Anda di halaman 1dari 17

Manajemen Bencana Lanjut III

Konseling Pada Korban Bencana

Disusun Oleh :

Dina Anggraini

(P05120218061)

Dosen Pembimbing : Vice Elese

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI DIII JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peran Konselor Sebagai konselor yang professional

Dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari
kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis,
danberkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasiindividu
untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan mamahami,menerima, mengarahkan,
mengambil keputusan, dan merealisasikan diri secarabertanggung jawab sehingga mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan dalamhidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014
Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah). Kegiatan
bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena untuk melakukan
kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan sebagai konselor atau ahli dalam
bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik secara khusus untuk memperoleh kompetensi
sebagai konselor,yaitu meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta
pengalaman dalam bidang bimbingan dan konseling.

Prayitno dan Amti (2004: 110) menjelaskan terapi dalam konsepsi perkembangan
bimbingan dan konseling tidak ada gunanya membedakan tugas dan ruang lingkup kerja
bimbingan dan konseling di sisi lain. Mengingat perkembangan bimbingan dan konseling yang
belum cukup mantap maka istilah bimbingan dan konseling masih dipertahankan, namun dari
segi pelayanan hendaknya menekankan porsi yang lebih besar pada konseling. Layanan
konseling komunitas sangat memperhatikan keadaan individu dan kelompok dalam setiap
pelaksanaan dan tujuan akhirnya. Konseling komunitas didirikan pada tahun 1995 di North
Yorkshire dan menyediakan berbagai layanan terhadap pendidikan orang dewasa dan masyarakat
pada umumnya. Konseling komunitas memberikan bantuan untuk individu atau kelompok
masyarakat yang membutuhkan dan berkelanjutan demi terlaksana kepastian layanan yang
memberikan dukungan dan perubahan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Masyarakat
yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban bencana alam yang bermasalah
dengan keadaan psikologis serta tingkatan social yang memacu untuk menjadikan ia semakin
terpinggirkan.
Pemberian layanan konseling komunitas sangat tepat bagi korban bencana alam yang
akan membantu serta mengarahkan individu dan kelompok masyarakat yang terkena bencana
alam untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara fisik dan psikologis menuju
kesejahteraan yang ingin di capai.

B. Fungsi Konselor

Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang
paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan perannya
bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu,konselor juga bertindak sebagai penasihat,
guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah
yang dihadapinya(Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor
adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam melakukan proses konseling ,
seorang konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus dapat
menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai
pihak yang membantu, menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan
baik permasalahan yang dihadapi klien. Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik
konseling yang digunakan memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini
tergantung dari konsep pendiri teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada konselor
yang menggunakan pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien.
Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis di mana
peran konselor bersifat holistis. Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting
kepribadian konselor. Sikap sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat
bentuknya secara langsung. Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam
perbuatan.

1. Karakteristik konselor

Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum marilah kita lihat beberapa
karakteristik konselor efektif yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Karakteristik inilah yang
wajib dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai keberhasilannya dalam proses konseling.
Kita awali dari pandangan Carl Rogers sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (dikutip
dari lesmana, 2005) menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang
konselor, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.

a. Congruence

Menurut pandangan Rogers, seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen.


Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami dirinya sendiri.
Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi. Konselor harus sungguh-sungguh
menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi kekurangan yang ada pada dirinya.

b. Unconditional positive regard

Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan yang
tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani kehidupannya dengan membawa
segala nilai-nilai dan kebutuhan yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia
memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah,
konselor harus memberikan kepercayaan kepad klien untuk mengembangkan diri mereka.

c. Empathy

Empathy di sini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor harus dapat
menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut didalam nilai-nilai klien.
Selain tiga karakteristik yang dikemukakan Rogers tersebut, seorang konselor yang berperan
sebagai "pembantu" bagi klien harus memiliki karakteristik yang positif untuk menjamin
keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam hal ini, Latipun (2001) membaginya
dalam dua aspek utama, yaitu:

1) Keahlian dan ketrampilan

Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan
menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan ketrampilan wajib dipenuhi
oleh konselor yang efektif.

2) Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses konseling.
Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor. Comb A (dikutip dari latipun
2001) mengungkapkan bahwa kepribadian konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata
bagi konselor, akan tetapi dapat dijadikan dengan instrumen dalam meningkatkan kemampuan
dalam membantu kliennya.

C. Tindakan Konselor

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari keseluruhan pendidikan di


sekolah yang berupaya membantu siswa memahami diri, menyesuaikan diri, memecahkan
masalah, membuat pilihan dan merealisasikan dirinya dalam kehidupan nyata serta
mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai perkembangan optimal. Konselor
sekolah adalah penyelenggara kegiatan konseling di sekolah. Istilah konselor secara resmi
digunakan dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 6 dengan menyatakan
konselor adalah pendidik dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2005 menyatakan konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah yang sebelumnya
menggunakan istilah BP, guru BP/BK dan guru pembimbing, untuk itu konselor sekolah
mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, hak secara penuh dalam pelayanan bimbingan
dan konseling terhadap sejumlah siswa. Secara umum tugas konselor sekolah adalah
bertanggung jawab untuk membimbing, membina dan membantu siswa sehingga memiliki
kepribadian yang matang dan mengenal potensi dirinya yang menyeluruh.

D. Sosok Utuh Kompetensi Konselor

Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional


sebagai satu keutuhan.Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan
pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan
bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi:

a) Memahami secara mendalam konseling yang dilayani,

b) Menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,

c) Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan


d) Mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut
yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi
akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Konselor berusaha menjajaki atau menaksir
kemungkinan mengembangkan isu atau masalah, dan merancang bantuan yang mungkin
dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai
alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.

E. Standar Kompetensi Konselor

Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di samping kode etik
sebagai regulasi perilaku profesi dan kredensi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem
pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat perilaku efektif
yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan
perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai
tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya
melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat (lifelong learning
process). Kompetensi profesi konselor merupakan keterpaduan kemampuan personal, keilmuan
dan teknologi, serta sosial yang secara menyeluruh membentuk kemampuan standar profesi
konselor.

F. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam

Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor adalah
Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan pemberi bantuan
dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan layanan berdasarkan
prinsip umum berikut:

1. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam

sebagai daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong
kemandirian dari pada ketergantungan.
2. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
3. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah atau
mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/memberikan treatment.
4. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang mendukung
pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
5. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
6. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada masyarakat
dan budaya yang ada disana.
7. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
8. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten. Terutama
tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat dalam praktik yang
efektif.
G. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana
Alam

Menurut Drummond (2000: 5) di beberapa negara, seseorang yang ingin menjadi


konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon konselor harus mampu menunjukkan
kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:

1. Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar


kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
2. Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
3. Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
4. Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
5. Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
6. Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
7. Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
8. Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian layanan
konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor tentunya harus sesuai dan tepat pada
sasaran yaitu individu atau kelompok korban bencana alam. Bantuan tersebut harus
sesuai dengan keadaan individu dan kelompok masyarakat yang memiliki pandangan
serta kultur atau budaya yang berbeda, konselor harus mampu secara lisan maupun
tulisan dalam memberikan layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam.
DAFTAR PUSTAKA

Andika, A. S. (t.t.). PERAN KONSELOR DALAM MEMBERIKAN LAYANAN KONSELING


KOMUNITAS BAGI KORBAN BENCANA ALAM DI INDONESIA. Prosiding
Seminar Nasional Konseling Krisis.

Drummond, Robert J. 2000. Appraisal procedurs For Counselor and Helping Professionals
Fourth Edition. Merril an Imprint of Prentice Hall Upper Saddle River, New Jersey,
Columbus, Ohio.

Judith A. Lewis., Michael D. Lewis., Judy A. Daniels., at al. 2010. Community Counseling: A
Multicultural-Social Justice Perspective. Belmont, USA: BROOKS/COLE Cengage
Learning.

Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah. Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar- Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Manajemen Bencana Lanjut III

Post Traumatic Syndrome Disorder

Disusun Oleh :

Dina Anggraini

(P05120218061)

Dosen Pembimbing : Vice Elese

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI DIII JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
TAHUN AJARAN 2020/2021
Bab II

Pembahasan

A. Post Traumatic Syndrome Disorder

Posttraumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi


setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). Peristiwa yang
menimbulkan trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera,
kekerasan di jalanan, kecelakaan lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana
alam lainnya (Nutt, 2009). Peristiwa ini dianggap traumatik karena dialami oleh anak-anak dan
remaja yang dirasakan kemampuannya untuk mengatasinya. Selama peristiwa traumatik ada
rekrutmen dari adaptif, stressmediating sistem syaraf (misalnya hypothalamic adrenal pituitary
dan sistem syaraf simpatik) yang pada gilirannya menghasilkan adaptif fisiologis, emosional dan
kognitif. Anak yang mengalami Gangguan Stres Pasca Traumatik (PTSD) ini unik diantara
gangguan yang sejenisnya pada masa kanakkanak dan remaja. Peristiwa yang menimbulkan
trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera, kekerasan dijalan raya,
trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana alam.

Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti, yaitu
reexperiencing,penghindaran, danhyperarousal, yangbertahan selama lebih dari 1 bulan. Selama
perawatan psikologis, atau dalamkinerjaaktivitas sehari-hari, gejala inti dapat menyebabkan
kecemasan berlebihan, yang dapat menimbulkan hambatan dalam mengekspresikan emosi
perasaan, keyakinan, dan reaksiyang tidak bisa dilakukan secara signifikan. Selain ituPTSD
ditandai dengan sekelompok gejala yang mencakup pikiran yang terus menerus terganggu,
penghindaran, dan hyperarousal. Tanda-tanda ini dapat ditunjukan melalui perilaku seperti
impulsif, agresi, atau bahkan depresi (American Psychiatric Association [APA], 2000; Davis,
Inggris, Ambrose, & Petty, 2001 dalam Levers, 2012 ). Klasifikasi umum jenis trauma psikologis
atau fisik yang dapat menginduksi PTSD mencakup penyalahgunaan (mental, fisik, seksual, atau
lisan), bencana (kecelakaan, bencana alam, atau terorisme), serangan kekerasan (kekerasan,
perkosaan, atau baterai), dan eksposur (obyek yang rentan terhadap resiko).Traumatis dan distres
jangka pendek kebnayakan terjadi pada anak-anak dan remaja. Ketahanan dalam menghadapi
traumatic tersebut biasanya menghasilkan penurunan baik secara psikologis maupun gangguan
perkembangan yang normal ( APA, 2008 dalam Journal InternasionalAngie J. Smith September
26, 2014). Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa Pasien yang terus mengembangkan PTSD
(gangguan stres pasca trauma) setelah terpapar stresdan peristiwatraumatikmenunjukkan tanda-
tanda khas dari gangguan tersebut, yang meliputi reexperiencing (gejala mengalami kembali
peristiwa yangmenyebabkantrauma),menghindar dari lingkungan, danhyperarousal (teragitasi).
Selanjutnya, gejala inidiungkapkan dalam hubungannya dengan perasaan takut dan tidak
berdaya. Seperti halnya yang dikemukakan dalam Jurnal Internasional Khusus Pendidikan,
Vivian ( Vol 28, No; 1, 2013) mengukur bahwa Skala yang diukur dua dimensi dari PTSD:
intrusi terkait trauma dan menghindari seperti kesulitan tidur, merasa seolah-olah itu tidak terjadi
atau tidak nyata, mencoba untuk tidak berbicara tentang hal itu, merasa mudah tersinggung dan
marah. Timbulnya gangguan ini juga ditandai dengantigasubtipe yang berbeda dari PTSD, yaitu:
akut, kronis, dan onset/gejalayangtertunda. Subtipe PTSD akut memiliki onset/tanda-tanda atau
gejala suatu penyakit yang sangat cepat setelah gejala tersebut, dengan gejala yang berlangsung
kurang dari 3 bulan. Gejala PTSD kronis dapat berlangsung 3 bulan atau lebih. Akhirnya, gejala
pasien tertunda mungkin mulai mengalami gejala PTSD 6 bulan atau paparan berikut lebih lama
untuk peristiwa traumatis (APA, 2000dalam Levers, 2012). Diakui bahwa peristiwa traumatis
dapat menyebabkan reaksi psikologis yang signifikan (Nutt,2009).

Empat jenis yang berbeda dari respon telah dijelaskan (Nutt,2009) :

1. Respon tangguh di mana tidak ada gejala psikologis yang hadir tak lama setelah
kejadian atau kemudian,
2. Respon tertunda di mana gejala psikologis secara bertahap berkembang dari
waktu ke waktu, respon berkepanjangan di mana gejala psikologis nyata segera
dan tidak berkurang dari waktu ke waktu respon pemulihan di mana individu
pengalaman gejala psikologis awalnya yang kemudian secara bertahap
mengurangi dari waktu ke waktu.

Trauma psikologis dapat menyebabkan perubahan yang tidak signifikan dalam


neurochemicaldanfungsineurobiologis. Trauma kehidupan awal telah terbukti menjadi faktor
risiko tidak bisa signifikan untuk pengembangan penyakit jiwa di kemudian hari, termasuk
PTSD, gangguan kecemasan lainnya, dan depresi (Levers, 2012). Perubahan neurobiologis dan
neurokimia yang terjadi sebagai akibat dari stres kehidupan awal akan mengendap dan
terekspresikandikemudian hari (Heim & Nemeroff, 1999, 2001). Menurut SAMHSA (2011)
mengatakan bahwa Pada tahun 2009, Johnsen dan Asbjørnsen mempelajari peran strategi
encoding dalam mempelajari materi baru pada pasien dengan PTSD dan menemukan bukti
penggunaan gangguan strategi organisasi, menunjukkan bahwa gangguan tersebut mengganggu
proses eksekutif digunakan sambil belajar materi baru. Para peneliti nyarankan-gested yang
spesifik c intervensi diarahkan ini gangguan memori verbal dapat memberikan veteran dengan
prognosis pendidikan yang lebih baik. Pasien datang dengansikapgugup, agitasi, gangguan tidur,
hypervigilance, dan memori pengolahan pikiran yang meningkat yang terpusat pada otak dan
sumsum tulang belakang. Pasien dapat hadir dengan gejala fisiologis atau somatik kecemasan,
seperti tekanan darah tinggi; pernapasan yang cepat dan dangkal; serta tremor. Tipe lain dari
perubahan fisiologis yang unik untuk PTSD, berbeda dengan gangguan kecemasan lainnya,
melibatkan SSP dan adaptasi perifer respon tubuh terhadap hormon corticotropin-releasing
(CRH) dari kelenjar hipofisis, yang terletak di bagian anterior basal otak(Levers, 2012).

Levers (2012) mengatakan bahwa pasien yang mengalami hubungan yang kasar, korban
kekerasan fisik atau mental, hidup yang penuh serangan kekerasan atau overtures, menyaksikan
tindakan kekerasan atau peristiwa traumatis, atau berada pada situasi kekerasan atau
mengganggu tidak selalu menyebabkan seseorang untuk mengembangkan PTSD. Pengalaman
menyaksikan dan mengalami KDRT adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan
dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa
aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta
kemarahan. Pengalaman traumatis anak menyaksikan dan mengalami KDRT sering ditemukan
sebagai prediktor munculnya problem psikologis di masa depan, seperti: penelantaran dan
pelecehan secara fisik dan psikologis pada anak. problem perilaku eksternalinternal, serta
berbagai perilaku beresiko seperti merokok, penyalahgunaan zat dan perilaku seks beresiko.

B. Penyebab

Dari berbagai penyebab terjadinya gejala atau gangguan stress pasca traumatis yang
dialami oleh beberapa anak dan remaja maka perlu adanya intervensi yang diberikan oleh
konselor serta dukungan dari orang terdekat yaitu orang tua untuk membantu proses
penyembuhan anak atau remaja yang mengalami PTSD. Tergantung dari tingkat PTSD yang
diderita ( kronis, akut, parah dan ringan). Orang yang didiagnosis dengan PTSD ringan mungkin
tidak perlu obat dalam proses psikoterapi. Namun pasien dengan diagnosa PTSD ringan kronis,
PTSD akut, dan PTSD kronis yang parahakandiberikanmodalitas pengobatan ganda yang
kombinasikan oleh farmakoterapi dan psikoterapi. Oleh karena itu, pilihan apakah iya atau tidak
untuk menggunakan obat didasarkan pada keparahan dan durasi gejala. Remaja yang mengalami
PTSD, menghadapi kesulitan dalam sosial, akademik, kognitif dan emosional, dan penderita
PTSD yang tidak bisa dtitangani dengan cepat adalah berada pada meningkatnya resiko bunuh
diri, bahkan upaya untuk bunuh diri. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut
memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap
masalah dan tekanan yang menimpa mereka terutama pada anak-anak atau remaja. Konsep untuk
memecahkan permasalahan ini disebut dengancoping.

Kata coping sendiri berasal dari katacopeyang dapat diartikan sebagai menghadapi,
melawan ataupun mengatasi, walaupun demikian belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang
tepat untuk mewakili istilah ini. Pengertian coping hampir sama dengan penyesuaian
(adjustment). Perbedaannya, penyesuaian mengandung pengertian yang lebih luas jika
dibandingkan dengan coping, yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari
lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada
bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan (Rustiana, 2003 dalam Jurnal Ilmiah
Berskala Psikologi, Vol 11 No 1, 2012 ). Menurut Qun G. Jiao, (Volume 16 Nomor 2, 2013)
penelitian yang dilakukan adalah dengan penelitian yang telah berfokus pada bereksperimen dan
menilai praktik pembelajaran yang efektif yang dipercaya untuk membantu mengurangi
kecemasan dan perasaan negatif yang terkait dengan kursus metodologi penelitian.

Menurut Taylor (dalam Jurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol. 11; No 1, 2012) terdapat
empat tujuancoping, yaitu:

1. Mempertahankan keseimbangan emosi,

2. Mempertahankanselfimageyang positif,

3. Mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif,

4. Tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.


Menurut Lazarus dan Folkman (dalamJurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol 11 No 1,
2012) coping terdiri atas strategi yang bersifat kognitif dan behavioral. Strategi tersebut adalah:
a. Strategi yang digunakan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stres (Problem Focused
Coping). Problem Focused Coping adalah strategi dengan cara menyelesaikan masalah yang
dihadapi, sehingga individu segera terbebas dari masalahnya tersebut.

C. Strategi

Bentuk strategi coping ini adalah:

1) Exercised Caution (Cautiousness). Individu berpikir dan mempertimbangkan


beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta pendapat orang
lain, berhatihati dalam memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang
pernah dilakukan sebelumnya.
2) Instrumental Action. Tindakan individu yang diarahkan pada penyelesaian
masalah secara langsung, serta menyusun langkah yang akan dilakukannya.
3) Negotiation (Negosiasi), merupakan beberapa usaha oleh seseorang yang
ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab masalahnya
untuk ikut menyelesaikan masalah.

Strategi coping untuk mengatasi emosi negatif yang menyertainya (Emotion Focused
Coping). Strategi ini untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber
stres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung.
Bentuk strategi coping ini adalah:

1) Escapism (Menghindar). Perilaku menghindari masalah dengan cara


membayangkan seandainya berada dalam suatu situasi lain yang lebih
menyenangkan, menghindari masalah dengan makan ataupun tidur, bisa juga
dengan merokok ataupun meneguk minuman keras.
2) Minimization (Pengabaian). Tindakan menghindari masalah dengan menganggap
seakan-akan masalah yang tengah dihadapi itu jauh lebih ringan daripada yang
sebenarnya.
3) Self Blame (Menyalahkan Diri). Merupakan strategi yang bersifat pasif yang
lebih diarahkan ke dalam, daripada usaha untuk keluar dari masalah.
4) Seeking Meaning(Berdoa). Suatu proses dimana individu mencari arti kegagalan
yang dialami bagi dirinya sendiri dan mencoba mencari segi-segi yang
menurutnya penting dalam hidupnya. Dalam hal ini individu coba mencari
hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari masalah yang telah dan sedang
dihadapinya.

Manfaat dari strategi coping adalah pada intinya agar seseorang tetap dapat melanjutkan
kehidupan selanjutnya walaupun memiliki masalah, yaitu untuk mempertahankan keseimbangan
emosi, mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau
menyesuaikan diri terhadapkajian negatif dan tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan
dengan orang lain (Firdaus, 2004 dalam Jurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol 11 No 1,
2012 ).Coping merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi memecahkan, mengurangi dan
menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hapsari, dkk, 2002, dalam Jurnal Ilmiah Berskala
Psikologi, Vol 11 No 1, 2012). Perilaku coping juga diartikan sebagai tingkah laku dimana
individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan tugas
atau masalah. Jika individu dapat menggunakan perilaku copingnya dengan baik maka ia dapat
melakukan penyesuaian sosial dengan baik pula. Terutama strategi yang diterapkan pada anak
dan remaja yang mengalami pasca traumatic denga tujuan agar mereka dapat menyesuaikan
dengan lingkungannya serta dapat menjalani kehidupan layaknya anak dan remaja lain yang
sehat dan normal.

Menurut Levers (2012) apabila klien atau pasien yang datang dengan efek samping tak
tertahankan, seperti memburuknya kecemasan, mual, sakit kepala, pusing, atau tidak
terkendalinya aspek psikomotorik perlu dirujuk ke dokter untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Oleh karena itu, aksesibilitas konselor harus ditambah dengan membangun terapi aliansi,
memberikan fasilitas "rumah kliring" yang sempurna untuk perbaikan gejala psikologis, sambil
menghindari efek samping atau efek samping obat yang mungkin menyebabkan pasien menjadi
individu atau kelompok kecanduan pengobatan bagi penderita PTSD berat atau kronis. Hal ini
bukan berarti bahwa konselor bertanggung jawab untuk semua aspek klinis perawatan. Tetapi
konselor memberikan intervensi kepada klien penderita PTSD dengan menggunakan strategi
coping yang diberikan kepada penderita PTSD.
Maka dari itu, Profesional kesehatan perlu menyadari munculnya gejala psikologis dari kondisi
krisis dan gangguan pasca trauma, sehingga mereka dapat melakukan perujukan pasien
kepada tim perawatan yang lebih spesifik secara tepat. Perawatan terpadu antara ranah
kesehatan dan profesional kesehatan mental mencakup segala aspek, sehingga semua
aspek perawatan pasien dapat dikelola dengan baik. Dalam hal ini konselor menerapkan
strategi coping yang digunakan pada anak dan remaja dalam mengelola gangguan
emosi, gangguan stres serta kecemasan yang mereka alami agar supaya mereka dapat
menangani atau mengelola emosi mereka dengan baik dalam menghadapi permasalahan
yang dialaminya secara mandiri.

Anda mungkin juga menyukai