Anda di halaman 1dari 26

ANAK BERBAKAT

Sejarah dan Perkembangan Konsep Keberbakatan

A. Materi
Dalam kehidupan sehari-hari istilah “bakat” sering digunakan untuk menunjukkan
kemampuan yang menonjol dari seseorang, misalkan untuk menunjukkan kemampuan yang
menonjol dalam bidang melukis, musik atau yang lainnya. Bakat (aptitude) pada umumnya
diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan
dilatih agar terwujud (Utami Munandar, 1987). Lebih lanjut menurut Utami Munandar, setiap
anak didik mempunyai bakat yang berbeda-beda. Perbedaannya terletak pada jenis bakat dan
derajat atau tingkat kepemilikan bakat tertentu. Dengan demikian istilah anak berbakat (AB)
menunjuk pada kemampuan bawaan yang menonjol dibanding teman seusianya.
Anak berbakat telah dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu, di Yunani pada waktu
itu Plato menyebut orang yang berbakat sebagai ”the man of gold as distinct from those of
silver, iron and brass” (Freeman; dalam Sunardi et al, 1995). Perbedaan ini menurut Plato
menyangkut kemampuan berpikir. Anak berbakat menunjukkan superioritas intelektual yang
nyata melebihi anak lain. Plato dapat disebut sebagai pelopor pendidikan bagi anak berbakat
karena jauh sebelum masyarakat modern menaruh perhatian pada gejala keberbakatan Plato
telah melakukan kegiatan terhadap anak berbakat dengan cara mencari dan mengidentifikasi
anak berbakat dari berbagai lapisan masyarakat untuk dididik dengan kurikulum dan metode
khusus untuk menjadi pemimpin (Sunardi et al, 1995).
Pada permulaan abad ke-19 kadang-kadang ditemukan laporan mengenai munculnya
anak berbakat sekaligus dengan gambaran tentang ciri-ciri kepribadiannya (Sunardi et al,
1995). Pada mulanya laporan tentang anak berbakat bersumber dan diisukan oleh para
orangtua anak berbakat sendiri. Biasanya isu tersebut mengenai kemampuan anak yang
mencolok dan mengagumkan. Keistimewaan anak berbakat secara berlebih-lebihan
didemonstrasikan sampai-sampai masyarakat menanggapinya sebagai suatu keanehan atau
bahkan penyimpangan. Lebih lanjut menurut Sunardi et al (1995), dalam kepustakaan
berbahasa Inggris, pada zaman itu anak berbakat cenderung diberi label ”child
prodigies” bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”freaks”, dengan pengertian yang amat
berbeda dari apa yang dimaksud sebagai ”giftedness” dewasa ini. Dapat dipahami bila
kemudian gejala ”prodigy” disambut dengan sikap cemas, curiga dan menolak oleh
masyarakat. Akhirnya berkembanglah mitos pada waktu itu bahwa anak berbakat selalu aneh
perilakunya, kesehatannya buruk, mereka neurotik tidak bahagia bahkan gila, dan bahwa
keberbakatannya tidak tahan lama (Hildreth; dalam Sunardi et al, 1995)
Pengertian anak berbakat menurut konsep ilmiah dimulai oleh Francis Galton, pada tahun
1890, ia memaparkan melalui studi ilmiah tentang latar belakang dan perkembangan anak
berbakat (Sunardi et al, 1995). Sekalipun konsep keberbakatan yang dianut Galton
dipengaruhi oleh pandangannya nativistik tetapi bagaimanapun, Galton dapat dianggap
sebagai ”the first scientist to produce a comprehensive descriptio of gifted
individuals” (Whitmore; dalam Sunardi et al, 1995). Lebih lanjut menurut Whitmore dengan
konsepnya yang ilmiah Galton telah membuka selubung mitos tentang keberbakatan, menjadi
kenyataan yang obyektif.
