Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ETIKA BISNIS

CHAPTER 5
“ETHICAL DECISION MAKING”

KELOMPOK 5:
ACHMAD AQZA HUSAIN A021181366
MUHAMMAD HASBY A021181363
MUH AKRAM MAULANI A021181359
ALDI FADLIADI A021181501
MUH.MUFLIH MURTADHA A021181358

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah-SWT yang Maha-Pengasih lagi Maha-Panyayang, segala puji
bagi Allah Tuhan semesta-alam. Sehingga makalah ini dapat selesai tanpa halangan yang
berarti. Makalah ini diberi judul “Ethical Decision Making”

Makalah ini disusun dengan usaha yang maksimal dan juga berkat bantuan dari berbagai
pihak. Pihak - pihak yang berkenan meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya untuk
menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu kami sampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar - besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah
ini.

Maka dari itu kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah yang kami buat.
Mungkin dari segi bahasa, susunan kalimat atau hal lain yang tidak kami sadari. Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan makalah yang lebih
baik.

24 September 2020

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2

BAB II: PEMBAHASAN.................................................................................................... 2

A. Kerangka Pengambilan Keputusan Etis.................................................................. 2


a) Intesitas Masalah Etika................................................................................ 2
b) Faktor Individual......................................................................................... 3
c) Faktor Organisasional.................................................................................. 5
d) Oportunitas.................................................................................................. 6
e) Maksud, Sikap dan Penilaian Etika Bisnis.................................................. 7
B. Menggunakan Model Pengambilan Keputusan Etis Untuk Meningkatkan Keputusan
ang Etis.................................................................................................................... 7
C. Pertimbangan Normatif Dalam Pengambilan Keputusan Etis................................. 9
a) Lembaga Sebagai Landasan Nilai Normatif................................................ 10
b) Menerapkan Prinsip dan Nilai Inti Dalam Pengambilan Keputusan yang Etis
..................................................................................................................... 14
D. Memahami Pengambilan Keputusan yang Etis....................................................... 17

BAB III: PENUTUP............................................................................................................ 19

A. Simpulan ................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 20

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Etis Sebagai respons terhadap keputusan yang dapat dipertahankan secara etis,
kerangka ini menyertakan persyaratan tradisional untuk profitabilitas dan legalitas.
Serta persyaratanyang dapat ditampilkan filosofis secara penting dan baru-baru ini
dituntut oleh pemangku kepentingan. Hal ini dirancang untuk meningkatkan
pertimbangan etis dengan menyediakan:
1.Pengetahuan dalam identifikasi dan menganalisis isu-isu penting yang harus
dipertimbangkan dan pertanyaan atau tantangan yang harus diungkap.
2.Pendekatan untuk menggabungkan dan menerapkan keputusan-faktor yang relevan
kedalam tindakan praktis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kerangka pengambilan keputusan etis?
2. Bagaimana cara menggunakan model pengambilan keputusan etis untuk
meningkatkan keputusan yang etis?
3. Bagaiman cara kita mempertimbangan normatif dalam pengambilan keputusan
etis?
4. Bagaiamana cara memahami pengambilan keputusan yang etis
C. Tujuan Penulisan
1. Dengan cara mengetahui dasar kerangka pengambilan keputusan etis,
2. Memahami juga model pengambilan keputusan etis untuk meningkatkan
keputusan yang etis,
3. Memahami pertimbangan normatif dalam pengambilan keputusan etis
4. Dengan memahami semua, maka diharuskan memilah kembali apa saja yang inti
poin dari pengambilan keputusan yang etis

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. KERANGKA PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS


Model proses pengambilan keputusan etis melibatkan beberapa faktor yang saling
berhubungan yaitu intensitas masalah etika, faktor individual, faktor organisasional, dan
Oportunitas. Kesemua faktor ini mempengaruhi evaluasi dan maksud dibalik keputusan yang
mengasilkan sikap etis dan tidak etis. Model ini akan memberikan gambaran umum tentang
faktor dan proses apa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan etis.
a) Intensitas Masalah Etika
Intensitas masalah etika menggambarkan seberapa penting dan relevan sebuah
keputusan di mata individu, kelompok kerja atau organisasi. Intensitas masalah etik
ini didasarkan pada kerangka kesadaran etik, yaitu kemampuan untuk melihat dan
mengidentifikasi dimensi etik dalam situasi atau kondisi tertentu. Intensitas masalah
etik ini bersifat sementara dan personal serta dinamis terhadap nilai, kepercayaan,
kebutuhan, persepsi, karakteristik keadaan, dan tekanan pada waktu dan tempat
tertentu.

Intensitas Masalah
Etika

Faktor Individual
Evaluasi dan Tujuan
Sikap Etis/Non-Etis
Etika Bisnis
Faktor
Organisasional

Kesempatan

Dalam organisasi, pekerja senior dengan otoritas administratif memiliki


kontribusi yang besar dalam mempengaruhi intensitas masalah etik organisasi. Hal ini
dikarenakan otoritas mereka mempengaruhi bagaimana posisi perusahaan dalam

