Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN INKONTINENSIA URINE


DAN IMPOTENSI

Fasilitator:

Elida Ulfiana S.Kep.,Ns., M.Kep.

Disusun Oleh

Kelompok I – A2

1. Mega Kurniawati Dewi 131711133053


2. Setya Indah Hikmawati 131711133072
3. Wildan Fajrul Falah 131711133073
4. Enggar Qur’ani Ayu 131711133091
5. Nike Wahyu Nur Andini 131711133110
6. Ismatulloh Jihan Alim 131711133111
7. Joanka Delaneira 131711133147

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATMAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik dengan materi Asuhan Keperawatan
Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urine Dan Impotensi dalam bentuk makalah. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas yang diberikan oleh ibu Elida Ulfiana S.Kep., Ns. M.Kep.

Terima kasih kepada ibu Elida Ulfiana S.Kep., Ns. M.Kep sebagai dosen pengampu
yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Kami menyadari adanya kekurangan pada makalah ini. Untuk itu kritik dan saran
sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini

Semoga makalah ini, dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan bagi
pembaca. Dan apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan kiranya pembaca
dapat memakluminya. Sekian dan terima kasih.

Surabaya, 12 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
1.1. Latar Belakang........................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................5
1.3. Tujuan......................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7
2.1 Inkontinensia Urine......................................................................................7
2.2 Impotensi................................................................................................22
BAB III STUDI KASUS IMPOTENSI..............................................................36
BAB IV PENUTUP..............................................................................................48
4.1. Kesimpulan............................................................................................48
4.2. Saran.......................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................49

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Masa lanjut usia atau yang sering kita kenal dengan sebutan lansia, adalah
masa dimana semua organ tubuh mengalami penurunan fungsi. Kebanyakan pada
masa ini adalah fase dimana penyakit penyakit mulai berdatangan dengan mudah
diakibatkan oleh penurunan dan melemahnya fisiologis tubuh lansia. Diantara banyak
penyakit yang menyerang lansia ada inkontinensia urin dan impotensi. Inkontinensia
adalah keadaan dimana seseorang tidak bisa mengontrol rasa ingin pipisnya. Hal ini
terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul dan kandung kemih (detrusor) (Perry,
2009). Penurunan tonus otot dasar panggul menyebabkan kebocoran urin akibat
penekanan (Ulmsten, 1995) dalam Perry, 2009. Sedangkan impotensi sering kita
ketahui sebagai disfungsi ereksi yang ditandai oleh ketidakmampuan biasa atau
berulang untuk mendapatkan atau mempertahankan ereksi. Masalah ereksi sangat
umum terjadi , asosiasi disfungsi seksual memperkirakan bahwa 1 dari 10 pria di
Inggris mengalami masalah disfungsi ereksi ini.
Prevalensi inkontinensia urin pada wanita kurang lebih 40%, diantaranya
sudah dalam keadaaan cukup parah ketika datang berobat. Survei yang dilakukan di
berbagai Negara Asia didapatkan bahwa prevalensi inkontinensia urin adalah 14,8%
pada wanita dan 6,8% pada pria (Purnomo, 2011). Biasanya Pasien lansia berada pada
kondisi multipatologis yaitu pasien lansia yang menderita tidak hanya satu penyakit,
yang mana kaitannya ada pada obat-obatannya yang mengarah kepada impotensia
karena menurut sebuah penelitian 25% impotensia dipengaruhi oleh obat-obatan.
Obat-obatan penyebab impotensi yaitu obat anti hipertensi, obat anti depresan dan
obat tidur.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi dari inkontinensia urine ?
2. Bagaimana etiologi dari inkontinensia urine ?
3. Bagaimana klasifikasi inkontinensia urine ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari inkontinensia urine ?
5. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urine ?
4
6. Bagaimana Web of Caution inkontinensia urine ?
7. Apa saja komplikasi yang disebabkan inkontinensa urine ?
8. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urine ?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada inkontinensia urine ?
10. Bagaimana teori asuhan keperawatan inkontinensia urine ?
11. Apa definisi dari impotensi ?
12. Apa saja faktor-faktor penyebab impotensi ?
13. Bagaimana etiologi dari impotensi?
14. Bagaimana manifestasi klinis dari impotensi ?
15. Bagaimana patofisiologi impotensi ?
16. Bagaimana Web of Caution impotensi ?
17. Apa saja komplikasi yang disebabkan impotensi ?
18. Bagaimana penatalaksanaan impotensi ?
19. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada impotensi ?
20. Bagaimana teori asuhan keperawatan impotensi ?
21. Bagaimana studi kasus asuhan keperawatan pasien impotensi ?

1.3. TUJUAN
1. Mengetahui definisi dari inkontinensia urine
2. Mengetahui etiologi dari inkontinensia urine
3. Mengetahui klasifikasi inkontinensia urine
4. Mengetahui manifestasi klinis dari inkontinensia urine
5. Mengetahui patofisiologi inkontinensia urine
6. Mengetahui Web of Caution inkontinensia urine
7. Mengetahui apa saja komplikasi yang disebabkan inkontinensa urine
8. Mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urine
9. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada inkontinensia urine
10. Mengetahui teori asuhan keperawatan inkontinensia urine
11. Mengetahui definisi dari impotensi
12. Mengetahui apa saja faktor-faktor penyebab impotensi
13. Mengetahui etiologi dari impotensi
14. Mengetahui manifestasi klinis dari impotensi
15. Mengetahui patofisiologi impotensi
16. Mengetahui Web of Caution impotensi
5
17. Mengetahui apa saja komplikasi yang disebabkan impotensi
18. Mengetahui penatalaksanaan impotensi
19. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada impotensi
20. Mengetahui teori asuhan keperawatan impotensi
21. Mengetahui studi kasus asuhan keperawatan pasien impotensi ?

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inkontinensia Urine


2.1.1. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth,
2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi
dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya
(FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah
kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara
obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.
2.1.2. Etiologi Inkontinensia Urine
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji
Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh :
- Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan
penurunan otot-otot dasar panggul.
- Perokok, Minum alkohol.
- Obesitas
- Infeksi saluran kemih (ISK)
2.1.3. Klasifikasi Inkontinensia Urine
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
1. Inkontinensia Dorongan

7
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat untuk berkemih.
2. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
3. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin
kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
4. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin
yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila
volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
5. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
2.1.4. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1. Inkontinensia Dorongan
- Sering miksi
- Spasme kandung kemih
2. Inkontinensia total
- Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
- Tidak ada distensi kandung kemih.
- Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3. Inkontinensia stres
- Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
- Adanya dorongan berkemih.
- Sering miksi.
- Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4. Inkontinensia refleks
- Tidak dorongan untuk berkemih.
- Merasa bahwa kandung kemih penuh.

8
- Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada
interval.
5. Inkontinensia fungsional
- Adanya dorongan berkemih.
- Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
2.1.5. Patofisiologi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika
Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal
sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara
150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan
berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada
otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal
relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir
semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua
urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap
adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya
retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah
terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia,
terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-
otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran
kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas
berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung
kemih bocor bila batuk atau bersin.

