Anda di halaman 1dari 55

MODUL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

(ENDOKRIN DAN LIVER DISEASE)


STUDI KASUS

Oleh :

apt. Ni Putu Aryati Suryaningsih, S.Farm., M.Farm-Klin.,

apt. Made Krisna Adi Jaya, S.Farm, M.Farm.,

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2020

FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat- nya Buku
Petunjuk Praktikum Farmakoterapi I dapat diselesaikan dengan baik.
Buku petunjuk praktikum Farmakoterapi IV ditujukan khusus untuk mahasiswa prodi
Farmasi Klinis Institut Ilmu Kesehatan (IIK) Medika Persada dengan sasaran :
1. Membekali mahasiswa Jurusan Farmasi Klinis dengan segala pengetahuan praktis dan
teoritis tentang konsep Farmakoterapi sehingga diharapkan dapat menerapkannya dalam
penatalaksanaan terapi penyakit tersebut.
2. Memberi panduan bagi mahasiswa untuk melaksanakan praktikum dengan baik dalam
waktu yang relatif singkat.
Demi tercapainya sasaran diatas, dalam petunjuk praktikum ini pada setiap percobaan
sudah dilengkapi dengan prinsip dan teori yang melandasinya.
Dalam kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah
membantu terselesaikannya Buku Petunjuk Praktikum Farmakoterapi IV semoga buku ini dapat
bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan Praktikum Farmakoterapi.
Kami menyadari bahwa Buku Petunjuk Praktikum Farmakoterapi IV masih jauh dari
sempurna, untuk hal ini kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
untuk perbaikan penyusunan buku ini di masa mendatang sehingga nantinya dapat mendukung
terselenggaranya Praktikum Farmakoterapi IV dengan lebih baik.

Denpasar, September 2020

ii
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii


DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii
I. DIABETES MELITUS
Kajian Kasus .......................................................................................................................... 1
II. TIROID
Kajian Kasus........................................................................................................................... 4
III. POLYCYSTIC OVARY SYNDROME (PCOS)
Kajian Kasus........................................................................................................................... 7
IV. HEPATITIS
Kajian Kasus.......................................................................................................................... 8
V. SIROSIS HEPATIK
Kajian Kasus........................................................................................................................... 9
VI. DRUG INDUCE LIVER DISEASE (DILI)
Kajian Kasus........................................................................................................................... .11

iii
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
iv
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
I. DIABETES MELLITUS

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi diabetes mellitus.
2. Mengatahui patofisiologi diabetes mellitus.
3. Mengetahui tatalaksana diabetes mellitus (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait diabetes mellitus secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

B. DASAR TEORI
1. Definisi
Diabetes adalah kondisi kronis yang disebabkan oleh kekurangan absolut pada insulin
atau kekurangan relatif insulin akibat gangguan sekresi dan aksi (sensitivitas) insulin.
Karakteristik khasnya adalah intoleransi glukosa simptomatik yang mengakibatkan
hiperglikemia dan perubahan metabolisme lipid dan protein. Dalam jangka panjang, diabetes
mellitus berkontribusi pada peningkatan risiko perkembangan komplikasi seperti penyakit
kardiovaskular (CVD), retinopati,nefropati, dan neuropati dan risiko kanker (Alldredge et al.,
2013)

2. Klasifikasi
Menururt ADA, diabetes diklasifikasikan menjadi
1. Diabetes tipe 1 (karena destruksi sel beta akibat autoimun, biasanya menyebabkan
defisiensi insulin absolut)
Bentuk diabetes ini dihasilkan dari penghancuran autoimun sel β pankreas. Penanda
destruksi imun pada Sel β ada ada saat diagnosis pada 90% individu dan termasuk
antibodi sel islet, antibodi terhadap dekarboksilase asam glutamat,dan antibodi terhadap
insulin. Bentuk diabetes ini biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja, pada usia
berapapun. Individu yang lebih muda biasanya memiliki tingkat destruksi sel β yang
cepat dan disertai dengan adanya ketoasidosis, sementara orang dewasa sering
mempertahankan sekresi insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama
1

FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL


bertahun-tahun, yang sering terjadi disebut sebagai diabetes autoimun laten pada orang
dewasa.

2. Diabetes tipe 2 (karena kehilangan sekresi insulin secara progresif oleh sel beta, sering
diakibatkan oleh resistensi insulin.
Bentuk diabetes ini ditandai dengan resistensi insulinn dan kekurangan relatif pada
sekresi insulin, dengan sekresi insulin yang semakin menurun dari waktu ke waktu.
Kebanyakan individu dengan diabetes tipe 2, memiliki gambaran obesitas perut yang
menjadi peyebab resistensi insulin. Selain itu, hipertensi, dislipidemia (kadar trigliserida
tinggi dan kadar kolesterol HDL yang rendah), dan meningkatnya inhibitor plasminogen
aktivator-1 (PAI-1), yang berkontribusi terhadap hypercoagulable
state, sering hadir pada orang dengan DM tipe 2. Pengelompokan kelainan ini disebut
sebagai "sindrom resistensi insulin" atau "sindrom metabolik." Karena kelainan ini,
pasien dengan diabetes tipe 2 berisiko tinggi terkena komplikasi macrovascular. Diabetes
tipe 2 memiliki predisposisi genetik yang kuat
dan lebih umum terjadi pada semua kelompok etnis selain kelompok etnis Eropa
keturunan.

3. Gestational diabetes mellitus (GDM) (diabetes didiagnosis pada trimester kedua atau
ketiga pada kehamilan yang tidak jelas diabetes sesaat sebelum kehamilan)
Diabetes mellitus Gestational idefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang pertama kali
diketahui selama kehamilan. Deteksi klinis penting, karena terapi akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas perinatal.

4. Jenis diabetes khusus karena penyebab lainnya, misalnya, sindrom diabetes monogenik
(seperti diabetes neonatal dan maturity-onset diabetes pada kaum muda [MODY]),
penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), dan diabetes akibat obat-obatan
(seperti penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatanHIV / AIDS, atau setelah
transplantasi organ (American Diabetes Association (ADA), 2017)

3. Etiologi dan Patofisiologi

2
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan
produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh
bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan
lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1,
antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface
antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA
merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90%
penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik,
frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor
yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel ß pulau
Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau
Langerhans(Muchid et al., 2005).
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa
tipe sel, yaitu sel ß, sel a dan sel d. Sel-sel ß memproduksi insulin, sel-sel a memproduksi
glukagon, sedangkan sel-sel d memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian,
nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel ß. Ada beberapa
anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM
Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel ß yang terjadi, jadi lebih
merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel ß pulau Langerhans.
Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun
sejalan dengan perjalanan penyakit. (Muchid et al., 2005)
Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya
kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal
ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita
DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. (Muchid et al., 2005)
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1,
namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan
kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa

3
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah,
defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai
akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam
darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di
jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh
tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa
di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose (Muchid et al., 2005).

b. Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95%
dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi
akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya
meningkat (Muchid et al., 2005).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap
dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan
terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi
utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan
faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2 (Muchid et al., 2005)
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada
tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau
tak mampu merespon insulin secara normal. (Muchid et al., 2005).
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel ß Langerhans secara otoimun sebagaimana

4
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita
DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya
umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin (Muchid et al., 2005).
Sel-sel ß kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel ß menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya
penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel ß pankreas yang terjadi secara
progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada
penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin
dan defisiensi insulin (Muchid et al., 2005)

c. Diabetes mellitus gestasional


Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan
biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil
diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.
(Muchid et al., 2005).
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri
beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang
dikandung. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut
(Muchid et al., 2005).

4. Diagnosis
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. (Muchid et al., 2005).
Menurut ADA (2017) kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut

5
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar 1. Kriteria diagnosis DM

5. Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan diabetes mellitus mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama,
yaitu
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes
(Muchid et al., 2005).

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter


yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes mellitus seperti
ditampilkan pada gambar 3.

Gambar 3. Target terapi diabetes mellitus (American Diabetes Association (ADA), 2017)

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama
pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam
penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harusdilakukan adalah penatalaksanaan tanpa
obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa
6
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya. Bersamaan
dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang diambil, satu faktor yang tak boleh
ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada penderita diabetes oleh para praktisi
kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli gizmaupun tenaga medis lainnya(Muchid et al., 2005).
a) Terapi non farmakologi
1. Pengaturan diet
2. Olahraga (menjaga berat badan)
3. Hindari merokok
b) Terapi farmakologi
Tatalaksana terapi farmakologi dengan antihiperglikemik pada diabetes mellitus tipe 2
menurut ADA (2017) adalah sebagai berikut(American Diabetes Association (ADA),
2017)

7
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar 4. Tatalaksana terapi dengan antihiperglikemik pada pasien diabetes mellitus tipe 2
(American Diabetes Association (ADA), 2017)

8
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar 5. Tatalaksana terapi kombinasi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (American Diabetes
Association (ADA), 2017)

Pertimbangkan untuk memulai terapi kombinasi insulin injeksi (Gambar 5) saat


glukosa darah lebih dari atau sama dengan 300 mg / dL (16,7 mmol / L) atau A1C adalah
9
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
lebih dari atau sama dengan 10% (86 mmol / mol) atau jika pasien memiliki gejala
hiperglikemia (yaitu,poliuria atau polidipsia). Seperti pasien toksisitas glukosa sembuh,
rejimenMungkin, berpotensi, bisa disederhanakan (American Diabetes Association (ADA),
2017).
Menurut Texas guideline, penatalkasanaan diabetes mellitus tipe 2 ditunjukkan oleh
gambar 6,7, dan 8 (Dipiro et al., 2011).

Gambar 6. Tatalaksana terapi pada pasien diabetes mellitus tipe 2

10
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar 7. Tatalaksana penggunaan insulin pada pasien diabetes mellitus tipe 2

11
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar 8. Tatalaksana penggunaan insulin pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (lanjutan)

STUDI KASUS
Tabel 1. Data Pasien
Nama Pasien Ny. KR
Umur 60 Tahun
MRS 14 Desember 2017 Jam 03.40
Ruangan Bangsal XX
Berat Badan/Tinggi Badan 98 kg/163 cm
Riwayat Penyakit DM ±15
Tinggi / Berat Badan NA
Riwayat Alergi Obat Tidak Ada Riwayat Alergi Obat
Riwayat Penyakit Keluarga NA (not available)
Riwayat Sosial NA (not available)
Diagnosis MRS CKD , DM nefropati,

12
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Pasien MRS tanggal 16/09/19 dengan keluhan lemas dan nafas tersengal sengal,terkadang ada
rasa mual - mual tetapi tidak muntah. Pasien diketahui pernah minum jamu-jamuan saat tidak fit.
Pasien mengaku telah lama menderita penyakit DM, Pasien dirumah biasa menggunakan insulin
Novorapi 3x 24 IU, dan Lantus 20 IU. Amlodipin 10mg 1x sehari, dan Atorvastatin 10 mg 1x
sehari dan Metformin 3x500mg. Di Rumah Sakit pasien mendapatkan terapi seperti yang
ditampilkan pada Tabel dibawah ini
Sebagai Pharmasi, analisa Kasus berikut

Tabel 2. Terapi yang Diberikan saat Dirawat di Rumah Sakit


Okt 19
Nama obat
16 17 18 19
Lasix inj 1-0-0 √ √ - -
Lasix inj 2-0-0 - - √ √
Ondansetron inj 2x1 - - √ √
Omeprazol inj 2x1 - - - -
Amlodipin - √ √ √
Candesartan TI 80 mg tab 1-0-0 - - - -
Asam folat - √ √ √
Paracetamol tab 3x1 Kp Kp Kp Kp
NS atau RL √ √ √ √
Actrapid 16 iu 3x1 √ √ √ √
Lantus 12 iu 1x1 - - - √
Lactulosa syr 3xCI - - - -

Tabel 3. Tanda-tanda vital pasien


Okt 19
TTV 16 17 18 19
BP(mmHg) 140/70 130/60 130/80 140/70
N(x/min) 88 86 72 88
Suhu(oC) 37 36,5 37 37
RR (x/min) 20 26 26 20

Tabel 4. Tanda-tanda Laboratorium

13
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Okt 19
Parameter 16 17 18 19
Glukosa 90 160 150 160
Cholesterol 210 207 - 210
TG 155 - -
Cr 2,7

14
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
II. TIROID

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit gangguan tiroid
2. Mengetahui klasifikasi penyakit gangguan tiroid
3. Mengatahui patofisiologi penyakit gangguan tiroid
4. Mengetahui tatalaksana penyakit gangguan tiroid (Farmakologi & Non-Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit gangguan tiroid secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

B. DASAR TEORI
Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh
manusia. Kelenjar ini dapat ditemui di leher. Hormon-hormon ini mengandung
konsentrasi iodin atau iodium. Adapun hormon-hormon yang diproduksi adalah thyroxine
(T4) dan triiodotyronine (T3). Produksi hormon ini tergantung pada thyroid stimulating
hormone (TSH) yang berasal dari hipofisis, di samping itu kelenjar tiroid juga
memproduksi tiroglobulin. Sifat T3 dan T4 adalah meningkatkan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Beberapa penyakit yang dapat muncul akibat kelainan
pada kelenjar tiroid ini ada bermacam macam, antara lain hipertiroidisme, hipotiroidisme,
nodul tiroid, dan keganasan tiroid.

15
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
1. Penjelasan Penyakit
1. Hipotiroid
Hipotiroidis memerupakan sindroma klinis dan biokimia yang timbul akibat dari
berkurangnya produksi hormone tiroidKekurangan hormon tiroid selama masa
perkembangan fetal dan neonatal akan menyebabkan retardasi mental dan/atau
kretinisme. Lebih dari 95% penderita hipotirodisme mengalami hipotiroidisme primer
atau tiroidal yang mengacu pada disfungsi kelenjar tiroid itu sendiri. Apabila disfungsi
tiroid disebabkan oleh kegagalan kelenjar hipofisis, hipotalamus atau keduanya disebut
hipotiroidisme sentral (hipotiroidisme sekunder) atau pituitaria. Jika sepenuhnya
disebabkan oleh hipofisis disebut hipotiroidisme sekunder.
a Hipotiroid Primer
1) Goiter: Tiroiditis Hashimoto, fase penyembuhan setelah tiroiditis, defisiensi iodium.
2) Non-goiter: destruksi pembedahan, kondisi setelah pemberian iodium radioaktif atau
radiasi eksternal, agenesis, amiodaron.
b Hipotiroid Sekunder: kegagalan hipotalamus (TRH, TSH yang berubah ubah,  T4
bebas) atau kegagalan pituitari ( TSH,  T4 bebas).
2. Hipertiroid
Hipertiroid adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar T 4, T3 atau
keduanya di dalam jaringan. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey
III, 0.2% pasien yang tidak mendapat terapi tiroid dan tidak memiliki riwayat penyakit
tiroid, menderita “subclinical hyperthyroidism” (TSH <0.1 mUI/L dan T4 normal), dan
0.2% menderita “clinically significant” hipertiroid (TSH <0.1 mUI/L dan T4>13.2
mcg/dL).

2. Etiologi dan Patofisiologi


1. Hipotiroid
Hipotiroidi dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau
hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar hormon
tiroid yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH, karena tidak
adanya umpan balik negatif oleh hormon tiroid pada hipofisis anterior dan hipotalamus.
Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka kadar hormon tiroid yang

16
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus tinggi karena tidak
adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun hormon tiroid. Hipotiroidisme yang
disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan rendahnya kadar hormon
tiroid, TSH, dan TRH. Pada Hashimoto’s Thyroiditis, ada kerusakan limfosit T supresor
yang menyebabkan limfosit T helper berinteraksi dengan antigen spesifik pada membrane
sel folikuler thyroid. Limfosit B akan terpacu untuk memproduksi autoantibodi yang
menyerang kelenjar tiroid, mengakibatkan kerusakan kelenjar tiroid dan memacu
hipotiroidisme.
2. Hipertiroid
Hipertiroid dapat terjadi akibat overproduksi endogen atau dikombinasikan
dengan sekresi hormon tiroid yang bersifat iatrogenik yang diakibatkanoleh pemberian
hormon tiroid atau obat lain yang mampu menginduksi tiroiditis. Penyebab
hipertiroidisme endogen yang paling umum adalah :
a Graves disease
b Ttoxic multinodular goiter,
c Toxic adenoma
d Tthyroiditis.

17
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
3. Non Farmakologi dan Farmakologi
Hipotiroid
1. Non Farmakologi
Terapi non farmakologi Hipotiroid dan Hipertiroid dengan cara
pembedahan.

2. Farmakologi

18
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
19
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
20
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
STUDI KASUS

Case A
Nyonya SN, 65 tahun, seorang ibu rumah tangga, berkunjung ke poliklinik
karena mengalami peningkatan berat badan sebesar 12 kg dalam setahun terakhir ini.
Pasien lemah, dan pasien merasa sering tidak nafsu makan.Pasien mengalami penurunan
daya ingat, bicaranya lamban dan berat, konstipasi, kulitnya menebal dan intoleransi
dingin. Tidak terlihat adanya pembesaran kelenjar tiroid.

Hasil Pemeriksaan Fisik


BB : 75 kg
Tinggi Badan :155cm
TD : 125/75 mmHg
HR : 58 kali permenit
RR : 16 kali permenit
Suhu : 36,o C
Hasil Laboratorium
TSH serum : 11 mIU/L
T4 bebas : 0.4 ng/dL
Total T4 : 3 mcg/dL
Total T3 : 110 ng/dL
CBC : Hb  11 mg/dL
Total Kolesterol serum: 210 mg/dL
LDL : 148 mg/dL
HDL : 60 mg/dL
TG : 135 mg/dl
BUN : 20 mg/dL
SCr : 0.8 mg/dL
Tidak ada alergi obat sebelumnya
Riwayat Pengobatan
Dulcolax 1 sachet 2 kali sehari selama 2-3 hari, efektif jika pasien konstipasi.
Euthyrox ® 100mcg 1 tablet sehari.
21
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Case B
Ny. SR, 32 tahun mengeluh nervous, lemah, dan palpitasi yang semakin bertambah
sejak 6 bulan terakhir ini. Pada saat ini pasien merasakan sering mengeluarkan
keringat yang berlebihan dan tidak tahan menggunakan selimut pada saat tidur.
Periode menstruasi tetap teratur, tetapi kuantitasnya menurun. Tiroid Ny AK tidak
terlihat membesar dan tidak terlihat proptosis pada matanya
Riwayat Pemeriksaan dan Data Lab
TB = 160 cm
BB = 50 kg
Heeart Rate = 120 kali/menit
Tekanan Darah = 127/80 mmHg
TSH = 0,2 mIU/L
T4 total = 20 ug/dL
T3 total = 400 ng/dL
T4 bebas = 3 ng/dL
Uptake resin T3 = 40%
Index tiroksin bebas= 5
WBC count = 6000
Riwayat Penyakit
Fungsi organ vital pasien dalam keadaan normal dan pasien belum pernah
mengalami sakit berat maupun kronis dan tidak punya riwayat alergi obat

22
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
23
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
III. POLYCYSTIC OVARY SYNDROME(PCOS)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit PCOs
2. Mengatahui etiologi dan patofisiologi penyakit PCOs
3. Mengetahui tatalaksana penyakit PCOs(Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit PCOs secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP.
B. DASAR TEORI
1. DEFINISI PENYAKIT PCO’S
Sindroma Ovarium Polikistik (Polycystic Ovary Syndrome /PCOS) atau juga dikenal
sebagai Sindroma Stein-Leventhalmerupakan salah satu gangguan hormonal yang paling
sering pada wanita (5% -10% dari wanita usia reproduksi (12-45 tahun) dan diduga menjadi
salah satu penyebab utama infertilitas wanita. PCOS diartikan sebagai kumpulan gejala
akibat peningkatan hormon kelaki-lakian/androgen (hiperandrogenisme) dan adanya
gangguan ovulasi tanpa disertai adanya kelainan pada anak ginjal (hiperplasia adrenal
kongenital), peningkatan hormon prolaktin /produksi susu (hiperprolaktinemia) atau adanya
tumor / neoplasma yang memproduksi hormon androgen.3
Memang istilah polikistik yang berarti adanya “banyak kista” sering kali disalah
mengertikan. Banyak penderita mengiran bahwa adanya “kista” berarti memerlukan
pembedahan dan bahkan meningkatkan ketakutan dan kekhawatiran tentang kemungkinan
kanker atau penyakit ginekologi lainnya. Padahal istilah yang tepat adalah banyaknya folikel
telur (ukuran 4- 8mm) yang tidak berkembang yang tampak pada indung telur sebagai “kista
kecil-kecil”. Bukan kista yang berukuran besar yang menunjukkan adanya tumor indung
telur.3, 11

2. ETIOLOGI DAN PATOLOGI PCO’S


Etiologi PCOS tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat dipengaruhi
oleh genetik. Bila dalam satu keluarga terdapat penderita PCOS maka 50% wanita dalam
keluarga tersebut akan menderita PCOS pula. Tanda awal PCOS umumnya terlihat setelah
menarche. Remaja dengan periode haid sekitar 45 hari perlu mendapatkan pemeriksaan
24

FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL


lanjutan untuk menyingkirkan kemungkinan PCOS. (Perlu diingat bahwa saat haid dan
ovulasi pertama sulit sekali diramalkan. Persitiwa tersebut umumnya menjadi regular setelah
2 tahun pasca menarche). Pada beberapa penderita, gejala PCOS muncul setelah berat badan
meningkat pesat. 3,11
Gejala dan keluhan PCOS disebabkan oleh adanya perubahan hormonal. Satu hormon
merupakan pemicu bagi hormon lainnya. Hal ini akan menimbulkan lingkaran setan dari
suatu gangguan keseimbangan hormonal dalam sistem endokrin. Gangguan tersebut antara
lain adalah : 2,3,4,11
 Hormon ovarium. Bila kadar hormon pemicu ovulasi tidak normal maka ovarium tidak
akan melepaskan sel telur setiap bulan. Pada beberapa penderita, dalam ovarium
terbentuk kista-kista kecil yang menghasilkan androgen.
 Kadar androgen yang tinggi. Kadar androgen yang tinggi pada wanita menyebabkan
timbulnya jerawat dan pola pertumbuhan rambut seperti pria serta terhentinya ovulasi.
 Kadar insulin dan gula darah yang meningkat. Sekitar 50% tubuh penderita PCOS
bermasalah dalam penggunaan insulin yaitu mengalami resistensi insulin. Bila tubuh
tidak dapat menggunakan insulin dengan baik maka kadar gula darah akan meningkat.
Bila keadaan ini tidak segera diatasi, maka dapat terjadi diabetes kelak dikemudian hari.

Gejala PCOS cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon yang
menyebabkan PCOS terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala akan menjadi jelas
setelah berat badan meningkat pesat. Gejala yang diperlihatkan oleh penderita PCOS kadang-
kadang tidak jelas dan tidak jarang penderita datang ke dokter bukan dengan keluhan PCOS .
2,3,11

Gejala PCOS awal:


1. Jarang atau tidak pernah mendapat haid. Setiap tahun rata-rata hanya terjadi kurang
dari 9 siklus haid ( siklus haid lebih dari 35 hari ).Beberapa penderita PCOS dapat
mengalami haid setiap bulan namun tidak selalu mengalami ovulasi.
2. Perdarahan haid tidak teratur atau berlebihan. Sekitar 30% penderita PCOS
memperlihatkan gejala ini.

25
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
3. Rambut kepala rontok dan rambut tubuh tumbuh secara berlebihan. Kerontokan
rambut dan pertumbuhan rambut berlebihan dimuka, dada, perut (hirsuitisme) disebabkan
oleh kadar androgen yang tinggi.
4. Pertumbuhan jerawat. Pertumbuhan jerawat disebabkan pula oleh kadar androgen yang
tinggi.
5. Depresi. Perubahan hormon dapat menyebabkan gangguan emosi.

Gejala PCOS lanjut


1. Berat badan meningkat atau obesitas terutama pada tubuh bagian atas (sekitar abdomen
dan pinggang). Gejala ini disebabkan oleh kenaikan kadar hormon androgen.
2. Kerontokan rambut dengan pola pria atau penipisan rambut kepala (alopesia). Gejala
ini disebabkan oleh kenaikan kadar hormon androgen.
3. Abortus berulang. Penyebab hal ini tidak diketahui dengan jelas. Abortus mungkin
berkaitan dengan tingginya kadar insulin, ovulasi yang terhambat atau masalah kualitas
sel telur atau masalah implantasi pada dinding uterus.
4. Sulit mendapatkan kehamilan (infertil) oleh karena tidak terjadi ovulasi.
5. Hiperinsulinemia dan resistensi insulin yang menyebabkan obesitas tubuh bagian atas,
perubahan kulit dibagian lengan, leher atau pelipatan paha dan daerah genital.
6. Masalah gangguan pernafasan saat tidur (mendengkur). Keadaan ini berhubungan
dengan obesitas dan resistensi insulin.
7. Nyeri panggul kronis (nyeri perut bagian bawah dan panggul )
8. Tekanan darah tinggi seringkali ditemukan pada penderita PCOS.

Alasan utama penderita PCOS datang ke dokter adalah :


1. Masalah gangguan haid
2. Hirsuitisme
3. Infertilitas
4. Obesitas terutama pada tubuh bagian atas

26
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN ULTRASONOGRAFI
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. β-hCG untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan.
2. Testosteron dan androgen. Kadar tinggi dari Androgen akan menghambat terjadinya
ovulasi dan menyebabkan jerawat, pertumbuhan rambut secara berlebihan dan
kerontokan rambut kepala.
3. Prolaktin yang mempengaruhi siklus haid dan fertilitas
4. Kolesterol dan trigliserida
5. Pemeriksaan untuk fungsi ginjal dan hepar dan pemeriksaan gula darah
6. Pemeriksaan TSH (Thyroid Stimulating Hormon) untuk menentukan aktivitas tiroid
7. Pemeriksaan hormon adrenal, DHEA-S (Dehiydroepiandrosteron Sulfat) atau 17-
hydroxyprogesteron. Gangguan kelenjar adrenal dapat menimbulkan gejala seperti
PCOS.
8. Pemeriksaan OGTT- oral glucosa tolerance test dan kadar insulin untuk menentukan
adanya resistensi insulin.

b. Pemeriksaan ultrasonografi :
.

27
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Pemeriksaan ulttrasonografi pelvis dapat menemukan adanya pembesaran satu atau
kedua ovarium. Namun yang perlu diingat bahwa pada PCOS tidak selalu terjadi
pembesaran ovarium sehingga diagnosa PCOS dapat diduga tanpa harus melakukan
pemeriksaan ultrasonografi terlebih dulu

4. TERAPI NON FARMAKOLOGI DAN FARMAKOLOGI


Sindroma ovarium polikistik adalah sekelompok masalah gangguan kesehatan akibat
gangguan keseimbangan hormonal. Seringkali PCOS menyebabkan gangguan pada pola haid
dan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan kehamilan. Olahraga secara teratur,
konsumsi makanan sehat, serta menghentikan kebiasaan merokok dan mengendalikan berat
badan merupakan kunci utama pengobatan PCOS. Alternatif pengobatan lainnya adalah
dengan menggunakan obat untuk menyeimbangkan hormon.Tidak terdapat pengobatan
definitif untuk PCOS, namun pengendalian penyakit dapat menurunkan resiko infertilitas,
abortus, diabetes, penyakit jantung dan karsinoma uterus. 3,6,9
Non Farmakologi
Langkah pertama dalam penatalaksanaan PCOS adalah melakukan olahraga secara
teratur, mengkonsumsi makanan sehat dan menghentikan kebiasaan merokok. Ini merupakan
pilihan utama terapi dan bukan sekedar menghasilkan perubahan gaya hidup. Terapi
tambahan tergantung pada keluhan penderita dan apakah dokter merencanakan agar penderita
dapat memperoleh kehamilan. 3,9
1. Menurunkan berat badan sudah sangat membantu dalam menjaga keseimbangan
hormonal sehingga siklus haid menjadi teratur dan terjadi ovulasi. Olah raga teratur dan
melakukan diet untuk menurunkan berat badan merupakan langkah utama dan sangat
penting bagi penderita bila menghendaki kehamilan.
2. Menghentikan kebiasaan merokok. Perlu diketahui bahwa merokok dapat
meningkatkan kadar androgen.Selain itu kebiasaan merokok akan meningkatkan resiko
terjadinya penyakit jantung.

Terapi Farmakologi 3,4,5,6,9,10

28
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
 Pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin digunakan pada penderita dengan
haid tidak teratur atau amenorea. Terapi ini membantu mengatasi jerawat, pertumbuhan
rambut berlebihan dan kerontokan rambut. Progestin diperlukan agar terjadi pertumbuhan
dan pengelupasan endometrium secara teratur seperti yang terjadi pada haid.
Pengelupasan endometrium yang terjadi setiap bulan dapat mencegah karsinoma uterus.
Progestin sintetis. Bila penderita tidak dapat menggunakan hormon estrogen maka
penggunaan progestin yang dapat digunakan adalah yang tidak meningkatkan kadar
androgen dan baik untuk penderita PCOS yaitu : norgestimate, desogestrel dan
drospirenon. Efek samping yang mungkin terjadi : nyeri kepala, retensi air dan perubahan
emosi.
o Catatan : Sejumlah progestin menyebabkan peningkatan kadar androgen.
Terdapat 3 jenis progestin yang tidak meningkatkan kadar adrogen dan sangat
baik bila digunakan pada kasus PCOS.
 Diuretik. Spironolaktone yang dapat menurunkan androgen (Aladactone) diberikan
bersama dengan pil kontrasepsi kombinasi. Terapi ini dapat mengatasi kerontokan
rambut, pdertumbuhan jerawat dan rambut abnormal (hirsuitisme)
 Metformin (Glucophage). Obat diabetes ini digunakan untuk mengendalikan insulin,
gula darah dan androgen. Obat ini menurunkan resiko diabetes dan penyakit jantung serta
memulihkan siklus haid dan fertilitas.
o Catatan : Metformin nampaknya sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala yang
terjadi pada PCOS. Metformin dapat memperbaiki derajat fertilitas, menurunkan
kejadian abortus, dan diabetes gestasional serta mencegah terjadinya masalah
kesehatan jangka panjang.Penggunaan metformin pada masa kehamilan masih
merupakan kontroversi meskipun resiko nampaknya sangat kecil. Metformin oleh
FDA dimaksudkan untuk mengatasi diabetes sehingga penggunaannya pada kasus
PCOS harus dibahas secara rinci.
 Klomifen sitrat dan injeksi gonadotropin (LH dan FSH). Klomifen sitrat dapat
diberikan bersama dengan metformin bila metformin dapat memicu terjadinya ovulasi.
Kombinasi kedua jenis obat ini akan memperbaiki kerja dari klomifen sitrat.
 Eflomithine (Vaniqa) adalah krim yang dapat menghambat pertumbuhan rambut dan
hanya bisa diperoleh dengan resep dokter.

