PENDAHULUAN
Penyakit gagal ginjal termasuk salah satu penyakit ginjal yang paling
berbahaya. Penyakit ginjal tidak menular, namun menyebabkan kematian.
Penyakit gagal ginjal dibedakan menjadi dua, yaitu gagal ginjal akut (GGA)
dan gagal ginjal kronik (GGK) (Muhammad, 2012). Penyakit GGK pada
stadium akhir disebut dengan End Stage Renal Disease (ESDR). Penyakit
GGK merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi dan
insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi (Word Kidney Day n.d., diakses 7 September 2018). Perawatan
penyakit ginjal di Indonesia merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar
dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung (Infodatin, 2017). Menurut data
dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi GGK di
Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75 tahun dengan 0,6%
lebih tinggi daripada kelompok umur yang lain.
Salah satu penanganan yang tepat untuk pasien GGK adalah terapi
pengganti ginjal (Widyastuti, et al., 2014). Tindakan medis pemberian
pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal sebagai bagian dari pengobatan
pasien gagal ginjal dalam upaya mempertahankan kualitas hidup yang optimal
terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis (HD). Berdasarkan IRR
(Indonesian Renal Registry) tahun 2014 mayoritas layanan yang diberikan
pada fasilitas pelayanan dialisis 1 adalah hemodialisis 82%, layanan CAPD
12,8%, transplantasi 2,6% dan CRRT 2,3% (Infodatin, 2017).
Penyakit hati merupakan penyakit yang umum terjadi pada pasien GGK
dan pemeriksaan fungsi hati terutama enzim memainkan peran penting dalam
mendiagnosis dan memantau kondisi pasien (Ray et al., 2015). Pada pasien
gagal ginjal kronik, tindakan hemodialisis merupakan suatu tindakan invasif
yang mempunyai risiko untuk terjadinya infeksi (Pusparini, 2000). Infeksi
merupakan risiko utama pada pasien hemodialisis kronik (telah menjalani
1
hemodialisis lebih dari 3 bulan) (Bhattacharyaa, dkk., 2009). Oleh karena itu,
serum enzim seperti Alanine aminotransferase (ALT), Aspartat
aminotransferase (AST) dan Alkalin fosfatase (ALP) biasanya digunakan
untuk menilai dan memantau penyakit hati (Fabrizi, dkk., 2001). Tingkat ALT
(Alanine Aminotransferase) pada pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisa dapat lebih rendah dikarenakan kekurangan vitamin B6, yang
merupakan koenzim ALT (Alanine Amino Transferase), atau hemodilusi, yang
terjadi karena retensi air pada pasien dengan GGK sebelum sesi hemodialisa
(Ramos et al., 2012).
Hasil pemeriksaan laboratorium yang benar dan akurat merupakan modal
dari tim laboratorium mencakup flebotomis dalam menunjang diagnosis dan
pemantauan penyakit (Putra, 2014). Proses pengendalian mutu pelayanan
flebotomi di laboratorium kesehatan memiliki tiga tahapan penting, yaitu
tahap pra-analitik, analitik dan pasca-analitik (Indyanty et al., 2015). Tahap
pra analitik merupakan tahapan penentuan kualitas sampel yang akan
digunakan pada tahaptahap selanjutnya. Kesalahan pada proses pra-analitik
dapat memberikan kontribusi 61% dari total kesalahan. Sementara kesalahan
analitik memberikan kontribusi 25% dari total kesalahan, dan pada pasca-
analitik sebesar 14% (Depkes RI, 2013). Pelaksanaan pengambilan spesimen
(flebotomi) yang tidak tepat, kurangnya pengetahuan dan ketidakpatuhan dari
petugas flebotomi dilaporkan sebagai penyebab kesalahan pra-analitik yang
berhubungan dengan kualitas spesimen. Beberapa hal yang termasuk dalam
kesalahan pra-analitik antara lain hemolisis (53.2%), volume spesimen yang
kurang (7.5%), tulisan tangan yang tidak bisa dibaca (7.2%), salah spesimen,
spesimen ada bekuan, kesalahan vacuum container atau jenis antikoagulan,
rasio volume spesimen dan spesimen darah diambil dari jalur infus (Indyanti
et al., 2015).
