Anda di halaman 1dari 47

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN

MINUM OBAT PADA PASIEN PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH


SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT

PROPOSAL

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Keperawatan

DIMAS SATRIO
1116090

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan kehendak-nya Proposal yang berjudul “Hubungan Dukungan Keluarga
terhadap Kepatuhan Minum Obat pada pasien penderita Skizofrenia di Rumah
Sakit Provinsi Jawa Barat” yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan Sarjana Keperawatan di Institut Kesehatan Rajawali
Bandung.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan tugas akhir ini banyak
mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai
pihak dan berkat dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi
tersebut dapat diatasi. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih dengan tulus kepada:
1. Ibu Tonika Tohri, S.Kp., M.Kes selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali
Bandung.
2. Ibu Istianah, S.Kep., Ners, M.Kep., selaku Dekan Fakultas Keperawatan dan
Kebidanan di Institut Kesehatan Rajawali
3. Ibu Lisbet Octavia Manalu, S.Kep., Ners selaku ketua program studi Sarjana
Keperawatan Institut Kesehatan Rajawali sekaligus menjadi pembimbing I yang
telah memberikan masukan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Rizky Gumilang Pahlawan S.Kep., Ners., selaku pembimbing II yang telat
memberikan masukan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi ini.
5. Kedua orang tua yaitu Bapak Io Bagiri & Ibu Nina Liyana serta Kedua adik
kembar penulis Bunga Aliya Hutami & Bunga Aliya Pratiwi beserta keluarga
tercinta lainnya yang telah memberikan doa dan dukungan dalam mengerjakan
tugas akhir ini dengan baik.
6. Mahasiswa Sarjana Keperawatan STIKes Rajawali Bandung angkatan Tahun
2016 yang telah memberikan motivasi dan kebersamaan dalam perjuangan ini.
7. Mahasiswa Kelas Gegayaan sebagai rekan sejawat yang selalu memberikan
motivasi, dukungan dan doa.
8. Yuli Ismi Utami sebagai kekasih tercinta yang selalu memberikan motivasi,
dukungan dan doa selama proses pembentukan skripsi ini.
9. Fikri Faturahman sebagai sahabat yang selalu memberikan motivasi dukungan
dan doa selama proses pembentukan skripsi ini.
10. Organisasi Himpunan Mahasiswa Keperawatan yang selalu menjadi tempat
diskusi bertukar pemikiran dan penyemangat dalam proses pembentukan skripsi
ini.
11. Komunitas dari Rancaekek Rebel Squad dan Warbar Soul Crew sebagai rekan
sejawat yang selalu menjadi tempat diskusi bertukar pemikiran dan penyemangat
dalam proses pembentukan skripsi ini.
12. Semua pihak yang tidak bisa dituliskan satu persatu

Penulis menyadari bahwa laporan penulisan tugas akhir ini masih jauh dari
sempurna. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
dapat menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua dalam mendalami
pengetahuan yang menjadi tema penelitian ini.

Bandung, April 2020

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizofrenia adalah kelainan otak kronis yang menyerang kurang dari satu
persen populasi A.S. Ketika skizofrenia aktif, gejalanya dapat mencakup delusi,
halusinasi, kesulitan berpikir dan konsentrasi, dan kurangnya motivasi. Mereka
bukan tunawisma atau tinggal di rumah sakit. Kebanyakan orang dengan
skizofrenia tinggal bersama keluarga, di rumah kelompok atau sendiri. Penelitian
telah menunjukkan bahwa orang dengan skizofrenia lebih mungkin meninggal
lebih muda daripada populasi umum, sebagian karena tingginya tingkat kondisi
medis yang terjadi bersamaan, seperti penyakit jantung dan diabetes menurut
Ranna Parekh, M.D.,M.P.H. (American Psychyatric Association, 2017).
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang parah, ditandai dengan
gangguan yang mendalam dalam berpikir, mempengaruhi bahasa, persepsi, dan
rasa diri. Ini sering termasuk pengalaman psikotik, seperti mendengar suara atau
delusi. Ini dapat mengganggu fungsi melalui hilangnya kemampuan yang
diperoleh untuk mendapatkan mata pencaharian, atau gangguan studi. Orang
dengan skizofrenia adalah 2-3 kali lebih mungkin meninggal dini daripada
populasi umum (WHO, 2019).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
jumlah penderita gangguan jiwa dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 236
juta orang yaitu gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala
depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang
atau sekitar 6% dari jumlah penduduk Indonesia, sedangkan prevalensi gangguan
jiwa berat seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7
(satu koma tujuh) per 1000 penduduk di Indonesia.
Skizofrenia biasanya dimulai pada akhir masa remaja atau awal masa
dewasa. Ada pengobatan yang efektif untuk skizofrenia dan orang-orang yang
terkena dampaknya dapat menjalani kehidupan yang produktif dan terintegrasi
dalam masyarakat. Skizofrenia mempengaruhi 20 juta orang di seluruh dunia
tetapi tidak yang biasa seperti banyak gangguan mental lainnya. Skizofrenia
berhubungan dengan kecacatan yang cukup besar dan dapat mempengaruhi
kinerja pendidikan dan pekerjaan. Hal ini sering disebabkan oleh penyakit fisik,
seperti penyakit kardiovaskular, metabolisme dan menular. Stigma, diskriminasi
dan pelanggaran hak asasi manusia dari orang dengan skizofrenia adalah umum.
Lebih dari 69% orang dengan skizofrenia tidak menerima perawatan yang tepat.
Sembilan puluh persen dari orang dengan skizofrenia diobati hidup di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kurangnya akses ke layanan
kesehatan mental merupakan masalah penting. Selain itu, orang dengan
skizofrenia cenderung mencari perawatan daripada populasi umum. Skizofrenia
dapat diobati. Pengobatan dengan obat-obatan dan dukungan psikososial efektif.
Namun, kebanyakan orang dengan skizofrenia kronis kekurangan akses terhadap
pengobatan. Keterlibatan anggota keluarga dan masyarakat luas dalam
memberikan dukungan sangat penting (WHO, 2019).
Kepatuhan dalam menggunakan obat adalah taraf dimana pasien
mengikuti semua aturan yang dituliskan dalam resep dokter dan memenuhi
petunjuk profesional yang menyertainya. Meskipun berbagai penelitian terhadap
masalah kepatuhan memberikan hasil-hasil yang saling berlawanan, kami
memperkirakan sampai 40% pasien telah melakukan kesalahan besar dalam
mematuhi penggunaan obatnya dan hanya 1-5% yang mematuhinya dengan benar
(Hartono, 2003).
Menurut penelitian Adiantara dan Putra (2017) dari penelitiannya
didapatkan hasil sebanyak 286 responden menunjukan pasien yang patuh sebesar
94,4% dan kurang patuh 5,6%. Hal ini disebabkan karena adanya dukungan yang
baik dari keluarga terhadap klien skizofrenia yang sangat penting terhadap proses
penyembuhan pasien, khususnya terhadap kepatuhan minum obat.
Keluarga merupakan kelompok pelaku rawat bagi klien dengan gangguan
jiwa. Kebanyakan klien hidup dan diasuh oleh keluarga mereka. Perawat
kesehatan jiwa harus bermitra dengan keluarga sebagai sumber, pelaku rawat, dan
kolaborator di praktik klinis. Hubungan klien dengan riwayat masa lalu dan
sekarang mempengaruhi konsep diri, perilaku, harapan, nilai, dan keyakinan klien.
Jadi memahami prinsip dinamika dan tindakan keluarga merupakan hal yang
penting. Dalam hal ini peran keluarga sangat penting untuk kesembuhan pasien
penderita skizofrenia terutama pada kepatuhan minum obat. Pada penelitian ini
peneliti ingin mengetahui seberapa besar hubungan dukungan keluarga terhadap
kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. (Stuart, 2013).
Menurut penelitian Palealu, Juni, Wowiling (2018) salah satu faktor untuk
mecegah kekambuhan pada pasien skizofrenia yaitu dengan melaksanakan
pengobatan dengan rutin yang disertai keempat fungsi dukungan keluarga.
Walaupun kepatuhan minum obat tidak menyembuhkan dan tidak mengurangi
kekambuhan pasien 100 persen, tetapi dengan perilaku patuh minum obat maka
waktu remisi pasien setahun lebih lama dan gejala psikosis tidak akan terlalu
parah. Presentasi yang didapat dari 100 persen pasien yang diteliti terdapat 72
persen menunjukan bahwa semakin tinggi dukungan keluarga semakin tinggi pula
kepatuhan pasien dalam mematuhi regimen terapi yang diberikan oleh tenaga
medis.
Tempat terbaik bagi pasien skizofrenia adalah berada di tengah- tengah
keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Kebutuhan mereka adalah
perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih
sayang tulus dari keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu
proses penyembuhan kondisi jiwanya (Tarjum, 2004).
Keluarga sangat penting bagi penderita skizofrenia, dimana salah satu
peran dan fungsi keluarga adalah memberikan fungsi afektif untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial anggota keluarganya dalam pemberian kasih sayang. Salah
satu wujud dari fungsi tersebut adalah memberikan dukungan pada anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan,
dan penerimaan keluarga terhadap penderita sakit. Fungsi dan peran keluarga
adalah sebagai sistem pendukung dalam memberikan bantuan, dan pertolongan
bagi anggotanya dalam perilaku minum obat, dan anggota keluarga akan siap
memberikan pertolongan dan bantuan ketika dibutuhkan Dukungan keluarga yang
sejalan dengan konsep dukungan sosial terbagi dalam empat dimensi yaitu
dukungan emosional, dukungan informatif, dukungan instrumental, serta
dukungan penghargaan. Pasien gangguan jiwa dalam masa rehabilitasi yang
dirawat oleh keluarga sendiri di rumah atau rawat jalan memerlukan dukungan
untuk mematuhi program pengobatan. Jadi, keluarga merupakan peranan penting
yang bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan pasien.
Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan
penyembuhan/pemulihan (rehabilitasi) sangat berkurang (Friedman,2010;
Padila,2012).
Dari uraian diatas, skizofrenia merupakan penyakit jiwa yang presentasi
setiap tahunya selalu meningkat. Dari data beberapa riset tentang skizofrenia
masih kurangnya dukungan keluarga yang terjadi di masyarakat pada pasien
skizofrenia terutama pada kepatuhan minum obat pasien. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk melalukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan dukungan
keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa Skizofrenia
merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan yang
mendalam dalam berpikir, mempengaruhi bahasa, persepsi, dan rasa diri. Ini
sering termasuk pengalaman psikotik, seperti mendengar suara atau delusi. Lebih
dari 69% orang dengan skizofrenia tidak menerima perawatan yang tepat.
Sembilan puluh persen dari orang dengan skizofrenia diobati hidup di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kurangnya akses ke layanan
kesehatan mental merupakan masalah penting. Selain itu, orang dengan
skizofrenia cenderung mencari perawatan dari pada populasi umum. Keterlibatan
anggota keluarga dan masyarakat luas dalam memberikan dukungan sangat
penting. Keluarga merupakan kelompok pelaku rawat bagi klien dengan gangguan
jiwa. Dalam hal ini peran keluarga sangat penting untuk kesembuhan pasien
penderita skizofrenia terutama pada kepatuhan minum obat. Pada penelitian ini
peneliti ingin mengetahui seberapa besar hubungan dukungan keluarga terhadap
kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
1.3 Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dan analisis, maka rumusan
permasalahan dari penelitian ini diberikan batasan, yaitu :
1. Apakah terdapat hubungan antara Dukungan keluarga dengan Kepatuhan
Minum Obat pada pasien Skizofrenia?
2. Bagaimana gambaran hubungan antara Dukungan Keluarga dengan
Kepatuhan Minum Obat pasien Skizofrenia?
3. Apa jenis dari Dukungan Keluarga yang paling dominan pada pasien
Skizofrenia?
Berdasarkan kondisi tersebut, Peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
Hubungan Dukungan Keluargaa dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya
hubungan hubungan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada
pasien skizofrenia.
1.4.2 Tujuan Khusus
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan:
1.4.2.1 Mengidentifikasi Dukungan Keluarga pada pasien skizofrenia
1.4.2.2 Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia.
1.4.2.3 Menganalisis hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum
obat pada pasien Skizofrenia

1.5 Hipotesis Penelitian


Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat Hubungan Dukungan
keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat pada pasien Skizofrenia
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat menambah informasi dan wawasan yang
baru tentang skizofrenia dan hubungan dukungan keluiarga terhadapat kepatuhan
minum obat pada pasien penderita skizofrenia.
1.6.2 Manfaat praktis
1. Bagi keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi
dalam keperawatan jiwa terkait dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum
obat pada pasien skizofrenia, penelitian ini menjadi bahan masukan untuk lebih
meningkatkan asuhan keperawatan serta memberikan pelayanan kesehatan yang
lebih baik.
2. Bagi perawat
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi mengenai
dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia
sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan serta asuhan keperawatan di Rumah
Sakit Jiwa dan bisa memberikan wawasan tentang dukungan keluarga serta
kepatuhan minum obat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Skizofrenia


2.1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah salah satu dari gangguan jiwa. Gangguan jiwa lainnya
termasuk gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif, gangguan waham,
gangguan psikotik singkat, gangguan psikotik induksi zat (American Psychiatric
Association,2013).
Skizofrenia, gangguan psikotik yang paling sering terjadi, biasanya
didiagnosis saat orang tersebut mencapai usia remaja akhir atau 20-an awal, pada
saat itu bagian prefrontal otak melengkapi migrasi, koneksi, dan pemangkasannya.
Model perkembangan neuron adalah model terbaik untuk menjelaskan patologi
skizofrenia. Ketika otak berkembang setelah lahir, jumlah maksimum sinaps
terbentuk sekitar umur 6 tahun, dan setelah itu proses praprogram pemangkasan
berlangsung, akhirnya membuat otak bekerja lebih efisien. Pada skizofrenia
kesalahan migrasi dan ketidakserasian (misaligment) neuron ditunjukan oleh
keterlambatan perkembangan awal pada fungsi motorik, kognitif dan
sosial/emosional. Otak anak-anak dan remaja penderita skizofrenia juga
menunjukan pembesaran ventrikel dan penurunan maturasi substansia grisea
dibanding teman sebaya meraka yang sehat (Rapoport, Addington, Frangou &
MRC Psych,2005).
2.1.2 Faktor Penyebab Skizofrenia
Faktor-faktor yang menyebabkan skizofrenia yaitu faktor predisposisi
berupa faktor genetik,kerusakan otak, peningkatan dopamine neurotransmitter,
imunologi, stressor pencetus, psikososial, kesehatan, lingkungan, sikap atau
perilaku. Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi diantaranya:
kekurangan gizi selama kehamilan, masalah dalam proses kelahiran, stress pada
kondisi lingkungan dan stigma (penyebab kekambuhan pasien skizofrenia) .
Penyebab dari skizoprenia yaitu :
a. Biologi : yaitu genetic, neurobiology, ketidak seimbangan
neurotransmitter (peningkatan dopamin), perkembangan otak dan teori virus.
b. Psikologis : Kegagalan memenuhi tugas perkembangan psikososial dan
ketidakharmonisan keluarga meningkatkan resiko skizophrenia. Stressor
sosiokultural, stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan
skizophrenia dan gangguan psikotik lainnya (Stuart, 2013).
2.1.3 Tanda dan Gejala Skizofrenia
Menurut Hawari (2014) gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu :
1. Gejala positif
a. Delusi atau waham
Sesuatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah
dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun
penderita tetap meyakini kebenaran hal itu.
b. Halusinasi
Pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus), misalnya penderita
mendengar suara-suara/bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber
suara/bisikan tersebut.
c. Kekacauan alam pikiran
Hal ini dapat dilihat dari isi pembicaraannya seperti bicaranya kacau, sehingga
tidak dapat diikuti alur pikirannya.
d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat, dan gembira berlebihan.
e. Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu dan sejenisnya.
f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
2. Gejala negatif
a. Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”
Gambaran alam perasaan ini dapat dilihat dari wajahnya yang tidak
menunjukkan ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain dan suka melamun.
c. Kontak emosional amat sedikit, sukar diajak bicara dan pendiam.
d. Pasif dan apatis serta menarik diri dari pergaulan sosial.
e. Sulit dalam berpikir nyata.
f. Pola pikir steorotip.
g. Tidak ada / kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif.
Gejala-gejala skizofrenia dibagi menjadi dua, yaitu gejala positif dan
gejala negatif. Gejala positif skizofrenia ialah halusinasi, delusi, dan paranoid
sedangkan yang termasuk dalam gejala negatif skizofrenia ialah motivasi diri
rendah, apatis, kehilangan konsentrasi, dan juga tidak mau untuk bersosialisasi
dengan masyarakat (Harald, 2015).
Diagnosis gangguan skizofrenia ditegakkan saat pasien mengalami 2
gejala dari gejala 1 sampai 5 dari kriteria A,kriteria B mensyaratkan adanya
gangguan fungsi,gejala harus bertahan selama minimal 6 bulan, dan diagnosis dari
gangguan skizo afektif atau gangguan mood harus ditepis (Sadock, 2015).

2.1.4 Klasifikasi Skizofrenia


Skizofrenia ada 5 tipe menurut Hawari (2014), yaitu:
1. Skizofrenia tipe paranoid
Gejala-gejala sesorang yang menderita skizofrenia paranoid sebagai
berikut :
a. Waham kejar atau waham kebesaran.
b. Halusiasi yang menganjam pasien

2. Skizofrenia tipe heberfrenik


Skizofrenia tipe ini disebut juga dengan disorganized type atau kacau
balau yang di tandai dengan gejala-gejala sebagai berikut :
a. Senang menyendiri
b. Afek dangkal dan tidak wajar (sering tertawa sendiri)
c. Pembicaraan tidak menentu / melompat-lompat
3. Skizofrenia tipe katatonik
Gejala-gejala sesorang yang menderita skizofrenia paranoid sebagai berikut :
a. Stupor katatonik, yaitu reaktivitas terhadap lingkungan yang sangat
berkurang dan atau pengurangan dari pergerakan/aktivitas spontan sehingga
kelihatan seperti patung.
b. Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik yang tak
memiliki tujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan luar.
c. Sikap tubuh katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar atau aneh
d. Negativise katatonik, yaitu suatu perlawanan terhadap semua perintah atau
upaya untuk menggerakkan dirinya.
e. Kekakuan katatonik, yaitu pertahanan suatu sikap kaku terhadap semua
upaya untuk menggerakkan dirinya.

4. Skizofrenia tidak terinci


a. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebrefenik ataupun katatonik.
b. Tidak memenuhi kriteria skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.

5. Depresi pasca skizofrenia


a. Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir.
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada.
c. Gejala-gejala depresi menonjol paling sedikit muncul selama 2 minggu.

6. Skizofrenia tipe residual


Tipe ini merupakan sisa-sisa dari gejala skizofrenia yang tidak begitu
menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi,
penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan
tidak rasional.
2.1.5 Penatalaksanaan Skizofrenia
Menurut Hawari (2014), penatalaksaan pasien skizofrenia adalah sebagai berikut:
1. Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat yaitu :
a. Dosis rendah dengan afektivitas terapi dalam waktu yang relarive singkat.
b. Tidak memiliki efek samping, kalaupun ada relatif kecil.
Efek samping seperti kantuk, habituasi, adiksi, dependensi, lemah otot, dan
lain sebagainya.
c. Dapat menghilangkan gejala positif maupun negatif skizofrenia dalam
waktu yang singkat.
d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan juga daya ingat).
e. Memperbaiki pola tidur.

2. Psikoterapi
a. Suportif
Psikoterapi suportif maksudnya ialah untuk memberikan dorongan,
semangat, dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa.
b. Psikoterapi Re-edukatif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang
guna memperbaiki kesalahan pendidikan di masa lalu dan juga dengan
pendidikan ini dapat mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru
sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.
c. Psikoterapi Re-konstruktif
Manfaat jenis psikoterapi ini ialah untuk memperbaiki kembali kepribadian yang
telah mengalami keretakan sehingga menjadikan kepribadian utuh seperti semula
sebelum sakit.
d. Psikoterapi kognitif
e. Psikoterapi Psiko-dinamik
f. Psikoterapi keluarga
g. Psikoterapi perilaku
Manfaatnya adalah untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu
(maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri) di
lingkungan manapun.
3. Terapi psikososial
Salah satu bagian dari terapi psikososial adalah terapi okupasi, dimana
didalam terapi okupasi ini terdapat bermacam-macam jenis kegiatan yang dibrikan
kepada pasien. Salah satunya adalah mengajarkan pasien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari sehingga dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam
melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari secara mandiri (Hawari, 2014).

2.2 Konsep Kepatuhan Minum Obat


2.2.1 Definisi
2.2.1.1 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum obat, mematuhi
diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan
(Kozier, 2010). Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap
aspek anjuran hingga mematuhi rencana. Sedangkan Sarafino (dalam Yetti dkk.,
2011) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat pasien dalam melaksanakan cara
dan perilaku dalam pengobatan yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.
Kepatuhan terjadi jika aturan pakai obat yang diresepkan serta
pemberianya dirumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi ini akan dilanjutkan
setelah pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi
itu dengan benar tanpa pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-penyakit
menahun, seperti asma, atritis reumatoid, hipertensi, tuberkulosis, dan diabetes
melitus. ( Tambayong,2014).
Kepatuhan dalam menggunakan obat adalah taraf dimana pasien
mengikuti semua aturan yang dituliskan dalam resep dokter dan memenuhi
petunjuk profesional yang menyertainya. Meskipun berbagai penelitian terhadap
masalah kepatuhan memberikan hasil-hasil yang saling berlawanan, kami
memperkirakan sampai 40% pasien telah melakukan kesalahan besar dalam
mematuhi penggunaan obatnya dan hanya 1-5% yang mematuhinya dengan benar
(Hartono Andry,2003).
Defenisi patuh dan kepatuhan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia), patuh merupakan suka menurut perintah, taat kepada perintah atau
aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh
pada ajaran dan aturan.
Dalam mendeskripsikan kepatuhan pasien, ada beberapa macam terminologi yang
biasa digunakan diantaranya (Osterberg & Blaschke dalam Nurina, 2012) :
1. Compliance adalah secara pasif mengikutisaran dan perintah dokter untuk
melakukan terapi yang sedang dilakukan.
2. Adherence adalah sejauh mana pengambilan obat yang diresepkan oleh
penyedia layanan kesehatan.
3. Tingkat kepatuhan (adherence) untuk pasien biasanya dilaporkan sebagai
persentase dari dosis resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien selama
periode yang ditentukan.
Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada situasi ketika
perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasehat
yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan atau informasi yang diperoleh dari
suatu sumber informasi lainnya seperti nasehat yang diberikan dalam suatu brosur
promosi kesehatan melalui suatu kampanye media massa (Ian & Marcus, 2011).

2.2.1.2 Definisi Kepatuhan Minum Obat


Secara umum, kepatuhan (adherence atau compliance) didenifisikan
sebagai tindakan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti
diet, dan melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan
kesehatan (WHO dalam Hardiyatmi, 2016).
Sarafino (Smet, 1994) menambahkan kepatuhan adalah sebagai suatu
tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh
dokternya atau oleh tim medis lainnya. Di dalam konteks psikologi kesehatan,
kepatuhan merujuk kepada situasi ketika perilaku individu sesuai dengan tindakan
yang dianjurkan atau nasehat yang direkomendasikan oleh seorang praktisi
kesehatan atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya
seperti nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui
suatu kampanye media massa (Ian & Marcus, 2011).
Urquhart dan Chevalley (deKlerk, 2001) mendefinisikan kepatuhan
minum obat sebagai tingkat kesediaan pasien untuk mengikuti pemakaian aturan
dosis yang sebenarnya. Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh
Yosep (2011) bahwa kepatuhan minum obat adalah suatu perilaku dalam
menyelesaikan menelan obat sesuai dengan jadwal dan dosis 14 obat yang telah
dianjurkan sesuai kategori yang ditentukan, tuntas jika pengobatan tepat waktu,
dan tidak tuntas jika tidak tepat waktu. Istilah kepatuhan digunakan untuk
menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar sesuai dosis,
frekuensi, dan waktunya. Ketaatan sendiri memiliki arti pasien menjalankan apa
yang telah dianjurkan oleh dokter atau apotekernya (Nursalam & Kurniawati,
2007).
Jadi dapat disimpulkan kepatuhan minum obat adalah suatu kemauan
personal seseorang dalam mejalani pengobatannya selama proses penyembuhan.
2.2.2 Aspek-Aspek Kepatuhan
Kepatuhan sebagai bentuk perilaku dapat diungkap dengan pengetahuan
intensi atau kehendak individu yang bersangkutan. Intensitas ditentukan oleh
sikap dan norma subjektif.
Menurut Rosenstock (dalam Muzaham, 2007) mengemukakan skema
kepatuhan pasien sebagai bentuk perilaku sebagai berikut :
a. Kesiapan mental individu untuk mengambil tindakan dan tindakan
sirasakan sebagai kebutuhan seperti keyakinan pasien.
b. Kepercayaan terhadap tindakan pengobatan bahwa tindakan yang
dilakukan dapat mengurangi ancaman yang akan terjadi seperti penerimaan diri,
reaksi pasien, bertanggung jawab apa yang dijalani pasien.
c. Dorongan dan keinginan untuk sembuh dapat menimbulkan respon
individu untuk melakukan tindakan, mendapatkan perawatan seperti terapi yang
sesuai anjuran, keinginan untuk sembuh.
d. Tindakan kesehatan sebagai respon terhadap penyakitnya seperti menuruti
nasehat dokter, jadwal pemeriksaan
2.2.3 Indikator kepatuhan
Federich mengatakan bahwa di dalam kepatuhan terdapat tiga bentuk perilaku
yaitu:
a. Konformitas (conformity).
Konformitas adalah suatu jenis pengaruh social di mana individu mengubah sikap
dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
b. Penerimaan (compliance).
Penerimaaan adalah kecenderungan orang mau dipengaruhi oleh komunikasi
persuasif dari orang yang berpengetahuan luas atau orang yang disukai.
c. Ketaatan (obedience).
Ketaatan merupakan suatu bentuk perilaku menyerahkan diri sepenuhnya pada
pihak yang memiliki wewenang, bukan terletak pada kemarahan atau agresi yang
meningkat, tetapi lebih pada bentuk hubungan mereka dengan pihak yang
berwenang.
Sarwono dan Meinarno (2011:105) juga membagi kepatuhan dalam tiga bentuk
perilaku yaitu:
a. Konformitas (conformity) yaitu individu mengubah sikap dan tingkah
lakunya agar sesuai dengan cara melakukan tindakan yang sesuai danditerima
dengan tuntutan sosial.
b. Penerimaan (compliance) yaitu individu melakukan sesuatu atas
permintaan orang lain yang diakui otoritasnya.
c. Ketaatan (obedience) yaitu individu melakukan tingkah laku atas perintah
orang lain. Seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk
melakukan tingkahlaku tertentu karena ada unsur power.
2.2.4 Faktor Faktor yang mempengaruhi Kepatuhan
Faktor yang memperngaruhi ketidakpatuhan terhadap pengobatan
(Tambayong,2014).
a. Kurang pemahaman pasien tentang tujuan pengobatan
b. Kurang pemahaman pasien tentang pentingnya mengikuti aturan yang
diprogramkan sehubungan dengan prognosis penyakit yang dialami.
c. Kesulitan memperoleh obat tertentu diluar Rumah Sakit
d. Harga Obat yang Mahal
e. Kurang perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung
jawab atas pembelian atau pemberian obat tersebut kepada pasien.
2.2.5 Peran Perawat dalam Pemberian Psikofarma
Peran perawat dalam penatalaksanaan obat dirumah sakit jiwa menurut
Yusuf ,Fitriyasari, dan Nihayati (2015) adalah sebagai berikut :
a. Mengumpulkan data sebelum pengobatan
Dalam melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang
pengetahuan biologis dan prilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lain
riwayat penyakit, diagnosis medis, hasil pemeriksaan laboratorium yang
berkaitan, riwayat pengobatan, jenis obat yang digunakan (dosis, cara pemberian,
waktu pemberian), dan perawat perlu mengetahui program terapi lain bagi pasien.
Pengambilan data ini agar asuhan yang diberikan bersifat menyuluruh dan
merupakan satu kesatuan.
b. Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas
Hal ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan. Pemilihan
terapi yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan
hasil yang lebih baik.
c. Pendidikan Kesehatan
Pasien dirumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat
yang diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat yang dianggap tidak
ada manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga
karena adanya anggapan bahwa jika pasien sudah pulang kerumah tidak perlu lagi
minum obat padahal ini menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat kembali
kerumah sakit.
d. Memonitor efek samping obat
Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-
reaksi lain yang kurang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam
mencapai pemberian obat yang optimal.
e. Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi
Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek teurapeutik
obat dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam
tim kesehatan yang melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan
tiap dosis obat pasien, serta secara terus menerus mewaspadai efek samping obat.
Dalam melaksanakan peran ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
f. Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan
Dalam program pengobatan pengobatan, perawat merupakan penghubungan
antara pasien dengan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien
selesai dirawat di rumah sakit maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas
yang ada di masyarakat misalnya puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
g. Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran perawat
dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah satu
program terapi bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi pengobatan
serta bersama pasien bekerja sebagai satu kesatuan.
h. Ikut serta dalam riset interdisipliner
Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien, perawat dapan
berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten penelitian, atau sebagai peneliti
utama. Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih terus
digali.
2.3 Konsep Dukungan Keluarga
2.3.1 Definisi
2.3.1.1 Definisi Keluarga
Keluarga merupakan suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar
perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau
seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendiri dengan atau tanpa
anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga
(Sayekti, 1944 dalam Padila, 2012).
Konsep keluarga dapat diartikan sebagai unit dasar dalam masyarakat,
merupakan segala bentuk hubungan kasih sayang antar manusia dengan tinggal
bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan antar individu. Keluarga
adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan
yang lain, memiliki peran masing-masing menciptakan dan mempertahankan
suatu nilai (Friedman, 2010).

2.3.1.2 Definisi Dukungan Keluarga


Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan penerimaan keluarga terhadap
anggota keluargannya, berupa dukungan informasional, dukungan penilaian,
dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jadi dukunan keluarga adalah
suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan
penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada
yang memperhatikannya. Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada
dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu
yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman 2010).
2.3.2 Fungsi Keluarga
Fungsi dasar keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluar
dan masyarakat yang lebih luas. Tujuan terpenting yang perlu dipenuhi keluarga
adalah menghasilkan anggota baru (fungsi produksi) dan melatih individu tersebut
menjadi bagian dari anggota masyarakat (fungsi sosialisasi) (Friedman, 2010).
Fungsi keluarga akan menjadi suatu perhatian ketika salah sorang anggota
keluarga adalah individu dengan gangguan skizofrenia. Adapun fungsi keluarga
( Friedman,1998 dalam Padila, 2012) meliputi:
a. Fungsi afektif, kebahagiaan keluarga diukur dengan kekuatan saling
mengasihi antar anggota keluarga. Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih
sayang anggota keluarganya karena respon kasih sayang yang diberikan antar
anggota satu dengan yang lainnya akan memberikan penghargaan terhadap
kehidupan dalam suatu keluarga.
b. Fungsi sosialisasi, sosialisasi merujuk banyaknya pegalaman belajar yang
telah diberikan keluarga pada anggota keluarga untuk mendidik pasien skizofrenia
tentang cara menjalankan fungsi sosial yang seharusnya dalam lingkungan
masyarakat, sehingga anggota keluarga dengan skizofrenia mampu merasa
diterima oleh lingkungan sosial.
c. Fungsi reproduksi, fungsi reproduksi merupakan salah satu fungsi dasar
bagi keluarga untuk menjaga adanya generasi baru dan menyediakan anggota baru
bagi masyarakat.
d. Fungsi ekonomi, fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan
kebutuhan yang cukup, seperti mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam keluarga, pengaturan dalam penggunaan
pendapatan sebagai pemenuhan kebutuhan, serta menabung untuk persediaan
pemenuhan kebutuhan dimasa mendatang.
e. Fungsi perawatan kesehatan, upaya untuk meningkatkan taraf kesembuhan
pada pasien skizofrenia dengan salah satu cara yang diberikan oleh anggota
keluarga yaitu dengan menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan
kesehatan, dan perlindingan terhadap munculnya bahaya
2.3.3 Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Friedman dalam Padila (2012), menyatakan bahwa keluarga
berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Terdapat empat dimensi dari dukungan
keluarga yaitu:
a. Dukungan emosional berfungsi sebagai pelabuhanistirahat dan pemulihan
serta membantu penguasaan emosional serta meningkatkan moral keluarga
(Friedman, 2010). Dukungan emosianal melibatkan ekspresi empati, perhatian,
pemberian semangat, kehangatan pribadi, cinta, atau bantuan emosional. Dengan
semua tingkah laku yang mendorong perasaan nyaman dan mengarahkan individu
untuk percaya bahwa ia dipuji, dihormati, dan dicintai, dan bahwa orang lain
bersedia untuk memberikan perhatian.
b. Dukungan informasi, keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
disseminator (penyebar) informasi tentang dunia (Friedman, 2010). Dukungan
informasi terjadi dan diberikan oleh keluarga dalam bentuk nasehat, saran dan
diskusi tentang bagaimana cara mengatasi atau memecahkan masalah yang ada.
c. Dukungan instrumental, keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan
praktis dan konkrit (Friedman, 2010). Dukungan instrumental merupakan
dukungan yang diberikan oleh keluarga secara langsung yang meliputi bantuan
material seperti memberikan tempat tinggal, memimnjamkan atau memberikan
uang dan bantuan dalam mengerjakan tugas rumah sehari-hari.
d. Dukungan penghargaan, keluarga bertindak sebagai sistem pembimbing
umpan balik, membimbing dan memerantai pemecahan masalah dan merupakan
sumber validator identitas anggota (Friedman, 2010). Dukungan penghargaan
terjadi melalui ekspresi penghargaan yang positif melibatkan pernyataan setuju
dan panilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain yang
berbanding positif antara individu dengan orang lain.
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dukungan
Menurut Purnawan (2008) dalam Rahayu (2008) faktor-faktor yang
mempengaruhi dukungan keluarga adalah:
a. Faktor internal
1) Tahap perkembangan
Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah
pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-
lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang
berbeda-beda.
2) Pendidikan atau tingkat pengetahuan
Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel
intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan dan
pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir
seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan
untuk menjaga kesehatan dirinya.
3) Faktor emosi
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan
cara melakukannya. Seseorang yang mengalami respon stress dalam setiap
perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin
dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat
mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang
mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang
individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap
ancaman penyakit mungkin
4) Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya,
mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau
teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
b. Faktor Eksternal
1) Praktik di keluarga
Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi
penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya, klien juga kemungkinan
besar akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarga melakukan hal yang
sama.
2) Faktor sosio-ekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan
mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.
Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan
lingkungan kerja.Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari
kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara
pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih
cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan. Sehingga ia akan segera
mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.
3) Latar belakang budaya
Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu,
dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

2.3.5 Sumber Dukungan Keluarga


Sumber dukungan keluarga adalah sumber dukungan sosial keluarga yang
dapat berupa dukungan sosial keluarga secara internal seperti dukungan dari
suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial
keluarga secara eksternal seperti paman dan bibi (Friedman, 2010).

2.3.6 Manfaat Dukungan Keluarga


Menurut), dukungan sosial keluarga memiliki efek terhadap kesehatan dan
kesejahteraan yang berfungsi secara bersamaan. Adanya dukungan yang kuat
berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit,
fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Selain itu, dukungan keluarga
memiliki pengaruh yang positif pada pemyesuaian kejadian dalam kehidupan
yang penuh dengan stress ( Setiadi ,2008).

2.4 Kerangka Teori


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan
yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa
diterapkan (Nursalam, 2017). Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif
non eksperimen analitik korelasi kategori tidak berpasangan dengan pendekatan
cross sectional (hubungan dan asosiasi) yang merupakan jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat, lalu dinilai secara simultan dan tidak ada
tindak lanjut (Nursalam, 2017). Jenis rancangan penelitian yang digunakan adalah
jenis penelitian korelasi, yaitu mengkaji hubungan antar variabel, sehingga
peneliti dapat menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji
berdasarkan teori yang telah ada sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk
mengetahui hubungan Dukungan keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada
pasien Skizofrenia
.
3.2 Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian dibuat dalam bentuk diagram yang menunjukan jenis
serta hubungan antar-variabel yang diteliti dan variabel lainnya yang terkait
(Sostroasmoro, S & Ismael, S. 2014).

DUKUNGAN KELUARGA KEPATUHAN MINUM OBAT

Keterangan :
: Variable yang di teliti

: Hubungan
3.1 Variable Penelitian
Variabel adalah karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu
subyek ke subyek lain. Variabel bebas adalah variabel yang apabila ia berubah
akan mengakibatkan perubahan pada variabel lain; variabel yang berubah akibat
perubahan variabel bebas disebut variabel tergantung. Variabel bebas sering
disebut dengan banyak nama lain, seperti variabel independent, predictor, risiko,
determinan, atau kausa. Variabel yang berubah akibat perubahan pada variabel
bebas disebut variabel tergantung yang juga banyak sebutan lain seperti dependen,
efek, hasil, outcome, respons, atau event (Sostroasmoro & Ismael. 2014).

3.2 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karateristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk
menjelaskan tentang apa yang harus diukur, bagaimana mengukurnya, apa saja
kriteria pengukurannya instrument yang digunakan untuk skala pengukurannya.
Membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau
diteliti perlu sekali variable tersebut diberi batasan (Notoatmodjo,2012).
Variabel Definisi Alat Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Dukungan Riwayat tindakan Kuisioner Penilaian: Ordinal
Keluarga keluarga yang Selalu: 4
diharapkan dapat Sering : 3
memotivasi dan Jarang : 2
memberi bantuan Tidak Pernah : 1
pada anggota
keluarga dengan Kriteria
skizofrenia untuk Baik: 76-100%
patuh minum obat Cukup : 56- 75%
Kurang: <55%
Kepatuhan Kepatuhan minum Kuisioner Skor jawaban : Ordinal
Minum obat yaitu perilaku Ya=1
Obat penderita Tidak=0
melaksanakan
pengobatan yang Kategori
disarankan oleh Kepatuhan:
dokter atau orang Patuh : >51%
lain Tidak patuh:
<50%

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.5.1 Populasi Penelitian
Keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti tersebut adalah
populasi penelitian (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini populasi yang
digunakan adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia
di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Tahun 2020.

3.5.1 Besar Sampel


Diketahui :
N = 80
Z = 0,05(1,96)
P = 50%= 0,5
Q = 1-P (100%-P)
= 1-0,5
= 0,5 (50%)

d = 10%=0,1
N z2 P .Q
2 2
d ( N −1 )+ Z . P .Q
80( 1,96)2 +0,5.0,5
¿ 2 2
91 ( 80−1 ) + ( 1,96 ) . ( 0,5 ) .(0,5)
¿ 43,49 ≈ 44

Sampel yang didapat adalah 44, tetapi ditambah droup out 10% jadi besar sampel
yang didapat adalah 49.

3.6.1 Sampel Penelitian


Sampel merupakan bagian atau subset dari populasi yang dipilih dengan
suatu cara tetentu sehingga dianggap dapat mewakili populasi penelitian
(Sostroasmoro & Ismael, 2014).

3.7.1 Kriteria Sampel


a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria yang harus dimiliki oleh individu dalam
populasi sehingga dapat dijadikan sampel dalam penelitian (Dharma, 2011).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini diantaranya:
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi adalah kriteria yang tidak boleh ada atau tidak boleh
dimiliki oleh sampel yang akan digunakan untuk penelitian (Dharma, 2011).
Adapun yang termasuk kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

3.8.1 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik yang digunakan adalah teknik simple random sampling, yaitu
pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono, 2016:82).

3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Prosuder Penelitian


3.9.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan kepada
subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Langkah dalam penelitian tergantung pada rancangan penelitian dan
teknik instrument. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian
memfokuskan pada penyediaan subjek, memperhatikan prinsip validitas dan
reliabilitas (Nursalam, 2015).

3.10.1 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2018). Penelitian ini alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2017).

3.11.1 Uji Validitas & Uji Reabilitas


3.12.1 Uji Validitas
Validitas adalah tingkat keandalan dan kesasihan alat ukur yang digunakan
dalam penelitian untuk mendapatkan data itu valid atau dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya di ukur. Instrumen yang valid merupakan
instrumen yang benar-benar tepat untuk mengukur apa yang hendak diukur. Valid
apabila nilai korelasi tiap-tiap pertanyaan tersebut signifikan, maka apabila r
hitung lebih besar dari r tabel dengan tingkat kemaknaan 5% (arikunto, 2006).
Kuisioner dukungan keluarga oleh Nursalam sudah dinyatakan valid dalam
penelitian Indriyanto (2015) dengan nilai r tabel 0,301 dan kuisioner kepatuhan
minum obat berdasarkan kuisioner kepatuhan obat morisky (MMAS) sudah
dinyatakan valid dalam penelitian Mulyasari (2016) dengan nilai r tabel 0,576.

3.13.1 Uji Reabilitas


Uji reliabilitas berguna untuk menetapkan apakah instrumen yang dalam
hal ini kuisioner dapat digunakan lebih dari satu kali, paling tidak oleh responden
yang sama akan menghasilkan data yang konsisten.
Reliabel apabila nilai alpha cronbach lebih besar dari konstanta 0,60, dengan
tingkat kemaknaan 5% (Budiman & Riyanto, 2013).
Hasil uji reliabilitas pada instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Kuisioner dukungan keluarga oleh Nursalam dinyatakan reliabel dengan
nilai Cronbach Alpha 0,628 (Indriyanto, 2015).
b. Kuesioner Morisky Medication Adherence Scales-8 (MMAS-8) oleh
morisky juga telah dinyatakan reliabel dengan nilai Cronbach Alpha 0,795
(Mulyasari, 2016).

3.14.1 Prosedur Penelitian


1. Mencari fenomena yang terjadi berdasarkan masalah
2. Menentukan judul penelitian
3. Menentukan lahan penelitian
4. Menyusun proposal penelitian
5. Pelaksanaan seminar proposal
6. Perbaikan proposal
7. Menyusun instrument dan perbaikan instrument
8. Mengurus perijinan untuk pelaksanaan penelitian
9.
3.5 Pengolahan dan Analisis data
3.6 Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2018).
3.7 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi responden (Notoatmodjo, 2018).
3.8 Etika Penelitian
Masalah etika penelitian yang menggunakan subjek manusia menjadi isu
penting yang sedang berkembang. Secara umum prinsip etika dalam penelitian
atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi prinsip manfaat, prinsip
menghargai subjek. Dan prinsip keadilan (Nursalam, 2015). Peneliti meminta ijin
kepada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat untuk mendapatkan persetujuan.
Kemudian dalam penelitian menekankan pada masalah etika yang meliputi :
1. Informed concent
Informed concent merupakan persetujuan antara peneliti dan responden penelitian
dengan memberikan lembar persetujuan sebelum dilakukan penelitian. Tujuannya
agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan tidak ada resiko untuk
menjadi responden. Responden mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau
menolak. Peneliti memberikan lembar persetujuan pada responden
menandatangani persetujuan menjadi peserta penelitian maka peneliti tidak
memaksa dan tetap menghormati hak-ha subjek penelitian
2. Confidentiality (kerahasiaan)
Responden mendapatkan jaminan kerahasiaan tentang data yang diambil dengan
cara tidak mencantumkan nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga kerahasiaan
identitas responden, apabila responden menghendaki untuk dirahasiakan maka
peneliti tidak mencantumkan responden pada lembar observasi pengumpulan data.
3. Respect for human dignity (menghargai hak asasi manusia)
Respect for human dignity menghargai hak asasi manusia, hak untuk ikut atau
tidak menjadi responden. Responden diperlakukan secara manusiawi. Subjek
mempunyai hak untuk memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek
ataupun tidak, tanpa ada gengsi apapun atau akan berkaitan terhadap
kesembuhannya
4. Anomymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi
lembar tersebut diberi kode. Peneliti dalam mengisi lembar observasi tidak
menggunakan nama tetapi menggunakan kode tertentu.
3.9 Lokasi dan Tempat Penelitian
1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilakukan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2020

Quesioner
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda
check atau centang (Ö) pada jawaban yang dipilih.
No Jenis Dukungan Keluarga Selalu Sering Kadang- Tidak Skor
kadang pernah
1 Dukungan Emosional dan
penghargaan
Keluarga selalu mendampingi saya
dalam perawatan
Keluarga selalu memberi pujian dan
perhatian kepada saya
Keluarga tetap mencintai dan
memperhatikan keadaan saya selama
saya sakit
Keluarga memaklumi bahwa sakit
yang saya alami sebagai suatu
musibah
2 Dukungan Instrumental
Keluarga selalu menyediakan waktu
dan fasilitas jika saya memerlukan
untuk keperluan pengobatan
Keluarga sangat berperan aktif dalam
setiap pengobatan dan perawatan sakit
saya
Keluarga bersedia membiayai
perawatan dan pengobatan saya
Keluarga selalu berusaha untuk
mencarikan kekurangan sarana dan
peralatan perawatan yang saya
perlukan
3 Dukungan informasi
Keluarga selalu memberitahu tentang
hasil pemeriksaan dan pengobatan
dari dokter yang merawat kepada saya
10. Keluarga selalu mengingatkan saya
untuk kontrol, minum obat, olahraga
dan makan
11. Keluarga selau mengingatkan saya
tentang perilaku-perilaku yang
memperburuk penyakit saya
12. Keluarga selalu menjelaskan kepada
saya setiap saya bertanya hal-hal yang
tidak jelas tentang
penyakit saya
KEPATUHAN MINUM OBAT MORISKY (MMAS)
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda
check atau centang (Ö) pada jawaban yang dipilih.
NO Pertanyaan Ya Tidak Skor
1 Apakah anda terkadang lupa minum obat
i?
2 Apakah selama 2 pekan terakhir ini, anda dengan
sengaja tidak meminum obat?
3 Pernahkah anda mengurangi atau berhenti minum
obat tanpa memberitahu dokter anda, karena anda
merasa kondisi anda bertambah
parah ketika meminum obat tersebut ?
4 Ketika anda pergi berpergian atau meninggalkan
rumah, apakah anda kadang-kadang lupa
membawa obat anda ?
5 Apakah kemarin anda minum obat ?
6 Ketika anda merasa sehat, apakah anda juga
kadang berhenti meminum obat ?
7 Minum obat setiap hari merupakan hal yang tidak
menyenangkan bagi sebagian orang.
Apakah anda pernah merasa terganggu dengan
kewajiban anda untuk minum obat setiap hari ?
8 Seberapa sering anda mengalami kesulitan minum
semua obat anda ?
a. Tidak pernah/jarang
b. Beberapa kali
c. Kadang kala
d. Sering
e. Selalu
Tulis : Ya (bila memilih: b/c/d/e; Tidak (bila
memilih:a)

37
38

DAFTAR PUSTAKA

Angel Pelealu, H. B. (2018). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN


KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT
JIWAPROF. DR. V. L. RATUMBUYSANG PROVINSI SULAWESI UTARA.
e-journal Keperawatan (e-Kp).
DaCunha, J. P. (2010). Family Health Care Nursing. Philadelphia: E.A Davis Company.
Dede Nurjamil, C. R. (2017). HUBUNGAN ANTARA PERAN KELUARGA DENGAN
KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN SKIZOFRENIA. Jurnal Keperawatan
Jiwa,Volume 5, Hal 53-59.
39

Friedman, M. M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset Teori dan Praktik.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Ginting, S. B. (2019). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN
KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA . Jurnal Ilmiah
PANNMED.
I Ketut Alit Adianta, I. M. (2017). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN
TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA.
Dukungan Keluarga.
Lia Minarni, J. S. (2015). DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU
MINUM OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA YANG SEDANG RAWAT
JALAN. Jurnal Experientia Volume 3, Nomor 2, Hal. 13-22.
Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika.
Rizhal Hamdani, T. H. (2017). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN
TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI
RUANG RAWAT JALAN RUMAH SAKIT JIWA MUTIARA SUKMA
PROVINSI NTB.
Stuart. (2013). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Singapore:
Elsevier.
Tambayong, d. J. (2012). Farmakologi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

DAFTAR WEB

https://www.psychiatry.org/patients-families/schizophrenia/what-is-schizophrenia
diakses Rabu 1 April 2020
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/schizophrenia
diakses Senin 17 Februari 2020
40
41

LAMPIRAN
42
43
44
45
46
47

Anda mungkin juga menyukai