Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FITOKIMIA
“INFUNDASI”

Dosen Pengampu : Nur Ermawati, M. Farm., Apt.

Nama : Nurul Azizah


NPM : 1118005621
Semester/Kelompok : 4/B

PRODI STUDI D-III FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2020
PRAKTIKUM 4
INFUNDASI
I. TUJUAN PERCOBAAN
Mahasiswa dapat melakukan penyarian senyawa metabolit sekunder dari simplisia
tanaman obat dengan metode infundasi.
II. TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa dapat memahami dan dapat melakukan
penyarian senyawa metabolit sekunder dari simplisia tanaman obat dengan cara sederhana
namun terandalkan.
III. DASAR TEORI
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah
dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif  yang terdapat dalam berbagai
simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-
lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat ( Ditjen POM, 1995)
Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Kemudian,
sebagian atau seluruh bagian pelarut diuapkan hingga menyisakan serbuk/kerak (crude).
Serbuk yang tersisa kemudian diperlakukan dngan beberapa perlakuan yang berbeda untuk
mendapatkan hasil atau memenuhi baku yang telah ditentukan. (Ditjen POM, 1995)
 Pemilihan pelarut

Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat kandungan kimia
(metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran, dapat
dilihat dari gugus polar senyawa tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih
mudah larut dalam pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam
pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan dielektrik, makin besar
tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut (Ditjen POM, 1992).

Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut (Ditjen POM, 1992):

1. Kapasitas besar
2. Selektif
3. Volabilitas cukup rendah (kemudahan menguap/titik didihnya cukup rendah) Cara
memperoleh penguapannya adalah dengan cara penguapan diatas penangas air dengan

wadah lebar pada temperature 60oC, destilasi, dan penyulingan vakum.


4. Harus dapat diregenerasi
5. Relative tidak mahal
6. Non toksik, non korosif, tidak memberikan kontaminasi serius dalam keadaan uap
7. Viskositas cukup rendah

 Pemilihan metode ekstraksi

Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan yang


mengandung mucilago dan bersifat mengembang kuat hanya boleh dengancara maserasi.
sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi. untuk bahan yang tahan panas sebaiknya
diekstrasi dengan cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karna pemanasan dapat
diekstrasi dengan metode soxhlet (Agoes, 2007).

Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes, 2007):

1. Bentuk/tekstur bahan yang digunakan

2. Kandungan air dari bahan yang diekstrasi

3. Jenis senyawa yang akan diekstraksi

4. Sifat senyawa yang akan diekstraksi

 Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya unuk menyari kandungan zat aktif
yang ada pada sediaan tanaman yang larut dalam air. Penyarian adalah peristiwa
memindahkan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik ole cairan penyari
sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari (Anonim, 1986). Sistem pelarut yang digunakan
dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah
maksimal zat aktif dan seminimal mungkin zat yang tidak digunakan. ( Ansel, 1989)
Farmakope Indonesia menetapkan untuk proses penyarian sebagai cairan penyari
digunakan air, etanol – air, eter. Penyarian pada pembuatan obat di Indonesia masih terbatas
pada penggunaan cairan penyari air, etanol atau etanol – air. ( Depkes RI, 1979 )
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air pada
suhu 900 C selama 15 menit. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil
dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan cara
ini tidak boleh dsimpan lebih dari 24 jam.
Infusa dibuat dengan membasahi bahan bakunya, biasanya dengan air dua kali bobot
bahannya. Penyaringannya dilakukan pada saat cairan masih panas dengan kain flanel,
kecuali bahan yang mudah menguap ( Anonim, 1986).
a) Cara Kerja Infundasi
Simplisia yang telah dihaluskan sesuai dengan derajat kehalusan yang telah ditetapkan
dicampur dengan air secukupnya dalam sebuah panci. Kemudian dipanaskan dalam tangas air
selama 15 menit, dihitung mulai suhu dalam panci mencapai 900C, sambil sekali-sekali
diaduk. Infuse diserkai sewaktu masih panas melalui kain flannel. Untuk mencukupi
kekurangan air, ditambahkan air mendidih melalui ampasnya. Infuse simplisia yang
mengandung minyak atsiri harus diserkai setelah dingin. Infuse asam jawa dan simplisia yang
berlendir tidak boleh diperas. Infuse kulit kina biasanya ditambah dengan asam sitrat
sepersepuluh dari bobot simplisia. Asam jawa sebelum dipakai dibuang bijinya dan sebelum
direbus dibuat massaseperti bubur. Buah adas dan dan buah adas manis dipecah terlebih
dahulu.
b) Keuntungan Infundasi
- Unit alat yang dipakai sederhana,
- Biaya operasionalnya relatif rendah
c) Kerugian Infundasi
- Zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian akan mengendap kembali,apabila
kelarutannya sudah mendingin.(lewat jenuh)
- Hilangnya zat-zat atsiri
- Adanya zat-zat yang tidak tahan panas lama,dismping itu simplisia yang
mengandung zat-zat albumin tentunya zat ini akan menggumpal dan
menyukarkan penarikan zat-zat berkhasiat tersebut. ( Ansel, 1989)
 Daun Sirih
a. Klasifikasi Tanaman Sirih (Piper betle

