Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

INDIKATOR KINERJA DAN AKUNTABILITAS KINERJA

PENGUKURAN KINERJA SEKTOR PUBLIK

Oleh :

1. Nurul Fadilatus Solikah (18102262)


2. Risqi Dwi Nuryani (18102197)
3. Wahyu Wulan Ramadhani (18102134)
4. Wilda Mawardah (18102298)

INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS ASIA MALANG


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2020
I. PENDAHULUAN
Sejalan dengan tuntutan masyarakat agar proses penyelenggaraan kekuasaan
negara khususnya dalam melaksanakan core competency setiap lembaga
pemerintahan dapat berlangsung secara optimal, transparan, akuntabel, adil dan
responsif, diperlukan adanya komitmen penegakan prinsip-prinsip kepemerintahan
yang baik (good governance) dari semua pihak.
Komitmen tersebut harus diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat dalam wujud keberpihakan pada integritas, profesionalisme serta etos
kerja, efisiensi dan efektifitas maupun moral yang tinggi dari setiap penyelenggara
negara. Dalam hal ini setiap penyelenggara negara dituntut untuk mampu memikul
tanggungjawab untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan
cita-cita berbangsa dan bernegara melalui penerapan prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik.
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) merupakan wujud
pertanggungjawaban Kementerian/Lembaga (K/L) atas keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan.
Sedangkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) atau
sering pula disebut Sistem AKIP merupakan sebuah sistem perencanaan kinerja
yang membentuk siklus penetapan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi yang
akan dicapai dan tercantum dalam perencanaan strategis organisasi.
Proses tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam perencanaan kinerja tahunan, untuk
kemudian ditetapkan dalam penetapan kinerja, penetapan pengukuran
kinerja,pengumpulan data penilaian kinerja, analisis, review dan pelaporan kinerja
serta penggunaan data kinerja tersebut bagi perbaikan kinerja organisasi di periode
berikutnya.
Dalam konteks ini, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa SAKIP
merupakan suatu proses berkelanjutan dan memerlukan peninjauan serta perbaikan
terus menerus,sehingga tidak berhenti pada satu titik. Hal ini disebabkan kondisi
organisasi secara internal maupun eksternal yang terus berkembang, baik pada masa
kini maupun masa mendatang.
Sistem akuntabilitas kinerja merupakan tatanan, instrumen, metode
pertanggungjawaban yang pada pokoknya meliputi tahapan perencanaan,
pelaksanaan, pengukuran, pelaporan dan pengendalian maupun monitoring yang
membentuk siklus akuntabilitas kinerja secara terpadu dan tidak terputus serta
merupakan tool atau instrumen bagi proses pemenuhan kewajiban para aparat
penyelenggara kepemerintahan dalam konteks mempertanggungjawabkan
keberhasilan maupun kegagalan misi organisasi.

II. PEMBAHASAN
1. Indikator Kinerja
A. Definisi Indikator Kinerja
Definisi indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif
yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang
telah ditetapkan (BPKP, 2000). Sementara menurut Lohman (2003),
indikator kinerja (performance indicators) adalah suatu variabel yang
digunakan untuk mengekspresikan secara kuantitatif efektivitas dan
efisiensi proses atau operasi dengan berpedoman pada target-target dan
tujuan organisasi. Jadi jelas bahwa indikator kinerja merupakan kriteria
yang digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi
yang diwujudkan dalam ukuran-ukuran tertentu.
Indikator kinerja (performance indicator) sering disamakan dengan
ukuran kinerja (performance measure). Namun sebenarnya, meskipun
keduanya merupakan kriteria pengukuran kinerja, terdapat perbedaan
makna. Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak
langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi
kinerja, sehingga bentuknya cenderung kualitatif. Sedangkan ukuran kinerja
adalah kriteria kinerja yang mengacu pada penilaian kinerja secara
langsung, sehingga bentuknya lebih bersifat kuantitatif. Indikator kinerja
dan ukuran kinerja ini sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat ketercapaian
tujuan, sasaran, dan strategi.
B. Definisi Critical Success Factors (CSF)
Critical Success Factors (faktor keberhasilan utama) adalah suatu area
yang mengindikasikan kesuksesan kinerja unit kerja organisasi. Area CSF
ini menggambarkan preferensi manajerial dengan memperhatikan variabel-
variabel kunci finansial dan non-finansial pada kondisi waktu tertentu.
Suatu CSF dapat digunakan sebagai indikator kinerja atau masukan dalam
menetapkan indikator kinerja. Identifikasi terhadap CSF dapat dilakukan
terhadap berbagai faktor misalnya, potensi yang dimiliki organisasi,
kesempatan, keunggulan, tantangan, kapasitas sumber daya, dana, sarana-
prasarana, regulasi atau kebijakan organisasi, dan sebagainya. Untuk
memperoleh CSF yang tepat dan relevan, CSF harus secara konsisten
mengikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi. Setiap organisasi
mempunyai CSF yang berbeda-beda karena sangat tergantung pada unsur-
unsur apa dari organisasi tersebut yang dapat menentukan keberhasilan atau
kegagalan dalam pencapaian tujuan.
CSF sering disamakan pengertiannya dengan key performance
indicator (KPI) yang sebenarnya sangat berbeda. KPI adalah sekumpulan
indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik yang
bersifat finansial maupun nonfinansial untuk melaksanakan operasi dan
kinerja unit bisnis. Indikator ini dapat digunakan oleh manajer untuk
mendeteksi dan memonitor capain kinerja. Berikut ini contoh CSF Sebagai
Masukan dalam Penetapan Indikator Kinerja Perguruan Tinggi
Critical Success Factors dalam Penetapan Indikator Kinerja Perguruan
Tinggi
No. Critical Success Tujuan Strategik Indikator Kinerja
Factors (CSF)
1 Layanan Memantau secara Pelayanan yang
berkualitas dan terus menerus untuk tepat waktu dan
tepat waktu memastikan bahwa berkualitas
pelayanan berkualitas
dan tepat waktu
2 Pegawai yang Memantau Tingkat ketrampilan
bermutu tinggi proses recruitment dan pendidikan yang
dan terlatih seleksi pegawai untuk sesuai dengan
menghasilkan pegawai bidang kerja
bermutu tinggi
3 Dosen yang Memastikan bahwa Kehadiran
berkualitas para dosen telah Keterlambatan
melaksanakan Publikasian
aktivitas sesuai Penelitian
dengan tujuan untuk
menciptakan lulusan
berkualitas
4 Sistem Menciptakan sistem Efektifitas metode
pengajaran yang pengajaran yang pengajaran
efektif dan efektif dan efisien. Kurikulum sesuai
efisien. dengan kebutuhan
pasar kerja
5 Kelengkapan Memastikan bahwa Kesesuaian fasilitas
sarana dan PT mempunyai pendukung
prasarana fasilitas pendukung perguruan tinggi
yang memadai dengan standar yang
ditetapkan Dikti.

