Di zaman yang sudah serba modern ini perkembangan dunia pertanian dan
perkebunan sudah semakin baik. Banyak inovasi-inovasi baru yang diciptakan untuk
membantu mempercepat hari panen dan memperbaiki hasil panen. Salah satunya
penggunaan pestisida dalam campuran nutrisi bagi tanaman. Pestisida tentunya bukan
sesuatu yang asing lagi bagi kita, karena penggunaanya yang cukup umum. Namun,
perlu kita sadari bahwa pestisida merupakan bahan kimia yang jika digunakan
berlebihan dan dalam jangka waktu yang cukup lama akan membuat susunan organik
tanah menjadi rusak.
Sementara pestisida atau pembasmi hama adalah bahan yang digunakan untuk
mengendalikan, menolak, atau membasmi organisme pengganggu. Dengan
menggunakan pestisida memang akan meningkatkan hasil panen. Akan tetapi
penggunaan pestisida berlebih juga akan memberikan dampak negatif, salah satu
contohnya adalah kerusakan pada lahan pertanian. Secara umum sifat pestisida adalah
pelindung manusia dari ancaman serangga, jamur, gulma, dan hewan pengganggu
lainnya. Namun di sisi lain, formula senyawa kandungan pestisida ternyata juga
merupakan polutan atau bahkan racun bagi keselamatan kelangsungan ekosistem
lingkungan manusia itu sendiri, termasuk bagi tanah dan lingkungan hidupnya.
Dari begitu banyaknya dampak negatif yang diakibatkan oleh pestisida. Kita
akan mengambil contoh dari kasus pencemaran tanah yang terjadi di Brebes, Jawa
Tengah. Dikenal sebagai sentra penghasil bawang merah, tanah yang sehat tentunya
sangat penting bagi para petani di wilayah Brebes. Keinginan untuk menghasilkan
bawang merah yang berkualitas baik dan mengurangi gangguan hama, para petani
memutuskan untuk menggunakan pestisida sebagai pupuk untuk merawat lading
bawang mereka. Hal ini telah dilakukan bertahun-tahun dan hasilnya memang cukup
memuaskan dimana bawang yang dihasilkan bebas dari gangguan hama dan hasil panen
juga meningkat sehingga berhasil memenuhi kebutuhan bawang di pasar. Namun, hal
yang tidak mengenakkan terjadi pada tahun 2015 dimana separuh lahan pertanian di
Brebes rusak akibat pestisida. Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Brebes, Edy
Kusmartono mengatakan ”Ada sekitar 50 persen sawah yang rusak akibat terpengaruh
pestisida,” (dikutip dari koran Tempo.Co). Beberapa indikatornya adalah derajat
pelurusan air atau kemampuan menyerap air yang masih rendah, serta kadar keasaman
(pH) tanah cukup rendah di bawah 7,0, yakni 4-5. “Itu masih ringan. Kalau di bawah 4,
sudah parah,” kata Edy. Semuanya disebabkan oleh dosis pestisida yang digunakan
petani terlalu tinggi.
Dari sini kita dapat melihat bahwa meskipun kerusakan yang ditimbulkan belum
sampai ke titik rusak berat, kerusakan yang terjadi telah membuat para petani bawang
mengalami penurunan hasil panen dan hal ini akan membuat para petani rugi. Selain
menyebabkan petani merugi, kerusakan akibat pestisida berlebih juga menyebabkan
kualitas bawang menurun, seperti yang dikatakan oleh Kepala Kantor Lingkungan
Hidup, “Meski belum kategori rusak berat, ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, ini bisa
mempengaruhi kualitas bawang merah,” ujar Edy kepada Koran tempo.
Kasus yang terjadi di Brebes hanya segelintir petani yang paham tentang
penggunaan pestisida. Dulu, ada petani lulusan Sekolah Lapang Pengendalian Hama
Terpadu (SLPHT). Mereka tahu bagaimana penggunaan pestisida. Namun itu hanya
lima persen dari jumlah total petani. Selebihnya adalah petani konvensional. Seiring
berjalannya waktu dan meningkatnya populasi manusia menyebabkan kebutuhan pokok
semakin meningkat. Dengan jumlah lahan yang terus berkurang para petani dituntut
untuk terus menghasilkan hasil panen dalam jumlah besar untuk mencukupi kebutuhan
manusia. Hal itu menjadi alasan mengapa sampai saat ini pestisida masih menjadi
pilihan agar hasil panen tetap mencukupi kebutuhan pasar. Tentunya hal ini tidak bisa
terus dibiarkan, perlu adanya sosialisasi kepada petani khususnya mengenai penggunaan
pestisida yang baik sehingga kejadian ini tidak terulang dan tidak ada lagi tanah yang
tercemar.
Selain itu pestisida juga masih menyimpan banyak dampak negative lain,
diantaranya dampak terhadap kesehatan. Tentunya jenis polutan, jalur masuknya
polutan kedalam tubuh dan kerentanan terkena polutan menjadi faktor seberapa parah
dampak yang dihasilkan. Jika digunakan dalam jangka panjang, paparan pestisida
berisiko menimbulkan beberapa masalah kesehatan bagi manusia, seperti :
Gangguan reproduksi
Gangguan hormon yang disebabkan pestisida dapat mengakibatkan
penurunan produksi sperma. Selain itu wanita yang sering bersentuhan
dengan pestisida juga cenderung kurang subur dan berisiko melahirkan
secara prematur.
Gangguan kehamilan dan perkembangan janin
Pestisida mengandung bahan kimia yang dapat merusak sistem saraf.
Oleh karena itu, hamil disarankan untuk menghindari paparan pestisida,
terutama pada trimester pertama kehamilan. Hal ini dikarenakan di tiga
bulan pertama inilah sistem saraf janin berkembang pesat. Jika terpapar,
risiko cacat pada janin, keguguran, dan komplikasi kehamilan akan
meningkat.
Penyakit Parkinson
Penelitian menunjukkan bahwa pestisida diduga mampu meningkatkan
risiko terkena penyakit Parkinson. Semakin sering terpapar, semakin
tinggi risikonya. Hal ini karena racun di dalam pestisida dapat merusak
saraf tubuh, terlebih jika telah terpapar dalam jangka panjang.
Kanker
Telah banyak penelitian yang mengaitkan pestisida dengan munculnya
tumor dan meningkatnya risiko terkena kanker. Kanker ginjal, kulit,
otak, limfoma, payudara, prostat, hati, paru-paru, dan leukimia, adalah
beberapa jenis kanker yang mungkin bisa diakibatkan oleh paparan
pestisida dalam jangka panjang. Para pekerja pertanian adalah yang
paling rentan terhadap risiko ini.
Oleh karena itu kita sudah harus segera menghentikan penggunaan pestisida
dan memulihkan keadaan tanah yang sudah tercemar dengan cara :
1. Remediasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah
yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-
site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah
pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih
mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
2. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi
bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi
bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan
air). Menurut Dr. Anton Muhibuddin, salah satu mikroorganisme
yang berfungsi sebagai bioremediasi adalah jamur vesikular
arbuskular mikoriza (vam). Jamur vam dapat berperan langsung
maupun tidak langsung dalam remediasi tanah.
Daftar pustaka
https://bulelengkab.go.id
https://nasional.tempo.co
http://peraturan.bpk.go.id
https://www.alodokter.com/sedekat-inilah-pestisida-dengan-kita
https://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_tanah