L.)

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Famili :Piperaceae
Genus : Piper

Spesies : Piper betle L (Dalimartha, S. 2006)

b. Morfologi Tanaman Sirih (Piper betle L.)


Tanaman sirih merupakan tanaman yang tumbuh memanjat, tinggi 5 cm-15
cm. Helaian daun berbentuk bundar telur atau bundar telur lonjong. Pada bagian
pangkal berbentuk jantung atau agak bundar, tulang daun bagian bawah gundul atau
berbulu sangat pendek, tebal berwarna putih, panjang 5-18 cm, lebar 2,5 - 10,5 cm.
Daun pelindung berbentuk lingkaran, bundar telur sungsang atau lonjong panjang
kira-kira 1 mm. Perbungaan berupa bulir, sendiri-sendiri di ujung cabang dan
berhadapan dengan daun. Bulir bunga jantan, panjang gaggang 1,5 - 3 cm, benang
sari sangat pendek. Bulir bunga betina, panjang gaggang 2,5 – 6 cm, kepala putik 3 –
5. Buah Buni, bulat dengan ujung gundul. Bulir masak berbulu kelabu, rapat, tebal
1– 1,5 cm. Biji berbentuk bulat. (Dalimartha, S. 2006)

c. Kandungan Kimia Daun Sirih (Piper betle L.)


Kandungan kimia daun sirih antara lain saponin, flavonoid, polifenol, dan
minyak atsiri triterpenoid, minyak atisiri (yang terdiri atas khavikol , chavibetol,
karvakrol , eugenol , monoterpena,estragol), seskuiterpen, gula, dan pati. (Hutapea, J.R.
2000)
d. Kegunaan Daun Sirih (Piper betle L.)
Daun Sirih mempunyai khasiat sebagai obat batuk, obat bisul, obat sakit
mata, obat sariawan, obat hidung berdarah(mimisan). (Hutapea, J.R. 2000)
 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pertama kali dikembangkan oleh Izmailoff dan
Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar , yang fase diamnya
berupa lapisan seragam (uniform) pada permukaan bidng datar yang didukung oleh lempeng
kaca, plat aluminium, atau plat plastik (Gandjar dan Rohman, 2007).
- Kelebihan dan Kekurangan Kromatografi Lapis Tipis

a) Beberapa kelebihan KLT yaitu:


1. KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan analisis.
2. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
3. Dapat dilakukan elusi secara mekanik (ascending), menurun (descending),
atau dengan cara elusi 2 dimensi.
4. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan
ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
5. Hanya membutuhkan sedikit pelarut. (Gandjar dan Rohman, 2007).

b). Adapun kekurangan KLT yaitu :


1. Butuh ketekunan dan kesabaran yang ekstra untuk mendapatkan bercak/noda
yang diharapkan.
2. Butuh sistem trial and eror untuk menentukan sistem eluen yang cocok.
3. Memerlukan waktu yang cukup lama jika dilakukan secara tidak tekun.
(Gandjar dan Rohman, 2007).
- Prinsip Kerja Kromatografi Lapis Tipis

