Anda di halaman 1dari 10

MANIFESTASI dan DIAGNOSA LABORATORIUM STAPHYLOCOCCUS

EPIDERMIDIS

NAMA MAHASISWA : FATHUR RAHMAN


NIM : AK816021
SEMESTER : IV
KELAS : IV A
MATA KULIAH : BAKTERIOLOGI III
PROGRAM STUDI : DIII ANALIS KESEHATAN
DOSEN : PUTRI KARTIKA SARI M.Si
1.1. Manifestasi
Gejala-gejala yang timbul tergantung dari lokasi infeksi. Infeksinya
mungkin ringan atau bahkan bisa berakibat fatal. Biasanya infeksi
Staphylococcus menyebabkan terbentuknya suatu kantung berisi nanah, yaitu
abses dan bisul (furunkel & karbunkel). Staphylococcus dapat menyebar
melalui pembuluh darah dan menyebabkan abses pada organ dalam (seperti
paru-paru), tulang (osteomielitis) dan lapisan dalam dari jantung dan
katupnya (endokarditis) (Gembong,2005).
Staphylococcus cenderung menginfeksi kulit. Absesnya pada kulit berupa
kantung berisi nanah yang terasa hangat dibawah permukaan kulit. Abses
biasanya pecah dan nanah akan mengalir di atas kulit, yang apabila tidak
dibersihkan akan mengakibatkan infeksi lebih lanjut (Setiabudi,1995).
Staphylococcus juga dapat menyebabkan selulitis (suatu infeksi dibawah
kulit). Biasanya bisul juga terjadi karena stafilokokus. Dua macam infeksi
stafilokokus kulit yang cukup serius adalah Nekrolitik epidermal toksik dan
Sindroma kulit terbakar (Scalded skin syndrome), yang bisa menimbulkan
pengelupasan kulit yang meluas (Jawetz, 1992).
Bayi baru lahir biasanya mengalami infeksi kulit Staphylococcus dalam
waktu 6 minggu setelah lahir. Gejala yang paling sering ditemukan adalah
kulit seperti melepuh yang berisi nanah di daerah lipatan lengan, kelamin dan
lipatan leher. Infeksi Staphylococcus yang lebih berat bisa menyebabkan
banyak abses, pengelupasan kulit yang luas, infeksi darah, infeksi selaput
otak dan medula spinalis (meningitis) serta pneumonia (Djide, 2003).
Ibu menyusui bisa mengalami infeksi payudara oleh Staphylococcus
(mastitis) dan abses dalam waktu 1-4 minggu setelah melahirkan. Beberapa
diantaranya sering merupakan infeksi dari bayi yang ditularkan kepada
ibunya pada saat menyusui (Entjang, 2001).
Infeksi yang paling berat adalah pneumonia, yang merupakan resiko bagi
penderita penyakit paru menahun (seperti bronkitis kronis dan emfisema) dan
influenza. Sering menyebabkan demam tinggi dan gejala-gejala paru-paru
yang berat seperti sesak nafas, pernafasan cepat dan batuk produktif yang
dahaknya mungkin saja berdarah. Pada bayi baru lahir dan kadang-kadang
pada dewasa juga, peumonia stafilokokus bisa menyebabkan abses paru dan
infeksi pleura (lapisan disekeliling paru-paru). Infeksinya disebut empiema
torak, yang memperburuk gangguan pernafasan (Entjang, 2001).
Meskipun suatu infeksi stafilokokus dalam darah (bakteremia
Staphylococcus) sering terjadi akibat infeksi di tempat lain, tapi biasanya
timbul akibat pengggunaan alat intravena seperti kateter. Bakteremia
Staphylococcus sering menjadi penyebab kematian pada penderita luka bakar
berat. Ciri yang khas adalah pada bakteremia adalah panas yang timbul
bersifat menetap dan kadang-kadang terjadi syok (Waranurastuti, 2009).
Adanya Staphylococcus dalam aliran darah bisa menyebabkan infeksi di
lapisan dalam dari jantung dan katupnya (endokarditis), terutama pada
pengguna obat suntik. Infeksi dengan segera menyebabkan kerusakan katup,
sehingga terjadi gagal jantung dan kematian (Warsa, 1994).
Infeksi tulang (osteomielitis) terutama menyerang anak-anak, walaupun
juga menyerang orang yang lebih dewasa, terutama mereka yang menderita
ulkus kulit yang dalam (luka baring, bedsore). Gejalanya berupa demam,
menggigil dan nyeri tulang. Bengkak dan kemerahan akan tampak di atas
tulang yang terkena dan dalam sendi di sekitar daerah yang terinfeksi akan
terbentuk cairan. Kadang pemeriksaan radiasi dan pemeriksaan radiologis
lainnya dapat menunjukkan daerah yang terkena infeksi, tapi secara umum
tidak membantu dalam menegakkan diagnosis awal (Wibawan, 2005).
Suatu infeksi usus dari Staphylococcus sering menyebabkan demam,
kembung dan distensi abdomen, gerakan kontraktil normal dari usus terhenti
sementara (ileus) serta diare. Sering terjadi pada pasen yang dirawat di rumah
sakit, terutama setelah menjalani operasi atau pengobatan antibiotic (Pelcjar,
1986).
Pembedahan meningkatkan resiko infeksi Staphylococcus yang bisa
mengarah ke terbentuknya abses pada luka jahitan atau menyebabkan
kerusakan pada luka sayatan. Beberapa infeksi timbul beberapa hari sampai
beberapa minggu setelah pembedahan tetapi bisa timbul lebih lambat pada
orang yang mendapat terapi antibiotik setelah pembedahan. Infeksi ini bisa
memburuk dan berlanjut menjadi sindroma syok toksik (Abrar, 2001).
Septikemia dan endokarditis termasukpenyakit yang berhubungan dengan
Staphylococcus epidermidis. Gejalayang timbul adalah demam, sakit kepala
dan kelelahan akibat anoreksia dan dspnea. Septikemia terjadi akibat infeksi
neonatal, terutama ketika bayi lahir dengan berat badan yang sangat rendah.
Endokarditis adalah infeksi pada katub jantung dan bagian lapisan dalam otot
jantung. Staphylococcus epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan
pasien dan permukaan lingkungan (Abrar, 2001).

1.2. Diagnosa Laboratorium


Menurut (Jawetz, 1992) Uji Laboratorium :
1. Sampel yang digunakan untuk menentukan bakteri Staphylococcus adalah
:
 Nanah
 Darah
 Usapan Luka
 Cairan Otak
2. Identifikasi dilakukan dengan cara :
 Hari Pertama
Mengisolasi bakteri Staphylococcus epidermidis pada media Blood
Agar Plate (BAP) kemudian diinkubasi 24 jam, suhu 370C. Ciri
koloni bakteri Staphylococcus epidermidis di Media BAP : Koloni
sedang-besar, warna putih susu, anhemolisa (tidak ada zona bening
di sekeliling koloni)
Gambar 1. Koloni Staphylococcus epidermidis di BAP

 Hari Kedua
Mengamati ciri khas morfologi koloni yang tumbuh pada BAP
kemudian menanam koloni pada media BA (Blood Agar) dan BB
(Blood Broth). Kemudian inkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.

Gambar 2. Kiri (BA) dan Kanan (BB)


Keterangan :
BA : Anhemolisa
BB : Anhemolisa

 Hari Ketiga
a. Mengamati hasil uji biokimia bakteri pada BA dan BB.
b. Melakukan pengecatan gram dari media BA dan BB.
1. Siapkan 2 kaca objek, kemudian tambahkan NaCl fisiologis
dan bakteri dari media BA dan media BB, kemudian fiksasi.
2. Kaca objek diletakan di atas bak pewarna, kemudian
digenangi dengan karbol gentian violet selama 3 menit.
Kelebihan zat warna dibuang, dan dibilas dengan air
mengalir.
3. Olesan digenangi dengan lugol selama 2 menit, pereaksi
berlebih dibuang, dan dibilas dengan air mengalir.
4. Olesan digenangi oleh alkohol 95% tetes demi tetes selama
30 detik atau sampai semua zat warna hilang, kemudian
dibilas dengan air mengalir.
5. Pewarnaan yang terakhir dengan safranin selama 1 menit,
kelebihan zat warna dibuang dan dibilas dengan air,
kemudian dikeringkan dengan kertas saring.
6. Preparat dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x
dilanjutkan 100x.
7. Hasil percobaan digambar dengan teliti. Sel bakteri yang
bewarna ungu menunjukkan bakteri masuk kelompok gram
positif, sedangkan bakteri gram negatif akan berwarna merah.
Hasil Pemeriksaan
a. Bentuknya Coccus/bulat, ungu gram positif
b. Ukurannya berdiameter 0,8-1 um
c. Susunannya 2-2, 4-4, bergerombol seperti buah anggur.
Gambar 3. Morfologi bakteri Staphylococcus epidermidis
pada pengecatan gram.
c. Melakukan uji katalase dengan menggunakan H2O2.
1. Siapkan kaca objek tambahkan NaCl Fisiologis dan bakteri
dari media BA.
2. Tambahkan H2O2, homogenkan, catat hasil.

Gambar 4. Uji katalase pada bakteri Staphylococcus


epidermidis yang menghasilkan gelembung (positif).
d. Melakukan uji D-Nase
1. Menyiapkan media D-Nase.
2. Menggoreskan bakteri kedalam media D-Nase kira-kira 1cm,
inkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.
 Hari Keempat
a. Mengidentifikasi hasil uji D-Nase dengan cara digenangi HCl
10%.

Gambar 5. Hasil dari uji D-Nase.

Keterangan :
D-Nase: bila digenangin HCL 10% tidak terbentuk zona
bening disekitar koloni.

b. Melakukan tes koagulase terhadap bakteri pada media BA.


1. Siapkan objek glass, kemudian tambahkan plasma sitrat, NaCl
dan bakteri.
2. Homogenkan dan catat hasilnya.
Gambar 6. Hasil test koagulase Staphylococcus epidermidis.
Keterangan :
Koagulase : negatif, tidak terjadi pembekuan atau koagulase.
DAFTAR PUSTAKA

Abrar, M. 2001. Isolasi, Karakterisasi dan Aktivitas Biologi Hemaglutinin


Staphylococcus aureus dalam Proses Adhesi pada Permukaan Sel
Epitel Ambing Sapi Perah. Disertasi Pascasarjana, FKH-IPB,
Bogor
Djide, M. 2003. mikrobiologi farmasi terapan. Fakultas MIPA,
Jurusan Farmasi.Uninersitas Hasanuddin.Makassar.
Entjang, I. 2001. Mikrobiologi dan Parasitologi. PT Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Gembong. 2005. Anantomi Morfologi. Universitas Indonesia, Makassar
Pelczar, Michael, J., dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi I, UI
Press.Jakarta
Setiabudi. 1995. Farmakologi dan Terapi ( Antimikroba).
Universitas Indonesia.Jakarta
Jawetz, E., Melnick, J.L. And Adelberg, E.A., 1992. Mikrobiologi untuk Profesi
Kesehatan (Judul Asli : Review of Medical Physiology), Edisi ke-
9.Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A. EGC Penerbit Buku
kedokteran, Jakarta.
Waranurastuti, 2009. Resistensi Staphylococcus aureus Asal Susu Sapi Perah,
Susu Kemasan dan Asal Manusia Terhadap Berbagai Antibiotik.
Fakultas Kedokteran Hewan. UGM
Warsa, U.C., 1994. Buku Ajar Mikrobioligi Kedokteran. Edisi Revisi. Binarupa
Aksara. Jakarta. Hal 103
Wibawan, I.W.T., Harlina, E., Chandramaya ,Siska Damayanti dan Zarkazie, K.
2005. Preparasi Antiserum Terhadap Hemaglutinin Streptococcus
agalactiae dan Staphylococcus aureus serta Perannya sebagai Anti
Adesin dan OpsoninWiseman, G. M., 1975. The hemolysin of
Staphylococcal aureus. Bacteriol. Rev. 39: 317-344

Anda mungkin juga menyukai