2
menyikapi masalah etik. Dalam mengenali masalah etika dari sebuah tindakan atau
keputusan, pertama-tama, masalah-masalah etik potensial diidentifikasi sebagai area
risiko. Karyawan dalam organisasi kemudian dilatih untuk mengenali area-area ini.
Beberapa masalah populer yang potensial terjadi dalam perusahaan seperti pelecehan
seksual, konflik keuntungan, suap menyuap, dan pencurian waktu.
Intensitas masalah etika melibatkan kondisi pengetahuan dan keprihatinan
individual tentang etis atau tidaknya sebuah masalah, sehingga merupakan cerminan
kepekaan etik seseorang/kelompok kerja menghadapi proses pengambilan keputusan
etik. Terdapat enam faktor yang mengkonfrontasi seseorang dalam keputusan etiknya
-lingkungan kerja, keluarga, agama, sistem legal, komunitas, dan profesi- dan
seberapa besar pengaruh faktor tersebut bervariasi tergantung pada seberapa penting
masalah bagi pembuat keputusan.
Kepekaan seseorang terhadap masalah etik potensial dalam perusahaan banyak
dipengaruhi oleh intensitas moralnya. Intensitas moral sendiri merupakan kesadaran
seseorang terhadap tekanan sosial dan akibat dari tindakannya terhadap orang banyak.
Selain itu, kepekaan ini juga dipengaruhi oleh faktor individual, faktor
organisasional, serta niat/tujuan. Kepekaan karyawan terhadap masalah etik dapat
dipengaruhi oleh pihak manajemen lewat penggunaan hadiah, hukuman, kebijakan,
dan nilai untuk membuat karyawan peka. Dalam kata lain, manajemen dapat
mempengaruhi derajat kepekaan karyawan terhadap pentingnya masalah etik lewat
insentif positif maupun negatif.
Ketidakpekaan karyawan terhadap masalah yang krisis etika bisa disebabkan
oleh pihak manajemen yang gagal dalam mengedukasi karyawan. Studi menemukan
bahwa lebih dari sepertiga situasi tidak etis yang dihadapi oleh manajer tingkat bawah
dan menengah berasal dari tekanan internal dan ambiguitas peraturan perusahaan.
Gagalnya pengidentifikasian potensi masalah menyebabkan ketidaksiapan karyawan
dalam menghadapinya. Mengidentifikasi masalah dan risiko etika merupakan langkah
yang signifikan dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah etik secara
komprehensif.
b) Faktor Individual
Seseorang menyelesaikan masalah sehari-hari berdasarkan nilai dan prinsip
yang didapatnya dari sosialisasi, agama dan edukasi formal. Prinsip dan nilai yang
baik terbukti mengurangi tindakan tak etis dan meningkatkan sikap kerja positif.
Faktor individual membangun kerangka sikap dan tujuan yang mempengaruhi proses

3
pengambilan keputusan seseorang. Nilai-nilai individual secara kuat mempengaruhi
asumsi seseorang terhadap tanggung jawab pekerjaannya. Faktor-faktor individual
tersebut ialah:
1. Gender
Dalam banyak situasi, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam
pengambilan keputusan etis. Namun, ketika perbedaan tersebut ada, wanita
terbukti lebih etis -lebih sensitif dan intoleran- terhadap situasi tidak etis dalam
banyak skenario. Salah satu studi menemukan bahwa pria dan wanita memiliki
dasar yang berbeda atas keputusan etis mereka dimana pria berdasar pada keadilan
dan keseteraan sementara wanita berdasar pada hubungan.
2. Pengalaman dan Edukasi
Pada umumnya, semakin banyak pengalaman dan edukasi yang dimiliki
seseorang, semakin baik mereka dalam pengambilan keputusan etis. Dalam
pengambilan keputusan, tipe edukasi seseorang kurang memiliki efek pada
pengambilan keputusannya. Contohnya, orang-orang yang menghabiskan banyak
waktu pada topik etika bisnis seperti pegawai regulasi dan peneliti etika cenderung
menghabiskan waktu lebih lama dalam riset dan mencurahkan lebih banyak
perhatian dalam proses pengambilan keputusannya dibanding para pegawai baru
lulus.
3. Kewarganegaraan
Kewarganegaraan mempengaruhi pengambilan keputusan melalui konsep
perbedaan budaya dan nilai. Pengaruh kewarganegaraan terhadap keputusan
ditemukan signifikan walau aspek ini sulit diinterpretasikan karena perbedaan
budaya menyebabkan perbedaan konsep dalam pengambilan keputusan organisasi.
4. Usia
Usia diasumsikan memiliki korelasi positif dengan kemampuan pengambilan
keputusan. Artinya, semakin tua seseorang maka semakin etis mereka. Karyawan
yang lebih tua dengan pengalaman yang lebih banyak cenderung lebih efektif
dalam menangani isu etik industri yang kompleks. Sementara, karyawan yang
lebih muda cenderung lebih terikat oleh budaya perusahaan.
5. Lokus kendali
Lokus kendali berkaitan dengan bagaimana seseorang memposisikan dirinya
terhadap kendali (eksternal/internal). Orang yang percaya dengan kendali
eksternal (orang eksternal) cenderung memilih untuk mengalir dan mengikuti arus

4
sekitarnya. Mereka menganggap hidupnya bergerak berdasarkan kekuatan yang
tak dapat dikontrol (takdir) sehingga kurang termotivasi dalam mengontrol
hidupnya sendiri. Sebaliknya, orang yang percaya terhadap kendali internal (orang
internal) percaya bahwa kendali terhadap hidup mereka berada di tangan mereka
sendiri. Mereka percaya bahwa keahlian dan usaha mereka memiliki kapasitas
dalam mengubah hidup dan lingkungan sekitarnya. \
c) Faktor Organisasional
Dalam lingkungan kerja, nilai organisasi terkadang memiliki pengaruh yang
lebih besar dibanding nilai individual seseorang. Keputusan dalam bisnis dibuat atas
asas persetujuan dari komite dan kelompok kerja berdasarkan latar belakang kolektif
organisasi, sebuah proses yang sedikit banyak ditentukan oleh kekuatan nilai personal
dan perilaku etis dan non etis setiap orang dalam organisasi. Keselarasan antara nilai
organisasi dan nilai personal menciptakan sebuah kondisi kerja yang positif. Berikut
merupakan nilai/faktor organisasional yang mempengaruhi pengambilan keputusan
etis dalam organisasi:
1. Budaya Organisasi
Budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai seperangkat nilai, norma, dan
metode penyelesaian masalah tertentu dalam organisasi. Budaya dalam organisasi
menjadikan organisasi seakan-akan hidup dengan pemikiran dan keinginannya
sendiri. Organisasi menjaga etika budayanya dengan membandingkan aktivitas
dan visi misinya sebagai parameter pemenuhan nilai organisasinya. Selain itu,
organisasi berinteraksi dengan regulasi dan panduan industri sebagai referensi etik
dari tindakan organisasi.
2. Budaya Etik
Budaya etik merefleksikan integritas dari keputusan yang telah dibuat sebagai
fungsi dari faktor lainnya seperti kebijakan organisasi, penertiban masalah etik,
pengaruh rekan kerja, dan kesempatan untuk bersikap tidak etis. Komunikasi dan
distribusi informasi penting dalam menjaga dan mengembangkan budaya etik
organisasi. Budaya etik perusahaan mempengaruhi perspektif dan nilai perusahaan
di mata karyawannya sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi loyalitas
dan komitmen karyawan.
3. Rekan Kerja
Yang termasuk pada rekan kerja ialah petinggi, manajer, rekan, dan bawahan
yang kesemuanya membantu dan bekerja sama sehari-hari serta menyediakan