Pada dasarnya KLT digunakan untuk memisahkan komponen-komponen berdasarkan


perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang. KLT
sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara pelaksanaannya. Perbedaan
nyata terlihat pada fase diamnya atau media pemisahnya, yakni digunakan lapisan tipis
adsorben sebagai pengganti kertas.
Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan kesetimbangan
antara fase diam dan fasa gerak, dimana ada interaksi antara permukaan fase diam dengan
gugus fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi yang telah berinteraksi dengan fasa
geraknya. Kesetimbangan ini dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : kepolaran fase diam,
kepolaran fase gerak, serta kepolaran dan ukuran molekul (Stahl, E. 1985)
- Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan media dalam KLT yang juga
mempengariuhi nilai Rf yaitu (Harbone, J.B. 1978) :
a. Struktur kimia dan senyawa yang sedang dipisahkan
b. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya
c. Suhu dan kesetimbangan
d. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak.
e. Derajat kejenuhan.
IV. ALAT DAN BAHAN

No Alat Bahan
1. Panci Serbuk daun sirih
2. Kain Flanel Aquadest
3. Gelas ukur Kloroform
4. Lap Metanol
5. Corong Rutin
6. Sendok tanduk
7. Batang pengaduk
8. Pipa Kapiler
9. UV 254
10. Beaker glass
11. Aluminium foil

V. CARA KERJA

1,Sebanyak 10 gram serbuk daun sirih dimasukkan ke dalam panci dan ditambahkan
dengan air suling sebanyak 100mL.

2. Panci tersebut dimasukkan ke dalam panci yang lebih besar dan telah berisi air

3.Kemudian dipanaskan pada suhu 900C selama 15 menit.

4. Infus disaring dalam keadaan panas menggunakan kain flanel.

5. Jika volume kurang dari 100mL, maka ditambahkan dengan air hangat melalui residu
infusa hingga volumenya mencapai 100 mL

Pemeriksaan Parameter Ekstrak


a. Organoleptis Ekstrak

1. Disiapkan Ekstrak yang diperoleh



2.Diamati dan dideskripsikan mengenai bentuk, warna, bau, dan rasa dari ekstrak tersebut

3.Dicatat hasil pengamatan di lembar kerja

b. Rendemen Ekstrak

1.Disiapkan untuk ekstrak yang diperoleh



2.Dihitung rendemen ekstrak tersebut dengan menggunakan rumus
berat ekstrak total
Rendemen(%) = x 100
berat simplisia
c. Pola Kromatografi Lapis Tipis

1. Pelat silika gel disiapkan dengan ukuran tertentu.



2.Sebelum dilakukan penotolan sampel, fase diam harus diaktifkan dengan cara
dipanaskan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 1100 C selama 15 menit.

3.Selanjutnya larutan uji dan pembanding ditotolkan pada garis awal dengan
menggunakan pipa kapiler, biarkan beberapa saat hingga pelarutnya menguap.

4.Plat silika kemudian dimasukkan dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah
dijenuhkan dengan cairan pengembang.

5.Proses komatografi dihentikan sampai cairan pengembang sampai ke garis depan.

6.Amati pola kromatografi di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm dan hitung nilai Rf
setiap bercak yang teramati.
Jarak yang ditempuh senyawa
Rf=
Jarak yang ditempuh fase gerak .
VI. DATA DAN HASIL PERCOBAAN
1. Organoleptis Ekstrak

Organoleptis Keterangan
Bentuk Ekstrak cair
Warna Coklat kehijauan
Rasa Pahit
Bau Bau khas daun sirih

2. Rendemen Ekstrak

Percobaan Hasil
Bobot ekstrak 98 gram
Bobot simplisia 10 gram
Rendemen ekstrak 980 % b/b