C. Pengembangan Indikator Kinerja


Penggunaan indikator kinerja sangat penting untuk mengetahui apakah
suatu aktivitas atau program telah dilakukan secara efisien dan efektif.
Indikator untuk tiap-tiap unit organisasi berbeda-beda tergantung pada tipe
pelayanan yang dihasilkan. Penentuan indikator kinerja perlu
mempertimbangkan komponen berikut:
1. Biaya pelayanan (cost of service)
Indikator biaya biasanya diukur dalam bentuk biaya unit (unit
cost), misalnya biaya per unit pelayanan. Beberapa pelayanan mungkin
tidak dapat ditentukan biaya unitnya,karena output yang dihasilkan tidak
dapat dikuantifikasi atau tidak ada keseragaman tipe pelayanan yang
diberikan. Untuk kondisi tersebut dapat dibuat indicator kinerja proksi,
misalnya belanja per kapita.
2. Penggunaan (utilization)
Indikator penggunaan pada dasarnya membandingkan antara
jumlah pelayanan yang ditawarkan (supply of service) dengan
permintaan publik (public demand). Indikator ini harus
mempertimbangkan preferensi publik, sedangkan pengukurannya
biasanya berupa volume absolut atau persentase tertentu, misalnya
persentase penggunaan kapasitas. Contoh lain adalah rata-rata jumlah
penumpang per bus yang dioperasikan. Indikator kinerja ini digunakan
untuk mengetahui frekuensi operasi atau kapasitas kendaraan yang
digunakan pada tiap-tiap jalur.
3. Kualitas dan standar pelayanan (quality and standards)
Indikator kualitas dan standar pelayanan merupakan indicator
yang paling sulit diukur, karena menyangkut pertimbangan yang
sifatnya subyektif. Penggunaan indicator kualitas dan standar pelayanan
harus dilakukan secara hati-hati karena kalau terlalu menekankan
indicator ini justru dapat menyebabkan kontra produktif. Contoh
indicator kualitas dan standar pelayanan misalnya perubahan jumlah
komplain masyarakat atas pelayanan tertentu.
4. Cakupan pelayanan (coverage)
Indikator cakupan pelayanan perlu dipertimbangkan apabila
terdapat kebijakan atau peraturan perundangan yang mensyaratkan
untuk memberikan pelayanan dengan tingkat pelayanan minimal yang
telah ditetapkan.
5. Kepuasan (satisfaction)
Indikator kepuasan biasanya diukur melalui metode jajak
pendapat secara langsung. Bagi pemerintah daerah, metode penjaringan
aspirasi masyarakat (need assessment), dapat juga digunakan untuk
menetapkan indicator kepuasan. Namun demikian, dapat juga
digunakan indicator proksi misalnya jumlah komplain. Pembuatan
indicator kinerja tersebut memerlukan kerja sama antar unit kerja.

D. Syarat-syarat Indikator Ideal


Indikator kinerja bisa berbeda untuk setiap organisasi, namun
setidaknya ada persyaratan umum untuk terwujudnya suatu indikator yang
ideal. Menurut Palmer (1995), syarat-syarat indikator yang ideal adalah
sebagai berikut:
1. Consitency
Berbagai definisi yang digunakan untuk merumuskan indicator
kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-
unit organisasi.
2. Comparibility
Indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak.
3. Clarity
Indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan
mudah dipahami.
4. Controllability
Pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus
berdasarkan pada area yang dapat dikendalikannya.
5. Contingency
Perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen
dari lingkungan internal dan eksternal. Struktur organisasi, gaya
manajemen, ketidakpastian dan kompleksitas lingkungan eksternal
harus dipertimbangkan dalam perumusan indikator kinerja.
6. Comprehensiveness
Indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek perilaku
yang cukup penting untuk pembuatan keputusan manajerial.
7. Boundedness
Indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama
yang merupakan keberhasilan organisasi.
8. Relevance
Berbagai penerapan membutuhkan indicator spesifik sehingga
relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu.
9. Feasibility
Target-target yang digunakan sebagai dasar perumusan indikator
kinerja harus merupakan harapan yang realistik dan dapat dicapai.

