Anda di halaman 1dari 1

Cinta kok Bercanda

Esai : Zulfaisal Putera

“Sekali sekali tulislah esai tentang cinta,” usul temanku di suatu sore. Lho, bukannya aku
pernah membahas soal cinta pada beberapa esaiku sebelumnya. “Iya, tapi hanya tempelan. Tulis full-
lah”, tukasnya setengah memaksa. Aku tahu bahwa temanku itu memang sedang kasmaran.
Barangkali dia ingin mencari pencerahan dariku jika aku bisa menulis tentang cinta secara khusus.
Temanku memang sedang galau. Dia bercerita akan keseriusannya menjalin hubungan dengan
seorang perempuan, cantik dan berpendidikan tinggi. Ini tahun ketiga mereka bersama. Selama ini,
dia sudah menunjukkan keseriusannya, baik tutur kata, prilaku, dan segala perhatian. Namun,
terkejutnya dia ketika suatu hari, perempuan itu mengira apa yang dilakukannya hanya bercanda.
Masalahnya? “Iya, bagaimana tidak nyamannya mendengar pernyataannya bahwa selama ini
aku dianggap hanya bercanda! Coba bayangkan, betapa sakitnya!”, katanya mengutip lirik lagu Ebiet
G. Ade. Aku pikir temanku terlalu sense atau baper atau apalah namanya. Bisa jadi perempuannya itu
hanya mengujinya. Di balik itu, perempuannya itu sudah sangat maklum dengan keseriusannya.
Saya yakin setiap orang yang terlibat dalam cinta sesungguhnya sedang memasuki dunia
peperangan. Mereka merencanakan untuk menaklukkan sesuatu dengan berbagai cara. Maka mereka
memerankan diri masing-masing menjadi pejuang bagi dirinya. Segala strategi disiapkan, segala jurus
dijalankan. Demi memperoleh ‘kekuasaan’ atas lawan.
Bisa jadi satu pihak menyerang dan pihak lawan bertahan. Bisa pula satu pihak menyerang dan
pihak lawan menghindar agar takjatuh korban. Namun, bisa pula kedua belah pihak saling menyerang
dan akhirnya berdamai untuk kemenangan bersama. Yang terakhir ini yang biasanya diimpikan
banyak pasangan: happy ending.
Hamka (1908-1981), ulama sekaligus sastrawan ini pernah menyatakan bahwa “Cinta itu
perang, yakni perang yang hebat dalam rohani manusia. Jika ia menang, akan didapati orang yang
tulus ikhlas, luas pikiran, sabar dan tenang hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus asa,
sesat, lemah hati, kecil perasaan dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan pada diri sendiri.”
Jika kita memaknai apa yang dikemukakan Hamka, yang dikenal piawai mengaduk-aduk hati
pembacanya dalam roman “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” atau “Di Bawah Lindungan Ka’bah”,
maka peperangan dalam konteks cinta bukanlah peperangan secara fisik, yang harus berdarah-darah.
Peperangan cinta adalah pertarungan rohani yang sebenarnya juga pertarungan harga diri.
Ada banyak kasus bagaimana kemudian kekalahan dalam peperangan cinta, baik karena cinta
ditolak, cinta diabaikan, cinta diduakan, bahkan cinta yang dianggap sekadar candaan berujung
kepada pengorbanan fisik. Salah satu pihak menjadi gila, bahkan bunuh diri, adalah akhirnya. Semua
akibat dari hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri, seperti yang dikatakan Hamka.
Ada beberapa kisah cinta legendaris yang berakhir tragis. Qays dan Layla (Persia), harus
terpisah karena hubungannya ditentang, walau akhirnya dimakamkan berdampingan. Marcus
Antonius (Yunani) bunuh diri karena mendengar isu Cleopatra mati, dan Cleopatra akhirnya ikut
bunuh diri. Begitu pula kisah Bonnie dan Clyde, Romeo dan Juliet, dan banyak lagi.
Terkadang ada anggapan di sebagian orang bahwa “ah, hanya soal cinta, kok harus bunuh diri
segala!” Ini soal cinta, Bung. Bukan matematika yang bisa dibuatkan rumus dan dihitung. Apakah cinta
takbisa dilogikakan? Pertanyaan ini sudah berabad-abad diajukan orang karena menemui banyak
kasus cinta yang banyak makan korban sehingga seakan-akan mengabaikan akal sehat.
Profesor Stephanie Ortigue dari Syracuse University, New York, menemukan bahwa jatuh cinta
membuat manusia mengalami euforia seperti kecanduan kokain. Euforia tersebut membuatnya sulit
berpikir secara logis sehingga otaknya menjadi bebal dari pengaruh luar. Betul kata Sujiwo Tejo (50),
“Pekerjaan yang paling sia-sia di muka bumi adalah menasihati orang yang sedang jatuh cinta.”
Saya pikir, takperlu panjang-panjang menasihati teman saya yang sedang ‘bermasalah’ tentang
cintanya. Apalagi sekadar dalam bentuk tulisan semacam ini. Tersebab, apa pun nasihatnya, tetaplah
yang dia usung ‘kebenaran’ versinya sendiri tentang apa yang dilakukannya. Namun, saya juga
menyesalkan jika masih ada yang beranggapan bahwa cinta itu hanya bercanda. Emang enak! ***

Anda mungkin juga menyukai