3. Pola Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Sampel Jarak yang Jarak yang Rf HRf


ditempuh ditempuh eluent
sampel
Serbuk daun sirih 6,3 cm 7,5 cm 0,84 84

VII. DATA PERHITUNGAN


1. Perhitungan Rendemen Ekstrak

berat ekstrak total


Rendemen ( % )= × 100
berat simplisia

98
= × 100
10

= 980 % b/b

2. Perhitungan Rf

Jarak yang ditempuh senyawa


Rf =
Jarak yang ditempuh fase gerak .
6,3
=
7,5
= 0,84
HRf = 0,84 × 100
= 84

VIII. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kami melakukan penyarian senayawa metabolit sekunder dari
simplisia daun sirih dengan metode infundasi. Infundasi merupakan metode penyarian
dengan cara menyari simplisia dalam air pada suhu 900C selama 15 menit. Infundasi
merupakan penyarian yang umum dilakukan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut
dalam air dari bahan-bahan nabati.
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu panci, beaker glass,
kain flanel, gelas ukur, lap, corong, sendok tanduk, batang pengaduk, pipa kapiler, UV 254,
kertas saring dan aluminium foil. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan diantaranya
serbuk daun sirih, aquadest,kloroform,metanol.
Kemudian, dilakukan pengekstraksian yang mana ditimbang sebanyak 10 gram
serbuk daun sirih dimasukkan kedalam panci dan ditambahkan dengan air suling sebanyak
100 ml. Panci tersebut dimasukkan ke dalam panci yang lebih besar dan telah berisi air dan
dipanaskan pada suhu 900C selama 15 menit. Digunakan suhu 900C karena diperuntukkan
untuk simplisia yang tidak tahan panas dan bertekstur lunak. Infus disaring dalam keadaan
panas menggunakan kain flanel dan jika volume kurang dari 100 mL, maka ditambahkan
dengan air hangat melalui residu infusa hingga volumenya mencapai 100 mL.
Penyarian infus yang dilakukan pada saat panas digunakan untuk simplisia yang tidak
mengandung minyak atsiri karena ada senyawa senyawa yang hanya dapat larut dalam
keadaan panas seperti saponin,glukosa,dan tanin. Pada saat dingin senyawa-senyawa tersebut
dapat mengendap sehingga susah disaring. Sedangkan untuk simplisia yang mengandung
minyak atsiri sebaiknya disaring dingin dengan tujuan agar minyak atsirinya tidak menguap
bersama-sama dengan uap air,minyak atsiri dalam keadaan dingin tidak mengendap karena
konsistensinya berupa cairan. Penyaringan menggunakan kain flanel bertujuan untuk
mengisolasi larutan dari padatan.
Setelah terbentuk ekstrak, maka dilakukan pemeriksaan parameter ekstrak yang mana
bertujuan untuk mengetaui kualitas ekstrak dilihat dari sifat fisik dan kandungan kimianya.
Yang pertama dilakukan adalah pemeriksaan organoleptis ekstrak yang mana dilakukan
dengan menggunakan panca indera dengan mendeskripsikan bentuk,warna,bau,dan rasa dari
ekstrak yang diperoleh. Untuk ekstrak yang dihasilkan pada perobaan ini yaitu berbentuk
ekstrak cair,warna coklat kehijauan, rasa pahit, dan bau khas daun sirih
Untuk selanjutnya dilakukan perhitungan rendemen ekstrak. Rendemen ekstrak
diperoleh berdasarkan perbandingan berat ekstrak yang diperoleh (total) dengan berat
simplisia yang digunakan dikalikan dengan 100, sesuai yang dicantumkan pada persamaan:
berat ekstrak total
Rendemen ( % )= × 100
berat simplisia
Pada percobaan ini diperoleh bobot ekstrak yaitu 98 gram, bobot simplisia 10 gram.
Jadi untuk rendemennya diperoleh sebesar 980 % b/b. Dari haisil tersebut sesuai dengan
literatur yang mana rendemen ekstrak daun sirih disyaratkan dalam Farmakope Herbal
Indonesia dalah tidak kurang dari 5% (Depkes RI, 2008)
Hasil rendemen tersebut, menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai rendemen yang
dihasilkan menandakan nilai minyak atsiri yang dihasilkan banyak. Kualitas ekstrak yang
dihasilkan biasanya berbanding terbalik dengan jumlah rendemen yang dihasilkan. Semakin
tinggi nilai rendemen yang dihassilkan maka semakin rendah mutunya. (Rochim,Armando.
2016)
Besar kecilnya nilai rendemen merupakan parameter yang menentukan keberhasilan
suatu proses ekstraksi. Besarnya rendemen yang diperoleh pada proses ekstraksi juga
meggambarkan jumlah penarikan senyawa zat aktif pada zat. Efektivitas proses ekstraksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis pelarut, ukuran partikel, metode ekstraksi,