Sementara itu, syarat indikator kinerja menurut BPKP (2000) adalah


sebagai berikut:
1. Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan
kesalahan interpretasi.
2. Dapat diukur secara obyektif baik yang bersifat kuantitatif maupun
kualitaitf, yaitu dua atau lebih mengukur indicator kinerja mempunyai
kesimpulan yang sama.
3. Relevan, indikator kinerja harus menangani aspek-aspek obyektif yang
relevan.
4. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukkan
keberhasilan masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak serta
proses.
5. Harus cukup flesibel dan sensitive terhadap perubahan/penyesuaian
pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan
6. Efektif. Data/informasi yang berkaitan dengan indicator kinerja yang
bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya
yang tersedia.
E. Indikator Kinerja Sebagai Pembanding
Pemerintah daerah dapat melakukan sejumlah perbandingan dalam
upaya melakukan pengukuran kinerja di organisasinya. Beberapa
perbandingan yang bisa dilakukan antara lain:
1. Membandingkan kinerja tahun ini dengan kinerja tahun lalu.
2. Membandingkan kinerja tahun ini dengan berbagai standar yang
diturunkan dari pemerintah pusat atau dari daerah sendiri.
3. Membandingkan kinerja unit atau seksi yang ada pada sebuah
departemen dengan unit atau seksi departemen lain yang menyediakan
jasa layanan yang sama.
4. Membandingkan dengan berbagai ketentuan pada sektor swasta.
5. Membandingkan semua bidang dan fungsi yang menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah dengan bidang dan fungsi yang sama pada
pemerintah daerah lain.

F. Estimasi indikator kinerja


Estimasi dapat dilakukan dengan menggunakan :
a. Kinerja tahun lalu
Digunakan sebagai dasar untuk mengestimasi indikator kinerja. Karena
merupakan perbandingan bagi unit untuk melihat seberapa besar kinerja
yang telah dilakukan. Disamping itu terdapat time lag antara aktivitas yang
telah dilakukan dengan dampak yang timbul dari aktivitas tersebut.
Dampak yang timbul pada tahun sekarang dapat dirasakan pada tahun yang
akan datang.
b. Expert Judgement
Digunakan karena kinerja tahun lalu yang sangat berpengaruh terhadap
kinerja berikutnya. Teknik ini menggunakan pengetahuan dan pengalaman
dalam mengestimasi indikator kinerja. Expert judgrment digunakan untuk
melakukan estimasi kinerja. Selain itu dari segi biaya juga tidak terlalu
mahal. Tetapi mempunyai kelemahan yaitu sangat tergantung pada
pandangan subyektif para pengambil keputusan. Dampak dari pencapaian
kinerja tidak secara otomatis dapat dikatakan bahwa unit tersebut
mengalami peningkatan kinerja.
c. Trend
Digunakan dalam mengestimasi indikator kinerja karena adanya
pengaruh waktu dalam pencapaian kinerja unit kerja.
d. Regresi
Regresi dilakukan untuk menentukan seberapa besar pengaruh variabel-
variabel independen mampu mempengaruhi variabel dependen.

G. Jenis Indikator Kinerja Pemerintah Daerah


Indikator Kinerja Pemda, meliputi indikator input, indikator proses,
indikator output, indikator outcome, indikator benefit dan indikator impact.
1. Indikator Masukan (Inputs), misalnya:
a. Jumlah dana yang dibutuhkan;
b. Jumlah pegawai yang dibutuhkan;
c. Jumlah infra struktur yang ada;
d. Jumlah waktu yang digunakan.
2. Indikator Proses (Process), misalnya:
a. Ketaatan pada peraturan perundangan;
b. Rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi atau menghasilkan
layanan jasa.
3. Indikator keluaran (Output), misalnya:
a. Jumlah produk atau jasa yang dihasilkan;
b. Ketepatan dalam memproduksi barang atau jasa.
4. Indikator hasil (outcome), misalnya:
a. Tingkat kualitas produk dan jasa yang dihasilkan;
b. Produktivitas para karyawan atau pegawai.
5. Indikator manfaat (benefit), misalnya:
a. Tingkat kepuasan masyarakat;
b. Tingkat partisipasi masyarakat.
6. Indikator impact, misalnya:
a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat
b. Peningkatan pendapatan masyarakat.