5
informasi secara formal maupun informal. Interaksi yang terjadi antara rekan
kerja, atasan menilai bawahan, dan bawahan menilai atasan mempengaruhi
keputusan sehari-hari seorang karyawan diatas faktor yang lainnya.
4. Kepatuhan
Ketika karyawan menghadapi masalah etika sehari-hari, aspek kepatuhan
kepada superior akan mendorongnya untuk mengambil keputusan sesuai dengan
arahan yang diberikan. Umumnya, jalur kepatuhan mengendalikan pengambilan
keputusan etik sehari-hari dalam perusahaan.
d) Oportunitas
Oportunitas atau kesempatan mendeskripsikan kondisi dalam organisasi yang
membatasi atau mengizinkan sikap etis atau tidak etis. Kesempatan berasal dari
kondisi ambigu yang dapat memberi keuntungan di satu sisi namun berpotensi
menjadi tidak etis di sisi lain. Salah satu kondisi yang melahirkan kesempatan praktik
tidak etis terjadi ketika organisasi tidak memberi hukuman terhadap karyawan yang
menerima hadiah dari klien sebagai imbalan dari perbuatan tidak etis. Ketidakaktifan
organisasi dalam memberikan hukuman memberi kesempatan bagi karyawan untuk
melakukannya berulang-ulang tanpa takut akan konsekuensi. Kesempatan-
kesempatan untuk bertindak tidak etis dalam organisasi dapat diredam melalui
peraturan formal, kebijakan, atau undang-undang yang ditegakkan oleh manajemen.
Kesempatan juga berasal dari pengetahuan atau informasi. Salah satu
penyalahgunaan informasi ialah berbohong kepada karyawan, konsumen, vendor, dan
publik atau menyembunyikan informasi dari mereka. Seseorang bisa menjadi sumber
informasi karena ia familiar terhadap organisasi atau telah lama bekerja pada
organisasi tersebut. Orang-orang ini seharusnya menjadi penjaga budaya dan
memotivasi karyawan lain untuk mematuhi aturan dan norma perusahaan dan
memahami ketika kesempatan itu ada.
Kesempatan untuk bertindak tidak etis hanya dapat dieliminasi dengan
penegakan undang-undang dan peraturan yang agresif. Pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran etis harus disikapi secara tegas dan dibuat kapok untuk mengulangi
perbuatannya. Pentingnya penyelarasan tujuan antara semua stakeholder dalam
memahami nilai perusahaan. Keselarasan tujuan dan kesepahaman dapat
meminimalkan gesekan dan masalah-masalah yang lahir dari perkara kesempatan atau
oportunitas.

6
e) Maksud, Sikap, dan Penilaian Etika Bisnis
Masalah dan dilema etika melibatkan penyelesaian masalah yang terkadang
akbstrak dan abu-abu. Masalah dan dilema etika tidak akan terselesaikan lewat
program komputer atau formula tertentu. Tidak ada subtitusi terhadap pemikiran kritis
dan tanggung jawab dari diri individu. Budaya perusahaan telah terbukti berperan
besar dalam mengenali dan menilai masalah dan dilema etika. Nilai dan prinsip yang
kuat membantu seseorang dalam menyadari kesenjangan ketika aktivitasnya tidak
sejalan dengan penilaian etisnya.
Rasa bersalah merupakan tanda pertama bahwa dilema atau masalah etika
telah terjadi. Selanjutnya yaitu perubahan sikap untuk mengurangi rasa bersalah
tersebut. Perubahan pada sikap ini merefleksikan konflik nilai yang sedang dialami.
Selanjutnya yaitu mencari alasan dan justifikasi untuk akhirnya mengeliminasi rasa
bersalah tersebut. Alasan seperti “jika bukan saya, orang lain akan melakukannya.”,
atau “ini bukan masalah besar, banyak orang yang melakukannya.” merupakan
justifikasi internal yang biasanya terjadi.

B. MENGGUNAKAN MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS


UNTUK MENINGKATKAN KEPUTUSAN YANG ETIS
Model pengambilan keputusan etis yang disajikan tidak dapat memberi tahu anda
apakah keputusan bisnis itu etis atau tidak etis. Perlu diulangi bahwa tidak mungkin untuk
memberi tahu anda apa yang benar atau salah; sebaliknya, kami mencoba mempersiapkan
Anda untuk membuat keputusan etis yang terinformasi. Meskipun Bab ini tidak bermoral
dengan memberi tahu anda apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu, itu menyediakan
gambaran umum proses pengambilan keputusan yang khas dan faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan etis.
Model tersebut bukanlah pedoman untuk membuat keputusan, tetapi dimaksudkan untuk
memberikan anda wawasan dan pengetahuan tentang proses pengambilan keputusan etis yang
khas dalam organisasi bisnis.

Sarjana etika bisnis yang mengembangkan model deskriptif berfokus pada keteraturan
dalam pengambilan keputusan dan berbagai fenomena yang berinteraksi dalam lingkungan
yang dinamis untuk menghasilkan pola perilaku yang dapat diprediksi. Selain itu, kecil
kemungkinannya masalah etika sebuah organisasi akan diselesaikan secara ketat dengan

7
memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang bagaimana keputusan etis dibuat. Pada
dasarnya, etika bisnis melibatkan penilaian nilai dan kesepakatan bersama tentang pola
perilaku yang dapat diterima. Di bagian selanjutnya, kita akan membahas konsep normatif
yang menggambarkan perilaku etis yang sesuai.

Kami mengusulkan untuk mendapatkan pemahaman tentang faktor-faktor yang


membentuk keputusan etis berbisnis akan membuat anda peka tentang apakah masalah bisnis
itu masalah etis atau dilema. Ini akan membantu anda mengetahui apa tingkat intensitas etika
itu untuk anda dan orang lain, serta bagaimana faktor individu seperti jenis kelamin, filosofi
moral, pendidikan level, dan agama di dalam diri anda dan orang lain memengaruhi
prosesnya. Kami harap anda ingat faktor organisasi yang mempengaruhi etika keputusan
bisnis dan apa yang harus dicari dalam kode etik perusahaan, budaya, peluang, dan
pentingnya karyawan lain dan bagaimana mereka mempengaruhi niat dan perilaku beberapa
orang. Anda sekarang mengetahui faktor non-bisnis seperti teman, keluarga, dan realitas
ekonomi dari situasi karyawan yang dapat ditimbulkan oleh keputusan bisnis yang tidak etis.
Terakhir, kami harap anda mengingat jenis industrinya, yaitu persaingan, dan pemangku
kepentingan adalah faktor-faktor yang dapat mendorong beberapa karyawan untuk membuat
keputusan tidak etis. Di bab-bab selanjutnya kita mempelajari lebih dalam berbagai aspek
etika proses pengambilan keputusan sehingga pada akhirnya anda dapat membuat keputusan
yang lebih baik dan lebih terinformasi untuk membantu perusahaan anda melakukan hal yang
benar untuk alasan yang benar.

Satu kesimpulan penting yang harus dipertimbangkan adalah pembuatan keputusan etis
itu dalam suatu organisasi tidak hanya bergantung pada nilai-nilai dan moral pribadi individu.
Pengetahuan tentang filosofi atau nilai moral harus diimbangi dengan pengetahuan bisnis dan
pemahaman tentang kompleksitas dilema yang membutuhkan keputusan. Misalnya, seorang
manajer yang menganut kejujuran, keadilan, dan ekuitas harus memahami beragam risiko
yang terkait dengan instrumen keuangan yang kompleks seperti opsi atau derivatif.
Kompetensi bisnis harus ada, bersama dengan akuntabilitas pribadi, dalam keputusan etis.
Organisasi mengambil budaya mereka sendiri, dengan manajer dan rekan kerja yang bekerja
keras berpengaruh signifikan terhadap keputusan etis. Sedangkan kode formal, aturan, dan
kepatuhan penting dalam organisasi, organisasi yang dibangun di atas hubungan informal
lebih mungkin untuk melakukan pengembangan integritas tingkat tinggi dalam budaya
organisasi

8
C. Pertimbangan Normatif dalam Pengambilan Keputusan Etis
Di bagian pertama bab ini, kami menjelaskan bagaimana pengambilan keputusan etis
terjadi dalam organisasi. Pendekatan deskriptif ini memberikan pemahaman tentang peran
individu dalam konteks organisasi untuk membuat keputusan bisnis yang etis. Memahami apa
yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan etis penting untuk membuat Anda peka
terhadap intensitas masalah dan dilema serta manajemen etika dalam suatu organisasi.
Namun, memahami bagaimana keputusan etis dibuat berbeda dengan menentukan apa
yang seharusnya memandu keputusan. Pendekatan normatif terhadap etika bisnis memeriksa
apa yang seharusnya terjadi dalam pengambilan keputusan etis bisnis. Kata “normatif” setara
dengan standar ideal. Oleh karena itu, ketika kita membahas pendekatan normatif, kita
berbicara tentang bagaimana pengambil keputusan organisasi harus mendekati suatu masalah.
Ini berbeda dari pendekatan deskriptif yang meneliti bagaimana pengambil keputusan
organisasi mendekati pengambilan keputusan etis. Pendekatan normatif dalam etika bisnis
berkisar pada standar perilaku di dalam perusahaan maupun di dalam industri. Aturan dan
standar normatif ini didasarkan pada nilai moral individu serta nilai kolektif organisasi.
Pendekatan normatif untuk etika bisnis berkaitan dengan nilai-nilai etika umum yang
diterapkan dalam bisnis. Konsep seperti keadilan dan keadilan sangat penting dalam struktur
normatif. Struktur normatif yang kuat dalam organisasi berhubungan positif dengan
pengambilan keputusan etis. Pertimbangan normatif juga cenderung berhubungan dengan
filosofi moral seperti utilitarianisme dan deontologi yang akan kita bahas lebih detail pada
bab selanjutnya.
Sebagian besar organisasi mengembangkan seperangkat nilai inti untuk memberikan
keyakinan yang bertahan lama tentang perilaku yang pantas. Nilai inti sangat penting bagi
organisasi dan memberikan arahan untuk tindakan. Bagi kebanyakan perusahaan, pemilihan
nilai inti berhubungan langsung dengan manajemen hubungan pemangku kepentingan. Nilai-
nilai ini mencakup pemahaman tentang pendekatan deskriptif yang kami bahas di bagian
pertama bab ini. Ini juga mencakup elemen instrumental yang membenarkan pengadopsian
nilai-nilai inti. Perhatian instrumental berfokus pada hasil positif, termasuk profitabilitas
perusahaan dan manfaat bagi masyarakat. Dimensi bisnis normatif berakar pada institusi
sosial, politik, dan ekonomi serta pengakuan klaim pemangku kepentingan.
Dengan memasukkan tujuan pemangku kepentingan ke dalam nilai inti perusahaan,
perusahaan mulai memandang pemangku kepentingan sebagai hal yang signifikan. Setiap

9
pemangku kepentingan memiliki tujuan dan sasaran yang agak selaras dengan pemangku
kepentingan lainnya dan perusahaan. Penyimpangan tujuan menyebabkan gesekan antara dan
di dalam pemangku kepentingan dan perusahaan. Kewajiban etis ditetapkan untuk pemangku
kepentingan internal seperti karyawan serta pemangku kepentingan eksternal seperti
masyarakat. Misalnya, Camden Property Trust mengatur aktivitasnya di sekitar nilai inti
kesenangan, pemain tim, berorientasi pada hasil, fokus pada pelanggan, memimpin dengan
contoh, bekerja cerdas, bertindak dengan integritas, didorong oleh orang-orang, dan selalu
melakukan hal yang benar. Perusahaan sangat bergantung pada nilai-nilai inti ini dan
menggunakannya secara signifikan dalam proses perekrutan untuk memastikan orang-orang
yang mereka rekrut cocok untuk perusahaan. Keputusan etis sering kali tertanam dalam
banyak keputusan organisasi — baik manajerial maupun sosial — jadi itu perlu untuk
menyadari pentingnya nilai-nilai inti dalam memberikan cita-cita untuk perilaku yang sesuai.
a) Lembaga Sebagai Landasan Nilai Normatif
Lembaga penting dalam membangun landasan nilai normatif. Menurut teori
kelembagaan, organisasi beroperasi sesuai dengan norma dan aturan kelembagaan yang
diterima begitu saja. Misalnya, pemerintah, agama, dan pendidikan adalah lembaga yang
mempengaruhi penciptaan nilai, norma, dan konvensi yang harus dipatuhi baik oleh
organisasi maupun individu. Memang, banyak peneliti berpendapat bahwa nilai normatif
sebagian besar berasal dari keluarga, teman, dan lebih banyak afiliasi kelembagaan seperti
agama dan pemerintah. Dengan kata lain, organisasi menghadapi tekanan normatif tertentu
dari lembaga yang berbeda untuk bertindak dengan cara tertentu. Tekanan tersebut dapat
terjadi secara internal (di dalam organisasi itu sendiri) dan / atau secara eksternal (dari
pemerintah atau lembaga lain). Untuk tujuan kami, kami mengurutkan institusi ke dalam
tiga kategori: politik, ekonomi, dan sosial.
Pertimbangkan sejenak bagaimana institusi politik mempengaruhi perkembangan
nilai. Jika Anda tinggal di negara dengan bentuk pemerintahan demokratis, Anda mungkin
menganggap kebebasan berbicara dan hak untuk memiliki properti sebagai cita-cita yang
penting. Organisasi harus mematuhi jenis norma kelembagaan dan sistem kepercayaan ini
agar berhasil — jika tidak, akan mengakibatkan kegagalan organisasi. Perusahaan seperti
IBM harus menyadari bahwa menggunakan suap untuk mendapatkan keunggulan
kompetitif tidak pantas menurut undang-undang suap A.S. dan Inggris Raya. Pengaruh
politik juga dapat terjadi di dalam organisasi. Organisasi etis memiliki kebijakan dan
aturan untuk menentukan perilaku yang sesuai. Ini sering merupakan komponen kepatuhan
dari budaya organisasi perusahaan. Kegagalan untuk mematuhi aturan ini mengakibatkan

10
tindakan disipliner. Misalnya, kode etik perusahaan rekayasa dan konstruksi Fluor
Corporation menyatakan bahwa setiap karyawan berkewajiban untuk melaporkan perilaku
tidak aman di tempat kerja. Mereka yang gagal melapor dapat dikenakan prosedur
disipliner.
Etika bisnis normatif memperhatikan realitas politik di luar ranah hukum dalam
bentuk standar industri. Jenis industri yang berbeda memiliki standar dan kebijakan yang
berbeda yang meningkatkan atau menurunkan etika dan legalitas keputusan mereka.
Masalah hukum seperti penetapan harga, masalah antimonopoli, dan perlindungan
konsumen penting dalam menjaga pasar yang adil dan setara. Regulator antitrust
cenderung meneliti merger dan akuisisi antara perusahaan besar untuk memastikan
perusahaan-perusahaan ini tidak mendapatkan begitu banyak kekuasaan sehingga mereka
menempatkan pesaing pada kerugian besar. Penetapan harga itu ilegal karena seringkali
menimbulkan harga yang tidak adil bagi pembeli. Bridgestone Corporation mengaku
bersalah atas tuduhan penetapan harga pada suku cadang yang dijual ke pembuat mobil.
Perusahaan menyetujui denda pidana $ 425 juta. Karena dampaknya terhadap ekonomi,
masalah ini harus menjadi pertimbangan utama bagi bisnis saat membuat keputusan etis.
Persaingan juga penting bagi lembaga ekonomi dan pengambilan keputusan etis.
Sifat persaingan dapat dibentuk oleh sistem ekonomi karena membantu menentukan
bagaimana negara atau masyarakat tertentu mendistribusikan sumber dayanya dalam
produksi produk. Sistem ekonomi dasar seperti komunisme, sosialisme, dan kapitalisme
mempengaruhi sifat persaingan. Persaingan memengaruhi cara perusahaan beroperasi serta
risiko yang diambil karyawan untuk kebaikan perusahaan. Besarnya persaingan dalam
suatu industri dapat ditentukan dan dijelaskan sebagai berikut: (1) hambatan masuk ke
dalam industri, (2) tersedia pengganti produk yang dihasilkan oleh industri pesaing, (3)
kekuatan pesaing industri atas pelanggan mereka, dan (4) kekuatan pemasok pesaing
industri atas pesaing industri. Contoh industri yang sangat kompetitif adalah manufaktur
smartphone, sedangkan industri manufaktur vacuum cleaning memiliki daya saing yang
rendah. Tingkat persaingan yang tinggi menciptakan kemungkinan yang lebih tinggi
bahwa perusahaan mengambil jalan pintas karena margin biasanya rendah. Pesaing secara
agresif mencari keunggulan yang berbeda dari yang lain untuk meningkatkan pangsa
pasar, profitabilitas, dan pertumbuhan. Jika dilakukan secara ekstrem, aktivitas tidak etis
dan ilegal dapat menjadi normal. Investigasi terhadap anak perusahaan perbankan Swiss
HSBC, misalnya, menunjukkan bahwa bank tersebut telah membantu klien mereka

11
menghindari pajak. Meskipun pelanggaran mungkin dimulai dari yang kecil, pada saat
ditemukan, hal itu telah menjadi bagian sistematis dari aktivitas bank Swiss.
Institusi sosial juga mempengaruhi nilai normatif perusahaan. Mereka termasuk
agama, pendidikan, dan individu seperti unit keluarga. Ada undang-undang yang
dimaksudkan untuk memastikan organisasi bertindak adil, tetapi tidak ada undang-undang
yang mengatakan bahwa orang harus melakukan kepada orang lain seperti yang mereka
ingin lakukan terhadap mereka. Namun banyak budaya mengadopsi aturan ini yang telah
dilembagakan ke dalam bisnis dengan standar tentang bersaing secara adil, transparan
dengan konsumen, dan memperlakukan karyawan dengan hormat. Lembaga sosial ini
membantu individu membentuk nilai-nilai pribadi mereka dan filosofi moral yang mereka
bawa ke tempat kerja. Dari konteks organisasi, tren sosial mempengaruhi nilai mana yang
akan diadopsi serta kapan harus menyesuaikan keputusan untuk mempertimbangkan
masalah baru. Misalnya, karena masalah sosial budaya yang berubah terhadap obesitas,
Walmart memutuskan untuk mendukung inisiatif menjual makanan yang lebih sehat.
Meskipun kita mungkin tidak menganggap pemangku kepentingan sebagai
lembaga, sekarang harus jelas bahwa banyak pemangku kepentingan sebenarnya bertindak
sebagai lembaga dalam kaitannya dengan nilai. Pemangku kepentingan sangat dekat
dengan institusi. Sistem regulasi selaras dengan institusi politik, persaingan terkait dengan
institusi ekonomi, dan nilai-nilai dan norma pribadi berasal dari institusi sosial. Oleh
karena itu, ada hubungan yang jelas antara teori kelembagaan dan orientasi manajemen
pemangku kepentingan.
Seperti yang kami tegaskan, organisasi menggunakan aturan yang ditentukan oleh
lingkungan kelembagaannya untuk mengukur kesesuaian perilakunya. Organisasi yang
menghadapi norma atau aturan lingkungan yang sama (misalnya, yang berada di industri
yang sama) menjadi isomorfik, atau dilembagakan. Meskipun organisasi dalam industri
tertentu mungkin berbeda, sebagian besar berbagi nilai-nilai tertentu yang menjadi ciri
industri tersebut. Selain itu, faktor kelembagaan sering kali tumpang tindih dalam
pengambilan keputusan etis. Misalnya, Toyota berinvestasi besar-besaran dalam teknologi
sel bahan bakar dengan merilis sel bahan bakar hidrogen Mirai. Kami dapat
menggolongkan keputusan ini memiliki pertimbangan politik, ekonomi, dan sosial. Secara
politis, undang-undang baru mengharuskan perusahaan mobil untuk meningkatkan
efisiensi bahan bakar kendaraan mereka. Sebagai produsen mobil pertama yang
memproduksi secara massal lini mobil yang sepenuhnya didukung oleh teknologi sel
bahan bakar hidrogen, Toyota membedakan produknya dari para pesaingnya, banyak di

12
antaranya berfokus pada teknologi mobil hibrida atau listrik. Investasi Toyota dalam
efisiensi bahan bakar yang lebih besar dihasilkan dari meningkatnya permintaan
masyarakat akan kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
Sementara nilai-nilai bersama dalam industri mempromosikan efektivitas
organisasi ketika dikaitkan dengan tujuan, itu juga dapat menghambat efektivitas jika cara
organisasi dan struktur yang lebih efisien dihindari dengan imbalan stabilitas. Ada risiko
organisasi mungkin mengorbankan ide atau metodologi baru agar lebih dapat diterima. Ini
dapat membatasi inovasi dan produktivitas. Di sisi lain, penting agar organisasi tidak
menyimpang terlalu jauh dari norma dan nilai industri sehingga menimbulkan
kekhawatiran pemangku kepentingan. Perusahaan yang dikenal menjual pakaian ramah
lingkungan kemungkinan besar tidak akan berhasil menjual lini pakaian baru yang terbuat
dari bulu hewan. Dari sudut pandang sosial dan manajerial, mengetahui norma
kelembagaan mana yang harus dipatuhi dan kapan akan lebih bermanfaat untuk
mengeksplorasi norma dan nilai baru adalah penting untuk dipertimbangkan oleh
organisasi.
Bagaimana ini cocok dengan teori etika? Lembaga secara langsung berdampak
pada norma, nilai, dan perilaku perusahaan serta "kelangsungan hidup jangka panjang
organisasi". Ketika pendiri Galleon Group Raj Rajaratnam dan karyawan lainnya
dinyatakan bersalah melakukan perdagangan orang dalam, perusahaan itu gagal. Dalam
hal ini, pemerintah merupakan institusi utama yang terlibat. Dengan melanggar hukum,
organisasi tidak memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari jenis pelanggaran ini.
Perusahaan tidak memiliki nilai normatif untuk menentukan perilaku yang sesuai (dan
dalam hal ini legal).
Sebaliknya, ketika nilai-nilai dari institusi politik, ekonomi, dan sosial ditanamkan
ke dalam budaya organisasi untuk memberikan insentif bagi perilaku yang sesuai,
perusahaan cenderung bertindak lebih bertanggung jawab secara sosial. Jika insentif
seperti penghargaan organisasi selaras dengan nilai normatif organisasi dan lembaga
budaya masyarakat, karyawan — dan oleh karena itu organisasi secara keseluruhan —
lebih cenderung bertindak dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial. Pemangku
kepentingan dapat menerjemahkan tuntutan normatif untuk perilaku etis menjadi insentif
ekonomi melalui hubungan timbal balik. Perilaku timbal balik ini dapat menjelaskan
mengapa ada sanksi untuk memberikan mekanisme perilaku normatif etis. Banyak
organisasi memberi karyawan waktu istirahat tertentu untuk menjadi sukarelawan di
komunitas mereka. Insentif ini sesuai dengan nilai kelembagaan normatif dalam memberi

13
kembali kepada masyarakat. Jika insentif tidak selaras dengan nilai normatif kelembagaan
atau jika bertentangan dengan nilai-nilai ini, maka kemungkinan terjadi pelanggaran.
Meskipun Enron dan Countrywide Financial secara lahiriah mendukung perilaku etis, pada
kenyataannya budaya perusahaan menghargai mereka yang mengambil risiko meskipun
mereka melanggar nilai normatif.
b) Menerapkan Prinsip dan Nilai Inti dalam Pengambilan Keputusan yang Etis

Institusi politik, ekonomi, dan sosial membantu organisasi menentukan prinsip dan
nilai untuk perilaku yang sesuai. Prinsip dan nilai merupakan pertimbangan normatif
penting dalam pengambilan keputusan etis. Kami belajar dari Bab 1 bahwa prinsip adalah
batasan spesifik dan meluas untuk perilaku yang tidak boleh dilanggar. Prinsip penting

dalam mencegah organisasi "melanggar aturan". Nilai adalah keyakinan dan cita-cita abadi
yang ditegakkan secara sosial. Bersama-sama, prinsip dan nilai menjadi standar yang ideal
untuk organisasi. Gambar 5–2 menunjukkan beberapa persamaan dan perbedaan antara
prinsip dan nilai.

John Rawls adalah salah satu filsuf paling berpengaruh dalam penelitiannya
tentang bagaimana prinsip mendukung konsep keadilan. Rawls percaya bahwa prinsip
keadilan adalah keyakinan yang dapat diterima semua orang — elemen kunci dalam
definisi prinsip kita sendiri. Menurut definisi kami, prinsip adalah kepercayaan yang
bersifat universal. Misalnya, sebagian besar budaya setuju bahwa kejujuran dan keadilan
sangat penting bagi masyarakat yang berfungsi dengan baik, meskipun mungkin ada
perbedaan tentang cara menerapkan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari.

14
Dalam eksperimennya, Rawls menggunakan apa yang dia sebut tabir
ketidaktahuan, eksperimen pemikiran yang meneliti bagaimana individu akan
merumuskan prinsip jika mereka tidak tahu apa posisi masa depan mereka dalam
masyarakat. Seseorang mungkin muncul dari tabir ketidaktahuan sebagai orang kaya atau
sebagai pengemis. Sementara individu mungkin merumuskan nilai-nilai yang berbeda
berdasarkan posisi mereka dalam masyarakat, Rawls percaya bahwa karena prinsip
diterima secara universal, baik orang kaya maupun pengemis akan menyetujuinya. Jadi,
dengan menggunakan selubung ketidaktahuan, Rawls mengidentifikasi prinsip-prinsip
yang tidak bias oleh posisi sosial seseorang.

Karya Rawls membuatnya mengembangkan dua prinsip utama keadilan: prinsip


kebebasan dan prinsip perbedaan. Prinsip kebebasan yang juga dikenal sebagai prinsip
kesetaraan menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak-hak dasar yang selaras dengan
kebebasan dasar orang lain. Ini mirip dengan pernyataan Konstitusi AS bahwa setiap
orang memiliki hak tertentu yang tidak dapat dicabut seperti kehidupan, kebebasan, dan
upaya mengejar kebahagiaan. Prinsip perbedaan menyatakan bahwa kesetaraan ekonomi
dan sosial (atau ketidaksetaraan) harus diatur untuk memberikan manfaat paling banyak
bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Ini berarti tindakan yang paling etis
adalah tindakan yang meningkatkan keuntungan bagi mereka yang paling tidak mampu.
Tindakan yang merugikan anggota masyarakat yang kurang beruntung harus dihindari.
Penting untuk dicatat bahwa prinsip perbedaan tidak menganjurkan penghapusan
sepenuhnya ketidaksetaraan dalam masyarakat, tetapi keputusan yang paling etis berusaha
untuk menguntungkan dan tidak merugikan populasi yang kurang beruntung. Dalam dunia
korporat, organisasi yang beroperasi menurut prinsip perbedaan tidak akan mengambil
tindakan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial bagi anggota masyarakat
yang paling tidak beruntung. Misalnya, perusahaan mungkin menghindari menerima bisnis
dari negara asing dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia karena negara tersebut
mendukung eksploitasi kelompok yang dirugikan. Kedua prinsip keadilan Rawls terkait
dengan institusi politik, ekonomi, dan sosial.

Meskipun organisasi mungkin setuju bahwa mereka harus berperilaku jujur,


transparan, dan bertanggung jawab terhadap pemangku kepentingan, mereka mungkin
berbeda dalam cara menerapkan prinsip-prinsip ini. Perusahaan mengambil prinsip dasar
dan menerjemahkannya menjadi nilai inti. Nilai inti memberikan cita-cita abstrak yang

15
berbeda dari nilai-nilai individu dan prosedur operasional sehari-hari. Praktik nilai
berkembang dan diterjemahkan ke dalam definisi normatif tentang etika atau tidak etis.
Praktik nilai menjadi hasil akhir dan berbeda dari praktik organisasi yang didorong oleh
pertimbangan teknis atau efisiensi.

Nilai individu dan organisasi dapat berbeda secara signifikan karena keragaman
etika antar individu. Untuk bergabung dengan sebuah organisasi, anggota perlu menerima
bahwa beberapa nilai lebih unggul dan menangani kebutuhan organisasi untuk
mengembangkan kesepakatan bersama. Ini menghasilkan kemungkinan ketegangan yang
harus diselesaikan antara nilai-nilai individu dan organisasi. Alih-alih individu hanya
menerima nilai-nilai inti dari manajemen puncak, perlu ada diskusi kelompok, negosiasi,

dan penyesuaian untuk menentukan bagaimana nilai-nilai inti diterapkan.

Ingatlah bahwa pemimpin, pemangku kepentingan, dan budaya organisasi


berdampak pada pengembangan nilai inti. Nilai-nilai inti mungkin termasuk beroperasi
secara berkelanjutan, kolaborasi dan kerja sama tim, serta menghindari penyuapan. Tidak
seperti prinsip, nilai dibentuk oleh faktor spesifik perusahaan, spesifik industri, spesifik
negara, dan spesifik global. Perusahaan dari negara yang menekankan individualisme
mendorong kemampuan untuk bekerja secara independen, sedangkan perusahaan dari
negara yang lebih kolektivis lebih menghargai kerja tim. . Selain itu, nilai inti berbeda
tergantung pada industrinya. Misalnya, meskipun keselamatan adalah nilai inti dari banyak
perusahaan, ini lebih mungkin untuk ditekankan sebagai nilai inti di lingkungan pabrik
daripada di lingkungan kantor.

Nilai inti perusahaan memberikan cetak biru ke dalam tujuan perusahaan serta
bagaimana perusahaan memandang pengambilan keputusan etis dan memprioritaskan
pemangku kepentingan. Tabel 5–2 memberikan contoh nilai-nilai inti Marriot

16
International. Bagaimana Marriot mengatur nilai intinya memberikan gambaran tentang
apa yang dianggap penting oleh perusahaan. Misalnya, nilai pertamanya, mengutamakan
orang, memberikan panduan untuk semua hubungan pemangku kepentingan perusahaan.
Dari nilai-nilai inti lainnya, Anda dapat menentukan bahwa Marriot berupaya memberikan
layanan pelanggan yang sangat baik dan beroperasi dengan bentuk integritas tertinggi.
Kelima nilai Marriott memperkuat visinya “menjadi perusahaan perhotelan # 1 di dunia.”
Nilai inti organisasi seperti ini penting untuk pengambilan keputusan etis dalam
organisasi. Organisasi yang memiliki program etika berdasarkan orientasi nilai ternyata
memberikan kontribusi yang lebih besar daripada yang hanya berdasarkan kepatuhan, atau
mematuhi undang-undang dan peraturan.

D. MEMAHAMI PENGAMBILAN KEPUTUSAN YANG ETIS


Kerangka pengambilan keputusan etis organisasi kami menunjukkan banyak
faktor yang memengaruhi keputusan etis. Intensitas masalah etika, faktor individu, faktor
organisasi, dan peluang menghasilkan evaluasi dan keputusan etika bisnis. Budaya etika
organisasi dibentuk oleh kepemimpinan yang efektif. Tanpa dukungan tingkat atas untuk
perilaku etis, peluang bagi karyawan untuk terlibat dalam pendekatan pribadi mereka
sendiri terhadap pengambilan keputusan etis akan berkembang. Budaya perusahaan yang
etis membutuhkan nilai-nilai bersama bersama dengan pengawasan yang tepat untuk
memantau keputusan etis yang kompleks yang dibuat oleh karyawan. Ini membutuhkan
pembentukan program etika yang kuat untuk mendidik dan mengembangkan kebijakan
kepatuhan. Pertimbangkan program etika di perusahaan konstruksi dan teknik Bechtel
Corporation. Manajer puncak di Bechtel menunjukkan dukungan kuat untuk perilaku etis,
dengan kepala pejabat etika dan wakil ketua berbicara di acara-acara seperti pertemuan
Asosiasi Pejabat Etika dan Kepatuhan untuk berbagi praktik industri terbaik. Setiap tahun
perusahaan mengadakan lokakarya kesadaran etika untuk karyawannya dan mendukung
organisasi seperti Transparency International dan Business Ethics Leadership Alliance.
Di sisi lain, beberapa perusahaan dengan reputasi kuat untuk perilaku etis
terkadang gagal mempertahankan budaya etisnya. Target telah sering menerima
penghargaan dalam daftar perusahaan Paling Etis di Dunia Ethisphere, tetapi kegagalan
Target untuk bertindak setelah peringatan bahwa sistemnya diretas mengakibatkan
skandal besar yang merusak reputasinya secara serius. Peretas mencuri lebih dari 40 juta
kartu kredit dan debit dari pelanggan Target serta informasi pribadi dari 70 juta pelanggan

17
tambahan. Ini terjadi meskipun ada peringatan dari perusahaan keamanannya bahwa
dugaan aktivitas peretasan terdeteksi. Bencana tersebut merugikan CEO Target dari
pekerjaannya, dan baik bank maupun pelanggan mengajukan tuntutan hukum terhadap
perusahaan. Untuk terus menjaga kredibilitas di antara para pemangku kepentingan,
Target harus belajar dari kesalahannya dan kembali ke nilai-nilai dalam kode etiknya
yang menjadikannya teladan bagi perilaku etis.
Dimensi normatif juga penting untuk pengambilan keputusan etis. Perspektif
normatif menetapkan tujuan ideal yang harus dicita-citakan oleh organisasi. Pertimbangan
normatif juga memberikan dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan prinsip dan
nilai organisasi, blok bangunan budaya etis perusahaan. Tanpa landasan ini, perusahaan
tidak akan mampu mengembangkan budaya etis atau memiliki dasar untuk mengambil
keputusan etis. Kasus Ford Pinto adalah contoh menarik tentang bagaimana pertimbangan
normatif dapat dengan mudah diabaikan. Ford menyadari bahwa Pinto-nya memiliki
cacat desain yang memudahkan ledakan terjadi dalam kecelakaan. Namun, ia menolak
untuk melakukan penarikan kembali. Ini menyebabkan kematian yang tidak perlu.
Menarik untuk dicatat bahwa dalam satu kelas yang membahas kasus Ford Pinto, siswa
cenderung menunjukkan dampak moneter dan reputasi dari tindakan Ford, tetapi
kemudian seorang siswa menyatakan bahwa Ford seharusnya tidak dengan sengaja
menjual mobil berbahaya yang dapat membahayakan orang. Kerangka normatif sangat
dipengaruhi oleh institusi politik, ekonomi, dan sosial. Namun perspektif normatif juga
mengakui adanya perilaku etis universal, seperti kejujuran dan keadilan. Total, sebuah
perusahaan minyak dan gas Prancis, mencantumkan hak asasi manusia, integritas, dan
keselamatan di antara prinsip-prinsip utamanya.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kerangka pengambilan keputusan etis organisasi kami menunjukkan banyak faktor


yang memengaruhi keputusan etis. Intensitas masalah etika, faktor individu, faktor
organisasi, dan peluang menghasilkan evaluasi dan keputusan etika bisnis. Budaya etika
organisasi dibentuk oleh kepemimpinan yang efektif. Tanpa dukungan tingkat atas untuk
perilaku etis, peluang bagi karyawan untuk terlibat dalam pendekatan pribadi mereka
sendiri terhadap pengambilan keputusan etis akan berkembang. Budaya perusahaan yang
etis membutuhkan nilai - nilai bersama bersama dengan pengawasan yang tepat untuk
memantau keputusan etis yang kompleks yang dibuat oleh karyawan. Ini membutuhkan
pembentukan program etika yang kuat untuk mendidik dan mengembangkan kebijakan
kepatuhan

19
DAFTAR PUSTAKA

Ferrell, O.C., John Fraedrich and Linda Ferrell (2016). Business Ethics: Ethical Decision
Making & Cases (Eleventh Edition). Cengage Learning

20

Anda mungkin juga menyukai