Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

PERTUSIS

Oleh:
Kania Mutia Yazid, S.Ked 04011181520057
M Nurhidayatullah Pascadh, S.Ked 04011181520058

Pembimbing:
Prof. dr. Zarkasih A, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

PERTUSIS

Oleh:
Kania Mutia Yazid, S.Ked 04011181520057
M Nurhidayatullah Pascadh, S.Ked 04011181520058

Telah diterima sebagai salah satu dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah
Sakit Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, 8 April 2019


Pembimbing

Prof. dr. Zarkasih A, Sp.A (K)

ii
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Pertusis”. Laporan Kasus ini merupakan salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Zarkasih A, Sp.A (K)
selaku pembimbing yang telah membantu penulisan laporan kasus ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu
penyelesaian laporan kasus ini, hingga selesainya laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam laporan ini tentu masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya dalam memperkaya wawasan dan pengetahuan

Palembang, 8 April 2019

Penulis

iii
iv
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….……. ii
KATA PENGANTAR………………………………………………….……. iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….… iv
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................1
BAB 2 STATUS PASIEN..............................................................................3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................25
BAB 4 ANALISIS KASUS.............................................................................36
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................40

v
BAB I
PENDAHULUAN

Pertusis atau “whooping cough” atau “batuk rejan” atau “batuk 100
hari” merupakan suatu infeksi saluran napas dengan gejala batuk paroksismal
yang disebabkan oleh Bordetella pertussis1. Pertusis dilaporkan pertama kali pada
abad ke-16 dan kuman Bordetella pertussis pertama kali diisolasi pada tahun
1906. Sebelum era vaksinasi, Pertusis menjadi salah satu penyebab kematian
utama pada bayi1.
Di seluruh dunia insidensi Pertusis banyak didapatkan pada bayi dan
anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B. pertusis. Insidensi terutama didapatkan pada
bayi atau anak yang belum diimunisasi1. Dahulu Pertusis adalah penyakit yang
sangat epidemik karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang
namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun setelah digalakkannya
vaksinasi untuk Pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, Pertusis diharapkan tidak
ditemukan lagi meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan1,6. Kejadian
Pertusis tahunan di dunia diperkirakan mencapai 48,5 juta kasus, dengan
mortalitas mencapai 295.000 kematian setiap tahunnya. Kemungkinan penularan
Pertusis, sangat tinggi, mencapai 80-90% pada individu yang tidak memiliki
imunitas, sehingga memiliki potensi cukup besar menimbulkan wabah6.
Gejala klasik Pertusis berupa batuk paroksismal dengan bunyi ”whoop”
pada akhir batuk dan muntah setelah batuk (post-tussive vomiting). Gejala ini
umumnya terjadi pada anak kurang dari 10 tahun yang tidak diimunisasi, namun
gejala pada kelompok usia lain mungkin tidak khas15.
Diagnosis dikonfirmasi dengan isolasi kuman atau pemeriksaan PCR
pada spesimen nasofaring. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
tahun 2014 menyatakan untuk menegakkan diagnosis Pertusis cukup dengan
gejala klinis ditambah riwayat kontak dengan pasien yang telah terkonfirmasi
dengan pemeriksaan laboraturium, sedangkan kasus tanpa riwayat kontak

1
digolongkan sebagai kemungkinan (probable) Pertusis1. Kasus probable Pertusis
tetap dianjurkan diterapi sama seperti kasus yang terkonfirmasi, mengingat
potensi perkembangan penyakit menjadi berat terutama pada anak yang sangat
kecil dan potensi penyebarannya, serta ketersediaan pemeriksaan penunjang yang
mungkin terbatas1.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus Pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan
cepat sehingga derajat penyakit Pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut.

2
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
Identitas Pasien
a. Nama : An. AFRH
b. Umur : 1 tahun 9 bulan
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Alamat : Jalan Lomba Jaya No. 1704, Sekip
e. Agama : Islam
f. Suku bangsa : Sumatera Selatan
g. No RM : 0001115323
h. MRS Tanggal : 28 Maret 2019 (03.25 WIB)

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 28 Maret 2019, diberikan oleh ibu pasien)

A. Keluhan Utama : Batuk sejak 2 minggu yang lalu


B. Keluhan tambahan : Demam (+), Muntah (+), Sesak (+), Kejang (+)
C. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak + 2 minggu SMRS pasien menderita batuk tidak berdahak dengan
frekuensi sering namun hilang timbul. Anak juga mengeluh pilek (+) disertai demam
tidak terlalu tinggi (+), sesak (-), muntah (-), BAB cair (-) dan BAK normal. Anak lalu
dibawa berobat ke Puskesmas dan diberikan Amoxicilin sirup 3x sehari dan
Paracetamol sirup, namun keluhan tidak kunjung membaik walaupun obat sudah
diminum sampai habis.
Sejak + 1 minggu SMRS, penderita mulai batuk panjang (+) dengan frekuensi
yang cukup sering, anak tampak sesak (+) saat batuk dan muntah (+) di akhir batuk.
Muntah berisi susu atau makanan yang anak makan. Saat demam badan anak mulai
terasa cukup panas namun suhu tubuh saat demam tidak pernah diukur. Saat tidak
batuk, anak tampak tenang dan tidak sesak.

3
+ 2 hari SMRS penderita mengeluh batuk panjang (+) dengan frekuensi yang
lebih sering, anak sesak saat batuk panjang (+), muntah (+) tiap di akhir batuk, pilek (+),
disertai demam tinggi (suhu pernah diukur mencapai 39,2°C), BAB dan BAK biasa.
Anak sempat kejang + 1 menit, anak sadar post iktal dan tidak ada keluhan kejang
berulang dan gangguan neurologis setelahnya. Anak lalu dibawa berobat ke dokter
spesialis anak di RS YK Madira. Dokter mendiagnosis anak menderita Pertusis dan
diberikan 3 macam racikan obat (Eritromisin, Pertusin, dan Lasal) serta sirup
Paracetamol. Keluhan belum berkurang dikarenakan anak tidak mau minum obat yang
diberikan dikarenakan sering muntah.
+ 2 jam SMRS, keluhan batuk panjang semakin sering disertai suara whoop
diakhir batuk dan setelah batuk anak muntah. Demam tinggi (+), sesak (+), muntah (+),
sianosis (-). Karena batuk semakin sering dan panjang (menurut ibu batuk terakhir
mencapai + 3 menit) ditambah kondisi anak juga tampak semakin memburuk, anak
dibawa ke RS Hermina Palembang dan setelahnya dirujuk ke RSMH Palembang.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat anak dirawat dengan Bronkopneumonia di RS Hermina 3 bulan yang lalu.
 Riwayat kejang (+) usia 1,5 tahun.

E. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (+). Dua orang kakak pasien menderita
batuk yang serupa + 1 minggu sebelum pasien mengeluh batuk. Dinkes Kota
Palembang melakukan kultur swab nasofaring dari kedua kakak pasien namun hasil
pemeriksaan kultur belum keluar.

F. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Lahir dari ibu G3P3A0
Masa Kehamilan : 38 minggu
Partus : Normal
Tempat : RS YK Madira
Ditolong oleh : Dokter

4
Kondisi lahir : Langsung menangis
Tanggal : 1 Juli 2017
BB : 3600 gram
PB : 53 cm
Riwayat ibu demam saat hamil (-), riwayat KPSW (+), riwayat ketuban hijau dan
berbau (-), riwayat penyakit lain pada ibu saat hamil (-).

G. Riwayat Imunisasi

IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur
BCG 0 bulan
DPT 1 - DPT 2 - DPT 3 -
HEP B 1 0 bulan HEP B 2 - HEP B 3 -
Hib 1 - Hib 2 - Hib 3 -
POLIO 1 - POLIO 2 - POLIO 3 -
CAMPAK - POLIO 4 -
KESAN : Riwayat imunisasi tidak lengkap

H. Riwayat Nutrisi
ASI : 0 - 2 bulan, frekuensi ±10 kali sehari
Susu formula : Diberikan sejak usia anak 2 bulan, jenis susu yang diminum SGM
Tahapan makanan
1. Sejak lahir hingga usia 2 bulan anak diberikan ASI eksklusif, namun karena ASI
kering (menurut pengakuan ibu), ASI distop dan diganti dengan susu formula.
2. Pada usia 2 bulan anak diberikan susu formula jenis SGM dengan frekuensi 5-6 kali
sehari hingga sekarang.
3. Pada usia 6 bulan anak sudah diberikan makanan pendamping ASI berupa jagung
dan ubi ungu serta sayur-sayuran yang dilunakkan. Makanan ini diberikan sejak
usia 6 bulan dengan frekuensi 3 kali sehari satu mangkuk kecil setiap kali makan.
4. Sejak usia 9 bulan anak diberikan nasi tim/lembek dengan frekuensi 3 kali sehari.

Kebutuhan Kalori:

5
 BB sekarang 10,4 kg, TB sekarang 86 cm
 Perkiraan kebutuhan kalori pasien menggunakan rumus RDA yaitu = kebutuhan
kalori menurut usia TB x berat badan ideal TB. Berat badan ideal pasien adalah
11,5 kg (untuk TB 86 cm) dan kebutuhan kalori menurut usia TB (2 tahun) adalah
100 kkal. Kebutuhan kalori adalah = 11,5 x 100 = 1150 kkal.

I. Riwayat Pertumbuhan

BB/U : -2 < z < 0 SD  Normal

6
PB/U : 0 < z < 2 SD  Normal

BB/PB : -2 < z < 0 SD  Normal


Kesan : Status gizi baik

7
Lingkar Kepala : 0 < z < 2 SD
Kesan : Normosefali

J. Riwayat Perkembangan
Gigi pertama : 0 bulan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 6 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 1 tahun
Berbicara : 1 tahun
Kesan : Perkembangan normal

8
K. Riwayat Sosial Ekonomi
Pekerjaan kedua orang tua pasien adalah karyawan swasta dengan pendapatan ±
Rp2.500.000/bulan
Berdasarkan penggolongannya yaitu menurut Badan Pusat Statistik termasuk dalam
berpendapatan golongan menengah yaitu dibawah + Rp. 2. 500.000,- /bulan
Kesan: Riwayat sosial ekonomi menengah.

L. Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal


Pasien diasuh oleh : ibu kandung
Lingkungan rumah: Permukiman
 Rumah milik sendiri
 Atap genteng
 Lantai keramik
 Kamar tidur 3 ruang.
 Dapur 1 buah
 Kamar mandi dan WC ada
Kesan: secara garis besar kondisi rumah dan lingkungan baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : 10,4 kg
TB : 86 cm
Lingkar Kepala : 46 cm
LiLa : 12 cm
Status Antropometri
BB/U : -2 < z < 0
TB/U :0<z<2
BB/TB : -2 < z < 0
Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)

9
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 130 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 54 kali/menit
Suhu : 38,0oC
SpO2 : 97%
Kulit : tidak ada kelainan

B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA
Mata : Mata cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-), edema palpebra (-), pupil isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+).
Hidung : Nafas cuping hidung (+), kavum nasi dextra et sinistra lapang, sekret
(+), perdarahan (-).
Telinga : CAE dekstra et sinistra lapang, sekret (-), serumen (-), MT sulit dinilai.
Mulut : Perdarahan di gusi (-), sianosis sirkumoral (-), mukosa mulut dan bibir
kering (-), fisura (-), cheilitis (-).
Faring/Tonsil : Dinding faring hiperemis (+), tonsil T1-T1,tenang, tidak hiperemis

LEHER
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2 mmHg)

THORAX
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (+) subcostal
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal meningkat, RHBN (+/+), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis dan thrill tidak teraba

10
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 130 kali/menit, Bunyi jantung I dan II (+) normal, irama reguler,
murmur dan gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, Hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera kembali
Perkusi : Timpani

Lipat paha dan genitalia


Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-), ptechie (-), CRT <3
detik
Inferior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-), ptechie (-), CRT <3
detik

C. STATUS NEUROLOGIS

Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Fungsi motorik
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflex fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflex patologis - - - -
Gejala rangsang Kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
meningeal
Fungsi sensorik Baik
Nervi craniales Baik

11
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (Tanggal 28 Maret 2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Hb 12,3 g/dl 11,3 – 14,1 g/dl Normal
RBC 4,79 x 106/ mm3 4,40 – 4,48 x 106/ Meningkat
mm3
WBC 41,00 x 103/ mm3 6,0 – 17,5 x 103/ mm3 Meningkat
Trombosit 441.000/ mm3 217 – 497 x 103 / Normal
mm3
RDW-CV 13,70 % 11 – 15 % Normal
Ht 37 % 37 – 41 % Normal
LED 28 mm/jam < 20 mm/jam Meningkat
Diff Count 0/1/30/65/4 0–1% Neutropenia
1–6% Limfositosis
50 – 70 %
20 – 40 %
2–8%
CRP Kuantitatif < 5 mg/L < 5 mg/L Normal

Hasil Foto Rontgen Thorax (28 Maret 2019)

12
Hasil foto sebagai berikut:
Jantung kesan tak membesar.
Aorta baik. Mediastinum superior tidak melebar.
Trakea di tengah
Hilus kanan kiri tidak menebal.
Tampak infiltrat di parakardial kanan.
Diafragma licin. Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip.
Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik.
Kesan : Bronkopneumonia

V. DIAGNOSIS BANDING
13
 Bronkiolitis
 Pneumonia bakterial
 Sistik fibrosis
 Tuberkulosis

VI. DIAGNOSIS KERJA


Probable Pertusis dan Bronkopneumonia

VII. RENCANA PEMERIKSAAN


 Pemeriksaan darah rutin
 Rontgen thoraks
 Kultur sekret nasofaring
 PCR swab nasofaring

VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
 O2 nasal kanul 1 Liter per menit
 IVFD D5 ¼ NS 10 gtt/menit (makro)  stop
 IVFD KAEN 3A kecepatan 20x/ menit mikro
 Paracetamol sirup 4 x 5 ml bila suhu ≥ 38,5oC
 Azitromisin 1 x 100 mg sirup per oral via NGT
 Cefotaxime 3 x 350 mg (100 mg/kg/hari) intra vena
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam
 Observasi BAB cair
 Observasi kalium, feses rutin
Non Medikamentosa:
 Susu SGM 8 x 100 mL

IX. PROGNOSIS

14
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

X. RESUME
Pasien an. AFRH, usia 1 tahun 9 bulan, perempuan, dibawa ke IGD RSMH
dengan keluhan batuk + 2 minggu, disertai demam (+), muntah (+) dan pilek (+). Sejak
+ 2 minggu SMRS pasien menderita batuk (+), batuk terus menerus (+), demam (+),
muntah (-). Anak dibawa ke Puskesmas dan diberikan Amoxicilin sirup dan
Paracetamol sirup, namun keluhan tidak membaik. Sejak + 1 minggu SMRS, penderita
mulai batuk panjang (+), bila batuk anak muntah (+), ada kejang (+) sebanyak 1x
dengan lama + 1 menit, post iktal anak sadar. Saat tidak batuk, anak tampak tenang dan
tidak sesak. + 2 hari SMRS penderita mengeluh batuk (+), batuk panjang, anak sampai
sesak bila batuk, muntah (+) tiap kali batuk, pilek (+), disertai demam tinggi, BAB
biasa, lalu anak dibawa berobat ke dokter Sp.A(K), anak didiagnosis menderita Pertusis
dan diberikan 3 macam racikan (Eritromisin, Pertusin dan Lasal). Keluhan belum
berkurang dikarenakan anak memuntahkan obat yang diberikan. + 2 jam SMRS, batuk
makin sering (+), batuk panjang disertai suara whoop diakhir batuk, anak tampak biru
(+) dan batuk berhenti bila muntah. Demam (+), pilek (+), saat batuk anak sesak (+) dan
diakhir batuk anak memuntahkan dahak. Anak dibawa ke RS Hermina Palembang dan
dirujuk ke RSMH. Riwayat penyakit anak dengan keluhan yang sama disangkal, namun
kedua kakak pasien mengalami keluhan batuk yang serupa sekitar 1 minggu sebelum
anak mengalami batuk. Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 100/60mmHg, nadi
130x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, suhu 39,2oC, RR 28x/menit, BB 10,4 kg,
TB 86 cm. Napas cuping hidung (-), retraksi dinding dada (+), sianosis (-), akral hangat,
CRT < 3”. Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, tonsil hiperemis (-), keadaan spesifik lain
dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan dari pemeriksaan thoraks dan abdomen.
Gerakan dan kekuatan lengan dan tungkai baik, tonus eutoni, klonus (-), reflex fisiologis
(+) normal, reflex patologis (-), gerakan rangsang meningeal (-). Dari pemeriksaan
penunjang didapatkan Hb 12,3 g/dl, WBC 41,00 x 103/mm3, RBC 4,79 x 106/mm3,

15
Trombosit 441.000/mm3, Ht 37%, Diff Count 0/1/30/65/4, RDW-CV 13,70 %, LED 28
mm/jam, CRP Kuantitatif <5 mg/L.

XI. FOLLOW UP
Tanggal 29 Maret 2019
S : Batuk panjang masih sering, lama <1 menit, muntah berkurang, napas cepat
(+), kejang (-), demam (+) peak 40oC.
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 130 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 54x/menit
T : 38oC
SpO2 : 97 %
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal minimal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal meningkat, RBHN (+/+), wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + KDS + Leukositosis + Bronkopneumonia
P :
 O2 kanul nasal 1 Lpm
 IVFD KAEN 3A kecepatan 20x/menit mikro
 Paracetamol sirup 4 x 5 ml bila suhu ≥ 38,5oC
 Azitromisin 1 x 100 mg sirup p.o via NGT (2)
 Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) IV (1)
 Susu SGM 8 x 100 ml
 Mc (1,5 kal) 3 x 100 ml

16
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam
 Observasi BAB cair
 Observasi kalium, feses rutin

Tanggal 30 Maret 2019


S : Batuk panjang masih sering, muntah berkurang, napas cepat (+), kejang (-),
demam (+) peak 40oC
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 110 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 26 x/menit
T : 37,8oC
SpO2 : 97%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal meningkat, RBHN (+/+), wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas :akral dingin (-), CRT <2 s, ptechie (-), edema pretibial(-)
A : Probable Pertusis + KDS + Leukositosis + BP
P :
 O2 kanul nasal 1 Lpm
 IVFD KAEN 3A kec 20x/m mikro
 Paracetamol sirup 4 x 5 ml bila suhu ≥ 38,5oC
 Azitromisin 1 x 100 mg sirupp.o via NGT (3)
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) IV (2)
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam
 Susu SGM 8 x 100 ml
17
Tanggal 31 Maret 2019
S : Lama batuk panjang <1 menit, napas cepat (+), demam (+) , BAB cair (+) 3x
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 90/60 mmHg
N : 120 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 30 x/menit
T : 36,8oC
SpO2 : 98%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal meningkat, RBHN (+/+), wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas :akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + KDS + BP
P :
 O2 kanul nasal 1 Lpm
 IVFD KAEN 3A kec 20x/menit mikro
 Azitromisin 1 x 100 mg via NGT (4)
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) IV (3)
 MC (1,5 kkal) 3 x 100 ml
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam
 Susu SGM 8 x 100 ml

Tanggal 1 April 2019


S : Batuk panjang berkurang (±10x sehari), sesak sedikit berkurang
O :

18
Sensorium : compos mentis
TD : 90/60 mmHg
N : 120x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 35x/menit
T : 36,4oC
SpO2 : 98%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal meningkat, RBHN (+/+), wheezing (-/-)
Cor : Ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + Bronkopneumonia
P :
 IVFD KAEN 3A 10 gtt/menit (makro)  Stop
 Azitromisin 1 x 100 mg sirup per oral (5)
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) (4)
 Paracetamol 120 mg jika T > 38,5oC
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam

Tanggal 2 April 2019


S : Batuk panjang berkurang (±8x sehari, ±1 menit ), sesak berkurang
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 118x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 32x/menit
T : 36,5oC
SpO2 : 99%

19
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal meningkat, RBHN (+/+), wheezing (-/-)
Cor : Ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + Bronkopneumonia
P :
 IVFD KAEN 3A 10 gtt/menit (makro)  Stop
 Azitromisin 1 x 120 mg sirup per oral (3)
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) (4)
 Paracetamol 120 mg jika T > 38,5oC
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam

Tanggal 3 April 2019


S : Batuk panjang berkurang, sesak berkurang
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 120x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 32x/menit
T : 36,5oC
SpO2 : 99%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal meningkat, RBHN (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

20
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + Bronkopneumonia
P :
 Azitromisin 1 x 100 mg sirup per oral sirup (4)
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) (5)
 Paracetamol 120 mg jika T > 38,5oC
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam

Tanggal 4 April 2019


S : Batuk panjang berkurang, sesak berkurang
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 120x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 30x/menit
T : 36,8oC
SpO2 : 99%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal meningkat, RBHN (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + Bronkopneumonia
P :
 Azitromisin 1 x 120 mg sirup per oral (5)
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) (6)
 Paracetamol 120 mg jika T > 38,5oC

21
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam

Tanggal 5 April 2019


S : Batuk panjang berkurang, sesak berkurang
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 118x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 30x/menit
T : 36,2oC
SpO2 : 98%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, RBHN (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + Bronkopneumonia
P :
 Azitromisin 1x120 mg selama 5 hari (Selesai)
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) (7)
 Paracetamol 120 mg jika T > 38,5oC
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam

Tanggal 6 April 2019


S : Batuk panjang berkurang, sesak berkurang
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 110/70 mmHg

22
N : 122x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 30x/menit
T : 36,6oC
SpO2 : 98%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, RBHN (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + Bronkopneumonia
P :
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) (8)
 Paracetamol 120 mg jika T > 38,5oC
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam

Tanggal 7 April 2019


S : Batuk panjang berkurang, sesak berkurang
O :
Sensorium : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 125x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 30x/menit
T : 36,8oC
SpO2 : 99%
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (+) intercostal
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, RBHN (-/-), wheezing (-/-)

23
Cor : Ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 s, ptechie (-), edema pretibial (-)
A : Probable Pertusis + Bronkopneumonia
P :
 Injeksi Cefotaxime 3 x 350 mg (100mg/kg/hari) (9)
 Paracetamol 120 mg jika T > 38,5oC
 Observasi tanda vital dan kurva suhu per 6 jam

24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PERTUSIS
3.1.1 Pengertian
Pertusis atau whooping cough atau batuk rejan merupakan penyakit saluran
napas yang disebabkan oleh Bordetella pertussis ditandai oleh suatu sindrom yang
terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal diserta nada yang
meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir
batuk sering disertai bunyi yang khas (“whoop”)1.

3.1.2 Epidemiologi
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan Pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi
maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4. Pertusis merupakan
salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80-
100% pada penduduk yang rentan. Sebelum ditemukannya vaksin whole-cell di
Amerika Serikat pada tahun 1940, Pertusis merupakan penyakit berat dengan
mortalitas yang tinggi terutama di kalangan anak-anak dan bayi. Selama masa pra-
vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit
menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat 1,2,3,5,6. Vaksinasi
Pertusis yang luas menurunkan insiden penyakit sekitar 80%7.
Cakupan imunisasi merupakan penentu tinggi rendahnya epidemiologi
pertusis di suatu daerah karena penyakit ini sangat menular. Epidemiologi Pertusis
tinggi terutama di negara berkembang dengan cakupan imunisasi rendah. Indeks
penularan Bordetella pertussis mencapai 75-100%, yaitu jika terdapat sumber infeksi
dan kontak dengan tidak adanya kekebalan, kasus penyebarannya akan sangat luas
hingga mencapai 100%1. Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik
setiap 3-4 tahun6. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota

25
keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak
terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari1,3.
Satu kasus primer Pertusis dapat menyebabkan 17 kasus sekunder pada
subjek yang rentan, penularan terutama sering terjadi di dalam keluarga. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, reservoir utama dari patogen di alam dan sumber
infeksi adalah tubuh manusia, utamanya pada usia anak-anak 3-6 tahun. Di negara
dengan 4 musim, musim gugur dan musim dingin adalah masa penularan
meningkat8.
Saat ini Pertusis masih merupakan endemik global, walaupun dengan
adanya vaksinasi. Insiden Pertusis secara global pada tahun 2015 menurut WHO
adalah 24,1 juta kasus Pertusis, di mana 142.512 kasus berujung pada kematian.
Walaupun B. pertussis dapat ditemukan di seluruh dunia, penyebaran dan mortalitas
terdapat pada wilayah dengan cakupan imunisasi yang rendah, umumnya di negara
berkembang1,8.
Di Indonesia belum terdapat data nasional terhadap kasus Pertusis nasional,
namun pemerintah provinsi Jawa Tengah melaporkan 5 kasus antara tahun 2011-
2015. Kelimanya ditemukan hanya di tahun 2015, dengan 4 kasus ditemukan di
Kudus dan 1 kasus ditemukan di Semarang9.

3.1.3 Etiologi
Penyebab Pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius1,3. Bordetella pertussis suatu cocobasilus
gram negatif aerob minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan
yang sangat rumit dan tidak bergerak. Pada isolasi primer, bentuk kuman biasanya
uniform, tetapi setelah subkultur dapat bersifat pleomorfik. Bentuk koloni pada
biakan agar yaitu smooth, cembung, mengkilap, dan tembus cahaya. Bentuk-bentuk
filamen dan batang-batang tebal umum dijumpai. Kuman ini hidup aerob, tidak
membentuk H2S, indol serta asetilmetilkarbinol. Bakteri ini merupakan bakteri gram
negatif dan dengan pewarnaan toluidin biru dapat terlihat granula bipolar
metakromatik. Bakteri bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring

26
penderita Pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet-Gengou1. Ada
enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B.
hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertussis dan B. parapertussis adalah dua
patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi
pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin
klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertussis yang
mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan
serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah
spesifik untuk B.pertussis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.

Gambar 1. Pewarnaan Gram Bordetella


pertussis.
Sumber : CDC 2016, Pertussis (Whooping Cough) https://www.cdc.gov/pertussis/
images /gramstain.jpg

3.1.4 Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertussis
dari pasien yang batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang
yang suseptibel. Faktor yang mempengaruhi penularan adalah sanitasi, higiene
lingkungan dan pribadi yang buruk, karena penyebaran tidak langsung bisa juga
terjadi dari pasien ke lingkungan melalui sekresi respiratorius dan selanjutnya tangan
host yang baru akan mentransfer kuman ini sehingga terjadi inokulasi di traktus
respiratorius. Setelah pasien terpapar dengan bakteri Bordetella pertussis

27
patogenesis infeksi tergantung 4 langkah penting yaitu: perlekatan, pertahanan
pejamu, kerusakan lokal, dan penyakit sistemik1,10.
Infeksi dimulai dari adanya perlekatan bakteri Bordetella pertussis pada silia
dari sel-sel epitel bersilia di traktus respiratorius. Perlekatan ini difasilitasi oleh
pertactin (PRT), fimbriae 2 dan 3, Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertussis Toxin (PT) protein 69-Kd, tracheal colonization factor (TCF), dan
kemungkinan Filamentous Hemaglutinin (FHA). Setelah terjadi perlekatan,
Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan
epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertussis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena Toksin
pertusis. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi1,10.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus).
Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan
kolaps paru1,10.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung
toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang

28
reversibel, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat
menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.
Terkadang Bordetella pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena
tidak menghasilkan toksin pertusis1.

3.1.5 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-
10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea, dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Perjalanan klinis
penyakit terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium kataralis berlangsung 1-2 minggu,
stadium paroksismal atau spasmodik berlangsung 2-4 minggu, dan stadium
konvalesens selama 1-2 minggu1,11.
1. Stadium Kataralis
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-
cirinya menyerupai flu ringan:
 Bersin-bersin
 Mata berair
 Nafsu makan berkurang
 Lesu
 Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari).
2. Stadium Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) batuk
dapat mencapai 5-15 kali diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan nada tinggi.
Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir yang biasanya ditelan oleh
bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya.
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi,

29
apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan
nafas yang bernada tinggi.
3. Stadium Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan1,11.

3.1.6 Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Kasus Pertusis Menurut CDC1.
Kriteria Definisi Kasus
Kriteria Klinis Penyakit batuk yang berlangsung ≥ 2 minggu tanpa diagnosis
yang lebih mungkin disertai setidaknya satu dari berikut:
 Batuk paroksismal, atau
 Whoop inspirasi, atau
 Muntah pasca batuk, atau
 Untuk bayi, < 1 tahun, apnea (dengan atau tanpa
sianosis)
Kriteria  Isolasi B. pertussis dari spesimen klinis
Laboraturium  PCR pertussis positif
Epidemiologic Kontak dengan kasus pertussis yang terkonfirmasi
linkage laboraturium

30
Klasifikasi kasus  Penyakit batuk akut dengan durasi apapun, disertai
Pasti isolasi B. pertussis dari spesimen klinis, atau
(Confirmed)  Kriteria klinis (seperti di atas) dan PCR pertussis
positif, atau
 Kriteria klinis (seperti di atas) dan kontak dengan
kasus Pertusis yang terkonfirmasi laboraturium
Klasifikasi Kasus  Kriteria klinis (seperti di atas) tanpa konfirmasi
Probable laboraturium dan tanpa epidemiologic linkage, atau
 Untuk bayi < 1 tahun, penyakit batuk dengan jangka
waktu berapapun disertai setidaknya satu dari berikut:
o Batuk paroksismal
o Whoop inspirasi
o Muntah pasca batuk
o Apnea (dengan atau tanpa sianosis)
 Dan:
o PCR pertusis positif atau kontak dengan kasus
terkonfirmasi laboraturium

3.1.7 Diagnosis
Probable Pertusis dan Bronkopneumonia

3.1.8 Diagnosis Banding


1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia bakterialis,
cystic fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati
dengan penekanan di luar trakea dan bronkus. Pada umumnya Pertusis dapat
dibedakan dari gejala klinis dan laboraturium. Benda asing di saluran napas juga
dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan
dapatdibedakan dari pemeriksaan radiologis dan endoskopi12.
2. Infeksi Bordetella parapertussis, Bordetella bronkiseptika dan adenovirus dapat
menyerupai sindrom klinis Bordetella pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi
kuman penyebab12.

31
3.1.9 Pemeriksaan Penunjang
Pada minggu pertama dapat terjadi Leukopenia seperti gambaran infeksi
virus. Pada minggu kedua, hitung limfosit absolut >10.000. Reaksi lukomoid
ditandai dengan peningkatan leukosit 20.000-50.000 / UI dengan limfositosis absolut
khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah
leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain1,3,10.
Isolasi Bordetella pertussis dari swab nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis Pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu
berikutnya1,3,10.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabkan penyakit atau vaksinasi.
IgG Toksin Pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah Pertusis10,12.

Gambar 2.
Sumber : CDC, 2016. Optimal Timing for Diagnostic Testing Pertussis.
https://www.cdc.gov/pertussis/lab.html

32
Pemeriksaan penunjang lain yang umumnya dilakukan adalah pemeriksaan foto
thorax dengan hasil memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau emfisema.

3.1.10 Terapi
1. Agen antimikrobial yang direkomendasikan untuk terapi dan profilaksis pertusis
adalah Azitromisin, Klaritromisin, dan Eritromisin. Antibiotika golongan
makrolid diberikan bila:
 Didiagnosis pada fase kataral atau fase paroksismal awal
 Batuk kurang dari 2 minggu
 Dirawat di rumah sakit
 Terdapat komplikasi (pneumonia, apneu, sianosis).

Tabel 2. Rekomendasi antibiotik untuk terapi pertusis dan profilaksis pasca pajanan.
Kelompo Obat Pilihan Utama Alternatif
Azitromisin Eritromisin Klaritromisin TMP-SMZ
k Usia
< 1 bulan Direkomendasikan Tidak dianjurkan. Tidak Kontraindikasi
dosis tunggal 10 40-50 mg/kg per direkomendasikan untuk bayi < 2
mg/kg per hari hari dibagi dalam bulan
selama 5 hari 4 dosis selama 14
hari
1-5 bulan Dosis tunggal 10 40-50 mg/kg per 15 mg/kg per hari Kontraindikasi
mg/kg per hari hari dibagi dalam dibagi dalam 2 untuk bayi < 2
selama 5 hari 4 dosis selama 14 dosis selama 7 bulan. Untuk bayi
hari hari > 2 bulan TMP 8
mg/kg per hari,
SMZ 40 mg/kg
per hari dibagi
dalam 2 dosis
selama 14 hari
Bayi (usia Dosis tunggal 10 40-50 mg/kg per 15 mg/kg per hari TMP 8 mg/kg per
> 6 bulan) mg/kg pada hari hari (maksimum: dibagi dalam 2 hari. SMZ 40

33
dan anak pertama kemudian 2 gram per hari) dosis mg/kg per hari
5 mg/kg per hari dibagi dalam 4 (maksimum: 1 dibagi dalam 2
(maksimum: 500 dosis selama 14 gram per hari) dosis selama 14
mg) pada hari 2-5 hari selama 7 hari hari
Dewasa Dosis tunggal 500 2 gram per hari 1 gram per hari TMP 320 mg per
mg pada hari dibagi dalam 4 dibagi dalam 2 hari, SMZ 1.600
pertama kemudian dosis selama 14 dosis selama 7 mg per hari dibagi
250 mg per hari hari hari. dalam 2 dosis
pada hari 2-5 selama 14 hari.

2. Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan


batuk, mengatur hidrasi, dan nutrisi. Oksigen diberikan pada distress pernafasan
yang akut dan kronik. Sampai saat ini belum ditemukan terapi simptomatis yang
terbukti elektif untuk mengatasi batuk berat karena pertusis. Antihistamin,
immunoglobulin pertusis dan salbutamol tidak mengurangi jumlah serangan
atuk pasien pertusis.
3. Indikasi rawat inap: feeding difficulties, paroksismal dengan apneu atau
sianosis, hipoksia, distress pernafasan, komplikasi lainnya (kejang, gagal nafas).

3.1.11 Edukasi
1. Tirah baring
2. Kebutuhan cairan dan kalori terpenuhi
3. Cegah infeksi sekunder
4. Isolasi memadai
5. Hand washing
6. Pertusis merupakan peyakit yang sangat menular dan dapat menyebabkan
penyakit yang serius khususnya pada bayi yang belum divaksinasi. Transmisi
melalui droplet airborne saat batuk atau bersin. Droplet precaution dilakukan
sampai pasien menyelesaikan 5 hari terapi antibiotik efektif14.
7. Cara terbaik untuk menghindari terjangkit pertusis adalah dengan mendapatkan
vaksinasi DPT. Pasien pertusis yang belum pernah mendapatkan vaksinasi sama

34
sekali atau status imunisasi DPT nya tidak lengkap tetap harus mendapatkan
imunisasi DPT sesuai jadwal14.
8. Antibiotik profilaksis pasca pajanan diberikan kepada orang yang berisiko
tinggi untuk mengatas pertusis berat dan orang yang kontak erat dengan
individu berisiko tinggi untuk mengalami pertusis14.

3.1.12 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada berbagai macam sistem, terutama sistem respirasi
dan saraf pusat11,13 :
1. Pneumonia merupakan komplikasi paling sering. Pada 90% kasus, kematian
pada anak-anak bukan disebabkan karena B. pertussis sendiri tetapi lebih sering
karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
2. TBC laten dapat menjadi aktif.
3. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. Infeksi sekunder
terjadi dan dapat menimbulkan demam tinggi.
4. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap.
5. Kenaikan tekanan intratoraks dan intraabdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis,
prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi11,13.
6. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat
disebabkan oleh temperatur tinggi10,11.
3.1.13 Prognosis
Qua ad vitam : Dubia ad Bonam
Qua ad functionam : Dubia ad Bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad Bonam14.

35
BAB IV
ANALISIS KASUS

Anak perempuan usia 1 tahun 9 bulan didiagnosis Probable Pertusis dan


Bronkopneumonia. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala khas yang dialami
anak adalah demam tinggi, batuk panjang dengan muntah di akhir batuk, dan sesak nafas.
Alloanamnesis dari ibu pasien, anak dibawa ke rumah sakit dengan keluhan batuk dan
sesak nafas. + 2 jam SMRS anak batuk dengan lama + 1-3 menit, saat batuk anak tampak
kesulitan bernafas dan setelah batuk disertai muntah. Biasanya anak memuntahkan dahak kental
di akhir batuk namun terkadang muntah berisi susu atau makanan yang anak makan. Anak
demam sejak ± 2 minggu SMRS namun demam tidak terlalu tinggi serta batuk kronik dengan
tipe batuk tidak berdahak dan bila timbul durasinya panjang. Mulai 1 minggu SMRS suhu tubuh
anak mulai tinggi di mana saat diukur suhu tubuh anak pernah mencapai 39,2°C dengan keluhan
batuk yang serupa. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Gejala klinis yang anak alami merupakan
gejala klasik Pertusis berupa batuk paroksismal spasmodik dengan bunyi ”whoop” pada akhir
batuk dan muntah setelah batuk (post-tussive vomiting).
Pasien ini terdiagnosis dengan Probable Pertusis. Kriteria klinis dari Pertusis dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Klasifikasi Kasus Pertusis Menurut CDC1.
Kriteria Definisi Kasus
Kriteria Klinis Penyakit batuk yang berlangsung ≥ 2 minggu tanpa diagnosis yang
lebih mungkin disertai setidaknya satu dari berikut:
 Batuk paroksismal, atau
 Whoop inspirasi, atau
 Muntah pasca batuk, atau
 Untuk bayi, < 1 tahun, apnea (dengan atau tanpa sianosis)
Kriteria  Isolasi B. pertussis dari spesimen klinis
Laboraturium  PCR pertussis positif
Epidemiologic Kontak dengan kasus Pertusis yang terkonfirmasi laboraturium
linkage
Klasifikasi kasus  Penyakit batuk akut dengan durasi apapun, disertai isolasi B.

36
Pasti (Confirmed) pertussis dari spesimen klinis, atau
 Kriteria klinis (seperti di atas) dan PCR pertussis positif, atau
 Kriteria klinis (seperti di atas) dan kontak dengan kasus
Pertusis yang terkonfirmasi laboraturium
Klasifikasi Kasus  Kriteria klinis (seperti di atas) tanpa konfirmasi laboraturium
Probable dan tanpa epidemiologic linkage, atau
 Untuk bayi < 1 tahun, penyakit batuk dengan jangka waktu
berapapun disertai setidaknya satu dari berikut:
o Batuk paroksismal
o Whoop inspirasi
o Muntah pasca batuk
o Apnea (dengan atau tanpa sianosis)
 Dan:
o PCR pertusis positif atau kontak dengan kasus
terkonfirmasi laboraturium

Dari hasil anamnesis anak mengalami batuk yang berlangsung ±2 minggu dengan tipe
batuk paroksismal, whoop inspirasi, serta muntah pasca batuk. Saat ini pasien berada pada
stadium paroksismal di mana gejala klinis yang umumnya ditemukan pada anak saat ini adalah
batuk panjang 5-15 kali per hari diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan nada tinggi.
Stadium ini mulai dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) batuk. Masa inkubasi
pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8
minggu atau lebih. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea, dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak. Perjalanan klinis penyakit terdiri dari 3 stadium, yaitu
stadium kataralis berlangsung 1-2 minggu, stadium paroksismal atau spasmodik berlangsung 2-4
minggu, dan stadium konvalesens selama 1-2 minggu.
Pemeriksaan konfirmasi laboraturium pada anak belum memberikan hasil (+) Pertusis
dan pasien kontak dengan kasus Pertusis yang terkonfirmasi laboraturium belum terbukti, namun
dari anamnesis didapatkan kedua kakak pasien satu minggu sebelum anak mengeluh batuk
mengalami keluhan yang sama sehingga diperkirakan anak tertular dari kakak pasien. Selain itu,

37
daerah tempat tinggal pasien beberapa bulan terakhir ini sedang banyak muncul kasus baru
Pertusis.
Pertusis disebabkan oleh Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis, adenovirus tipe
1, 2, 3, dan 5 yang dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan
traktus urinarius. Indeks penularan Bordetella pertussis mencapai 75-100%, yaitu jika terdapat
sumber infeksi dan kontak dengan tidak adanya kekebalan. Berdasarkan informasi yang didapat
dari ibu pasien, riwayat imunisasi anak tidak lengkap di mana anak memang tidak pernah
menerima imunisasi DPT saat usia anak 2,3, dan 4 bulan. Pada penderita terdapat riwayat belum
pernah imunisasi dasar karena ketidaktahuan orang tua mengenai pentingnya imunisasi. Kedua
saudara penderita juga tidak mendapatkan imunisasi dasar sehingga lebih rentan terinfeksi
bakteri Pertusis. Baik pasien dan kedua kakak pasien akan direncanakan catch up immunization
setelah didiagnosis sembuh dari infeksi.
Pemeriksaan penunjang yang disarankan untuk pasien adalah pemeriksaan laboraturium,
pemeriksaan kultur swab nasofaring, dan pemeriksaan rontgen thoraks. Hasil laboraturium
menunjukkan bahwa terjadi Leukositosis dengan nilai leukosit 41.000/mm3 dan Limfositosis
absolut dengan nilai hasil pemeriksaan 65%. Limfositosis absolut memberikan gambaran yang
khas pada pasien Pertusis. Pada pasien juga dilakukan rontgen toraks AP/Lateral dan didapatkan
kesan corakan bronkovaskular meningkat dan infiltrat di perihiller kanan dan kiri dengan
kecurigaan suatu bronkopneumonia.
Dari hasil pemeriksaan rontgen toraks, diduga pasien juga mengalami Bronkopneumonia
yang merupakan komplikasi dari Pertusis. Pneumonia dapat menjadi manifestasi primer dari B.
pertussis atau merupakan komplikasi akibat infeksi sekunder. Infeksi primer dari Pneumonia
dikaitkan dengan peningkatan leukosit yang ekstrim yakni lebih dari 60.000 sel/mm 3. Pada
penderita tidak ditemukan peningkatan leukosit yang ekstrim sehingga infeksi primer dari
pneumonia dapat disingkirkan. Dapat disimpulkan Bronkopneumonia yang dialami pasien
dikarenakan infeksi sekunder komplikasi dari Pertusis yang pasien alami.
Pasien ditatalaksana medikamentosa dengan Azitromisin dosis tunggal 10 mg/kg BB per
hari. Berat badan anak 10,4 kg sehingga Azitromisin yang diberikan Azitromisin 1x100 mg per
oral selama 5 hari. Pemilihan antibiotik Azitromisin berdasarkan guidelines CDC 2014, pada
anak usia > 6 bulan diberikan Azitromisin dosis tunggal 10 mg/kg BB selama 5 hari. Selain itu,
diberikan juga injeksi Cefotaxim 3x350 mg intra vena selama 7 hari. Paracetamol sirup 120 mg

38
diberikan per oral apabila suhu anak > 38,5°C. Pasien mengaku mengalami perbaikan di mana
frekuensi batuk panjang sudah mulai berkurang setelah lima hari terapi menggunakan
Azitromisin per oral yang diberikan lewat NGT. Pasien juga mengaku demam sudah tidak terlalu
tinggi saat ini. Saat ini keadaan umum anak sudah perbaikan namun saat ini anak masih berada
pada stadium paroksismal sehingga klinis anak akan membaik pada stadium konvalesens pada
minggu ke 6 sampai 12 pasca infeksi sehingga diperkirakan anak akan sembuh dalam waktu
sekitar 1 bulan lagi.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention. Manual for the Surveillance of Vaccine-
Preventable Diseases. Chapter 10: Pertussis. Diakses dari:
https://www.cdc.gov/nndss/conditions/pertussis/case-definition/2014/
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children.
WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.
4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective
therapy 8 (2): 163–73.
5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember
2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.
6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of
the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics :
115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov
/pubmed/15867059.
7. Yeh S, et al. Pertussis infection in infants and children: Clinical features and diagnosis
[Artikel dari internet]. [Dikutip Oktober 2017]. Diakses melalui:
https://www.uptodate.com/contents/pertussis-infection-in-infants-and-children-clinical-
features-and-diagnosis
8. Schläpfer G, Cherry JD, Heininger U, et al. Polymerase chain reaction identification of
Bordetella pertussis infections in vaccinees and family members in a pertussis vaccine
efficacy trial in Germany. Pediatr Infect Dis J 1995; 14:209.
9. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. [Artikel
dari internet]. [Dikutip Oktober 2017]. Dapat diakses melalui:
http://dinkesjatengprov.go.id/v2015/dokumen/profil2015/Profil_2015_fix.pdf
10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri,
USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FK
UI: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-

40
566.
12. Feigin, RD, Cherry JD. Textbook of pediatric infectious disease, Vol II, edisi ke-7.
Philadelphia: WB Saunders Co, 2014, h. 1616-39.
13. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181:
960-965.
14. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Antimicrobial Agents for the
Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

15. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, Kretsinger K, Slade BA, Brown KH, et al.
Preventing tetanus, diphteria and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced
diphteria toxoid and acellular pertussis vaccine recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP) and recommendation of ACIP, supported
by the Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), for use of
Tdap among health-care personnel. MMWR Recomm Rep 2006 2006; 55:1.

41

Anda mungkin juga menyukai