Setelah Galton, tahun 1906 di Amerika Serikat, Lewis M. Terman mulai melakukan
penelitian mengenai anak berbakat. Penelitian tersebut diikuti oleh peneliti-peneliti lainnya
yang berlangsung secara longitudinal selama kurun waktu lebih kurang lima puluh tahun,
secara luas diakui telah memberi informasi yang berharga dan bukti-bukti yang obyektif.
Berikut ini akan dipaparkan penelitian tersebut secara garis besar, yang dikutip dari laporan
Sunardi et al (1995). Terman dalam publikasinya yang pertama tahun 1906 menyimpulkan
bahwa anak berbakat memiliki bakat khusus dalam bidang musik dan seni. Anak berbakat
juga menunjukkan kelebihan dalam aspek kesehatan tubuh dan perkembangan jasmani sejak
lahir. Kelebihan lain yang dideteksi oleh Terman adalah dalam kemampuan sensorik. Dari
informasi orang tua dan guru disimpulkan bahwa rata-rata anak berbakat menunjukkan
karakter dan sifat-sifat pribadi yang superior, begitu pula dalam perilaku moral-etisnya.
Dalam penelitian Terman bersam Burks dan Jensens yang merupakan penelitian lanjutan
yang dipublikasikan tahun 1930 disimpulkan bahwa kelompok anak berbakat yang diteliti
telah mengalami perkembangan seperti yang diharapkan. Taraf IQ dan prestasi belajar anak-
anak berbakat tetap stabil sejak penelitian tersebut dimulai lima tahun sebelumnya. Tujuh
belas tahun kemudian tahun 1947 Terman bersama Oden, mempublikasikan hasil penelitian
lanjutan yang kedua. Pada saat penelitian lanjutan tersebut usia dari kelompok sampel yang
diteliti rata-rata 35 tahun. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa taraf kecerdasan
mereka yang berbakat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari taraf kecerdasan
yang dicapai dan terukur pada penelitian pertama. Statistik dari kesehatn fisik mereka
menunjukkan bahwa rata-rata individu yang diteliti memiliki kondisis fisik yang superior.
Dari keseluruhan sampel ternyata 68% berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan
tinggi, suatu keadaan yang 8 kali lebih besar dari kemungkinan pendidikan tinggi yang
tersedia bagi orang kebanyakan pada saat itu di California. Publikasi terakhir tahun 1959,
dari serangkaian penelitian longitudinalnya, Terman dan Oden melaporkan bahwa 92%
sampel pada penelitian terakhir mengaku memiliki p[ekerjaan yang tergolong kategori
pekerjaan yang menuntut keterampilan, diantaranya 71% mengaku memiliki pekerjaan yang
menuntut keterampilan yang sangat tinggi.
Di samping studi Terman, dapat diketengahkan beberapa penelitian lain yang dilakukan
pada saat hampir bersamaan seperti penelitian Paul Witty (Sunardi, 1997). Tidak berbeda
dari Terman, penelitian longitudinal Witty selama 10 tahun tentang anak berbakat yang
memiliki median IQ 153 melaporkan karakteristik sebagai berikut: kondisi fisik yang
superior yang dapat dipertahankan AB dalam jangka waktu panjang; penyesuaian diri yang
amat baik dalam lingkungan sosial di sekolah; prestasi akademik yang tinggi.
Dari bahasan di muka dapat disimpulkan bahwa para ahli yang telah mempelajari AB
pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 memiliki berbagai kesamaan mengenai AB
antara lain sebagai berikut (Sunardi et al, 1995).
1. Bahwa keberbakatan adalah unsur yang dipengaruhi oleh faktor pembawaan, hal mana
memberi petunjuk bahwa konsep mengenai keberbakatan masih terpengaruh oleh teori
nativistik yang mendomonasi teori kepribadian pada waktu itu.
