?
6.         Bagaimana Penularan ODHA melalui Perilaku Seks ?
7.         Bagaimana Terapi Rehabilitasi pada ODHA ?

C.      Tujuan

1.    Tujuan Umum


Untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah HIV/AIDS.
2.    Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dibuatnya makalah ini antara lain:
a.    Untuk mengetahui apa itu HIV/AIDS .
b.    Untuk mengatahui bagaimana Etiologi penyebab pada HIV/AIDS .
c.    Untuk mengetahui tanda dan gejala HIV/AIDS.
d.    Untuk mengetahui resiko atau dampak dan komplikasi dari HIV/AIDS.
e.    Untuk mengetahui bagaimana stigma masyarakat terhadap penerimaan ODHA.
f.     Untuk mengetahui bagaimana Penularan ODHA melalui perilaku Seks.
g.    Untuk mengetahui bagaimana terapi rehabilitasi pada ODHA.
BAB II

PEMBAHASAN

A.      Definis HIV/AIDS


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu virus yang menyebabkan terjadinya penurunan
kekebalan tubuh yang dapat menimbulkan kumpulan gejala atau penyakit yang disebut AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). ( Sarlito Leunupun, Mieke ,Kembuan, Denny Ngantung). Penyakit infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) hingga kini
masih merupakan masalah kesehatan global dengan tingginya angka kejadian dan kematian. HIV
termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae adalah virus yang menyebabkan penyakit
AIDS yaitu suatu penyakit retrovirus yang ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi
oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis (Christy B. Tumbelaka, Denny J.
Ngantung, J. Maja P. S).
Pendapat lain menyatakan bahwa HIV adalah sejenis retrovirus-RNA yang menyerang system kekebalan
tubuh manusia. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome suatu kumpulan gejala
penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV
(Langlois-Klassen, et al. 2007). Selanjutnya menurut Tuti Susilowati dalam jurnalnya menyatakan bahwa
HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV.
Jadi HIV adalah penyakit yang di pengaruhi oleh virus Human Immunodeficiency Virus yang
mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh manusia. Dan AIDS adalah suatu kumpulan gejala penyakit
yang didapat akibat menurunya kekebalan tubuh yang di sebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus)

B.       Etiologi Penyebab pada HIV/AIDS


Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah diketahui dua tipe yaitu tipe HIV-1 dan
HIV-2. Infeksi yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 benyak terdapat di
Afrika Barat. Gambaran klinis dari HIV-1 dan HIV-2 relatif sama, hanya infeksi oleh HIV-1 jauh lebih
mudah ditularkan dan masa inkubasi sejak mulai infeksi sampai timbulnya penyakit lebih pendek. (Tuti
Susilowati 2015). HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb
(kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17.
Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein. (Ferdi akbar, eli kamelia, 2015).
Infeksi HIV menyebar secara mudah bila orang memakai alat suntik secara bergantian dalam
penggunaan narkoba. Penggunaan alat bergantian juga menularkan virus hepatitis B, virus hepatitis C,
dan penyakit gawat lain, Darah yang terinfeksi terdapat pada semprit (insul) kemudian disuntikkan
bersama dengan narkoba saat pengguna berikut memakai semprit tersebut. Ini adalah cara termudah
untuk menularkan HIV karena darah yang terinfeksi langsung dimasukkan pada aliran darah orang lain.
Jadi, pemakaian jarum suntik secara bergantian dalam penggunaan narkoba akan dengan cepat
menularkan virus HIV melalui aliran darah.

C.      Tanda dan gejala HIV/AIDS

Tanda dan gejala (Manifestasi) HIV/AIDS dibagi dua, yaitu manifestasi klinis dan manifestasi Oral
Hairy Leukoplakia.

1.        Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis Penderita yang mengidap HIV dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu :
a.         Individu dengan antibodi HIV positif, namun asimtomatik dan tidak menunjukkan kelainan dalam
pemeriksaan.
b.        Individu dengan antibodi HIV positif, ditambah perubahan laboratorium minor dan bisa juga
menunjukkan kelainan-kelainan seperti pembengkakan nodus limfatikus, berkeringat malam hari,
kehilangan berat badan, dan lain-lain.
c.         Individu dengan ARC. Antibodi HIV positif, dan menunjukkan limfadenopati, berkeringat malam hari,
kehilangan berat badan, demam, malaise, dan diare.
d.        Individu dengan AIDS termasuk Sarkoma Kapossi, sindrom SSP disertai infeksi oportunistik yang
mengancam hidup. Dapat menunjukkan limfadenopati general dengan penurunan berat badan drastis,
kelelahan, diare kronis, demam kronis, dan berkeringat di malam hari.