29
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat PCOS yang
tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi medikamentosa. Melalui
pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan mengangkat sejumlah kista kecil.
Alternatif tindakan : 3,11
 “Wedge Resection” , mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini dilakukan untuk
membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi berlangsung secara normal.
Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh karena memiliki potensi merusak ovarium dan
menimbulkan jaringan parut.
 “Laparoscopic ovarian drilling” , merupakan tindakan pembedahan untuk memicu
terjadinya ovulasi pada penderita PCOS yang tidak segera mengalami ovulasi setelah
menurunkan berat badan dan memperoleh obat-obat pemicu ovulasi. Pada tindakan ini
dilakukan eletrokauter atau laser untuk merusak sebagian ovarium. Beberapa hasil
penelitian memperlihatkan bahwa dengan tindakan ini dilaporkan angka ovulasi sebesar
80% dan angka kehamilan sebesar 50%. Wanita yang lebih muda dan dengan BMI dalam
batas normal akan lebih memperoleh manfaat melalui tindakan ini.

KASUS
Ny.UL datang dengan keluhan Gangguan Haid. Awalnya pasien menganggap remeh
gangguan menstruasinya. Kadang-kadang selama 2 atau 3 bulan, Ny.Sita tidak
mendapatkan menstruasi sama sekali sehingga dikira dirinya hamil. Namun tes
kehamilan yang dilakukannya dengan test pack selalu negative. Belakangan mulai ada
jerawat yang semakin banyak dan sudah mencoba berbagai perawatan tetapi jerawat tak
kunjung mereda , ada pertumbuhan bulu-bulu di badannya yang dirasa cukup
mengganggu dan berat badannya makin meningkat dengan cepat. Setelah pergi ke dokter,
ditemukan kadar gula darah sewaktu 265 mg/dl, kolesterol 220 mg/dl, Berat badan pasin
87kg dengan tinggi 155cm. Dokter memberikan obat metformin 500 mg tab. no X, S 3 d
d 1 tab. Dan Provula tab no. V , S 1 dd 1 tab.
Sebagai seorang farmasis, bagaimanakah kasus diatas.

30
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
31
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
C.
IV. HEPATITIS (VIRUS)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi hepatitis.
2. Mengatahui patofisiologi hepatitis.
3. Mengetahui tatalaksana hepatitis(Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait hepatitissecara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP
A. DASAR TEORI
1. Definisi
Istilah "hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati.Penyebabnya dapat
berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan,termasuk obat tradisional(Muchid
et al., 2007).

2. Klasifikasi
Virushepatitis terdiri daribeberapa jenis : hepatitis A, B,C, D, E,Fdan G. Hepatitis A, Bdan
C adalahyang palingbanyakditemukan. Manifestasipenyakithepatitis akibat virusbisa
akut(hepatitisA),kronik (hepatitisB danC) ataupun kemudian menjadi kankerhati (hepatitis B dan
C). Tabel 1 memperlihatkan perbandingan virus hepatitis A, B, C, D, dan E.(Muchid et al.,
2007).
Tabel 1 Perbandingan virus hepatitis A, B, C, D, dan E.

32
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
a. Hepatitis A
Termasuk klasifikasi virus dengan transmisi secara enterik. Tidak memiliki selubung
dan tahan terhadap cairan empedu. Virus ini ditemukan didalamtinja. Berbentuk kubus
simetrik dengan diameter 27–28 nm, untai tunggal(single stranded), molekul RNA linier :
7,5 kb; termasuk picornavirus, sub-klasifikasi hepatovirus. Menginfeksi dan berreplikasi
pada primata nonmanusiadan galur sel manusia(Muchid et al., 2007).
Masa inkubasi 15–50 hari, (rata-rata 30 hari). Tersebar di seluruh dunia dengan
endemisitas yang tinggi terdapat di Negara-negara berkembang. Penularan terjadi melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja. Faktor risiko lain meliputi tempat
penitipan bayi, institusi untuk developmentally disadvantage, bepergian ke negara
berkembang, perilaku seks oral-anal,pemakaian jarum bersama pada IDU (injecting drug
user).Saat ini sudah a hepa emberikan kekebalan selama4 minggu setelah suntikan pertama.
Untuk kekebalan yang lebih panjangdiperlukan suntikan vaksin beberapa kali(Muchid et al.,
2007).

b. Hepatitis B
Manifestasi infeksi Hepatitis B adalah peradangan kronik pada hati. Virus hepatitis B
termasuk yang paling sering ditemui. Distribusinya tersebar diseluruh dunia, dengan
prevalensi karier di USA <1%, sedangkan di Asia 5–15%. Masa inkubasi berkisar 15–180
hari, (rata-rata 60–90 hari). Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan
setelah infeksi akut(Muchid et al., 2007).
Sebagian penderita hepatitis B akan sembuh sempurna dan mempunyaikekebalan
seumur hidup, tapi sebagian lagi gagal memperoleh kekebalan. Sebanyak 1–5% penderita
dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akanberkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia
yang persisten. Orangtersebut akan terus-menerus membawa virus hepatitis B dan bisa
menjadi sumber penularan. Penularannya melalui darah atau tranmisi seksual. Dapat terjadi
lewat jarum suntik, pisau, tato, tindik, akupunktur ataupenggunaan sikat gigi bersama yang
terkontaminasi, transfusi darah,penderita hemodialisis dan gigitan manusia. Hepatitis B
sangat berisikobagi pecandu narkotika dan orang yang mempunyai banyak
pasanganseksual(Muchid et al., 2007).

33
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gejala hepatitis B adalah lemah, lesu, sakit otot, mual dan muntah, kadang-kadang
timbul gejala flu, faringitis, batuk, fotofobia, kurang nafsu makan, mata dan kulit kuning
yang didahului dengan urin berwarna gelap. Gatalgataldi kulit,biasanya ringan dan
sementara.Jarang ditemukan demam(Muchid et al., 2007).
Untuk mencegah penularan hepatitis B adalah dengan imunisasi hepatitis Bterhadap
bayi yang baru lahir, menghindari hubungan badan dengan orangyang terinfeksi, hindari
penyalahgunaan obat dan pemakaian bersamajarum suntik. Menghindari pemakaian bersama
sikat gigi atau alat cukur,dan memastikan alat suci hama bila ingin bertato melubangi telinga
atau tusuk jarum(Muchid et al., 2007).

c. Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit infeksi yang bisa tidak terdeteksi pada seseorang selama
puluhan tahun dan perlahan-lahan tapi pasti merusak organ hati. Penyakit ini sekarang
muncul sebagai salah satu masalah pemeliharaan kesehatan utama di Amerika Serikat, baik
dalam segi mortalitas, maupunsegi financial (Muchid et al., 2007).
Biasanya orang-orang yang menderita penyakit hepatitis C tidak menyadaribahwa
dirinya mengidap penyakit ini, karena memang tidak ada gejalagejalakhusus.Beberapa orang
berpikirbahwa merekahanya terserang flu. Gejala yang biasa dirasakan antara lain demam,
rasa lelah, muntah, sakitkepala, sakit perut atau hilangnya selera makan(Muchid et al., 2007).

d. Hepatitis D
Virus Hepatitis D (HDV ) atau virus delta adalah virus yang unik, yakni virusRNA
yang tidak lengkap, memerlukan keberadaan virus hepatitis B untukekspresi dan
patogenisitasnya, tetapi tidak untuk replikasinya. Penularanmelalui hubungan seksual, jarum
suntik dan transfusi darah. Gejalapenyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala
yang ringan(ko-infeksi) atau sangat progresif(Muchid et al., 2007).

e. Hepatitis E
Gejala mirip hepatitis A, demam, pegal linu, lelah, hilang nafu makan, dan sakit perut.
Penyakit ini akan sembuh sendiri (self-limited), kecuali bila terjadi pada kehamilan,

34
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
khususnya trimester ketiga, dapat mematikan. Penularan hepatitis E melalui air yang
terkontaminasi feces(Muchid et al., 2007).

f. Hepatitis F
Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum sepakathepatitis F
merupakan penyakit hepatitis yang terpisah (Muchid et al., 2007).

g. Hepatitis G
Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis Bdan/atau
C.Tidak menyebabkan hepatitis fulminan atau hepatitis kronik. Penularan melalui transfusi
darah dan jarum suntik. (Muchid et al., 2007).

3. Etiologi dan Patofisiologi


a. Hepatitis A
Infeksi HAV biasanya akut, self-limiting. Siklus hidup HAV di host manusia secara
klasik dimulai dengan menelan virus. Penyerapan di lambung atau usus kecil
memungkinkan masuk ke sirkulasi dan serapan oleh hati.Replikasi virus terjadi di dalam
hepatosit dan sel epitel gastrointestinal. Partikel virus baru dilepaskan ke dalam darah
dan disekresikan ke empedu oleh hati. Virus itu kemudian diserap kembaliu ntuk
melanjutkan siklusnya atau diekskresikan di feses. Siklus enterohepatik akan berlanjut
sampai terganggu oleh penetralan antibodi. Mekanisme replikasi dan sekresi yang tepat
tidak diketahui; Namun, ekspansi virus awal tidak terkait dengan injuri hati(Dipiro et
al., 2011).

b. Hepatitis B
Setelah terinfeksi, replikasi virus dimulai dengan attachment virion ke reseptor
permukaan sel hepatosit. Partikelnya diangkut ke nukleus dimana DNA diubah menjadi
DNA sirkular tertutup yang berfungsi sebagai template untuk RNA pragenomik. Virus
RNA kemudian ditranskripsi dan dibawa kembali ke sitoplasmadi mana ia dapat
berfungsi sebagai waduk untuk template virus masa depanatau kuncup ke dalam
membran intraselular dengan amplop virus proteindan menginfeksi sel lainnya. Genom

35
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
virus memiliki empat bacaan frame coding untuk berbagai protein dan enzim yang
dibutuhkan untuk virus replikasi dan penyebaran Beberapa protein ini digunakan secara.
HBsAg adalah yang paling melimpah dari ketiganya protein antigen dan dapat dideteksi
pada awal gejala klinis(Dipiro et al., 2011).

c. Hepatitis C
Pada sebagian besar kasus, infeksi HCV akut mengarah ke infeksi kronis. Respon
imun akut pada infeksi HCV kebanyakan tidak cukup untuk membasmi virus. Selama
fase awal infeksi, NK cell diaktifkan dengan meningkatnya level RNA HCV secara
cepat. Upaya gabungan sel T CD4 dan sel T CD8 dan co-expression interferon
menurunkan replikasi virus.Pemberantasan HCV oleh limfosit T sitotoksik mungkin
terjadi baik akibat induksi apoptosis oleh hepatosit yang terinfeksi atau dengan pelepasan
interferon untuk melumpuhkan replikasi virus. Sel T-helper CD4 tidak mungkin
memediasi injuri hati, melainkan mungkin mempromosikan lingkungan yang kondusif
bagi respon imun lainnya yang merusak hati. Bystander killing mungkin jugamemainkan
peran dalam kerusakan hati. Meskipun HCV menginfeksi kurang dari 10% hepatosit,
hingga 20% sel diaktifkan untuk apoptosis(Dipiro et al., 2011).

4. Penatalaksanaan Terapi
a. Hepatitis A
Tidak ada pilihan pengobatan khusus untuk infeksi HAV. Sebagai gantinya,pasien
harus mendapat perawatan suportif secara umum. Pada pasien yang mengembangkan liver
failure, transplantasi adalah satu-satunya pilihan. Vaksin disetujui untuk digunakan pada
tahun 1995 dan diimplementasikan dalam vaksinasi rutin anak-anak, serta orang dewasa
beresiko,untuk mengurangi kejadian HAV secara keseluruhan(Dipiro et al., 2011).

b. Hepatitis B
Tatalaksana terapi hepatitis B adalah sebagai berikut(Dipiro et al., 2011).

36
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar 1. Algoritma terapi untuk infeksi HBV kronik

Gambar 2. Algoritma terapi untuk infeksi HBV kronik disertai sirosis

c. Hepatitis C
Tatalaksana terapi untuk hepatitis C adalah sebagai berikut (Dipiro et al., 2011).

37
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar 3. Algoritma terapi untuk infeksi HBC kronik

STUDI KASUS
Pasien dengan jenis kelamin laki laki, dengan Usia 75 tahun dengan diagnosis DM+HT+post
CVA +Hepatitis C, BB 78 kg. HCV RNA kuantitatif 1.8x 107. Pasien mendapatkan terapi
pegylated interferon + ribavirin sekali seminggu. Selain itu menggunakan lantus dan exforge.
Pegylated interferon mulai dosis 80 mcg sc, setelah pemberian 3 kali penderita berdebar debar,
dicek lab Hb 7.0SI 97 TIBC 545, hapusan darah tepi anemia hipokrom mikrositer. Tekanan
darah dan suhu normal. Oleh dokter yang merawat pegintron dikurangi 50 mcg sekali seminggu,
ribavirin diganti dengan ledipasvir. stop, diberikan sulfas ferrosus dan erythropoietin, diberikan
selang seling. Pasien memperoleh terapi Rosuvastatin 20mg 1x sehari.
Sebagai seorang Pharmasis, Analisalah kasus berikut.

38
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
V. SIROSIS HEPATIK

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Sirhosis Hepatik.
2. Mengatahui patofisiologi Sirhosis Hepatik
3. Mengetahui tatalaksana Sirhosis Hepatik (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait hepatitis secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP
A. DASAR TEORI
1. Definisi
Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar,
dan seluruh struktur hati mengalami perubahan menjadi irregular, dan terbentuknya jaringan ikat
(fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. 1
Sirhosis Hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan
nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi
arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur
akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.2

2. Klasifikasi
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :3
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim hati
mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut seluruh lobul. Sirosis mikronodular besar
nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah menjadi
makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.
2. Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi,
mengandung nodul (> 3 mm) yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar didalamnya ada
daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
39
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
 Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :3
1. Sirosis hati kompensata.
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium kompensata ini belum terlihat
gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata .
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas,
misalnya ; ascites, edema dan ikterus.

3. Etiologi dan Patofisiologi


Etiologi sirosis dapat diidentifikasi dengan riwayat pasien yang dikombinasikan dengan evaluasi
serologis dan histologis. Alkoholic liver disease dan hepatitis C merupakan penyebab utama pada negara-
negara Barat, sedangkan hepatitis B merupakan penyebab utama pada wilayah Asia dan sub-sahara
Afrika. Etiologi sirosis penting untuk diketahui, karena hal tersebut dapat memprediksi komplikasi dan
pemilihan treatment. Selain itu pengetahuan tentang etiologi juga bermanfaat dalam tindakan preventif.
Berbagai faktor etiologi dapat berakibat pada sirosis hati, diantaranya konsumsi alkohol, umur diatas 50
tahun, dan jenis kelamin pria merupakan faktor resiko hepatitis C kronis. Obesitas pada usia tua, resistensi
insulin/DM tipe 2, hipertensi dan hiperlipidemia merupakan faktor resiko NASH (nonalcoholic
steatohepatitits). 4
Fibrosis merupakan enkapsulasi atau penggantian jaringan yang rusak oleh jaringan kolagen.
Fibrosis hati merupakan hasil perpanjangan respon penyembuhan luka normal yang mengakibatkan
abnormalitas proses fibrogenesis (produksi dan deposisi jaringan ikat). Fibrosis berlangsung dalam
berbagai tahap, tergantung pada penyebab kerusakan, lingkungan, dan faktor host. Sirosis hati merupakan
tahapan lanjut dari fibrosis hati, yang juga disertai dengan kerusakan pembuluh darah..

4. Penatalaksanaan Terapi
40
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Penanganan umum
Penanganan umum adalah : 6,7

 Memberikan diet yang benar dengan kalori yang cukup sebanyak 2000-3000 kkal/hari dan
protein (75-100 g/hari)
 Bilamana tidak ada koma hepatik dapat diberikan diet yang mengandung protein 1g/kg BB
 Jika terdapat encephalopathy hepatic (koma hepatik), konsumsi protein diturunkan sampai 0,5
g/hari.
 Disarankan mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang mengandung thiamine 100 mg
dan asam folat 1 mg.
 Diet ini harus cukup mineral dan vitamin; rendah garam bila ada retensi garam/air
 bila ada asites, komsumsi cairandibatasi < 1000 cc / hari..
 Bahan makanan yang tidak boleh diberikan adalah sumber lemak, yaitu semua
makanan dan daging yang banyak mengandung lemak

Diet pada sirosis hepatis bertujuan memberikan makanan secukupnya guna mempercepat perbaikan
faal hati tanpa memberatkan pekerjaannya. Syarat diet ini adalah kalori tinggi, dan protein
disesuaikan dengan tingkat keadaan klinik pasien. Diet diberikan secara berangsur-angsur
disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pasien terhadap pasien terhadap protein.

2. Terapi pasien berdasarkan etiologi


 Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan
penggunaannya.
 Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.
 Hepatitis autoimun
Hepatitis autoimun adalah sistem kekebalan tubuh yang tidak terkendali sehingga
membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan kerusakan dan
sirosis.Bisa diberikan steroid (kortokosteroid) atau imunosupresif dengan dosis 40-60 mg
per hari.
 Penyakit hati non alkoholik
Adalah kondisi di mana lemak menumpuk dihati sehingga menciptakan
jaringan parut dan sirosis. Kelebihan berat badan (obesitas) meningkatkan risiko

41
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
terjadinya sirosis hepatis.Menurunkan berat badan dapat mencegah terjadinya sirosis
hepatik.
 Hemokromatosis
flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
 Hepatitis virus B
Interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupaka terapi utama. Lamivudin
sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun.
Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi pada DNA
polimerase virus sehingga dapat mengakibatkan resistensi terhadap lamivudin
 Hepatitis virus C kronik
kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara
suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-
1000 mg/hari selama 6 bulan.
 Pengobatan fibrosis hati.
pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap
fibrosis. Pengobatan dilakukan dengan menempatkan sel stelata sebagai target dan mediator
fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi dari sel
stelata bisa merupakan salah satu pilihan.
Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan
aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah anti fibrosis dan
sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagi anti fibrosis.

STUDI KASUS
Pasien IKM, laki-laki, 60 tahun, Bali. Pekerjaan petani. dengAn keluhan utama merasakan
tidak enak di bagian perut dan mengatakan perut membesar. Pasien datang sadar dan diantar oleh
keluarga ke IRD sebuah Rumah Sakit Umum pada tanggal 20 Juni 2019 mengeluh perut
membesar. Perutnya dikatakan membesar secara perlahan pada seluruh bagian perut sejak 3
bulan sebelum masuk rumah sakit, dan merasakan perut semakin membesar dan dirasakan
semakin hari semakin membesar dan bertambah tegang, namun keluhan perut membesar ini
tidak sampai membuat pasien sesak dan kesulitan bernapas. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu
hati sejak 1 bulan namun memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati
dikatakan seperti ditusuk-tusuk dan terus-menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari. Keluhan

42
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
nyeri juga disertai keluhan mual yang dirasakan hilang timbul namun dirasakan sepanjang hari,
dan muntah yang biasanya terjadi setelah makan. Pasien juga mengeluh lemas sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas dikatakan dirasakan terus menerus dan tidak
menghilang walaupun pasien telah beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan di seluruh
bagian tubuh dan 4 semakin memberat dari hari ke hari hingga akhirnya 6 hari sebelum masuk
rumah sakit pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, pasien juga mengeluh
adanya bengkak pada kedua kaki sejak 6 minggu sebelum masuk rumah sakit yang membuat
pasien susah berjalan. Keluhan kaki bengkak ini tidak disertai rasa nyeri dan kemerahan.
Riwayat trauma pada kaki disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan bahwa buang air besarnya
berwarna hitam seperti aspal dengan konsistensi sedikit lunak sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit dengan frekuensi 2 kali per hari dan volume kira-kira ½ gelas setiap buang air besar.
Buang air kecil dikatakan berwarna seperti teh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
dengan frekuensi 4-5 kali per hari dan volumenya kurang lebih ½ gelas tiap kali kencing. Rasa
nyeri ketika buang air kecil disangkal oleh pasien. Pasien juga mengatakan bahwa kedua
matanya berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Warna kuning ini muncul
perlahan-lahan. Riwayat kulit tubuh pasien menguning disangkal. Selain itu, dikatakan pula
bahwa beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan susah tidur di malam hari. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien dalam sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, berat badan 69 kg, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 92x per menit, laju respirasi 20x
per menit, dan suhu axilla 37 °C. Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menunjang
diagnosis pasien ini, didapatkan bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, SGOT, SGPT,
BUN dan kreatinin pada pasien meningkat, sedangkan albumin rendah. Pemeriksaan HbsAg dan
anti HCV hasilnya nonreaktif. Dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan pengecilan
hepar dengan splenomegali sesuai dengan gambaran sirosis hepatis, ascites, dan curiga nefritis
bilateral. Dimana penatalaksanaan pada pasien ini adalah masuk rumah sakit, diet cair (tanpa
protein), rendah garam, batasi cairan (1 lt/hari), infuse DS 10%: NS: Aminoleban= 1:1:1 → 20
tetes per menit, propanolol 2x10 mg, spironolacton 100 mg (pagi), furosemide 40 mg (pagi),
omeprazole 2x40 mg, sucralfat syr 3 X CI, asam folat 2 x II, lactulosa sirup 3xCI, paramomycin
4x500 mg, lavement tiap 12 jam, transfusi albumin 20% 1 kolf/hari → s/d albumin > 3 gr/dl, dan
nebul ventolin bila mengalami sesak.

43
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
VI. DRUG INDUCE LIVER DISEASE (DILI)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Drug Induced Liver Diseases.
2. Mengetahui Patofisilogi dan MekanismeDrug Induced Liver Diseases.
3. Mengetahui tatalaksana Drug Induced Liver Diseases
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait Drug Induced Liver Diseasessecara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.
A. DASAR TEORI
1. Definisi
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan hati yang
berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpajan obat atau agen
non-infeksius lainnya.1
FDA-CDER (2001) mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal,dan
peningkatan level alkalinephosphatase (ALP) lebih daridua kali dari batas atas nilai normal,
atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal
jika berkaitandengan peningkatan alanineaminotransferase atau alkalinephosphatase.1

2. Klasifikasi
Berdasarkan The Councils for International Organizations of Medical Scinces (CIOMS)
DILI dibagi menjadi tiga tipe,yaitu:2,3
1. Tipe Hepatoseluler / Parenkimal
Tipe hepatoseluler didefinisikan sebagai peningkat analanine aminotranferase
(ALT)>2 kali batas atas nilai normal (ULN = upper Limit of Normal) atau R ≥ 5,
dimana R adalah rasioaktivitas serum ALT / aktivitas alkalinephosphatase (ALP),
yang kedua nyater jadi peningkatan terhadap batas atas nilainormal. Kerusakan
hati lebih berat terjadi pada tipe hepato seluler dari pada tipe kolestasis atau
campuran, dan pasien dengan peningkatan bilirubin level pada kerusakan hati
hepatoseluler mengindikasikan kerusakan hati yang serius dengan tingkat

44
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
kematian yang tinggi. Tipe ini ditemukan rata-rata 0,7 sampai 1,3 dari 100.000
individu yang menerima pemberian obat.

2. TipeKolestasis
Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP >2 kali ULN atau R ≤ 2.

3. TipeCampuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT >2 kali ULN da 2< R <5.
Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering berkembang menjadi
penyakit kronik dari pada tipe hepatoseluler.
Drug-Induced Liver Injury Network (DILIN) mengembangkan sistem penilaian
untuk menentukan derajat berat Drug-Induced Liver Injury berdasarkan gejala,
ikterik, membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda gagal hati dan
kematian atau membutuhkan transplantasi hati.4

Tabel 1. Derajat Berat DILI berdasarkan DILIN Prospective Study4

3. Etiologi dan Patofisiologi


a. Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingestiatau pemberian secara parenteral dari
45
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis
obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan
pada sel-sel hati.5 Beberapa diantaranya seperti pada tabel 1 dibawah ini
merupakan penyebab paling sering dari Drug Induced LiverInjury.

Tabel 2. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced


LiverInjury6

Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di

46
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Jepang mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury
diantaranya adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine,
Didanosine, Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti
konvulsan seperti Asam Valproat dan phenitoin (10,3%), antikanker (12,3%)
yang meliputi Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate
(3,0%) dan Cytarabine (2,9%), Antibiotik (8,7%) seperti Trovafloxacin (3,2%),
Sulfa/trimethoprim (2,9%) dan Clarithromycin (2,8%), Anestesi seperti
Halothane (4,8%), Obat Anti-tuberculosis, Isoniazid (3,2%), Diklofenak
(3,1%) dan Oxycodone (3,1%).6

b. Patofisiologi

Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati


dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang
unpredictable.7,8

1) Predictable Drug Reactions (intrinsik): merupakan obat yang dapat


dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan
kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini
ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara
tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolism atau faal sel hati.
Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati umumnya
tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbontetra klorid
dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak
langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin,
metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol
dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degen erasi lemak pada sel
hati. Parasetamol menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi
dan steroid yang mengalami alkilasipada atom C—17 menimbulkan ikterus
akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula
menimbulkan ikterus Karena mempengaruhi konjugasi dan
transporbilirubin dalam hati.8

47
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2) Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions:
kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas
intrinsikdari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya
terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat
idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya
terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan.
Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat
dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan
karenakelainan metabolisme.8

4. Penatalaksanaan

Terapi efek hepatotoksikobatter diri dari penghentian segera obat-obatan


yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan
kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol.
Demikian juga penggunaan ursodiol padakeadaan kolestatik. Pada obat-
obatan tertentu seperti amoksisilin, asam klavulanat dan fenitoin
berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam
beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan dan perluwaktu
berbulan-bulan untuk pulih seperti sediakala. Prognosis gagal hati akut
karena reaksi idiosinkratik obat buruk, dengan angka mortalitas lebih dari
80%.9

48
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
Gambar1 . Algoritme penatalaksanaan DILI2

STUDI KASUS
Tabel 1. Data Pasien
Nama Pasien Ny. S
Umur 54 tahun
MRS 18 Februari 2016
Ruangan Bangsal XX
Berat Badan/Tinggi Badan 52 kg/154 cm
Riwayat Penyakit TB terkontrol
Tinggi / Berat Badan NA
Riwayat Alergi Obat Tidak Ada Riwayat Alergi Obat
Riwayat Penyakit Keluarga NA (not available)
Riwayat Sosial NA (not available)
Diagnosis MRS DILI dan TB Paru Relaps

Pasien wanita, 54 tahun dengan keluhan sejak 1 minggu lalu mengalami jaundice
sebelum masuk rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus. Pasien mengeluhkan adanya
49
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
batuk berdahak warna kuning yang sudah semakin membaik dan Hipertiroid. Riwayat
demam, keringat malam, hemoptisis, BAK kemerahan dan penurunan BB sekitar 2 kg dalam
1 bulan. Pasien sebelumnya sudah berobat ke RS X, dengan diagnosis TB paru dan
mendapat OAT (tablet dan injeksi), dan 2 minggu kemudian muncul jaundice, 2 tahun yang
lalu pasien juga sudah pernah mendapatkan OAT (tablet) dan sudah dinyatakan sembuh oleh
dokter.
Pada tanda vital dijumpai TD 130/80 mmHG, nadi 80x/mnt t/v cukup, pernapasan
18x/mnt, dan suhu 37,5°C. BB pasien 58 kg dengan TB 155 cm kesan normoweight.
Pemeriksaan fisik dijumpai sklera ikterik dan pada thorax ronki basah di seluruh lapangan
paru kiri.
Laboratorium dijumpai kesan leukositosis (15.150/mm3), hiperbilirubinemia
(bilirubin total 8,9 mg/dl), peningkatan ALP (173 U/L) dengan SGOT (35 U/L) dan SGPT
(35 U/L) yang normal. HbsAg dan Anti HCV non reaktif. Kesan foto thorax PA adalah TB
Paru aktif.
Terapi yang telah diterima pasien OAT terdiri dari INH, Rifampisin, dan
Ethambutol selama 2 bulan (fase inisial), diikuti INH dan Rifampisin selama 7 bulan (fase
lanjutan) dan pasien menerima terapi PTU 3x3 tab.
Pasien didiagnosis sebagai DILI dan TB paru relaps. OAT distop sementara. Tiga
hari kemudian dilakukan pemeriksaan ulangan laboratorium didapatkan perbaikan kadar
bilirubin total 2,6 mg/dL, bilirubin direk 1,98 mg/dL, kadar ALP 300,56, SGOT 26,92 U/L,
SGPT 31,2 U/L. Lalu tiga hari berikutnya dimonitoring kembali tes fungsi hati dimana
SGOT: 30,53 U/L, SGPT: 24,26 U/L, ALP: 107 U/L, Bilirubin Total: 1,80 mg/dl, Direct
Bilirubin: 1,27 mg/dl
Berdasarkan kasus di atas, akan dibahas lebih lanjut terapi pasien khusus dalam
aspek kajian farmasi klinis dengan menggunakan pendekatan analisis SOAP.

50
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
51
FARMASI KLINIK- UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

Anda mungkin juga menyukai