9
2.1.6. Web of Caution Inkontinensia Urine

10
2.1.7. Komplikasi pada Inkontinensia Urine

Komplikasi yang dapat terjadi pada lansia dengan inkontinensia urin


diantaranya:

1. Infeksi saluran kemih (ISK)


2. Iritasi pada kulit disekitar meatus uretra
3. Decubitus
3.1.8. Penatalaksanaan Inkontinensia Urine
1. Latihan kandung kemih dan terapi perilaku (bladder training), meliputi:
- Pasien diminta untuk berkemih (prompted voiding). Tindakan
ini bertujuan untuk meningkatkan keinginan pasien untuk berkemih
secara baik dan diharapkan dapat menurunkan frekuensi
inkontinensia urin. Terapi ini menjadi tidak efektif dan sebaiknya
tidak digunakan pada pasien yang tidak dapat mengingat namanya
sendiri atau pada pasien yang memerlukan bantuan lebih dari satu
orang untuk bergerak.
- Melatih kebiasaan berkemih pasien (habit training). Sebelum
melakukan terapi ini, perlu diidentifikasi pola berkemih pasien,
termasuk waktu terjadinya inkontinensia urin, biasanya
menggunakan catatan harian berkemih.
- Berkemih terjadwal. Pasien diharuskan berkemih dengan pola
yang tetap, misalnya 3 jam sekali. Tindakan ini merupakan
tindakan pasif karena tidak dapat mengubah pola berpikir ataupun
perilaku pasien dan tidak dapat membentuk pola berkemih bagi
pasien.
- Kombinasi latihan fisik dan latihan menjaga kebersihan diri
(toileting). Functional Intervention Training (FIT)
mengkombinasikan latihan kekuatan dan ketahanan fisik (misalnya
duduk-berdiri, latihan otot bisep) bersamaan dengan latihan
berkemih yang dibantu oleh pengasuh. Pada pasien geriatric
wanita, kombinasi latihan otot dasar panggul, bladder training, dan
perubahan gaya hidup, dapat menurunkan kejadian inkontinensia
urin.
-

11
2. Latihan otot dasar panggul (Kegel)
Adalah latihan dalam bentuk seri untuk membangun kembali kekuatan
otot. Dasar latihan adalah kontraksi otot dan relaksasi otot, menghasilkan
otot dasar panggul menjadi kuat serta memberikan manfaat diantaranya:
- Mengurangi frekuensi miksi
- Mengurangi frekuensi inkontinensia urin
- Mengurangi volume urin pada inkontinensia urin
Latihan ini pertama kali dicetuskan oleh Arnold Kegel pada tahun
1948. Cara melakukan latihan kegel/kontraksi otot dasar panggul antara lain:
a. Pasien diminta seolah-olah akan flatus, dan mencoba menahannya,
agar angin tidak keluar
b. Melakukan “stop test” yaitu membayangkan sedang miksi, dan
seketikan menghentikan pancaran urin
c. Pasien diminta merasakan bahwa dua kegiatan di atas, ia
merasakan otot bawah seolah berkumpul di tengah dan anus
terangkat serta masuk ke dalam
d. Ajarkan pasien untuk meraba gerakan tersebut, sehingga ia yakin
bahwa gerakannya benar.
Terdapat dua jenis kontraksi yang dapat dilakukan antara lain:
- Kontraksi cepat
Kontraksi – relaks – kontraksi – relaks, dan seterusnya dengan
hitungan cepat.
- Kontraksi lambat
Tahan kontraksi 3-4 detik, dengan cara menghitung 101, 102, 103,
104 untuk kontraksi dan 101, 102, 103, 104 untuk relaks, untuk
kembali kontraksi dan 3-4 detik, relaks lagi dan seterusnya.
Hitungan 101, 102 dan seterusnya adalah untuk memastikan
hitungan detik dengan benar. Cara ini untuk menghindari pasien
berhitung terlalu cepat, misalnya 1, 2, 3, 4.
3. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan anato
mi seperti prolapse uterus berat atau relaksasi pelvik.
4. Indwelling kateter, jika retensi urin tidak dapat dikoreksi secara medis (pe
mbedahan) dan untuk kenyamanan klien terakhir.

12
5. Penggunaan pads/popok
6. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis pada pasien geriatric harus dimulai dari dosis
terendah dan dititrasi secara perlahan dengan evaluasi berkala. Terapi
dapat dihentikan setelah didapatkan hasil yang diharapkan atau terjadi efek
samping.
Berikut pilihan terapi farmakologis inkontinensia urin pada pasien usia
lanjut

13
3.1.9. Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine

1. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
2. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot detrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.
4. Urografi eksretorik disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
5. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur
uretra, dan tahap gangguan uretra prostatic stenosis (pada pria).
6. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada pria,
membantu diagnosis struktur dan obstruksi orifisium uretra.
7. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter
urinarius eksternal.
8. Pemeriksaan rectum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran
prostat atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertrofi prostat jinak atau
infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang
mungkin dapat menyebabkan inkontinensia.
9. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam
kandung kemih.

9.1.8. Asuhan Keperawatan Teori Inkontinensia Urine


1. Pengkajian
a) Anamnesa
 Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, st
atus perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alama
t, diagnose medis.

14
 Keluhan utama
Keluhan pada inkontinensia urin adalah nokturia, dysuria, p
olyuria, oliguria.
 Riwayat penyakit sekarang
Perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan sampai u
saha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
 Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK yang berul
ang dan penyakit kronis yang pernah diderita.
 Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang m
enderita penyakit inkontinensia urin, DM, dan hipertensi.
b) Pemeriksaan Fisik
 B1 (breathing)
Kaji adanya gangguan pada pola napas, sianosis karena supl
ai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pa
da perkusi.
 B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung
dan gelisah.
 B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh.
 B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, dan banyaknya urin. Biasa
nya berbau menyengat karena adanya aktivitas mikroorgani
sme dalam kandung kemih. Serta disertai keluhan keluarnya
darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supr
a pubik, lesi pada meatus uretra, dysuria akibat infeksi, dan
apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri pada daerah supra pubik atau pelvis,
seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dap
at juga diluar waktu kencing.

 B5 (bowel)
15
Peningkatan atau penurunan bising usus, adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi dan palpasi pada
ginjal.
 B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan eks
tremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
2. Diagnosa Keperawatan Inkontinensia Urine
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan
kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
b. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi
konstan oleh urine
c. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat
d. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan pada citra tubuh
3. Rencana Keperawatan & Kriteria Hasil pada Pasien Inkontinensia
Diagnosa Outcame (SLKI) Intervensi (SIKI)
Gangguan eliminasi Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri: BAB/BAK
urine berhubungan tindakan keperawatan (1.11349) :
dengan tidak adanya selama 3 x 24 jam, Obeservasi :
sensasi untuk berkemih diharapankan eliminasi - Identifikasi kebiasaan BAK sesuai
dan kehilangan urine klien membaik, usia.
kemampuan untuk dengan Kriteria Hasil : - Monitor integritas kulit pasien.
menghambat kontraksi Eliminasi Urine Terapeutik :
kantung kemih (L04034) - Suka pakaian yang diperlukan untuk
1. Sensasi berkemih memudahkan eliminasi.
meningkat (5) - Dukungan penggunaan
2. Desakan toilet/commode/pispot/urinal secara
berkemih konsisten.
(urgensi) - Jaga privasi selama eliminasi.
menurun (5) - Ganti pakaian pasien setelah
3. Nokturia eliminasi, jika perlu
menurun(5) - Bersihkan alat bantu BAK setelah
4. Mengompol digunakan.
menurun (5) - Latih BAK sesuai jadwal, jika perlu.