dan lama proses ekstraksi.(Salamah,dkk. 2017)
Setelah itu, dilakukan pengujian dengan metode kromatografi lapis tipis. Prinsip dari
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah pemisahan senyawa berdasarkan kepolaran dan
interaksinya dengan fase diam dan fase gerak. Adapun keuntungan dari metode KLT yaitu
peralatan yang diperlukan sederhana,waktu analisis cepat, hasil pemisahan lebih baik,daya
pemisahan tinggi, pengerjaannya sederhana dan mudah serta harganya terjangkau. Sedangkan
kerugiannya dari KLT yaitu harga Rf yang tidak tetap, pemilihan fase diam terbatas, dan
koefisien distribusi atau serapan seringkali tergantung pada kadar total sehingga
pemisahannya kurang sempurna. (Gritten,RJ.dkk. 1991)
Yang pertama dilakukan pada pengujian dengan KLT ini yaitu disiapkan terlebih
dahulu fase gerak yang menggunakan kloroform dan methanol dengan perbandingan 9:1.
Tujuan digunakannya fase gerak dengan perbandingan yang berbeda-beda ialah untuk
memisahkan senyawa sesuai dengan kepolarannya. Melihat dari fase gerak dan fase diam
yang digunakan ini, diharapkan senyawa akan terpisah dengan baik berdasarkan
kepolarannya dimana senyawa yang lebih non polar akan lebih terikat dengn fase gerak dan
senyawa yang lebih polar akan terikat pada fase diam. Semakin tinggi polaritas eluen, maka
nilai Rf nya juga semakin tinggi. (Sastrohmidjojo,H. 1985)
Setelah itu, dimasukkan kertas saring ke dalam chamber lalu ditunggu fase gerak
jenuh hingga fase gerak membasahi kertas saring. Tujuan dilakukan penjenuhan pada fase
gerak adalah untuk `memstikan partikel fase gerak terdistribusi merata pada seluruh bagian
chamber sehingga proses pergerakan spot di atas fase diam oleh fase gerak berlangsung
optimal, dengan kata lain penjenuhan yang dilakukan berfungsi untuk mengoptimalkan
naiknya eluent dan untuk menghindari hasil tailing pada plat KLT. Selain itu penjenuhan yang
dilakukan berfungsi untuk memudahkan saat elusi.
Sambil menunggu fase gerak jenuh, dilakukan penyiapan fase diam yang dilakukan
dengan memotong plat silika gel GF 254 berikan garis tepi tipis (atas 0,5 cm dan bawah 1,5
cm). Fungsi dari plat silika tersebut sebagai fase diam yang merupakan tempat berjalannya
adsorbens, sehingga proses migrasi analit oleh solvent nya dapat berjalan.
Selanjutnya dilakukan penotolan sampel menggunakan pipa kapiler pada plat silika
GF 254 dengan jarak totolan 1,5 cm. Kemudian dimasukkan plat yang sudah ditotoli sampel
ke dalam chamber (bejana kromaografi), lalu diamati hingga batas eluent berada pada jarak
bagian atas yang sudah ditentukan. Setelah itu dikeluarkan plat silika GF 254 dan dikeringkan
di udara. Hal ini dilakukan untuk menguapkan sisa pelarut yang masih tedapat pada plat,
untuk menjamin penguapan telah sempurna dan agar spot jelas terlihat.
Setelah itu dideteksi bercak di bawah sinar UV 254 dan ditanddai bercak noda dengan
pensil. Kemudian dihitung nilai Rf nya. Rf yaitu jarak yang ditempuh senyawa dibagi dengan
jarak yang ditempuh fase gerak. Adapun hasil untuk perhitungan nilai Rf yaitu 0,84 dengan
HRf dapat dihitung Rf × 100 dan hasilnya adalah 84.
Dari hasil tersebut Rf yang dihasilkan tidak sesuai dengan lietratur. Rf yang bagus
berkisar antara 0,2 – 0,8. Jika Rf terlalu tinggi yang harus dilakukan adalah mengurangi
kepolaran eluen dan sebaliknya. (Gandjar dan Rohman. 2007).
Dari hasil percobaan Rf yang dihasilkan adalah 0,84. Yang mana berdasarkan literatur
nilai Rf standart rutin adalah 0,65 (Hanani, Endang. 2016). Hasil percobaan ini nilai Rf yang
dihasilkan kurang sesuai literatur. Kesalahan tersebut dapat disebabkan kurang sempurnanya
proses penjenuhan chamber, penandan noda saat dibawah UV,ataupun kemungkinan pelarut
yang kurang homogen,serta kurang hati-hati saat memasukkan pelarut ke dalam chamber
sehingga sebelum chamber ditutup pelarut ada yang menguap terlebih dahulu.
Faktor yang dapat mempengaruhi gerak dan harga Rf adalah sifat dari penyerap dan
derajat aktivitas,struktur kimia dari senyawa dipisahkan,serapan dari satu pasang
penyerap,pelarut(derajat kemurnian) fase gerak.(Underwood. 1988)

