PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian Studi kohort
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan studi kohort
c. Untuk memberikan contoh dari penelitian kohort
d. Untuk mengetahui tahapan dari studi kohort
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
yang diperoleh melalui pencatatan data yang lengkap. Dengan demikian, bentuk
penelitian kohort retrospektif hanya dapat dilakukan, apabila data tentang faktor
risiko tercatat dengan baik sejak terjadinya paparan pada populasi yang sama
dengan efek yang ditemukan pada awal pengamatan
3
e. Dapat menimbulkan masalah etika, karena peneliti membiarkan
subjek terkena pajanan yang merugikan.
4
informasi yang lengkap dan akurat dari subjek penelitian.
Populasi umum merupakan pilihan yang tepat pada beberapa
keadaan, seperti prevalensi paparan pada populasi cukup tinggi, batas
geografik jelas, dan secara demografik stabil, ketersediaan catatan
demografi yang lengkap dan up to date.
Selain populasi umum, kita dapat menggunakan populasi khusus.
Populasi khusus merupakan alternatif pada keadaan apabila prevalensi
paparan dan kejadian penyakit pada populasi umum rendah, dan
adanya kemudahan untuk memperoleh informasi yang akurat.
c. Menentukan Sampel
Langkah selanjutnya dalam studi kohort adalah menetapkan besarnya
sampel yang akan digunakan dalam penelitian.
d. Pengambilan data dan pencatatan
Kedua kelompok yang telah ditetapkan, yaitu kelompok terpapar dan
kelompok tidak terpapar, kemudian diikuti selama jangka waktu
tertentu sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam penelitian.
Selanjutnya peneliti melakukan pencatatan semua keterangan yang
telah diperoleh sesuai tujuan penelitian.
e. Pengolahan dan analisi data hasil penelitian
Semua data yang telah diperoleh, meliputi data kejadian penyakit yang
dialami oleh kelompok terpapar dan kelompok tidak terpapar,
dilakukan pengolahan data agar dapat ditangani dengan mudah,
meliputi kegiatan editing, coding, processing, dan cleaning.
Selanjutnya data yang diperoleh disajikan dalam tabel.
5
kumulatif kelompok tidak terpapar Proporsi kasus baru pada kelompok yang tidak
terpapar.
Insiden Kumulatif Proporsi kasus baru pada kelompok yang terpapar.
Insiden Kumulatif kelompok tidak terpapar Proporsi kasus baru pada
kelompok tidak terpapar
a
Insiden Kumulatif kelompok terpapar( )
Risk Rasio N1
¿
Insiden kumulatif kelompok tidak terpapar ¿ ¿ ¿
Bila hasil perhitungan = 1, artinya tidak ada asosiasi antara paparan dan
penyakit
Bila hasil perhitungan > 1, artinya paparan merupakan faktor resiko
penyakit, paparan meningkatkan resiko terkena penyakit tertentu.
Bila hasil perhitungan < 1, artinya paparan memiliki efek protektif
terhadap penyakit, paparan melindungi atau mengurangi resiko penyakit
tertentu.
Contoh Kasus Sebuah penelitian kohort ingin melihat risiko orang yang merokok
untuk terkena kanker paru di Provinsi X. Pada awal penelitian sebanyak 5000
orang yang merokok dijadikan subyek penelitian dan 5000 orang lainnya sebagai
kelompok pembanding (tidak merokok). 20 tahun kemudian diketahui di antara
5000 orang yang merokok 200 orang di antaranya mengalami kanker paru, dan di
antara 5000 orang yang tidak merokok terdapat 50 orang yang mengalami kanker
paru. Hitunglah risiko relatif kelompok yang merokok untuk terkena penyakit
kanker paru dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar !
Tabel. Data penelitian kohort merokok untuk terkena kanker paru di Provinsi X
Paparan Merokok Tidak Merokok Jumlah
Penyakit
Kanker Paru 200 50 250
Tidak Kanker 4800 4950 9770
Paru
Jumlah 5000 5000 10,000
6
Insidensi Kelompok Terpapar = 200/5000 = 0,4
Insidensi kelompok Tidak Terpapar = 50/5000 = 0,01
a
Insiden Kumulatif kelompok terpapar( )
Risk Rasio N 1 = 0,04 : 0,01 = 4
¿
Insiden kumulatif kelompok tidak terpapar ¿ ¿ ¿
Berdasarkan perhitungan diatas, maka dengan RR sebesar 4 dapat diinterpretasikan
sebagai risiko orang yang merokok untuk terkena kanker paru adalah 4 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis bahwa pasien yang
memerlukan peningkatan rejimen antihipertensi memiliki kepatuhan yang lebih
rendah terhadap pengobatan dibandingkan dengan pasien yang tetap menjalani
rejimen yang stabil.
Metode: Pendaftaran rencana kesehatan dan data klaim farmasi digunakan untuk
melakukan studi kohort prospektif dan studi kontrol kasus bersarang pada pasien
yang baru memulai terapi antihipertensi. Dalam studi kohort prospektif,
kepatuhan pengobatan kumulatif (CMA, persentase hari pasien memiliki pil yang
tersedia, dihitung sebagai jumlah hari obat yang dikeluarkan, tidak termasuk resep
akhir, dibagi dengan jumlah hari antara yang pertama dan terakhir. Resep yang
tidak konsisten dalam periode pengamatan) dibandingkan antara pasien yang
membutuhkan peningkatan terapi dan pasien yang tetap menggunakan rejimen
antihipertensi yang stabil.
Hasil: Penelitian ini mencakup data dari 5089 pasien (rata-rata [SD], 47,8 [13,0]
tahun; 50,0% wanita). Selama rentang rata-rata (kisaran interkuartil) dari 23 (9-
7
49) bulan pengobatan antihipertensi awal, 935 pasien (18,4%) mengalami
peningkatan rejimen. Setelah disesuaikan dengan usia, lama pengobatan, jumlah
dokter resep, dan pengobatan spesifik, pasien dengan peningkatan rejimen
memiliki CMA 12,0% lebih tinggi dibandingkan pasien yang tinggal dengan
rejimen stabil (P <0,001).
Kesimpulan: Di antara pasien yang diasuransikan ini yang baru memulai terapi
antihipertensi, pasien yang membutuhkan peningkatan terapi memiliki kepatuhan
pengobatan yang serupa atau sedikit lebih baik dibandingkan dengan pasien yang
menjalani rejimen yang stabil. Ketidakpatuhan bukanlah intensifikasi yang
prediktif dari rejimen antihipertensi.
Latar Belakang : Tidak ada metode standar dalam mengukur kepatuhan pasien.
Metode sebelumnya termasuk rekam medik pasien, jumlah obat, dan alat
pemantauan kejadian penyakit (MEMS). Namun, metode tersebut memberikan
informasi yang tidak lengkap dan tidak dapat diandalkan dan pasien biasanya tahu
bahwa mereka sedang dalam penelitian.
Tujuan : Untuk mengevaluasi pola dan prediktor kepatuhan pada semua pasien
diabetes tipe 2 pada masyarakat yang mendapatkan pengobatan dengan obat
hipoglikemik oral tunggal. Secara khusus, untuk menguji hipotesis bahwa satu
tablet per hari apabila dikaitkan dengan kepatuhan pasien lebih baik daripada
lebih dari satu tablet per hari.
8
Hasil : Dari total 2920 subjek yang diidentifikasi, kepatuhan yang memadai
(≥90%) ditemukan pada 31% dari sulphonylurea yang diresepkan sendiri (n =
1329, median kepatuhan = 300 hari per tahun), dan pada 34% metformin yang
diresepkan sendiri (n = 528, median = 302 hari per tahun). Ada kecenderungan
linear yang signifikan untuk kepatuhan yang lebih rendah dengan peningkatan
jumlah tablet setiap hari yang dikonsumsi (p = 0,001) dan peningkatan
pengobatan bersama (p = 0,0001) untuk sulphonylureas saja setelah disesuaikan
dengan faktor lainnya.
Kesimpulan : Di masyarakat hanya ada satu dari tiga penderita diabetes tipe 2
yang memiliki kepatuhan terhadap OHDs. Satu tablet per hari dikaitkan dengan
kepatuhan yang lebih besar dibandingkan dengan banyak tablet per hari.
Kepatuhan yang buruk merupakan hambatan utama bagi manfaat rejimen obat
yang kompleks dalam pengobatan diabetes tipe 2.
Metode : Semua pasien <19 tahun dengan setidaknya 2 resep insulin (1999 -
2009) diidentifikasi dengan diabetes tipe 1(kohort T1D) dan dibandingkan dengan
kelompok referensi bebas diabetes dengan usia dan kecocokan jenis kelamin
(rasio: 1 sampai 4). Prevalensi dan jumlah rata-rata penggunaan antiinfeksi
dipelajari dari (sampai) 8 tahun sebelum hingga maksimal 4 tahun setelah onset
diabetes tipe 1 (T1D). Sebanyak 925 pasien diabetes tipe 1 (T1D) dan 3.591 anak
& remaja dalam kohort referensi (51% anak laki-laki, usia rata-rata 10,1 [standar
deviasi, 4,5] tahun) disertakan. Prevalensi total penggunaan anti-infeksi (62,6
9
dibandingkan dengan 52,6%, P <0,001) dan jumlah rata-rata resep (2,71
dibandingkan dengan 1,42 per anak, P <0,001) pada kohort diabetes tipe 1 (T1D)
yang secara signifikan lebih tinggi daripada kohort referensi setelah onset
diabetes. Pola ini konsisten pada jenis kelamin dan kategori umur dan sudah
diamati pada tahun sebelum onset diabetes tipe 1. Pasien dalam kohort diabetes
tipe 1 (T1D) mendapat lebih banyak antibakteri (49,8 dibandingkan dengan 40%,
P <0,001), antimikotik (4,0 dibandingkan dengan 1,3%, P <0,001), antivirus (2,5
dibandingkan dengan 0,4%, P <0,001), dan antibiotik lini kedua, seperti
aminoglikosida, kuinolon, dan sefalosporin generasi ketiga dan karbapenem.
Hasil: Dari Januari 1999 sampai Desember 2009, kami mengidentifikasi 925
anak-anak dan remaja dengan diabetes tipe 1 (kohort T1D) dan dibandingkan
dengan kelompok 3.591 individu bebas diabetes dengan usia dan jenis kelamin
yang cocok dari PHARMO RLS (kohort referensi). Usia rata-rata populasi
penelitian pada tanggal indeks adalah 10.1 (standar deviasi [SD], 4,5) tahun, dan
hampir 51% dari mereka adalah anak laki-laki. Mayoritas pasien dengan diabetes
tipe 1 dalam penelitian kami adalah 10 sampai 14 pada onset penyakit. Prevalensi
penggunaan obat antiinfeksi secara keseluruhan dari tanggal indeks sampai akhir
masa tindak lanjut secara signifikan lebih tinggi pada Kohort diabetes tipe 1
(62,6%) dibandingkan dengan kelompok referensi (52,6%)(P< 0,001).
10
Tabel 1
Kesimpulan : Prevalensi tahunan dan jumlah rata-rata resep anti infeksi pada
anak-anak dan remaja dengan diabetes tipe 1 lebih tinggi daripada kelompok
bebas diabetes dan jenis kelamin yang cocok dengan anak-anak dan remaja
sebelum dan sesudah timbulnya diabetes tipe 1. Lebih jauh lagi, pilihan senyawa
juga berbeda antara dua kohort. Temuannya yaitu peningkatan penggunaan anti
11
infeksi pada kohort diabetes tipe 1 (T1D) ada sebelum onset tipe1 diabetes dan
konsumsi senyawa anti infeksi lini kedua lebih banyak dalam periode ini
memerlukan penelitian lebih lanjut. Upaya gabungan dari dokter, ahli
mikrobiologi, akademisi, organisasi pemerintah, dan perusahaan farmasi
diperlukan untuk menemukan strategi pencegahan potensial terhadap diabetes tipe
1 dan mengobati infeksi pada pasien diabetes tipe 1 dengan benar.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
b. Kelebihan dari studi kohort meliputi, sudah ditetapkan bahwa subjek harus
bebas dari penyakit sejak awal penelitian, dapat menghitung dengan akurat
jumlah paparan yang dialami populasi, dapat menghitung laju insidensi
atau kecepatan terjadinya penyakit, dapat meneliti paparan yang langka.
memungkinkan untuk mempelajari sejumlah efek atau penyakit secara
serentak sebuah paparan dapat mengetahui, dapat memeriksa dan
mendiagnosa dengan teliti penyakit yang terjadi.bias dalam menyeleksi
subjek dan menentukan status paparan kecil, hubungan sebab akibat lebih
jelas dan lebih meyakinkan
Kekurangan dari studi kohort meliputi, bersifat observasional, pengamatan
dilakukan dari sebab ke akibat, sering disebut sebagai studi insidens,
terdapat kelompok control, terdapat hipotesis spesifik, dapat bersifat
prospektif ataupun retrospektif, dan untuk kohort retrospektif, sumber
datanya menggunakan data sekunder.
13
d. Tahapan melakukan studi kohort, yaitu merumuskan pertanyaan penelitian
dan hipotesis, menentukan kelompok terpapar dan tidak terpapar,
menentukan sampel, melakukan pengambilan data dan pencatatan,
mengolah dan menganalis data hasil penelitian.
3.2 Saran
Memperbanyak latihan dan membaca berbagai sumber akan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan kita dalam memahami berbagai studi penelitian
yang nantinya akan mempermudah kita dalam penulisan karya ilmiah.
14