16
- Sediakan alat bantu (mis. Kateter
eksternal, urinal, jika perlu)
Edukasi :
- Anjurkan BAK secara rutin
- Anjurkan ke kamar, mandi/toilet, jika
perlu.
Manajemen Eliminasi Urine : (1.04152)
Observasi :
- Identifikasi tanda dan gejala
inkontinensia urine.
- Identifikasi faktor yang menyebabkan
inkontinensia urine
- Monitor eliminasi urine ( mis.
Frekuensi, konsisten, aroma, volume,
dan warna)
Terapeutik :
- Catat waktu dan haluaran berkemih
- Batasi asupan cairan, jika perlu.
Edukasi :
- Ajarkan tanda dan gejala infeksi
saluran kemih
- Ajarkan mengukur asupan cairan dan
haluaran urine
- Ajarkan tanda mengenali berkemih
dan waktu yang tepat untuk berkemih.
- Ajarkan terapi modalitas penguatan
otot-otot panggul/berkemihan.
- Anjurkan minum yang cukup, jika
tidak ada kontraindikasi.
- Anjurkan mengurangi minum
menjelang tidur.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra,
jika perlu.
17
Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan Edukasi Pencegahan Infeksi : (1.12406) :
dengan inkontinensia, tindakan keperawatan Observasi :
imobilitas dalam waktu selama 3 x 24 jam, - Periksa kesiapan dan kemampuan
yang lama diharapkan risiko infeksi menerima informasi
klien menurun dengan, Terapeutik :
Kriteria Hasil : - Siapkan materi, media tentang faktor-
Tingkat Infeksi faktor penyebab, cara identifikasi dan
(L.14137) pencegahan risiko infeksi di rumah
1. Kebersihan sakit maupun di rumah yang
badan meningkat disebabkan inkontenensia urine
(5) - Jadwalkan waktu yang tepat untuk
2. Kemerahan memberikann pendidikan kesehatan
menurun (5) sesuai kesepakatan dengan pasien dan
keluarga.
- Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi :
- Jelaskan tentang faktor-faktor
penyebab, cara identifikasi dan
pencegahan risiko infeksi di rumah
sakit maupun di rumah yang
disebabkan inkontenensia urine
- Anjurkan mengikuti tindakan
pencegahan sesuai kondisi
- Anjurkan kecukupan nutrisi, cairan
dan istirahat
- Ajarkan cara mencuci tangan

Risiko gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit (1.11353)


kulit berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi
irigasi kontras oleh urine selama 3 x 24 jam, - Identifikasi penyebab gangguan
diharapkan integritas integritas kulit yang disebabkan
kulit dan jaringan inkontenensia
meningkat dengan, Terapeutik
Kriteria Hasil : - Bersihkan perineal dengan air hangat

18
Integritas Kulit dan - Gunakan produk berbahan
Jaringan (L.14125) ringan/alami dan hipoalergik pada
1. Kerusakan kulit sensitif
jaringan menurun Edukasi
(5) - Anjurkan minum air yang cukup
2. Kerusakan - Anjurkan meningkatkan asupan
lapisan kulit nutrisi
menurun (5) - Anjurkan meningkatkan asupan buah
3. Kemerahan dan sayur
menurun (5) - Anjurkan mandi dan menggunakan
4. Suhu kulit sabun secukupnya.
membaik (5)

Harga diri rendah Setelah dilakukan Manajemen Perilaku (1.12463)


berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi :
perubahan pada citra tubuh selama 3 x 24 jam, - Identifikasi harapan untuk
diharapkan harga diri mengendalikan perilaku.
klien meningkat dengan, Terapeutik :
Kriteria Hasil : : - Jadwalkan kegiatan terstruktur.
Harga Diri (L. 09069) - Ciptakan dan pertahankan lingkungan
dan kegiatan perawatan konsisten
1. Penilaian diri - Bicara dengan nada rendah dan
positif meningkat tenang
- Lakukan pengalihan terhadap sumber
(5) agitasi.
2. Penerimaan - Cegah perilaku pasif dan agresif
penilaian positif - Beri penguatan positif terhadap
terhadap diri pengendalian perilaku
sendiri positif Edukasi
meningkat (5) - Informasikan keluarga bahwa
3. Kontak mata keluarga sebagai dasar pembentukan
meningkat (5) kognitif
4. Perasaan malu Promosi Citra Tubuh (1.09305)
menurun (5) Observasi :

19
- Identifikai harapan citra tubuh
berdasarkan tahap perkembangan
- Identifikasi budaya, agama, jenis
kelamin dan umur terkait citra tubuh
- Identifikasi perubahan citra tubuh
yang mengakibatkan isolai sosial
- Monitor frekuensi pernyataan kritik
terhadap diri sendiri
Terapeutik
- Diskusikan perubahan tubuh dan
fungsinya terutama pada sistem
perkemihan
- Diskusikan perubahan akibat penuaan
- Diskusikan kondisi stres yang
mempengaruhi citra tubuh
- Diskusikan cara mengembangkan
harapan citra tubuh secara realistis.
- Diskusikan persepsi pasien dan
keluarga tentang perubahan citra
tubuh
Edukasi
- Jelaskan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh
- Anjurkan mengungkapkan gambaran
diri terhadap citra tubuh.

2.2. IMPOTENSI

2.2.1. Definisi Impotensi

20
21
Disfungsi ereksi ialah suatu keadaan di mana ereksi penis tidak dapat
dicapai atau dipertahankan untuk melakukan hubungan seksual. Kondisi ini
dahulu dikenal dengan istilah impotensi seksual, yang sebenarnya merujuk
pada berbagai masalah seksual yang berkaitan dengan gangguan pada libido,
gangguan ejakulasi, serta gangguan orgasme.

Disfungsi ereksi dapat dedefinisikan sebagai suatu ketidakmampuan


untuk ereksi atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan
hubungan seksual yang memuaskan, yang menetap atau berulang paling tidak
selama 3 bulan berturut-turut. Disfungsi ereksi merupakan istilah yang saat ini
sering dipergunakan sebagai pengganti istilah impotensi. Tampaknya,
perubahan istilah impotensi menjadi disfungsi ereksi dimaksudkan untuk
menekankan pada ketidakmampuan mencapai dan mempertahankan ereksi
penis yang cukup untuk suatu hubungan seksual yang memuaskan.

Gangguan fungsi ereksi ini sudah sejak lama merupakan penyebab


masalah pada pria dan juga wanita pasangannya. Pada dasarnya disfungsi
ereksi merupakan suatu gangguan kesehatan di mana terdapat
ketidakmampuan seorang pria untuk ereksi atau mempertahankan ereksi dalam
waktu yang cukup untuk mengadakan hubungan seksual yang memuaskan.
Dilihat dari kapan timbulnya disfungsi ereksi dapat dibagi menjadi disfungsi
ereksi primer dan sekunder. Disfungsi ereksi yang sekunder, secara praktis
dapat dibagi lagi menjadi disfungsi ereksi yang sifatnya sementara dan yang

22
sifatnya permanen. Oleh karena ada yang bersifat sementara, maka definisi
dari disfungsi ereksi haruslah tepat.

2.2.2. Faktor-Faktor Penyebab Impotensi

Disfungsi ereksi dapat diakibatkan oleh karena faktor psikis dan faktor
organik.

