Anda di halaman 1dari 53

Laporan Critical Book Review

Mata Kuliah Hukum


Internasional

Skor nilai :

“Mengenal Hukum Internasional”

Disusun Oleh :

NAMA : JUNI ATIA INTAN SARI SINAGA

NIM : 3183311021

KELAS : REG-B 2018

DOSEN : Dr. Reh Bungana Br PA, S.H., M. Hum

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat dan

rahmatnya penulis dapat menyelesaikan tugas Critical Book Review yang berjudul

“Mengenal Hukum Internasional”.Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih

kepada selaku dosen Pengampu ibu Dr. Reh Bungana Br PA, S.H., M. Hum dalam

mata kuliah Hukum Internasional yang telah mempercayakan penulis untuk

mengumpulkan beberapa sumber yang dapat dijadikan informasi dalam

menyelesaikan tugas mata kuliah tersebut.

Tujuan dari pembuatan Critical Book Review ini adalah menganalisis dan

memberi tanggapan dan saran terhadap buku yang akan dikritik dan dibandingkan.

Pembuatan ini juga bertujuan untuk melatih penulis lebih teliti dalam memahami teori

penelitian, mengungkapkan metode dan subjek penelitian serta kelebihan dan

kelemahan penelitian. Dalam penyusunan critical book review ini, penulis merasa

masih terdapat banyak kekurangan maupun kesalahan dalam kalimat-kalimat serta

kesalahan materi yang disampaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan critical review book

ini.Akhir kata semoga critical book review ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

pembaca yang menikmati makalah ini.

Medan, Mei 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI...........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................

A. Rasionalisasi pentingnya CBR..........................................................................

B. Tujuan penulisan laporan CBR......................................................................

C. Manfaat penulisan CBR..................................................................................

D. Identitas buku utama........................................................................................

E. Identitas buku pembanding.............................................................................

BAB II RINGKASAN BUKU................................................................................

BAB III PEMBAHASAN ISI BUKU.......................................................................

A. Pembahasan buku.........................................................................................

B. Kelebihan buku.............................................................................................

C. Kelemahan buku..............................................................................................

BAB IV PENUTUP.................................................................................................

A. Kesimpulan..................................................................................................

B. Saran/rekomendasi........................................................................................

DAFTARPUSTAKA................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisme Pentingnya CBR

Critical Book Report sangat lah penting dan berguna untuk

mempermudah pembaca dalam pemilihan buku yang tepat. Critical Book

Report ini juga akan memudahkan pembaca dalam mencari suatu informasi

didalam sebuah buku yang dibahas. Dan dengan adanya CBR ini, mahasiswa

mampu membandingkan dan menemukan informasi yang penting didalam

sebuah buku yang di teliti.

B. Tujuan Penulisan CBR

 Untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Hukum Internasional

 Untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis

 Untuk meningkatkan pemahaman tentang Hukum Internasional

C. Manfaat CBR

Adapun manfaat daripada penulisan CBR Hukum Internasional ini

adalah menambah wawasan mahasiswa atau pun seorang pelajar dalam

proses pemahaman materi, mempermudah pembaca dalam pemahaman isi

buku karena telah disertai dengan kelebihan dan kekurangan isi buku,

melatih kita dalam merumuskan sebuah kesimpulan-kesimpulan atas

buku-buku yang telah dibaca atau dianalisis dengan cara melakukan

pembandingan dengan buku lain.


D. BUKU UTAMA

Judul Buku : Mengenal Hukum Internasional

Penulis : Heliarta

Tahun Terbit : 2019

Penerbit : Loka Aksara

Kota Terbit : Tanggerang

EISBN : 978-623-7366-06-05

E. BUKU PEMBANDING

Judul buku : Negara dalam dimensi hukum internasional

Penulis : Dr. FX. Adji Samekto, S.H., M.H

Penerbit : PT Citra Aditya Bakti

Kota Terbit : Bandung

Tahun terbit : 2009

EISBN : 978-979-491-146-4
BAB II

RINGKASAN BUKU

BUKU UTAMA

BAB 1 HUKUM INTERNASIONAL

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas.

Pada awalanya hukum internasional diartikan sebagai perilaku dan hubungan

antarnegara. Namun dalam perkembangannya, hukum internasional juga mengurusi

struktur dan perilaku organisasi internasional. Hukum Internasional memiliki

beberapa istilah yaitu International law, The Law of Nation, Droit International. Dan

Hukum Antarbangsa. Hukum Internasional dalam penerapannya dibagi menjadi dua,

yaitu hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Dalam

penggunaan istilah hukum internasional, ada beberapa alasan di antaranya berikut :

 Istilah hukum internasional lebih mendekati kenyataan, karena pada masa

sekarang hubungan internasional tidak hanya hubungan antarbangsa atau

negara saja melainkan mencakup subjek lain yang bukan negara.

 Kata internasional sudah lazim digunakan untuk menunjukkan peristiwa-

peristiwa yang melintas batas wilayah negara.

Hukum Internasional dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Pada saat itu orang-

orang Romawi Kuno mengenal dua hukum. Lus Ceville adalah hukum nasional yang
berlaku untuk masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada. Lus Gentium adalah

hukum yang diberlakukan bagi warga asing yang bukan kebangsaan Romawi.

Hukum Internasional modern mulai berkembang pesat pada abad 16, yaitu sejak

ditandatanganinya perjanjian Westphalia (1648) yang mengakhiri perang 30 tahun di

eropa. Perjanjian perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam

sejarah hukum internasional modern, bahwa dianggap sebagai suatu peristiwa hukum

internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional.

Perjanjian westphalia juga meletakkan dasar bagi susunan masyarakat

internasional yang baru. Baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-

negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai

hakikat negara itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan

pemerintahan dari pengaruh gereja. Sejak saat itu mulai bermuncuan negara yang

berpemerintahan demokratis. Dasar-dasar yang diletakkan dalam perjanjian

westphalia diperteguh dalam perjanjian utrech yang penting artinya dilihat dari sudut

politik internasiona;, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas

politik internasional.

Pembentukan hukum internasional dipengaruhi oleh penulis-penulis hukum

internasional masa lampau. Penulis tersebut dikelompokkan menjadi tiga aliran

pemikiran yaitu penulis naturalis, penulis positivisme, dan penulis kombinasi.

BAB 2 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL


Sumber hukum internasional terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum dalam

arti meteriil dan sumber hukum dalam arti formil. Sumber hukum materiil adalah

sesuatu aktual yang berguna untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi peristiwa

ataupun situasi tertentu. Sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi

substansi dari pembuatan hukum itu sendiri. Sumber hukum formal adalah sumber

hukum yang membahasa bentuk nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau

wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah

ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu.

Penggolongan sumber hukum internasional hukum internasional dibedakan

menjadi dua yaitu penggolongan hukum internasional menurt pendapat sarjana

hukum internasional dan penggolongan menurut pasal 38 (1) statuta Mahkamah

Internasional. Penggolongan sumber hukum menurut para sarjana adalah kebiasaan,

traktat, keputusan pengadilan atau badan-badan artitrase, karya-karya hukum, dan

keputusan atau ketetapan organ-organ/ lembaga internasional.

Menurut sifatnya sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua yaitu

sumber hukum primer dan sumber hukum subsider.