H. Syarat-Syarat Indikator Kinerja


Sebelum menyusun dan menetapkan indikator kinerja, syarat-syarat
yang berlaku untuk semua kelompok kinerja tersebut adalah sebagai berikut :
1. Spesik, jelas, dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.
2. Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun
kualitatif, yaitu dua atau lebih yang mengatur indikator kinerja mempunyai
kesimpulan yang sama.
3. Relevan : indikator kinerja harus menangani aspek objektif yang relevan.
4. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan
masukan, proses keluaran, hasil, manfaat, serta dampak.
5. Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan/penyesuaian
pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan.
2. Akuntabilitas Kinerja
A. Akuntabilitas Kinerja
Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat dipahami sebagai
bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada keepada siapa organisasi (atau
pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu)
bertanggung jawab?. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahami
sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan
pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala
aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi
amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut. Makna akuntabilitas ini merupakan konsep
filosofis inti dalam manajemen sektor publik. Dalam konteks organisasi
pemerintah, sering ada istilah akuntabilitas publik yang berarti pemberian
informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik
pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam
rangka pemenuhan hak-hak publik.
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi,
pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam
sebuah rantai komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, para
manajer publik diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran
ketaatan pasif menjadi seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan
standar akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh
karena itu, makna akuntabilitas menjadi lebih luas dari sekedar sekedar proses
formal dan saluran untuk pelaporan kepada otoritas yang lebih
tinggi. Akuntabilitas harus merujuk kepada sebuah spektrum yang luas dengan
standar kinerja yang bertumpu pada harapan publik sehingga dapat digunakan
untuk menilai kinerja, responsivitas, dan juga moralitas dari para pengemban
amanah publik. Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini menyadarkan kita
bahwa pejabat pemerintah tidak hanya bertanggungjawab kepada otoritas yang
lebih tinggi dalam rantai komando institusional, tetapi juga bertanggungjawab
kepada masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan
banyak stakeholders lain. Jadi, penerapan akuntabilitas ini, di
samping berhubungan dengan penggunaan kebijakan administratif yang sehat
dan legal, juga harus bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bentuk
akuntabilitas formal yang ditetapkan.
Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu (1) akuntabilitas
vertikal dan (2) akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal adalah
pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi,
misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah
daerah, pertanggungjawaban daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah
pusat kepada MPR. Pertanggungjawaban horizontal adalah
pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.

B. Akuntabilitas dengan Responsibilitas


Istilah akuntabilitas dan responsibilitas (responsibility) sering
didefinisikan sama yaitu pertanggungjawaban. Dalam rangka memahami
konsep akuntabilitas sangat dibutuhkan suatu analisis yang jelas dan mendalam
sehingga tidak tumpang tindih dengan pengertian responsibilitas. Konsep
akuntabilitas ini dijabarkan dengan sangat sederhana oleh berbagai referensi.
Dalam literatur Australia, konsep akuntabilitas ini sering dipahami dalam dua
pengertian, (1) berkaitan dengan virtually interchangeable (dapat
dipertukarkan dengan sebenar-benarnya), dan (2) berkaitan dengan closely
related (terdapat saling keterkaitan yang bersifat tertutup). Sementara itu,
responsibilitas mempunyai sejumlah konotasi termasuk di dalamnya kebebasan
untuk bertindak, kewajiban untuk memuji dan menyalahkan, dan perilaku baik
yang merupakan bagian dari tanggung jawab seseorang.
Jadi akuntabilitas dan resposibilitas saling berhubungan sebagai bagian
dari sistem yang menyeluruh. Dalam beberapa kajian disebutkan bahwa
akuntabilitas lebih baik dan berbeda dengan resposibilitas. Akuntabilitas
didasarkan pada catatan/laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan
atas kebijaksanaan. Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan
otoritasi asimetrik misalnya yang diawasi dengan pengawasnya, agen dengan
prinsipal, yang mewakili dengan yang diwakili, dan sebagainya. Selain itu,
kedua konsep tersebut sebetulnya juga mempunyai perbedaan fokus dan
cakupannya. Responsibility lebih bersifat internal sebagai pertanggungjawaban
bawahan kepada atasan yang telah memberikan tugas dan wewenang, yang
biasanya terbatas pada bidang keuangan saja, sedangkan akuntabilitas lebih
bersifat eksternal sebagai tuntutan pertanggungjawaban dari masyarakat
terhadap apa saja yang telah dilakukan oleh para pejabat atau aparat. Ruang
lingkup akuntabilitas tidak hanya pada bidang keuangan saja, tetapi meliputi:
1. Fiscal Accountability
Akuntabilitas yang dituntut masyarakat berkaitan pemanfaatan hasil
perolehan pajak dan retribusi.
2. Legal accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana undang-undang maupun
peraturan dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pemegang amanah.
3. Program accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mencapai
program-program yang telah ditetapkan
4. Process accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mengolah
dan memberdayakan sumber-sumber potensi daerah secara ekonomi dan
efisien.
5. Outcome accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana efektivitas hasil dapat
bermanfaat memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat

C. Akuntabilitas dan Stewardship


Istilah akuntabilitas juga sering dipersamakan dengan stewardship yaitu
keduanya merupakan pertanggungjawaban. Sebenarnya, akuntabilitas
merupakan konsep yang lebih luas dari stewardship. Stewardship mengacu
pada pengelolaan atas suatu aktivitas secara ekonomis dan efisien tanpa
dibebani kewajiban untuk melaporkan, sedangkan akuntabilitas mengacu pada
pertanggungjawaban oleh seorang yang diberi amanah kepada pemberi
tanggung jawab dengan kewajiban membuat pelaporan dan pengungkapan
secara jelas.

D. Dimensi Akuntabilitas
Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi
sektor publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga
sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal
bukan hanya pertanggungjawaban vertical. Tuntutan yang kemudian muncul
adalah perlunya dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat menggambarkan
kinerja lembaga sektor publik.
Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik
terdiri atas beberapa dimensi. Ellwood (1993) menjelaskan terdapat empat
dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu:
1. Akutabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for
Probity and Legality)
Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan
jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hokum terkait dengan
jaminan adanya kepatuhan terhadap hokum dan peraturan lain yang
disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.
2. Akuntabilitas Proses
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan
dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem
informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur
administrasi. Akuntabilitas proses termanifestasi melalui pemberian
pelayanan publik yang cepat, responsive, dan murah biaya.
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses
dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan
pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber
inefisiensi dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan
publik dan kelambanan dalam pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan
akuntabilitas proses juga terkait dengan pemeriksaan terhadap proses tender
untuk melaksanakan proyek-proyek publik. Yang harus dicermati dalam
kontrak tender adalah apakah proses tender telah dilakukan secara fair
melalui Compulsory Competitive Tendering (CCT), ataukah dilakukan
melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Akuntabilitas Program
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan
alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang
minimal.
4. Akuntabilitas Kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban
pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.

