Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Etnobotani yang diampu oleh
Dosen Dr. Jusna Ahmad, M.Si
Oleh
Sri Wirdayanti Andup
(431418076)
Kelas B Pendidikan Biologi
3. Antropologi
Antropologi Etnobotani sangat khas dibandingkan ilmu-ilmu dengan
fokus utama tumbuhan karena etnobotani terkait erat dengan disiplin ilmu
non-botani, yaitu aspek-aspek penyelidikan masyarakat. Penyelidikan ini,
yaitu aspek-aspek kehidupan masyarakat, adalah tema dasar dari studi
antopologi. Antropologi sebagai ilmu sebenarnya telah muncul dan
berkembang sejak lama. Kata antropologi berasal dari kata Yunani “Antropo”
yang berarti manusia dan “logos” berarti ilmu pengetahuan. Antropologi
adalah disiplin ilmu yang mempelajarai manusia dan semua apa yang
dikerjakannya. Koentjaraningrat berpendapat bahwa antropologi adalah ilmu
yang mempelajari manusia dan merupakan paduan dari beberapa ilmu yang
masing-masing mempelajari masalah khusus mengenai manusia. Lebih lanjut
William A. Haviland menjelaskan bahwa antropologi adalah suatu studi
mengenai manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat
tentang manusia dan perilakunya. Selain itu, antropologi adalah ilmu yang
berfungsi untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia. Antropologi tersusun dari tiga pilar penting,
meliputi ilmu alam (natural sciences), kemanusian (humanities) dan ilmu
sosial (social scinces) (Haviland, 2013).
Saat ini, pandangan holistik tentang kajian antropologi menyebutkan
bahwa setidaknya ada empat pendekatan utama yang penting untuk
diketengahkan, yaitu antropologi ragawi (physical anthropology),
kepurbakalaan (archaeology), kebahasaan (linguistics), dan antropologi
kultural-sosial (cultural or social anthropology). Antropologi Ragawi
terutama berkembang pesat setelah tulisan Darwin yang berjudul “The origin
of species” mendiskusikan asal usul kehidupan di muka bumi. Hasrat manusia
untuk mengetahui asal-usulnya mendorong antropologi ragawi berkembang
pesat terutama untuk membantu penyeledikan atas temuan anekaragam fosil
dan merekontruksi sejarah kehidupan umat manusia di bumi. Ilmu
kepurbakalaan (archaeology) berkembang salah satunya terkait dengan upaya
manusia mengetahui asal-usulnya. Antropologi kultural-sosial lebih
memfokuskan diri kepada hubungan manusia dengan pola hidup yang
berkembang, meliputi perilaku, perpektif dan cara pandang, nilai-nilai dan
tradisi dalam komunitas masyarakat.
Dalam kajian etnobotani, pemahaman tentang dasar-dasar antropologi
sangat penting bagi peneliti untuk memahami interaksi masyarakat tertentu
terhadap tumbuhan disekitarnya. Pengalaman empirik yang telah diperoleh
secara turun-temurun dan dalam waktu yang lama dari sebuah kelompok
masyarakat tradisional akan melahirkan teknik-teknik pemanfaatan dan
pengetahuan yang mendalam tentang flora dan fauna di daerahnya masing-
masing. Selain interaksi yang panjang dan kesadaran bahwa kelangsungan
hidup mereka tergantung pada flora dan fauna tersebut, faktor kesadaran
komunal dan spiritual masyarakat memunculkan perilaku bahwa pemanfaatan
sumberdaya harus dilakukan secara lestari.
Aspek antropologi akan membantu menjelaskan mengapa masyarakat
lokal tidak menebang pohon atau membunuh binatang untuk mencari
kesenangan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang modern berburu untuk
kesenangan dan gaya hidup hedonik. Antropologi sosial dan kultural akan
menjelaskan bagaimana cara-cara masyarakat berburu, menebang pohon dan
berladang diatur dengan ketat untuk menjamin tidak terjadinya kerusakan
lingkungan. Perilaku masyarakat yang menetapkan lokasi-lokasi tertentu
seperti sungai, danau, sumber air, atau hutan adalah tempat yang keramat,
angker, atau disucikan, sebenarnya dapat dilihat sebagai strategi yang
berdayaguna dan berhasilguna untuk melindungi sumber daya alam dan
genetis. Hal ini karena pada tempat-tempat yang dikatakan masyarakat
setempat sebagai angker, keramat, atau suci itulah ikan, satwa lain, serta
tumbuhan menjadi aman dari ancaman penangkapan, perburuan, atau
penebangan secara semena-mena. Dengan strategi pengkeramatan bagian-
bagian tertentu dari alam lingkungan, maka fungsi hidrologis hutan, sungai,
danau dan yang lainnnya akan tetap terjaga kelestariannya (Tetlock, 2003;
Wild et al., 2008).
Referensi
Haviland, W., Prins, H., McBride, B., & Walrath, D. (2013). Cultural anthropology:
the human challenge. Cengage Learning.
Tetlock, P. E. (2003). Thinking the unthinkable: Sacred values and taboo cognitions.
Trends in cognitive sciences, 7(7), 320- 324.