Disusun Oleh :
B202
Hetti Sari Ramadhani, S.Psi.,M.Si
Fakultas Psikologi17 Agustus 1945 Surabaya.
1
Kata Pengantar
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
2
DAFTAR ISI
Kata pengantar................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
3
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………….18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….20
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada banyak teori belajar yang tersebar di khalayak masyarakat,
banyak pula yang menarik, salah satunya adalah Teori belajar behavioristik.
Teori belajar behavioristik sendiri merupakan teori yang lahir dari suatu tokoh
yaitu Gage dan Berliner. Mereka menyebutkan teri tentang perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori itu lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang sangat berpengaruh pada arah pengembangan teori dan
praktik dari pendidikan dan pembelajaran yang sekarang lebih dikenal sebagai
aliran behavioristik.aliran ini berpusat pada perilaku yang tambpak sebagai
hasil belajar.
Aliran atau teori behavoristik ini menghubungkan stimulus-respon
dengan mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Apapun
repon atau perilaku tertentu itu menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Hadirnya perilaku akan semakin kuat jika diberikan
penguatan secara berkala dan akan menghilang secara perlahan jika diberikan
hukuman.
Belajar merupakan hasil dari adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143). Seseorang akan dianggap telah melakukan
pembelajaran jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut
teori ini, hal yang paling penting dalam belajar adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus merupakan apa saja yang
diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang bisa
diamati hanyalah stimulus dan respon, dan karena itu apa yang diberikan oleh
5
guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus bisa
diamati dan diukur. Dan juga, teori ini mengutamakan dan memprioritaskan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat
terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Fondasi atau dasar dari teori belajar Guthrie yang utama adalah hukum
kontiguiti. Yang dimaksud hokum kontiguiti adalah gabungan stimulus-
stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung
akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar bisa terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang
dapat terjadi. Penguatan sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk sekedar
melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah
timbulnya respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar mengajar antara peserta didik
dan pengajar perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus
dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga mempercayai bahwa
adanya hukuman (punishment) bisa memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang.
Sasaran utama dari teori ini adalah guru harus mampu menmberikan
stimulus respon secara tepat. Peserta didik harus dibimbing melakukan apa
yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan
tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
6
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu konsep belajar Edwin Ray Guthrie?
2. Apa saja pengembangan dari teori belajar Edwin Ray Guthrie?
3. Teori belajar behaviorisme dan bagaimana penerapannya dalam pengajaran
dan pembelajaran?
C. Tujuan
1. Memaparkan sejarah riwayat hidup seorang Edwin Ray Guthrie
2. Memahami konsep dan teori belajar Edwin Ray Guthrie
3. Mengetahui sumbangan konsep teori belajar dari ER.Guthrie dalam
kehidupan/kebiasaan.
4. Mengetahui konsep teori belajar ER. Guthrie dalam pengajaran dan pembelajaran.
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov
mencetuskan jika dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa
CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Pada publikasi teori terahirnya sebelum beliau meninggal, Guthrie
sempat merevisi atau mengubah sebagian hukum kontiguitasnya menjadi,
“Apa- apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa yang
dilakukan”. Beliau beralasan bahwa terdapat berbagai macam stimuli yang
akan dihadapi oleh suatu organisme pada beberapa waktu tertentu dan
organism itu tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimuli itu.
Organisme hanya akan memproses secara efektif pada sebagian kecil dari
stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya proporsi inilah yang akan
diasosiasikan dengan respons.
9
1.2.3. Hukuman menurut Guthrie
Guthrie juga mempercayai bahwa hukuman (punishment) memegang peranan
penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan
mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru
harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing
melakukan apa yang harus dipelajari. Hukuman yang diberikan dalam proses
pembelajaran harus sesuai dengan asumsi dan ideologi yang ada dalam diri siswa.
Meskipun menurut sekolah hukuman itu tidak edukatif dan tidak efektif, bisa
saja menurut sekolah yang lain sangat efektif. Hal ini disebabkan oleh asusmi
ideologis yang diyakini di kalangan siswa. Contoh jenis hukuman di pondok
pesantren tidak sesuai jika diterapkan di sekolah formal yang jauh dari budaya
pondok pesantren.
Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu
mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap
kali pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian
ibunya menyuruh agar baju dan topik dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali
keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di
tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung
topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun
demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak dominan dalam teori-teori tingkah laku.
Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang penguatan
(reinforcement).
10
b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun
salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman
dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidak samaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus)
agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin
kuat.
Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa
tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi
jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan
penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respon.
Efektifitas hukuman ditentukan oleh apa penyebab apa penyebab tindakan yang
dilakukan oleh organisme yang dihukum itu. Hukuman bekerja dengan baik bukan
kerena rasa sakit yang dialami oleh individu yang terhukum, akan tetapi karena
hukuman mengubah cara indiviu merespons stimuli yang sama. Hukuman dikatakan
berhasil ketika hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena
hukuman menimbulkan perilaku yang tidak kompatibel dengan perilaku yang
dihukum. Dan hukuman dikatakan gagal apabila perilaku yang disebabkan oleh
hukuman selaras dengan perilaku yang dihukum.
Karena pandangan Guthrie tentang asosiasi tergantung pada stimulus dan respon,
peran penguatan memiliki interpretasi unik. Guthrie percaya pada pembelajaran satu
kali mencoba, dengan kata lain kedekatan hubungan antara elemen-elemen stimulus
dan respon langsung menghasilkan ikatan asosiatif penuh.
11
1.2.4. Dorongan Menurut Guthrie
Dalam hal ini, Guthrie kurang terlalu berharap. Karena pada dasarnya
seseorang akan menunjukkan respons yang sesuai dengan stimuli jika pada kondisi
yang sama. Guthrie selalu mengatakan pada mahasiswa universitasnya, jika anda
ingin mendapat manfaat terbesar dari studi anda, anda harus berlatih dalam situasi
yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana anda akan diuji. Jika anda belajar
sesuatu di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan yang diperoleh disitu akan
ditransfer ke kelas.
12
Saran Guthrie adalah selalu mempraktikkan perilaku yang persis sama yang
akan diminta kita lakukan nanti, selain itu, kita harus melatihnya dalam kondisi yang
persis sama dengan kondisi ketika nanti kita diuji. Gagasan mengenai pemahaman,
wawasan dan pemikiran hanya sedikit, atau tidak ada maknanya bagi Guthrie. Satu-
satunya hukum belajar adalah hokum kontiguitas, yang menyatakan bahwa ketika dua
kejadian terjadi bersamaan, keduanya akan dipelajari.
13
Guthrie menyarankan (sesuai dengan teori conditioning) perbaikan seperti berikut:
Teguran ibu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah
anak itu makan, akan tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan
menyandang tasnya dan kemudian anak itu masuk ke rumah lagi terus
menggantungkan tasnya dan pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan.
Jadi, proses berlangsungnya unit-unit tingkah
14
responsnya dengan penuh tujuan. Seperti juga Thorndike, Guthrie percaya bahwa
pendidikan formal harus menyerupai situasi kehidupan nyata sebanyak mungkin. Para
guru penganut teori Guthrie akan diperbolehkan untuk kadang-kadang menggunakan
hukuman untuk menangani perilaku siswa yang menyimpang. Agar pemakaiannya
efektif, hukuman harus digunakan ketika perilaku menyimpang tadi terjadi.
Ketiga metode di atas menurut Guthrie efektif karena disajikan suatu petunjuk
tindakan yang tidak diinginkan dan berusaha mempengaruhi agar tindakan itu tidak
dilakukan, karena ada stimuli utuk perilaku lain yang terjadi dan membuat respons
yang buruk menjadi tersingkirkan.
15
Seperti halnya Thorndike, Guthrie menyarankan proses pendidikan
dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus
dibuat untuk stimuli. Dia menyarankan lingkungan belajar yang akan
memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan
diletakkan padanya. Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan
adalah siswa mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu.
Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli
untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah
unik, seseorang harus “belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa
belajar 2 ditambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 ditambah 2 ketika
dibangku. Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada
setiap stimuli (di dalam atau di luar kelas).
16
1.2.12 Sifat Pengetahuan menurut Edwin Ray Guthrie
BAB III
17
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Inti dari teori belajar Guthrie adalah mengasosiasikan rangsangan dan respon
secara tepat. Untuk penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar di kelas, maka
Guthrie memberikan beberapa saran bagi guru:
1. Seorang Guru harus harus dapat mengarahkan performa siswa akan menjadi apa
ketika mempelajari sesuatu. Dengan kata lain, apakah stimuli yang ada dalam buku
atau pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar
2. Oleh karena itu, jika seorang siswa membaca dan mencatat suatu materi
pembelajaran maka siswa tersebut akan lebih banyak mengingat informasi. Maka
dalam hal ini buku menjadi stimuli yang dapat digunakan srbagai perangsang untuk
memahami suatu materi pembelajaran
3. Ketika guru mengelola sebuah kelas, guru dianjurkan untuk tidak memberikan
perintah yang secara langsung akan menyebabnkan siswanya menjadi tidak patuh
terhadap aturan di dalam kelas. Misalnya perintah guru agar siswanya tenang di kelas
diikuti oleh kegaduhan di dalam kelas akan menjadi tanda bagi munculnya perilaku
distruptif.
18
Penulis meminta maaf jika makalah ini memiliki banyak kekurangan,
karena kurangnya referensi dan pengetahuan Penulis saat pembuatan makalah
ini, sebagai Penulis, saya mengharapkan kritik yang dapat membangun pada
pembaca agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi. Demikian
makalah ini Penulis buat untuk menambah pengetahuan dan informasi yang
berguna dan bisa mendapat kan apresiasi yang bisa digunakan untuk
perbaikan demi kepentingan bersama, sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
19
Syaodih, Nana Sukmadinata, Landasan psikologi dalam proses pendidikan,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
20