Dari perspektif sistem akuntabilitas, terdapat beberapa karakteristik pokok


sistem akuntabilitas ini yaitu : 1. Berfokus pada hasil (outcomes) 2.
Menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur kinerja 3.
Menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan atas suatu
program atau kebijakan 4. Menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke
waktu 5. Melaporkan hasil (outcomes) dan mempublikasikannya secara teratur
Akuntabilitas pemerintahan di negara yang menganut paham demokrasi
sebenarnya tidak lepas dari prinsip dasar demokrasi yaitu kedaulatan adalah di
tangan rakyat. Pemerintahan demokrasi menjalankan dan mengatur kehidupan
rakyat dalam bernegara dengan mengeluarkan sejumlah aturan serta mengambil
dan menggunakan sumber dana masyarakat. Pemerintah wajib memberikan
pertanggungjawabannya atas semua aktivitasnya kepada masyarakat. Seiring
dengan meningkatnya aktivitas pemerintah dalam pengaturan perdagangan dan
industri, perlindungan hak asasi dan kepemilikan serta penyediaan jasa sosial,
timbul kesadaran yang luas untuk menciptakan sistem pertanggungjawaban
pemerintah yang lebih komprehensif. Sistem tersebut antara lain meliputi sistem
anggaran pendapatan dan belanja, organisasi pelayanan pemerintah, manajemen
wilayah yang profesional serta pengembangan praktik akuntansi dan pelaporan
keuangan. Ternyata dalam pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang
akuntabilitas pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya dengan informasi
keuangan saja. Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang
dipilihnya telah beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif. Beberapa
teknik yang dikembangkan untuk memperkuat sistem akuntabilitas sangat
dipengaruhi oleh metode yang banyak dipakai dalam akuntansi, manajemen dan
riset seperti management by objectives, anggaran kinerja, riset operasi, audit
kepatuhan dan kinerja, akuntansi biaya, analisis keuangan dan survey yang
dilakukan terhadap masyarakat sendiri. Teknik-teknik tersebut tentunya juga
dipakai oleh pemerintah sendiri untuk meningkatkan kinerjanya.

E. Lingkungan Akuntabilitas
Lingkungan akuntablitas mengacu pada kondisi dimana di dalamnya
akuntabilitas dapat berjalan dengan baik. Secara khusus, suatu lingkungan yang
memiliki akuntabilitas adalah adanya kondisi dimana di dalamnya individu, tim
dan organisasi merasa:
a. Termotivasi untuk melaksanakan wewenang mereka dan/atau memenuhi
tanggung jawab.
b. Mendorong untuk melaksanakan kerja mereka dan mencapai hasil yang
diinginkan.
c. Memberikan inspirasi untuk membagi (melaporkan) hasil mereka.
d. Kemauan untuk menerima kewajiban atas hasil tersebut.