IX. KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat dibuat kesimpulan bahwa :


1. Organoleptis dari ekstrak yang dihasilkan :
- Bentuk : Ekstrak cair
- Warna : Coklat kehijauan
- Rasa : Pahit
- Bau : Bau khas daun sirih
2. Rendemen ekstrak diperoleh nilai : 980% b/b
3. Pada Pola Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada UV 254
diperoleh :
- Nilai Rf yang dihasilkan : 0,84
- Nilai HRf yang dihasilkan : 84
X. DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes Goeswin. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung : ITB.
2. Anonim. 1986 . Sediaan Galenik . Jakarta : Depkes RI.
3. Ansel . 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.
4. Dalimartha, S. 2006 . Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta : Pustaka
Buana.
5. Depkes RI . 1979 . Farmakope Indonesia Edisi III . Jakarta : Depkes RI.
6. Depkes RI . 2008 . Farmakope Herbal Indonesia Edisi 1 . Jakarta : Depkes RI.
7. Ditjen POM . 1992 . Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik . Jakarta :
Depkes RI.
8. Ditjen POM . 1995 . Farmakope Indonesia Edisi IV . Jakarta : Depkes RI.
9. Gandjar dan Rohman . 2007 . Kimia Farmasi Analisis . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
10. Gritten,J.R.dkk . 1991 . Pengantar Kromatografi . Bandung : ITB.
11. Hanani, Endang . 2016 . Analisis Fitokimia . Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
12. Harbone, J.B. 1978. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalis
Tumbuhan. Bandung: ITB.
13. Hutapea, J.R. 2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia Edisi 1. Jakarta : Bhakti
Husada.
14. Rochim Armando . 2016 . Memproduksi 15 Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta : EGC.
15. Salamah ,dkk . 2017. Pengaruh Metode Penyarian Terhadap Kadar Alkaloid Total
Daun Jembirit Dengan Metode Spektrofotometri Visibel. Pharmaciana Vol 7
No.1. 113-122.
16. Sastrohamidjojo, H. 1985 . Kromatografi Edisi 1 Cetakan 1. Yogyakarta : Liberty.
17. Stahl, E. 1985 . Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Jakarta : PT
Kalman Media Pustaka.
18. Sudjadi . 1986. Metode Pemisahan . Yogyakarta : UGM Press.
19. Underwood . 1988 . Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keempat . Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai