Anda di halaman 1dari 5

Laksatif atau pencahar adalah makanan atau obat-obatan yang diminum untuk

membantu mengatasi konstipasi atau sembelit dengan membuat kotoran bergerak dengan


mudah di usus. Konstipasi merupakan suatu kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan
defekasi akibat tinja yang mengeras, otot polos usus yang lumpuh maupun gangguan refleks
defekasi yang mengakibatkan frekuensi maupun proses pengeluaran feses terganggu.,
Seseorang dapat dikatakan konstipasi jika ia mengalami frekuensi BAB kurang dari 3 kali
dalam seminggu, disertai konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat
ukuran feses besar-besar maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta
mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat BAB. Meskipun bukan merupakan penyakit,
konstipasi bukan merupakan sesuatu yang sepele karena jika tidak ditangani dengan baik
konstipasi dapat berkomplikasi menjadi hemoroid, fisura ani, prolaps rektal, ulkus sterkoral,
melanosis koli dan beberapa gangguan lainnya. Secara umum penanganan konstipasi itu
harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan
intensitas konstipasi, faktor-faktor kontribusi yang potensial, usia pasien, dan harapan hidup.
Terapi pada konstipasi dapat menggunakan terapi farmakologis maupun non-farmakologis. Terapi
non-farmakologis biasanya berupa diet dengan penekanan pada peningkatan asupan serat
makanan (dietary fiber), fluid intake yang cukup dan regular exercise. Sedangkan terapi
farmakologis berupa obat laksatif/pencahar.

Klasifikasi laksatif

a. Bulk Laxatives atau Laksatif Pembentuk Massa


Bulk laxative digunakan bila diet tinggi serat tidak berhasil menangani konstipasi. Obat
golongan merupakan obat yang berasal dari alam atau dibuat secara semisintetik. Bulk
laxative adalah polisakarida atau derivat selulosa yang menyerap air ke dalam lumen kolon
dan meningkatkan massa feses dengan menarik air dan membentuk suatu hidrogel sehingga
terjadi peregangan dinding saluran cerna dan merangsang gerak peristaltik. Hal tersebut akan
menstimulasi motilitas dan mengurangi waktu transit feses di kolon. Laksatif ini cukup aman
digunakan dalam jangka panjang. Pada penggunaan laksatif ini, asupan cairan yang adekuat
sangat diperlukan, jika tidak akan dapat menimbulkan dehidrasi. Berikut macam-macam
laksatif pembentuk massa: 

1) Metilselulosa
Obat ini diberikan secara oral, tidak diabsorbsi melalui saluran cerna sehingga
diekskresi melalui tinja. Dalam cairan usus, metilselulosa akan mengembang membentuk gel
emolien atau larutan kental, yang dapat melunakkan tinja. Mungkin residu yang tidak dicerna
merangsang peristaltik usus secara refleks. Efek pencahar diperoleh setelah 12-24 jam, dan
efek maksimal setelah beberapa hari pengobatan. Obat ini tidak menimbulkan efek sistemik,
tetapi pada beberapa pasien bisa terjadi obstruksi usus atau esofagus.
Metilselulosa digunakan untuk melembekkan feses pada pasien yang tidak boleh
mengejan, misalnya pasien dengan hemoroid. Sediaan adalam bentuk bubuk atau granula 500
mg, tablet atau kapsul 500 mg. Dosis anak 3-4 kali 500 mg / hari, sedangkan dosis dewasa 2-
4 kali 1,5 g / hari.

2) Natrium karboksimetilselulosa
Obat ini memiliki sifat-sifat yang sama dengan metilselulosa, hanya saja tidak larut
dalam cairan lambung dan bisa digunakan sebagai antasid. Sediaan dalam bentuk tablet 0,5 g
dan 1 g, atau kapsul 650 mg. Dosis dewasa adalah 3-6 g.
3) Psilium (Plantago)
Psilium sekarang telah digantikan dengan preparat yang lebih murni dan ditambahkan
musiloid, yaitu merupakan substansi hidrofilik yang membentuk gelatin bila bercampur
dengan air; dosis yang dianjurkan 1-3 kali 3-3,6 g sehari dalam 250 ml air atau sari buah.
Pada penggunaan kronik, psilium dikatakan dapat menurunkan kadar kolesterol darah karena
mengganggu absorbsi asam empedu.

4) Polikarbofil dan kalsium polikarbofil


Merupakan poliakrilik resin hidrofilik yang tidak diabsorbsi, lebih banyak mengikat air
dari pencahar pembentuk massa lainnya. Polikarbofil dapat mengikat air 60-100 kali dari
beratnya sehingga memperbanyak massa tinja. Preparat ini mengandung natrium dalam
jumlah kecil. Dalam saluran cerna kalsium polikarbofil dilepaskan ion Ca2+, sehingga tidak
boleh diberikan pada pasien dengan pembatasan asupan kalium. Dosis dewasa 1-2 kali 1000
mg / hari, maksimum 6 g / hari, disertai air minum 250 ml.

b. Laksatif Emolien
Laksatif ini sering digunakan sebagai adjuvan dari bulk atau stimulant laxatives. Laksatif ini
dapat ditolerensi tubuh dengan baik. Obat yang termasuk golongan ini memudahkan defekasi
dengan jalan melunakkan feses tanpa merangsang peristaltik usus, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Mekanisme kerja:
- Garam Dioktil/docusate merupakan surfaktan anionik, menurunkan tegangan
permukaan pada feses agar dapat terjadi campuran antara cairan dan substansi lemak,
sehingga feses lebih halus dan lebih mudah untuk didefekasikan.
- Agen ini juga meningkatkan mucosal AMP dan cAMP kemudian menstimulasi
pembukaan channel ion elektrolit H2O, Cl-, Na+, K+ sehingga terjadi peningkatan
sekresi cairan/elektrolit dan permeabilitas mukosa usus. Berikut adalah macam-
macam laksatif emolien:

a) Dioktilnatrium Sulfosuksinat
Cara kerja dioktilnatrium sulfosuksinat adalah dengan menurunkan tegangan
sehingga memepermudah peneterasi air dan lemak ke dalam masa tinja. Tinja menjadi
lunak setelah 24-48 jam.
Sediaan dalam tablet 50-300 mg, suspensi 4 mg / ml. Dosis untuk anak 10-40
mg / hari, sedangkan dosis untuk dewasa adalah 50-500 mg / hari. Penggunaan bisa
mengakibatkan efek samping berupa kolik usus, bahkan muntah dan diare.
Dioktilnatrium sulfosuksinat juga bersifat hepatotoksik.6
b) Parafin Cair (Mineral Oil)
Adalah campuran hidrokarbon yang diperoleh dari minyak bumi. Obat ini
akan membuat tinja menjadi lunak disebabkan berkurangnya reabsorbsi air dari tinja.
Parafin cair tidak dicerna di dalam usus dan hanya sedikit yang diabsorbsi. Yang
diabsorbsi ditemukan pada limfonosi mesenterik, hati, dan limpa.
Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 15-30 ml / hari. Namun, obat ini
memiliki efek samping berupa pruritus ani, menyulitkan penyembuhan pascabedah
anorektal, dan bisa menyebabkan perdarahan. Jadi untuk penggunaan kronik, obat ini
tidak aman
c) Minyak Zaitun
Minyak zaitun yang dicerna akan menurunkan sekresi dan motilitas lambung
dan juga bisa merupakan sumber energi. Dosis yang dianjurkan sebanyak 30 mg.

c. Laksatif Stimulan (Perangsang)


Laksatif golongan ini mengalami hidrolisis di usus oleh enzim enterosit atau flora di
kolon. Efek primer laksatif ini berpengaruh pada perubahan transport elektrolit pada mukosa
intestinal dan secara umum bekerja selama beberapa jam. Dalam klasifikasinya, Schiller
memasukan laksatif jenis ini ke dalam kelas secretagogues dan agen yang berefek langsung
pada epitel, syaraf, atau sel otot polos.
Laksatif perangsang bekerja merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos
sehingga meningkatkan peristaltis dan sekresi lendir usus. Banyak di antara laksatif
perangsang bekerja untuk mensistesis prostaglandin dan siklik AMP, di mana hal ini akan
meningkatkan sekresi elektrolit. Difenilmetan dan antrakinon kerjanya terbatas hanya pada
usus besar sehingga terdapat masa laten 6 jam sebelum timbul efek pencahar. Berikut
beberapa jenis laksatif perangsang:

1) Minyak Jarak (Castrol Oil-Oleum Ricini)


Berasal dari biji Ricinus communis, merupakan suatu trigliserida asam risinoleat dan
asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus halus minyak jarak dihidrolisis menjadi gliserol dan
asam risinoleat oleh enzim lipase. Asam risinoleat merupakan bahan aktif. Minyak jarak juga
bersifat emolien. Sebagai pencahar, obat ini tidak banyak lagi digunakan karena banyak obat
lain yang lebih aman.
Dosis untuk dewasa adalah 15-60 mL, sedangkan untuk anak-anak adalah 5-15 mL.
Efek samping dari minyak jarak antara lain kolik, dehidrasi dengan gangguan elektrolit,
confussion, denyut nadi tidak teratur, kram otot, rash kulit, dan kelelahan. Minyak jarak
dianjurkan diberikan pagi hari waktu perut kosong. Jika dosisnya ditambah, tidak akan
menambah efek pencahar, dan efek pencahar akan terlihat setelah 3 jam.

2) Difenilmetan
Derivat difenilmetan yang sering digunakan adalah bisakodil. Beberapa derivat
difenilmetan:
a) Fenolftalein
Diberikan per oral dan mengalami absorbsi kira-kira 15% di usus halus. Efek
fenolftalein dapat bertahan lama karena mengalami sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar
fenolftalein diekskresi melalui tinja, sebagian lagi diekskresikan di ginjal dalam bentuk
metabolitnya. Jika diberikan dalam dosis besar, akan ditemukan dalam bentuk utuh dalam
urin, dan pada suasana alkali akan menyebabkan urin dan tinja berwarna merah. Ekskresi
melalui ASI sangat kecil sehingga tidak akan mempengaruhi bayi yang sedang disusui.
Sediaan dalam bentuk tablet 125 mg, dosis 60-100 mg. Fenolftalein relatif tidak toksik
untuk pengobatan jangka pendek, tetapi dosis yang berlebihan akan meningkatkan kehilangan
elektrolit. Bisa menyebabkan reaksi alergi. Efek pencahar akan terlihat setelah 6-8 jam.
Namun penggunaan fenilptalein sudah dilarang karena bersifat karsinogen.
b) Bisakodil
Pada penelitian pada tikus, bisakodil mampu dihidrolisis menjadi difenol di usus bagian
atas. Difenol yang diabsorbsi mengalami konjugasi di hati dan dinding usus. Metabolit akan
diekskresi melalui empedu, dan selanjutnya mengalami rehidrolisis menjadi difenol yang
akan merangsang motilitas usus besar.
Sediaan berupa tablet bersalut enteral 5 mg dan 10 mg. Sediaan supositoria 10 mg.
Dosis dewasa 10-15 mg, dosis anak 5-10 mg. Efek samping berupa kolik usus dan perasaan
terbakar pada penggunaan rektal. Efek pencahar akan terlihat setelah 6-12 jam, sedangkan
pada pemberian rektal efek pencahar terlihat setelah setengah sampai satu jam. Pada
pemberian oral, bisakodil diabsorbsi kira-kira 5% dan diekskresi bersama urin dalam bentuk
glukuronid, tetapi ekskresi utama adalah di dalam tinja.
c) Oksifenisatin asetat
Bagaimana respon tubuh terhadap oksifenisatin asetat mirip dengan bisakodil. Efek
pencaharnya tidak melebihi bisakodil. Obat ini jarang digunakan karena dapat menimbulkan
hepatitis dan ikterus.
Sediaan berupa tablet 5 mg atau sirup 5 mg / 5 ml, supositoria 10 mg. Dosis dewasa
oral 4-5 mg, per rektal 10 mg. Sedangkan untuk anak per oral 1-2 mg. Efek samping bisa
berupa hepatitis, ikterus, dan reaksi alergi. Efek pencahar setelah 6-12 jam kemudian.

d. Laksatif Osmotik
Laksatif yang termasuk golongan ini adalah saline laksative / garam-garam anorganik
(yang tersusun oleh magnesium) dan alkohol organik atau gula seperti laktulosa
dan polyethylene glycol (PEG). . Laksatif jenis ini bekerja dengan cara mempertahankan air
tetap berada dalam saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada dinding usus, yang
kemudian merangsang pergerakan usus (peristaltik). Laksatif jenis ini adalah preparat yang
sangat lambat diserap bahkan tidak diserap, sehingga terjadi sekresi air ke dalam intestinum
untuk mempertahankan isotonisitas yang sama dengan plasma. Beberapa jenis Laksatif
Osmotik:

1. Garam Magnesium (MgSO4 atau Garam Inggris)


Mekanisme kerja dengan meningkatkan sekresi cairan di usus, menurunkan pelepasan
acethylcholine pada neuromuscular junction, memperlambat kecepatan impuls SA node, dan
memperpanjang waktu konduks. Diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan dieksresikan
melalui ginjal. Bila fungsi ginjal terganggu, garam magnesium berefek sistemik
menyebabkan dehidrasi, kegagalan fungsi ginjal, hipotensi, dan paralisis pernapasan. Jika
terjadi hal-hal tersebut, maka harus diberian kalsium secara intravena dan melakukan napas
buatan. Garam magnesium tidak boleh diberikan pada pasien gagal ginjal.
Sediaan yang ada misalnya adalah magnesium sulfat dalam bubuk, dosis dewasa 15-30
g, efek pencahar terlihat setelah 3-6 jam. Magnesium oksida dosis dewasa 2-4 g; efek
pencahar terliaht seteah 6 jam.
2.  Laktulosa
Merupakan suatu disakarida semisintetik yang tidak dipecah oleh enzim usus dan tidak
diabsorbsi di usus halus. Laktulosa akan terhidrolisa di kolon menjadi asam-asam organik
dengan berat molekul rendah. Asam-asam organik ini akan menaikkan tekanan osmosis dan
suasana asam sehingga feses menjadi lebih lunak. Laktulosa tersedia dalam bentuk sirup.
Obat ini diminum bersama sari buah atau air dalam jumlah cukup banyak. Dosis
pemeliharaan harian untuk mengatasi konstipasi sangatlah bervariasi, biasanya 7-10 g dosis
tunggal maupun terbagi.
Kadang-kadang dibutuhkan dosis awal yang lebih besar, misalnya 40 g dan efek
maksimum laktulosa mungkin terlihat setelah beberapa hari. Untuk keadaan hipertensi portal
kronis dan ensefalopati hepar, dosis pemeliharaan biasanya 3-4 kali 20-30 g (30-45 ml)
laktulosa sehari; dosis ini disesuaikan dengan defekasi 2-3 kali sehari dan tinja lunak, serta
pH 5,5. Laktulosa juga dapat diberikan per rektal.. Rasa kembung, tidak nyaman di perut, dan
flatus yang sering merupakan efek samping yang sering dikeluhkan oleh pasien saat
menggunaan laksatif jenis ini.

Daftar pustaka:
Daldiyono. 1990. Diare, Gastroenterologi-Hepatologi.Jakarta :Infomedika. Hal : 14-4.
Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007. Farmakologi danTerapi ed 5. Jakarta :
Penerbit UI Press.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta :Departemen Kesehatan
RI.Harkness, Richard. 1984. Interkasi Obat . Bandung : Penerbit ITB.
Tjay, Tan Hoan; Kirana Rahardja.2007.Obat-Obat Penting.Edisi keenam.Jakarta:PT.Alex
Media Komputindo

Anda mungkin juga menyukai