Lingkungan akuntabilitas yang optimal merupakan salah satu akuntabilitas


yang proaktif dimana di dalam individu, tim, dan organisasi memiliki fokus pada
pencapaian hasil yang besar daripada sekedar menggambarkan cara-cara untuk
menjelaskan hasil yang buruk yang diperoleh. Untuk banyak bagian, lingkungan
yang memiliki akuntabilitas dibangun dari atas ke bawah seperti institusi
kepemimpinan organisasional dan promosi lingkungan dan menurunkannya ke
dalam berbagai jenjang pekerja. Dengan demikian, “kesulitan/masalah” yang
terkait dengan lingkungan akuntabilitas pada individu pekerja biasanya dapat
dilacak hingga ke lingkungan yang terpengaruh di dalam jenjang manajemen.
Meskipun demikian, ada jeda waktu ketika individu pekerja mengabaikan
dukungan dan komitmen manajemen.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyusun lingkungan
akuntabilitas yang baik. Persyaratan tersebut antara lain leadership,
reciprocation, equity, trust, transparency, clarity, balance, ownership,
consequences, consistency dan follow-up. Berikut dijelaskan masing-masing
persyaratan di atas.
1. Leadership
Leadership (kepemimpinan) menjadi hal yang penting dalam suatu
lingkungan. Kepemimpinan diacu sebagai individu atau group dalam suatu
posisi yang memiliki wewenang untuk mengendalikan dan mengarahkan
pekerjaan orang lain. Sesuatu mengenai kepemimpinan yang dapat
dilaksanakan untuk membangun dan memperkenalkan akuntatabilitas
lingkungan adalah:
a. Mengarahkan dengan contoh.
b. Harus memiliki komitmen.
c. Jalur yang bersih.
d. Menjadi seorang yang mampu menjawab yang baik / menjadi tempat
bertanya.
e. Menggunakan pertimbangan yang bijaksana / baik.
2. Reciprocation
Reciprocation accountability memastikan “two wayness” hubungan
akuntabilitas berjalan dengan baik. Hal itu menjamin keterbukaan dan
mendorong baik transparansi maupun kejelasan (clarity). Dengan
menggunakan konsep reciprocation accountability, seseorang atau group
atau organisasi dengan yang menerima wewenang dan seseorang atau group
atau organisasi yang menerima delegasi tanggung jawab akan dapat
melaksanakan apa yang dimaksud dengan quid pro quo relationship. Yakni
yang memiliki wewenang bertanggungjawab untuk memberikan kecukupan
arahan, pedoman, dan sumber daya begitu juga usaha untuk menghilangkan
atau mengurangi kinerja.
Di lain pihak, yang menerima delegasi bertanggungjawab melaksanakan
pemenuhan tanggung jawab tersebut. Dalam hubungan ini, keduanya saling
memiliki akuntabilitas masing-masing. Aspek kunci dari reciprocation
accountability adalah senior manajemen masuk dalam persamaan
akuntabilitas. Seperti yang digambarkan oleh the Citizens Circle for
Accountability (1986), dalam konteks reciprocation accountability “orang
yang memiliki wewenang yang senior dalam suatu organisasi akan bersedia
menjawab pada anggota organisasi anggotanya mengenai apa yang hendak
mereka tuju, untuk siapa mereka bekerja, dan untuk apa kontribusi pemikiran
mereka”. Dengan kata lain, mereka menjadi partisipan dan bukan sekedar
pengikut di belakang saja.
3. Equity
Equity of fairness (kewajaran) merupakan pusat perhatian dari konsep
akuntabilitas. Asumsi terhadap keterbukaan akuntabilitas harus selalu
dipelihara dan didukung oleh kepemimpinan organisasi. Ketidakwajaran
seharusnya dihindari karena hal itu akan merusak kepercayaan dan
kredibilitas organisasi. Sebagai akibatnya, kinerja organisasi kurang optimal.
4. Trust
Kewajaran akan mengarah pada trust (kepercayaan), dan kepercayaan
menunjukkan adanya kewajaran. Tidak akan dapat dibangun hubungan
akuntabilitas tanpa adanya kepercayaan. Jika satu atau dua bagian / pihak
saling tidak percaya satu sama lain maka ada kemungkinan kelemahan
transparansi, dan hubungan yang demikian akan mengalami kegagalan.
Dengan kata lain, akuntabilitas tidak berlangsung dalam lingkungan yang
tidak ada saling kepercayaan.
5. Transparency
Transparency (transparansi) merupakan kondisi adanya keterbukaan
secara penuh, juga merupakan salah satu elemen penopang akuntabilitas.
Dengan demikian, transparansi merupakan kunci untuk membangun
lingkungan yang memiliki akuntabilitas yang memiliki lingkungan.
Transparansi berarti bahwa individu, group, atau organisasi dalam hubungan
akuntabilitas diarahkan tanpa adanya kebohohan atau motivasi yang
tersembunyi, dan bahwa seluruh informasi kinerja lengkap dan tidak memiliki
tujuan menghilangkan data yang berhubungan dengan masalah tertentu.
Dalam istilah yang sederhana transparansi berarti “seluruh pemain
meletakkan seluruh kartu mereka di atas meja”. Lingkungan tanpa
transparansi berarti ada suatu agenda yang tersembunyi. Juga berarti suatu
lingkungan yang tidak memiliki kepercayaan dan memiliki akuntabilitas yang
rusak.
6. Clarity
Clarity (kejelasan) juga merupakan salah satu elemen penopang
akuntabilitas. Agar individu atau group melaksanakan wewenang dan/atau
memenuhi tanggung jawab, mereka perlu gambaran yang jelas mengenai apa
saja yang mereka akan laksanakan / penuhi dan hasil apa yang diharapkan.
Dengan demikian, fokus yang menjadi kunci kejelasan adalah:
Otoritas / wewenang. Otoritas adalah hak untuk bertindak tanpa persetujuan
awal dari manajemen yang lebih tinggi dan tanpa tantangan dari sesama
manajemen (Frost, 1998). Individu-individu dan group di dalam organisasi
harus tahu siapa yang berwenang dan tingkat wewenang yang mereka miliki.
Dengan kata lain, mereka mampu membedakan garis otoritas organisasi,
memahami gambaran yang jelas mengenai struktur pelaporan organisasi.
Sebagai tambahan bagi mereka yang menerima wewenang mereka juga harus
tahu derajat wewenang mereka agar dapat memahami apa yang seharusnya
dan yang tidak seharusnya mereka perlu jawab / kerjakan.
a. Misi organisasi.
Individu dan group perlu memiliki pemikiran yang jelas mengenai
misi organisasi dan peran yang mereka mainkan dalam pencapaian misi.
Termasuk misi divisi, departemen, dan / organisasi secara keseluruhan.
Individu dan group yang melaksanakan kerja tanpa pemahaman
mengenai tujuan dan arah organisasi maka tidak akan efisien dan efektif,
begitu juga mereka yang tidak memiliki rasa kepemilikan.
b. Peran dan Tanggung Jawab
Setiap individu dan / group harus memenuhi tanggung jawab yang
telah dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, individu dan / group ini
perlu mengetahui (1) peran apa yang mereka mainkan dalam misi
organisasi, (2) apa tanggung jawab mereka dalam misi organisasi. The
Auditor General of Canada and the Treasury Board Secretariat (1998)
mengatakan “perlu memahami dengan baik peran dan tanggung jawab
bagian-bagian yang terlibat dalam suatu hubungan akuntabilitas.
Pemahaman yang baik akan memberikan suasana yang baik pada pihak-
pihak yang merespon maupun yang melaksanakan”.
c. Ekspektasi Kinerja
Individu dan group harus mengetahui secara pasti apa yang
diharapkan dari mereka atas kinerjanya jika mereka akan melaksanakan
suatu tanggung jawab dan ditanya terhadap pelaksanaan dan pemenuhan
kewajiban atas hasil yang mereka capai. Jika ekspetasi kinerja tidak jelas,
maka kemudian identifikasi akuntabilitas juga tidak akan jelas. Mencoba
mengendalikan orang atau group untuk hasil yang mereka tidak
mengetahui ekspetasinya akan menjadi sesuatu yang sulit atau tidak
dapat dicapai.
d. Pelaporan Kinerja
Hasil kinerja perlu untuk dilaporkan secara jelas dan tanpa bias,
apalagi jika informasi digunakan untuk mendorong peningkatan
organisasi. Seperti yang dikatakan oleh The Auditor General of Canada
and the Treasury Board Secretariat (1998) bahwa akuntabalitas yang
efektif memerlukan pelaporan (akuntansi) terhadap apa yang sudah
dicapai. Laporan harus kredibel, bermanfaat, dan tepat waktu. Hasil
pencapaian itu harus digambarkan dan diintegrasikan dalam beberapa
cara bagi yang memiliki wewenang, sumber daya, dan tindakan-
tindakannnya disajikan dalam ekspektasi dan dilaporkan dalam kerangka
waktu yang masuk akal.
7. Balance
Balance (keseimbangan) yang dimaksud adalah keseimbangan
antara akuntabilitas dan otoritas, antara ekspektasi dan kapasitas, dan
antara upah dan kinerja. Keseimbangan ini harus terpenuhi agar
akuntabilitas dapat berjalan dengan baik.
a. Keseimbangan Akuntabilitas dan Otoritas
The Auditor General of British Columbia (1996) mencatat
bahwa jika para eksekutif dan manajer tidak memiliki otoritas
untuk melaksanakan tindakan yang penting demi tercapainya
kinerja maka pengendalian terhadap program-program manajer dan
akuntabilitas eksekutif menjadi lemah. Suatu
perubahan/peningkatan yang sustansial bagi kinerja suatu
organisasi harus disertai dengan perubahan yang penting yaitu
otoritas.
b. Keseimbangan Ekspektasi dan Kapasitas
Suatu poin penting yang dibuat oleh Auditor General of Canada
and Treasury Board Secretariat (1998) adalah bahwa ekspektasi
kinerja perlu dihubungkan secara jelas dengan mempertimbangkan
keseimabngannya dengan kapasitas (otoritas, keahlian, dan sumber
daya) dari setiap bagian organisasinya. Kegagalan dalam
membangun hubungan yang wajar atau yang masuk akal antara apa
yang diharapkan dengan wewenang dan sumber daya yang
diberikan, cenderung akan menggeroti efektivitas akuntabilitas.
Ekspektasi yang berada di luar kewajaran akan memberikan
ketidakyakinan dalam pencapaiannya. Sesuai dengan pemikiran di
atas, efektivitas akuntabilitas dapat ditingkatkan dengan
membangun suatu kerangka hubungan yang jelas atas hubungan
dan keseimbangan antara sumber daya dan ekspektasi hasil-
hasilnya.
c. Keseimbangan Upah dan Kinerja
Tantangan yang nyata bagi lingkungan yang memiliki
akuntabilitas adalah ketidakseimbangan antara apakah individu
dibayar untuk kinerjanya dan apakah individu diharapkan untuk
melaksanakannya. Upah yang rendah dengan ekspektasi yang
tinggi akan menurunkan moral. Upah yang tinggi dengan
ekspektasi yang rendah akan membuat seseorang menjadi tidak
memiliki inspirasi dan motivasi bekerja yang baik. Jadi, dalam hal
ini diperlukan adanya keseimbangan antara upah dengan ekspektasi
kinerja.
8. Ownership
Kinerja yang optimal dapat dicapai dengan
memberikan ownership (rasa kepemilikan) atas setiap tindakan pada
individu-individu dan group. Rasa kepemilikan ini dapat memberikan
suatu kepentingan atas outcomes dan dengan demikian akan
mengarahkan mereka untuk bertindak dalam bisnis secara hati-hati untuk
memenuhi tanggung jawab. Dengan kata lain, rasa kepemilikan akan
meningkatkan perilaku, tanggung jawab, dan sikap. Pengembangan rasa
kepemilikan pada individu dan group dapat dicapai melalui proses yang
disebut menting. Berikut ini diuraikan proses menting tersebut:
a. Komitmen
Komitmen merupakan poin awal dalam menumbuhkan rasa
kepemilikan. Mnajemen harus menunjukkan pada individu atau
group dan juga harus memperoleh komitmen mereka untuk
mencapai ekspektasi kinerja. Komitmen manajer pada individu dan
group menunjukkan rasa kepemilikan manajemen terhadap tindakan
dan outcomes individu dan group.
b. Persetujuan
Akuntabilitas pada dasarnya merupakan suatu hubungan atau