Pemeriksaan laboratorium klinik umumnya dapat dilakukan dengan
sampel serum maupun plasma. Penggunaan plasma lebih disukai karena
menghemat waktu yaitu sampel dapat disentrifus langsung tanpa menunggu
sampel menggumpal, tidak seperti serum perlu menunggu sampai koagulasi
selesai dan membutuhkan volume minimal darah lebih sedikit yang diperlukan
2
untuk pembuatan plasma (Chandrasoma, 2005). Sampel serum dapat
memberikan kesulitan tersendiri ketika sampel darah diperoleh dari pasien
ESDR yang mendapatkan terapi dialisis. Salah satu alasannya karena
pemberian antikoagulan pada pasien yang diterapi. Sampel dari pasien ESDR
membutuhkan waktu yang lama untuk membeku sempurna (clot). Jika sampel
didiamkan agar clot dengan waktu lebih dari yang dianjurkan yaitu sekitar 30-
60 menit, maka akan mempengaruhi analit seperti kalium dan fosfor. Sampel
yang langsung disentrifus meskipun sampel belum sepenuhnya clot
menyebabkan serum mengandung fibrinogen dan faktor pembekuan yang lain
sehingga memungkinkan terjadinya trombogenesis setelah dilakukan
pemisahan. Ketika sampel yang belum sepenuhnya membeku diperiksa tanpa
pengolahan lebih lanjut hal ini dapat menyebabkan adanya serum yang masih
clot dan perlu disenrifus ulang serta dapat mengandung gumpalan kecil yang
dapat menyumbat fluidics pada instrument laboratorium, kecuali alat tersebut
memiliki kemampuan untuk mendeteksi clot. Clot tersebut dapat
menyebabakan hasil yang salah pada sampel yang sudah dipersiapkan dengan
baik sebelumnya (Carey, et al., 2016).
Tabung pemisah (separator tube) baik untuk plasma atau serum telah
diperkenalkan hampir 40 tahun yang lalu dan sekarang digunakan di
laboratorium diagnostik, karena perangkat ini membawa sejumlah keunggulan
teknis yang lebih praktis dibandingkan tabung polos (plain tube) (Lippi, et al.,
2014). Pemisahan sampel yang tidak memadai dari komponen sel darah
mengakibatkan berubahnya hasil pemeriksaan laboratorium karena interferensi
oleh sisa komponen seluler seperti trombosit, leukosit atau komponen lainnya.
Untuk mendapatkan supernatan yang benar-benar jernih dan tidak
terkontaminasi komponen sel darah, maka dapat dilakukan sentrifugasi. Tetapi
pengulangan sentrifugasi sampel darah lebih dari satu kali dan berkepanjangan
dengan kecepatan tinggi dapat menyebabkan kesalahan pengukuran yang
disebabkan adanya resiko hemolisis atau kerusakan struktural saat pengukuran
(Cadamuro, et al., 2018).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melihat dan menguji aktivitas
enzim ALT (Alanine Aminotransferase) pada plasma heparin yang didapatkan
3
dari Plasma Separator Tube (PST) dan Vacutainer Lithium Heparin pada
pasien yang telah mendapatkan terapi hemodialisa.
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi
2.2.1 Anatomi Ginjal
Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting
dalam mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan
mempertahankan keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa
berupa urin akan meninggalkan ginjal menuju saluran kemih untuk
dikeluarkan dari tubuh. Ginjal terletak di belakang peritoneum sehingga
disebut organ retroperitoneal (Snell, 2006).
Menurut Baradero, dkk. (2005), ginjal adalah sepasang organ
retroperitoneal yang integral dengan homeostasis tubuh dalam
mempertahankan keseimbangan, termasuk keseimbangan fisika dan kimia.
Ginjal menyekresi hormon dan enzim yang membantu pengaturan
produksi eritrosit, tekanan darah, serta metabolisme kalsium dan fosfor.
Ginjal membuang sisa metabolisme dan menyesuaikan ekskresi air dan
pelarut. Ginjal mengatur volume cairan tubuh, asiditas, dan elektrolit
sehingga mempertahankan komposisi cairan yang normal.
Ginjal berwarna coklat kemerahan dan berada di sisi kanan dan kiri
kolumna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3. Ginjal
dexter terletak sedikit lebih rendah daripada sinistra karena adanya lobus
hepatis yang besar. Masing-masing ginjal memiliki fasies anterior, fasies
inferior, margo lateralis, margo medialis, ekstremitas superior dan
ekstremitas inferior.
5
Gambar 1. Potongan frontal ginjal
2.1.2 Fisiologi Ginjal
Menurut M. Wilson Lorraine, Sylvia, 2012 Ginjal adalah organ
yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara
membuang sisa metabolisme dan menahan zat – zat yang diperlukan oleh
tubuh. Fungsi ini amat penting bagi tubuh untuk menjaga hemeostatis.
Homeostatis amat penting dijaga karena sel – sel tubuh hanya bisa
berfungsi pada keadaan cairan tertentu. Walaupun begitu, ginjal tidak
selalu bisa mengatur keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada
keadaan minimal, ginjal mengeluarkan minimal 0,5liter air per hari untuk
kebutuhan pembuangan racun. Hal ini tetap harus dilakukan walaupun
tubuh berada dalam kondisi dehidrasi berat.
Secara singkat, kerja ginjal bisa diuraikan menjadi:
1. Mempertahankan keseimbangan kadar air (H2O) tubuh
2. Mempertahankan keseimbangan osmolaritas cairan tubuh
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi dari kebanyakan ion di
cairan ekstraseluler.Ion – ion ini mencakup Na +, Cl-, K+,
Mg2+, SO4+,H+, HCO3-,Ca2+, dan PO42-. Kesemua ion ini
amat penting dijaga konsentrasinya dalam kelangsungan
hidup organisme.
4. Mengatur volume plasma
5. Membantu mempertahankan kadar asam – basa cairan
tubuh dengan mengatur ekskresi H+ dan HCO3-
6. Membuang sisa metabolisme yang beracun bagi tubuh,
terutama bagi otak
7. Membuang berbagai komponen asing seperti obat, bahan
aditif makanan, pestisida, dan bahan lain yang masuk ke
tubuh
8. Memproduksi erythropoietin
9. Memproduksi renin untuk menahan garam
10. Mengubah vitamin D ke bentuk aktifnya.
6
Sistem ekskresi sendiri terdiri atas 2 buah ginjal dan saluran
keluarnya urin. Ginjal sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari
arteri yang masuk ke medialnya. Ginjal akan mengambil zat –zat yang
berbahaya dari darah dan mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan
dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Dari ureter, urin akan ditampung
terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan
keinginan micturisi dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan dikeluarkan lewat uretra.
7
ginjal, maka tubuh akan diracuni oleh kotoran yang dihasilkan
oleh tubuhnya sendiri. Bagian ginjal yang berfungsi untuk
menyaring adalah nefron.
2) Mengekskresikan kelebihan gula dalam darah.
3) Membantu keseimbangan air dalam tubuh, yaitu
mempertahankan tekanan osmotik ekstraseluler.
4) Mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan
asambasa darah.
5) Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4
melalui pertukaran ion hidtronium dan hidroksil. Akibatnya, urin
yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada
pH 8.
8
2. penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI renal/intrinsik, ~40%);
3. penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,
~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat
terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat
pada Tabel 1.
9
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
a. Kegagalan penurunan resistensi arteriol
b. Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis,
hipertensi kronik, PGK (penyakit ginjal kronik),
hipertensi maligna), penurunan prostaglandin
(penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi
arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom
hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
c. Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
d. Penggunaan penyekat ACE, ARB
e. Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
a) Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal I. Obstruksi renovascular
Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
a. Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
a. Iskemia (serupa AKI prarenal)
b. Toksin
c. Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri,
viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
10
AKI pascarenal I. Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan,
darah
III. Obstruksi uretra
Striktur, katup kongenital, fimosis
11
liter/24jam. Pada fase ini pertama-tama terjadi penurunan produksi
urin sampai kurang dari 400cc/24 jam. Tidak jarang produksi urin
sampai kurang dari 100cc/24 jam, keadaan ini disebut dengan anuria.
Pada fase ini penderita mulai memperlihatkan keluhan-keluhan yang
diakibatkan oleh penumpukan air dan metabolit-metabolit yang
seharusnya diekskresikan oleh tubuh, seperti mual, muntah, lemah,
sakit kepala, kejang dan lain sebagainya. Perubahan pada urin menjadi
semakin kompleks, yaitu penurunan kadar urea dan kreatinin. Di dalam
plasma terjadi perubahan biokimiawi berupa peningkatan konsentrasi
serum urea, kreatinin, elektrolit (terutama K dan Na).
2. Stadium Diuresis
Stadium diuresis dimulai bila pengeluran urine meningkat sampai
lebih dari 400 ml/hari, kadang-kadang dapat mencapai 4 liter/24 jam.
Stadium ini berlangsung 2 sampai 3 minggu. Volume kemih yang
tinggi pada stadium ini diakibatkan karena tingginya konsentrasi serum
urea, dan juga disebabkan karena masih belum pulihnya kemampuan
tubulus yang sedang dalam masa penyembuhan untuk
mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama stadium dini
diuresi, kadar urea darah dapat terus meningkat, terutama karena
bersihan urea tak dapat mengimbangi produksi urea endogen. Tetapi
dengan berlanjutnya di uresis, azotemia sedikit demi sedikit
menghilang, dan pasien mengalami kemajuan klinis yang benar.
3. Stadium Penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan
selama masa itu, produksi urin perlahan–lahan kembali normal dan
fungsi ginjal membaik secara bertahap, anemia dan kemampuan
pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik, tetapi pada
beberapa pasien tetap mende rita penurunan glomerular filtration
rate (GFR) yang permanen.
12
1. Dapat terjadi oliguria, terutama apabila kegagalan disebabkan oleh
iskemia atau obstruksi. Oliguria terjadi karena penurunan GPR.
2. Nekrosis tubulus toksik dapat berupa non-oliguria (haluaran urine
banyak) dan terkait dengan dihasilkannya volume urine encer yang
adekuat
3. Tampak peningkatan BUN dan nilai kreatinin serum menetap
4. Hiperkalemia berat dapat mengarah pada disritmia dan henti jantung
5. Asidosis progresif, peningkatan konsentrasi fosfat serum, dan kadar
kalsium serum rendah
6. Anemia, karena kehilangan darah akibat lesi uremik gastrointestinal,
penurunan masa hidup sel-sel darah merah, dan penurunan pembentukan
eritropoetin
13
2.8 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Akut
Penatalaksanaan pada klien gagal ginjal akut dilakukan secara
komprehensif baik dari disiplin medis, nurse practitionist, nutritionist, dan
lain sebagainya. Berikut ini adalah manajemen penatalaksanaan pada klien
gagal ginjal akut
1. Tata laksana umum
Secara umum yang harus dilakukan pada klien gagal ginjal akut adalah
memberlakukan dan mengawasi secara ketat diet tinggi kalori dan
rendah protein, natrium, kalium dengan pemberian suplemen tambahan.
Jumlah kebutuhan kalori disesuaikan dengan umur dan berat badan. Dan
yang paling penting adalah membatasi asupan cairan. Untuk mengontrol
kadar elektrolit yang tidak seimbang dalam tubuh, maka perlu tindakan
dialisis (hemodilysis/ peritoneal dialysis).
2. Tata laksana medis
Penggunaan terapi medis pada gagal ginjal akut utamanya
diperuntukkan untuk menjaga volume cairan dalam tubuh sesuai dengan
kompensasi ginjal dan menjaga kondisi asam basa darah.Terapi medis
yang digunakan adalah :
a. Furosemid
Pemberian 20 sampai 100 mg per IV setiap 6 (enam) jam
akan menjaga stabilitas volume cairan dalam tubuh.
b. Kalsium glukonat
Pemberian 10 ml/ 10% dalam cairan solut infus (IV) akan
membantu menjaga kadar kalium.
c. Natrium polystyrene
15 gr dalam dosis 4 kali sehari dicampur dalam 100 ml dari
20% sorbitol, 30 sampai 50 gr dalam 50 ml 70% sorbitol dan
150 ml dalam air akan menjaga kadar kalium.
d. Natrium bikarbonat
Pemberian ini akan mengatasi kondisi asidosis metabolik.
3. Observasi ketat
14
Hasil pemeriksaan laboratorium (BUN, kreatinin dan kadar kalium)
harus dimonitoring secara ketat. Hal ini sangat bermakna dalam
mempertahankan hidup klien.
4. Terapi edukatif
Sebagai perawat, hal yang paling penting adalah memberikan
pendidikan kesehatan pada klien untuk mengikuti petunjuk diet yang
telah ditentukan.
(Prabowo, Eko. 2014)
2.9 Pathway Gagal Ginjal Akut
15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 pengkajian
1. Identitas klien
2. Identitas penanggung jawab
3. Riwayat kesehatan masa lalu
a. Penyakit yang pernah diderita
16
b. Kebiasaan buruk: menahan BAK, minum bersoda
c. Pembedahan
4. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan utama: nyeri, pusing, mual, muntah
5. Pemeriksaan fisik
a. Umum: Status kesehatan secara umum
b. Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu tubuh
c. Pemeriksaan fisik
Teknik pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
a) Kulit dan membran mukosa
Catat warna, turgor, tekstur, dan pengeluaran keringat.
Kulit dan membran mukosa yang pucat, indikasi gangguan
ginjal yang menyebabkan anemia. Tekstur kulit tampak kasar
atau kering. Penurunan turgor merupakan indikasi dehidrasi.
Edema, indikasi retensi dan penumpukan cairan.
b) Mulut
Stomatitis, nafas bau amonia.
c) Abdomen
Klien posisi telentang, catat ukuran, kesimetrisan, adanya
masa atau pembengkakan, kulit mengkilap atau tegang.
d) Meatus urimary
Laki-laki: posisi duduk atau berdiri, tekan gland penis dengan
memakai sarung tangan untuk membuka meatus urinary.
Wanita: posisi dorsal rekumben, litotomi, buka labia dengan
memakai sarung tangan.
2) Palpasi
a) Ginjal
b) Ginjal kiri jarang teraba, meskipun demikian usahakan untuk
mempalpasi ginjal untuk mengetahui ukuran dan sensasi.
Jangan lakukan palpasi bila ragu karena akan merusak
jaringan.
17
- Posisi klien supinasi, palpasi dilakukan dari sebelah kanan
- Letakkan tangan kiri di bawah abdomen antara tulang iga
dan spina iliaka. Tangan kanan dibagian atas. Bila
mengkilap dan tegang, indikasi retensi cairan atau ascites,
distensi kandung kemih, pembesaran ginjal. Bila
kemerahan, ulserasi, bengkak, atau adanya cairan indikasi
infeksi. Jika terjadi pembesaran ginjal, maka dapat
mengarah ke neoplasma atau patologis renal yang serius.
Pembesaran kedua ginjal indikasi polisistik ginjal.
Tenderness/ lembut pada palpasi ginjal maka indikasi
infeksi, gagal ginjal kronik. Ketidaksimetrisan ginjal
indikasi hidronefrosis.
- Anjurkan pasien nafas dalam dan tangan kanan menekan
sementara tangan kiri mendorong ke atas.
- Lakukan hal yang sama untuk ginjal di sisi yang lainnya.
c) Kandung kemih
Secara normal, kandung kemih tidak dapat dipalpasi, kecuali
terjadi ditensi urin. Palpasi dilakukan di daerah simphysis
pubis dan umbilikus. Jika kandung kemih penuh maka akan
teraba lembut, bulat, tegas, dan sensitif.
3) Perkusi
a) Ginjal
- Atur posisi klien duduk membelakangi pemeriksa
- Letakkan telapak tangan tidak dominan diatas sudut
kostavertebral (CVA), lakukan perkusi di atas telapak
tangan dengan menggunakan kepalan tangan dominan.
- Ulangi prosedur pada ginjal di sisi lainnya. Tenderness
dan nyeri pada perkusi merupakan indikasi
glomerulonefritis atau glomerulonefrosis.
b) Kandung kemih
- Secara normal, kandung kemih tidak dapat diperkusi,
kecuali volume urin di atas 150 ml. Jika terjadi distensi,
18
maka kandung kemih dapat diperkusi sampai setinggi
umbilikus.
- Sebelum melakukan perkusi kandung kemih, lakukan
palpasi untuk mengetahui fundus kandung kemih. Setelah
itu lakukan perkusi di atas region suprapubic.
4) Auskultasi
Gunakan diafragma stetoskop untuk mengauskultasi bagian atas
sudut kostovertebral dan kuadran atas abdomen. Jika terdengan
bunyi bruit (bising) pada aorta abdomen dan arteri renalis, maka
indikasi adanya gangguan aliran darah ke ginjal (stenosis arteri
ginjal).
3.2 Diagnosa Keperawatan
1) Kurang pengetahuan berhubungan dengan gagal ginjal
Objektif
1. Menunujukkan prilaku
tidak sesuai anjuran Kurang pengetahuan
2. Menunjukkan persepsi
yang keliru terhadap
masalah
Subjektif
19
(tidak tersedia)
Objektif
1. Menjalani
pemeriksaan yang
tidak tepat
2. Menunjukkhan
prilaku berlebihan
20
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
DX KEPERAWATAN
3 Gagal Ginjal Akut
Gejala dan tanda mayor
penumpukan di kulit
Objektif
Gangguan citra tubuh
1. Kehilangan bagian kulit terasa gatal
tubuh
2. Fungsi/struktir tubuh gangguan citra tubuh
berubah/hilang
Subjektif
1. Tidak mau
mengungkapkan
kecactan/kehilangan
bagian tubuh
2. Mengunhkapkan
perasaan negative
tentang perubahan tubuh
3. Mengungkapkan
kekhawatiran pada
penolakan/reaksi orang
lain
4. Mengungkapkan
perubahan gaya hidup
21
Objektif
1. Menyembunyikan/menu
njukan bagian tubuh
secara berlebihan
2. Menghindari melihat
dan menyentuh bagian
tubuh
3. Fokus berllebihan pada
perubahan
4. Respon nonverbal pada
perubahan dan persepti
tubuh
5. Fokus pada penampilan
dan kekuatan masa lalu
6. Hubungan social
berubah
Subjektif
ketidakmapuan ginjal
1. Ortopnea
mengeksresikan urine
2. Dyspnea
3. Paroxysmal nocturnal
retensi cairan Na dan
22
4. Dypnea elektrolit
Objektif
cairan tubuh meningkat,
1. Edema anarsaka/ferifer
edema
2. BB meningkat dalam kelebihan volume
Subjektif
(tidak tersedia )
Objektif
Subjektif
23
Dispnea ketidakmapuan ginjal
mengeksresikan urine
Objektif
Pernafasan kussmaul
ortopnea
Objektif
Perubahan pola napas
7. Pernapasan pursed-
lip
8. Pernapasan cuping
hidung
9. Diameter thoraks
anterior-posterior
meningkat
10. Ventilasi semerut
menurun
11. Kapasitas vital
menurun
12. Tekanan ekspirasi
menurun
13. Tekanan inspirasi
menurun
24
14. Ekskursi dada
berubah
Subjektif
1. Mengeluh nyeri ketidakmapuan ginjal
mengeksresikan urine
Objektif
1. Tampak merintis
penumpukan asam
2. Bersikap proktektif
organik (H+)
(mis. Waspada,
posisimenghindari
muatan asam (H+)
nyeri)
meningkat
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi Nyeri akut
PH darah menurun
meningkat
5. Susah tidur
Asidosis metabolik
Gejala dan tanda minor
Suplai O2 ke jaringan
Subjektif
menurun
Tidak tersedia
Metabolism anaerob asam
Objektif laknat meningkat
1. Tekanan darah meningkat
2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah Fatig. Nyeri sendi
4. Proses berfikir terganggu
25
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diafrosis Nyeri akut
26
3.3 Intervensi Keperawatan
27
II. Dx2: Resiko kerusakan integritas kulit kulit kering gatal
Intervensi :
Observasi
1. Identivikasi penyebab gangguan integritas kulit
Terapeutik
2. Ubah posisi tiap 2 jam tirah baring
3. Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering
Edukasi
4. Anjurkan menggunakan pelembab
5. Anjurkan minum air yang cukup
6. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
7. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
8. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
9. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya.
III. Dx3: Gangguan citra tubuh bd kulit kering gatal
Intervensi
Obstruksi
1. Identivikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap
perkembangan
2. Identivikasi perubahan citra tubuh yang mengakibatkan
isolosi social
3. Monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh yang
berubah
Terapeutik
4. Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
5. Diskusikan perbedaan openampilan fisik terhadap harga diri
6. Diskusikan kondisi stress yang memperngaruhi citra tubuh
7. Diskusikan cara mengembangkan harapan citra tubuh secara
realistis
8. Diskusikan persepsi pasien dan keluarga tentang perubahan
citra tubuh
Edukasi
28
9. Jelaskan kepada keluarga ttg perawatan perubahan citra tubuh
10. Anjurkan mengungkapkan gambar diri terhadap citra tubuh.
Intervensi
Observasi
1. Monitor pola napas (frekuensi,kedalaman,usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (gurgling,mengi,
wheezing, ronkhi kering)
Terapetik
29
3. Pertahankan kepenatan jalan napas dengan head-tilt
chin-lift (jaw-thrust jika di curigai trauma servikal)
4. Posisikan semi fowler atau fowler
5. Berikan miinum air hangat
6. Lakukan fesioterapi dada, jika perlu
7. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 menit
8. Lakukan hiperoksigenasi sebelum melakukan
penghisapan endotrakeal
9. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGil
10. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
11. anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspektoran,
mukalitik, jika perlu
30
8. Berikan Teknik nonformakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
9. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan, percaahayaan, kebisingan)
10. Fasilitasi istirahat dan tidur
11. Pertimbangkan jenis dan sumber dalam pemilihan
strategis meredakan nyeri
Edukasi
12. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
13. Jelasken strategis meredakan nyeri
14. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
15. Ajarkan Teknik nonfarmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
16. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
31
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi
mensekresi produk-produk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi
ginjal sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi
produk limbah nitrogen dalam darah dan oliguria dimana haluaran urine
kurang dari 400 ml/24 jam.
Gagal ginjal akut (acute renal failure) adalah sekumpulan gejala
yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak. Gagal Ginjal Akut
(GGA) adalah suatu sindrom akibat kerusakan metabolik atau patologik
pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak
dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu dengan atau tanpa
oliguria sehinggamengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeotasis tubuh.
Etiologi gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 kelompok utama
berdasarkan patogenesis gagal ginjal akut, yakni (1) penyakit yang
menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%);
(3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal,~5%).
4.2 Saran
Diharapkan makalah dapat memberikan tambahan informasi bagi
mahasiswa tentang konsep teori gagal ginjal akut serta asuhan
keperawatan pada gagal ginjal akut.
32
DAFTAR PUSTAKA
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice
Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012.
Vol.2. 19-36
Brunner & Sudart, 2002, Buku Ajaran Keperawatan Medikel bedah, ahli bahasa:
waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made Karyasa, EGC, Jakarta.
Kemenkes, R.I.(2014). Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta: kementrian
kesehatan RI.
Kowalak, P. Jennifer., 2011. Buku Ajar Fatofisiologi. Jakarta: EGC.
Lattanzio MR and Kopyt NP. 2009. Acute Kidney Injury: New Concepts in
Definition, Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment. University of Maryland
Medical Center in Baltimore and Nephrology Hypertension Associates of the
Lehigh Valley
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1
t ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indone
33
34