1. Penyebab-penyebab yang bersifat psikis


Adalah semua faktor dalam periode kehidupan mulai dari anak hingga usia
dewasa. Faktor-faktor dalam kehidupan ini dapat dikelompokkan menjadi
faktor predisposisi, faktor presipitasi, dan faktor pembinaan.
a. Faktor Predisposisi
Beberapa hal yang tergolong faktor predisposisi adalah :
 Pandangan negatif tentang seks
 Trauma seks, pendidikan tentang seks yang kurang
 Hubungan keluarga yang terganggu
 Tipe kepribadian.
b. Faktor Presipitasi
Keadaan yang tergolong dalam faktor presipitasi antara lain adalah :
 Akibat psikis karena penyakit atau gangguan fisik
 Proses penuaan
 Ketidaksetiaan terhadap pasangan
 Harapan yang berlebihan
 Depresi
 Kecemasan
 Kehilangan pasangan atau yang dikenal sebagai widower’s
syndrome.
c. Faktor pembinaan
Sedangkan hal yang tergolong faktor pembinaan adalah :
 Pengaruh pengalaman sebelumnya
 Hilangnya daya tarik pasangan
 Komunikasi yang tidak baik dan takut yang berkaitan dengan
keintiman.
2. Penyebab yang bersumber dari faktor organic
23
Dapat dikelompokkan menjadi faktor hormon misalnya kadar hormon
prolaktin yang meningkat dan kadar hormon tiroid yang rendah, faktor
saraf misalnya gangguan pada faktor saraf parasimpatetik dan bagian otak
yang mengontrol sekresi, faktor pembuluh darah arteri misalnya trauma
pada pembuluh darah arteri, dan faktor pembuluh darah vena misalnya
kerusakan dinding pembuluh darah vena. Faktor organik lainnya yaitu obat
psikotropik, antidepresan, anti-hipertensi, hormon antikolinergik, dan zat-
zat psikoaktif lainnya seperti alkohol, amfetamin, nikotin dan kanabis.
2.2.3. Etiologi Impotensi
Disfungsi ereksi merupakan suatu kelainan dengan penyebab
multifaktorial. Berdasarkan penjelasan sebelumnya tentang anatomi,
persarafan, dan fisiologis ereksi, dapatlah dimengerti bahwa setiap faktor yang
mengganggu mekanisme ereksi yang normal, mulai dari tingkat pusat di
hipotalamus dan kelenjar pinealis (sebagai tempat awal penerimaan
rangsangan yang berasal dari pikiran/psikis maupun yang berasal dari panca
indera) sampai pada organ penis itu sendiri, dapat menimbulkan gangguan
pada ereksi penis. Dengan demikian ketidakmampuan seorang pria untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi dapat merupakan hasil akhir dari
berbagai kondisi. Secara garis besar penyebab disfungsi ereksi dapat dibagi
dalam dua kelompok utama yaitu organik dan psikogenik.
Selain pembagian tersebut ada juga yang membaginya ke dalam tipe
vaskulogenik dan nonvaskulogenik. Tipe vaskulogenik dihubungkan dengan
penyebab organik (vaskular) sedangkan tipe non vaskulogenik dikaitkan
dengan penyebab psikogenik dan neurogenik. Pada kenyataannya, sampai
sekarang dikotomi antara penyebab organik di satu sisi dan penyebab
psikogenik dan neurogenik di sisi yang lain sukar dilakukan karena adanya
kaitan yang erat di antara kedua kelompok penyebab tersebut. Dengan kata
lain, disfungsi ereksi akibat faktor organik selalu dikaitkan dengan faktor
psikogenik, demikian pula sebaliknya. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan
adanya kasus-kasus disfungsi ereksi organik yang manifestasinya lebih berat
dari pada kenyataan sebenarnya akibat peranan faktor psikogenik yang
menyertainya.
2.2.4. Manifestasi Klinis Impotensi

24
Manifestasi kliniknya dapat berpengaruh secara emosional seperti
depresi, ansietas atau malu. Perkawinan terganggu dan menghindari
keintiman. Kepatuhan terhadap pengobatan juga menjadi masalah. (Lee M,
2005)

Manisfestasi klinis dari disfungsi ereksi yaitu  Pasien yang mengalami


disfungsi ereksi tidak dapat mengalami ereksi sehingga akan mengalami
gangguan seksual yang berdampak pada psikologi penderita disfungsi ereksi
dimana pasien cenderung merasa malu , mengucilkan diri, depresi, bahkan
timbul rasa ingin bunuh.
Secara umum manifestasi klinis dari disfungsi ereksi yaitu :
a. Umum ( general)
1) Perubahan emosi
2) Depresi
3) Kecemasan
4) Kesulitan dalam perkawinan dan menghindari keintiman seksual
5) Timbul ketidakpatuhan pasien, akibat pengobatan penyakit yang
mengakibatkan disfumgsi ereksi.
b. Gejala
Impotensi atau ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual.
2.2.5. Patofisiologi Impotensi
Impotensi dapat disebabkan oleh fisiologis dan psikis, namun banyak
pria yang menderita impoten karena gabungan dari kedua faktor tersebut.
Mereka merasa malu untuk menceritakan masalah ini kepada orang lain
bahkan terkadang masalah tersebut disimpan sendiri hingga penyebab
fisiologis kerap kali dibarengi oleh masalah psikis.
Faktor fisiologis penyebab impotensi antara lain:
1) Gangguan aliran darah (hipertensi, diabetes, dan penyakit peyronie/
terbentuknya jaringan parut pada penis)
2) Gangguan persyarafan (cidera tulang belakang, pasca pembedahan
daerah panggul, rusaknya persyarafan akibat penyakit kelamin.
3) Gangguan hormonal (disfungsi testis, penyakit ginjal, liver, dan pecandu
alcohol)
4) Obat – obatan (antihipertensi, antidepresi, alcohol, heroin, nikotin/rokok)

25
Faktor psikis penyebab impotensi antara lain:

a) Stress
b) Depresi
c) Kecemasan
d) Informasi yang keliru mengenai seks.

Mekanisme terjadinya ereksi merupakan rangkaian fisiologi, dan psiskis


yang kompleks yang melibatkan hormone dan syaraf. Ereksi ini dimulai dari
rangsangan yang berhubungan dengan libido. Selanjutnya rangsangan erotic
ini akan menyebabkan pelepasan didaerah dinding pembuluh darah penis,
zat tersebut akan merangsang enzim guanilat siklase sehingga akan
meningkatkan kadar siklik guanisin monofosfat (cGMP) dan zat inilah yang
dengan suatu rangkaian fisiologis tertentu akan menyebabkan ereksi.
Mekanisme ereksi sendiri terdiri dari beberapa fase yaitu fase permulaan
dalam keadaan lemas (flaccid), fase pengisian darah (pembesaran), fase
ereksi (tegak), dan fase rigid (tegak dan keras). Sesudah itu terjadi lagi fase
detumensensi (pelemasan kembali). Begitu kompleksnya mekanisme yang
menyebabkan ereksi ini, maka kelebihan atau kekurangan suatu zat ataupun
fungsi suatu organ dapat menyebabkan impotensi

Ereksi merupakan hasil dari suatu interaksi yang kompleks dari faktor
psikologik, neuroendokrin dan mekanisme vaskular yang bekerja pada
jaringan ereksi penis. Organ erektil penis terdiri dari sepasang korpora
kavernosa dan korpus spongiosum yang ditengahnya berjalan urethra dan
ujungnya melebar membentuk glans penis. Korpus spongiosum ini terletak
di bawah kedua korpora kavernosa. Ketiga organ erektil ini masing-masing
diliputi oleh tunika albuginea, suatu lapisan jaringan kolagen yang padat,
dan secara keseluruhan ketiga silinder erektil ini di luar tunika albuginea
diliputi oleh suatu selaput kolagen yang kurang padat yang disebut fasia
Buck. Di bagian anterior kedua korpora kavernosa terletak berdampingan
dan menempel satu sama lain di bagian medialnya sepanjang 3/4 panjang
korpora tersebut. Pada bagian posterior yaitu pada radix krura korpora
kavernosa terpisah dan menempel pada permukaan bawah kedua ramus
iskiopubis. Korpora kavernosa ini menonjol dari arkus pubis dan
membentuk pars pendularis penis. Permukaan medial dari kedua korpora

26
kavernosa menjadi satu membentuk suatu septum inkomplit yang dapat
dilalui darah. Radix penis bulbospongiosum diliputi oleh otot
bulbokavernosus sedangkan korpora kavernosa diliputi oleh otot
iskhiokavernosus (Henwood J, 1999).

Jaringan erektil yang diliputi oleh tunika albuginea tersebut terdiri dari
ruang-ruang kavernus yang dapat berdistensi. Struktur ini dapat
digambarkan sebagai trabekulasi otot polos yang di dalamnya terdapat suatu
sistim ruangan yang saling berhubungan yang diliputi oleh lapisan endotel
vaskular dan disebut sebagai sinusoid atau rongga lakunar. Pada keadaan
lemas, di dalam korpora kavernosa terlihat sinusoid kecil, arteri dan arteriol
yang berkonstriksi serta venula yang yang terbuka ke dalam vena emisaria.
Pada keadaan ereksi, rongga sinusoid dalam keadaan distensi, arteri dan
arteriol berdilatasi dan venula mengecil serta terjepit di antara dinding-
dinding sinusoid dan tunika albuginea. Tunika albuginea ini pada keadaan
ereksi menjadi lebih tipis. Glans penis tidak ditutupi oleh tunika albuginea
sedangkan rongga sinusoid dalam korpus spongiosum lebih besar dan
mengandung lebih sedikit otot polos dibandingkan korpus kavernosus.

Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatik dan


simpatik) serta persarafan somatik (sensoris dan motoris). Serabut saraf
parasimpatik yang menuju ke penis berasal dari neuron pada kolumna
intermediolateral segmen kolumna vertebralis S2-S4. Saraf simpatik berasal
dari kolumna vertebralis segmen T4–L2 dan turun melalui pleksus preaortik
ke pleksus hipogastrik, dan bergabung dengan cabang saraf parasimpatik
membentuk nervus kavernosus, selanjutnya memasuki penis pada
pangkalnya dan mempersarafi otot-otot polos trabekel. Saraf sensoris pada
penis yang berasal dari reseptor sensoris pada kulit dan glans penis bersatu
membentuk nervus dorsalis penis yang bergabung dengan saraf perineal lain
membentuk nervus pudendus. Kedua sistem persarafan ini
(sentral/psikogenik dan periferal/ refleksogenik) secara tersendiri maupun
secara bersama-sama dapat menimbulkan ereksi.

Sumber pendarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang


kemudian menjadi arteri penis komunis dan kemudian bercabang tiga
menjadi arteri kavernosa (arteri penis profundus), arteri dorsalis penis dan

27
arteri bulbouretralis. Arteri kavernosa memasuki korpora kavernosa dan
membagi diri menjadi arteriol-arteriol helisin yang bentuknya seperti spiral
bila penis dalam keadaan lemas. Dalam keadaan tersebut arteriol helisin
pada korpora berkontraksi dan menahan aliran darah arteri ke dalam rongga
lakunar. Sebaliknya dalam keadaan ereksi, arteriol helisin tersebut
berelaksasi sehingga aliran darah arteri bertambah cepat dan mengisi
rongga-rongga lakunar. Keadaan relaksasi atau kontraksi dari otot-otot polos
trabekel dan arteriol menentukan penis dalam keadaan ereksi atau lemas
(Feldman HA, 1994).

Selama ini dikenal adrenalin dan asetilkolin sebagai neurotransmiter pada


sistem adrenergik dan kolinergik, tetapi pada korpora kavernosa ditemukan
118 adanya neurotransmiter yang bukan adrenergik dan bukan pula
kolinergik (non adrenergik non kolinergik = NANC) yang ternyata adalah
nitric oxide/NO. NO ini merupakan mediator neural untuk relaksasi otot
polos korpora kavernosa. NO menimbulkan relaksasi karena NO
mengaktifkan enzim guanilat siklase yang akan mengkonversikan guanosine
triphosphate (GTP) menjadi cyclic guanosine monophosphate (cGMP).
cGMP merangsang kalsium keluar dari otot polos korpora kavernosa,
sehingga terjadi relaksasi. NO dilepaskan bila ada rangsangan seksual.
cGMP dirombak oleh enzim phosphodiesterase (PDE) yang akan
mengakhiri/ menurunkan kadar cGMP sehingga ereksi akan berakhir. PDE
adalah enzim diesterase yang merombak cyclic adenosine monophosphate
(cAMP) maupun cGMP menjadi AMP atau GMP. Ada beberapa isoform
dari enzim ini, PDE 1 sampai PDE7. Masing-masing PDE ini berada pada
organ yang berbeda. PDE5 banyak terdapat di korpora kavernosa (Boolell
M, 1996).

28
2.2.6. Web of Caution Impotensi

Psikogenik Organik
Iastrogenik

Ansietas, depresi Neurogenik: Endokrinologi


Vaskulogenik: k: Peningkatan
Peningkatan masalah Trauma,
DM, HT, Hiperprolakti masalah saat
saat berhubugan multiple
hiperkalemia, nemia, berhubugan
seksual sklerosis,
merokok hipogonad, seksual
operasi pelvis,
lesi duktus penyakit
Tidak ada tiroid
ketertarikan terhadap intervertebralis
Aliran darah Obat-obatan :
pasangan
ke pembuluh Masalah  Golongan mayor
darah arteri Kerusakan Hormonal Tranquilizer
penis tidak serabut saraf  Antikolinergik
lancar nervus  Anti Androgen
Hipotestosteron
cavernosa  Beberapa
Penurunan golongan Anti
volume darah Libido menurun Hipertensi
dalam corpus
 Anti Depresan
cavernosa
 Ansiolitik
Tidak ada  Obat-obat
Sinusoid tidak stimulus saraf
dapat Psikotropik
membesar

Depresi Sistem
saraf pusat

otot polos kavernosa (trabekel) tidak dapat berkontraksi


29

Tidak mampu ereksi


2.2.7. Komplikasi yang Dapat Terjadi pada Impotensi

Impotensi atau disfungsi ereksi adalah masalah kesehatan seksual yang


dapat terjadi pada banyak pria. Pada umumnya, tidak ditemukan komplikasi
impotensi yang berimbas pada kesehatan fisik di luar dari organ reproduksi.

Kualitas kesehatan fisik pasien impotensi tetap seperti biasanya. Para


pasien tidak akan mengeluhkan sakit di bagian tubuh lainnya. Hanya saja, ada
beberapa komplikasi dari impotensi yang meliputi kehidupan psikologis
pasiennya.

Berikut adalah beberapa komplikasi impotensi yang disebabkan karena


gangguan seksualitas ini tidak segera ditangani dengan baik:

 Mudah merasa rendah diri atau kehilangan kepercayaan diri


 Kehidupan seks yang memburuk dari waktu ke waktu
 Permasalahan dalam kehidupan pernikahan dengan pasangan
 Stres
 Depresi
 Kegelisahan
 Ketidakmampuan untuk mendapatkan keturunan

Faktor resiko impotensi lainnya bisa merupakan sebuah peringatan


terhadap masalah pada jantung, yakni arteriosklerosis, yang merupakan
penyempitan pembuluh darah yang dapat menyebabkan penyakit jantung.

Tidak hanya itu saja, komplikasi impotensi memang tidak terlalu


membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan keluarga. Namun,
faktor resiko impotensi ini bisa meningkat drastis karena beberapa hal, salah
satunya adalah jika Anda merupakan pasien dengan kondisi diabetes.

2.2.8. Penatalaksanaan Impotensi

Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual adalah sebagai berikut:

1. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual


2. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
3. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual

30
4. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari
pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex
theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani).

Penanganan disfungsi ereksi dengan farmakologi dan bedah dibagi


menjadi 3 lini terapi, yaitu:

1. Terapi lini pertama


Terapi lini pertama yaitu memberi oral pada pasien. Untuk tahap ini,
Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan telah mengizinkan tiga jenis
obat yang beredar di Indonesia, masing-masing dikenal dengan jenis obat
a. Sildenafil (viagra),  
b. Tadalafil (Cialis) dan
c. Vardenafil (Levitra).
Ketiga jenis obat ini merupakan obat untuk menghambat enzim
Phosphodiesterase-5 (PDE-5), suatu enzim yang terdapat di organ penis
dan berfungsi untuk menyelesaikan ereksi penis. Sedangkan farmakologi
topikal dapat digunakan pada penderita yang tidak dapat mengkonsumsi
obat penghambat PDE 5. Obat topikal dioleskan pada kulit batang penis
dan glans penis. Beberapa agen yang biasa digunakan adalah solusio
minoksidil, nitrogliserin dan gel papaverin.
2. Terapi lini kedua
Pada terapi lini kedua yang terdiri dari suntikan intravernosa dan
pemberian alprostadil melalui uretra. Terapi suntikan intrakarvenosa yang
digunakan adalah penghambat adrenoreseptor dan prostaglandin. Prinsip
kerja obat ini adalah dapat menyebabkan relakasasi otot polos pembuluh
darah dan karvenosa yang dapat menyebabkan ereksi. melakukan
penyuntikan secara entrakavernosa dan pengobatan secara inraurethra
yang memasukkan gel ke dalam lubang kencing. Pasien dapat melakukan
sendiri cara ini setelah dilatih oleh dokter.
3. Terapi lini ketiga
Terapi lini ketiga yaitu implantasi prosthesis pada penis. Tindakan ini
dipertimbangkan pada kasus gagal terapi medikamentosa atau pada pasien
yang menginginkan solusi permanen untuk masalah disfungsi ereksi.

31
Terdapat 2 tipe prosthesis yaitu semirigid dan inflatable. Tindakan ini
sudah  banyak dilakukan di luar negeri namun di Indonesia belum ada.

2.2.9. Pemeriksaan Penunjang Impotensi

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis ED antara


lain: kadar serum testosteron pagi hari (perlu diketahui, kadar ini sangat
dipengaruhi oleh kadar luteinizing hormone). Pengukuran kadar glukosa dan
lipid, hitung darah lengkap (complete blood count ), dan tes fungsi ginjal.

2.2.10. Asuhan Keperawatan Teori Impotensi

1. Pengkajian
 Identitas klien :  Nama, umur, agama, alamat asal, status perkawinan,
jenis kelamin, dan tanggal pengkajian.
 Data Keluarga :  Nama, hubungan, pekerjaan, dan alamat
 Status kesehatan sekarang : Riwayat penyakit yang harus dikaji yaitu
keluhan utama yang berkaitan dengan riwayat penyakit kronik, obat-
obatan, adanya operasi, trauma, inflamasi prostat, gangguan hormonal,
atau penyakit saraf lainnya.
 Age Related Changes (Perubahan terkait proses penuaan)
 Fungsi fisiologis: Keadaan umum klien mudah lelah, Sistem
reproduksi (laki-laki) mengalami impotensi
 Potensi pertumbuhan psikososial dan spiritual: Psikososial :
mengalami kecemasan, malu tidak bisa memuaskan  pasangannya.
Spiritual : aktivitas ibadah tetap dilakukan, dan tidak ada hambatan.
 Risk Factor  (Faktor Risiko)
 Kondisi patologis: adanya faktor fisik seperti gangguan vaskuler.
 Psikologis: stres (ingin beraktivitas seksual namun tidak bisa ereksi)
 Efek penggunaan obat-obatan: jenis pengobatan dan efek samping
obat
 Pengetahuan : klien kurang mengetahui tentang kesehatan terutama
yang berhubungan dengan seksualitas.
 Negative Functional Consequences:
 Peningkatan kerentanan faktor risiko: menghindari faktor-faktor
pencetus impotensi dan melakukan pengobatan.  

32
 Penurunan kesehatan dan fungsi tubuh:
GDS: untuk skrining status mental dari lansia. Impotensi pada lansia
dapat menimbulkan efek depresi dan psikosis.
Fungsi sosial lansia: pada lansia dengan impotensi, fungsi sosial
lansia dapat terganggu karena merasa malu jika iketahui oleh orang
lain
 Penurunan kualitas hidup: klien merasa tidak berguna sebagai suami
karena tidak bisa memenuhi kebutuhan seksual istri.
2. Diagnosa Keperawatan Pasien Impotensi
a. Disfungsi seksual b.d perubahan struktur tubuh /fungsi yang d.d
perubahan dalam mencapai kepuasan seksual. (D.0069)
b. Harga diri rendah b.d gangguan funsional d.d perubahan bentuk
salah satu anggota tubuh. (D.0087)
c. Pola seksual tidak efektif b.d penyakit atau terapi medis. (D.0071)
3. Rencana Keperawatan & Kriteria Hasil pada Pasien Impotensi

Diagnosa Outcame (SLKI) Intervensi (SIKI)


Disfungsi seksual Setelah dilakukan Edukasi Seksualitas (I.12447)
b.d perubahan tindakan keperawatan Obeservasi :
struktur tubuh selama 3 x 24 jam, - Identifikasi kesiapan dan
/fungsi yang d.d diharapakan fungsi kemampuan menerima informasi
perubahan dalam seksual klien Terapeutik :
mencapai membaik, dengan - Sediakan materi dan media
kepuasan seksual. Kriteria Hasil : pendidikan kesehatan
(D.0069) Fungsi Seksual - Jadwalkan pendidikan kesehatan
(L07055) sesuai kesepakatan
5. Kepuasan Edukasi :
hubungan - Jelaskan anatomi dan fisiologi
seksual sistem reproduksi
meningkat (5) - Jelaskan perkembangan seksualitas
sepanjangan siklus kehidupan

Pola seksual tidak Setelah dilakukan Konseling seksualitas (I.07214) :


efektif b.d tindakan keperawatan Observasi :
penyakit atau selama 3 x 24 jam, - Identifikasi tingkat pengetahuan,

33
terapi medis. diharapkan pola masalah sistem reproduksi, masalah
(D.0071) seksual klien seksualitas dan penyakit menular
meningkat dengan, seksual
Kriteria Hasil : Terapeutik :
Identitas seksual - Fasilitasi komunikasi antara pasien
(L.07056) dan pasangan
3. Integrasi - Berikan pujian terhadap perilaku
orientasi yang benar
seksual ke - Berikan kesempatan kepada klien
dalam untuk menceritakan permasalahan
kehidupan seksual
sehari - hari (5) Edukasi :
- Jelaskan pentingnya modifikasi
pada aktivitas seksual

Harga diri rendah Setelah dilakukan Promosi Harga Diri (I.09308)


b.d gangguan tindakan keperawatan Observasi
funsional d.d selama 3 x 24 jam, - Monitor verbalisasi yang
perubahan bentuk diharapkan harga diri merendahkan diri sendiri
salah satu anggota rendah klien nenurun Terapeutik
tubuh. (D.0087) dengan, Kriteria Hasil - Motivasi terlibat dalam verbalisasi
: Harga diri positif untuk diri sendiri
(L.09069) - Diskusikan kepercayaan terhadap
5. Penilaian diri penilaian diri
positif (5) - Diskusikan persepsi negatif diri
6. Penerimaan - Diskusikan aladan mengkritik diri
penilaian atau rasa bersalah
positif Edukasi
terhadap diri - Jelaskan kepada keluarga
sendiri (5) pentingnya dukungan dalam
perkembangan konsep positif diri
pasien

BAB III

34
STUDI KASUS IMPOTENSI

3.1. Kasus

Tn.R berusia 70 tahun datang ke puskesmas Mulyorejo pada tanggal 3Maret 2018.
Klien mengeluh tidak dapat ereksi saat melakukan hubungan seksual
sejak 3 bulan yang lalu. Tn.R mengalami gangguan dalam hubungan seksual
dengan istrinya karena ketidakmampuan untuk mencapai ereksi pada waktu penetrasi dan
cepat mengalami kelelahan. Berdasarkan hasil anamnesa Tn.R
mengatakan tidak pernah mengkonsumsi alcohol, hasrat seksualnya menurun,tidak ada gangg
uan saat berkemih namun mempunyai riwayat diabetes mellitus
sejak 5 tahun yang lalu, hipertensi sudah diidap klien selama 10 tahun ini. Klien
merasa malu kepada istrinya dengan keadaannya tersebut dan malu jika diketahuioleh orang l
ain. Berdasarkan anamnesa istri klien, klien beberapa minggu ini lebih berdiam diri, murung, 
selalu menghindar ketika diajak berhubungan suami istri,dan tidak harmonis lagi. Berdasarka
n pemeriksaan fisik pada genitalia tidak ada tanda tanda hipogonadisme (termasuk
testis kecil, ginekomasti dan
berkurangnya pertumbuhan rambut tubuh dan janggut). Pemeriksaan penis dan testis tidak ad
a
kelainan bawaaan atau induratio penis. Namun hasil TD: 170/110, nadi:95x/menit, suhu: 36,5
⁰C, RR: 18x/menit, GDA: 320.

3.2. Pengkajian

1. Identitas Klien
Nama : Tn.R
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 70 tahun
Agama : Islam
Alamat Asal : Mulyorejo, Surabaya
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Tanggal periksa : 3 Maret 2018
Nomer RM : 1315111XXX
2. Data Keluarga

35
Nama : Ny.A
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Alamat : Mulyorejo, Surabaya
Hubungan : Istri Tn.A
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
3. Status Kesehatan Sekarang
Keluhan Utama :
Klien mengeluh tidak dapat ereksi saat melakukan hubungan seksual sejak 3 bulan
yang lalu, hasrat seksualnya menurun, klien juga malu kepada istrinya terhadap
keadaannya saat ini terkait dengan impotensinya.
4. Status kesehatan dahulu
Klien mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus sejak 5 tahun yang lalu, klien
juga mengidap hipertensi selam 10 tahun ini.
5. Perubahan Terkait Proses Penuaan:

1. Kondisi Umum Ya Tidak

Kelelahan : 
Perubahan BB : 
Perubahan nafsu makan : 
Masalah tidur : 
Kemampuan ADL : 
KETERANGAN : TD: 170/110 mmHg, nadi: 95x/menit, suhu:
36,50C, RR: 18x/menit, GDA:320
2. Integumen
Ya Tidak
Lesi / luka : 
Pruritus : 
Perubahan pigmen : 
Memar : 
Pola penyembuhan lesi : 

36
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan

3. Hematopoetic
Ya Tidak
Perdarahan abnormal : 
Pembengkakankellimfe : 
Anemia : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan
4. Kepala
Ya Tidak
Sakit kepala : 
Pusing : 
Gatal pada kulit kepala : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan

5. Mata
Ya Tidak
Perubahan penglihatan : 
Pakai kacamata : 
Kekeringan mata : 
Nyeri : 
Gatal : 
Photobobia : 
Diplopia : 
Riwayat infeksi : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan

6. Telinga
Ya Tidak
Penurunan pendengaran : 
Discharge : 
Tinitus : 
Vertigo : 
Alat bantu dengar : 
37
Riwayat infeksi : 
Kebiasaan membersihkan telinga : 
Dampak pada ADL : Tidak memperngaruhi ADL
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan
7. Hidung sinus
Ya Tidak
Rhinorrhea : 
Discharge : 
Epistaksis : 
Obstruksi : 
Snoring : 
Alergi : 
Riwayat infeksi : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan
8. Mulut, tenggorokan
Ya Tidak
Nyeri telan : 
Kesulitan menelan : 
Lesi : 
Perdarahan gusi : 
Caries : 
Perubahan rasa : 
Gigi palsu : 
Riwayat Infeksi : 
Pola sikat gigi : Klien dapat melakukan sikat gigi tanpa
bantuan
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan
9. Leher
Ya Tidak
Kekakuan : 
Nyeri tekan : 
Massa : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan

38
10. Pernafasan
Ya Tidak
Batuk : 
Nafas pendek : 
Hemoptisis : 
Wheezing : 
Asma : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan
11. Kardiovaskuler
Ya Tidak
Chest pain : 
Palpitasi : 
Dipsnoe : 
Paroximal nocturnal : 
Orthopnea : 
Murmur : 
Edema : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan
12. Gastrointestinal
Ya Tidak
Disphagia : 
Nausea / vomiting : 
Hemateemesis : 
Perubahan nafsu makan : 
Massa : 
Jaundice : 
Perubahan pola BAB : 
Melena : 
Hemorrhoid : 
Pola BAB : Pasien BAB 1 kali sehari
KETERANGAN : Tidak ditemukan masalah keperawatan
13. Perkemihan
Ya Tidak

39
Dysuria : 
Frekuensi : 3x sehari
Hesitancy : 
Urgency : 
Hematuria : 
Poliuria : 
Oliguria : 
Nocturia : 
Inkontinensia : 
Nyeri berkemih : 
Pola BAK : Pasien kencing pada waktu pagi, siang, dan
malam hari
KETERANGAN : Pasien tidak menggunakan Diappers. Tidak
ditemukan masalah keperawatan
14. Reproduksi (laki-laki)
Ya Tidak
Lesi : 
Disharge : 
Testiculer pain : 
Testiculer massa : 
Perubahan gairah sex : 
Impotensi : 
KETERANGAN : Masalah keperawatan: Disfungsi Seksual
15. Muskuloskeletal
Ya Tidak
Nyeri Sendi : 
Bengkak : 
Kaku sendi : 
Deformitas : 
Spasme : 
Kram : 
Kelemahan otot : 
Masalah gaya berjalan : 

40
Nyeri punggung : 
Pola latihan : ROM aktif
Dampak ADL : Tn.A tidak memerlukan bantuan dalam
memenuhi ADL
KETERANGAN : Tidak ditemukan Masalah Keperawatan
16. Persyarafan
Ya Tidak
Headache : 
Seizures : 
Syncope : 
Tic/tremor : 
Paralysis : 
Paresis : 
Masalah memori : 
KETERANGAN : Tidak ditemukan Masalah Keperawatan

6. Potensi Pertumbuhan Psikososial dan Spiritual


Perasaan klien terhadap penyakitnya: klien merasa malu kepada istri karena
ketidakmampuan untuk mencapai dan malu jika diketahui oleh orang lain.
7. Negative Functional Consequences
a. Kemampuan ADL : tidak ada gangguan
b. Aspek Kognitif : tidak ada gangguan kognitif
c. Tes Keseimbangan : tidak ada gangguan
d. GDS : ada indikasi stres
e. Status Nutrisi : moderate nutritional risk
f. Fungsi social lansia : klien malu apabila keadaannya diketahui orang lain

3.3. Analisa Data


No Analisa Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. Ds : penyakit kronik Disfungsi Seksual
Klien mengeluh hasrat (DM,hipertensi)
seksualnya menurun, tidak
dapat ereksi saat melakukan tidak ada stimulus sekresi

41
hubungan seksual sejak 3 nitric oxide
bulan yang lalu,
Do : tidak muncul adanya
TD: 170/110 mmHg, nadi: relaksasi otot polos
95x/menit, suhu: 36,50C, RR: batang penis
18x/menit, GDA: 320.
aliran darah ke area
tersebut menurun

tidak menimbulkan
ereksi

Disfungsi Seksual
2. Ds : Ketidakmampuan ereksi Harga Diri Rendah
Klien mengatakan merasa Situasional
malu kepada istrinya dengan Tidak dapat menerima
keadaannya tersebut dan malu kondisi
jika diketahui oleh orang lain.
Do: Tidak ada komunikasi
Klien tampak murung, dan terbuka kepada istri
stres.
Malu terhadap istri
karena tidak mampu
ereksi

Harga Diri Rendah


Situasional

3.4. Diagnosa Keperawatan

1. Disfungsi seksual (D.0069) b.d perubahan fungsi/struktur tubuh d.d gangguan


psikiatrik seperti gangguan kepribadian
2. Harga diri rendah situasional (D.0087) b.d perubahan pada citra tubuh d.d kondisi
baru terdiagnosis

42
3.5. Rencana Keperawatan & Kriteria Hasil

Diagnosa SLKI SIKI


Disfungsi seksual (D.0069) Setelah dilakukan tindakan Edukasi Seksualitas (I.12447)
b.d perubahan fungsi/struktur keperawatan selama 3 x 24  Observasi
tubuh d.d gangguan jam diharapkan fungsi 1. Identifikasi kesiapan dan
psikiatrik seperti gangguan seksual klien membaik kemampuan menerima
kepribadian dengan, Kriteria Hasil : informasi
Fungsi Seksual (L.07055)  Teraupetik
1. Kepuasan hubungan 1. Sediakan materi dan
seksual meningkat (5) media pendidikan
2. Verbalisasi aktivitas kesehatan
seksual berubah 2. Jadwalkan pendidikan
menurun (5) kesehatan sesuai dengan
3. Verbalisasi fungsi kesepakatan
seksual berubah  Edukasi
menurun (5) 1. Jelaskan anatomi dan
4. Hasrat seksual fisiologi sistem
membaik (5) reproduksi laki-laki dan
perempuan
2. Jelaskan perkembangan
seksualitas sepanjang
siklus kehidupan
3. Jelaskan risiko tertular
penyakit menular seksual
dan AIDS akibat seks
bebas

Konseling Seksualitas (I.07214)


 Observasi
1. Identifikasi waktu
disfungsi seksual dan
kemungkinan penyebab
2. Monitor stress,

43
kecemasan, depresi dan
penyebab disfungsi
seksual
 Teraupetik
1. Fasilitasi komunikasi
antara pasien dengan
pasangan
2. Berikan saran yang sesuai
dengan kebutuhan
pasnagan dengan
menggunakan bahasa
yang mudah diterima,
dipahami dan tidak
menghakimi
 Edukasi
1. Jelaskan efek pengobatan,
kesehatan dan penyakit
terhadap disfungsi
seksual
2. Informasi mengenai
pentingnya modifikasi
pada aktivitas seksual
 Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan
sepesialis seksologi, jika
perlu
Harga diri rendah situasional Setelah dilakukan tindakan Manajemen Perilaku (I.12363)
(D.0087) b.d perubahan pada keperawatan selama 3 x 24  Observasi
citra tubuh d.d kondisi baru jam diharapkan harga diri 1. Identifikasi harapan
terdiagnosis klien menungkat dengan, untuk mengendalikan
Kriteria Hasil : Harga Diri perilaku
(L. 09069)  Teraupetik
1. Penilaian diri positif 1. Tingkatkan aktivitas fisik
meningkat (5)

44
2. Penerimaan penilaian sesuai dengan
positif terhadap diri kemampuan
sendiri meniingkat (5) 2. Cegah perilaku pasif dan
3. Perasaan malu agresif
menurun (5) 3. Beri penguatan positif
4. Kontak mata terhadap keberhasilan
meningkat (5) mengendalikan perilaku
 Edukasi
1. Informasikan keluarga
bahwa keluarga sebagai
dasar pembentukan
kognitif

Promosi Koping (I.09312)


 Observasi
1. Identifikasi kemampuan
yang dimiliki
2. Identifikasi pemahaman
proses penyakit
3. Identifikasi dampak
situasi terhadap peran dan
hubungan
 Teraupetik
1. Diskusikan perubahan
peran yang dialami
2. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
3. Dampingi saat berduka
4. Perkenalkan dengan orang
atau kelompok yang
berhasil mengalami
pengalaman sama
 Edukasi

45
1. Anjurkan penggunaan
sumber spiritual, jika
perlu
2. Anjurkan keluarga terlibat
3. Anjurkan penggunaan
teknik relaksasi

BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya


urine. Diperkirakan bahwa 25-35% dari seluruh orang dewasa akhir akan mengalami
inkontinensia urine selama hidup mereka (Onat, 2014). Hal ini terjadi akibat
melemahnya otot dasar panggul dan kandung kemih (detrusor) (Perry, 2009). Penurunan
tonus otot dasar panggul menyebabkan kebocoran urin akibat penekanan (Ulmsten,
1995) dalam Perry, 2009.
Impotensi atau disfungsi ereksi dapat dedefinisikan sebagai suatu ketidakmampuan
untuk ereksi atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan

46
seksual yang memuaskan, yang menetap atau berulang paling tidak selama 3 bulan
berturut-turut

4.2. SARAN

Penyusun berharap hendaknya kita sebagai tenaga kesehatan lebih memahami lansia
dan macam-macam penyakit yang dapat menyerang lansia, terutama inkontinensia dan
impotensi pada lansia, serta bagaimana cara kita menghadapi lansia yang sakit dan
menentuka tindakan cara mengatasi penyakit yang diderita lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Benet AE, Melman A. The epidemiology of erectile dysfunction. Urologic Clinic of North
America. 1995; 22: 699-709.
Boolell M, Gepi-Attee S, Gingel JC, Allen MJ. Sildenafil : a novel effective oral therapy for
male erectile dysfucntion. Br J Urol 1996
Bonierfale M. Sexual disturbances in 4557 depressed patient: A French Survey. Psych, 2002;
17 (Suppl 1): 208.
Brancroft J, Wu FC. Erectile impotence. British Medical Journal. 1985; 290: 566- 568.
Feldman HA, Goldstein I, Hatzichrictou DG, Krane RJ, McKinley JB. Impotence and its
medical and psychosocial correlates : results of the Massachusetts male aging study.
J Urol 1994
Henwood J. Sildenafil for erectile dysfunction. Medical Progress 1999
47
Hutagalung, A., Elim, C. & Munayang, H. 2009. Pengaruh Sindroma Depresi Terhadap
Disfungsi Ereksi. Jurnal Biomedik, Volume 1, Nomor 2, Juli 2009, hlm. 96-106
Kaplan HS. The new sex therapy. First Edition. London: Bailliere & Tindal; 1994.
Pangkahila JA. Disfungsi ereksi. Dalam: Pangkahila W. Editor. Bahagia tanpa gangguan
fungsi seksual. Jakarta: Penerbit Kompas, 2001.
Pryor JP, Dickinson IK. Special investigation. Dalam: Gregoir A, Pryor JP, editors.
Impotence-An Integrated Approach to Clinical Practice; 1st Ed. United Kingdom:
Churchill Livingstone, 1993; p.115-126.
Efendi, Ferry Makhfudli. 2009.  Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik  Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika

Wespes E et al.Guidelines On Erectile Dysfunction. European Association Of Urology. 2012: 1-47.

Mac Vary, Kevin T. Erectile Dysfunction. Available from: n engl j med 357;24 www.nejm.org 2472
december 13, 2007. [Accessed 12 februari 2020].

Meutia, Erni., Tahlil, Teuku. 2016. Inkontinensia Urine Dan Kualitas Hidup Lansia Di Banda Aceh.
Universitas Syah Kuala

48

Anda mungkin juga menyukai