kontrak antara dua bagian. Oleh karena itu seharusnya ada
persetujuan terlebih dahulu antara dua bagian tersebut atas hubungan
akuntabilitas (otoritas, peran dan tanggung jawab, ekspektasi
kinerja, syarat / kriteria pelaporan, dan konsekuensi). Persetujuan
atas hubungan akuntabilitas ini harus dilaksanakan terlebih dahulu
sebelum kerja dilaksanakan. Jika ada persetujuan, maka akan ada
kejelasan dan pemahaman yang lebih baik. Tanpa hal itu maka akan
muncul ketidakpastian dan ketiadaan akuntabilitas. Sebagai
tambahan persetujuan tersebut akan memuat seseorang atau group
memiliki keterikatan dan tanggung jawab atas kontrak yang telah
disepakati.
c. Keterlibatan
Keterlibatan dalam proses perencanaan dan proses pelaksanaan
kerja, dan aktivitas lain akan mampu membangun rasa pemilikan
adan bertanggungjawab (buy-in) terhadap proses dan aktivitas
tersebut (involvement). Selain meningkatkan rasa pemilikan,
keterlibatan juga akan meningkatkan loyalitas dan komitmen yang
pada akhirnya akan meningkatkan akuntabilitas.
d. Pemberdayaan
Pemberdayaan diibaratkan sebagai pertalian darah atas
pembagian wewenang antara manajemen dengan individu dan
group. Ketika ekspektasi kinerja didefinisikan dan disetuji,
manajemen memberikan bantuan pada individu dan group yang
memiliki kekuatan di lapangan untuk menjalankan persetujuan
sesuai dengan ekspektasinya dalam kerangka kerja yang diberikan.
Pemberdayaan individu dan group merupakan bentuk keterlibatan,
dan hal ini menciptakan rasa pemilikan serta meningkatkan
komitmen.
e. Investasi
Tingkat investasi organisasi (pelatihan, simber daya kerja, upah,
dan sebagainya) pada karyawan menunjukkan suatu tingkatan
bahwa organisasi memiliki komitmen pada karyawan. Tingkat
dimana karyawan merasa memiliki akan menunjukkan tingkat
bahwa ia memiliki pekerjaan mereka.
f. Usaha yang Berkelanjutan
Usaha yang berkelajutan akan memberikan peluang pada
karyawan untuk berbuat lebih baik dan hanya dengan jalan tersebut
keberlangsungan kerja sat ini akan meningkat dan akan
menunjukkan kemampuan untuk mencapai kinerja yang lebih baik.
Peluang untuk keberlanjutan akan mendorong karyawan berbuat
lebih baik dan meningkatkan rasa pemilikan terhadap lingkungan
sekitar.
g. Penghargaan
Penghargaan kinerja merupakan kunci lingkungan akuntabilitas.
Hal ini merupakan salah satu konsekuensi akuntabilitas. Ketika
karyawan mengetahui penghargaan erat kaitannya dengan kinerja
mereka, maka mereka akan komit terhadap pelaksanaan kinerja dan
memiliki rasa pemilikan terhadap setiap tindakannya. Biasanya jika
karyawan dihargai secara baik atas kinerja, maka mereka akan
mengembangkan sense pencapaian/pemenuhan yang akan membuat
mereka bangga dalam pekerjaan mereka serta akan meningkatkan
rasa pemilikan.
9. Consequence
Akuntabilitas akan kurang bermakna tanpa
adanya consequence (konsekuensi). Akuntabilitas lahir bersama dengan
kewajiban, dan kewajiban lahir bersama dengan konsekuensi.
Konsekuensi dapat berupa penghargaan (baik) atau sanksi (buruk).
Konsekuensi membantu mendorong pelaksanaan wewenang, pemenuhan
tanggung jawab, dan peningkatan kinerja. Dalam membangun kerangka
konsekuensi jika tidak berjalan sesuai dengan arah kerangka tersebut
maka akan memiliki dampak yang dapat menurunkan makna dan tingkat
pentingnya akuntabilitas.
10. Consistency
Consistency (konsistensi) akan menjamin stabilitas. Penerapan yang
inkonsisten terhadap kebijakan, prosedur, sumber daya, dan/atau
konsekuensi dalam suatu organisasi akan menurunkan atau melemahkan
lingkungan akuntabilitas dan kredibilitasnya. Hal itu cenderung
menurunkan moral karyawan dan mendorong sinisme. Rasa memiliki
akan hilang dan kinerja akan melemah.
11. Follow-up
Dalam dokumen Modernizing Accoutability Practices in the Public
Sector (1998), The Auditor General of Canada and the Treasury Board
Secretariat menyatakan “reasonable review and adjusmen, nothing that,
something has to happen as a result of reporting accountability
information in order to close the loop”. Jadi, bagian-bagian yang
melakukan review atas hasil memerlukan pertimbangan apakah
pencapaian hasil tersebut sesuai dengan ekspektasinya dan lingkungan
yang ada, dan kemudian mengakuinya sebagai usaha yang tercapai
sepenuhnya. Jika ekspektasi tidak sesuai maka perlu tindakan koreksi dan
kemungkinan penyesuaian untuk penyusunan akuntabilitas yang dibuat
dan memberikan catatan atas usaha pembelajaran. Hubungan
akuntabilitas tanpa follow-up merupakan hasil yang jelas tidak lengkap
dan tidak efektif.

III. KESIMPULAN
Indikator kinerja merupakan kriteria yang digunakan untuk menilai
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi yang diwujudkan dalam ukuran-
ukuran tertentu. Indicator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak
langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja,
sehingga bentuknya cenderung kualitatif. Sedangkan ukuran kinerja adalah
kriteria yang mengacu pada penilaian kinerja secara langsung, sehingga
bentuknya lebih bersifat kuantitatif.
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervise,
pelaporan dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam
sebuah rantai komando formal. Akuntabilitas public terdiri atas dia macam, yaitu
(1) akuntabilitas vertical dan (2) akuntabilitas horizontal. Istilah akuntabilitas
berbeda dengan responsibilitas walaupun sering didefinisikan sama yaitu
pertanggungjawaban. Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan tertulis
sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai