PENGANTAR
STUDI ISLAM
iv KATA PENGANTAR
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB INDONESIA
i = a = f
= b <3 = q
o = t •J = k
= th J = i
c = j f = m
c = h 0 = n
t = kh J = w
s = d 0 = h
i = dh £ = 5
J = r cS = y
j = z
= s Untuk mad dan diflong
A
LT = sh a = a panjang
u* = s 1 = i panjang
O* = d u = u panjang
J* = t = aw
dh
t = c
t =
DAFTAR ISI
Halaman Muka ...................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................... iii
Pedoman Transliterasi Arab Indonesia ................................................. v
Daftar Isi .............................................................................................. vi
A. Pengertian
Untuk mendapatkan pengertian tentang Islam, ada tiga istilah yang
perlu dikemukakan, yakni: (1) Islam, (2) syari‘ah, dan (3) wahyu.
Pengertian masing-masing kata ini dikemukakan berikut. Dari sisi bahasa
(asal kata), kata Islam berasal dari kata salima, berarti selamat, tunduk,
berserah. 1 Maka salima min khatarin berarti selamat dari bahaya, salima
min (aibin berarti selamat dari cacat. Arti aslama ilaihi berarti tunduk
kepadanya, jatuh kepadanya, dan menyerah kepadanya. Kata Islam adalah
juga kata jadi (masdar) dari aslama, yang berarti kepatuhan, ketundukan,
dan berserah. 2 Kata kerja aslama berarti menyerahkan, mematuhi, tunduk.
Maka kalau disebut aslama amrahu ila allah berarti menyerahkan
urusannya kepada Allah.
Adapun kata syari‘at berasal dari kata
Dari sisi bahasa berarti sumber air yang dituju.
Syari‘at dapat pula diartikan membuat peraturan. 3 Dapat pula berarti pergi
ke, masuk dalam, memulai atau mengatur. 4
Sedangkan wahyu berasal dari kata <waha} tuakyun, mempunyai arti
al-isyaratu, memberi isyarat atau petunjuk. Maka arti kata awha allahu
ilaihi berarti Allah mewahyukan kepadanya atau Allah memberikan
isyarat atau Allah memberikan wahyu kepadanya, atau Allah memberikan
1
A Dictionary of Modem Written Arabic, Hans Wehr (Ithaca, New York:
Spoken Languange Services, Inc., 1976), him. 424.
2
Kamus alMunawwir ArabJndonesia, Achmad Warson Munawwir
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), him. 654 dan 656.
5
2 STUDI Ibid.,
ISLAMhim.
:BATASAN
1545.PENGERTIAN
6
A Dictionary of Modem Written Arabic, Hans Wehr, him. 1056-1057.
7
Sunnah atau hadis nabi Muhammad adalah sabda (aqwal), Perbuatan (af
al), dan ketetapan Nabi Muhammad (taqrir).
berikut. Rukun iman ada 6, yaitu:
1
Jamal al-Banna, Nahw Fiqhjadid (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, t.t.), him. 28,
seperti ditulis Jaih Mubarak, “Fikih Peternakan”, Paper dipresentasikan dalam
acara Temu Ilmiah Program Pascasarjana IAIN/ STAIN se Indonesia di PPs
IAIN Walisongo Semarang, tanggal 10-12 Nopember 2001, him. 2.
1
H. M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), him. 19-22.
8
Nasr Abu Zaid, “the textuality of the koran”, Islam and Europe in Past
and present, by W. R. Hugenkoltz and K. van Vliet-leigh (eds.), (Wassenaar:
NIAS., 1997), hlm.43.
9
Abdullah Saeed, Islam in Australia (Crows West: Allen & Unwin,
2003), him. 65-67.
10
/bid., him. 20.
c
Pengantar r
Masih pengelompokkan lain adalah oleh Ibrahim M. Abu Rabi1,
meskipun mencampurkan antara pelapisan dengan pengelompokan.
Ibrahim menetapkan empat, yakni: (1) Islam sebagai dasar ideologi atau
filosofi (the ideological/philosophical base), (2) Islam sebagai dasar
teologi (the theological base), (3) Islam pada level teks (the level of the
text), dan (4) Islam pada level praktek (the level of anthropological
reality).1'*
Maksud Islam pada dataran ideologi adalah landasan gerakan
sekelompok orang, sekelompok komunitas dengan mengatasnamakan
Islam. Maka pada tingkatan ini Islam identik dengan ideologi sosialis,
ideologi kapitalis, dan ideologi- ideologi sejenis lainnya.
Sementara Islam sebagai dasar teologi/filosofi secara sederhana
berarti berserah kepada satu tuhan. Untuk lebih lengkapnya lebih dahulu
dikutip apa yang diungkapkan dalam kamus. Disebutkan, theology adalah
a formal study of the natura of God and of the foundation of religious
belief.11 Prinsipnya pada tingkatan inilah agama yang didefinisikan
sebagai pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan
gaib yang harus dipatuhi, pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang
menguasai manusia, pengakuan pada satu sumber yang berada di luar diri
manusia, kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara
hidup tertentu, sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib,
pengakuan terhadap kewajiban-kewajiban yang bersumber pada kekuatan
gaib pemujaan kekuatan gaib. 11 Pendeknya adanya pengakuan pada
kekuatan super natural dan gaib di luar kekuatan dan kekuasaan manusia.
Kenyataannya, semua agama mempunyai kepercayaan ini, bahwa
semua agama mempunyai kepercayaan adanya kekuatan gaib (maha) di
luar kekuatan dan kemampuan manusia. Karena itu, pada tingkatan ini
agama Islam tidak berbeda dengan agama lain, baik agama samawi,
seperti Majusi, Yahudi, Nasrani (Kristen) maupun agama bumi (ardi),
seperti Budha, Hindu, Kong hu chu dan semacamnya. Semua agama ini
mengakui adanya kekuatan super natural (gaib), yakni kekuatan di luar
kekuatan yang dimiliki manusia.
Dengan singkat, pada dataran inilah munculnya istilah bahwa semua
agama adalah sama. Kesamaan dimaksud adalah sama-sama mengakui
adanya kekuatan super natural tersebut. 12
11
Harun Nasution, Islam Dintinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. Ke 5
(Jakarta: UI Press, 1985), I: 10.
12
Lebih jauh tentang pengertian agama lihat Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1978), 1:9-24.
8 STUDI
12 ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
Penjelasan lebih rinci tentang pembagian nash normatif-universal di
satu sisi dengan nash praktis-temporal di sisi lain lihat Khoiruddin Nasution,
Adapun Islam pada level teks, sama dengan toeri Abu Zaid, yakni
teks asli sumber ajaran Islam berupa al-Qur’an dan sunnah nabi
Muhammad SAW.
Sementara Islam pada level praktek, adalah praktek yang dilakukan
kaum Muslim sepanjang sejarah Muslim dalam berbagai macam latar
belakang sosial, budaya dan tradisi.
Untuk kepentingan pembahasan dan analisis, dalam tulisan ini lebih
tepat menggunakan teori yang mengelompokkan Islam menjadi tiga level.
Pertama, Islam pada level teks asli (original text) berupa al-Qur’an
dan sunnah nabi Muhammad SAW yang otentik. Pada level ini dapat
disebut kaum muslim di seluruh dunia, mempunyai al-Qur’an dan sunnah
yang sama, kecuali kelompok Syi‘ah yang mempunyai kategori sunnah
sendiri.
Kedua, Islam pada level pemahaman atau penafsiran terhadap teks
asli. Pada level ini Islam dapat pula disebut Islam sebagai hasil/produk
pemikiran. Pada level ini penafsiran dan pemahaman muncul banyak
sekali.
Ketiga, Islam pada level praktek muslim dalam kehidupan nyata
sesuai dengan latar belakang historis, budaya dan tradisi masing-masing.
Pada level teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam
didefinisikan sebagai wahyu. Uraian lebih rinci dari wahyu tersebut
adalah:
Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang
ada dalam al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad. Masa pewahyuannya
memakan waktu kurang lebih 23 tahun.18
Pada level teks ini Islam adalah nash yang menurut hemat penulis
dapat dikelompokan menjadi dua, yakni:
1. nash prinsip atau normatif-universal, dan
2. nash praktis-temporal.
13
Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetensi antara Hukum
Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2002), him. 56-57.
Sementara dengan menggunakan teori Islam pada level teori dan
Islam pada level praktek dapat dijelaskan demikian. Untuk menjelaskan
posisi syari'at Islam pada level praktek perlu dianalogkan dengan posisi
nash, baik al-Qur’an maupun sunnah nabi Muhammad. Dapat disebutkan
bahwa pada prinsipnya nash tersebut merupakan respon terhadap masalah
yang dihadapi masyarakat Arab di masa pewahyuan. Kira-kira
demikianlah posisi Islam yang kita formatkan sekarang untuk merespon
persoalan yang kita hadapi kini dan di sini. Perbedaan antara nash dengan
format yang kita rumuskan adalah, bahwa nash diwahyukan kepada nabi
Muhammad, sementara format yang kita rumuskan sekarang adalah
format yang dilandaskan pada nash tersebut. Hal ini harus kita lakukan,
sebab persoalan selalu berkembang dan berjalan maju, sementara wahyu
sudah berhenti dengan meninggalnya nabi Muhammad. Pada level inilah
para
fiiqaha ditempatkan, seperti fuqaha’ Makkah di era awal;
1. ‘Ata’ ibn Abi Rabah,
2. ‘Amr ibn Dinar, dan
3. Ibn Jurayj. 14
Kemudian lahir fuqaha mazhab seperti mazhab;
1. Hanaft,
2. Maliki,
3. Ibnu Abi Laila,
4. al-Laith,
5. al-Tabari,
6. al-Shafi‘i, «
7. Hanbali.
Kemudian belakangan muncul:
1. mazhab negara, 15
2. mazhab Ciputat,
3. mazhab Yogya, 16
4. mazhab Sapen, 17
5. dan seterusnya.
14
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh
before the Classical Schools, translated into English by Marion H. Katz,
(Leiden, Boston, Koln: Brill, 2002).
15
Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fitjh Madzhab Negara: Kritik atas
Hulcum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001)
16
Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja
17
Zuly Qodir, Wajah Islam Liberal di Indonesia: Sebuah Penjajagan
12 STUDI ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
Awal aljami'ah: Journal of Islamic Studies, vol. 40, no. 2 (July - December
2002), him. 325-353.
Namun demikian, penting dicatat, bahwa apa yang diteori- kan
(konsep) dalam kitab-kitab fiqh tersebut belum tentu sejalan dengan
praktek (apa yang dilakukan muslim) di lapangan.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan dengan singkat, bahwa fiqh
berada pada level pemikiran sama dengan produk pemikiran lain seperti
fatwa, jurisprudensi, undang-undang, kodifikasi, dan kompilasi. Sebagai
hasil pemikiran, fiqh pun masih dalam bentuk teori/konsep, yang boleh
jadi masih berbeda dengan apa yang dipraktekkan masyarakat muslim.
Bahkan Abu Zaid menyatakan, selalu ada ketidak-sesuaian antara teori
dan praktek. 18
Sejalan dengan adanya kesenjangan antara teori dengan praktek,
dalam studi hukum, di luar hukum Islam, studi dikelompokkan menjadi
dua cabang pokok, yakni:
1. studi konsep/teori (law in books), dan
2. studi praktek di lapangan (law in action).
Maka munculnya studi sosiologi hukum adalah untuk menjelaskan
mengapa ada jarak antara teori (law in books) dan praktek (law in action)
masyarakat. 19
Lebih jauh, Durkheim serta ilmuwan-ilmuwan lain yang
mengikutinya membagi bidang kajian agama pada dua hal pokok, yakni:
1. kepercayaan (beliefs), dan
2. praktek-praktek (practices).
Kepercayaan sama dengan ajaran, sementara praktek sama dengan
keberagamaan. Ajaran adalah teks lisan atau tulisan yang sakral dan
menjadi sumber rujukan bagi pemeluk agama. Untuk agama Islam, nash
adalah al-Qur’an dan al-sunnah (hadis nabi Muhammad saw.). Sementara
keberagamaan (religiosity) adalah perilaku yang bersumber langsung atau
tidak langsung pada nash. Dengan meminjam analisis “religion com-
mitment” dari Glock dan Stark (1965:18-38), keberagamaan muncul
dalam lima dimensi:
1. ideologis,
2. intelektual,
3. eksperiensial,
4. ritualistik, dan
5. konsekuensial.
Dua dimensi pertama, ideologis dan intelektual adalah aspek kognitif
16 STUDI
22 ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
Ibid., him. 11; Muhammad Abu Zahrah, Ushul Ficjih, terj. Saefullah
Ma'shum dkk., (Jakarta: Pustaka Pirdaus & P3M, 1994), him. 2
2. mu'amalah.
Adapun cakupan mu'amalah adalah: (i) perkawinan dan perceraian,
(ii) pidana (‘uqiibah), yang mencakup hudud, qisas dan ta'zir, (iii) jual-
beli (buyu1), (iv) bagi hasil (qirad), (v) gadai (al rahn), (vi) perkongsian
pepohonan (almusaqah), (vii) perkongsian pertanian (almuzara'ah), (viii)
upah dan sewa (al-ijdrah), (ix) pemindahan utang (alhiwalah), (x) hak
prioritas pemilik lama/ tetangga (alshufah), (xi) perwakilan dalam
melakukan akad (al wakalah), (xii) pinjam-meminjam (al'driyah), (xiii)
barang titipan, (xiv) al-ghasb, (xv) barang temuan (luqtoh), (xvi) jaminan
(al kafdlah), (xvii) sayembara (alji‘alah), (xviii) perseroan (shirkah wa
mudarabah), (xix) peradilan (alqada), (xx) wakaf (alwaqf atau al habs),
(xxi) hibbah, (xxii) penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), (xxiii) wasiat,
(xxiv) fara’id (pembagian harta pusaka). 23
Ulama H{anafiya, di antaranya Ibn ‘Abidin al-H{anafi membagi fiqh
menjadi tiga, yakni:
1. ‘ibadah,
2. mu‘amalat, dan
3. ‘uqubah.
Adapun cakupan mu'amalah menurut Ibn Abidin adalah: (i)
pertukaran harta, di antaranya adalah jual-beli dan pinjam- meminjam; (ii)
perkawinan; dan (iii) mukhasamat (gugatan, tuntutan, saksi, hakim, dan
peradilan). Sedangkan cakupan fikih ‘uqubat adalah: (i) qisas; (ii) Sanksi
pencurian; (iii) sanksi zina; (iv) sanksi menuduh zina; dan (v) sanksi
murtad. Dari pembahasan di atas dapat dilihat, bahwa perbedaan antara
Ibn Jaza al-Maliki dengan Ibn ‘Abidin dari mazhab H{anafi adalah, Ibn
Jaza menempatkan ‘uqubah sebagai bagian dari mu‘amalat, sementara Ibn
‘Abidin menjadikannya berdiri sendiri.
Lebih dari itu, berbeda dengan konsep kedua ulama ini, ulama
Syafi'iyah membagi fikih menjadi empat, yakni:
1. ‘ibadah, yakni hal-hal yang berhubungan dengan urusan akhirat
(ukhrawi);
2. mu'amalah, yakni fikih yang berhubungan dengan kegiatan
yang bersifat duniawi;
3. munakahat, yakni fikih yang berhubungan dengan masalah
23
Umar Sulaiman al-‘Ashqar, Tarikh alFiqh al-Islam (Amman: Dar al-
Nafa’is, 1991), him. 20-21. Sebagaimana dikutip Jaih Mubarak, “Fikih
Peternakan”, Paper dipresentasikan dalam acara Temu Ilmiah Program
Pascasarjana IAIN/STAIN se Indonesia diPENGANTAR
PPs IAINSTUDI ISLAM 17 Semarang,
Walisongo
tanggal 10-12 Nopember 2001, him. 3 dst. Lihat juga T. M. Hasbi Ash-
Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), him.
96.
keluarga; dan
4. ‘uqubah, yakni hal-hal yang berhubungan dengan
penyelenggaraan negara. 24
Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ulama kontemporer, membedakan
fikih menjadi dua kelompok besar, yakni:
1. ‘ibadah, yaitu aturan antara Tuhan dengan hambaNya; dan
2. mu'amalat, yakni hukum yang mengatur hubungan sosial, baik
secara perseorangan maupun kolektif.
Secara lebih rinci fikih dibagi menjadi tujuh:
1. ‘ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan Allah dengan
manusia, seperti shalat dan puasa;
2. hukum keluarga (al-ahwal al-skakhsiyah), yaitu hukum
perkawinan (nikah), perceraian (talak, khuluk dll.), nasab,
nafkah, wasiat, dan waris;
3. mu'amalat, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia yang berkenaan dengan harta (al-amwdl), hak,
dan pengelolaan harta (al■ tasharruf) dengan cara transaksi
(akad) dan lainnya;
4. hukum kenegaraan (alahkam alsulianiyah), yaitu hukum yang
mengatur hubungan pemimpin dengan rakyat, serta hak dan
kewajiban rakyat dan pemimpin;
5. ‘uqubah, yaitu hukum yang mengatur tentang pemberian sanksi
bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran dan tindak
pidana untuk menjaga ketertiban dan keamanan manusia secara
kolektif;
6. yaitu hukum yang mengatur hubungan bilateral dan multilateral
(alhuquq aldauliyah);
7. fikih akhlaq (al-adab), yaitu hukum yang mengatur keutamaan
pergaulan dan hubungan manusia dengan manusia. 25
‘Abd al-Wahhaf Khallaf, pemikir kontemporer lain membagi fiqh
hanya menjadi dua bidang, yakni:
1. ibadah, dan
2. mu'amalah.
Ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadhar, sumpah dan sejenisnya.
Sementara mu‘amalah adalah hukum yang mengatur hubungan antar
sesama manusia, baik yang bersifat individu maupun kolektif. Mu'amalah
26
Muhjammad Jawad Maghniyah, al-Fiqhu ‘ala al-Madhahib al Khamsah,
cet. ke-9 (Beirut: Dar al-Tiyar, Dar al-Jiwad, 1413/1992), 5.
27
E. Tyan, “Fatwa” dalam The Encyclopedia STUDIedisi
of Islam,
PENGANTAR ISLAMbaru,
19 vol. II,
him. 866.
28
Al-Nawawi, Adab al-Fatawa uia al Mufti wa al-Mustafri, edisi ke- 2
(Beirut: Dar al-Basha’ir wa al-Islamiyah, 1411/1990), him. 13.
Muhammadiyah, Bahtsul Masa’il dalam Nahdlatul Ulama, dan Majlis
Fatwa dalam MUI.
Berikutnya dijelaskan kompilasi hukum Islam. Kompilasi secara
etimologi, berarti kumpulan atau himpunan, 29 atau kumpulan yang
tersusun secara teratur. 30 Kata kompilasi diambil dari kata compilare
(bahasa latin), compilation (bahasa Inggris) berarti karangan yang
tersusun dari kutipan-kutipan buku lain, 31 dan Compilatie (bahasa
Belanda) yang mengandung arti kumpulan dari lain-lain karangan. 32 Kalau
kata Compilation dikaitkan dengan hukum (compilation of laws) akan
mempunyai arti ‘himpunan undang-undang’. 33
Dalam kamus Webster’s World University, kompilasi (compile)
didefinisikan dengan: mengum-pulkan bahan-bahan yang tersedia ke
dalam bentuk yang teratur dan baik, seperti dalam bentuk sebuah buku,
dapat pula berarti mengumpulkan berbagai macam data. 34
Disebutkan pula, kompilasi (compilation) dapat diartikan:
1. proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan untuk membuat
sebuah buku, tabel, statistik, atau yang lain dan
mengumpulkannya seteratur mungkin setelah sebelumnya
melakukan seleksi terhadap bahan-bahan tersebut,
2. sesuatu yang dikumpulkan seperti buku yang tersusun dari
bahan-bahan yang diambil dari sumber buku- buku, atau
3. menghimpun atau proses penghimpunan. 35
Berdasarkan penelusuran dari sisi bahasa di atas, maka secara bahasa
kompilasi adalah aktifitas pengumpulan dari berabagai bahan tertulis yang
diambil dari berbagai buku atau tulisan mengenai suatu persoalan tertentu
yang dibuat oleh beberapa penulis berbeda untuk dikumpulkan dalam
suatu buku tertentu. Dengan kegiatan ini semua bahan dapat ditemukan
dengan cepat dan mudah. Dengan demikian, kompilasi secara bahasa tidak
29
Kamus Inggris Indonesia (An English Indonesian Dictionary), oleh John
M. Echols dan Hassan Shadily, Cet. XXI, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), him.
132
30
Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Depdikbud RI, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), him. 453
Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris, oleh S. Wojowarsito dan
W.J.S Poerwadarminta, (Jakarta: Hasta, 1982), him 68.
Kamus Umum Belanda Indonesia, oleh S. Wojowarsito, (Jakarta: PT-
Ikhtiar Baru, Van Hove, 1990), him. 123.
33
Kamus Inggris Indonesia, oleh John M. Echols dan Hassan Shadily,
him. 132
34
Webster’s World University Dictionary, oleh Lesis Mulfpred Adams
20 STUDI ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
dkk. (ed.)„ (Washington DC: Publisher Company, 1965), him. 213
35
New Standard Dictonary of The English Language, oleh Funk dan
selalu merupakan produk hukum, dan masih bersifat umum.
Adapun kodifikasi adalah pembukuan suatu jenis hukum tertentu
secara lengkap dan sistematis dalam suatu buku hukum. 36 Karena itu,
kodifikasi merupakan istilah tehnis dalam bidang hukum.
Namun demikian, dalam hukum, kompilasi juga diartikan
44
Bandingkan Kamus Inggris Indonesia, oleh John M. Echols dan
Hassan Shadily, him. 122
45
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992), him. 12
46
Kitab UU (Wetboek) berbeda dengan UU (wet). Misalnya bentuk
Kitab UU Perdata (Burglijk Wetboek) berbeda dengan UU Perkawinan, UU
Pokok Agraria, dan lain-lain. UU biasanya hanya mencakup salah satu sektor
saja dari hukum. Sedangkan kodifikasi meliputi bidang hukum yang lebih
luas, seperti KUH Perdata berarti meliputi bidang hukum perdata secara
keseluruhan.
47
Lihat Kamus Hukum, oleh J.C.T. Simorangkir, dkk, Cet. IV. (Jakarta:
Aksara Baru, 1987), him. 83. Lebih jelasnya baca C.S.T. Kansil, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
!989), him. 72-73. -
48
Hukum Islam menurut Hasbi As-Shiddiqie adalah koleksi
daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Hasbi As-Shiddiqie, Falsafah
Hukum Islam, Cet. III, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), hlm.44
49
KN. Sofyan Hasan dan Sumitro, Dasar-dasar Memahami Hukum
Islam di Indonesia, (Surabaya: Karya Anda, 1994), him 43
50
Tahir Azhari, “Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), him. 9
52
Bustanul Arifin, “Kompilasi Fiqih dalam
tentang hukum Islam yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh
ulama fiqih yang biasa digunakan sebagai referensi di Pengadilan Agama
yang diolah dan dikembangkan serta disusun secara sistematis dengan
berpedoman pada perumusan peraturan perundang-undangan. 37 Sehingga
Kompilasi Hukum Islam tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan
perundangan yang ada di Indonesia.
Adapun jurisprudensi dari sisi bahasa adalah ilmu atau filsafat
37
Tahir Azhary, “Kompilasi hukum PIslam Sebagai
ENGANTAR STUDI ISuatu Analisis
SLAM 27
Sumber-Sumber Hukum Islam” dalam Berbagai Pandangan Terhadap
Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1994), him. 15-16
hukum (science or philosophy of law). 38 Dari sisi istilah atau penggunaan
yang lebih populer, jurisprudensi diartikan, kumpulan keputusan hakim di
pengadilan yang dapat digunakan oleh para hakim sebagai dasar putusan,
khususnya terhadap kasus-kasus yang hukumnya belum ditemukan secara
tertulis dalam kitab-kitab hukum.
38
Oxford Advanced Learners Dictionary, oleh A S hornby (Oxford:
28 STUDI ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
Oxford University Press, 1990), him. 679.
2. norma antara, yakni asas-asas (prinsip-prinsip) serta
pengaturan, hasil kreasi manusia sesuai dengan situasi, j kondisi,
budaya dan kurun waktu, yang muncul dalam bentuk pendapat-
pendapat ulama, paham ilmuwan atau kebiasaan-kebiasaan; dan
3. norma konkrit, yakni semua hasil penerapan dan pelayanan
hukum kreasi manusia dan penegakan hukum di pengadilan
(hukum positif atau hukum yang dipakai masyarakat). 39
Dari teori ini dapat dilahirkan pelapisan ilmu hukum Is-
39
Padmo Wahyono, “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif
Pembentukan Hukum di Masa Datang”, dalam Amrullah Ahmad, (ed.),
Dimensi Hukum Islam dalam Sistem HukumPENGANTAR Nasional: SMengenang
TUDI ISLAM 29
65 tahun
Prof. />. H. Bustanul Arifin, S.H.. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), him.
175-176.
lam sebagai berikut:
1. nilai-nilai filosofis/dasar (alQiyam alAsasiyah),
2. asas-asas umum (alAhkam alAsasiyah), dan
3. norma-norma hukum konkret (al-Ahkdm al-Far'iyah).
Dengan demikian, tingkatan ilmu hukum Islam menjadi:
1. cita-cita hukum yang merupakan norma yang abstrak,
2. norma antara yang dipakai sebagai perantara untuk mencapai
cita-cita hukum, dan
3. norma konkret yang dinikmati orang sebagai hasil penerapan
norma antara atau pengamalannya di pengadilan. 40
Apa yang dapat disimpulkan dari pembahasan di atas adalah,
pertama, Islam dapat dikaji dari berbagai tinjauan. Kedua, bahwa
berbicara tentang Islam perlu diperjelas level yang dikaji; level teks asli,
level pemikiran (hasil ijtihad), dan level praktek. Ketiga, fiqh berada pada
level pemikiran, yang berarti bersifat nisbi, tidak pasti dan berubah
sejalan dengan perubahan sosial budaya, bukan nash yang bersifat mutlak
dan tidak berubah. Namun perlu dicatat, bahwa meskipun nash (teks asli)
bersifat mutlak dan absolut, pemahaman terhadap nash dibutuhkan
perubahan dari waktu ke waktu.
40
Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”,
dalam Riyanta, dkk., Neo Ushul Fiqh: Menuju Ijtihad Kontekstual, edisi revisi
30 STUDI ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
Mazhab Jogja (Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press, 2004), hlm 189.
dengan menggunakan akal secara logis. Maka benar atau tidaknya sesuatu
diukur dengan rasionalitas akal. Dengan demikian dapat disebut obyek
kajian epistemologi rasional adalah hal-hal yang bersifat abstrak-logis.
Paradigmanya adalah logis, dan metode yang dipakai adalah ukuran
rasionalitas, yakni dapat atau tidak diterima akal.
Adapun model berpikir empirikal berpendirian bahwa sumber
pengetahuan adalah pengamatan dan pengalaman inderawi manusia. Maka
indera manusia lah yang menjadi ukuran benar atau tidaknya sesuatu.
Obyek kajian epistemologi empirikal, dengan demikian, adalah fakta
empirik, dan mempunyai paradigma positivistik, yakni sesuatu sesuatu
yang dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat di-
buktikan ulang (verificable/verifiable). Metode yang dipakai adalah
metode ilmiah, dengan ukuran empiris, yakni sesuai atau tidak dengan
fakta.
Sementara model berpikir intuitif (irrasional) berpandangan, bahwa
kebenaran dapat digapai lewat pertimbangan-pertimbangan emosional
(mukashafah). Obyek kajian epistemologi irasional adalah hal-hal yang
abstrak, dan mempunyai paradigma mistik atau ghaib. Adapun metode
yang digunakan adalah latihan secara terus menerus atau mengasah secara
berulang- ulang. Adapun yang menjadi ukuran adalah kepuasan hati.
Karena itu, perbedaan antara epistemologi rasional dengan irrasional
terletak pada paradigma, metode dan ukuran. Filsafat menggunakan
penalaran logis, metode rasional, dan ukuran logis. Sementara
epistemologi irrasional menggunakan paradigma ghaib, latihan dan
kepuasan hati.
Kalau ketiga model tersebut dipadankan dengan model epistemologi
yang populer dalam studi Islam dikelompokkan oleh al-Jabiri menjadi:
1. demonstratif (burhdni),
2. nguistik/tekstual (bayani), dan
3. gnostik/intuitif (‘irfdni).
Epistemologi burhan! adalah, bahwa untuk mengukur benar atau
tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan
alamiyah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu
suci, maka dari sini muncul peripatik.
Bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisa teks. Maka
objeknya adalah gramatika dan sastra (nahwu dan balagah), hukum dan
teori hukum (fiqih dan usul fiqih), teologi dan ilmu-ilmu al-Qur’an dan
hadis. Adapun sumber teks di sini dapat dikelompokkan secara umum
PENGANTAR STUDI ISLAM 31
menjadi dua, yakni:
(1) teks nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.), dan (2)
teks non-nash.
Irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ ‘Iham). Dari
‘irfani muncul illuminasi (illuminatif). Adapun Prosedur penelitian
‘irfaniah dapat digambarkan sebagai berikut, ahwa berdasarkan literatur
tasawuf, secara garis besar kita dapat
menunjukkan langkah-langkah penelitian ‘irfaniah sebagai berikut:
1. Takhliyah: pada tahap ini, peneliti mengkosongkan (tajarrud)
perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatian kepada
(tawjih).
2. Tahliyah: pada tahap ini peneliti memperbanyak amal saleh
dan melazimkan hubungan dengan al-Khaliq lewat ritus-ritus
tertentu.
3. Tajliyah: pada tahap ini, peneliti menemukan jawaban
batiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘irfaniah juga mengenal
teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian ‘irfaniah:
1. Riyadhah: rangkaian _ latihandan ritus, dengan penahapan dan
prosedur tertentu.
2. Thariqah: di sini diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang
mengikuti aliran tasawuf yang sama.
3. Ijazah: dalam penelitian Irfaniah, kehadiran guru (mursyid)
sangat penting. Mursyid membimbing mu-j rid dari tahap yang
satu ke tahap yang lain. Pada tahapl tertentu, mursyid
memberikan wewenang (ijazah) kepada murid.
Apa yang ditayangkan di sini memang sangat bersifat umum.
Diskusi dalam topik ini mungkin dapat memperjelasnya.j Namun, yang
paling penting dari semuanya, sudah siapkah kital menerima paradigma
ini dalam penelitian agama?
Dengan membandingkan antara model uerpikir (epistemologi)
umum dan Islam, dengan demikian, muncul gambaran berikut, bahwa
epistemologi umum:
1. model berpikir rasional,
2. model berpikir empirikal, dan
3 model berpikir intuitif (irrasional).
tertinggal seperti ini biasanya adalah apa yang dikenal dengan hukum adat
(hukum yang mereka akui / sepakati bersama, tertulis atau tidak tertulis).
Terbentuknya hukum di masyarakat ini adalah atas dasar kesepakatan,
lepas dari proses mencapai kesepakatannya demokratis atau tidak. Dari
fakta ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum tertulis muncul setelah
mengalami perkembangan dari hukum tidak tertulis. Namun sampai
sekarang pun di kelompok masyarakat tertentu, yang bukan daerah
pedalaman, masih memberlakukan hukum tidak tertulis.
41
Muslehuddin, Philosophy of Islamic law and the Orientalists, edisi I
revisi (New Delhi: Taj Printer, 1986), him. 33.
34 42
STUDI ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
Ibid., him. 122 dst.
Lepas dari apapun alasannya, namun dalam kenyataannya ada
masyarakat yang memegang hukum tidak tertulis untuk mengatur
hubungan antara anggota masyarakatnya. Dari sinilah munculnya konsep
hukum tertulis dan tidak tertulis. Lepas dari hukum tertulis atau tidak,
yang pasti adalah, dimana sekelompok orang (masyarakat) ada, di situ
pasti ada hukum yang mengatur hubungan mereka. Dengan begitu
sebelum adanya tradisi tulis menulis, hukum sudah ada, yang disebut
hukum tidak tertulis. Sejalan dengan adanya tradisi tulis inilah munculnya
konsep hukum tertulis. Hal yang ingin ditekankan di sini adalah, bahwa
masyarakat manapun di dunia pasti ada hukum yang mengatur hubungan
mereka.
Dengan demikian menjadi tidak beralasan untuk menya- takan,
bahwa kita tidak butuh hukum atau apapun istilahnya tetapi prinsipnya
menunjukkan hal yang sama. Hanya saja pertanyaannya adalah kenapa
harus shari'at Islam. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah, sebab kita
adalah penganut agama Islam. Bahkan inilah yang menjadi unsur
pembeda antara kita yang beragama (Islam) dengan mereka yang tidak
(atau cuek terhadap ajaran) agama yang dianutnya.
SEJARAH PERKEMBANGAN
STUDI ISLAM
A. Pendahuluan
Berbicara tentang sejarah perkembangan studi Islam tidak dapat
dipisahkan dari studi lembaga-lembaga dan kurikulum pendidikan Islam,
yang juga berarti mempelajari sejarah pendidikan Islam. Sebab lewat
lembaga dan kurikulum inilah pada prinsipnya diketahui perkembangan
studinya.
Pada bab ini diuraikan sejarah perkembangan studi Islam di tiga
wilayah besar, yakni:
(1) di dunia muslim, 43
(2) di dunia barat, dan
(3) di Indonesia.
43
Pemilihan kata ‘dunia muslim’ dirasakan lebih tepat. Sebab
pembahasan ini bukan konsep pendidikan atau kajian Islam menurut teori
Islam, tetapi bagaimana sejarah perkembangan pengkajian (study) Islam di
dunia muslim. Maksud dunia Muslim negara-negara mana yang berpenduduk
mayoritas muslim.
36 STUDI ISLAM : BATASAN PENGERTIAN
Dari sisi kelembagaan, perkembangan studi Islam berkem bang dari
sorogan dan halaqah di rumah-rumah para ‘alim ke sistem kuttab,
kemudian ke masjid dan masjid-khan, dai kemudian berlanjut menjadi
sistem madrasah. Dari tingkatan di masjid ini sebagian murid
melanjutkan studi ke jenjang yani lebih tinggi, madrasah. Maka
pengertian madrasah di sini tidal sama dengan madrasah dalam
pengertian pendidikan Islam Indonesia. Madrasah di sini berarti
pendidikan tinggi. Namun demikian, ada juga ilmuwan yang menyebut
bahwa bentuk awal lembaga pendidikan tinggi Islam adalah al-Jami‘ah,
2
dari Lembaga Masjid Jami‘, tempat berkumpul orang banyak.
Sementara kuttab ada dua jenis, yakni kuttab yang berfungsi sebagai
tempat untuk mengajarkan baca-tulis, dan kuttabl sebagai tempat untuk
mengajarkan al-Qur’an dan dasar-dasail agama Islam.3 Ada juga yang
membagi kuttab menjadi dua jenisl lain, yakni: (1) kuttab sekular,' di
mana diajarkan tata bahasa! sastra dan aritmatika, dan (2) kuttab agama,
yang khusus mempelajari materi agama.4 Adapun Lembaga Masjid
menjadi pusat pendidikan dengan sistem halaqah. Dapat disebutkan
bahwa pada tingkatan Lembaga Masjid ini merupakan lanjutan dari
kuttab.
Kemudian dilihat dari perkembangannya, selama tahun 750-1258 M
merupakan masa kejayaan Muslim. Sementara pasca itu menjadi masa
keruntuhan Muslim sekaligus masa kejayaan Eropa. Karena itu, untuk
mengetahui perkembanganl studi Islam di dunia barat perlu diuraikan
lebih dahulu sejarali
2
Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sain
(Sebuah Pengantar)”, dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi
Dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari. (Jakarta: PT Logos Publishin
House, 1994), him. Vi.
3
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam. (Bandung: Mizan
1994), him. 24-25
4
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, him. 20”
21 .
Islam dengan barat, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi
persentuhan
dua fase, yakni: (1) fase ketika Islam memegang kejayaan dan menjadi pusat
ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan, dan (2) fase ketika Islam jatuh
dan runtuh, sementara dunia barat mulai jaya dan menjadi pusat ilmu,
teknologi dan kebudayaan.
Adapun sejarah studi Islam di Indonesia, dimulai dengan tradisi
belajar kepada ulama-ulama yang umumnya adalah pedagang, yang
sekaligus pembawa Islam ke Indonesia. Para murid datang menemuai
guru untuk menanyakan hal-hal yang ingin diketahui. Kemudian bentuk
PENGANTAR STUDI ISLAM 37
ini berlanjut dengan sistem langgar, dimana para murid dan guru bertemu
di masjid atau langgar atau serambi rumah guru, baik dalam bentuk
sorogan maupun dalam bentuk halaqah. Dari sini kemudian muncul
bentuk pendidikan pesantren, yang dilanjutkan dengan sistem kelas, yang
diperkenalkan penjajah Belanda. Untuk lebih rinci, uraian berikut
menggambarkan sejarah perkembangan studi Islam tersebut.
(Cambridge: The Islamic Texts Society, 1987), him. 72; Mehdi Nakosteeni
History of Islamic Origins of Western Education A.D 800-1350 until Introduction
to Medieval Muslim Education (Boulder: The University of Colorado Press,
1964), him. 13-17.
46 PENGANTAR STUDI ISLAM 39
Nasr, Science and Civilization, him. 30.
ilmuwan besai semacam Euclid dan Ptolemy dan sejumlah besar sarjana
lair yang berasal dari beraneka latar belakang bangsa dan agama
Fanatisme agama tampaknya berperan besar dalam prose: kemunduran
kegiatan ilmiah di Aleksandria. Sejak awal aba< ke 5 M., kegiatan
intelektual di kota ini terus mengalami ke munduran, sehingga pada saat
penaklukan Islam (pada tahun 22/643, oleh Jenderal Amrbin Al-Asy),
yang tersisa dari Mu seum Aleksandria 47 hanyalah bagian kecil dari
lembaga yan dulunya megah dilengkapi dengan ruang-ruang belajar,
perpustakaan besar, dan observatorium raksasa. 48 Dengan mundurnya
Aleksandria ditamabah dengan apresiasi yang rendah terhadap kegiatan
ilmiah, sejumlah besar ilmuwan meninggalkan Ale* sandria dan pindah
ke daerah yang berada di bawah naungar kerajaan Sasaniyah, tempat
kebebasan intelektual dijamiJ bagi seluruh ilmuwan tanpa mempersoalkan
afilasi keagam annya.
4. Jundi Syapur
Sejarah Jundi Syapur konon kembali ke masa pra sejarah, ketika kota
ini masih bernama Genta Sapairta (Taman nan Indah). Tetapi posisi Jundi
Syapur semakin penting pada masa kekuasaan Sasaniyah, ketika Raja
Shapur II (310-379 M) memperluas kota ini dan membangun sebuah
lembaga pendidik-
no. 18.
Nasr, Science and Civilization, 189.
Nakosteen, History, 20.
58
44 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi Islam”, him. Vii.
59
Ibid., him. Viii.
Lihat Hasan Asari, Men;ytng/caf> Zaman Keemasan Islam, khususnya
nama-nama kota pusat kegiatan kajian Islam.
Ma‘ruf, yang
a. Nisyapur
Perguruan Tinggi Nizhamiyah Naisyapur dibangun Nizham al-Mulk
untuk al-Juwayni, dan al-Juwayni menjadi mudarris (guru besar) di sini
sampai tiga dekade, yang berakhir dengan wafatnya tahun 478/1083. Dari
sini dapat dihitung bahwa lembaga ini dibangun sekitar 440-an/1050-an.
Di lembaga ini ada empat unrus pokok, yakni (1) seorang mudarris (guru
besar) yang bertanggung jawab terhadap pengajaran di lembaga
pendidikan, muqri’ (ahli al-Qur’an) yang mengajar al-Qur’an di masjid,
muhaddis (ahli hadis) yang mengajar hadis lembaga pendidikan, dan
seorang pustakawan (bait al-maktub) yang, bertanggungjawab terhadap
perpustakaan, mengajar bahasa: dan hal-hal terkait. Tokoh-tokoh yang
pernah menjadi stafl lembaga ini adalah al-Juwayni, Abu al-Qasim, al-
Kiya ali Harrasi, al-Ghazali, dan Abu Sa‘id (mudarris). Abu al-Qasim al-
Hudzali dan Abu Nasyr al-Ramsyi (muqri’). Abu Muhammad al-
Samarqandi (muhaddis). Abu Amir al-Jurjani (pustakawan)] Di samping
itu, al-Ghazali pernah menjadi asisten (mu‘id) bagi al-Juwayni.28
b. Baghdad
Perguruan Tinggi Nizhamiyah. Perguruan tinggi Nizhamiyah di Baghdad ini
61
berdiri pada tahun 455/1063. Perguruan tinggi ini dilengkapi dengan
perpustakaan yang terpandang kaya raya di Baghdad, yakni Bait-al-Hikmat,
yang dibangun oleh Khalif Al-Makmun (813-833 M). Salah seorang ulama
besar yang pernah mengajar di sana, adalah ahli pikir Islam terbesar, Abu
Hamid al-Ghazali (1058-1111 M), yang kemudian terkenal dengan sebutan
imam Ghazali.
Perguruan tinggi tertua di Baghdad itu hanya sempat hidup selama
hampir dua abad. Menjelang tahun 656 H (1258M) berlangsunglah
penyerbuan bangsa Mongol dari Asia Tengah ke arah barat di bawah
pimpinan
28
Hulagu Khan (1256-1349 M), cucu Jenghiz Khan (1162-1227
Hasan Asari, Menyingkap, him. 57-58.
M). Pada tahun 1258 M
46 Sejarah Perkembangan ituIslam
Studi pula mereka merebut dan menguasai ibukota
Baghdad, dan berakhirlah sejarah Daulat Abbasiah.30
62
PENGANTAR STUDI ISLAM 47
Ibid., him. 38-39.
perikeadaan andalusia waktu itu, yang merupakan pusat intelektual di
Eropa dan dikagumi kemakmurannya. Sejarah mecatat, sebagai contoh,
bahwa Aelhoud dari Bath (Inggeris) belajar ke Cordova pada tahun 1120
M, dan pelajaran yang dituntutnya ialah geometri, algebra (aljabar),
matematik. Gerard dari Cremona belajar ke Toledo seperti halnya
Adelhoud ke Cordova. Begitu pula tokoh-tokoh lainnya.
lalu, yang mungkin masih eksis sampai sekarang, tetapi tidak menutup
kemungkinan itu sudah tinggal nama. Atau namanya masih eksis sampai
sekarang tetapi kelasnya tidak
63
Ibid., him. 44.
64
Ibid., him. 45.
65
Khozin, Jejak-Jejak Pen didikan Islam di Indonesia, him. 55-
39
I bid., him. 94.
a. Fase Kejayaan Muslim
Seperti terungkap ketika membahas sejarah perkembangan studi Islam
di dunia muslim, bahwa kontak pertama antara dunia barat dengan dunia
muslim adalah lewat kotak perguruan tinggi. Bahwa sejumlah ilmuwan dan
tokoh-tokoh barat datang ke sejumlah perguruan tinggi, laboratori,
observatorium, dan pusat- pusat studi muslim untuk memperdalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di dunia Islam belahan timur, perguruan tinggi
tersebut berkedudukan di Baghdad (Irak) dan di Kairo (Mesir), sementara
di balahan barat ada di Cordova.
Bentuk lain dari kontak dunia muslim dengan dunia barat pada fase
pertama adalah penyalinan manuskrip-manuskrip ke dalam bahasa Latin
sejak abad ke-13 Masehi hingga bangkitnya zaman kebangunan
(Renaissance) di Eropa pada abad ke-14- Kegiatan penyalinan manuskrip
ini bermula atas restu King Frederick H dari Sicily (1198-1212), yang
belakangan menjabat Kaisar Holy Roman Empire (1215-1250).
54 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Sekalipun memperoleh tantangan dari Paus di Vatikan, namun
kegiatan itu tetap berlangsung sehingga terbangun perguruan-perguruan
tinggi di semenanjung Italia, Padua, Florence, Milano, Venezia, disusul
oleh Oxford dan Cambridge di Inggeris, Sorbonne di Perancis, dan
Tubingen di Jerman. Manuskrip-manuskrip karya para ilmuwan muslim
dari berbagai cabang ilmu itu disalin ke dalam bahasa Latin; dan terlebih-
lebih dalam bidang filsafat hingga lahir aliran Skolastik, aliran
Rasionalisme, aliran Empirisme, dan selanjutnya.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip- manuskrip Arab itu,
terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah tersebut di
Barat. Apalagi sesudah aliran Empirisme- yang dikumandangkan oleh
Francir Bacon (1561- ^26) melalui karyanya Novum Organon - menguasai
alam Pikiran di Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen.
Tetapi penyalinan karya-karya filsafat itu juga membangkitkan Pro dan
kontra yang sangat tajam pada masa-masa permulaan.
40
1 bid., him. 46.
66
Ibid., him. 1-2. PENGANTAR STUDI ISLAM 59
belakang budaya Muslim (asli negara) di E.E.C. adalah:
Negara Jumlah
Belgia 285.000.
Denmark 67.000. .
Perancis 3.000.000.
Jerman 1.700.000.
Yunani 120.000.
Irlandia Hilang
Itali 280.000.
Luxembourg Hilang
Belanda 400.000.
Portugal 20.000.
Spanyol 150.000.
Inggris 936.000.
Total 6.778.000.
Ada dua catatan penting tentang jumlah ini. Pertama, jumlah ini
hanya hasil estimasi saja. Sebab secara tertulis angka atau prosentasi
jumlah penduduk berdasarkan agama tidak ditemukan dalam data-data
statistik. Karena itu dasar jumlah
47
Muhamad Hisyam, Persatuan Pemuda Muslim Se-Eropa: Sekilo I
Sejarah dan Peranannya Dalam Dakwah Islam di Nederland, cet. 1 (Dell Haag:
PPME/YMAE, 1996), hlm.l.
48
Ibid., him. 9.
49
Ibid., him. 10.
Menjelang abad ke 19 muncul kebijaksanaan Belanda untuk engubah
politiknya menjadi politik Balas Jasa. Hal ini dilakukan sebab mereka merasa
sudah banyak sekali mengambil sumber alam Indonesia. Maka semakin
banyaklah orang Indo- esia yang datang ke Belanda. Demikian juga
sekolah-sekolah didirikan di Indonesia. 67
Dasawarsa 1970-an industri manufakture, industi dan jasa di Belanda
semakin berkembang, yang membutuhkan tenaga- tenaga ahli (putih) dan
kasar. Untuk mengisi lapangan kerja putih ini umumnya diisi oleh orang-
orang Belanda sendiri karena mereka ini yang mempunyai ketrampilan.
Sebaliknya, untuk lapangan kerja kasar didatangkan dari sejumlah negara
67
1 bid.
62 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
68
Muslim; Maroko, Tunisia, Mesir, Turki, Indonesia dan sejenisnya.
Pada masa ini banyak juga pelajar-pelajar Indonesia yang sekolah di
Timur Tengah datang ke Eropa. Umumnya mereka datang ke Eropa untuk
berlibur sambil mencari kerja untuk belanja sekolah di Timur Tengah,
khususnya pada musim panas dimana udara di Timur Tengah demikian
panas. Mereka ini umumnya bekerja di pabrik-pabrik, pelabuhan-
pelabuhan dan pelayan pembersih, meskipun ada juga beberapa yang men-
dapatkan pekerjaan putih. 69
Sebagai tambahan, ada istilah yang penting dipahami, yakni moor
atau moren. Kedua istilah Moor atau moren adalah sebutan Portugis dan
Spanyol untuk orang-orang Islam Maroko, yang berarti hitam. Dalam
sejarah Eropa kata moor dipakai untuk menyebut orang Islam pada
umumnya. 70
Di Australia juga mempunyai ceritera yang mirip dengan di Belanda,
dimana kedatangan Muslim di Australia juga diawali dengan kebutuhan
tenaga kasar. Pada waktu alat (tenaga) transportasi adalah Unta dan kuda,
maka kedatangan hewan. hewan ini didatangkan dari Afgahnistan, tentu
dengan supir atau .... Dengan adanya pertukaran alat kenderaaan, dari
yang bersifat kenderaan non-mesin berupa binatang ke alat tranportasi
mesin tenaga mereka ini tidak dibutuhkan lagi, sementara mereka sudah
tinggal di sana cukup lama. Akibatnya, mereka mempunyai anal dan
keturunan. Belakangan melihat jumlah penduduk Muslim yang semakin
banyak maka muncullah kebijaksanaan dari pemerintah Australia untuk
membatasi jumlah Muslim. Tenaga lain datang dari Turki, Lebanon dan
daerah timur tengah lainnya. Dengan singkat ada sekian kelompok muslim
yang datang ke Australia. 71
Pembahasan tentang bagaimana studi Islam di Negara- negara non-
Muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
68
Ibid., him. 18.
5
‘ Ibid., him. 20.
70
Ibid.
71
Abdullah Saeed, Islam in Australia (Crows West: Alien &.
unwin'* 2003), him. 1-12.
71
Lihat Fazlur Rahman, “Some Recent Books on the Qur’an by
Western Authors” sumber dari Qadri Azizy, (konon dicetak di Chicago,
oleh The University of Chicago, tahun 1984), him.
PENGANTAR 73-95.
STUDI ISLAM 63
1. berdasarkan dosen yang mengajarkan studi Islam, ]
2. berdasarkan perguruan tinggi, dan
3. berdasarkan pusat studi.
Berdasarkan dosen yang mengajar dapat dikelompokkan menjadi
dua, yakni:
1. tenaga pengajar yang menganut agama Islam (Mus lim), dan
2. tenaga pengajar non-Muslim.
Mereka non-Muslim ini lebih dikenal dengan sebutan orientalist,
dari kata orient yang berarti timur, dan list berarti ahli. Maka secara
bahasa orientalist adalah ahli ketimuran Maksud timur di sini adalah
Islam. Maka ringkasnya, orientals adalah ahli keislaman. Para orientalist ini
disebut sebagi orang yang mengetahui Islam secara kognitif atau aqliyah
(understanding), tidak pernah sampai pada tingkat afektif atau
Eropa dan Amerika), dan belum ada muslim yang menulis dalam bahasa
Inggris dan beberapa bahasa Eropa, seperti bahasa Perancis, bahasa
Jerman dan bahasa Belanda, ahli Islam di barat didominasi oleh para
orientalis. Maka buku- buku dan artikel-artikel tentang pemikiran-
pemikiran di bidang Islam pun didominasi dan merupakan hasil pemikiran
para orientalis. Siapa yang ingin mengetahui tentang Islam, maka sumber
bacaannya adalah karya orientalis. Seiring dengan adanya sarjana muslim
yang sekolah di barat dan menulis dalam bahasa barat tentang Islam, maka
ahli keislaman pun muncul dari sejumlah muslim. Pada akhirnya banyak
diantara sarjana Muslim ini yang menulis dalam bahasa Barat; Inggris,
Perancis, Jerman, Yunani, Belanda dan bahasa Barat lain.
Untuk menyebut sebagian di antara sarjana Muslim yang
menjadi ahli dalam kajian Islam adalah:
72
Fazlur Rahman, Some Recent Books, him. 75-85.
73
Ibid., him. 86-92.
66 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Pengelompokan lain dilakukan Koren dan Nevo, yakni:
1. tradisionalist, dan
2. revisionist.
Adapun maksud pendekatan tradisional, adalah ilmuwan yang
mengkaji al-Qur’an dengan meyakini mushaf al-Qur’an yang ada
sekarang, apa adanya, tanpa mempertanyakan keasliannya
(originalitasnya). Maka mereka tidak mempertanyakan bagaimana cara
pengumpulannya, siapa-siapa yang terlibat dalam pengumpulan dan
penyeragamannya, tidak mempertanyakan ada atau tidaknya unsur politik
atau kepentingan kelompok dalam pengumpulan dan penyeragamannya
dan sejenisnya. 74
Sebaliknya, kelompok revisionis, menurut teori ini, mempertanyakan
keotentikan (originalitas) al-Qur’an, mempertanyakan sejauhmana
keterlibatan kepentingan politik dalam pengumpulan, penerimaan dan
penyeragaman mushaf, yang kemudian terkenal dengan mushaf ‘Uthmani.
Bahkan, secata tidak langsung, kelompok ini berpendapat, ada
kepentingan kelompok atau pilitik dalam penyeragaman mushaf tersebut.
Untuk mengetahui keotentikan (originalitas) al-Qur’an di- butuhkan kajian
dari sumber lain, di luar apa yang ada dalam mushaf. Kalau isi mushaf
sesuai dengan apa yang didapat dari sumber lain tersebut, maka
dikelompokkan sebagai sumber yang asli. Wansbrough dengan karyanya
Quranic Studies 75 oleh Koren dan Nevo, masuk pada kelompok
revisionis, 76 dan A Rippin masuk pada kelompok-tradisional.
Masih ada sejumlah karya lain di bidang al-Qur’an yang tidak
disebutkan, baik oleh Rahman di satu sisi maupun Koren dan Devo di sisi
lain. Di antaranya yang sudah terkenal adalah:
1. W. Montgomery Wattt dan R. Bell dengan karyanya
Introduction to the Qur’art,
2. Harris Birkeland, dengan bukunya Old Muslim Opposition
Against Interpretation of the Koran,
3. Nabia Abbott, dengan karyanya, Studies in Arabic Literary
8
Koren andY. D. Nevo, “Methodological Approaches”, him. 88-89.
75
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of
Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1977).
PENGANTAR
^Koren and Y. D. Nevo, “Methodological STUDI ISLAM
Approaches”, 67 89-93-
him.
Papyri II: Quranic Commentary and Tradition.
Adapun dari sisi kelembagaan/institusi, studi Islam di negara-negara
non-Muslim tidak selalu dengan nama Islamic Studies, tetapi dengan
berbagai nama, semisal Middle East Studies, Near Eastern Studies,
Religious Studies, Compara- tive Religion dan lain-lain. Perguruan tinggi
yang menyebut nama Islamic studies dan menjadi major di Amerika
77
Serikat (USA) hanya beberapa perguruan tinggi, di antaranya adalah.- !
77
geogle, a'kses tgl. 25 Agustus 2007.
68 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
American Islamic College di Chicago, dimana Islamic Studies berada di
bawah Area & Ethnic Studies. Di samping itu, di college ini juga
ditawarkan Religious Studies.
American University di Massachusetts, Washington, yang berdiri tahun
1893. Islamic Studies ada di bawah Ethnic Studies, sama dengan
American Studies, European Studies, Latin American Studies, Judaism &
Jewish Studies, Area Studies, Ethnic Studies, dan Cultural Studies. Di
samping itu, ada juga Religious Studies, yang mencakup Philosophy dan
Religious Studies. College of Wooster di Wooster, dan berdiri tahun 1866.
Islamic Studies ada di bawah Etnic Studies, sama dengan African Studies,
Asian & Pacifik Studies, European Studies, Latin American Studies,
Middle Eastern Studies, Afro-American (black) Studies, Area Studies,
Ethnic Studies, dan Cultural Studies. Perlu dicatat, di college ini juga da
Religious Studies. Hartford Seminary di Hartford, yang berdiri tahun
1920, dimana Islamic Studies ada di bawah Ethnic Study dan hanya ada
Islamic Studies. Di samping itu, ada juga Religious Studies, yang
menawarkan Ministry Church Administration, Religion & Theology, dan
Bible Studies.
Harvard University di Cambridge, yang berdiri tahun 1636. di universitas
ini Islamic Studies ada di bawah Ethnic Studies, sama dengan African
Studies, Asian
&. Pacific Studies, European Studies, Hispanic-Ameri- can Studies, Latin
American Studies, Middle Eastern Studies, Afro-American (black)
Studies, Judaism & Jewish Studies, dan Area Studies. Di samping itu,
universitas ini juga memiliki Religion & Theology, yang menawarkan
Philosophy, Religion & Theology, Biblical Language, dan Bible Studies.
6. Luther Seminary di St Paul, MN., menempatkan Islamic
Studies dan hanya satu-satunya di bawah Eth-j nic Studies. Di
samping itu, ada juga Religious Studies yang menawarkan
Bible Studies, dan Religion & Theology.
7. North Central University di Minneapolis, yang berdiri tahun
1967, menempatkan Islamic Studies dan hanya satu-satunya di
bawah Ethnic Studies. Di Universitas ini juga ditawarkan
Religion yang menawarkan Bible Studies, dan Religion &
Theology.
8. Ohio State University (main campus),
PENGANTAR STUDI yang
ISLAM berdiri
69 tahun
1870, menempatkan Islamic Studies di bawah Ethnic Studies,
sama dengan African Studies, Asian
&. Pacific Studies, European Studies, Afro-American (black)
Studies, Judaism & Jewish Studies.
4. University of Washington, dengan Program Comparative
Islamic Studies dan Comparative Religion.
Sementara di perguruan tinggi lain lebih banyak menggunakan
nama Studi Wilayah (Area Studies) dan Pusat Studi (Certer for Study),
bukan major. Sekedar contoh dan untuk menyebut sebagian diantaranya:
1. Princeton University dengan Jurusan Studi Timur Dekat,
Sejarah dan Agama (Departments of Near Eastern Studies,
History, and Religion)
2. Temple University dengan Jurusan Studi Agama (Department
of Religious Studies)
3. Indiana University dengan Jurusan Program Studi Islam,
Timur Tengah dan Bahasa Timur Dekat (Middle East and
Islamic Studies Program, Near Eastern Languages)
4. Georgetown University dengan Pusat Studi Muslim dan
Kristen( Center for Muslim-Christian Studies), I
5. Chicago University dengan Pusat Studi Timur Tengah dan
Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat (Centre for
Middle East Studies and Department of Languages and Near
Eastern Culture).
6. University of California Los Angeles (UCLA) mempunyai
beberapa pusat untuk studi Islam di samping The Department
of Near Eastern Languages and Cultures (NELC), yakni: Pusat
Studi Timur Tengah dan Timur Dekat (Centre for Middle East
and Near Eastern Studies), Pusat Studi Timur Dekat (Center for
Near Eastern Studeis [CNES]), dan Middle Eastern and North
African Studies (MENAS).
7. University of Colorado di Boulder dengan Jurusan Studi
Agama (Department of Religious Studies).
Sebagai tambahan, salah satu dari universitas yang menawarkan
studi Islam, menurut hasil rangking tahun 2006, adalah masuk salah satu
dari sepuluh (10) universitas terbaik dunia, yakni Princeton University.
70 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Daftar lengkap dari sepuluh universitas terbaik di dunia tersebut adalah:
1. Harvard University (USA),
2. Massachusetts Institute of Technology (USA),
3. University of Cambridge (UK),
4. University of Oxford (UK),
5. Stanford Univerity (USA),
6. University Of California Berkeley (USA),
7. Yale University (USA),
8. California Institute Of Technology (USA),
9. Princeton University (USA), dan
10. Ecoley Polytechnique (UK).
Sementara di Kanada, juga masih masuk wilayah Amerika Utara,
ada beberapa perguruan tinggi yang menawarkan studi Islam dengan
sebutan yang mirip dengan itu, yakni:
78
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995),
him. 21-22.
79
Ibid., him. 23.
79 PENGANTAR STUDI ISLAM 75
M., him. 31-32.
Pengajaran dengan sistem langgar ini dilakukan dengan dua cara.
Pertama, dengan cara sorongan, yakni seorang mu- rid berhadapan secara
langsung dengan guru, dan bersifat perorangan. Kedua, adalah dengan
cara halaqah, yakni guru dikelilingi oleh murid-murid.65
Adapun sistem pendidikan dengan pesantren atau dapat diidentikkan
dengan huttab, dimana seorang kiyai mengajari santri dengan sarana
masjid sebagai tempat pengajaran/ pendidikan, dan didukung oleh pondok
sebagai tempat tinggal santri.66
Di pesantren juga berjalan dua cara, yakni (1) sorongan dan (2)
halaqah. Hanya saja sorongan di pesantren biasanya dengan cara si santri
yang membaca kitab, sementara kiyai mendengar, sekaligus mengoreksi
kalau ada kesalahan.67
Sistem pengajaran berikutnya adalah pendidikan di kera- jaan-
kerajaan Islam, yang dimulai pertama dari kerajaan Samu- dera Pasai di
Aceh, kerajaan yang didirikan Malik Ibrahim bin Mahdun berdiri pada
abad 10 M.68
Adapun materi yang diajarkan di majlis Ta'lim dan halaqah di kerajan
pasai adalah fiqh mazhab al-Shafi‘i. Dari sisi kelembagaan adalah
informal. Tokoh pemerintah merangkap tokoh agama, dan biaya
pendidikan pun juga bersumber dari negara.69
Kedua, kerajaan Perlak di selat Malaka. Di kerajaan ini ada lembaga
pendidikan berupa Majlis Ta'lim Tinggi yang dihadiri oleh murid khusus
yang sudah alim dan mendalam ilmunya. Kitab yang dibaca pun kitab
kualitas tinggi, al-Umm, kitab fiqh karangan imam al-Shafi‘i.70
Ketiga, kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874 M), kerajaan yang
berdiri 12 Zulkaedah 916 H (1511M), dan mengatakan Perang terhadap
buta huruf dan buta ilmu. Di kerajaan ini
65
1 bid., him. 23.
66
1 bid., him. 24.
67
Ibid., him. 26.
68
Ibid., him. 29.
69
Ibid., him. 29.
70
Ibid., him. 30.
ada lembaga-lembaga negara yang berfungsi di bidang pendidikan, yakni:
(1) Balai Seutia ulama. Lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpul
76 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Khoiruddin Nasution
80
Ibid., him. 37.
81
Ibid., him. 38-39.
82
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, him. 58-
83
Ibid., him. 59.
7t>
Ibid., him. 76. PENGANTAR STUDI ISLAM 79
85
Ibid., him. 77
Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 34
Tahn 1950 dan pelaksanannya diatur dalam Peraturan Bersama 1 Menteri
Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.
K/I/14641 Tahun 1951 (Agama) dan No. 28665/Kab. tahun 1951
(Pendidikan) tanggal 1-9-1951.
PTAIN membuka tiga jurusan, yaitu Jurusan Qadla, Tar- biyah dan
Dakwah. Setelah PTAIN berjalan kira-kira sembilan tahun-waktu itu
Ketua Fakultasnya adalah Prof. Muhtar Yahya- dirasakan tidak mungkin
mempertahankan hanya satu fakultas. Dengan alasan, karena demikian
luasnya ilmu pengetahuan keagamaan Islam,. Maka pada tahun 1960
PTAIN dilebur dan digabungkan dengan Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA) milik Departemen Agama yang didirikan di Jakarta dengan
Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1957. Penggabungan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) dengan peraturan presiden RI Nomor 11
tahun 1960 dan Penetapan Menteri Agama No. 43 tahun 1960 tentang
penyelenggaraan LAIN. Maka IAIN al- Jami’ah al-Islamiyah al-
Hukumiyah diresmikan berdirinya oleh Menteri Agama RI pada tanggal
2 Rabi’ul Awwal 1380 H bertepatan dengan tanggal 28 Agustus 1960
berdasarkan PP. No.
11 tahun 1960 tanggal 9 Mei 1960. IAIN tersebut merupakan
penggabungan antara PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta.
Melihat perkembangan IAIN yang pesat yang ditandainya dengan
banyaknya berdiri fakultas-fakultas cabang di daerah ;
daerah menunjukkan besarnya minat masuk IAIN. Kondisi ini
melatarbelakangi lahirnya PP No. 27 Tahun 1963, yang memungkinkan
didirikannya IAIN yang terpisah dari pusat. Dari sisi waktu berdirinya
IAIN dapat digambarkan berikut:78
1. IAIN Ar-Raniry Banda Aceh tanggal 5 Oktober 1963,
2. LAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 5 Desember
1963,
3. IAIN Raden Fatah Palembang tanggal 22 Oktober
1964,
4. IAIN Antasari Kalimantan Selatan tanggal 22 Nopember 1964,
5. IAIN Sunan Ampel Surabaya tanggal 6 Juli 1965,
6. IAIN Alauddin Ujung Pandang tanggal 28 Oktober
1965,
7. IAIN Imam Bonjol Padang tanggal 21 Nopember 1966,
8. LAIN Sultasn Taha Saefuddin Jambi tahun 1967.
Kemudian yang dulunya fakultas-fakultas yang merupakan cabang,
80 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
dipromosikan menjadi IAIN baru. Termasuk kategori ini adalah:
1. IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tanggal 28 Maret
1968,
2. IAIN Raden Intan Lampung pada tanggal 28 Oktober 1968,
3. LAIN Walisongo Semarang pada tanggal 1 April 1970,
4. IAIN Sumatera Utara di Medan pada tanggal 19 Nopember
1973.
Di samping 14 LAIN tersebut di atas, sejak tahun L997, berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Agama R.L. Dr. Tarmizi Taher, berdiri 36
STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) daerah-daerah.
Kemudian sejak tahun 2002 ada perkembangan dan Perubahan lagi di
tubuh perguruan tinggi Islam, yakni sejumlah
IAIN berubah menjadi UIN dan sejumlah STAIN berubah) menjadi IAIN.
IAIN yang berubah menjadi UIN adalah:
1. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
3. IAIN Sunan Gunung Djati Bandung,
4. IAIN Alauddin Makasar,
5. IAIN Sultas Syarif Qosim Pakanbaru, dan
6. STAIN Malang.
Sementara STAIN yang berubah menjadi IAIN adalah:
1. STAIN Serang
2. STAIN Mataram, dan
3. STAIN Gorontalo
Ketika Menteri Agama dijabat Munawwir Sadjali, ada dua program
untuk meningkatkan pendidikan, yakni di tingkat SLTA dicetuskan
program MAN-PK (Madsarah Aliyah Negeri Program Khusus), sementara
untuk tingkat perguruan tinggi ada program Pembibitan Dosen.
Sementara Menag R.I. dijabat Maftuh Basuni, mulai tahun 2007
disedikan beasiswa bagi guru-guru di sekolah-sekolah yang ada di bawah
Departemen Agama untuk mengambil program S2. Demikian pula bagi
guru bidang studi matematika, kimia, fisika dan biologi disekolahkan ke
UI, IPB, ITB, UPI, UGM, ITS dan UN Malang. Sementara guru bahasa
Arab dan agama akan disekolahkan ke UIN Jakarta, UIN Yogyakarta,
UIN Bandung, UIN Malang, IAIN Semarang, IAIN Surabaya dan IAIN
Makasar.
Mulai tahun ajaran/pelajaran 2007/2008 Depertemen Agama RI.
Mempunyai program bani, yakni membuka Madrasah Aliyah
PENGANTAR STUDI INegeri
SLAM 81 Insan
Cendikia. Sekolah unggulan ini menurut rencana dilaksanakan di dua kota,
Serpong dan Gorontalo
B. Studi Al-Qur'an
A. Wilayah Kajian al-Qur’an
Dalam kitab-kitab ilmu-ilmu al-Qur’an (‘wliim al-qur’an) dikupas
sejumlah masalah. Berarti topik-topik itulah yang
PENGANTAR STUDI ISLAM 83
menjadi kupasan dalam studi al-Qur’an. Topik-topik bahasan ilmu al-
Qur’an dalam ringkasan dapat digambarkan demikian. I Pertama, sejarah
ilmu al-Qur’an, yang mencakup: (1) pertum- buhan ilmu-ilmu al-Qur’an,
(2) ilmu al-Qur’an di masa Rasuli dan khulafa al-Rasyidin, (3) tokoh-
tokoh tafsir dalam abad kedua hijrah, (4) ilmu-ilmu al-Qur’an yang
tumbuh dalam abad ketiga hijrah, (5) lmu-ilmu al-Qur’an yang tumbuh
dalam abad keempat hijrah, (6) ilmu-ilmu al-Qur’an yang tumbuh dalam
abad kelima Hijrah, (7) ilmu-ilmu al-Qur’an yang tumbuh dalam abad
keenam dan ketujuh Hijrah, (8) kapankah timbul istilah ‘ulum al-Qur'an
(Ilmu-ilmu al-Qur’an), (9) ilmu-ilmu al- Qur’an dalam abad kedelapan
dan kesembilan hijrah, (10) ilmu-ilmu al-Qur’an dalam abad keempat
belas, dan (11) ta'rif ‘ulum al-Qur’an
Kedua, ilmu tentang latar belakang turunnya ayat (‘ilm asbab al-
nuzul), yang mencakup: (1) hubungan sebab dengan musabbab, (2) kisah
nuzulnya ayat, (3) kepentingan dan kedudukan ‘ilm asbab al-nuzul, (4)
ta‘rif (ma'na) asbab al-nuzul, (5) ada sejumlah sebab yang menjadi latar
belakang turun, dan (6) hubungan surat dengan surat (ikatan surat dengan
surat)
Ketiga, ilmu makki wa al-madani, yakni ilmu yang menerangkan
mana al-Qur’an yang turun di Makkah dan mana yang turun di Madinah,
dan mencakup: (1) ciri-ciri surat Makkiyah,;»
(2) ciri-ciri surat Makkiyah yang aghlabiyah, (3) ciri-ciri surat
Madaniyah, (4) ciri surat Madaniyah yang aghlabiyah, (5) surat Makkiyah
dan Madaniyah masing-masing dibagi kepada tiga marhalah, (6) analisis
sembilan surat yang disepakati turunnya dalam marhalah Makkiyah yang
pertama, (7) uslub surat-surat Makkiyah marhalah yang pertama, (8)
keadaan surat ma kkiyah marhalah yang kedua, (8) surat makkiyah
marhalah yang ketiga, (9) kisah ashab al-Kahfi, (10) kisah Musa, (11)
kisah Dzulkarnain, dan (12) ciri surat Madaniyah dari marhalah ke
marhalah.
Keempat, sekitar kalimat
yang dipakai untuk
pembukaan urat (fawatihu
al-suwar), yang
mencakup: (1)
keistimewaan surat
makiyah, (2) pendapat
ulama tentang makna
b. Model-model Tafsir
1. Model Tahlili
Dapat disebut model kajian yang digunakan dalam mengkaji al-
Qur’an sebagai sumber ajaran Islam (nash) secara umum adalah model
kajian tahlili. Maksudnya adalah metode kajian al- Qur’an dengan
menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang
terdapat dalam urutan mushaf ‘Uthmdni. Ternyata menurut sejumlah
ilmuan metode yang sebagian ilmuan menyebutnya dengan metode kajian
atomistic atau metode kajian yang bersifat parsial ini memiliki beberapa
kelemahan. Fazlur Rahman misalnya berpandangan, metode kajian
atomistic menjadi penyebab kegagalan umum memahami keutuhan ajaran
Qur’an. Sebab dengan metode parsial ini nash (al-Qur’an) dipamahami
kata demi kata atau ayat demi ayat yang ada dalam surah secara terpisah-
pisah. Akibatnya al-Qur’an terkesan tidak menjadi satu kesatuan yang
utuh, melainkan terpisah-pisah, dan pada gilirannya hukum-hukum yang
diambil dari al-Qur’an pun tidak sejalan dengan nilai yang semestinya.1
Quraish Shihab adalah ilmuan lain yang memandang negatif terhadap
metode kajian al-Qur’an tahlili. Sejalan dengan Rahman, Quraish
berpendapat, satu akibat dari pemahaman al-Qur’an
berdasar ayat demi ayat secara terpisah adalah al-Qur’an terlihat seolah
sebagai petunjuk yang terpisah-pisah. 86 Akibat lain dari kajian al-Qur’an
dengan menggunakan metode parsial menurut Amina Wadud adalah
termarginasisasinya wanita, yang semestinya al-Qur’an meletakkan
wanita sejajar dengan kaum laki-laki. 87 Pandangan yang sama dengan
90 Karya-karya tentang
nasikh wa mansukh
dimaksud adalah Naskh al
Q u t an oleh Abu Bakr
Muhammad al-Zuhrl (w.
124/742), Kitab al-Nasikh Wa
al-Mansukhfi al-Qur an
alKarim oleh al-Nahhas (w.
338/949), al-Nasikh Wa
Badr al-Din
91
Bint
93 al-Shati’ nama
julukan ‘Aishah ‘Abd al-
Rahman, seorang ahli tafsir
modern Mesir, yang lahir di
Dumyat (Damietta) Mesir
tahun 1913. Bint al-Shati’
dididik dalam lingkungan
tradisional oleh bapaknya,
yang seharusnya juga tidak
mengijinkannya masuk
92 KAJIAN SUMBER ISLAM
sekolah umum. Tetapi
ibunya dan kakek dari
pihak ibunya
membolehkannya masuk
sekolah umum. Tahun 1936
Bint al-Shati’ masuk
menjadi mahasiswa
Fakultas Sastra (Faculty of
Letters) University Fuad I
(yang kemudian menjadi
Cairo University), dan
meraih geler doktor pada
tahun 1950 dengan sebuah
disertasi tentang Puisi Abu
al-‘Ala al-Ma‘arri. Bint al-
Shati’ menulis sejumlah
buku dan artikel dalam
berbagai bidang, seperti
Studi Qur’an (Quranic
studies), Kritik sastra,
feminisme, sejarah dan
autobiograpi. Untuk
melihat informasi lebih
jauh tentang Bint al-Shati’
lihat C. Kooji, “Bint al-
Shati’: A Suitable Case for
Biography?”, dalam The
Challenge of the Middle
East, diedit oleh Ibrahim A.
El-Sheikh et al.
(Amsterdam; University of
Amsterdam, 1982), him. 67-
72; Muhammad Amin, “A
Study of Bint al- Shari”s
Exegesis” (Montreal: Thesis
MA di McGill University,
1992), him 6-23; Valerie J.
Hoffman-Ladd, “‘Aisha
‘Abd al-Rahman”, dalam
the Oxford Encyclopedia of
the Modem Islamic World,
diedit oleh John L Esposito
PENGANTAR STUDI ISLAM 93
(New York; Oxford: Oxford
menjadi isterinya), juga menekankan kebutuhan tafsir tematik (maudu al-
wdhid). Sayang Bint al-Shati’ tidak berbeda dengan gurunya, juga tidak
memberikan definisi tentang tafsir tematik dimaksud. Untuk mengatahui
konsep Bint al-Shati’ menjadi penting memahami tanggapannya terhadap
tafsir Klasik dan Pertengahan. Diantara kritiknya terhadap tafsir Klasik
dan Pertengahan adalah sebagai berikut:
96
Al-Farmawi, Met ode Tafsir
Mauidhu'iy: Suatu Pengantar, terj.
oleh Suryan A. Jamrah (Jakarta:
Rajawali Pers, 1996), him. 35-36.
97 Ibid.
98
Ashraf ‘Ali Thanavl Adalah seorang tokoh agama terkenal di Indo-
Pakistan. Konon beliau telah menulis lebih dari 800 karya dalam berbagai
bidang Literatur Islam. Tafsir berjumlah 12 vol., dan sudah direvisi ulang di
PENGANTAR STUDI ISLAM 99
Tafsir kedua adalah al-Tafsir al-Hadith yang diterbitkan tahun 1381-
1383/1962-1964 oleh Muhammad ‘Izzat Darwaza (1888-1984), seorang
sarjana Arab-Palestin; 99 yang kemudian diikuti Fi Zilal alQur’an karya
Sayyid Qutb (1324-1386/1906-1966), seorang sarjana Mesir; 100 dan Tafsir
al-Qur’an al-Karim oleh Mahmud Shaltut (1893-1963) sarjana Mesir
lainnya. 101 Karya lain yang masuk kelompok ini adalah alMizdn fi Tafsir
alQur’an oleh
Muhammad Husain al-Tabataba‘i (1312-1402/1903-1981).27 Karya
Hamid al-Din al-Farahi (1280-1349/1863-1930), yang ditulis dalam
bahasa Urdu, sebagai satu pengecualian dari karya berbahasa Arab adalah
karya lain dalam kelompok tafsir tematik berdasar surah demi surah. 102
Farahi mengembangkan sebuah teori tafsir, dan menulis tafsir sesuai dengan
teori yang dibangunnya. Sayang, teori tafsirnya hanya sedikit dipraktekkan
karena maut menjemputnya lebih awal. al-Farahi menyelesaikan 14 surah.
Muridnya, Ahsan Islahi (1324/1906-....), kemudian meneruskan tafsir dengan
menggunakan metode al-Farahi. Lihat Mustansir Mir, “The Sura as a unity",
him. 215.
103
Quraish Shihab, Wawasan alQuran, him. 74.
104
Lihat Ziauddin Ahmad, “The Qur’anic Theory of Riba”, dalam
Studies in Quran, diedit oleh Mohamed Taher (New Delhi: Anmol
Publications Pvt. Ltd., 1997), him. 64-65. Namun penting dicatat bahwa ada
sedikit masalah dengan contoh yang dituliskan ini, yakni penulis tidak
menyinggung hadis Nabi Muhammad yang berhubungan dengan riba.
Idealnya, hadis juga harus dimasukkan dalam pembahasan.
PENGANTAR STUDI ISLAM 101
Hanya saja jumlah pemikir yang menggunakan semakin meningkat sejak
awal abad ke 20. Bersamaan dengan itu, ada satu masalah cukup pelik
ketika menggunakan metode tematik berdasar subyek, yakni untuk
menemukan urutan ayat- ayat, di mana hanya sedikit ayat yang diketahui
urut-urutan turunnya.
Dari kupasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua jenis tematik;
berdasar subjek/topik dan berdasar surah, sama-sama digunakan oleh
banyak ilmuan di masa modern, meskipun akhir-akhir ini tematik
berdasar subjek lebih diminati. Lahirnya fenomena sistematisasi dan
metodologisasi keilmuan Islam akhir-akhir ini sesuai dengan
perkembangan keilmuan yang cenderung ke arah itu. Usaha ini
nampaknya sebagai usaha perbaikan terhadap usaha-usaha ilmuan yang
telah dikembangkan sebalumnya. Metode-metode yang disistematisir dan
dimetodologisasikan tersebut pada hakikatnya telah digunakan oleh para
ilmuan klasik (salaf) dan pertengahan (khalaf) dalam menggali ilmu dari
sumber ajaran Islam (nash), hanya saja ilmu tersebut belum disistematisir
sedemikian rupa, seperti yang dilakukan para ilmuan belakangan. Dengan
kata lain, usaha sistematisasi dan metodologisasi yang dilakukan para
ilmuan di masa kontemporer merupakan kelanjutan dari usaha-usaha
yang dilakukan ilmuan sebelumnya.
pedia; dan (4) satu book riview. Rahman lahir di Pakistan pada tanggal 21
September 1919, dan meninggal pada tanggal 26 Juli 1988. Lihat Tamara
Sonn, “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic
World, diedit oleh John L. Esposito (New York, Oxford: Oxford University
Press, 1995) 3:408; Donald L. Berry, “Fazlur Rahman: A Life in Review,”
dalam The Shaping of An American Islamic Discourse, diedit oleh Earle H.
Waugh dan Frederick M. Denny (Atlanta dan Georgia: Scholars Press, 1998),
him. 37-48, dan him. 261-269.
Ada kebutuhan yang luar biasa terhadap teori hermeneutik yang akan
dapat membantu kita memahami makna al-Qur’an sebagai satu kesatuan
agar baik isi teologi maupun sisi etis dan yuridisnya menjadi satu
kesatuan. 108
106
Meskipun menurut hemat penulis dalam prakteknya tampak bahwa
Amina Wadud lebih menekankan pada pembahasan bahasa daripada anjuran
Rahman untuk menekankan pada pembahasan al- Qur’an secara menyeluruh
dalam satu kesatuan yang utuh dan terpadu.
107
Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur’an,” dalam Afkar Inquiry
Magazine of Events and Ideas, May 1986, him. 45; Rahman, “Approaches to
Islam in Religious Studies: Review Essay” dalam Approaches to Islam in
Religious Studies, diedit oleh Richard C. Martin (Tucson: The University °f
Arizona Press, 1985), him. 198. Awalnya Rahman menyebut teorinya Origan
Pendekatan Sosiology (sociological approach). Lihat Fazlur Rahman,
“Islamic Modernism: Its Scopes, Method, dan Alternatives”, dalam
International Journal of Middle East Studies, No. 1 (1970), him. 330. Tamara
Sonn mengelompokkan teori Fazlur Rahman sebagai teori ‘sejarah’
(historicism), sama dengan teori Mohamad Arkun (seorang sarjana asal
^Ijazair) dan ‘Abdullah al-Naim (seorang sarjana Moroko). Tamara Sonn,
Fazlur Rahman’s Islamic Methodology,” dalam Muslim World, No. 81 H-
October 1991), him. 227.
108
Rahman, “Interpreting the Qur’an”, him. 45.
PENGANTAR STUDI ISLAM 103
Metode tematik maupun holistik sama-sama menekankan pada
pentingnya pemahaman al-Qur’an dengan metode silang (cross-
referential), atau integralistic atau inductive. Metode i^; kelihatannya
diilhami oleh konsep yang mengatakan ‘seluruh al- Qur’an saling
menjelaskan’ (one part of the Qur’an interprets another) atau ‘different
parts of the Qur’an explain one another, sebuah konsep yang sudah
dikenal sejak masa sahabat (sahabat). Salah satu sumbangan pemikiran
al-Ghazzali (w. 1111) ulama terkenal dari mazhab Shafi‘1 dalam kajian
hukum Islam adalah memperkenalkan metode inductive,35 Demikian
juga Al-Shatibi (w. 7 90/1388) seorang pengikut mazhab Maliki
terkenal, dalam karyanya
, misalnya menekankan pentingnya metode integralistic.
Konsep integralistik bagi al-Shatibi merupakan perwujudan dari
pandangan ‘kalam Allah adalah kalam yang menyatu’.36 Metode seperti
ini dapat juga disebut sebagai metode silang (cross-referential) atau
metode induktif .37 Ibn Taimiyah (w. 7 28/13 28) dan al-Zarkashi
memandang metode
35
Syamsul Anwar, “Pengembangan Ilmu Syariah dan Model-model
Penelitiannya”, Makalah Seminar ‘Pengembangan Ilmu Syariah dan
Metodologi Penelitiannya’, tanggal 22 Nopember 2000, di kampus IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, him. 1.
36
Lihat Ibrahim ibn Musa al-Shatibi, alMuw&faqat fi Usul al-Ahkdr^
edisi. Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid (Kairo: Maktabat wa
Matba'at Muhammad ‘Ali Sabih wa Awladih, 1969), 111:284. Dalam tulisan
ini al-Shatibi berkomentar: “Arti dari statemen bahwa sebagian Qur an
merupakan bagian dan tergantung pada bagian yang lain adalah baWI
berdasar fakta yang ada arti dari sejumlah ayat Qur’an tidak dapaf dipahami
dengan sempurna tanpa lebih dahulu menghubungkannya dengan ayat lain”.
37
Sahiron Syamsuddin, “An Examination of Bint al-Shati”s Method
. him. 20,44.
؛٨ ؛sebagai metode terbaik dalam kajian al'Qur’an.38 ؛٥ masa sahabat
metode seperti ini lebih menekankan pada ررتأملاب ضyaitu metode
kajian Islam (al'Qur’an) antar nash dengan nash, baik antar al'Qur’an
maupun antar al'Qur’an dan sunnah jsjabi Muhammad. Bahkan Rahman
104 KAJIAN SUMBER ISLAM
mengklaim bahwa para jnufassir telah mengakui satu prinsip metode
kajian al'Qur’an (tafsir) yaitu bahwa seluruh al'Qur’an saling
menjelaskan ' (parts ofthe Qur’an interpret other parts).39 Perbedaan
metode tematik dengan holistik adalah bahwa kalau metode tematik lebih
menekankan pada pembahasan topik demi topik atau surah demi surah
dari al'Qur’؛،n, sementara holistik lebih menekankan pada upaya
menemukan ruh (spirit) atau prinsip- prinsip umum al'Qur’an secara
keseluruhan. Karenanya, bagi holistik seluruh al'Qur’an harus dipahami
sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyatu. Kesimpulan dari
pembahas satu masalah tertentu, yang dilakukan dengan metode tematik,
harus dipantulkan lagi dengan nilai prinsip al'Qur’an.
Fazlur Rahman, sebagai ilmuwan pertama yang memper- kenalkan
metode holistik secara sistematis dan metodologis, tidak memberikan
definisi secara tekstual. Hanya saja terlihat dengan jelas Rahman
sungguh-sungguh mengkritik metode kajian al'Qur’an yang dilakukan
ilmuan Klasik (لس. )فdan Pertengahan ^^) yang menggunakan metode
parsial (ato- mistic approach), yang sekarang lebih populer dengan
sebutan metode deduktif; yakni memahami al'Qur’an berdasar ayat demi
ayat yang berdiri sendiri. Fazlur Rahman menulis:
38
Taqi هآلآ- ؛اأIbnTaimiyah, Muqaddirruih.fi Usul al-Tafnr (Beirut: Dar Ibn
Hazm, 1994), him. 93 ؛dan Muhammad ibn ‘Abdillah al'Zarkashi,ه،- Burhanfi
‘Ulumal-Qur’an, edisi. Muhammad Abu al'Fadl Ibrahim (Kairo: ٥٤٢ Ihya
al'Kutub al-‘Arabiyah, )?لوو, II: 175; Abdel Haleem, “Context ar،d Internal
Relationships: keys to quranic exegesis (A Study of Surat al' Ralinian
[Qur’an chapter 55]", dalam Approaches ،٠ the Qur’an, diedit oleh مت'؛ا
Hawting dan Abdul'Kader A. Shareef, him. 73.
” Rahman, “interpreting the Qur’an”, him. 45.
40
Rahman, “Interpreting the Qur' an,” him. 45.
41
Ibid.
42
Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), him. 2-3. 1
43
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, him. 112.
menggunakan metode parsial menurut Amina Wadud adalah
termarginalisasikannya posisi wanita, yang semestinya Islam memberikan
posisi sejajar dengan kaum laki-laki. 109 Pandangan yang sama dengan
109
Amina Wadud, Qur’an and Woman (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar
Bakti,
106 KAJIAN Shim.
1992), 1-2.
UMBER ISLAM
Wadud, dengan sedikit modifikasi dibuktikan oleh Mohammed Fadel,
bahwa kajian al-Qur’an dengan metode atomistic memungkinkan
pengkaji memasukkan paham patriarkiyang mengakibatkan munculnya
misogini. Sebab dengan metode atomistik tersebut pengkaji menekankan
pemahaman pada teks. 110 Kesimpulan Amina Wadud dan Fadel ini
diperkuat oleh hasil penelitian Nasaruddin Umar, yang meneliti sebab-
sebab termarginalisasinya wanita, bahwa salah satu faktor penyebabnya
adalah akibat dari penggunaan metode studi al- Qur’an parsial. 111
Kritik lain dari Rahman terhadap metode studi Islam Muslim Klasik
dan Pertengahan adalah kurang memberikan perhatian terhadap sejarah,
dan terlalu menekankan pada kajian teks/harfiah (literalistis). Dengan
ungkapan lain, tiga kritik pokok yang dilontarkan Rahman terhadap
metode studi Islam klasik dan pertengahan, yakni: (1) kurang
memperhatikan unsur sejarah; (2) terlalu tekstual; dan (3) pemahaman
yang terpotong-potong (atomistis). Dengan demikian, Rahman menyebut
kajian Islam klasik dan pertengahan dengan studi yang ahistoris,
literalistis dan atomistis, 112
Rahman sangat setuju dengan pentingnya pemahaman tesk al'Qur’an
dengan sejumlah teori yang menekankan pada pembahasan bahasa
(semantik), seperti pembahasan corak (style) dan idiom al'Qur’an, haqiqat
dan majaz, mutlaq dan muqayyad, ‘drnm dan khass dan semacamnya,
seperti yang ditekankan para intelektual Klasik dan Pertengahan. Namun
kepentingan ilmu ini hanya terbatas pada pemahaman teks al-Qur’an.
110
Mohammed Fadel, “Two Women, one Man: Knowledge, Power, and
Gender in Medieval Sunni I egal Thought”, dalam International Journal of
Middle East Studies, Vol. 29 (1997), him. 186.Tentang penyebab
termarginasisasikannya wanita dalam fikih dan tafsir menurut Fatima
Mernissi adalah karena upaya menafsirkan nash yang dilakukan para n'ujtahid
hanya berdasar dan konsentrasi ilmu agama, sebaliknya tidak
mempertimbangkan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropoloti dan
se
niacamnya. Lihat Fatima Memissi, The Veil and the Male Elite: A Feminist
Interpretation of Women’s Rights in Islam (Addison: Wesley Publishing
^mpany, 1991), him. 128.
111
Nasaruddin Umar, “Metode Penelitian Berperspektif Jender tentang
teratur Islam”, dalam aljami'ah Journal of Islamic Studies No. 64/xii/
l99
9,hlm. 188-192.
112
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, cet. Ke-4 (Bandung: Mizan, 1414/1993)»
PENGANTAR STUDI ISLAM 107
him. 186.
Sementara memahami teks al-Qur’an tidak cukup untuk dapat memahami
al'Qur’an secara keseluruhan. Dalam ungkapan Rahman-.
113
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” him. 45.
114
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, him. 108-109.
108 KAJIAN SUMBER ISLAM
pemikir tradisional dan reformis tersebut, dan melengkapi metode kajian
yang lebih menekankan pada kajian pamahaman makna kata (tekstual),
seperti tunjukan kata (lafaz) ‘&mm dan khass, mutlaq dan muqayyad dan
semacamnya. Teori holistik ini pada prinsipnya menawarkan metode
pemahaman al-Qur’an yang menyatu (coherent), yang disebutnya teori
hermeneutik (hermeneutical theory). 115 Pentingnya memahami al-Qur’an
sebagai satu kesatuan (coherent), menurut Rahman, sebab satu sifat dari
wahyu (al-Qur’an) adalah bahwa al-Qur’an bukanlah buku biasa yang
disusun dengan membuat hubungan antar bab dan sub-bab demikian
jelas. Al-Qur’an adalah kitab yang diwahyukan sesuai dengan tuntutan
situasi dan kondisi yang dihadapinya. Al-Qur’an sendiri mengatakan
kondisi ini, sebagaimana misalnya disebutkan dalam al-Furqan
(25) : 32 dan al isra’ (17):106. 116
Rahman berargumen sebagai berikut:
115
Rahman, “Interpreting the Qur’an”, him. 45.
116
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” him. 45. Adapun bunyi al-
Furqan (25): 32, artinya,
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya kelompok demi kelompok; danal-Isra' (17): 106,Artinya,
Dan al-Qur' an itu
telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
PENGANTAR STUDI ISLAM 109
bagian.
sebutkan sebelumnya, jawaban-jawaban itu menyediakan ratio, baik
diungkapkan secara eksplisit ataupun implisit. Ratio yang ada di balik
jawaban-jawaban tertentu tersebut akan dapat • dirumuskan prinsip umum
(general principles). 117
Mungkin masih sejalan dengan konsep Rahman, ‘Izzu al- Din ibn ‘Abd
al-Salam (577-660/1181-1262) mengemukakan,
bahwa al-Qur’an diwahyukan dalam berbagai situasi dan dalam jangka
waktu lebih dari 20 tahun. Karena itu, al-Qur’an semestinya diartikan
sebagai kesinambungan dan kesatuan (irtibat). 118 Tahir al-Haddad adalah
ilmuwan lain yang berpendapat bahwa al-Qur’an diwahyukan sebagai
jawaban langsung terhadap masalah-masalah yang muncul di masa Nabi
Muhammad SAW. 119 Namun juga harus dipahami bahwa al-Qur’an
adalah buku etik dan bukan buku hukum. Sebagai buku prinsip etik,
idealnya al- Qur’an menyediakan prinsip-prinsip umum. Namun
kondisinya tidak memungkinkan hanya memberikan prinsip-prinsip
umum di masa pewahyuan, sebab sebagai kitab petunjuk al-Qur’an harus
relevan dan mampu menjawab masalah-masalah yang muncul di masa
pewahyuan. Untuk menjembatani fenomena ini dibutuhkan perumusan
prinsip-prinsip umum dari kasus-kasus yang ada untuk menemukan
norma umum yang universal. Dengan ungkapan lain Engineer menulis:
117
Ibid., him. 20.
118
Seperti dicatat Mustansir. Lihat Mustansir Mir, “The Sura as a
unity”, him. 211.
119
Al-Tahir al-Haddad, Imra'atuna fi al-Shanah wa al-Mujtama', terj.
°leh M. Adib Bisri, Wanita dalam Syariat & Masyarakat (Jakarta: Pustaka
pdaus, 1972), him. 5.
120
Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (Lahore,
Karachi, Islamabad, Peshawar: Vanguard Books (PVT) Ltd., 1992), him.
11-12.
110 KAJIAN SUMBER ISLAM
Qur’ an untuk menemukan prinsip umum (to find the general prin-
121
Rahman, Islam dan Modernity, him. 20.
122
Ibid., him. 6.
123
Ibid.
^Rahman, “Interpreting the Qur’an,” him. 45.
125
Ibid., him. 45-46.
126 PENGANTAR STUDI ISLAM 113
Rahman, Islam & Modernity, him. 6.
Dengan singkat, teori holistik yang ditawarkan Rahman adalah teori
menemukan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an, yakni dengan cara
menemukan ratio legis (‘illat hukum) dari materi- materi hukum (kasus-
kasus) yang ada dalam al-Qur’an. Sementara untuk aplikasi dari nilai-nilai
umum (prinsip) tersebut lebih dahulu harus disesuaikan dengan konteks
dimana dan kapan diterapkan. Dengan demikian, baik ketika memahami
nash untuk menemukan prinsip-prinsip umum maupun ketika aplikasinya
di lapangan dari prinsip-prinsip umum tersebut menurut Rahman sangat
dibutuhkan pemahaman konteks, yang dalam arti sempit (mikro) konteks
berarti latar belakang turunnya nash (asbab alnuzul dan aUvurud),
sementara dalam arti luas (makro) konteks adalah sejarah pewahyuan al-
Qur’an, baik sejarah pra Islam maupun selama masa pewahyuan.63
Adapun tujuan dari teori hermeneutik menurut Rahman ada
beberapa, yakni pertama untuk membantu orang-orang memahami al-
Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam ungkapannya sendiri:
al-Qur’an secara ideal dan prinsip adalah kitab agama dan mengandung
prinsip-prinsip moral, bukan kitab dokuman yang memuat ajaran
hukum (legal). Namun harus diakui al-Qur an memang benar-benar
mencakup unsur legal tersebut untuk menjawab permasalah yang
muncul ketika membangun masyarakat
1
Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1966),
him. 261; idem., Islam & Modernity, him. 7.
1
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” him. 45.
(negara) di Medina. 127
127
Rahman,114 KAJIAN
Islam, SUMBER
him. 37-38.ISLAM
contoh penting diantaranya. 128 Karena itu, tujuan penting dan utama
pemahaman al-Qur’an secara menyatu (coherent) dengan menggunakan
metode holistik, menurut Rahman, adalah utamanya untuk menemukan
prinsip umum al-Qur’an, yang oleh sebagai ilmuwan menyebutnya
sebagai “spirit” al-Qur’an (Islam). 129
Tujuan kedua adalah untuk mencoba mengaplikasikan
128
Misalnya Ayoub berkomentar, “Qur’an memiliki dua dimensi,
yakni (1) dimensi kemanusiaan sebagai sumber moral, yang disebut
dengan zahir (exotic atau outer dimension); dan (2) dimensi batin (bat "n),
yang bersifat langgeng tanpa batas waktu dan tempat”. Lihat Mahmoud
M. Ayoub, The Qur’an and its Interpreters (Albany: State University of
New York Press, 1984), him. 18.
129
Misalnya lihat Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: A History of the
Evolution dan Ideals of Islam (Cape Town; Melbourne; Sydney;
Wellington; Toronto: Christophers, 1922), him. 137-187. Syed Ameer
Ali, yang lahir tahun 1849, adalah pemikir Muslim, penulis dalam
Modern Islam dan ahli Hukum Islam dari India. Ameer Ali lahir di
Chinsura, Bengal, India, dan berasal dari keluarga Shi'ah. Pendidikannya
dimulai di Hooghly College luar kota Calcutta, dan kemudian
meneruskan pendidikannya di bidang Hukum di London. Ketika kembali
dari London, Ameer Ali menjadi praktisi hukum, di samping menjadi
dosen dalam Hukum Islam di Calcutta University. Tahun 1881 Ameer
Ali menjadi anggota Dewan Legislatif (Legislative Council), yang
kemudian pada tahun 1890 menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Bengal
(High Court), sampai pensiun tahun 1904. Setelah pensiun Ameer Ali
menetap di Inggris, menjadi anggota Komite Yudicial (the Judicial
Committee) the Privy Council dari tahun 1909 sampai meninggal tahun
1928. Lihat Gail Mintault, Ameer, Ali,” dalam The Oxford Encyclopedia of
the Modem Islamic World,
1:84-85. PENGANTAR STUDI ISLAM 115
prinsip-prinsip umum al-Qur’an tersebut sesuai dengan konteks dan situasi
kapan dan dimana akan diaplikasikan. Sebagai tambahan, semua ayat al-
Qur’an harus dipahamai sebagai satu kesatuan (coherently as one), dan
jangan sampai terjadi kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lain. Karena
itu, tujuan ketiga dari penggunaan metode holistik adalah untuk
menghindari masalah pertentangan yang terjadi antara satu ayat dengan
ayat lain dalam al-Qur’an, seperti apa yang sering terjadi ketika
menggunakan metode parsial (atomistical approach).
Sebagai tambahan, hubungannya dengan masalah pertentangan antar
ayat al-Qur’an, yang biasanya diselesaikan oleh pemikir Klasik dan
Pertengahan dengan menggunakan teori nasikh dan mansukh, Ismail
Faruki menganjurkan pentingnya pembedaan antara suruhan etik dengan
suruhan kasuistik yang kosmis. 130 Pandangan ini sejalan dengan pandangan
Rahman yang mencoba memahami al-Qur’an dengan menyatu dan
membedakan ayat moral dengan ayat kasuistik.
Sejalan dengan metode menemukan prinsip-prinsip umum al-Qur’an,
Rahman membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok besar, yaitu
ayat-ayat yang berhubungan dan membicarakan masalah: (1) teologi; dan
(2) etik, yang di dalam ayat-ayat etik termasuk ayat-ayat hukum (ethico-
legal atau legal teaching).69 Lebih jauh Rahman menulis, ajaran dasar (basic
elan) dari al,Qur’an adalah monoteis, keadilan sosial-ekonomi dan
kesetaraan (monotheism, socioeconomic justice and egalitarianism). Rahman
mencatat:
130
Isma'il Ragi al-Faruqi, “Towards a New Methodology for Qur’anic
Exegesis,” dalam Islamic Studies, Vol. l,No. 1 (Maret 1962), him. 41. Kalau
melihat jumlah ayat Qur’an yang dinasakh, ternyata di kalangan para
pemikir tidak ada kesepakatan. Misalnya, al-Zuhri (w. 124/742) dalam
bukunya, Naskh al-Qur’an, mengatakan 42 ayat yang dinasakh, al-Nahhas
(w. 338/949) dalam karyanya, Kitab al-Ndsikh wa al-Mansukhfi al-Qur anal- Karim,
menulis 138, Ibn Salama (w. 410/1020) dalam bukunya, al-Ndsikh wa al-
Mansiikh, menyebut 238 ayat, Ibn al-‘Ata' iqi (w.s. 790/1308), dalam
kitabnya, al-Ndsikh wa al-Mansiikh mengatakan 231 ayat, dan al-Farisi
mengatakan 248 ayat. Jumlah ini kemudian diakui hanya 20 oleh al-Suyuti,
bahkan oleh Shah Wali Allah (w. 1762) hanya diakui 5 ayat saja. Lihat
David S. Powers, “The Exegetical Genre nasikh al-Qur' an", him. 122-123-
130
Maksud Rahman adalah al-Baqarah (2): 187,
116 Kajian Sumber Islam
Di tempat lain Rahman menulis:
Ajaran dasar al-Qur’an adalah moral, yang dari ajaran moral itulah
mengalir penekanan pada menoteis dan keadilan sosial.71
Lebih jauh ditulis:
Ajaran dasar al-Qur’an adalah moral, yang dari ajaran moral itu segera
diikuti dengan ide-ide keadilan sosial-ekonomi.72
Karenanya, Rahman membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua
kelompok besar, yaitu: (1) ayat-ayat yang mengandung prinsip-prinsip
umum, yang jumlah ayatnya terbatas; dan (2) ayat-ayat yang mengandung
ajaran khusus (kasuistik), yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak. Ajaran
atau ayat-ayat khusus bersifat respon terhadap masalah-masalah khusus
yang muncul ketika itu. Sementara ayat yang mengandung prinsip-prinsip
umum, adalah ajaran-ajaran atau ayat-ayat yang berisi norma tanpa
dihubungkan dengan konteks tertentu. Ajaran monoteis, keadilan sosial
dan kesetaraan (egalitariamism) adalah prinsip umum, demikian Rahman.
Salah satu contoh bagaimana cara menemukan prinsip umum
dimaksud adalah tentang status wanita, dan lebih khusus
69
Rahman, Islam & Modernity, him. 5; Rahman, “Interpreting the
Qur’an,” him. 45.
70
Rahman, Islam & Modernity, him. 19.
71
Rahman, Islam, him. 32.
72
Ibid., him. 33.
lagi status perbudakan dan kemungkinan poligami. Status wanita berdasar
sejumlah ayat al-Qur’an jelas sangat meningkatkan derajat wanita, tetapi
yang terpenting menurut Rahman adalah fakta yang ternyata memberikan
kebebasan penuh kepada wanita. Misalnya diproklamirkan bahwa
pasangan wanita (isteri) dan laki- laki (suami) sebagai pakaian;73
proklamasi bahwa hak wanita dijamin sama dengan hak laki-laki. 131
Karena itu dapat disimpulkan bahwa prinsip umum dalam perkawinan
adalah monogami.75 Dengan ungkapan lain, monogami adalah pilihan
terbaik untuk semua pihak.76
Dalam praktek memahami al-Qur’an secara holistik, menurut
Rahman, diperlukan penekanan pada tiga unsur, yaitu: (1) konteks ayat; (2)
komposisi dan gramatika ayat; dan (3) menjadikan semua teks ayat al-
Qur’an menjadi satu kesatuan yang menyatu dan tidak terpisahkan
78
Tentang penyebutan latar belakang turun ayat (asbab alnuzul)
makro sudah pernah dilontarkan al-Shatibi. Misalnya disebutkan, , bahwa
maksud pengetahuan sebab
(asbab al-nuzul) adalah mengetahui situasi dan kondisi. Lihat Ibrahim ibn
Musa al-Shatibi, al-Muwdfaqat fi Usul al-Shari'ah (Kairo:Maktabah
Rahmaniyah, t.t.), 111:347. Sementara kalau dirujuk pada konsep al-KhuG
132
Misalnya lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur an (Chicago:
Bibliothca Islamica, 1980); Fazlur Rahman, “Some Key Ethical Concepts of
the Qur’an”, dalam Journal of Religious Ethics, Vol. XI, No. 2 (1983), him. 170-
185; Fazlur Rahman, “The Quranic Concept of God, the Universe and Man”,
dalam Islamic Studies, Vol. VI, No. 1 (1967), him- 1-19.
118 Kajian Sumber Islam
dan Binti Shati’, seperti dicatat pada bagian lain dalam bab ini terlihat bahwa
Binti Shati’ menggunakan istilah makro secara tekstual (eksplisit).
Sementara gurunya, al-Khuli hanya dengan implisit.
79
Misalnya bagaimana seorang penulis menjelaskan tentang kasus tiba.
Lihat Ziauddin Ahmad, “The Qur’anic Theory of Riba”, him. 62-75; S. M.
Qadri, “The Qur’ an and Interest in the Islamic Society”, dalam Studies in
Quran, diedit oleh Mohamed Taher, him. 210-222.
kondisi Arab pra-Islam. 133 Karena itu, sejalan dengan Rahman al-Haddad
membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1)
ayat-ayat yang mengandung ajaran prinsip umum yaitu norma yang
bersifat universal yang harus berlaku dari waktu ke waktu, dari satu
tempat ke tempat lain; dan (2) perintah atau ajaran-ajaran yang
aplikasinya tergantung pada konteks sosial. Al-Haddad berargumen,
bahwa untuk dapat memahami lebih baik al-Qur’an dan tesis-tesis umum
yang ada di dalamnya adalah penting menempatkannya sesuai dengan
kondisi sosial dimana akan diaplikasikan.
Masih dalam hubungannya dengan pengelompokan ayat al- Qur’an,
Asghar Ali Engineer 134 membedakan antara: (1) pernyataan-pernyataan
umum sebagai ayat-ayat normatif; dengan (2) ayat-ayat kasuistik sebagai
ayat-ayat kontekstual. Engineer menulis:
Kita harus mengerti bahwa ada ayat normatif dan ada ayat
kontekstual dalam al-Qur’an. Apa yang diinginkan Allah disebutkan
dalam al-Qur’an, sama dengan realitas yang ada dalam masyarakat
juga disinggung. Sebagai kitab suci, al-Qur’an menunjukkan mjuan
dalam bentuk seharusnya dan sebaiknya (should dan ought), tetapi
juga tetap harus memperhatikan apa yang terjadi dalam masyarakat
yang terjadi ketika itu. Kemudian harus ada dialoq antara keduanya,
yakni antara yang seharusnya dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan cara itu kitab suci sebagai petunjuk akan dapat diterima
masyarakat dalam kehidupan nyata dan dalam kondisi dan tuntutan
yang ada. Dengan demikian sebagai petunjuk al-Qur’an tidak lagi
135
Engineer, The Rights of Women, him. 10-11. Lihat teks yang hampir
sama dalam Asghar Ali Engineer, “Islam—The Status of Women dan
Social Change”, dalam Problems of Muslim Women in India, diedit oleh
Asghar Ali Engineer (Bombay: Orient Longman Limited, 1995), him. 10.
Untuk sekedar perbandingan, Esposito adalah juga pemikir yang
Menawarkan pentingnya membedakan antara ayat yang ethico-religious
dengan socioeconomic. Lihat Esposito, Wom^n in Muslim Family Law,
him. 107.
136
Engineer, “Islam—The Status of Women”, him. 4.
137
Engineer, The Rights of Women in Islam, him. 11-12.
138
Masdar F. Mas'udi, Islam & Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet.
ke-2 (Bandung: Mizan, 1997), him. 29-30.
C. Studi Al-Sunnah
a. Wilayah Kajian al-Sunnah
Bahasan studi al-sunnah pun tidak kalah banyaknya dengan studi
tentang al-qur’an. Topik-topik bahasan al-sunnah dapat digambarkan
demikian. Pertama, tentang pengertian hadis, sunnah, khabar, athar, dan
hadis kudsi. Masuk pula di dalamnya klasifikasi hadis dari segi banyak
139
Dalam pembahasan inilah pentingnya pemilahan antara nash prinsip
umum sebagai etika universal yang berlaku sepanjang waktu dan tempat di
satu sisi, dengan ajaran praktikal yang temporal di sisi lain.
122 KAJIAN SUMBER ISLAM
dan sedikitnya perowi, yang meliputi: (1) hadis mutawatir dan hadis ahad,
dan klasifikasi hadis ahad kepada sahih, hasan, dan dho‘if.
Kedua, sejarah dan perkembangan pembukuan hadis, mulai dari
priode pertama (masa nabi) sampai sekarang.
Ketiga, berbicara tentang macam-macam kitab hadis dan derajatnya.
Keempat, tentang cabang-cabang ilmu hadis, yang meliputi ilmu
rijal al-hadis, ilmu jarh wa al-ta‘dil, ilmu ‘ilal al-hadis, ilmu gharib al-
hadis, ilmu nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab al-wurud al-hadis, dll.
Kelima, ilmu mustolah hadis, yang meliputi mara tanrai (transmitor /
sanad) dan isi hadis (matan).
Keenam, bahasan tentang unsur-unsur yang harus ada dalam
menerima hadis, yaitu: (1) perowi, (2) matan, dan (3) sanad. 140
Dari bahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada dua kriteria
untuk menilai hadis, yakni: (1) lewat rantaian yang meriwayatkan hadis
(perowi), dan (2) isi dari hadis (matan hadis).
140
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet.
Ke-6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980); Fatchur Rahman, IkKtisK«r
PENGANTAR
Mushthalahul Hadits, cet. Ke-5 (Bandung: PT. STUDI
Al-Ma‘arif, ISLAM 123
1987).
Kalau dilacak dalam sejumlah kitab hadis, ditemukan
beberapa teks dengan makna yang sama. Teks pertama yang terdapat
dalam kitab al-Ahadithu al-Mukhtarah, karangan Abu ‘Abdillah bin
Ahmad al-Hanbali (567-643 H.), tertulis:
Teks ketiga diambil dari kitab Subulu alSalam, karangan Muhammad bin
Isma'il al-San‘ani al-Amir (773-852 H.) adalah:
Dari Abi Hurairah r.a., berkata: ditanya, wahai Rasulullah! wanita mana
yang paling baik ? Jawab rasulullah, wanita yang menyenangkan
apabila dilihat suaminya, mematuhi apabila disuruh suaminya, dan tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
1
Abu Abdillah bin Ahmad al-H{anbali, AlAhadithu al-Mukhtarah,
cet. 1 (Makkah: Maktabah al-Nahdah al-H{adithah, 1410), IX:456.
1
Ahmad bin Shu‘aib al-Nasa’i, al-Sunan alKubrd, ditahqiq oleh
‘Abd al-Ghaffar Sulaiman al-Bandari, cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah,
1411/1991), V:310.
keinginan suami, baik yang berhubungan dengan diri isteri maupun
kekayaan suami.92
Masih teks lain dituliskan dari kitab al-Mustadrak ‘Ala al- Sahahaini,
93
karangan Muhammad bin ‘Abdillah
125 KAJIAN SUMBER ISLAM al-Naisaburi (321- 405 H.), adalah:
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: nabi ditanya, wanita mana yang terbaik,
jawab nabi, wanita terbaik adalah wanita yang menyenangkan apabila
dipandang, patuh kalau disuruh dan tidak mau melawan keinginan suami,
baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun harta isteri.
Ada juga teks lain yang mirip dengan hadis di atas, yakni:
92
Muhammad bin Isma'il al-San‘ani al-Amir, Subulu alSalam Shark
Bulug'hu aLMuram min Adillati al-Ahkam, cet. 4 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-
'Arabi, 1379), 111:111.
93
Muhammad bin ‘Abdillah al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘Aid al-
HtdKaini, ditahqiq oleh Mustafa ‘Abd al-Qadir ‘Ata, cet. 1 (Beirut: Dar aI'Kutub
al-'Ilmiyah, 1411/1990), 11:175.
Dari teks-teks hadis di atas ada beberapa hal yang penting dicatat.
Pertama, ada minimal dua perowi hadis, yakni: Abu Hurairah dan
Mu'awiyah. Kedua, hadis ini tidak ditemukan dalam kitab saheh Bukhari
tidak juga dalam kitab saheh Muslim. Catatan ini penting, sebab menurut
ukuran sanad (ukuran mata rantai perowi), kedua kitab ini diakui sebagai
kitab yang paling tinggi tingkat otentisitasnya. Catatan ketiga, dengan
ditemukan sejumlah teks untuk menujukkan makna yang sama menjadi
dasar pembuktian teori Fazlur Rahman, bahwa pengertian sunnah pada
hakekatnya bukan ungkapan kata atau kalimatnya yang persis berasal
dari rasulullah tetapi makna dari ungkapan (teks) hadis. Karena itu, teks
hadis boleh saja dibuat atau bersumber dari sahabat, tetapi isinya
memang berasal dari rasulullah.
Meskipun bukan dimaksudkan untuk melahirkan konsep
141
Rahman, Fazlur, “The Status of Women in Islam”, him. 292-293.
128 KAJIAN SUMBER ISLAM
bahwa hadis ini hanya menjawab satu persoalan khusus, kasus
tertentu, sebaliknya hadis ini tidak berlaku untuk kasus-kasus kesaksian
di luar itu. Konsekuensinya, demikian konteks berubah, demikian juga
nilai berubah.
Adapun maksud teori induktif al-Ghazali adalah, bahwa status hadis
dapat berubah karena ada faktor pendukung (qarinah/sirkumstansial).
Boleh jadi hadis yang awalnya hanya berstatus ahad dapat berubah
menjadi mutawatir. 142 Sebab tawatur itu sendiri pada prinsipnya adalah
induktif. 143 Adapun bentuk qarinah di sini adalah bermacam-macam, ayat
al-Qur’an, hadis dan lainnya.
Sementara maksud teori kontekstualisasi pemahaman hadis yang
ditawarkan Fazlur Rahman, bahwa untuk menemukan substansi ajaran
yang ada dalam hadis tertentu dilakukan dengan cara memahami konteks
yang melatarbelakanginya. Konteks di sini ada dua, yakni: (1) konteks
mikro berupa sebab munculnya hadis (asbab al-wurud), dan (2) konteks
makro berupa sejarah masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, baik pra-
Islam maupun di masa pewahyuan.Misalnya, hadis tentang nilai
kesaksian wanita dan/atau kemampuan akal wanita. Untuk menilai isi
hadis ini perlu dipahami konteksnya, bahwa konteks hadis ini adalah
berhubungan dengan masalah mu'amalah; dimana wanita tidak banyak
terlibat. Karena itu, nilai kesaksian wanita tidak sama dengan laki-laki,
disebabkan kurangnya pengetahuan wanita tentang masalah mu'amalah
tersebut. Dengan demikian, konteks hadis ini hanya khusus menyangkut
masalah mu‘amalah, bukan dalam s e l u r u h persoalan. Adanya generalisasi
dari kasus khusus dan particular ini adalah sebuah manipulasi.
qauli dengan ukuran perilaku Nabi sendiri terhadap isterinya, bahwa
untuk mengukur absah atau tidaknya hadis tertentu ditentukan dengan
melihat dan mengukur berdasarkan bagaimana perilaku Nabi kepada
isterinya. Misalnya, ketika memahami hadis yang menyuruh isteri untuk
142
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm alUsul (Kairo:
Syirkah al-Tiba‘ah
al-Fanniyah al-Muttahidah, 1971), him. 159-160.
143
Wael B. Hallaq, “Inductive Corraboration, Probability, and
Certainty”, dalam Islamic Law and Jurisprudence, diedit oleh Nicholas
Heer (Seattle-London: The University of Wadhington Press, 1990), him. 9
dst-
129 KAJIAN SUMBER ISLAM
menyembah suami. Untuk menilai kebenaran hadis ini dapat dilakukan
dengan mengetahui bagaimana sifat nabi kepada para isterinya. Ternyata
menurut fakta sejarah tidak pernah ada rekaman yang menyatakan bahwa
rasulullah menyuruh isterinya untuk menyembahnya. Setelah dicermati
dengan teliti teori ini memiliki keterbatasan; untuk menyelesaikan kasus
hadis sujud pada suami metode ini dapat diamdalkan, tetapi bukan untuk
kasus lain, misalnya untuk memahami status poligami.
Metode lain yang masih relevan untuk ditawarkan adalah metode
tematik dan/atau holistik. Dengan metode tematik, seluruh ayat yang
berhubungan dengan masalah kriteria kesalehan dibahas menjadi satu
kesatuan yang utuh. Meskipun belum mencari secara cermat dan teliti
tentang hal ini, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keriteria
kesalehan yang membedakan antara satu dengan yang lain; antara laki-
laki dan perempuan, antara orang Arab dengan non-Arab, adalah nilai
ketaqwaan. Sebaliknya, tidak ada ayat yang menyuruh isteri untuk patuh
kepada isterinya. 144
Adapun maksud teori holistik Fazlur Rahman, bahwa memahami al-
Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyatu tanpa terpisahkan.
Dalam hal ini dicoba untuk mencermati bagaimana al-Qur’an
mengusahakan pengangkatan derajat wanita. Pertanyaannya kemudian
adalah, apakah dengan adanya suruhan isteri untuk patuh kepada
suaminya, dan hams selalu menyenangkan suami kalau melihatnya, alias
tidak boleh cemberut, termasuk misogini atau tidak. Dengan pertanyaan
lain, apakah isi hadis ini sejalan atau tidak dengan misi al-Qur’an?
Pada akhirnya penulis berkesimpulan, bahwa kombinasi dari sekian
teori yang ditawarkan demikian dibutuhkan. Adapun bentuk kombinasi
yang mungkin dilakukan adalah, bahwa teori kritik matan, induktif,
tematik, dan holistik, pada prinsipnya adalah bentuk penolakan terhadap
teori pemahaman nash yang bersifat parsial, pemahaman nash yang
berdiri sendiri tanpa memantulkan dengan nash lain. Untuk
kesempurnaan konsep non parsial ini harus dibantu dengan pemahaman
sejarah/ konteks. Sejalan dengan itu, kombinasi dari sejumlah teori ini
144
Lihat misalnya hasil penelitian Amina Wadud-Muhsin. Amina
Wadud Muhsin, Qur’an and Woman, him. 36 dst.
130 KAJIAN SUMBER ISLAM
juga menolak adanya generalisasi dari kasus khusus, yang particular
sifatnya. Dengan teori ini penulis berkesimpulan, bahwa hadis ini sama
dengan kasus hadis nilai kesaksian wanita, kurangnya akal wanita, dan
sejenisnya. Artinya, hadis ini sesungguhnya hanya jawaban terhadap satu
kasus tertentu, yang boleh jadi isterinya cemberut terus menerus di depan
suaminya. Kemudian suaminya mengadu, dan dijawablah oleh rasul
dengan hadis ini. Sama kira-kira dengan sejumlah kasus lain, yang kalau
kasus-kasus tersebut tidak dipahami dengan konteksnya dan tidak
dipahami secara integral, menyatu menjadi satu kesatuan akan
menghilangkan substansi/spirit ajarannya. Contohnya adalah jawaban
rasul terhadap pertanyaan yang sama; amal terbaik (ayyu ala'mal ahsan).
Pada satu kasus rasul menjawab ‘berbakti kepada orang tua’, sementara
pada kasus lain dijawab ‘membayar zakat’, dan seterusnya masih ada
jawaban lain yang berbeda. Sayangnya penulis tidak menemukan sebab
turun mikro hadis muka masam.
Dengan demikian, isteri yang dianjurkan untuk senantiasa
menyenangkan suami, pada prinsipnya sama dengan anjuran agar suami
juga senantiasa menyenangkan isteri. Ayat al-Nisa’ (4): 19.
—, JA .j—iUj adalah tunjukan atau perintah agar suami bergaul
dengan isterinya dengan baik, artinya saling menyenangkan. Sayangnya,
ayat ini tidak ditekankan oleh para mufassir dan fuqaha untuk tujuan itu,
sementara hadis untuk penyenangkan suami senantias mendapat
penekanan dan perhatian, bahkan untuk kasus penafsirkan al-Nisa’ (4):34
terkesan dipaksankan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis muka masam di
atas para prinsipnya merupakan anjuran agar isteri senantiasa berusaha
menyenangkan suami, sama dengan suruhan agar suami menyenangkan
isteri. Lahirnya hadis tersebut adalah sebagai jawaban terhadap satu
kasus tertentu, yang barangkali isteri keterlaluan membantah suami.
Tetapi kemudian hadis ini digeneralisir sedemikian rupa oleh para
mufassir dan fuqaha. Karena itu, peran mufassir dan fuqaha dengan
menggunakan dukungan hadis untuk memarginalkan wanita dapat dilihat
dengan jelas. Untuk menghindar dari kondisi ini perlu adanya metode
kajian yang mampu melahirkan substansi ajaran Islam. Kalau substansi
ajaran sudah ditemukan insya Allah tidak akan ada konsep yang bias
PENGANTAR STUDI ISLAM 131
gender. Di antara teori tersebut adalah kombinasi teori kritik matan,
induktif, tematik dan holistik, yang dipadukan dengan pengetahuan
konteks nash; mikro dan makro ♦
BAB IV
A. Pendahuluan
Dalam upaya memahami al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad
sebagai sumber ajaran Islam, para ulama (pemikir) membuat pengelompokan
ajaran Islam dan sekaligus obyek studi. Ada ulama yang menyebut disiplin
keilmuan, ada ulama yang menyebut pengelompokan keilmuan dan ada pula
yang menyebut pembidangan keilmuan. Dengan demikian, dalam
pembahasan ini ketiga istilah tersebut digunakan untuk menunjuk
pembahasan sama, pengelompokan atau penjenisan atau klasifikasi.
Sejumlah ulama tradisional mengklasifikasikan ajaran Islam (aspek) menjadi
tiga, yakni:
(1) akidah,
(2) syari'ah, dan
(3) akhlak-tasauf.
Sejumlah ulama lain mengelompokannya menjadi:
(1) ilmu kalam,
(2) ilmu fikih, dan
(3) ilmu akhlak.
Sementara pemikir kontemporer mempunyai pandangan yang berbeda
pula dalam membidangkan studi Islam. Ada pemikir yang
145
Nourouzzaman Shiddigqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, cet. 1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), him. 112)
' Nasr Abu Zaid, “the textuality of tehe koran”, Islam and Europe in
and present, by W. R. Hugenkoltz and K. van Vliet-leigh (eds.),
(Wassenaar: NIAS., 1997), hlm.43.
PENGANTAR STUDI ISLAM 133
B. Pembidangan Studi Islam
Sejumlah ulama tradisional mengklasifikasikan ajaran Islam menjadi
tiga kelompok besar, yakni:
(1) akidah,
(2) syari'ah, dan
(3) akhlak-tasauf.
Pengelompokan lain adalah:
(1) ilmu kalam, yang mencakup hukum-hukum yang berhubungan
dengan zat Allah dan sifat-sifat-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya,
hari akhirat, dan semacamnya;
(2) ilmu akhlak, yang mencakup tentang “pengolahan” jiwa sehingga
semakin baik, dengan cara menjalankan keutamaan-keutamaan dan
menjauhi perbuatan- perbuatan tercela; dan
(3) ilmu fikih, yang melingkupi hukum-hukum yang berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan hamba dalam bidang ‘ibadah,
mu'amalah, ‘uqubah, maupun lainnya. 147
Dari kedua teori pengelompokan di atas tercermin bahwa akidah
identik dengan kalam, dan syari‘ah sama dengan fikih. Dasar
pengelompokan ini adalah hasil dialog nabi Muhammad dengan malaikat
Jibril yang menyakan tiga hal pokok, yakni:
(1) ma al-iman (apakah iman?),
(2) ma al-Islam (apakah Islam?), dan
(3) ma aUhsan (apakah ihsan?).
Jawaban terhadap pertanyaan pertama masuk kelompok ilmu kalam
atau teologi atau akidah. Jawaban terhadap pertanyaan kedua menjadi
Syari'ah. Jawaban terhadap pertanyaan ketiga menjadi akhlak-tasauf.
Penyebutan akidah sama dengan kalam dalam pengertian sederhana
dapat diterima, tetapi dalam perkembangannya ada perbedaan antara
keduanya. Demikian juga pengidentikan syari'ah dengan fikih tidak
seluruhnya benar, sebab syari'ah dipahami sebagai wahyu Allah dan sabda
Nabi Muhammad, yang berarti din alislam, sementara fikih adalah
147
Jamal al-Banna, Nahw Fiqh jadi d (Kairo: Dar al-Fikr al-Islaml, 1.1.),
him. 28, seperti ditulis Jaih Mubarak, “Fikih Peternakan”, Paper
dipresentasikan dalam acara Temu Ilmiah Program Pascasarjana lAlW STAIN se
Indonesia di PPs IAIN Walisongo Semarang, tanggal 10-12 Nopember 2001, him.
2. DALAM ISLAM
134 DISIPLIN KEILMUAN
pemahaman ulama terhadap sumber ajaran agama Islam tersebut. Demikian
juga istilah ‘hukum Islam’ sering diidentikkan dengan kata norma Islam dan
ajaran Islam. Dengan demikian, padanan kata ini dalam bahasa Arab
barangkali adalah kata ‘al-syarfah’. Namun ada juga yang mengartikan kata
hukum Islam dengan norma yang berkaitan dengan tingkah laku, yang
padanannya barangkali adalah ‘al-fiqh’.
Penjabaran lebih luas dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa kalau
diidentikkan dengan kata ‘al-syari‘ah’, hukum Islam secara umum dapat
diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas ‘al-syari‘ah’
berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiah, baik yang
mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah
laku konkret yang individual dan kolektif. Dalam arti ini al-syari‘ah identik
dengan din, yang berarti meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan
Islam, seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya.
Sedang dalam arti sempit al-syari'ah berarti norma-norma yang mengatur
sistem tingkah laku, baik tingkah laku individual maupun tingkah laku
kolektif. Berdasarkan pengertian ini al-shari‘ah dibatasi hanya meliputi ilmu
fikih dan usul fikih.
Sementra syari'ah dalam arti sempit (fikih) itu sendiri dapat dibagi
misalnya menjadi empat bidang:
(1) 'ibadah,
(2) mu'dmalah,
(3) ‘uqubah, dan
(4) lainnya.
Ibn Jaza al-Maliki, seorang ulama dari mazhab Maliki
mengelompokkan fikih menjadi dua, yakni:
(1) ‘ibadah, dan
(2) mu‘amalah.
Adapun cakupan mu'amalah adalah: (i) perkawinan dan perceraian, (ii)
pidana (uqubah), yang mencakup hudud, qisas dan ta‘zir, (iii) jual-beli
(buyu“), (iv) bagi hasil (qirad), (v) gadai (al-rahn), (vi) perkongsian
pepphonan (almus&qah), (vii) perkongsian pertanian (almuzara'ah), (viii)
upah dan sewa (alijarah), (ix) pemindahan utang (alhiw&lah), (x) hak
prioritas pemilik lama/ tetangga (alshufah), (xi) perwakilan dalam
melakukan akad (al wakdlah), (xii) pinjam-meminjam (al'driyah), (xiii)
barang titipan, (xiv) al-ghasb, (xv) barang temuan (luqtoh), (xvi) jaminan
(alkafdlah), (xvii) sayembara (al-ji'alah), (xviii) perseroan (shirkah wa
PENGANTAR STUDI ISLAM 135
mudarabah), (xix) peradilan (alqada), (xx) wakaf (alwaqf atau al habs),
(xxi) hibbah, (xxii) penahanan dan pemeliharaan (alhajr), (xxiii) wasiat,
(xxiv) far a'id (pembagian harta pusaka). 148
Sementara ulama H{anafiya, di antaranya Ibn ‘Abidin al-
148
Umar Sulaiman al-‘Ashqar, Tarikh alFic[K al-Islam (Amman: Dar
al-Nafa’is, 1991), him. 20-21. Sebagaimana dikutip Jaih Mubarak, “Fikih
Peternakan”, Paper dipresentasikan dalam acara Temu Ilmiah Program
Pascasarjana IAIN/STAIN se Indonesia di PPs IA IN Walisongo Semarangi
tanggal 10-12 Nopember 2001, him. 3 dst. Lihat juga T. M. Hasbi Ash-
Shiddiqy,
136 DISIPLIN KEILMUAN DALAMPengantar
ISLAM Fiqih Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), him. 96.
H{anaf! membagi fiqh menjadi tiga, yakni:
(1) ‘ibadah,
(2) mu'amalat, dan
(3) ‘uqubah.
Adapun cakupan mu'amalah menurut Ibn ‘Abidin adalah:
(i) pertukaran harta, di antaranya adalah jual-beli dan pinjam- meminjam;
(ii) perkawinan; dan (iii) mukhasamat (gugatan, tuntutan, saksi, hakim, dan
peradilan). Sedangkan cakupan fikih ‘uqubat adalah: (i) qisas; (ii) Sanksi
pencurian; (iii) sanksi zina; (iv) sanksi menuduh zina; dan (v) sanksi murtad.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat, bahwa perbedaan antara Ibn Jaza al-
Maliki dengan Ibn ‘Abidin dari mazhab H{anafi adalah, Ibn Jaza
menempatkan ‘uqubah sebagai bagian dari mu'amalat, sementara Ibn
‘Abidin menjadikannya berdiri sendiri.
Lebih dari itu, berbeda dengan konsep kedua ulam a ini, ulama
Syafi'iyah membagi fikih menjadi empat, yakni:
(1) ‘ibadah, yakni hal-hal yang berhubungan dengan urusan akhirat
(ukhrawi);
(2) mu'amalah, yakni fikih yang berhubungan dengan kegiatan yang
bersifat duniawi;
(3) munakahat, yakni fikih yang berhubungan dengan masalah
keluarga; dan
(4) ‘uqubah, yakni hal-hal yang berhubungan dengan
penyelenggaraan negara.3
Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ulama kontemporer, membedakan
fikih menjadi dua kelompok besar, yakni:
(1) ‘ibadah, yaitu aturan antara Tuhan dengan hambaNya;
dan
(2) mu'amalat, yakni hukum yang mengatur hubungan sosial, baik
secara perseorangan maupun kolektif.
Secara lebih rinci fikih dibagi menjadi tujuh:
(1) ‘ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan Allah dengan
manusia, seperti shalat dan puasa;
(2) hukum keluarga (alahwal al-shakhsiyah), yaitu hukum
perkawinan (nikah), perceraian (talak, khuluk dll.), nasab, nafkah,
5
wasiat, dan waris;
‘Umar Sulaiman, Tarikh, him. 20-21.
(3) mu'amalat, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan Pmanusia
ENGANTAR yang
STUDIberkenaan
Islam 137 dengan harta (al-amwdl), hak,
dan pengelolaan harta (al- tasharruf) dengan cara transaksi (akad)
dan lainnya;
(4) hukum kenegaraan (alahkdm alsultaniyah), yaitu hukum yang
mengatur hubungan pemimpin dengan rakyat, serta hak dan
kewajiban rakyat dan pemimpin;
(5) ‘uqubah, yaitu hukum yang mengatur tentang pemberian sanksi
bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran dan tindak pidana
untuk menjaga ketertiban dan keamanan manusia secara kolektif;
(6) yaitu hukum yang mengatur hubungan bilateral dan multilateral
(alhuquq aldauliyah);
(7) fikih akhlaq (aladab), yaitu hukum yang mengatur keutamaan
pergaulan dan hubungan manusia dengan manusia. 149
Sementara yang masuk kelompok ‘ibadat, menurut Jawad Maghniyah
adalah (i) bersuci (al-taharah), (ii) salat (al-salah), (iii) puasa (al-saum), (iv)
zakat (al-zakat), (v) al-khumsu, dan (vi) haji (al-hajj). Sedang yang masuk
kelompok hukum keluarga (al-ahwal al-Shakhsiyah) adalah: (i) pernikahan
(al-nikah), (ii) perceraian (al-talaq), (iii) wasiyat (al-wasaya), (iv) waris (al-
mawarith), (v) wakaf (al-waqfu), dan (vi) pemeliharaan (al-hujr). 150
Sementara pembidangan syari'ah menurut pemikir kontemporer lain,
meskipun tidak seperti pembagian pemikir tradisional, tetapi lebih sebagai
pembidangan untuk obyek kajian tentang Islam, dapat digambarkan
demikian: pada tulisan pertama, Charles Adams mengelempokkan studi Islam
menjadi 11 bidang, yakni:
(1) Nama/istilah dan Pengertian Islam,
(2) Latar Belakang Kehidupan Masyarakat Arab Sebelum Islam,
(3) Kehidupan Nabi,
(4) al-Qur’an,
(5) Hadis Nabi Muhammad SAW.,
(6) Kalam,
(7) Falsafah,
(8) Institusi Islam, yang meliputi Shari'ah dan Politik/ konsep
Negara,
(9) Syi‘ah,
(10) Sufi, dan
149
Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh allslam fi Thaubihi al-Jadid: al-
Madkhal al-Fiqhi al'Amm (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), him. 55-56.
150
Muhammad Jawad Maghniyah, alFiqhu ‘aid. al-Madhahib alKhamsah,
cet. ke-9
138 DISIPLIN KEILMUAN (Beirut:
DALAM ISLAM Dar al-Tiyar, Dar al-Jiwad, 1413/1992), 5.
(11) Periode Modern. 151
Kemudian pengelompokan ini sedikit dimodifikasi, meskipun tetap
menjadi 11 bidang kajian, menjadi:
(1) Latar Belakang Kehidupan Masyarakat Arab Sebelum Islam,
(2) Studi tentang Kehidupan Nabi,
(3) Studi al-Qur’an,
(4) Hadis Nabi Muhammad SAW.,
(5) Kalam,
(6) Hukum Islam,
(7) Falsafah,
(8) Tasawuf,
(9) Aliran-aliran dalam Islam, khususnya Syi‘ah,
(10) Masalah-masalah Ibadat/Rirual, dan (1
l)Agama-agama terkenal. 152
Fazlur Rahman ketika mendiskusikan tentang Islam membaginya
menjadi:
(1) kehidupan Nabi Muhammad, baik hubungannya dengan wahyu
yang diterimanya maupun tantangan dan strategi untuk
menghadapi umat Yahudi dan Kristen,
(2) al-Qur’an,
(3) sunnah Nabi Muhammad,
(4) Struktur hukum Islam,
(5) dialog antra teologi dan perkembangan dogma,
(6) syari'ah,
(7) perkembangan filsafat,
(8) praktek dan ajaran sufi,
(9) organizasi sufi,
(10) perkembangan aliran-aliran (sectarian),
(1 l)pendidikan,
151
Charles J. Adams, “Islam”, dalam Charles J. Adams, (ed.), A
Reader’s Guide to the Great Religions (New York dan London: Collier
Macmillan Publisher, t.t.), him. 407-465.
152
Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard
Binder, The Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities
and the Social Sciences'(New york, London, Sydney, Toronto: John Wiley &
Sons, 1976), him. 29- 95.
PENGANTAR STUDI ISLAM 139
(12) gerakan pembaruan pra-modern,
(13) gerakan pembaruan modern, dan
(14) warisan dan prospek ke depan (legacy and prospects). 153
Sedang Harun Nasution membagi Studi Islam, atau dengan sebutan
sendiri Aspek Studi Islam menjadi 7, yakni:
(1) Ibadah atau Latihan Spritual dan Ajaran Moral;
(2) Politik;
(3) Hukum;
(4) Teologi;
(5) Falsafah;
(6) Mistisisme;
(7) Pembaruan dalam Islam. 154
Adapun Pembidangan Ilmu Agama Islam menurut Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah:
(1) Sumber Ajaran Islam;
(2) Pemikiran Dasar Islam;
(3) Hukum Islam dan Pranata Sosial;
(4) Sejarah dan Peradaban Islam;
(5) Bahasa dan Sastra Islam;
(6) Pendidikan Islam;
(7) Dakwah Islam; dan
(8) Perkembangan Modern/Pembaruan dalam Islam. 155
Bahasan yang masuk kelompok Sumber Ajaran Islam adalah:
(1) Ilmu-ilmu al-Qur’an, yang meliputi tarikh al-Qur’an, asbab al-
nuzul, balaghah al-Qur’an, Qira’at al-Qur’an, falsafah al-
Qur’an dan uslub al-Qur’an;
153
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press,
1966)
154
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-6
(Jakarta: UI-Press, 1986); H. M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun
Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977).
155
Lihat lampiran SK LIPI dalam Iskandar Zulkamain dan H.
Zarkasyi Abdul Salam (ed.), Pembidangan Ilmu Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Agama Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Balai Penelitian
P3MDALAM
140 DISIPLIN KEILMUAN IAIN Sunan
ISLAM Kalijaga Yogyakarta, 1995), him. 89 dst.
(2) Ilmu Tafsir, yang meliputi Pengantar Ilmu Tafsir, Tafsir al-
Qur’an, Tafsir ayat al-Ahkam, Tarikh Tafsir wa al-Mufassirun,
Mazahib al-Tafsir, bahasan Kitab-kitab
Tafsir;
(3) Ilmu Hadis, yang meliputi Pengantar Ilmu hadis, Sharah hadis,
hadis Ahkam, Ma‘ani al-hadis, Rijal al-Hadis, Tarikh Hadis wa al-
Muhaddisun, Falsafah al-hadis, Tajrih wa al-Ta‘dil, Bahasan
Kitab-kitab hadis; dan
(4) Perkembangan Modern/Pembaruan dalam Studi Tafsir dan
Perkembangan Modem/Pembaruan dalam Studi Hadis.
Sedang bahasan yang masuk kelompok Pemikiran Dasar Islam adalah:
(1) Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam, yang meliputi Sejarah Ilmu Kalam,
Aliran-aliran Ilmu Kalam, dan Teolori Aliran Modern;
(2) Filsafat, yang meliputi Filsafat Islam Klasik, Filsafat metafisika,
Filsafat Estetika, Filsafat Etika, Mantiq/ Logika, Filsafat Ilmu,
Filsafat Ontologi, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Axiologi;
(3) Tasawuf, yang meliputi Ilmu Tasawuf, Sejarah Tasawuf, Tasawuf
Akhlaki, Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni, Tasawuf Falsafi, dan
Tasawuf Perbandingan;
(4) Perbandingan Agama, yang meliputi Metode dan Sistem
Perbandingan Agama, Sejarah Agama, Sosiologi Agama,
Antropologi Agama, Filsafat Agama; dan
(5) Perkembangan Modern/Pembaruan, yang meliputi Perkembangan
Modern/Permbaruan dalam bidang Politik, Hukum, Ekonomi dan
Budayatik.
Kelompok Hukum Islam dan Pranata Sosial adalah:
(1) Usul Fikih, yang meliputi Usul Fikih Mazhab-mazhab,
Perbandingan Mazhab-mazhab Usul Fikih. Qawaid Fiqhiyah,
Filsafat Hukum Islam, dan perkembangan Modern/Pembaruan
dalam bidang Usul Fikih;
(2) Fikih Islam, yang meliputi Ilmu Fikih, Tarikh Tasyri‘, Mazhab-
mazhab Fikih, Perbandingan Mazhab-mazhab Fikih, Masail
Fiqhiyah, al-Mufafa‘a/Acara Peradilan Agama, dan Perkembangan
Modern/Pembaruan dalam bidang Fikih;
(3) Pranata Sosial, yang meliputi Fikih Ibadah, Fikih
Munakahat/Ahwal al-Syakhsiyah, Fikih Mu'amalat, Fikih Jinayat,
A. Pendahuluan
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi Islam, pendekatan
studi Islam pun mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Pada bab ini dijelaskan sejumlah pendekatan yang
dapat digunakan dalam studi Islam. Untuk mempermudah pembahasan,
setelah pendahulun diteruskan dengan uraian beberapa istilah dalam
pendekatan. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan kupasan sejumlah
PENGANTAR STUDI ISLAM 143
pendekatan, yang dimulai dengan pendekatan normatif, kemudian
pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, akhirnya pendekatan
interdisipliner.
156
Heddy Sri Ahimsa Putra, catatan kuliah Sarasehan Metodologi
Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 24 Pebruari 1999.
157
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994), him. 21.
158
Ibid., him. 21-22.
144 P159 Seperti dikutip
ENDEKATAN STUDI IMeuleman
SLAM dalam Ibid.
penting, hubungan apa yang diadakan antara berbagai unsur kenyataan
dalam penggolongan dan analisis, dsb. Dengan kata lain, setiap zaman
memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara yang
berbeda-beda (dengan caranya sendiri-sendiri).5
Karena itu, pendekatan sangat erat hubungannya dengan kerangka
teori. Dalam arti bahwa teori yang digunakan untuk menganalisis
fenomena yang diteliti adalah teori atau teori-teori yang dimiliki ilmu
pendekatan yang digunakan.
Teori adalah prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk
rumus atas aturan yang berlaku umum. Adapun fungsi teori adalah:
1. Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dan fakta hasil
pengamatan.
2. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari
fakta-fakta yang diperoleh.
3. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan
terjadi, dan
4. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang
gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi.6
5. Melihat fenomena yang sedang diteliti dari perspektif atau sisi
lain, yang memungkinkan lahir teori dari perspektif baru
tersebut.
6. Menjelaskan fenomena, kasus, kejadian dan semacamnya.
Salah satu contoh pentingnya teori yang berfungsi untuk menjelaskan
fenomena yang diteliti atau mungkin juga untuk mencoba menemukan
toeri baru yang mungkin ditemukan dari satu penelitian dapat dicatat
berikut. Misalnya seorang yang sedang melakukan penelitian tentang pola
hubungan suami dan isteri dengan menggunakan teori Burgess dan Locke
(I960), bahwa dalam perkembangan sejarah, hubungan antara suami
5
Ibid., him. 22.
6
Riswandi, Ilmu Sosial Dasar Dalam Tanya Jawab (Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1992), him. 16 isteri pada kelas menengah berubah dari
hubungan yang institusional (pola otoriter dan ditentukan oleh faktor-
faktor luar keluarga) kepada yang companionship (pola demokratis dan
didasarkan atas pengertian, kasih sayang, serta kesepakatan bersama).
Teori lain adalah dari Scanzoni dan Scanzoni (1981), yang
menjelaskan bahwa hubungan suami isteri dapat dibedakan menjadi empat
jenis, yaitu: (1) owner property, (2) head complement, (3) senior junior
partner, dan (4) equal partner.
PENGANTAR STUDI ISLAM 145
Dalam pola perkawinan owner property, isteri adalah milik suami
seperti uang dan barang berharga lainnya. Dalam pola ini pula berlaku
norma-norma sebagai berikut. Pertama, tugas isteri adalah untuk
membahagiakan suami, memenuhi keinginan, dan kebutuhan rumah
tangganya. Kedua, isteri harus menurut pada suami dalam segala hal.
Ketiga, isteri harus melahirkan anak- anak yang akan membawa nama
suami. Keempat, isteri harus mendidik anak-anaknya untuk membawa
nama baik suami. Maka dalam hal ini isteri merupakan kepentingan,
kebutuhan, ambisi, dan cita-cita dari suami.
Sementara dalam pola perkawinan head complement, isteri dilihat
sebagai pelengkap suami. Dalam pola ini ada beberapa perbedaan dari
pola sebelumnya. Pertama, suami dan isteri bisa merencanakan kegiatan
bersama untuk mengisi waktu luang. Kedua, dalam hal ketaatan, pada pola
ini ketika suami memerintah, maka isteri bisa mempertanyakan atau
memberi tanggapan. Maka di sini terlihat suami tidak memaksakan
keinginannya, tetapi keputusan terakhir tetap berada di tangan suami,
dengan mempertimbangkan keinginan isteri sebagai pelengkapnya.
Ketiga, secara sosial, isteri menjadi atribut sosial suami yang penting.
Keempat, adanya dukungan dari isteri untuk mendorong suksesnya suami.
Pola perkawinan selanjutnya adalah senior-junior partner. Dalam
pola ini (1) posisi isteri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah
menjadi teman. Karena isteri juga memberi kan sumbangan ekonomi,
meskipun tidak sebagai pelaku utama
(2) suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari isteri karena
posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya penghasilan ataupun
status isteri tidak boleh lebih tinggi dari suami.
Pola yang terakhir adalah equal partner. Adapun ciri-ciri dari pola
perkawinan ini adalah pertama, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau
rendah antara suami dan isteri. Dimana isteri mendapat hak dan kewajiban
yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-
tugas rumah tangga. Kedua, norma yang dianut baik isteri atau suami
mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang. Ketiga, keputusan
yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasan masing-masing. Keempat,
secara spesifik perkembangan individu sebagai pribadi sangat
diperhatikan.
Dengan landasan teori tersebut dapat digunakan untuk memberikan
kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta yang
diperoleh. Dapat pula digunakan untuk memberikan ramalan terhadap
gejala-gejala baru yang sedang diteliti. Demikian pula bisa jadi teori ini
146 PENDEKATAN STUDI ISLAM
dapat digunakan untuk mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan
tentang gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi dan diteliti. Atau
melihat fenomena yang sedang diteliti dari perspektif atau sisi lain, yang
memungkinkan lahir teori dari perspektif baru tersebut. Demikian pula
sangat mungkin digunakan untuk menjelaskan fenomena, kasus, kejadian
dan semacamnya. Itulah salah satu contoh untuk menunjukkan
kepentingan toeri dalam penelitian.
Contoh kedua adalah teori pemberlakuan hukum atau fac- tor-faktor
orang mematuhi hokum yang dikemukakan oleh L. Friedmen. L. Friedmen
mengkatagorikan ke dalam empat kategori/teori. Pertama, kepentingan
sendiri ( s e l f interest)- Kepatuhan masyarakat kepada hukum dikarenakan
hukum bersangkutan dapat memberikan manfaat bagi kepentingannya,
seperti kepatuhan masyarakat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Ketika
peraturan ini dilanggar, maka kemungkinan besar akan terjadi kecelakaan.
Karenanya, masyarakat patuh pada rambu-rambu lalu lintas demi
keselamatannya sendiri di perjalanan. Kedua, sensitif terhadap sanksi.
Sanksi merupakan salah satu alasan yang dapat mewujudkan perilaku
hukum. Masyarakat mematuhi hukum karena termotivasi untuk
menghindari sanksi atau hukuman. Ketiga, pengaruh sosial. Dalam ling-
kungan masyarakt ada norma-norma dan nilai-nilai yang diterima
sehingga orang berperilaku sesuai dengan hukum, baik karena ia
berkeinginan memelihara hubungan baik dengan masyarakat di
lingkungannya maupun penguasanya. Keempat, kepatuhan. Mengenai
kepatuhan ini, Friedman menyatakan, bahwa orang-orang mematuhi
hukum dikarenakan meraka berfikir bahwa melampauinya adalah immoral
atau ilegal. Dengan asumsi seperti ini orang dapat berprilaku patuh terha-
dap hukum tanpa ada faktor lain selain kepatuhan itu sendiri. 160 Teori ini
dapat digunakan untuk menganalisis fenomena mengapa orang mematuhi
hukum. Demikian juga dapat digunakan untuk menganalisis fenomena
sebaliknya, mengapa orang tidak mematuhi hukum.
Lebih jauh, salah satu ciri penelitian yang muncul akhir- akhir ini
adalah penelitian yang sangat kecil dan spesifik. Maka ada satu
kekhawatiran dalam studi-studi yang sangat spesifik ini, termasuk dalam
studi Islam, yakni kedangkalan wawasan dan/atau kedangkalan tinjauan.
Untuk menjembatani kekhawatiran ini muncul analisis diakronik,
sinkronik dan sistem nilai (budaya).
161
Ismail K. Poonawala, “Muhammad ' Izzat Darwaza’s Principles
of Modern Exegesis: A Contribution toward Quranic hermeneutics”,
dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A.Shareef, Approach to the
Qur’an (London | dan New York: Rontledge, 1993), him. 230.
162
Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-undang di
150Malaysia (Kuala
PENDEKATAN Lumpur:
STUDI ISLAMDewan Bahasa dan Pustaka, 1992), him. 143.
Teori yang sebenarnya pengembangan atau perbaikan teori literal ini
bermakna, dengan teori ini penafsir mengambil makna biasa dan
berpegang teguh pada makna itu, kecuali kalau makna tersebut tidak
sesuai dengan maksud badan perundang- undangan yang sedang dibahas.
Untuk mengetahui sejalan atau tidaknya dengan maksud badan
perundang-undangan adalah dengan cara membaca undang-undang
secara menyeluruh. Sekiranya bertentangan dengan maksud badan
undang-undang tersebut, hakim jangan menggunakan makna biasa itu,
tetapi memberikan pengertian yang lebih luas agar sejalan dan sesuai
dengan tujuan badan perundang-undangan tersebut. Sekali lagi teori ini
hanya perbaikan terhadap teori harfiah.10
10
Ibid., him. 147.
11
Ibid., him. 149.
12
Ibid., him. 151.
♦ tinggi-rendah
♦ biru-rakyat biasa
♦ superior-inferior
♦ unggul-biasa
♦ priyayi-wong cilik, dan semacamnya.
163
Riswandi, Ilmu Sosial Dasar, him. 32.
organisasi dalam bisnis, politik, pendidikan, pemerintahan dan
semacamnya.
Sedang sifat sistem lapisan dalam masyarakat ada dua,
yakni:
o tertutup, yakni tidak memberikan kemungkinan pindahnya
seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain. Contoh adalah kasta dalam
masyarakat Hindu, keturunan bangsawan atau darah biru, dan sejenisnya,
o terbuka, yakni memungkinkan seseorang pindah dari satu lapisan ke
lapisan lain.14
Adapun faktor yang dapat dijadikan titik tolak mencapai
kesamaan derajad adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi
15
manusia.
Sementara faktor-faktor yang membedakan elit dan massa adalah:
1. kekayaan
2. kedudukan
3. kekuasaan
4. ilmu pengetahuan.
5. ukuran kehormatan, karena tua, karena berjasa, dan
semacamnya.
Sesuai dengan fungsinya elit dalam masyarakt mencakup:
1. elit dalam aspek politik
2. elit dalam aspek ekonomi
3. elit dalam aspek pendidikan
4. elit dalam aspek agama
5. elit dalam aspek profesi, seperti dokter, pengacara, dan lain-
lain.16
1
Ibid., him. 60-62.
1
1 bid, him. 67.
1
Ibid, him. 66-61.
164
Ibid, him. 94-95.
Kaitannya dengan pendekatan sosiologi, minimal ada tiga teori yang
bisa digunakan dalam penelitian: (1) teori fungsional,
(2) teori interaksional, (3) teori konflik. Tetapi ada juga yang
menambahkan dua teori lain: teori peranan dan kepentingan. Masih ada
beberapa teori lain yang dijelaskan kemudian.
Maksud teori fungsional adalah teori yang mengasumsikan
masyarakat sebagai organisme ekologi mengalami pertumbuhan. Semakin
besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang
akan dihadapi. Pada gilirannya akan terbentuk kelompok-kelompok atau
bagian-bagian tertentu yang masing-masing bagian mempunyai fungsi
sendiri pula, yang boleh jadi satu bagian mempunyai fungsi yang berbeda
dengan yang lain. Karena perbedaan pada bagian tadi maka perubahan
fungsi pada bagian tertentu bisa juga mempengaruhi fungsi kelompok
lain. Namun demikian, meskipun masing-masing kelompok
mempengaruhi kelompok lain, namun masing-masing kelompok bisa
dipelajari sendiri-sendiri. Maka yang menjadi kajian penelitian agama
dengan pendekatan sosiologi dengan teori fungsional adalah dengan
melihat atau meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya.
Ada pula hubungannya dengan teori fungsi adalah teori peran.
Adapun yang dimaksud dengan peran dari sisi bahasa adalah perangkat
tindakan yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan di
masyarakat. Berperan berarti bertindak sebagai atau bermain sebagai.
Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam
satu peristiwa. 165 Kemudian disebutkan pula, peranan aspek dinamis dari
kedudukan (status): Apabila seorang malaksanakan hak dan
kewajibannya, maka orang tersebut menjalankan perannya. 166
Ada pula hubungan antara peran dan status, bahwa peran tidak dapat
dipisahkan dari kedudukan/status. 167 Adapun maksud status adalah
kedudukan, yakni tempat atau posisi seseorang dalam satu kelompok
sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut. 168
Ada dua jenis status/kedudukan:
165
Kamus Besar Bahasa Indonesia, oleh Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, edisi ke 2 (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), him. 751.
166
Riswandi, Ilmu Sosial Dasar, him. 64.
167
Ibid., him. 65.
168
1 bid., him. 65. PENGANTAR STUDI ISLAM 155
1. Ascribe status, yakni status yang didapat secara otomatis,
tanpa usaha, atau tanpa memperhatikan kemampuan. Misalnya,
status bangsawan atau kasta yang diperoleh sejak lahir dari
orang tua.
2. Achieve status, yaitu status yang diperoleh seseorang dengan
usaha-usaha yang disengaja sesuai dengan kemampuannya. 169
Adapun langkah-langkah yang diperlukan dengan menggunakan
teori fungsional: (1) membuat identifikasi tingkah laku sosial yang
problematik, (2) mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang
menjadi obyek penelitian, dan
(3) mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.
Teori interaksionisme mengasumsikan, dalam masyarakat pasti ada
hubungan antara masyarakat dengan individu, antara individu dengan
individu lain. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: (1) bagaimana
masyarakat menentukan pandangan, sikap dan tingkah laku individu, (2)
bagaimana individu menciptakan dan menjaga perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, dan (3) bagaimana masyarakat dan individu
dapat dipisahkan sehingga fenomena-fenomena yang melekat dalam
masyarakat dapat diidentifikasi, dipelajari dan ditafsirkan secara terpisah.
Teori interaksionis sering diidentifikasi sebagai deskripsi yang
interpretatif, yaitu suatu pendekatan yang menawarkan analisis yang
menarik perhatian besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada.
Ada sejumlah kritik yang muncul pada teori interaksionis: pertama,
teori ini dituduh menggunakan analisis yang kurang ilmiah. Alasannya
karena teori interaksionisme menghindari pengujian hipotesis, menjauhi
hubungan sebab akibat. Karena itu kadar keilmiahannya diragukan.
Kedua, teori ini terlalu memfokuskan pada proses sosial di tingkat mikro
dan kurang perhatian pada proses sosial yang terjadi di tingkat makro.
Ketiga, teori ini dianggap mengabaikan kekuasaan.
Adapun prinsip dasar yang dikembangkan interaksionisme adalah:
(1) bagaimana individu menyikapi sesuatu, atau apa saja yang ada di
lingkungannya; (2) memberikan makna pada fenomena tersebut
berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain; (3) makna
tersebut difahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses
interpretasi atau penafsiran yang berkaitan dengan hal-hal lain yang
dijumpainya.
156 PENDEKATAN STUDI ISLAM
169
Ibid., him. 71.
Teori konflik adalah teori yang kepercayaan bahwa setiap
masyarakat mempunyai kepentingan (interest) dan kekuasaan (power),
yang merupakan pusat dari segala hubungan sosial. Menurut pemegang
aliran ini nilai dan gagasan-gagasan selalu dipergunakan sebagai senjata
untuk melegitimasi kekuasaan.
Teori-teori lain yang berhubungan dengan pendekatan sosiologi
adalah teori-teori perubahan sosial, yaitu:
1. teori evolusi
Teori ini berpangkal pada pemikiran Friedrick Hegel, namun
dikenalkan sebagai salah satu teori sosial oleh Auguste Comte. Menurut
Comte perubahan dimulai dari fase teologis, kemudian maju ke fase
metafisik, diteruskan pada fase ilmiah/ positif, yaitu dengan memahami
hukum dan/atau eksperimen ilmiah. Pengetahuan ilmiah dapat
direncanakan, yang oleh
Herbert Spencer disebut rekayasa sosial, yang disebut Darwinis Sosial.
Aplikasi teori ini, masyarakat bergeser dari masyarakat miskin yang non-
industrial, primitif, akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih
kompleks dan berkebudayaan. 170
2. teorifungsionalis struktural
Teori yang lahir tahun 1930 an ini, dikembangkan oleh Robert
Merton dan Talcott Parsons, yakni bagaimana memandang masyarakat
sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama,
pendidikan, struktur, politik sampai rumah tangga). Masing-masng bagian
secara terus menerus mencari keseimbanganya (equilibrium) dan
harmoni. 171
3. teori modernisasi
Teori yang lahir tahun 1950 an ini, menurut Hunntington (1976)
modernisasi dianggap jalan menuju perubahan. Adapun proses
modernisasi adalah revolusioner, kompleks, sistematik, global, bertahap
dan progresif. 172
170
Mansour Fakir, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), him. 30-31.
171
Ibid., him. 31.
172
Ibid., him. 32. PENGANTAR STUDI ISLAM 157
Menurut teori yang dikembangkan oleh Theodore Shulz (1961) ini,
keterbelakangan masyarakat dianggap bersumber pada faktor interen
negara atau masyarakat itu sendiri. Karena itu, untuk peningkatannya
perlu investasi dari masing-masing. 173
5. teori konflik
Adapun contoh konflik adalah revolusi, eksploitasi, kolonialisme,
ketergantungan, konflik kelas dan rasial. Hegel adalah orang pertama
memberi perhatian untuk menjadi teori per_ ubahan. Bagi Hegel
perubahan adalah dialektik, yakni berasal dari proses tesis, antitesis dan
sistesis. Teori ini mempengaruhi teori Karl Marx. Menurut Marx
masyaraka terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu bertentangan, yang
(1) mengeksploitasi kelas yang (2) dieksploitasi. 174
6. teori ketergantungan
Teori ini menekankan pada hubungan dalam masyarakat, misalnya
masalah struktur sosial, kultural, ekonomi dan politik. 175
7. teori pembebasan
Asumsi teori ini masyarakat berada dalam keadaan terbelakang
karena tertindas oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat mereka
sendiri. Karena itu, kata Paulo Freire (1972), salah satu tokohnya, penting
adanya pendidikan dalam pembebasan dan pembangunan. Oleh Gustavo
Gutierrez, teori ini dikaitkan dengan teologi. Maka muncul teologi
pembebasan, yaitu dengan melakukan penyadaran. 176
b. Pendekatan Antropologi
Antropologi secara sederhana adalah ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan adalah semua produk hasil
penelitian, ciptaan serta kreasi masyarakat baik material maupun non
material. Contoh kebudayaan material adalah rumah sebagai tempat
tinggal, model pakaian, model sepatu dan berbagai peralatan lainnya.
Contoh yang non- material adalah kesenian, agama, kepercayaan,
pandangan hidup, aturan, dogma, norma, nilai yang diakui, dijunjung dan
mengikat bersama secara kelompok.
173
Ibid., him. 33-34.
174
158 P175
Ibid., him. 34-35.
ENDEKATAN STUDI ISLAM
Ibid., him. 36-37.
176
Ibid., him. 38-39.
Antropologi berdiri sendiri sebagai ilmu dimulai abad ke
c. Pendekatan Jender
Sebagaimana layaknya teori sosial lainnya, seperti analisis kelas,
analisis kultural, dan analisis diskursus, analisis gender adalah alat
analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai toeri tugas utama
analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan
PENGANTAR STUDI ISLAM 160
praktek hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan, serta
implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi,
politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial
lainnya. 177
Oleh Oakley (1972), dalam karyanya Gender, Sex and Society,
seperti dikutip Mansour, mendefinisikan gender dengan perbedaan antara
laki-laki dan perempuan berdasar konstruksi sosial bukan berdasar biologi
dan bukan kodrat Tuhan. Sedang sex adalah perbedaan berdasarkan sex
(biologi) karena kodrat Tuhan. Karena itu, gender bisa berubah dari waktu
ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, bahkan dari satu kelas ke kelas
lain. Sementara biologi (sex) tetap sama. Dengan sendirinya, kalau
perbedaan sex berarti kodrati, karenanya perbedaannya permanen.
Sementara gender tidak kodrati karenanya tidak permanen. Dengan
ungkapan yang berbeda, Caplan (1987) dalam bukunya The Cultural
Construction of Sexuality menyebut, perbedaan antara laki-laki dan
perempuan bukan sekedar biologi, namun secara sosial dan kultural. 178
Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan beberapa hal,
diantaranya, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi
secara sosial dan kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.
Melalui proses panjang
177
Ibid., him. xii-xiii
178
Ibid., him. 71-72.
178
Ibid., him. 9.
161 PENDEKATAN STUDI ISLAM
tersebut akhirnya dianggap kodrat.34
Adapun bentuk ketidakadilan karena gender adalah: marginalisasi
atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting
dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak,
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. 179 Dengan .ungkapan lain,
ada 5 teori yang dapat digunakan dengan menggunakan pendekatan atau
analisis gender, yaitu: (1) marginalisasi, (2) subordinasi, (3) pembentukan
stereotipe, (4) kekerasan, dan (5) beban kerja.
Berbicara tentang pendekatan gender kurang lengkap sebelum
membicarakan pendekatan feminis. Sebab dapat dikatakan bahwa gender
itu sendiri adalah bagian dari feminis. Ada sejumlah teori feminis, di
antaranya yang terpenting ada 4, yakni:
1. feminisme liberal
Feminisme liberal adalah teori yang beranggapan bahwa latar
belakang dan ketidakmampuan kaum wanita bersaing dengan laki-laki
adalah karena kelemahan kaum wanita sendiri, yaitu akibat kebodohan
dan irrasional yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional. Maka
akar kebebasan (freedom) dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan
pemisahan antara hidup privat dan publik.36
2. feminisme radikal
Yaitu teori yang berpendapat bahwa akar penindasan laki- laki
terhadap perempuan adalah jenis kelamin itu sendiri (biologi) dan
ideologi patriarkinya. Dengan ungkapan lain, penindasan terhadap wanita
terjadi karena dominasi laki-laki terhadap perempuan dan adanya
kepercayaan di masyarakat
4. feminisme sosial
Menurut teori ini sumber ketidakadilan adalah karena penilaian dan
anggapan terhadap perbedaan biologi laki-laki dan perempuan
(konstruksi sosial). Maka yang diperangi feminisme sosial adalah
konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang
dibangun atas bias gender. 182
5. feminisme Islam
Menurut teori ini, Islam memberikan kesejajaran antara laki-laki
dan perempuan dalam melakukan karya (‘amal)- Unsur yang
membedakan seorang dari orang lain adalah kualitas diri (taqwa), bukan
jenis kelamin, bukan warna kulit, bukan etnis, bukan bangsa dan yang
lain-lain.
d. Pendekatan Sejarah
180
Ibid., him. 84-85
181
Ibid., him. 88-89. ;
182
Ibid., him. 92-93. PENGANTAR STUDI ISLAM 163
Dengan menggunakan pendekatan sejarah ada minimal dua teori
yang bisa digunakan yaitu: (1) idealist approach, dan
(2) reductionalist approach. Maksud idealis approach adalah
seorang peneliti yang berusaha;-memahami dan menafsirkan fakta
sejarah dengan mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa
keraguan. Sedangkan reductionalist approach adalah seorang peneliti
yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan penuh
keraguan. Seperti dijelaskan sebelumnya ada 3 teori lain yang penting
dipahamai dengan pendekatan sejarah, yakni: (1) diakronik, (2)
sinkronik, dan
(3) sistem nilai.
e. Pendekatan Semantik
f. Pendekatan Filologi
Filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas
yang mencakup sastra bahasa dan kebudayaan. Maka filologi berguna
untuk meneliti bahasa, meneliti kajian linguistik, makna kata-kata dan
penilaian terhadap ungkapan karya sastra. Dengan demikian seorang
filolog akan berurusan dengan kata-kata dari tulisan yang ada dalam satu
teks yang terkandung dalam satu naskah tulisan tangan. Maka yang
menjadi kajian obyek filologi adalah naskah klasik yang ditulis tangan.
Ada dua hal pokok dalam kegiatan filologi, yaitu: (1)
penulisan/penyalinan kembali terhadap teks asli, dan (2)
pemahaman/memahami teks asli yang ada.
Sebagai konsekuensinya ada beberapa' hal yang mungkin terjadi,
yaitu kesalahan dan perubahan. Kesalahan terjadi karena beberapa
kemungkinan, yakni: (1) kurang memahami bahasa, (2) kurang
memahami pokok persoalan teks, (3) karena
tulisannya kurang jelas, (4) karena salah baca, atau (5) karena kurang
teliti. Sedang perubahan dapat terjadi karena (1) memang disengaja oleh
penyalin dengan anggapan ada ketidaktepatan dalam teks asli.
Maka yang ingin dikaji oleh filologi adalah memahami dan
menyalin teks untuk disesuaikan dengan teks aslinya, dan pada tahap
berikutnya dan merupakan kelanjutannya berusaha (2) untuk
membahasakan sesuai dengan bahasa yang ada pada masa filolog.
g. Pendekatan Hermeneutik
Pendekatan hermeneutik juga dapat digunakan dalam studi Islam.
183
Richarkd E. Palmer, “Hermeneutics Interpretation Theory”, dalam
Schleiermacher, Diltehey Heidegger and Gadamer (Eanston: Northwestern
University Press, 1969).
184
Josef Bleicher, Contemporary Hermenutics, Hermeneutics as a
Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Paul Keagen, 1980),
him. 15.
184
Lebih jelasnya tentang ini dapat dilihat Khoiruddin Nasution, Pengantar dan
Pemikiran. Hukum Keluarga (Perdata) Islam (Yogyakarta:
ACAdeMIA + TAZZAFA, 2007), him. 83-97.
166 PENDEKATAN STUDI ISLAM
2. Sebagai filsafat/filosofis, dan
3. Sebagai kritik.
Sebagai metodologi, dan ini yang menjadi kajian dalam bahasan ini,
hermeneutika dapat bersifat subjektif dan objektif;
Hermeneutik subjektif, yang dikembangkan Martin Heideger dan
Gadamer, dan disebut Verstchen, bahwa sebagai pembaca teks, kita tidak
mempunyai akses langsung kepada penulis disebabkan adanya perbedaan
waktu, ruang dan tradisi. Maka yang ingin ditemukan di sini adalah
pengungkapan dassein dalam segi temporalitas dan historisnya. Sementara
hermeneutic aliran obyektifitas menegaskan, bahwa interpretasi berarti
memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarang.
Sedangkan hermeneutic aliran obyektifitas dikembangkan oleh tokoh-
tokok klasik, khususnya Friederick Schleiermacher (1768-1834) dan
Wilhelm Dilthey (1833-1911).
Ada juga ilmuwan yang mengelompokkan interpretasi atau
hermeneutika menjadi:
1. interpretasi/hermeneutika gramatika bahasa.
2. interpretasi/hermeneutika psiko-historis-sosiologis
(ekstralinguistik). Ini sama pula dengan apa yg disebut
Hermeneutika kritis (critical hermeneutics), disebut juga kritik
ideologi (oleh/ala Habermas). Di sini menekankan pada faktor-
faktor ekstralinguistik sebagai masalah yang hrs dipecahkan
hermeneutika.
3. interpretasi/hermeneutika spirit (ideal moral), yakni untuk
menemukan konsep dasar/umum/prinsip atau makna universal
teks.
4. interpretasi/hermeneutika kontekstual, yakni jawaban terhadap
kasus baru berdasarkan nilai ideal-moral.
Fazlurrahman masuk pada hermeneutika:
h. Pendekatan Wacana
Pendekatan wacana lebih umum disebut analisis wacana. Analisis ini
digunakan untuk melacak dan menganalisis historisitas lahirnya konsep
lengkap dengan latar belakangnya. PToeri yang umum digunakan dengan
ENGANTAR STUDI ISLAM 168
pendekatan ini adalah teori Arkeologi Ilmu Pengetahuan yang ditawarkan
Michel Foucault (1926-1984).
E. Pendekatan Integratif
Maksud pendekatan integratif adalah kajian yang menggunakan cara
pandang dan/atau cara analisis yang menyatu dan terpadu. Analisis
integratif dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, integratif antar
seluruh nash yang terkait dengan masalah yang sedang dikupas atau
dibahas. Kedua, integratif antara nash dengan ilmu lain yang terkait dengan
masalah yang sedang dibahas. Integratif jenis yang kedua ini identik
dengan pendekatan interdisipliner yang dibahas pada bagian berikut.
Secara singkat, pendekatan integratif antar nash sama dengan
pendekatan atau salah satu model dalam tafsir, yang disebut model tafsir
maudui (tafsir tematik). Bagaimana cara kerja dan prosedur penggunaan
pendekatan ini dapat dilihat dalam bahasan kajian sumber pada bab tiga.
F. Pendekatan Interdisipliner
Maksud pendekatan interdisipliner adalah kajian dengan
menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif).
Dalam satu studi misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis
dan normatif secara bersama. Pentingnya penggunaan pendekatan ini
semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya
menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks
agama, seperti al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad tidak cukup hanya
mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan
pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah
dengan pendekatan hermeneutik misalnya.
Ketika membahas masalah yang berhubungan dengan kedokteran,
seharusnya tidak cukup hanya dengan kajian normatif. Kajian normatif
akan lengkap kalau dilengkapi dengan kajian kedokteran. Dengan jalan
seperti ini, persolana dipahami lebih lengkap sebelum memutuskan hukum.
Demikian juga dalam menyelesaikan atau menjawab hukum (status)
ternak, pertanian, dan semacamnya. Untuk menetapkan hukumnya harus
dipahami lebih dahulu secara lengkap dari sisi ilmu peternakan atau ilmu
pertanian. Kemudian ditetapkan status hukumnya. Kira-kira demikianlah
dengan cabang atau masalah-masalah lainnya.
Kupasan di atas melahirkan beberapa catatan. Pertama,
perkembangan pembidangan studi Islam dan pendekatannya sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Adanya penekanan
PENGANTAR STUDI ISLAM 169
terhadap bidang dan pendekatan tertentu dimaksudkan agar mampu
memahami ajaran Islam lebih lengkap (konprehensif) sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan yang semakin lengkap dan kompleks pula.
Perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya
memang terjadi, kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak
mendapat perhatian.
Contoh dengan pendekatan ini adalah ketika ingin mengetahui sistem
kekeluargaan apa yang hendak dibangun Islam dengan menggunakan
pendekatan etnographi atau antropologi-sosial yang dilakukan Hazairin.
Kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ini dapat disimpulkan bahwa
sistem kekeluargaan yang hendak dibangun Islam adalah sistem kekeluargaan
bilateral/parental.
Cara kerja dengan pendekatan ini adalah melacak ayat al- Qur’an yang
berbicara wanita-wanita yang boleh dinikahi dan ayat al-Qur’an yang
membicarakan warisan. Kemudian bahasan dilanjutkan dengan menelaah
sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat lengkap dengan ciri
masing-masing. Berdasarkan ciri-ciri ini kemudian dicarikan sistem mana yang
cocok dengan ciri yang dibangun Islam. Berdasarkan ciri-ciri ini pula
kemudian ditetapkan sebagai sistem kekeluargaan yang hendak dibangun
Islam. Berdasarkan kajian yang dilakukan ternyata Islam hendak membangun
masyarakat bilateral.42
Contoh lain penggunaan pendekatan interdisipliner adalah dalnm
menjawab status hukum aborsi. Untuk melihat status hukum aborsi perlu
dilacak nash al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW. tentang larangan
pembunuhan anak dan proses atau tahap-tahap penciptaan manusia. Sebab,
tindakan aborsi diidentikkan dengan tindakan pembunuhan anak. Dalam
memahami proses penciptaan manusia dihubungkan dengan teori embriologi.
Bahasannya dapat digambarkan berikut. Namun sebelum dibahas alangkah
baiknya lebih dahulu aborsi didefinisikan, yakni pengguguran kandungan atau
penghentian kehamilan dengan cara pelenyapan atau merusak janin pada tahap
fetus sebelum kelahiran.
Al-lsra’ (17): 31 dan al-An‘am (6): 151 menjelaskan larangan membunuh
anak. Bunyi ayat selengkapnya adalah:
AUsra’ (17): 31
2. Hadis R. Muslim
Apabila nutfah telah melewati 42 hari, Allah mengutus malaikat untuk
membentuk rupanya, menjadikan pendengarannya, penglihatannya, kulit,
daging serta tulangnya. Kmd malaikat bertanya, wahai tuhan apakah
dijadikan laki-laki atau perempuan....
Proses penciptaan manusia yang disebutkan dalam al- Qur’an dan
hadis nabi Muhammad tersebut dapat dijelaskan dengan meminjam teori
embriologi sebagai berikut:
* min ma’in mahin = air mani hina = Spermatozoa
■ min ma’in dafiq = air yg-terpencar = Ejakulasi
■ min nutfatin amsyaj = bertemu sel sperma dg ovum = Zigot
178 PENDEKATAN STUDI ISLAM
♦ nutfatin fl qararin makin = air mani disimpan di tempat
kokoh = Morula yg kelak menjadi blastosis
♦ Alaqah = segumpal darah = menggantung atau melengket
atau melekat (dari sudut kedokteran tidak dikenal,segumpal
darah, tetapi fase pembemtukan blastosis yang melekat di
dinding rahim, yang dikenal dengan nidasi atau implantasi)
♦ Mudgoh - daging' (masalah, sebab dalam istilah al- Qur’an
daging adalah lahma)
♦ Izama = membentuk tulang (fase pembentukan tulang)
♦ Lahma = daging (tulang dibungkus dengan daging) Khalqan
akhar = manusi dengan ciri-ciri istimewanya = ditiupkan ruh
♦ ‘nafkhi al-ruh’ (meniupkan ‘ruh’), Artinya ‘meniupkan ruh’
atau ‘menghidupkan’
Arti kata ‘ruh’ diperdebatkan pemikir (ulama)
Dari sisi istilah ‘ruh’ diartikan, ‘bermulanya kehidupan pada
janin yang sebelumnya hanya merupakan zat yang belum
memiliki al-hayat’.
Dengan memadukan teori penciptaan (proses) kelahian manusia
dalam Islam (al-Qur’an dan hadis) dengan ilmu kedokteran (embriologi)
ditemukan kata ‘nafkhi al-ruh’ sebagai kata kunci untuk menyatakan dan
batas awal disebut sebagai manusia. Dengan demikian berarti diketahui
pula kapan disebut melakukan pembunuhan terhadap manusia yang
dilarang agama, yakni sejak ditiupkan ruh atau disebut makhlun lain
(khalqan akhar), 40 hari. Dengan demikian, hukum aborsi haram sejak
ditiupkan ruh, kandungan berumur 40 hari, dan ini sesuai dengan
keterangan hadis tersebut di atas.
Masih ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam studi
agama, tetapi tidak dibahas dalam tulisan ringkas ini.
Sebagai tambahan, Leonard Binder secara implisit menawarkan
beberapa pendekatan dalam studi Islam, yakni: (1)
185
Leonard Binder, The Study of the Middle East: Research and
Scholarship in the Humanities and the Social Sciences (New york, London,
Sydney, Toronto: John Wiley & Sons, 1976)
186
T.O.Ihromi, (pen:), Kajian wanita dalam pembangunan. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1995), him. 110-131.
187
T.O.Ihromi, (pert-),'Kajian wanita dalam pembangunan. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
180 PENDEKATAN STUDI I1995),
SLAM him. 83-109.
A. Pendahuluan
Agar dapat memahami Islam dengan baik dan benar, ada beberapa
hal yang harus dipahami lebih dahulu, yakni konteks atau historisitas nash
sebagai sumber ajaran dan Islam itu sendiri. Dalam studi al'Qur’an,
historisitas tersebut terkenal dengan sebutan pengetahuan sebab-sebab
atau latar belakang atau latar historis turunnya ayat. Sementara dalam
studi hadis, historisitas dimaksud adalah sejarah atau latar belakang
mengapa nabi Muhammad mengeluarkan sabda. Hirstorisitas yang secara
langsung menjadi sebab turunnya ayat al-Qur’an atau historisitas yang
menjadi latar belakang mengapa nabi Muhammad mengeluarkan sabda
oleh Fazlur Rahman disebut ‘asbab al-nuzul dan asbab al-wurud mikro.
Sementara sejarah sosial Arab pada waktu turunnya ayat al-Qur’an dan
sunnah nabi Muhammad disebut asbab al-nuzul dan asbab al-wurud
makro. Dengan demikian, ada dua asbab al-nuzul dan asbab al-wurud.
Keduanya menurut Rahman harus dipahami agar dapat memahami
sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad dengan baik
dan benar.
PENGANTAR STUDI ISLAM 181
Bersamaan dengan itu, untuk dapat memahami Islam dengan baik
dan benar pada masa sekarang dan untuk konteks Indonesia, ada juga
beberapa hal yang perlu dipahami. Kalau tidak sampai pada tingkat
memahami, minimal mempunyai wawasan tentang itu, yakni tentang
masalah Jender, masalah demokrasi, masalah Hak-hak Asasi Manusia
(HAM), masalah hak wanita (women’s nights), masalah pluralisme
(keberagaman) dan globalisasi. Dalam bagian ini, isu-isu tersebut
diuraikan, meskipun hanya bersifat global dan selintas.
A. Isu Jender
a. Pengertian
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan jender perlu pula
dijelaskan pengertian sex. Dengan pemahaman ini diharapkan pada
gilirannya dipahami pula apa perbedaannya dengan sex. Kemudian
dikemukakan bagaimana konsep Islam tentang jender.
Kata jender berasal dari bahasa Inggris gender yang berarti jenis
kelamin. 188 Menurut Nasruddin Umar, pengerti ini kurang tepat, sebab
dengan pengertian tersebut jender disamakan dengan sex yang berarti
jenis kelamin pula. Persoalan ini muncul barangkali adalah karena kata
jender termasuk kosa kata baru, sehingga pengertiannya belum ditemukan
dalam kamus Besar Bahasa Indonesia. 189
Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dari segi nilai dan
tingkah laku. 190 Dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah konsep yang bersifat
budaya (cultural) yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran,
prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 191
188
Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols dan Hasan Shadily
(Jakarta: Gramedia, 1983), hlm.265.
189
Nasruddin Umar, Atgumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), him. 33.
190
Webster’s New New World Dictionary, Victoria Neufeldl (New
York: Webster’s New World Clevenland, 1984), him. 561.
191
Women’s Studies Encyclopedia, Hellen Tierney (New York: Green
World Perss, t.t.),DAN
182 STUDI ISLAM 1:53.
ISU-ISU AKTUAL
Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan kamus
besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim dipergunakan,
khususnya, di kantor Menteri Urusan Peranan Wanita dengan ejaan
‘jender’. Jender diartikan sebagai penafsiran yang bersifat mental
(interpretasi mental) dan budaya (cultural) terhadap perbedaan kelamin,
laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk
menunjukkan pembagian kerja yang tepat bagi laki-laki dan
perempuan. 192
Mansoer Fakih menguraikan pengertian jender secara lebih detail
beserta contoh-contohnya. Menurutnya, jender adalah sifat yang melekat
pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional,
dan keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan
perkasa. Ciri-ciri dan sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut,
keibuan, sementara ada juga perempuan yan rasional, kuat dan perkasa.
Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu
dan dari tempat ke tempat lain. Jadi yang disebut jender adalah semua hal
yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa
berubah dari waktu ke \faktu serta dapat berbeda dari satu tempat ke
tempat lainnya maupun berbeda dari satu kelas ke kelas lain. 193
Untuk membedakan antara jender dan sex, perlu pula
192
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Pengantar Teknik
Anlisis Jender (Jakarta: Sekretariat Kantor Mentri Negara Urusan Peranan
Wanita,, 1992), 111:3.
193
Mansoer Fakih, Analisis Jender dan PTransformasi
ENGANTAR STUDI ISLAM 183
Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1986), him. 8-9.
diberikan pengertian sex.. Kata sex dalam bahasa Indonesia diartikan ‘jenis
kelamin’. 194 Kalau ada kata sex, maka diisi dengan laki-laki atau perempuan.
Namun pembedaan kedua jenis kelamin manusia ini, ditentukan secara
biologis. Maksud perbedaan berdasarkan biologis adalah perbedaan yang
didasarkan pada hal yang bersifat permanen (kurdati), tidak dapat ditukarkan.
Misalnya, laki-laki mempunyai penis, sementara perempuan mempunyai
vagina. Perempuan mempunyai payudara yang dapat memproduksi makanan
untuk anak, sementara laki-laki tidak. Pendeknya, perbedaan di sini lebih
bersifat paten, kudrat dan tidak dapat dipertukarkan, tidak dapat berubah-ubah
dari waktu ke waktu, tidak dapat berubah-ubah dari satu tempat ke tempat
yang lain, tidak dapat dipertukarkan antara satu kelas ke kelas lain. Meskipun
dapat dipertukarkan dengan menggunakan teknologi, tetapi tetap ada
perbedaan hormon- hormon yang ada di dalamnya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jender
adalah konsep perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil bentukan
sosial dan budaya, bukan bersifat biologis atau kudrati. Dengan demikian,
perbedaannya adalah bersifat non-biologis. 195 Dengan demikian, perbedaan
berdasarkan jender dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, dapat
dipertukarkan dari satu tempat ke tempat lain, dapat dipertukarkan dari satu
kelas ke kelas lain, dan sejenisnya.
194
Kamus Inggris Indonesia., John M. Echols dan Hasan Shadily, him.
517. V'".
195
Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, him. 35.
196
Untuk informasi lebih lengkap tentang hal ini lihat Khoiruddin
Nasution, Fazlur Rahman tentang Wanita (Yogyakarta: ACAdeMIA &
Tazzafa, 2002).
184196
STUDI ISLAMProdjddikoro,
Wirjono DAN ISU-ISU AKTUAL
Asas-asas Ilmu Negara dan Politik (Bandung:
Adapun sebab-sebab lahirnya konsep bias jender dalam Islam adalah
sebagai akibat dari sepuluh faktor, yakni: (2) Penggunaan studi Islam yang
parsial, (2) Belam ada kesadaran pentingnya pembedaan nash menjadi (1)
normatif-universal dengan (2) praktis-temporal, (3) terkesan sejumlah Nash
memarginalkan wanita, sebagai akibat penggunaan parsial, (4) budaya-budaya
Muslim merasuk terhadap ajaran Islam, (5) dominasi teologi laki-laki dalam
memahami nash, (6) kajian Islam dengan pendekatan agama murni, (7)
generalisasi (mengambil hukum umum) dari kasus khusus, (8) mengambil
hukum sebagai produk hukum dari penetapan hukum berdasarkan siyasah al-
Syar'iyah, (9) kajian Islam yang literalis dan ahistoris (tekstual), dan (10)
peran Kekuasaan (Penguasa)
B. Isu Demokrasi
a. Pendahuluan
Seorang penulis Yunani kuno, Polybios menulis, sebagaimana dikutip
Wirjono Prodjodikoro, bahwa sistem pemerintahan Monarchic, Oligarchic,
dan Demokratie, merupakan tiga sistem yang telah dan akan berjalan
mengikuti perjalanan hidup manusia secara cyclus atau lingkaran. Ketika satu
waktu sistem monarchic yang berjalan, pada gilirannya akan muncul sistem
oligarchic, yang kemudian akan diikuti oleh demokratie, dan demikian
seterusnya berputar seperti halnya planet Bumi mengelilingi Matahari.
Meskipun tidak mengakui sistem ini telah dan akan berjalan secara
cyclus, namun Kranenburg mengakui kecemerlangan teori Polybios ini.
Kranenburg mengatakan, bahwa sistem monarchie tidak harus mengikuti
oligarchic, dan oligarcie tidak akan diikuti oleh demokratie, dan demikian
seterusnya. Ditambahkan, perjalanan sistem ini bisa saja muncul sebaliknya.10
Apa yang dapat disimpulkan dari kutipan di atas, bahwa berdasarkan
sejarah peradaban manusia, khususnya di bidang sistem pemerintahan, ada
tiga sistem yang sudah umum berlaku, yaitu sistem kekuasaan yang ada pada
seluruh rakyat (demokrasi). Kedua, sistem kekuasaan yang ada di tangan
sebagian (sedikit) rakyat (oligarki) dan ketiga, kekuasaan yang berada di
tangan seorang penguasa (monarki).
Tulisan kecil ini hanya akan membicarakan sejarah lahir dan
pertumbuhan demokrasi secara umum, lebih-lebih menekankan pada peran
yang dimainkan Inggris, Perancis, dan Amerika, kemudian dihubungkan
dengan konsep Islam. Namun sebelum masuk pada bahasan pokok tersebut,
akan lebih dahulu secara singkat dipaparkan pengertian demokrasi dan sistem-
PENGANTAR STUDI ISLAM 185
b. Pengertian
Ada beberapa istilah yang berhubungan erat dengan istilah demokrasi
yang penting dijelaskan lebih dahulu, seperti istilah monarki, oligarki, dan
kata demokrasi sendiri. Sebab meskipun sejumlah istilah ini jelas-jelas
berbeda, tetapi dalam pemakaiannya pada segelintir kasus, ternyata
mempunyai persamaan obyek. Karena itu, penjelasan arti dianggap penting
untuk melihat penggunaan istilah (operasional) baik dari sisi bahasa maupun
penggunaannya, baik dari sisi persamaan maupun perbedaannya.
Monarki berasal dari dua kata dasar; monos dan archein. Monos berarti
satu-satunya, dan archein berarti berkuasan. Kata monarki dari bahasa Inggris
monarchy, asal kata monarch., 197 diartikan sebagai kekuasaan yang ada di
tangan seorang manusia (penguasa/supreme rulers-, king, queen, emperor).
Jadi sistem pemerintahan yang monarki adalah pemerintahan yang dikuasai
oleh seorang raja.
Adapun kata oligarki terdiri dari kata oligoi dan archie. Kalau dalam
bahasa Inggris berasal dari kata oligarchy, yang berarti bentuk pemerintahan
yang dipegang oleh sekelompok kecil orang. 198 Maka pengertain oligarki
adalah kekuasaan yang ada pada sedikit atau sejumlah orang.
Sedang demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan
cratos yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Maka kata demokrasi berarti
kekuasaan yang ada pada tangan rakyat. 199 Disebut juga bahwa demokrasi
adalah sistem dimana kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. 200 Daris
sistem ini kemudian muncul sejumlah syarat untuk disebut sebuah negara atau
satu sistem pemerintahan melaksanakan demokrsi, yakni tidak ada paksaan
terhadap pengungkapan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan
berkumpul. 201 Karena itu, asas terpenting dari sebuah demokrasi adalah
197
A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-4
(Oxford: Oxford University Press, 1989), him. 800.
198
Ibid., him. 860.
199
Ibid., him. 22.
200
Masdar Farid Mas'udi, “Demokrasi dan Islam: Beberapa Pertanyaan
untuk Pengantar Perbincangan” dalam M. Masyhur Amin dan Mohammad
Najib, editor., Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:
LKPSM, 1993), him. 3.
201
Lihat Sidney Hook, “Demokrasi: Sebuah Tinjauan Umum” dalam ].
186 STUDI ISLAMeditor;
A. jonminofri, DAN ISU-ISU AKTUAL
Menegakkan Demokrasi (Jakarta: Yayasan Studi
adanya kebebasan berpendapat, kebebasan memilih dan semacamnya.
203
1 mill sama dengan 1,6 km. Maka jarak 8 atau 10 mil sama dengan
jarak 12,8 km atau 16 km.
204
Ibid., him. 234-235.
204
Ibid., him. 236. ,
205
Ibid., him. 236-237. Lihat juga penjelasan lebih jauh ketika penulis
menjelaskan perbedaan Roman republic dengan modem republics. Ibid., him. 258
188 STUDI ISLAM DAN ISU-ISU AKTUAL
dst..
Brinton dkk menggambarkan, bahwa di pertengahan abad ke 19, Inggris
bukan saja negara yang paling demokrasi di bidang politik (pemerintahan)
tetapi juga demokrasi di bidang ekonomi dan sosial. 206
Sejalan dengan itu, ketika berbicara dalam sub bab “dari Absolutisme ke
Demokrasi”, Iyer, malah mencatat, pada abad ke-13 di Inggris, sesudah masa
Henry II (1154-1189), prerogatif, rajam istana raja,- majelis raja,
kekuasaannya berada di atas semua yurisdisi setempat maupun yurisdiksi
feodal, memperkuat doktrin bahwa hukum adalah milik raja. Kedudukan
militer, prasetya-penobatan, otonomi kota-kota, mulai menyusut habis.
Absolutisme mencapai kemenangannya di eropa menjadi penguasa penuh di
Spanyol di masa Philipe II, di Perancis di bawah Louis XIV, dan di Inggris di
masa Stuart. Negara-negara ini menghendaki kepentingan-kepentingan umum
negara harus dijauhkan dari pemilikan yang memaksa. 207
Manifes yang dikeluarkan seperti “Persetujuan antara Rakyat”
mengemukakan beberapa prinsip pemerintahan yang benar, terutama azas
bahwa kedaulatan didapatkan dari Rakyat dan karenanya kekuasaan negara
dibatasi.24
Maka salah satu unsur yang paling menonjol dalam proses demokrasi
modern adalah munculnya lembaga yang kemudian terkenal dengan sebutan
‘Perwakilan’. Memang setiap rentetan sejarah mempunyai bentuk dan level
perwakilannya sendiri- sendiri. Sekaligus sistem perwakilan inilah yang
membedakan negara modern dengan negara sebelumnya. Seperti Yunani kuno
dan negara-negara klasik lainnya, perwakilan belum pernah diperlakukan
sebagai suatu azas yang disusun secara sadar untuk menyatakan kehendak
rakyat banyak lewat suara wakil (sistem perwakilan). 208 Maka sistem
demokrasi sendiri mengalami evolusi yang cukup panjang.
Adapun negara pertama di masa modern yang dicatat sebagai pelopor
(pioneer) demokrasi adalah Inggris, Perancis dan Spanyol. Ada juga yang
mengatakan Inggris, Perancis dan Amerika serikat. Parlemen Inggris
misalnya, tahun 1295 menemukan sistem tingkat pertama, yakni bahwa setiap
daerah harus memilih dua satria, dua warga kota dan dua wakil dari kelompok
penguasa ekonomi (borjuis). Tahapan kedua, munculnya Magna Charta
diubah bentuknya oleh parlemen menjadi prinsip, bahwa raja terikat oleh
Undang-Undang yang telah dibuatnya. Prinsip ini tentu secara perlahan
206
Crabe Brinto dkk., A History of Civilization (New Jersey: Prentice- Hall,
Inc., 1955), him. 224.
207
Mac Iver, Negara Moderen, terj. Moertono (Jakarta: Aksara Baru, 1982),
PENGANTAR STUDI ISLAM 189
him. 126.
208
Ibid., him. 132.
berusaha untuk memaksa raja dan menterinya untuk mematuhi peraturan. 209
Wallbank dan Taylor malah mencatat, bahwa demokrasi di Inggris
diawali dengan munculnya sistem pemerintahan daerah (sistem o f local
government) dan issu pembentukan Undang-Undang oleh raja Alfred. Inggris
memulai sejarah barunya menjadi negara nasional, dan sekaligus merupakan
awal munculnya sistem demokrasi modern. Dalam mengoperasikan apa yang
sekarang kita kenal dengan sistem perwakilan, di Inggris dilaksanakan dengan
cara menggunakan sejumlah majelis dan peradilan, yang di dalamnya hak
setiap orang dijamin untuk berpartisipasi kalau memang dipilih oleh
kelompoknya. Sistem ini merupakan bibit yang kemudian kita kenal dengan
sebutan pemerintah demokrasi. 210
Usaha ini kemudian diteruskan oleh penggantinya (suksesi) Edward
(1042-1066), dan kemudian oleh Williem. Satu kontribusi dasar yang
diberikan Williem pada demokrasi Inggris adalah sistem pemerintahan pusat
yang kuat (a strong central government). Williem dianggap sebagai orang
pertama memunculkan konsep pemerintahan pusat dan berbuat banyak dalam
upaya mencapai tujuan pemerintahan pusat ini.28
Kemudian peran yang dimainkan Henry I (1100-1135) adalah
mengembangkan sistem pemerintahan yang kuat dan efisien seperti yang
sudah diusahakan pendahulunya.29 Sedang usaha yang dilakukan Henry II
(1154-1189) adalah dengan mendirikan sistem peradilan umum dan Undang-
Undang baru yang kemudian terkenal dengan sebutan Common Law. Keha-
diran kedua Henry I dan II dianggap sebagai dua tokoh yang memberikan
kontribusi luar biasa terhadap munculnya negara dan demokrasi di Inggris.30
Bahkan dengan meninggalnya Henry II disebut sebagai sebuah "kehilangan
raja besar buat Inggris. Maka tidak berlebihan kalau ada sejarawan yang
menyebutnya sebagai penguasa terbesar sapanjang sejarah Inggris dan seorang
arsitek terbesar bagi negara dan demokrasi Inggris.31
Munculnya Magna Charta bulan Juni 1215 merupakan dasar baru bagi
sistem pemerintahan Inggris, yakni sistem perwakilan. Munculnya Magna
Charta ini merupakan perkembangan tahap ketiga setelah munculnya Anglo-
Saxon, dan Norman Conquest tahun 1066. Magna Charta muncul di masa
pemerintahan raja John. Magna Charta sebenarnya tidak memberikan prinsip
konstitusi yang baru. Piagam ini hanya murni berisi sebuah persetujuan
(agreement) antara kelas aristokrasi dan kerajaan yang menekankan hukum
dan keadilan. Namun setelah sistem feodal hilang, terma ‘freeman’
209
Ibid., him. 133.
210
T Walter Wallbank dan Alastair M. Taylor, Civilization Past and Present
190 STUDI
(Chicago: ISLAM
Scott, DAN ISU-ISU AKTUAL
Foresman' and Campany, t.t.), him. 439.
diinterpretasikan berlaku kepada setiap orang Inggris. Maka pentingnya
kehadiran Magna Charta, sebagaimana misalnya digambarkan G.B. Adams
ada dua prinsip. Pertama, bahwa hukum berdiri di atas raja. Kedua, bahwa
jika melanggar hukum adat, seorang raja bisa dipaksa untuk harus mematuhi
hukum yang berlaku. Akhirnya piagam ini menjamin bahwa monarki harus
mematuhi hukum yang berlaku.32
29
Ibid., him. 441. 301
bid., him. 444. 31 Ibid.
32
Ibid., him. 445.
Perkembangan parlemen di Inggris mempunyai sejarah yang cukup
panjang. Sistem parlemen pertama kali diperkenalkan di masa rejim Edward
I. Di masa Anglo Saxon kerajaan ada sebuah parlemen untuk raja yang
disebut Witan. Kemudian lembaga ini di masa Williem dibentuk sedemikian
rupa yang kemudian terkenal dengan sebutan Great Council. Lembaga ini
berfungsi sebagai lembaga peradilan dan sebagai penasehat di bidang
hukum. 211 Sistem parlemen atau assemblies ini terkenal di eropa antara 1250
s/d 1350. Mulai dari masa Edward, lembaga parlemen ini menjadi semakin
penting bagi pemerintahan Inggris.
Awalnya para raja tidak menyadari akibat dari lembaga ini. Pada
awalnya sistem ini menurut pikiran mereka hanyalah semata- mata
memperbaharui sistem yang sudah berjalan. Mereka menyadari pentingnya
parlemen ini di abad 14 dan baru sadar ternyata dengan adanya lembaga ini
menjadi ancaman bagi kekuasaan kerajaan. Tetapi munculnya kesadaran ini
sudah terlalu terlambat menghambat sistem yang sudah terlanjur dianggap
sangat penting. Akhirnya sebagai konsekwensi dari lembaga yang ada
disetujui, bahwa hal-hal yang berhubungan dengan pajak tidak lagi
tergantung pada tangan raja-raja tetapi menjadi wewenang perlemen. 212
Kalau melihat rentetan wujud perundang-undangan yang berlaku di
Inggris, Undang-Undang pertama yang muncul adalah Anglo the Saxon
England, kemudian diikuti dengan the Norman Conguest dan the Norman and
the Angevin Houses. 213
211
Ibid., him. 446.
212
Ibid., him. 446.
213
Paul Farmer, The European World: A Historical Introduction (New York:
PENGANTAR STUDI ISLAM 191
Alfred A. Knopf, Inc, 1951), him. 185.
213
Brinton dkk., A History, him. 224.
Ketika berbicara sekitar gerakan reformasi yang berjalan di Inggris abad
19, Brinton dkk. Mengatakan, bahwa salah satu bentuk reformasi yang besar
di Inggris adalah peralihan dari sistem oligarchi kepada sistem demokrasi.36
Namun dicatat juga, bahwa di akhir abad 18 negara ini sudah menggunakan
sistem perwakilan. 214 Reformasi di bidang pemerintahan (sistem parlemen)
ini yang kemudian terkenal dengan sebutan the parlementary reform Bill,
dimulai tahun 1832. 215
Bentuk pertama dari Bill reform bukan membawa sistem demokrasi,
tetapi hanya dengan memberikan kursi di parlemen bagi perwakilan daerah-
daerah industri. 216 Bentuk reformasi kedua adalah dengan mengubah sistem
pemilihan daerah kepada benmk dan kedudukan yang sama (uniformity dan
equalityj.40
Reformasi ini kemudian diikuti dengan munculnya partai Liberal yang
pertama kali dipimpin Gladstone (1809-1898). Namun harus dicatat, sampai
pada reformasi ketiga ini, tahun 1884 dan 1885 kaum wanita belum mendapat
hak suara. 217
Perkembangan berikutnya adalah munculnya dua partai di Inggris, yakni
Liberal dan Konservative. 218
Dicatat juga bahwa Perancis merupakan negara pertama melahirkan
jaminan hak asasi manusia, yakni dengan munculnya The Declaration of the
Rights of Man and Citizen, yang diterima dewan nasional (the National
Assembly) pada tanggal 27 Agustus 17 89. Adapun isi dari deklarasi ini adalah
jaminan hak-hak asasi manusia dan hal-hal yang seharusnya dan tidak
seharusnya dilakukan pemerintah yang berkuasa. Kemudian deklarasi ini
diikuti dengan munculnya the Declaration of lndefendence beberapa tahun
berikutnya. 219
Maka Palmer, sebagaimana ditulis Dennis Sherman, mengatakan sejak
terjadi perang dunia I, Perancis sudah melakukan revolusi demokrasi selama
40 tahun, yang menekankan pada the delegation of Authority dan the
Removability of officials, 220 Menjadi pantas kalau ada yang mengatakan
bahwa Perancis merupakan negara pertama melahirkan demokrasi, dengan
214
Ibid., him. 225.
215
Ibid., him. 224.
216
Ibid., him. 226.
217
Ibid., him. 227.
218
Ibid.
219
Dennis Sherman, ed., Western Civilization: Images dan Interpretations,
edisi ke-2 (New York: Alfred A. Knopf, Inc, 1987), him. 98.
192220
STUDI
Ibid.,ISLAM 113.I•SU-ISU AKTUAL
him. DAN
semboyan liberte, egalite, fraternite, (kebebasan persamaan, dan
persaudaraan). Dengan kata lain, dalam revolusi Perancis istilah demokrasi
memang belum populer, tetapi dalam Undang- Undangnya ada jaminan hak
asasi manusia. 221 Sosok demokrasi muncul dari Amerika dengan munculnya
semboyan government of the people, by the people dan for the people. 222
d. Kontribusi Islam
Berbicara tentang sistem kenegaraan/pemerintahan dalam Islam harus
dibedakan antara teori dan praktek. Maksud teori adalah konsep-konsep yang
tertulis dalam nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.).
Sementara praktek adalah praktek yang dilakukan kaum Muslim sepanjang
sejarah Muslim. Pembedaan ini penting dipahami lebih dahulu, sebab dalam
banyak kasus, sistem pemerintahan yang berlaku dalam sejarah Muslim
adalah tidak sejalan dengan teori yang ingin dibangun Islam (teoritis). Karena
itu, tulisan ini berlandaskan teori, bahwa ketika membahas sistem
pemerintahan Islam harus ada pembedaan antara teori dan praktek. Sejalan
dengan itu, pembahasan berikut merupakan pelacakan terhadap teori sistem
pemerintahan Islam yang ada dalam nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi
Muhammad SAW.), bukan praktek Muslim.
Hasil pelacakan dari kedua sumber tersebut adalah, ada
221
Jalaluddin Rahmat, “Islam dan Kekuasaan: Aktor atau Instrumen dalam M.
Imam Aziz dkk., Agama, Demokrasi dan Keadilan 0akarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), him. 63-64.
222
PENGANTAR STUDI ISLAM 193
Zamroni, “Sekolah Sebagai Media Sosialisasi Nilai-nilai Demokrasi,
dalam M. Masyhur amin, Agama, him. 113.
beberapa nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.) yang
berbicara tentang prinsip-prinsip dan sistem pemerintahan/ kenegaraan.
Di antaranya adalah: (1) al-Shura (42):38,
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
1
Bahtiar Effendy, ISLAM DAN NEGARA: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), him. 184. ,
kepemimpinan kepala negara/pemerintahan (suksesi) dapat digambarkan
demikian. Bentuk suksesi yang terjadi dari kekuasaan Nabi Muhammad
kepada Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama adalah hasil
musyawarah kaum Muslimin, yang ketika itu terdiri dari kelompok Ansor
dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa'adah. Kemudian peralihan dari Abu
Bakar kepada ‘Umar bin al-Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan
penunjukan oleh khalifah-sebelumnya dengan persetujuan kaum
Muslimin. Bentuk lain yang muncul ketika peralihan dari ‘Umar bin al-
Khattab kepada ‘Uthman bin ‘Aftan sebagai khalifah ketiga adalah dengan
sistem formatur. Adapun peralihan dari ‘Uthman bin ‘Affan kepada ‘Ali
bin Abi Talib sebagai khalifah keempat adalah dengan jalan aklamasi.
Setelah itu, sejarah Muslim diwarnai sistem pemerintahan yang monarki.
Bahkan sampai sekarang pun di umumnya negara Arab sistem ini yang
berlaku.
Dapat dikatakan, bahwa praktek suksesi kepemimpinan yang
dilakukan keempat khalifah pertama (khulafa aU&shidin) masih sejalan
dengan prinsip demokrasi (shura) yang diajarkan Islam. Sebab nash
hanya memberikan prinsip, sementara bentuk dapat dipraktekkan dalam
sejumlah variasi sepanjang prinsip musyawarah ada di dalamnya.
e. Penutup
Dari kupasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa
demokrasi Yunani kuno merupakan benih dari demokrasi modern yang
sekarang dibatasi sedemikian rupa dengan berbagaiSTUDI
PENGANTAR batasan;
ISLAMdemokrasi
197
terpimpin, demokrasi sosialis, demokrasi pancasilan dan semacamnya.
Namun dalam perkembangannya, nama dari benih ini tidak mendapatkan
kesan positif dari masyarakat. Akibatnya, istilah ini belum begitu dikenal
sampai dimunculkan kembali oleh Amerika serikat. Meskipun namanya
tidak begitu populer, tetapi nilai demokrasi yang diperjuangkan revolusi
Perancis sangat dikenal, dengan jaminan kebebasan, persamaan dan
persaudaraan. Maka peran
C. Isu Pluralisme
Dalam sejarahnya, agama turun bukan di ruang hampa. Agama turun
untuk menjadi pegangan bagi penganutnya. Dalam bahasa al-Qur’an
pegangan ini disebut petunjuk (hudan). Penganut agama sebagai manusia
tentu sarat dengan konteks; konteks waktu, konteks tempat, konteks
masalah, konteks kebutuhan, konteks tuntutan, dan sejenisnya.
Konsekuensinya, agama pun penuh dengan konteks, penuh dengan
historisitas, sesuai dengan konteks umat penerima agama, baik dari sisi isi
ajaran maupun sarana atau cara yang digunakan untuk menyampaikan
ajaran. Karena itu, isi maupun cara menyampaikan ajaran agama sangat
tergantung pada konteks penganut agama tersebut.
Betapa besar pengaruh historisitas atau konteks penganut 202 STUDI
ISLAM DAN ISU-ISU AKTUAL
agama terhadap isi ajaran agama, dapat dibuktikan dengan Islam
yang turun di Arab. Dapat dibuktikan seluruh isi al'Qur’an dan sunnah
nabi Muhammad merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan
masyarakat Arab di masa itu. Boleh jadi ajaran agama Islam tidak seperti
yang kita kenal sekarang andaikan nabi Muhammad hidup bukan di Arab.
Pada gilirannya, pemahaman terhadap ajaran agama pun sangat
dipengaruhi oleh konteks penganutnya, baik bersifat positif maupun
negatif. Terbukti sepanjang sejarah Muslim dikenal sejumlah mazhab
(aliran-aliran), baik dalam bidang fiqih maupun bidang-bidang lainnya,
seperti teologi, tafsir. Bahkan ketika nabi masih hidup pun sudah ada
perbedaan pendapat (mazhab/aliran) dalam memahami sumber ajaran
Islam, dan nabi sendiri mengakui keberadaannya.
Pasca (sepeninggal) nabi sudah muncul apa yang kita kenal sekarang
dengan Sunni dan Syi'i. Demikian pul dalam bidang teologi kita
mengenal sejumlah aliran. Di antaranya yang terpenting adalah aliran
Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Ahlu sunnah wal Jamaah.
Dalam bidang metodologi penafsiran (tafsir) kita mengenal minimal
dua aliran besar: (1) kelompok tafsir yang lebih mengandalkan akal (ahlu
al-ra'y), dan (2) kelompok tafsir yang lebih mengandalkan nash (bi al-
ma’thur). Perbedaan kedua kelompok ini menghasilkan pemikiran yang
berbeda pula.
Demikian juga dalam bidang pemikiran hukum Islam muncul
sejumlah mazhab. Tidak lama setelah nabi wafat muncul minimal sepuluh
mazhab dengan tokoh masing-masing. Kemudian berkurang dan dari
sekian mazhab, maka mazhab yang terpopuler ada empat; Hanafi, Maliki,
Shafi'i dan Hanbali. Demikian seterusnya di bidang-bidang lain. Walhasil,
munculnya mazhab-mazhab dalam berbagai bidang, bersumber pada
sumber ajaran yang sama, adalah disebabkan oleh historisitas penganut
agama, sesuai dengan masalah yang mereka hadapi, sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Pentingnya masalah pluralis dipahami adalah bagian dari kebutuhan
kita masyarakat Indonesia yang pluralis. Dengan ungkapan lain, di antara
masalah yang kita hadapi adalah masalah pluralis; pluralis di bidang
agama, pluralis suku, pluralis ras, budaya dan semacamnya. Karena itu,
masalah ini harus kita bahas dan kita carikan jalan terbaik untuk
PENGANTAR STUDI ISLAM 203
menyelesaikannya. Pluralis bisa menjadi sumber petaka, sebaliknya bisa
juga sumber kekuatan. Harapan kita adalah agar pluralis yang kita miliki
menjadi sumber kekuatan.
Fiqih yang menurut bahasa berarti pemahaman (alfahmu) adalah
hasil ijtihad dari para fuqaha dari sumber ajaran agama Islam (al-Qur’an
dan sunnah nabi Muhammad). Kalau kita cermati pembahasan-pembahan
yang ada dalam kitab-kitab fiqih; fiqih mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
mazhab Shafi'i dan mazhab Hanbali misalnya, ada masalah yang sama-
sama mereka bahas, dan mendapat porsi pembahasan yang sama
signifikannya. Dari pembahasan ini mereka menemukan konsep yang
sama, dan dalam beberapa hal berbeda. Demikian pula ada masalah yang
sama-sama mereka bahas, tetapi satu imam membahas demikian panjang,
sementara imam lain hanya sekedar saja. Demikian pula ada masalah yang
hanya dibahas oleh imam mazhab tertentu, tetapi tidak dibahas sama
sekali oleh imam lain.
Apa yang ingin saya tunjukkan dengan fakta ini adalah, bahasan
yang muncul dan kita baca dalam kitab-kitab fiqih adalah respon terhadap
masalah yang dihadapi para fuqaha dan masyarakat di masanya. Maka
fiqih zakat unta, zakat zaitun dan semacamnya, mereka bahas dengan rinci
dan tuntas, sebab itulah masalah yang mereka hadapi. Semestinya
membaca dan membahas masalah tersebut cukup sekedar informasi
kepada kita bahwa itulah masalah yang mereka hadapi di masa itu.
Kemudian kita geser pembahasan kita pada masalah-masalah yang kita
hadapi pula. Di antara masalah ,yang kita hadapi adalah masalah
pluralitas, di samping masalah-masalah lain.
Di antara cara yang dapat ditempuh dalam merumuskan fiqih lintas
agama untuk menemukan kehidupan yang damai dan tenteram, adalah
mencari sisi persamaan di antara agama- agama. Di antara cara untuk
menemukan persamaan ini adalah harus dilakukan dialog antar pemeluk
agama secara terus menerus. Dengan cara ini ajaran dari masing-masing
agama didengar dan bersumber dari pemeluk agama yang bersangkutan,
bukan menurut pandangan orang lain. Dapat disebut misi Smith
mendirikan Islamic Studies di McGill Montreal, Kanada, adalah untuk
tujuan ini. Yakni agar ada media bagi masing-masing pemeluk agama
untuk berdialog dengan penganut agama lain. Sebab salah satu penyebab
munculnya ketegangan antar pemeluk agama adalah terjadi mis atau salah
223
Di antara buku yang membahasa prulalisme agama adalah ‘Fiqih
Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis”, tulisan tim
Penulis Paramadina, yang diedit Mun’in A. Sirry. 0akarta: Paramadina,
2004). PENGANTAR STUDI ISLAM 205
DAFTAR PUSTAKA
B. Demokrasi
Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols dan Flasan Shadily. Kamus
Inggris Indonesia, John M. Echols dan Hasan Shadily.
Jakarta: Gramedia, 1983.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, A. S. Hornby, edisi ke-4.
Oxford: Oxford University Press, 1989.
Websters New New World Dictionary, Victoria Neufeldl. New York:
Webster’s New World Clevenland, 1984.
Women’s Studies Encyclopedia, Hellen Tierney. New York: Green World
Perss, t.t.
Amin, M. Masyhur dan Mohammad Najib, editor., Agama, Demokrasi
dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: LKPSM, 1993. Bahtiar Effendy,
ISLAM DAN NEGARA: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998
Crabe Brinto dkk., A History of Civilization. New Jersey: Prentice- Hall,
Inc., 1955. .. . '
Dennis Sherman, ed., Western Civilization: Images dan Interpreta-
tions, edisi ke-2. New York: Alfred A. Knopf, Inc, 1987.
H. G. Wells, The Outline of History. New York: Gaden City Books, 1920.
J. A. Jonminofri, editor, Menegakkan Demokrasi. Jakarta: Yayasan Studi
Indonesia, 1989.
Jalaluddin Rahmat, “Islam dan Kekuasaan: Aktor atau Instrumen dalam
M. Imam Aziz dkk., Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Pengantar Teknik Anlisis
Jender. Jakarta: Sekretariat Kantor M entri Negara Urusan Peranan
Wanita, , 1992, 111:3.
Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman tentang Wanita. Yogyakarta:
ACAdeMIA & Tazzafa, 2002.
M. Imam Aziz, dkk., Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Mac Iver, Negara Moderen, terj. Moertono (Jakarta: Aksara Baru, 1982.
Mac Iver, Negara Moderen, terj. Moertono. Jakarta: Aksara Baru, 1982.
Mansoer Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
C J
Cordova, 50,55. Jender, 182.
Jundi Syapur, 43.
D Jurisprudensi, 27.
Demokrasi, 185,187.
Diakronik, 151. K
Kairo, 49.
E Kairwan, 51.
Eksperimen, 55. Kalam, 4.
Eksperiensial, 15. Keberagamaan, 14.
Empirikal, 30.
Empirisme, 55. Eropa
Barat, 61. Eskatik, 16.
F
Fatwa, 23.
Fazlur Rahman, 103,
106. Fiqh, 17, 20.
PENGANTAR
STUDI ISLAM
Kepercayaan, 14. P
Konfirmatif, 16. Partisipatif, 16.
Konsekuensial, 15,16. Pelapisan Sosial, 157.
Kodifikasi, 25. Psikomotorik, 15, 65.
Kognitif, 15, 64. Praktis-Temporal, 11.
Kompilasi, 23, 26. Purposive approach,
Konteks mikro, 112. 156.
Konteks makro, 112.
Kuli!, 83, 100. Q
Kuttab, 38.
R
Kuttab Agama, 38.
Rational, 30.
Kuttab Sekuler, 38.
Ratio-logis, 33.
Responsif, 16.
L
Liretal approach, 155. Ritualistik, 15,16.
M S
Magna charta, 192, 193. Sex, 166,184.
Maudu‘i, 83,89. Sinkronik, 152. Sosio-
Michel Foucault, 147. Teologis, 154.
Monarki, 185, 187. Stereotip, 159.
Moor, 63. Status, 161.
Moren, 63. Syahrur, 173.
Syari'at, 2,18.
N
O Undang-undang, 27.
Oligarki, 185, 187. UshulFiqh, 153.
Orientalis, 64.
W
Wahyu, 2. 10.
222 INDEKS
Biodata Penulis
223
kerja sama dengan Oslo Coalition on Freeom of Religion or Bellet Norway,
di Horison Yogyakarta, 15-17 Juni 2004, him. 1-2.
15
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, A. P. Cowie, edisi ke 4
(Oxford: Oxford University Press, 1989), him. 1330.
33
‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘llm Us}ul al-Ficjh, him. 32.
1
Kerajaan ini pecah menjadi dua: Romawi Barat dengan ibu kota Roba
(sekarang Italia) dan Romawi Timur dengan ibu kota Konstantinopel
(sekarang Istanbul, Turki).
Charles M. Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Period,
AD. 700-1300(Maryland: Rowman & Littlefield, 1990), him. 54;Nakosteen,
utory, him. 5; Nasr, Science and Civdzation, him. 189.
Untuk sekadar beberapa contoh ilmuwan yang melakukan
Perpindahan ini, lihat Nakosteen, History, him. 20-21.
23
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, him. 56.
24
Ibid.
H. A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, terj.Machnun
USe n
‘ ' (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), him. 72 dst.
8
Ibid., 91-92.
41
fad-, him. 47.
2
Nico Kapten, “The Transformation of the Academic Study of
1 j Examples from the Netherlands and Indonesia”, in Islam in !^~onesw:
Islamic Studies and Social Transformation, edited by Fu’ad Jabali
(Jakarta & Montreal: Indonesia-Canada Islamic Higher Ucation Project,
2002), him. 55-59.
1
Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), him. 2-3; idem.,
interpreting the Qur’ an,” da la m Afkar Inquiry Magazine of Events and
224
Ideas,
Me
> 1986, him. 45.
27
Al-Tabataba'i adalah pemikir modern terkenal dari Iran. Tafsirnya
terdiri dari 25 jilid, yang diterbitkan di Beirut tahun 1393-94/1973-74. Jilid
21, yang berisi indeks topik yang rinci terhadap tafsir, diterbitkan tahun 1981.
Lihat Mustansir Mir, “The Sura as a unity”, him. 214.
31
Fazlur Rahman adalah seorang filosof, ahli pendidikan, dan pemikir
pembaruan liberal Islam asal Pakistan. Rahman lahir di Pakistan, dan
mendapat gelar master di bidang literatur Arab dari Universitas Punjab,
Lahore, tahun 1942, sementara gelar Doktor diraihnya di bidang filsafat dari
Oxford University tahun 1949. Rahman pernah jadi dosen Studi tentang
Persia dan Filsafat Islam (Islamic Philosophy) di Institute of Islamic Studies
di Durham University dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1961. Pernah
juga menjadi professor tamu di Pusat Studi Islam Pakistan (Central Institute
of Islamic Research) selama dua tahun, dari tahun 1961 sampai dengan tahun
1962. Rahman seolah harus meninggalkan Pakistan karena pemikiran-
pemikiran yang dianggap liberal dari kelompok tradisionalis, yang kemudian
dia diangkat menjadi professor tamu di the University of California, Los
Angles, yang mulai pada musim semi (spring) tahun 1969, yang kemudian
diangkat menjadi professor di the University of Chicago sebagai ahli di
bidang Pemikiran Islam (a Professor of Islamic Thought). Meskipun dia
terkenal pertama kali ke dunia international sebagai ahli filsafat, dengan
karyanya Avicenna’s Psychology (1952), Prophecy in Islam (1958) dan
Avicenna’s De Anima (1959), tetapi Rahman lebih terkenal sebagai pioneer di
bidang Hermeneutika Islam (Islamic hermeneutics), dengan karyanya,
Islamic Methodology in History (1965), dan juga sebagai pembaru pendidikan
225
Islam, dengan karyanya, Islam & Modernity (1984)- Karya lain yang lahir dari
Rahman adalah: (1) Selected Letters of Shaykh Ahmad Sirkindi (1968); (2)
Philosophy ofMulld S{adrd (1975); Islam (1979); Major Themes of the Qur'an
(1979); Health dan Medicine in the Islami Tradition (1987). Jumlah karya yang
lahir dari Rahman adalah: (1) sepuluh buku; (2) delapan puluh enam artikel; (3)
empat artikel dalam Encyclo-
85
Asghar Ali Engineer, “Social Dynamics and Status of Women in
Islam,” dalam Status of Women in Islam, diedit oleh Asghar Ali Engineer
(Delhi: Ajanta Publications, 1987), him. 83.
226