2.        Manifestasi Oral Hairy Leukoplakia


Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Agustina Tri Pujiastuti dan Dwi Murtiastutik , Oral hairy
leukoplakia (OHL) merupakan suatu lesi spesifik pada infeksi HIV yang disebabkan oleh virus Epstein
Barr, telah dilaporkan pada lebih dari 28% pasien, dan merupakan tanda dari progresivitas penyakit. OHL
secara klinis tampak sebagai plak putih atau putih keabuan berbatas tegas dengan tekstur berombak
yang asimtomatis. Permukaan “hairy” berukuran bermacam-macam mulai dari beberapa milimeter
hingga keterlibatan luas dari lidah hingga mukosa kavum oris. Lesi ini biasanya terjadi pada lateral lidah,
tetapi dapat pula pada permukaan ventral, dorsal lidah, dan mukosa pipi. Penampakan khas OHL
disebabkan oleh hipertrofi papila lidah. Secara umum lesi ini bersifat tidak nyeri dan tidak dapat
dihilangkan dengan manipulasi tumpul. Lesi OHL menjadi simtomatik jika didapatkan koinfeksi dengan
kandida. Hal itu sering menyebabkan salah diagnosis dengan kandidiasis oral.
Selanjutnya menurut sri ramayanti, Oral hairy leukoplakia (OHL) lebih umum terjadi pada orang
dewasa yang terinfeksi HIV daripada anak yang terinfeksi HIV. Kehadiran OHL adalah tanda
imunosupresi berat. OHL merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada tepi
lateral lidah dan berkaitan dengan virus Epstein Barr dan infeksi HIV. Lesi awal tampak sebagai plak
vertikal, putih, besar, pada tepi lateral lidah, dan umumnya bilateral. Lesi-lesi tersebut dapat menutup
permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas ke mukosa pipi dan palatum. Lesi tersebut tanpa gejala dan
tidak dapat dihapus, serta mengganggu estetika. Bukti histologi tampak tonjolan mirip rambut
hiperkeratotik, kolisitosis, sedikit radang dan infeksi kandida. Hal ini sangat penting karena dapat
digunakan untuk meramalkan perkembangan AIDS, Sedangkan menurut I Dewa Ayu Ratna Dewanti
dalam artikelnya menyatakan bahwa Kejadian Hairy leukoplakia rendah pada anak-anak karena jarang
terinfeksi oleh virus Epstein Barr yang menyebabkan timbulnya lesi ini.
a.    kriteria presumtif : lesi putih, tidak dapat diangkat, permukaan tidak rata, bilateral pada lateral lidah.
Dapat timbul pada permukaan ventral dan dorsal lidah, jarang terjadi pada mukosa bukal
b.    kriteria definitive : adanya virus Epstein Barr pada lesi ini, ditentukan dengan pemeriksaan
histopatologik dan hibridisasi DNA ini. Jika pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan, maka kurangnya
respon terhadap terapi anti jamur dapat memperkuat dugaan diagnose lesi ini. Tingkat imunosupresi,
presentase CD4, dan tipe lesi telah dilaporkan oleh Santoz dan kawan-kawan pada penelitiannya
terhadap 80 anak-anak HIV yang berumur rata-rata 6 tahun.

Berikutnya menurut Tatiana Lucianelli Komatsu, Elena Riet Correa Rivero, dkk. dalam jurnalnya
yang berjudul Epstein-Bar Virus in Oral Hairy Leukoplakia Scrapes : Identification by PCR menyatakan
bahwa, OHL adalah lesi putih yang biasanya mengalir di tepi lateral lidah, seringkali secara bilateral.
Tipikal, korosi vertical terjadi secara bilateral pada batas lateral atau permukaan ventral lidah, namun
jika berada pada dorsum lidah penampilannya cenderung lebih homogeny.

Jadi, Oral Hairy Leukoplakia (OHL) merupakan suatu lesi spesifik pada infeksi HIV yang disebabkan
oleh virus Epstein Barr. OHL lebih banyak terjadi pada dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak. OHL
merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada tepi lateral lidah dan berkaitan
dengan virus . Lesi awal tampak sebagai plak vertikal, putih, besar, pada tepi lateral lidah, dan umumnya
bilateral. Lesi-lesi tersebut dapat menutup permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas ke mukosa pipi
dan langit-langit rongga mulut. Lesi tersebut tanpa gejala dan tidak dapat dihapus, serta mengganggu
estetika. Bukti histologi tampak tonjolan mirip rambut hiperkeratotik, kolisitosis, sedikit radang dan
infeksi kandida.

D.      Resiko Dampak HIV dan Komplikasi dari HIV/AIDS

Ada banyak dampak yang ditimbulkan oleh HIV AIDS, salah satunya penyakit infeksi intrakranial.
Keterlibatan sistem saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus tersebut dan tidak
langsung akibat infeksi oportunistik akibat imunokompromis. Studi di negara Barat melaporkan
komplikasi sistem saraf terjadi pada 30% - 70% penderita HIV. HIV/AIDS dapat menyebabkan komplikasi
intrakranial seperti Toksoplasmosis Otak (TO), Meningitis Tuberkulosis, Meningitis Kriptokokus,
Demensia HIV, Leukoensefalopati multifokal progresif. Menurut data WHO diketahui sekitar 300 juta
orang menderita toksoplasmosis. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan berbagai jenis mamalia
dan juga merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering terjadi pada manusia. (Christy B.
Tumbelaka, Denny J. Ngantung, J. Maja P. S)
Jadi, infeksi intrakranial bisa terjadi pada HIV/AIDS seperti Toksoplasmosis otak (TO), Meningitis
Tuberculosis, Meningitis Kriptokokus, Demensia HIV.
E.       Stigma Masyarakat terhadap Penerimaan ODHA

Stigma adalah penyimpangan yang mengarah ke dalam situasi dimana orang-orang tidak
dapat menyesuaikan diri dengan standar masyarakat normal. Mereka didiskualifikasi dari
kehidupan sosial, mereka mengalami stigmatisasi individu. Dikucilkan dari yang lainnya
sehingga harus terus berusaha menyesuaikan diri dengan identitas sosial masyarakat diamana
mereka tinggal. Mereka sendiri harus menghadapi hinaan setiap harinya yang direfleksikan
kembali kepada mereka.

Human Immunodefisiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Defisiency
Sindrome (AIDS). Sedangkan AIDS adalah kumpulan gejala berbagai penyakit yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh manusia yang menyebabkan mudah terserang berbagai penyakit.
HIV menular lewat hubungan sexual dengan orang yang sudah menderita HIV/AIDS, jarum
suntik yang bergantian dengan orang yang menderita HIV/AIDS pada penasun, mendapat
transfuse darah dari penderita HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) didefinisikan sebagai seorang yang telah terinfeksi oleh virus
HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala AIDS. Pada umumnya sebagian
besar orang dengan HIV akan sampai pada stadium AIDS dalam waktu antara 5-10 tahun (rata-
rata 6 tahun). Kerusakan sistem kekebalan tubuh secara bertahap terlihat dalam perkembangan
gejala penyakit mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai ke keadaan klinis dengan gejala berat.

Epidemi penularan dan kematian karena HIV/AIDS semakin meningkat hampir disetiap Negara
didunia. Hal ini terjadi karena permasalahan HIV/AIDS sangat komplek. Untuk memecahkan
permasalahan HIV membutuhkan integritas lintas sektor maupun lintas program. Salah satu
masalah yang paling besar didalamnya adalah persoalan stigma masyarakat terhadap ODHA.

1. Stigma pada ODHA

Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan Human
Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia
adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang memercayai bahwa penyakit
AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapatditerima oleh masyarakat. Stigma
terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan, dan
pengalaman negatif terhadap ODHA. Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV
digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil.
Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS layak mendapatkan
hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan bahwa ODHA adalah orang
yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDSHal inilah yang menyebabkan orang
dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena
penyakit yang diderita. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan dalam pelbagai
lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan
merupakan bentuk stigma yang banyak terjadi. Tingginya penolakan masyarakat dan lingkungan
akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan sebagian ODHA harus hidup
dengan menyembunyikan status.
Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa
takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan
mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status HIV dan
memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada
semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol.
Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar ketika
mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya.
Menurut Lawrence W.Green (2000) faktor yang mempengaruhi perilaku spesifik yaitu
predisposing factors, enabling factors dan reinforcing factors. Predisposing factors meliputi
pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan keyakinan. Enabling factors meliputi kemampuan
untuk menjangkau sumber-sumber kesehatan, mengakses ke sarana kesehatan, peraturan
pemerintah, prioritas pembangunan, komitment terhadap kesehatan, kesehatan berhubungan
keterampilan.
Reinforcing factors meliputi dukungan keluarga, teman, guru, atasan, pemberi layanan
kesehatan, tokoh masyarakat dan pengambil keputusan. Uraian Green ini dapat diasumsikan
bahwa orang berstigma terhadap ODHA disebakan karena kurangnya pengetahuan tentang
HIV/AIDS, adanya persepsi negative tentang HIV/AIDS, dan adanya peran yang kurang
mendukung dari keluarga, teman, guru, tenaga kesehatan, pemerintah dan tokoh masyarakat.
Bentuk stigma dan diskriminasi staf RS terhadap pasien HIV/AIDS di RS adalah sebagai berikut
(Http://www.popcouncil.org) ;
1. Dianggap remeh dan mendapat judgement yang buruk
2. Tidak diberikan jaminan untuk mendapatkan fasilitas yang lain
3. Adanya “labelling” terhadapa pasien
4. Penggunaan alat perlindungan diri yang berlebihan terhadap pasien
5. Tes HIV tidak dilakukan secara tuntas
6. Konseling pre dan post yang tidak adekuat
Pada tahun 2010, hanya 6% penduduk diatas usia 15 tahun yang mengetahui layanan tes
sukarela dan rahsia (VCT).
7. Hasil tes HIV biasanya diberikan oleh pasien sendiri
8. Tidak adanya jaminan kerahasiaan terhadap hasil tes kepada keluarga dan staf kesehatan
yang tidak merawat pasien tersebut
9. Penolakan / Denial terhadap perawatan.

Keluarga dan anak-anak yang hidup denagn HIV-AIDS rentan terhadap stigma dan diskriminasi,
yang dapat dilihat dari berkurangnya akses ke layanan kesehatan, kehilangan martabat dan
meningkatnya kemiskinan dan deprivasi. Ketakutan menimbulkan resistensi terhadap tes HIV,
rasa malu untuk memulai pengobatan, dan dalam beberapa hal keengganan untuk menerima
pendidikan tentang HIV. Semua ini mempersulit pengendaliuan epidemic.
Hal-hal yang dapat menyebabkan stigma pada pasien dengan HIV/AIDS tersebut diantaranya
adalah (Http://www.popcouncil.org) :
1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Banyak tenaga kesehatan memiliki pengetahuan dan training yang kurang terhadap dasar-
dasar transmisi HIV, kontrol infeksi dan manajemen klinis terhadap HIV/AIDS
2. Dukungan institusi
Kurangnya kebijakan RS dalam melindungi pasien dengan HIV, SOP (Standart
Operational prosedure), penyediaan sarana-fasilitas, bahan dan alat perlindungan diri
serta jaminan terhadap keamanan staf dalam pelayanan perawatan.
3. Tingkat pendidikan

4. Lama bekerja

5. Persepsi tentang ODHA


Hasil penelitian di Amerika menyatakan bahwa sekitar 40-50% masyarakat percaya bahwa
HIV/AIDS dapat ditularkan melalui percikan bersin atan batuk, minum dari gelas yang sama dan
pemakaian toilet umum, sedangkan 20% percaya bahwa ciuman pipi bisa menularkan HIV/AIDS
(Herek et al, 2002).

2. Upaya untuk mengurangi stigma pada petugas kesehatan

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma perawat terhadap pasien dengan
HIV/AIDS dapat dilakukan dengan cara berikut ini (Http://www.popcouncil.org) ;
1. Mengkaji dan meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap HIV pada seluruh tenaga
kesehatan
Informasi yang keliru dan sikap menghakimi pada petugas kesehatan dapat menimbulkan stigma,
ketakutam dan perawatan yang berbeda pada penderita dengan HIV. Dalam studi ditemukan
bahwa sering tenaga kesehatansenior tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap transmisi
dan pencegahan HIV. Sehingga sangatlah penting untuk diadakannya pelatihan agar dapat
meningkatkan pengetahuan sehingga staf dapat memiliki kepedulian, memenuhi kebutuhan dan
memberikan hak-hak pasien HIV.

2. Menciptakan suasana kerja yang aman bagi pekerja kesehatan


Melakukan pengkajian dan menggali ketakutan dan resiko pada petugas kesehatan, kemudian
mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan yang menjamin keamanan pekerja dan
memperhatikan hak-hak pekerja kesehatan. Kebijakan dibutuhkan untuk memfasilitasi
kebutuhan penting (misal sarung tangan), yang berguna untuk kontrol infeksi secara optimal
sehingga tidak hanya sebagai proteksi terhadap pekerja kesehatan, namun juga bagi pencegahan
terhdap pemaparan infeksi ke pasien
3. Menggunakan pendekatan partisipasi dan partnership untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi dalam lingkungan kesehatan
Dari laporan hasil penelitian pada sikap pekerja kesehatan dan pratik dan dalam kebijakan RS
mendukung karakteristik pendekatan melalui identifikasi partisipasi problem dan pemecahan
masalah, dan adanya kesesuaian pada semua level staf dalam melakukan aktivitas intervensi, dari
ward staff sampai dengan pejabat RS. Kelompok dan organisasi diharapkan bekerja dalam seting
perawatan kesehatan juga mampu untuk memposisikan diri mereka sebagai rekan/
patnertdibandingkan sebagai pengamat atau pelengkap jika tujuan mereka adalah untuk
meningkatkan perawatan kesehatan lingkungan bagi penderita HIV. Pendidikan HIV/AIDS bagi
pembuat kebijakan di seluruh level harus difokuskan pada penghapusan ketidakpedulian pada
kebutuhan untuk mengalokasikan sumber daya yang cukup guna mendukung penanggulangan
HIV-AIDS.

4. Meningkatkan layanan tes sukarela dan rahasia (VCT).


Pada tahun 2010, hanya 6% penduduk usia diatas 15 tahun yang mengetahui layanan VCT.
Proporsi ini, yang sama untuk perempuan dan laki-laki, hanya 4% di daerah pedesaan. Kelompok
dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki informasi yang lebih baik tentang pelayanan
VCT maupun penanggulangan HIV. Pada bulan desember 2011, kementrian kesehatan
melaporkan 500 tempat VCT aktif di 33 propinsi, meningkat dari 156 di 27 propinsi pada thun
2009. Masalah kerahasiaan dan ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi masih menghalangi
upaya-upaya untuk meningkatkan cakupan dan pemahaman tentang tes HIV/AIDS disamping
peningkatan program-program perlindungan dan bantuan sosial perlu lebih sensitif terhadap
masalah HIV (Unicef Indonesia, 2012).

6. Melakukan riset. Jumlah penderita HIV yang semakin meningkat perlu didukung dengan
adanya penelitian untuk mendapatkan penilaian balik tentang intervensi dari pasien
dengan HIV positif. Selain itu pada riset yang akan datang harus dapat mengukur tentang
peran dan peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam pemberian terapi
antiretroviral pada ODHA dan penelitian mendalam tentang stigma dan diskriminasi
pada area perawatan kesehatan.
3. Hal – hal yang dapat mengurangi stigma di masyarakat
1. Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV adalah salah satu cara yang efektif
untuk menjelaskan tentang pencegahan dan penularan HIV. Seseorang dengan
pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat menurunkan bahkan
menghilangkan stigma pada ODHA,

2. Media telah lama digunakan untuk memberikan informasi terkait HIV/AIDS dengan
tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegaha penularan
HIV/AIDS. Selain itu, informasi ten tentan HIV/AIDS melalui media juga memberikan
dampak dalam penurunan stigma masyarakat terhadap ODHA,meskipun hal tersebut
belum terjadi di semua negara dan semua kalangan masyarakat.

3. Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang berinteraksi dengan ODHA. dukungan


atau penghapusan stigma dari orang-orang di sekitar ODHA juga akan berdampak pada
peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dukungan sosial membuat penderita HIV
tidak merasa sendiri, merasa disayangi dan mereka lebih berpeluang untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan.

4. tokoh masyarakat berperan penting dalam menurunkan terjadinya stigma dan


diskriminasi terhadap ODHA karena tokoh-tokoh lokal merupakan model atau contoh
yang biasanya menjadi panutan masyarakat, terutama pada masyarakat di daerah
pedesaan. Tindakan dan sikap mereka dijadikan referensi oleh masyarakat dalam
mengubah perilaku sehat, termasuk yang terkait dengan penularan HIV, dan menurunkan
stigma terhadap ODHA. Oleh karena itu, pemberian informasi yang komprehensif
tentang HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh
petugas kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan menyebarkan informasi
yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan stigma terhadap
ODHA.

F.   Penularan ODHA melalui Perilaku Seks


Faktor internal yang paling memengaruhi perilaku seksual adalah berkembangnya organ seksual
(Niniek, 2010). Inisiasi seksual dini didefinisikan sebagai pengalaman hubungan seksual pada usia 15
atau lebih awal. Nomor seumur hidup dari pasangan seksual, didefinisikan sebagai jumlah orang yang
pasangan itu memiliki hubungan seksual.
Aktivitas seksual tidak lepas dari perilaku berisiko pada laki-laki yang memiliki mobilitas di luar rumah
tinggi, di mana banyak faktor yang bisa mempengaruhi mereka untuk melakukan perilaku seksual
berisiko atau seksual komersial, dengan pengetahuan yang cukup namun tidak seluruhnya
mengaplikasikan dalam perilakunya seperti tidak melakukan pengamanan dari penyakit menular
seksual, meskipun mereka mengetahui bagaimana seharusnya melindungi diri sendiri dari virus HIV.
Pengaruh aktifitas seks pada pasien HIV/AIDS yang berseksual tanpa kondom.
Aktivitas seksual tidak lepas dari perilaku berisiko pada seseorang yang memiliki mobilitas di luar
rumah tinggi, di mana banyak faktor yang bisa mempengaruhi mereka untuk melakukan perilaku seksual
berisiko atau seksual komersial, dengan pengetahuan yang cukup namun tidak seluruhnya
mengaplikasikan dalam perilakunya seperti tidak melakukan pengamanan dari penyakit menular
seksual, meskipun mereka mengetahui bagaimana seharusnya melindungi diri sendiri dari virus HIV.
AIDS suatu penyakit yang menyerang mereka yang berhubungan seks tanpa kondom dan memiliki
beberapa pasangan seksual, disebabkan virus HIV yang menurunkan system kekebalan tubuh
penderitanya dalam jangka panjang.
Perilaku pasien tak lepas dari faktor predisposisi mengenai pengetahuan tentang HIV, factor
pemungkin bagaimana ketersediaan fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau, dan faktor pendorong
dari perilaku petugas kesehatan dan masyarakat sekitar dalam menanggapi masalah penyakit HIV.
Penggunaan non kondom merupakan praktik umum di kalangan ODHA. Pekerjaan sebelumnya telah
menunjukkan bahwa ODHA dalam hubungan menikah tidak mungkin melakukan seks aman.
Di mana semakin sering seseorang melakukan hubungan seksual selain dengan pasangan (suami-istri)
dengan tidak menggunakan kondom maka akan memberi peluang risiko tertularnya virus HIV lebih
cepat.
Kebutuhan untuk menjaga pernikahan hubungan dan tujuan menjadi dorongan kuat terhadap seks
tanpa kondom diantara ODHA yang sudah menikah. Namun, pentingnya seks aman terutama di dalam
pernikahan di antara ODHA harus merupakan implementasi program yang berkesinambungan di antara
pasangan suami istri dengan HIV / AIDS.
Penggunaan non kondom adalah praktik umum di kalangan ODHA. Pekerjaan sebelumnya telah
menunjukkan bahwa ODHA dalam hubungan menikah tidak mungkin melakukan seks aman. Dimana
semakin sering seseorang melakukan hubungan seksual selain dengan pasangan (suami-istri) dengan
tidak menggunakan kondom maka akan memberi peluang risiko tertularnya virus HIV lebih cepat.

G.      Bagaimana terapi rehabilitasi pada ODHA

1.      Terapi Antirtroviral


Terapi antiretroviral merupakan terapi yang dijalankan pasien dengan mengonsumsi obat seumur
hidup mereka. Untuk menekan penggandaan (replikasi) virus di dalam darah, tingkat obat antiretroviral
(ARV) harus selalu di atas tingkat tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat
supresi virus yang optimal setidaknya 90 – 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Pedoman
Nasional Terapi ARV, 2007). Terapi antiretroviral merupakan terapi yang saat ini banyak digunakan
untuk mencegah penyebaran virus HIV dalam tubuh dan terapi ini juga mencegah penyakit HIV
berkembang menjadi AIDS.
Menurut Sugiharti, Yuyun dan Heni dalam jurnalnya menggambarkan kepatuhan orang dengan hiv-
aids (ODHA) dalam minum obat arv di kota bandung, provinsi jawa barat, tahun 2011-2012 dipengaruhi
oleh beberapa faktor pendukung kepatuhan menjalani terapi antiretroviral antara lain sebagai berikut :

a.       Motivasi Diri

b.      Dukungan Dari Keluarga

c.       Dukungan Suami

d.      Dukungan Dari Teman Dekat

e.       Dukungan dari Petugas Kesehatan dan Manajer kasus

f.        Stigma

Adapun faktor penghambat menjalani terapi menurut sugiharti,yuyun dan heni dalam
jurnal gambaran kepatuhan orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dalam minum obat arv di kota
bandung, provinsi jawa barat, tahun 2011-2012 adalah sebagi berikut :
1.    Biaya berobat

2.    Efek samping obat

3.    Kejenuhan

4.    Stigma

kepatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral lumayan susah dikarenakan banyak factor
yang membuat si penderita saat menjalani terapi ini tidak mau menjalaninya. Akibat dari
ketidakpatuhan ini akan membuat penyakit ini menjadi resisten dan sukar diobati.

2.      Terapi herbal


Menurut jurnal Deanne Langlois-Klassen dkk, pengobatan tradisional digunakan oleh pasien rawat
jalan pada ART di uganda. Interaksi obat antara herbal dengan obat ARV sudah di jelaskan dan interaksi
tersebut diketahui dapat menurunkan level serum pengobatan ARV, dan itu sangat penting untuk
diingat bahwa THM (Therapy Herbal Medicine) dapat menurunkan efektivitas dari penggunaan
pengobatan ARV. Dengan kata lain penting halnya memikirkan potensial untuk rencara pengobatan yang
dapat membantu keefektvan pengobatan ARV, seperti dengan menggunakan chloroquine (bioaktif
malagashanine, dari tanaman Sp. Strychnos di Madagascar)

Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa penggunaan THM pada pasien rawat jalan yang
digunakan bersamaan denganpengobatan ARV sangatlah tinggi, hal tersebut dipengaruhi oleh
kurangnya pengetahuan mengenai resiko penggunaan pengobatan ARV bersamaan dengan THM.
Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa pemilihan obat tradisional oleh ODHA dilakukan
karena memiliki pemikiran bahwa pengobatan ARV tidak adekuat terhadap gejala yang ditimbulkan oleh
HIV AIDS.
Sedangkan menurut Pertistiawan dkk dalam laporan penelitiannya didapatkan hasil bahwa :
1.         Ramuan jamu imunostimulan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS pada kelompok
jamu setelah 28 hari perlakuan.
2.         Kualitas hidup penderita HIV/AIDS antara kelompok jamu dan placebo (pemberian sugesti) tidak
berbeda nyata pada pengukuran hari ke-0, 14 dan 28.
3.         Setelah 28 hari, kadar CD4 penderita HIV/AIDS kelompok jamu tidak mengalami perbedaan yang
signifikan. Sedangkan pada kelompok placebo, kadar CD4 mengalami penurunan yang signifikan.
4.         Selama 28 hari intervensi ramuan jamu imunostimulan dan placebo, tidak ditemukan gejala efek
samping yang serius.
5.         Pemberian ramuan jamu imunostimulan dan placebo (pemberian sugesti) pada subjek penelitian selama
28 hari tidak mengganggu fungsi hati dan fungsi ginjal.

Berikut adalah data mengenai penggunaan pengobatan tradisional, komplementer dan


alternatif yang dilakukan oleh pasien hiv di kwa-zunu-natal di afrika selatan, berdasarkan jurnal (Peltzer,
et al. 2008). hasil dari penelitiannya menunjukan bahwa diantara 618 sampel dari 3 rumah sakit di Kwa-
Zulu-Natal, terapi TCAM biasa digunakan pasien (317,51.3%), terapi herbal saja sebanyak 183, 29.6%.
dan penggunaan mikronutrien sebanyak 42,9% tidak termasuk dari TCAM .

Adapun jenis-jenis pengobatan terapi herbal yang sering digunakan oleh pasien hiv yang berkaitan
dengan gejala hiv berdasarkan jurnal Langlois-Klassen, Kipp dan Jhangri (Langlois-Klassen, et al. 2007).
Hal tersebut menunjukan bahwa semakin banyak gejala yang dirasakan semakin meningkat pula
frequensi penggunaan THM oleh pasien AIDS di Kabarole.
Dari data diatas dapat diambil kesimpulan, keseluruhan 63,5% partisipan terindikasi menggunakan obat
herbal tradisional setelah tediagnosa infeksi HIV. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh persepsi mereka.

Jadi penggunaan TCAM atau pun THM pada ODHA dapat membantu mengembalikan sistem
imunitas dan kualitas hidup pada ODHA , tetapi harus diperhatikan dalam penggunaannya. Karna
penggunaaan terapi atau perawatan ODHA dengan TCAM atau THM dapat menurunkan efektivitas
pengobatan ARV.
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
     

Hiv aids adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya infeksi retrovirus yang menyerang sel T
sistem imunitas tubuh.

1. Kesimpulan

Stigma adalah penyimpangan yang mengarah ke dalam situasi dimana orang-orang tidak
dapat menyesuaikan diri dengan standar masyarakat normal.Stigma terhadap ODHA memiliki
dampak yang besar bagi program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas
hidup ODHA.Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang
berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap ODHA. Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap
penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak
adil.Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV adalah salah satu cara yang efektif untuk
menurunkan bahkan menghilangkan stigma pada ODHA.

2. Saran

Dalam masalah diatas sangat diperlukan peran dari tim kesehatan terutama perawat untuk
mengubah stigma masyarakat terhadap ODHA . Stigma yang buruk terhadap ODHA dapat
mempengaruhi kesehatan dari ODHA itu sendiri. Pendidikan kesehatan yang baik tentang penyakit HIV
AIDS bisa menjadi salah satu cara untuk merubah stigma terhadap penyakit maupun penderita dengan
mengetahui lebih baik tentang HIV.
Daftar Pustaka

amankwaa, adansi. “pengaruh defiinisi cdc kasus hiv/aidsdi kalangan remaja kemaatian dan dewasa di
amerika.” global jurnal of diseases inc, 2013: vol. 13.

komatsu, tatiana lucianelli, elena riet correa rivero, marina helena cury, gallottini de magalhaes, dan
fabio daumas nunes. “Epstain-Barr virus in oral hairy leukoplakia scrapes : identification by
PCR.” Braz Oral Res, 2005: 317-21.

Langlois-Klassen, Deanne, Walter Kipp, Gian S. Jhangri, dan Tom Rubaale. “Use of Traditional Herbal
Medicine by AIDS Patients in Kabarole District, Western Uganda.” The American Society of
Tropical Medicine and Hygiene, 2007: 757–763.

md, james w buehler. “the surveillancedefinition for aids .” american journal of public health, 1992:
vol.82.

Peltzer, Karl, Natalie Friend-du Preez, Shadir Ramlagan, dan Henry Fomundam. “Use of Traditional
complementary and Alternative Medicine for HIV Patients in KwaZulu-Natal, South Africa.” BMC
Public Health, 2008: 8-255.

reeves, jacqueline d, dan robert w doms. “human immunodeficiency virus type 2.” journal of general
virology, 2002: 1253-1265.

Jurnal Kesehatan Prima.Stigma Petugas Kesehatan terhadap Pasien HIV/AIDS dan Problem Solving.Volume : 9,
No.2, Agustus 2015, Halaman : 1471-1477

Sismulyanto, S supriyanto, dan nursalam. “model to reduce hiv related stigma among indonesia
nurses.” IJPHS, 2015: 182-191.

waluyo, agung, prima agustia nova, dan chiyar edison. “perilaku perawat terhadap orang dengan
hiv/aids di rumah sakit dan puskesmas.” jurnal keperawatan indonesia, 2011: 127-132.
Fufa Nandasari, Lucia Y Hendrati. (2015). Identification of Sexsual Behavior and HIV Insidence on Public
Transportation Driver in Sidoarjo, Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 377–386.

Anda mungkin juga menyukai