 Sumber hukum primer adalah sumber hukum yang dapay berdiri sendiri tanpa

ada sumber hukum yang lainnya. Sumber hukum primer yang dimaksud

adalah berikut :

a. Perjanjian internasional
b. Kebiasaan internasional

c. Prinsip hukumumum yang diakui oleh negara yang beradap.

d. Dalam praktiknya ketiga sumber hukum internasiona; primer ini

memiliki kedudukan yang sama, karena setiap masalah yang hadir

dalam meja mahkamah internasional selalu bersumber pada ketiga

sumber hukum tersebut. jadi ketiga sumber hukum internasional

itu memiliki kedudukan yang sama, yaitu sebagai sumber hukum

yang dapat berdiri sendiri

Sumber hukum subsider adalah hukum tambahan yang digunakan oleh hakim

dalam memutuskan perkara. Sumber hukum subsider bisa dilakukan bila ada

dukungan dari sumber hukum primer. Jadi sumber hukum subsider tidak bisa berdiri

sendiri. Sumber hukum subssider itu meliputi keputusan pengadilan dan pendapat

sarjana hukum internasional. Dalam praktiknya hakim mahkamah internasional dalam

menyelesaikan masalah tidak boleh bersumber pada hukum ini saja. Hukum subsider

merupakan hukum tambahan untuk sumber hukum primer, karena hukum subsider

tidak bisa berdiri sendiri.

Perjanjian internasional adalah suatu kesepakatan dari kedua belak pihak

objek hukum dalam hal ini negara. Menurut bentuknya perjanjian internasioanal

dibagi menjadi tiga yaitu perjanjian bilateral, perjanjian regional, dan perjanjian

multilateral.
 Perjanjian bilateral adalah suatu kesepakatan yang dibuat oleh negara.

 Perjanjian regional adalah suatu kesepakatan yang dibuat oleh negara yang

berada dalam suatu kawasan tertentu.

 Perjanjian multilateral adalah suatu kesepakatan yang dibuat oleh banyak

negara.

Asas-asas hukum internasional

 Asas teritorial. Asas ini didasarkan kekuasaan negara pada daerahnya. Negara

menerapkan hukum pada subjek hukum yang ada diwilayahnya.

 Asas kebangsaan. Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara terhadap warga

negaranya. Asas ini berlaku secara extorial, artinya hukum dari negara tetap

berlaku bagi warga negaranya, walaupun warga negara itu berada di wilayah

negara lain.

 Asas kepentingan umum. Asas ini berdasarkan atas wewenang negara untuk

mengatur dan melindungi kepentingan dalam kehidupan dalam kehidupan

bermasyarakat.

BAB 3 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Subjek hukum internasional adalah pemilik, pemegang, pendukung hak, dan

penanggung kewajiban yang berdasarkan pada hukum internasional. Pada umumnya

subjek hukum internasional adalah negara. Seiring berkembangnya masyarakat dunia,

kini subjek hukum tidak hanya negara melainkan organisasi-organisasi internasional


baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral yang berdiri berdasarkan

latar belakangnya masing-masing. Subjek hukum internasional meliputi hal-hal

berikut :

 Negara

 Organisasi internasional

 Takhta suci vatikan

 Palang merah internasional

 Pemberontak

 Individu

 Perusahaan multinasional

Subjek hukum internasional adalah negara atau kesatuan bukan negara yang

dalam keadaan tertentu mempunyai kemampuan untuk mendukung adanya hak dan

kewajiban berdasarkan pada hukum internasional. Kemampuan mendukung adanya

hak dan kewajiban antara lain :

 Kemampuan mengajukan klaim

 Kemampuan untuk mengadakan dan membuat perjanjian

 Kemampuan untuk mempertahankan hak milikinya.

 Kemampuan pendukung bagi subjek hukum untuk pendukung hak dan

kewajiban meliputi :

a. Dasar hukum berdirinya


b. Berdasarkan keputusan datau pendapat

c. Subjek-subjek hukum yang diakui oleh masyarakat internasional :

d. Negara sebagai subjek utama hukum internasional

Ciri-ciri kenegaraan

Menurut konvensi montevideo 1949, mengenai hak dan kewajiban, negara

menjadi subjek hukum internasional harus memiliki syarat-syarat yang harus di

penuhi di antaranya :

 Mempunyai penduduk

 Mempunyai wilayah

 Mempunyai pemerintahan

 Dapat melakukan hubungan denga negara lain

 Pengakuan pemerintah dan negara

Pengakuan suatu negara merupakan salah satu pokok yang sangat sulit dalam

hukum internasional, karena dalam hal ini unsur-unsur hukum dan politik tidak dapat

dipisahkan. Negara dalam memberikan pengakuan ataupun tidak memberikan

pengakuannya lebih pengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik.

Bentuk pengakuan

 Pengakuan negara dibedakan menjadi dua yaitu pengakuan yang tegas dan

pengakuan diam-diam. Pengakuan tegas adalah pernyataan yang dikeluarkan


secara formal yaitu dengan melakukan perjanjian-perjanjian. Pengakuan

secara diam-diam dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan negara

seperti melakukan hubungan resmi dengan suatu negara dengan cara

mengirimkan suatu perwakilan diplomatik.

 Organisasi internasional didirikan dengan maksud dan tujuan masing-masing

 Palang merah internasional

 Takhta suci vatikan

 Kaum pemberontak/ beligerensi (Belligerent)

 Individu

 Perusahaan multinasional

BAB 4 KEDAULATAN TERITORIAL DAN YURISDIKSI

Kedaulatan teriotorial adalah kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara

dalam melaksanakan kewanangannya. Kedaulatan teriotorial dalam praktik

internasional sering dibagi bersama-sama dengan dua negara atau lebih. Dalam

melakukan pembagian kedaulatan teriotorial didasari dengan adanya

perjanjian/penyewaan suatu wilayah yang dibuat oleh negara kepada negara yang

lainnya. Negara menurut kejadiannya dibagi dalam empat kelompok berikut :

 Terjadinya negara secara primer

 Terjadi negara secara primer merupakan kejadian negara karena adanya

persekutuan masyarakat, kerajaan, negara nasional, dan demokrasi.


 Terjadi negara secara sekunder

 Terjadinya negara secara sekunder yaitu negara itu ada karena adanya dua

peristiwa yaitu adanya pengakuan dari negara lain (de jure). Jadi dalam hal ini

ada pengakuan dari negara lain tentang berdirinya suatu negara. Pengakuan

kedua adalah pengakuan dari negara tersebut (fe facto) tentang suatu negara.

Terjadinya negara menurut sejarah

Menurut sejarah kejadian dari negara itu disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor itu antara lain beikut :

 Pendudukan (occupasie)

 Peleburan (fusi)

 Penyerahan (cessie)

 Penaikan (accesie)

 Proklamasi

 Separatisme

 Inovation

 Pencaplokan (anexatie)

Terjadinya negara menurut teori

Teori terjadinya suatu negara banyak dikemukanakan oleh para ahli politik.

Teroti-teori tersebut antara lain teori ketuhanan, teori perjanjian masyarakat, teori

organis, teori hukum alam, dan teori daluwarsa. Yurisdiksi adalah suatu kekuasaan
negara untuk mengadili. Dalam pelaksaan yurisdiksi di masing-masing negara

terhadap orang, harta benda, itu berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor

historis dan geografis. Faktor ini kini tidak begitu nampak karena terkena pengaruh

dari kemajuan teknologi.

Menurut penelitian yang dikemukakan oleh universitas harvard, ada lima

prinsip dalam yurisdiksi, prinsip-prinsip itu adalah berikut :

 Prinsip nasionalitas

Prinsip nasionalitas adalah negara mempunyai yuridiksi terhadap warga

negara- warga negaranya, bahkan jika warga negaranya itu berada di luar

negeri, hal ini didasarkan bahwa warga negara mempunyai loyalitas terhadap

negaranya walaupun berada dinegara lain.

 Prinsip teritorial (wilayah)

Prinsip terioterial adalah suatu negara mempunyai yurisdiksi terhadap

perbuatan yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri.

 Prinsip perlindungan

Prinsip perlindungan suatu negara mempunyai yurisdiksi terhadap perbuatan

yang dilakukan diluar wilayahnya yang mengancam keamanannya.

 Prinsip universalitas

Prinsip ini negara mempunyai yurisiksi terhadap kejahatan yang

membahayakan negara dan warga negara secara universal. Prinsip ini

misalnya terorisme, pmebajakan, dan lain-lain.


 Prinsip personalitas pasif

Menurut prinsip ini negara mempunyai yuridiksi terhadap pembuatan yang

dilakukan diluar negeri semata-mata karena pembuatan itu merugikan warga

negaranya.

BAB 5 PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL MENJADI

UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata

hukum jika dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktik

merupakan hal yang menarik. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum

internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa

hukum internasional sebagai bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada

umumnya. Dalam hubungan internasional atau hubungan antarbangsa dikenal adanya

tiga asas yang disesuaikan dengan cara pandang dan pemikiran tiap-tiap negara.

Ketiga asas tersebut adalah asas teritorial, asas kebangsaan, dan asas kepentingan

umum.

Teori-teori yang mendasari pandangan tentang hubungan antara hukum

internasional dan hukum nasional antara lain.

 Teori voluntarisme (relawan) yang mendasarkan berlakunya hukum

internasional dan bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional

pada kemauan negara (taat secara sukarela)


 Teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan berlakunya hukum

internasional ini lepas dari kemauan negara.

Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam

memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan

teori voluntarisme terhadap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua

perangkat hukum yang berbeda, terpisah, hanya berdampingan saja. Berbeda dengan

pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum

internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum,

bisa dijadikan satu.

Aliran-aliran tentang hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional

 Aliran dualism

Menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan

dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional

mempunyai sifat-sifat intrinsik yang berbeda. Hukum nasional dan hukum

internasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah, tidak

mempunyao hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakukanya hukum

internasional dalam lingkungan hukum nasional membutuhkan transformasi

menjadi hukum nasional. Kalau antara hukum nasional dan hukum

internasional ada pertentangan, maka yang diutamakan adalah hukum


nasional. Negara yang menganut teori dualisme akan lebih sering

mengabaikan hukum internasional.

 Aliran monism

Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional itu

merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada

umumnya, berdasarkan teori monisme, pemberian primat ada kaitannya pada

hukum internasional atau hukum nasional. Menurut teori ini, dengan primat

hukum nasional, maka hukum internasional itu merupakan lanjutan dari

hukum nasional. Hukum internasional merupakan hukum nasional untuk luar

negeri.

Perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian antara anggota masyarakat

internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan

hukum tertentu. Proses perjanjian internasional, menempuh berbagai tahapan dalam

pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:

 Penjajakan merupakan tahapan awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang

berunding mengenai kemungkinan dibuat suatu perjanjian internasional.

 Perundingan merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-

masalah tertulis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.


 Perumusan nasakah merupakan tahapan merumuskan rancangan suatu

perjanjian internasional.

 Penerimaan merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah

dirumuskan dan disepakati oleh para pihak.

 Penandatanganan merupakan tahapan akhir dalam perundingan bilateral untuk

melegalisasi suatu nasakah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh

kedua pihak untuk perjanjian multirateral, penandatanganan perjanjian

internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak.

 Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia

Dalam hal pemerintahan indonesia mengadakan perjanjian internassional dengan

pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum

internasional lain harus ada pembuatan dan pengesahan perjanjian. Perjanjian adalah

suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek

hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu

perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Dalam pengesahan

perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori sebagai berikut :

 Ratifikasi yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian

internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional.

 Aksesi yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian

internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.


 Penerimaan atau persetujuan yaitu pernyataan penerima atau menyetujui dari

negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional tersebut.

 Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-

excuting.

Ratifikasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan

hukum (perjanjian) internasional. Hal ini menumbuhkan keyakinanpada lembaga-

lembaga perwakilan bahwa wakil yang menandatangani suatu perjanjian tidak

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum. Persetujuan untuk

meratifikasi dapat diberikan dengan berbagai cara, tergantung pada persetujuan

mereka. Misalnya, dengan penandatanganan, ratifikasi, pernyataan, turut serta,

pernyataan menerima atau juga dengan cara pertukaran naskah yang sudah

ditandatangani. Suatu instrumen ratifikasi, kalau tidak ditentukan lain oleh perjanjian

internasional yang bersangkutan tidak mempunyai pengaruh dalam membentuk

persetujuan akhir untuk terikat pada perjanjian internasional. Kondisi ini dapat

mengikat bila sudah dilakukan. Pertukaran instrumen ratifikasi kepada negara lain.

 Kepada negara-negara bersangkutan.

 Penyimpanan perjanjian internasional.

BUKU PEMBANDING

BAB 1 WILAYAH NEGARA


Negara merupakan subjek hukum internasional yang utama. Disebut demikian

karena negara memiliki semua hak untuk melakukan tindakan demi eksistensinya.

Hal ini berbeda dengan subjek hukum internasional yang lain seperti organisasi

internasional yang memiliki kewenangan terbatas sesuai dengan hak dan

kewajibannya sebagaimana yang dicantumkan dalam konstitusi Dasar atau perjanjian

pembentukannya. Syarat utama berdirinya suatu negara adalah

1. adanya pemerintah yang berdaulat

2. Adanya penduduk atau masyarakat yang merupakan satu kesatuan politis

3. Adanya wilayah yang jelas batas-batasnya.

Wilayah adalah suatu ruang Di mana orang menjadi warga negara atau

penduduk negara yang bersangkutan hidup serta menjalankan segala aktivitasnya. Di

dalam ajaran hukum internasional terdapat teori-teori tentang cara memperoleh

wilayah negara. Menurut ajaran ini ada empat cara memperoleh wilayah negara.

Keempat salat tersebut akan diuraikan satu persatu berikut ini :

1. Prescription

Prescription adalah istilah yang menunjukkan perolehan wilayah melalui

pendudukan dalam jangka waktu lama secara damai tanpa digugat oleh pihak

manapun dan di wilayah yang bersangkutan diselenggarakan administrasi

pemerintahan atas masyarakatnya.

2. Conquest (Anexation)
Conquest menunjukkan perolehan wilayah melalui cara penaklukan secara

paksa. Cara ini seperti sekarang lebih sering disebut sebagai annexation

(aneksasi). Jadi di sini ada pergabungan wilayah secara paksa. Karena

dilakukan penggabungan secara paksa kemungkinan wilayah tersebut

memberontak atau menuntut kemerdekaan sendiri selalu ada sehingga di

wilayah wilayah seperti ini sering timbul pemberontakan.

3. Cessie

Pengertian Cessie menunjukkan peroleh wilayah melalui perjanjian

antarnegara di mana Di dalam perjanjian tersebut juga diatur adanya

Penyerahan suatu wilayah. Peroleh wilayah seperti ini dapat dilakukan

berkaitan dengan masalah utang dan karena wilayah tersebut memang dijual

oleh satu pihak kepada pihak yang lain seperti yang dilakukan Rusia yang

menjual wilayah Alaska kepada Amerika Serikat pada akhir abad ke-19.

4. Acretion

Pengertian acretion menunjukkan perolehan wilayah melalui proses-proses

peralihan alam seperti pantai yang menjorok ke laut sehingga menambah luas

wilayah suatu negara. Peroleh wilayah seperti ini memang sering tidak terkait

dengan kepentingan negara lain tetapi sering diperoleh oleh suatu negara

tanpa mengganggu hubungannya dengan negara lain.

Cara-cara perolehan wilayah tersebut di atas merupakan cara-cara perolehan

wilayah yang sudah lama menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional yang

beberapa diantaranya Pada masa ini sudah jarang di temui dalam praktik. Sekalipun
demikian pemahaman tentang cara-cara memperoleh wilayah ini penting untuk

dipelajari sebagai bagian dari perkembangan perkembangan teori perolehan wilayah.

Wilayah negara meliputi tiga bagian besar yaitu wilayah darat, udara, dan laut.

1. Wilayah darat

Wilayah darat suatu negara merupakan wilayah yang cukup penting dari segi

kenyataan mengingat penduduk negara tinggal menetap di wilayah darat

tersebut. Hal yang penting untuk dibahas berkenaan dengan wilayah darat

adalah masalah pembatasan wilayah darat antara dua negara. Perbatasan

wilayah 2 negara selalu harus dibuat melalui perjanjian terlebih dahulu.

pembatasan wilayah darat antara dua negara dapat berupa perbatasan secara

alami misalnya gunung, sungai, atau laut.

2. Wilayah udara

Wilayah udara suatu negara merupakan ruang udara di atas wilayah daratan

dan di atas laut teritorial negara tersebut. Dengan demikian pembatasan ruang

udara antara dua negara merupakan garis lurus yang ditarik ke atas dari

perbatasan wilayah darat dan laut teritorial antara ke dua negara. Akan tetapi

sampai sekarang belum ada ketentuan yuridis tentang Seberapa jauh

ukurannya garis tersebut boleh ditarik. Tidak ada satupun perjanjian

internasional yang menegaskan perbatasan Berapa jauh tinggi ruang udara

suatu negara.

3. Wilayah angkasa
Di atas ruang udara keadaannya hampa tidak terdapat udara. Artinya unsur-

unsur kimia yang menjadi elemen penting di ruang udara menjadi sangat

berkurang jumlahnya. Demikian pula gaya tarik bumi akan semakin

berkurang. Ruang ini oleh masyarakat disebut ruang angkasa. Di ruang ini

pesawat udara biasa yang menggunakan gaya angkat dari reaksi udara tidak

dapat dioperasikan lagi. Hal ini karena di ruang angkasa tidak terdapat udara

yang merupakan syarat mutlak naik turunnya pesawat udara. Di ruang

angkasa ini hanya dapat dioperasikan pesawat ruang angkasa yang digerakkan

dengan tenaga dorong. Perjanjian internasional yang memuat prinsip-prinsip

penggunaan ruang angkasa ini mulai ditandatangani pada 27 Januari 1967.

Ketentuan-ketentuan di dalam Space Treaty 1967 sedikit banyak menentukan

tata tertib penggunaan ruang angkasa untuk kemanusiaan dan perdamaian.

4. Wilayah perairan

Dalam membahas Wilayah perairan suatu negara maka pada bagian awal

harus disebut bahwa ada negara yang memiliki laut dan ada negara yang tidak

memiliki laut. Contoh negara tidak berpantai atau tidak memiliki laut seperti

Laos, Nepal, Swiss, Hungaria, dan Austria. Pengertian lain yang perlu

diketahui adalah tentang garis pangkal. Garis pangkal adalah garis garis yang

menghubungkan titik. Pangkal untuk kepentingan pengukuran lebar Jalur laut

tertentu. Di dalam pembahasan garis pangkal ini menurut hukum laut

internasional secara garis besar ada dua jenis garis pangkal yaitu garis pangkal

normal yang mengikuti lekuk liku pantai dan garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar dari suatu pantai. Pengaturan internasional

tentang penggunaan dan wilayah-wilayah pada laut tertuang di dalam

konvensi PBB melalui hukum laut yang berlaku sejak 16 November 1994

setelah setahun tercapai jumlah ratifikasi yang disyaratkan oleh konvensi.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ini melalui undang-undang nomor

17 tahun 1985 yang berlaku sejak 31 Desember 1985. Oleh karena itu

pembahasan mengenai wilayah perairan dalam buku ini didasarkan pada

konvensi hukum laut 1982.

BAB 2 NEGARA KEPULAUAN INDONESIA DAN WAWASAN

NUSANTARA

Kepulauan Indonesia yang dua pertiga wilayahnya adalah laut membentang ke

utara dengan pusatnya di Pulau Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu

kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam

salah satu doktrin nasional yang disebut wawasan nusantara dan politik luar negeri

bebas aktif, sedangkan strategis Indonesia diwujudkan melalui konsep ketahanan

nasional yang bertumpu pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial

budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan

maritim, maka diperlukan strategi dasar maritim sejalan dengan doktrin pertahanan

defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan

adalah laut.
Implementasi dari strategi Maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim

yang dapat menjamin kedaulatan dari integritas wilayah dari berbagai ancaman.

Nusantara dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa

wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Laut

yang menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau yang tersebar di seantero

khatulistiwa.

Sedangkan wawasan nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang

memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut)

termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak

terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup

segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi Aspek politik, ekonomi, sosial

budaya dan Hankam. Wawasan nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan

yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan

dalam GBHN dengan TAP MPR nomor IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan

tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yang telah diperjuangkan

sejak Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957.

BAB 3 KEDAULATAN NEGARA

Dalam hukum internasional, kedaulatan negara merupakan prinsip yang

mendasari hubungan antar negara dan juga merupakan landasan dari tatanan dunia.

Prinsip ini merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional (international


customary law) yang tercantum dalam Piagam PBB (United Nations Charter) serta

menjadi komponen penting dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan

dunia. Kedaulatan negara menunjukkan kompetensi, independensi dan kesetaraan

hukum antar negara−negara.

Dasar hukum internasional yang menjadi landasan prinsip kedaulatan negara

adalah perjanjian Westhpalia 1648 yang dibentuk oleh negara-negara Eropa.

Perjanjian ini meletakkan dasar-dasar masyarakat internasional modern dimana setiap

negara memiliki kedaulatan penuh yang dilandasi oleh kemerdekaan dan persamaan

derajat dalam praktek hukum internasional dan hubungan internasional. Unsur-unsur

negara yang berdaulat termuat dalam Konvensi Montevideo 1933 Tentang Hak−hak

dan Kewajiban Negara (Montevideo Convention on the Rights and Duties of States).

Unsur−unsur tersebut terdiri dari populasi yang permanen (permanent population),

wilayah territorial (defined territory) dan pemerintah yang berdaulat (sovereign

government). Komponen terpenting dari kedaulatan terwujud dalam kekuasaan

negara-negara untuk bertindak di wilayah territorial negara-negara tersebut.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Piagam PBB, organisasi dunia didasarkan

atas prinsip persamaan kedaulatan dari semua negara-negara anggota. Disamping

menjadi dasar dalam hubungan internasional, prinsip persamaan kedaulatan ini juga

menjadi dasar pembentukan organisasi antar pemerintah yang diberikan kapasitas

untuk bertindak dalam hubungan antar negara-negara sesuai dengan kerangka kerja

yang ditetapkan oleh organisasi tersebut. Ada beberapa batas –batas penting dari
kedaulatan negara dan yurisdiksi nasional yang diterima secara meluas dalam hukum

internasional. Ketegangan yang terjadi antara kedaulatan, kemerdekaan dan

persamaan kedudukan diantara negara-negara di satu sisi dan kewajiban internasional

yang bersifat kolektif untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional di

sisi lain. Berkaitan dengan kedaulatan negara yang dibatasi oleh kebiasaan dan

kewajiban perjanjian (treaty obligation) baik dalam hubungan internasional maupun

hukum internasional.

BAB 4 YURISDIKSI NEGARA

Pengertian Yurisdiksi Negara (kewenangan Negara) Yaitu suatu hak/

kewenangan/ kekuasaan/ kompetensi hukum Negara di bawah hukum internasional

untuk mengatur individu-individu, peristiwa- peristiwa hukum di bidang pidana

maupun perdata atau benda/kekayaan dengan menggunakan hukum nasionalnya.

Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah

kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan peristiwa

hukum. Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan Negara,

persamaan derajat Negara dan prinsip non intervensi.

Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu

kasus ditemukan unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku dan/atau korban

warga Negara asing., atau tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di luar negeri.

Dalam kasus yang kompleks bisa tersangkut banyak unsure asing, misalkan saja
dalam kasus pembunuhan yang dilakukan Oki, seorang mahasiswa WNI terhadap dua

WNI lainnya dan WN India di New York tahun 1995. Kasus ini menyangkut tiga

Negara. Semua Negara mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap si pembunuh, tetapi

hanya ada satu Negara yang akan mengadilinya. Seorag pelaku kejahatan tentu tidak

dapat diadili untuk kedua kalinya dalam perkara dan tuntutan yang sama. Negara

tempat dimana pelaku ditemukan memiliki kesempatan terbesar untuk menerpkan

yurisdiksinya. Meskipun demikian, belum tentu Negara tersebut mau menerapkan

yurisdiksinya. Dalam kasus mahasiswa Indonesia di atas meskipun pelaku ditangkap

di New York, tetapi atas permintaan pemerintah Indonesia, AS mengektradisikan

pelaku ke Indonesia.

Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional

telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal,

masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi

yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan

yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah

yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan

menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup

perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan suau

Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya

perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada
unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang

disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah

kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang

menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsure

asing di dalamnya.

            Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan

berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public lebih

memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus

pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip

yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh

Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction.

BAB 5 PENGGUNAAN SENJATA OLEH NEGARA

Pengawasan senjata merupakan kebijakan yang bertujuan membatasi

persenjataan: semenjak pembuatan sampai penggunaannya, baik yang menyangkut

aspek kualitas maupun kuantitas. Dengan adanya pembatasan persenjataan ini, maka

diharapkan akan tercipta kondisi stabilitas militer. Andaikata kondisi seperti ini

terjadi, diperkirakan kekerasan dalam hubungan antar negara akan menurun dan

kesempatan tercapainya perdamaian akan meningkat. Ada kata/istilah lain yang

mempunyai hubungan dekat dengan pengawasan senjata, akan tetapi mempunyai

pengertian berbeda, yakni “perlucutan senjata”.


Sebagai suatu proses, perlucutan senjata mencakup di dalamnya pengurangan

ataupun penghapusan/ penghancuran system persenjataan tertentu. Sebagai tujuan,

perlucutan senjata melingkupi di dalamnya pembentukan suatu dunia tanpa senjata

serta pencegahan upaya mempersenjatai kembali dunia pada masa –masa selanjutnya.

Disamping mempunyai persamaan, antara pengawasan senjata dan perlucutan senjata

juga mempunyai perbedaan. Persamaannya, keduanya mempunyai tujuan

memperkecil kemungkinan terjadinya perang. Para pendukung perlucutan senjata

berasumsi jika senjata mengakibatkan terjadinya perang, maka dengan mengurangi

jumlah senjata, kemungkinan terjadinya perang juga berkurang. Sedangkan tujuan

pengawasan senjata, menurut para pendukungnya, adalah untuk menyetabilkan

persaingan militer antar negara. Dalam suasana seperti ini, perasaan takut satu Negara

terhadap Negara lain tidak begitu tinggi. Konsekwensinya, peluang terjadinya perang

antar Negara tidak begitu tinggi pula. Persamaan lain adalah keduanya bertujuan

menurunkan anggaran pertahanan – keamanan. Dengan melakukan pembatasan

maupun pengurangan senjata, bahkan, memusnahkan senjata, maka biaya yang

digunakan untuk keperluan militer mengalami penurunan. Sedangkan anggaran yang

diperlukan untuk kebutuhan non militer bisa dinaikkan.

Berbagai perjanjian internasional telah dilakukan untuk membatasi jumlah

maupun jenis senjata yang diproduksi maupun digunakan. Banyak pendekatan yang

dibuat untuk mengawasi persenjataan yang diproduksi. Semuanya ini dimaksudkan

untuk menciptakan stabilitas militer sekaligus meredam kekerasan internasional.


Namun demikian, berbagai peristiwa sejarah menunjukkan bahwa banyak perjanjian

internasional yang berkaitan dengan pengawasan senjata tidak dengan sendirinya

menciptakan stabilitas dan meredakan ketegangan antar bangsa.

BAB 6 PENDUDUK DAN WARGA NEGARA ASING

Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan. Di dalam

pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau

warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi

daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan

memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.

Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (nationality). Yang

membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk

memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum

merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak

berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa

menjadi anggota bangsa dari suatu negara.

warga negara  ialah seseorang yang bertempat tinggal di sebuah wilayah

negara tertentu yang dengan memiliki status warga negara maka timbulah sebuah

hubungan negara dengan warga negara dengan adanya sebuah hak dan kewajiban

terhadap negara tersebut begitupun sebaliknya. Dan warga negara Indonesia memiliki

sebuah pengertian yakni orang-orang asli bangsa Indonesia serta orang-orang dari
bangsa lain yang seperti tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2006 mengenai

Kewarganegaraan, warga negara merupakan warga dari sebuah negara yang

ditentukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Pengertian warga negara asing merupakan seseorang yang tinggal dan

menetap di sebuah negara tertentu namun bukan berasal dari negara tersebut juga

tidak secara resmi tedaftar sebagai warga negara, yang memiliki tujuan yang

beragam, misalnya dalam rangka menempuh pendidikan, bisnis maupun hal lainnya.

Meskipun status seseorang tersebut adalah warga negara asing di Indonesia,

seseorang tersebut tetap memiliki hak dan juga kewajiban terhadap negara yang di

tinggalinya.

BAB 7 EKSTRADIKSI

Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta

penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan

di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara

yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan

memidananya (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi).

Unsur-unsur Ekstradisi 

a. Unsur subjek

Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau

menghukum sangat berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut


untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Untuk

mendapat kembali orang yang bersangkutan negara atau negara-negara

tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara tempat

orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara ini

berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat disebut

negara peminta (The Requesting State). Negara tempat si pelaku kejahatan

(tersangka, tertuduh terdakwa) atau si terhukum itu bersembunyi. Negara ini

diminta oleh negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi atau negara

peminta, supaya menyerahkan orang yang berada di wilayah itu (tersangka

atau terhukum), yang dengan singkat dapat disebut negara-diminta (The

Rewuested State).

b. Unsur objek

Yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa atau

terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara-negara diminta supaya

diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai orang yang diminta.

Meskipun dia hanya sebagai objek saja yang menjadi pokok masalah antara kedua

pihak, tetapi sebagai manusia dia harus tetap diperlakukan sebagai subjek hukum

dengan segala hak dan kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh

siapapun juga.

c. Unsur tata cara atau prosedur


Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan

maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri

serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat

dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan

oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan tersebut haruslah

didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua

pihak atau apabila perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada saat

asas timbal baik yang telah disepakati.

d. Unsur tujuan

Yaitu untuk apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau

diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara peminta kepada negara-

diminta oleh karena ia telah melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi

negara/ negara-negara peminta. Atau dia melarikan diri ke negara-diminta

setelah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang

pasti. Untuk dapat mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan,

negara peminta lalu mengajukan permintaan penyerahan atas diri orang

tersebut kepada negara-diminta.

Jenis-jenis Ekstradisi

Menurut Damaian (1991), terdaat tiga jenis sistem ekstradisi, yaitu sebagai berikut:
Ekstradisi sistem daftar (list system/enumerative system), yaitu sistem yang memuat

dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang

dapat diekstradisi. Contoh: Perjanjian Ekstradisi antara Inggris dan Amerika Serikat

1969, dalam Pasal 3 menentukan 27 jenis kejahatan atau tindak pidana.

Ekstradisi sistem tanpa sistem daftar (eliminative system), yaitu sistem yang hanya

menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk

menerapkan apakah suatu kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak tanpa

menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisikan. Contoh: Perjanjian

Ekstradisi antara Italia dan Panama 1930 menentukan minimum 2 tahun.

Ekstradisi sistem campuran, yaitu campuran antara ekstradisi enumeratif dan

ekstradisi eliminatif serta mencantumkan juga kejahatan dengan minimum dan

maksimum hukuman yang dapat diekstradisi. Contoh: Perjanjian Ekstardisi antara

Indonesia dan Philipina 1976 dalam pasal II A.

Asas-asas Hukum Ekstradisi

Menurut Parthiana (2004), terdapat asas-asas ekstradisi yang telah diakui secara

umum, yaitu sebagai berikut:

 Asas Kejahatan Ganda (Double Criminality Principle)

Asas ini mensyaratkan bahwa kejahatan yang dapat dijadikan alasan dalam

permohonan ekstradisi atas orang yang diminta adalah kejahatan yang telah diancam
hukuman baik hukum pidana dari negara-peminta ataupun hukum dari negara yang

diminta. Hal ini dapat terjadi dikarenakan suatu perbuatan atau peristiwa mungkin

merupakan peristiwa pidana atau kejahatan menurut sistem hukum negara tertentu,

sedangkan menurut sistem hukum negara lain tidak dipandang sebagai peristiwa

pidana. Terdapat perbedaan dalam penilaian atas suatu perbuatan atau peristiwa.

Perbedaan penilaian itu juga membawa akibat perbedaan penilaian terhadap si pelaku

perbuatan atau peristiwa tersebut.

 Asas Kekhususan (Principle of Speciality)

Asas ini mewajibkan negara-peminta untuk hanya menuntut, mengadili maupun

menghukum orang yang diminta berdasarkan kejahatan yang dijadikan alasan untuk

permintaan penyerahan ekstradisinya. Jadi ia tidak boleh diadili, dan atau dihukum

atas kejahatan lain, selain dari pada kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk

meminta ekstradisinya. Asas kekhususan baru dapat berfungsi apabila orang yang

diminta telah diekstradisi oleh negara yang diminta kepada negara-peminta. Hal ini

berarti, Permintaan negara-peminta untuk mengekstradisi orang yang diminta tersebut

dikabulkan oleh negara yang diminta.

 Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals)

Asas ini pada dasarnya memberikan kekuasaan pada negara-negara untuk tidak

menyerahkan warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan di dalam wilayah

negara lain. Apabila orang yang diminta oleh negara-peminta ternyata merupakan
warga negara dari negara yang diminta, maka negara yang diminta berhak menolak

permintaan ekstradisi dari negara-peminta tersebut. Hal ini dilandasi oleh pemikiran,

bahwa negara wajib untuk melindungi setiap warga negaranya dan warga negara juga

memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara asalnya. Namun

penolakan tersebut tidak berarti menghapus kesalahan warga negara tersebut. Warga

negara tersebut wajib untuk diadili dan dihukum oleh negara yang diminta

berdasarkan hukum nasionalnya.

 Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of

Political Criminal)

Asas ini bermula pada abad ke-18, yang menunjukkan bahwa yang dapat

diserahkan hanyalah para penjahat politik dan pasukan yang melakukan tindakan

disersi. Apabila negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai

alasan untuk permintaan ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai

kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Hal ini

dikarenakan kejahatan politik bersifat subjektif serta definisi kejahatan politik yang

berlaku secara umum bagi hukum internasional juga tidak ada. Suatu kejahatan

digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak memang merupakan sebuah masalah

politik yang didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja

sangat subjektif.

 Asas ne/non bis in idem


Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk permintaan

ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata telah diadili dan/atau telah dijatuhi

hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka negara yang

diminta diharuskan menolak permintaan dari negara-peminta tersebut. Asas ini

memberikan jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah dijatuhi putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, baik putusan itu

merupakan putusan pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan pidana maupun

putusan yang berupa penghukuman atas dirinya.

 Asas Daluwarsa

Asas ini dikenal juga dengan asas lewat waktu (lapse of time). Asas ini

menyatakan bahwa seseorang tidak dapat diserahkan oleh negara yang diminta

kepada negara-peminta dikarenakan hak untuk menuntut atau hak untuk

melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa atau lewat waktu menurut hukum dari

salah satu maupun hukum dari kedua belah pihak. Tujuan dari diakui daluwarsa ini

adalah demi memberikan jaminan kepastian hukum bagi semua pihak. Bahwa suatu

fakta yang sudah demikian lamanya terjadi dan tidak pernah dipersoalkan selama

jangka waktu tersebut,dipandang sebagai suatu hal yang sudah lewat dan oleh karena

itu tidak bisa diungkit-ungkit lagi.

BAB 8 SUAKA POLITIK


Dalam hubungan internasional, suaka politik dapat dibedakan menjadi suaka

wilayah (territorial asylum) dan suaka diplomatic (diplomatic asylum atau exstra-

territorial asylum). Suaka wilayah atau suaka territorial adalah perlindungan yang

diberikan suatu negara kepada orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia.

Adapun suaka diplomatic adalah suaka yang diberikan oleh suatu kedutaan besar

terhadap orang yang bukan warga negaranya. Contoh suaka ini adalah orang asing

yang memasuki wilayah kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) diluar negeri,

atau orang-orang Timor-timur (sebelum memisahkan diri dari Indonesia) yang

memasuki gedung keduataan besar asing di Jakarata.

            Suaka politik jenis pertama mendapat jaminan dalam hukum Internasioanal.

Setiap negara berhak memberikan perlindungan politik kepada warga negara asing.

Negara asal pencari suaka tersebut hanya dapat mengajukan permohonan

pengambilan atau ekstradisi melalui saluran diplomatik. Adapun terhadap suaka

politik jenis kedua (diplomatic asylum), hukum Internasional tidak mengakui adanya

hak kepala perwakilan suatau negara (duta besar) untuk memberikan jaminan

keamanan terhadap orang asing di gedung kedutaan besarnya, karena hal ini

menyebabkan terbebasnya ia dari hukum dan keadilan di negara asalnya. Meskipun

demikian, seorang kepala perwakilan asing tidak wajib menyerahkan orang-orang

yang minta suaka kepada pemerintah setempat, bila tidak ada perjanjian antara kedua

negara yang mengharuskannya untuk menyerahkannya untuk menyerahkan pencari

suaka tersebut (extradisi).


            Ada perbedaan prinsip dalam pemberian suaka ini. Dalam suaka territorial,

kekuasaan memberikan suaka merupakan hak dan atribut kedaulatan negara yang

bersangkutan. Adapun dalam suaka ekstra territorial, kekuasaan memberikan suaka

mengesampingkan kedaulatan territorial negara. Artinya, seorang duta besar boleh

memberikan perlindungan di gedung  kedutaan besarnya kepada pemohon suaka.

Tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada kepala negaranya. Dalam

hal ini ia berkuasa penuh menentukan layak tidaknya seorang diberikan perlindungan.

            Disamping dua suaka diatas, masih ada lagi bentuk lain suaka politik, yaitu

suaka netral (neutral asylum). Dalam suaka bentuk ini, pemohon suaka memasuki

kedutaan asing atau lari kesuatu negara, tetapi ia memilih tempat perlindungan ke

gedung lembaga-lembaga Internasional, seperti perwakilan PBB di Jakarta, atau di

gedung  secretariat ASEAN, ia meminta suaka kepada pejabat lembaga-lembaga

tersebut.

            Konsepsi suaka politik dalam hukum Internasional meliputi unsur pemberian

naungan yang bersifat lebih dari peralian sementara dan unsur-unsur pemberian

perlindungan secara aktif oleh pembesar-pembesar negara yang memberi suaka.

Orang yang mendapat suaka politik secara prinsip tidak dikembalikan ke negara lain,

kecuali negara yang meminta pemulangannya (ekstradisi) tersebut mengemukakan

alasan-alasan logis agar peminta suaka diserahkan kembali.


            Pengembalian permohonan ini juga dapat dilakukan apabila sebelumnya

antara negara-negara yang melindungi dan negara tempat pelariannya memiliki

perjajian ekstradisi.

BAB 9 PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA

Tanggung jawab negara merupakan salah satu isu penting yang selalu dibahas

dalam hukum internasional. Hal ini dikarenakan negara merupakan subyek hukum

utama dalam hukum internasional. Atas alasan itulah mengapa komisi hukum

internasional (international law commission/ILC) mencoba melakukan studi dan

kodifikasi perihal tanggung jawab negara. Upaya tersebut pada akhirnya hanya

berbuah sebuah draft konvensi yaitu draft Articles on the Responsibility of States for

Internationally Wrongful Acts, yang diadopsi pada tahun 2001.

            Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara diartikan sebagai

kewajiban yang harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah

hukum internasional. Sederhananya, apabila suatu negara tidak memenuhi kewajiban

yang dibebabkan kepadanya berdasarkan hukum internasional maka ia dapat

dimintakan tanggung jawab. Akan tetapi faktanya tidak semudah itu sebab sulit untuk

menilai apakah negara telah lalai atau tidak melaksanakan kewajibanya.

            Untuk dapat menilai, maka yang perlu diperhatikan adalah soal tindakan

sebuah negara. Dalam hukum internasional, tindakan negara dapat dibedakan antara

tindakan negara dalam kapasitas publik (iure imperium) dan privat (iure gestiones).
Konsep tanggung jawab negara pun sebenarnya lahir sebagai upaya untuk

membedakan tindakan negara yang bersifat publik atau perdata. Hal inilah yang

kemudian diadopsi dalam draf konvensi tanggung jawab negara, pasal 1, yaitu:

“Every internationally wrongful act of a state entails the international responsibility

of that state.”

Kategorisasi tindakan negara yang salah sehingga dapat menimbulkan

tanggung jawab adalah ketika suatu tindakan atau pembiaran (action/omission) itu

melekat pada negara berdasarkan hukum internasional dan melanggar kewajiban

internasional negara. Unsur atribusi menjadi bagian penting untuk menilai apakah

tindakan negara yang salah itu dilakukan dalam kapasitas publik atau perdata. Sebab

salah satu tujuan dibuatnya rancangan konvensi tanggung jawab negara adalah untuk

menyoroti tindakan negara dalam ruang publik.

Pada pokoknya, tindakan atau pembiaran yang dilakukan aparatus negara

dalam kapasitasnya menjalankan kebijakan negara yang menyalahi hukum

internasional maka negara dapat dimintakan tanggung jawab.Konsep tindakan negara

yang diatribusi kepada tindakan aparatus negara ini menimbulkan suatu keadaan

dilematis jika dikaitkan dengan hukum pidana internasional. Persoalanya adalah

dalam hukum pidana internasional yang menjadi subyek pengaturan adalah individu

bukan negara. Rezim hukum pidana internasional lahir dikarenakan adanya kehendak

masyarakat internasional agar pelaku tindak pidana internasional tidak dapat

melepaskan tanggung jawabnya dengan dalih melakukan kebijakan negara.


BAB 10 PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PERLINDUNGAN

LINGKUNGAN

Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda yaitu makhluk

hidup dan makhluk tak hidup yang saling mempengaruhi. Dalam kehidupan sehari-

hari manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan pada udara, tanah dan air.

Air, tanah, udara, hewan, tumbuhan dan manusia merupakan sebuah ekosistem hidup.

Di samping itu masih banyak lagi hal-hal lain yang tidak dapat kesemuanya itu

merupakan bagian dari lingkungan hidup. Dalam Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2009 tentang ketentuanperlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup dinyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua

benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia, dan

perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

manusia serta makhluk hidup lainnya. Terdapat tiga unsur lingkungan, yaitu Pertama,

biotik, unsur-unsur lingkungan hidup yang terdiri dari segala jenis makhluk hidup,

mulai dari manusia, hewan, tumbuhan, maupun organisme atau jasad renik lainnya.

Kedua, Abiotik yaitu segala unsur lingkungan yang terdiri dari benda-benda mati

seperti air, udara, dan lain sebagainya. Ketiga, Sosial Budaya, unsur lingkungan yang

diciptakan manusia yang di dalamnya terdapat nilai, gagasan, norma, keyakinan, serta

perilaku manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk yang tidak dapat hidup

sendiri.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan

masa kini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari

generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan harus memerhatikan

pemanfaatan lingkungan hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas

lingkungan tetap terjaga. Kelestarian lingkungan yang tidak dijaga, akan

menyebabkan daya dukung lingkungan berkurang, atau bahkan akan hilang

Pembangunan berkelanjutan mengandung arti sudah tercapainya keadilan sosial dari

generasi ke generasi. Dilihat dari pengertian lainnya, pembangunan berkelanjutan

sebagai pembangunan nasional yang melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem.

Keseluruhan unsur atau komponen yang berada di sekitar individu yang

mempengaruhi kehidupan dan perkembangan individu yang bersangkutan.

Komponen-komponen lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi komponen

bendabenda hidup (biotik) dan komponen benda-benda mati (abiotik). Termasuk ke

dalam komponen biotik adalah manusia, hewan, dan tumbuhan, sedangkan yang

termasuk ke dalam komponen abiotik adalah udara, tanah, dan air. Baik komponen

biotik maupun komponen abiotik membentuk satu kesatuan atau tatanan yang disebut

ekosistem, sehingga lingkungan hidup sering pula disamakan dengan ekosistem.

Pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang

mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara

menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk

menopangnya. Aktivitas pembangunan secara umum dapat menimbulkan dampak


pada lingkungan. Dampak ini bisa positif atau pun negatif. Dampak positif akan

menguntungkan pembangunan nasional, sementara dampak negatif menimbulkan

resiko bagi lingkungan.

BAB 11 HUKUM INTERNASIONAL DALAM TATANAN SOSIAL YANG

BERUBAH

Hukum modern telah lama berlangsung di masyarakat. Perkembangan industri

telah mendorong perkembangan masyarakat termasuk di era industri. Hukum telah

lama dibentuk oleh kepentingan industri dengan menuntut pada kepastian

hukum.Namun pada sisi yang lain, ternyata di era globalisasi termasuk teknologi

informasi hukum selain memastikan jaminan kebebasan individu, hukum modern

yang berada dalam perkembangan teknologi informasi juga telah merusak tatanan

kehidupan sosial sehingga menimbulkan kekacauan masyarakat. Hukum modern

demikian telah juga mengalami dekonstruksi dengan mengakomodasi kearifan sosial

yang jugan mengandung nilai-nilai keadilan sosial. Indonesia yang mengalami era

industry dengan perkembangan teknologi informasi juga mengalami kekacauan

masyarakat baik pada melemahnya kelembagaan hukumnya, aturan-aturan hukumnya

maupun juga melemahnya budaya masyarakat. Rekonstruksi hukum modern

Indonesia suatu kebutuhan sosiologis yang juga dibangun atas dasar landasan

filosofis dengan menempatkan cita hukum Pancasila. Rekonstruksi hukum ini juga

berdasarkan tuntutan hak asasi manusia yang mewadahi tuntutan keadilan sosial

dengan kearifan local yang telah lama mendasari masyarakat Indonesia yang bercorak
multicultural. Corak multicultural ini ternyata dibangun atas tatanan kehidupan

masyarakat yang bersifat religiustransendental.

Perubahan-perubahan sosial yang berlangsung sampai sekarang ini masih

menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari pembangunan negara-negara modern,

yaitu pembangunan yang mendasarkan diri pada kemajuan teknologi, industrialisasi,

dan perluasan sistem kapital. Perubahan sosial ini berpengaruh terhadap

pembangunan hukumnya, yaitu pembangunan hukum yang berkarakter modern. Ilmu

hukum yang mendasarinya terkait dengan perkembangan ilmu pada umumnya yang

menampakkan karakter sebagai ilmu modern, yaitu yang mengutamakan rasionalitas

dan meniadakan hal-hal yang bersifat metafisika. Ajaran ilmu hukum yang murni

(reine rechtlehre) dari Hans Kelsen mengajarkan adanya pemisahan secara tegas ilmu

hukum dari hal-hal yang metafisis yang bersifat non-juridis. Ilmu hukum yang

berkembang pun disyaratkan secara mutlak menunjukkan sifat rasionalitasnya,

obyektif dan empiris.


BAB III

PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN BUKU

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas.


Pada awalanya hukum internasional diartikan sebagai perilaku dan hubungan
antarnegara. Namun dalam perkembangannya, hukum internasional juga mengurusi
struktur dan perilaku organisasi internasional. Hukum Internasional memiliki
beberapa istilah yaitu International law, The Law of Nation, Droit International. Dan
Hukum Antarbangsa. Hukum Internasional dalam penerapannya dibagi menjadi dua,
yaitu hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.
Sumber hukum internasional terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum dalam
arti meteriil dan sumber hukum dalam arti formil. Sumber hukum materiil adalah
sesuatu aktual yang berguna untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi peristiwa
ataupun situasi tertentu. Sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi
substansi dari pembuatan hukum itu sendiri.Sumber hukum formal adalah sumber
hukum yang membahasa bentuk nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau
wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah
ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu.
Kedaulatan teriotorial adalah kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara
dalam melaksanakan kewanangannya. Kedaulatan teriotorial dalam praktik
internasional sering dibagi bersama-sama dengan dua negara atau lebih. Dalam
melakukan pembagian kedaulatan teriotorial didasari dengan adanya
perjanjian/penyewaan suatu wilayah yang dibuat oleh negara kepada negara yang
lainnya. Yurisdiksi adalah suatu kekuasaan negara untuk mengadili. Dalam pelaksaan
yurisdiksi di masing-masing negara terhadap orang, harta benda, itu berbeda.
Perbedaan ini disebabkan oleh faktor historis dan geografis. Faktor ini kini tidak
begitu nampak karena terkena pengaruh dari kemajuan teknologi.
B. KELEBIHAN BUKU
BUKU UTAMA
 Buku tersebut tersusun dengan rapi dan baik
 Buku tersebut langsung ke inti dan meringkas dengan baik , dan
menggunakan poin poin seperti angka jadi dapat dimengerti
 Bahasa yang digunakan mudah untuk dimengerti,
sesuai pembahasan, .
BUKU PEMBANDING
 Materinya cukup jelas untuk pembaca
 Menarik untuk di baca dan tidak rumit
C. KEKURANGAN BUKU
Kekurangan buku utama

 Kekurangan dari buku yang di review ini dapat dilihat dari penulisan kata-
kata yang kurang disederhanakan sehingga membuat pembaca bingung dalam
menyimpulkan materi.

Kekurangan buku pembanding

 Buku terlalu tebal dan cukup padat isinya


 Materi yang terdapat buku ini tidak sepenuhnya memiliki contoh-contoh yang
seperti biasanya terdapat di setiap pengertian materi,hal ini membuat pembaca
menjadi kesulitan dalam memahami materi.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas
entitas. Pada awalanya hukum internasional diartikan sebagai perilaku dan
hubungan antarnegara. Namun dalam perkembangannya, hukum
internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi
internasional. Hukum Internasional memiliki beberapa istilah yaitu
International law, The Law of Nation, Droit International. Dan Hukum
Antarbangsa. Hukum Internasional dalam penerapannya dibagi menjadi
dua, yaitu hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.

B. SARAN
Isi materi dalam buku tersebut sangat menarik dengan pemaparan
secara sitematis dan detail dalam kajian pengantar ilmu hukum sehingga
kami merekomendasikan bagi pembaca untuk membaca buku ini terutama
bagi yang ingin memahami dan tertarik dengan ilmu Hukum Internasional
karena dapat menambah wawasan kelimuan dan referensi bagi pembaca.
Daftar Pustaka

Heliarta. 2019. Mengenal Hukum Internasional. Tanggerang: Loka Aksara

Adji Samekto. 2009. Negara dalam dimensi hukum internasional. Bandung: PT Citra

Aditya Bakti
LAMPIRAN

BUKU UTAMA

BUKU PEMBANDING

Anda mungkin juga menyukai