2. Keberbakatan terutam disimpulkan dari indikator tunggal, yaitu kemampuan intelektual
dan akrakteristik intelegensi seperti yang terukur oleh suatu skala atau test intelegensi
umum yang lazim dipakai di masa itu. Seorang AB adalah mereka yang -menurut Terman
dan pengikut-pengikutnya- memiliki IQ sama dengan atau lebih dari 140 dan karena itu
hanya terdapat pada sekelompok kecil (1%) populasi.
3. Di samping indikator tunggal dari keberbakatan, yaitu kemampuan intelektual, terdapat
pula indikator sampingan seperti segi fisik, segi prestasi belajar, kemampuan berbahasa,
pengetahuan umum dan karakteristik lain, yang memberi petunjuk superioritas AB
terhadap anak biasa.
Kaufman dan Sternberg (2008) menengarai adanya perkembangan konsep keberbakatan
dari masa ke masa. Mereka mengelompokkan perkembangan konsep gifted  dalam empat
gelombang perubahan atau perkembangan.
1. Gelombang pertama, dimana konsep gifted dipahami sebagai kecerdasan (secara umum)
pada level yang sangat tinggi pada diri seseorang yang diperoleh sejak lahir. Gelombang
pertama ini dikenal dengan Domain-General Models.
2. Gelombang kedua, mulai pada pertengahan abah IXX dengan tokoh pionirnya adalah
Louis Thurstone (1983), mengemukakan bahwa keberbakatan bisa berdimensi spesifik,
pada kemampuan tertentu pada diri individu. Thurstone mengemukakan ada tujuh
kemampuan pada individu yang secara mandiri dapat dijadikan indikasi keberbakatan;
diantaranya adalah: verbal comprehension, verbal fluency, number, perceptual speed,
inductive reasoning, spatial visualization, dan memory.  Ilmuwan Howard Gardner
termasuk dalam katogori gelombang kedua ini. Gelombang kedua ini dikenal dengan
istilah Domain-Specific Models.
3. Gelombang ketiga adalah systems models dengan tokohnya Renzulli (1995) dan
Sternberg (2003). Mereka memahami gifted sebagai sebuah sistem dari proses psikologis.
Dalam teorinya, Renzulli mengemukakan bahwa keberbakatan merupakan system dari
tiga variable psikologi (yang berada pada level di atas rata-rata) secara simultan untuk
menyelesaikan masalah dalam konteks skolastik atau menghasilkan suatu produk kreatif.
Tiga variable psikolgis tersebut adalah kemampuan kecerdasan, kreativitas dan komitmen
terhadap tugas. Menurut Sternberg keberbakatan merupakan sintesis dari wisdom,
intelligence, dan creativity.
4. Gelombang keempat adalah Developmental Models, kemunculan model perkembangan
ini sebagai reaksi atas teori yang terlalu menekankan variable genetic atau keturunan
dalam keberbakatan. Teori perkembangan mengajarkan bahwa keberbakatan merupakan
interaksi antara faktor internal dan eksternal. Tokoh dalam model perkembangan ini
diantaranya adalah Monks (1992) dan Gagne (2005).
Definisi dan Kriteria Berbakat oleh Kementrian Pendidikan

A. Pengantar Materi
Dunia penddidikan dewasa ini telah melangkah jauh lebih maju dengan menerima
konsep-konsep baru mengenai anak berbakat (AB) terutama konsep-konsep yang lahir pada
pertengahan abad ke-20 dan seterusnya. Pandangan lama yang semata-mata mengaitkan
keberbakatan pada suatu dimensi, yaitu dimensi intelegensi yang diukur oleh tes intelegensi
yang ada dan dipakai pada saat itu serta dipresentasikan dalam suatu indeks tertentu yaitu IQ.
Konsep tersebut dewasa ini dianggap telah menyederhanakan konsep keberbakatan. Selain
sederhana, konsep keberbakatan yang dianut pada era Terman pun dianggap terlalu kaku
(Torrance; dalam Sunardi et al, 1995). Hal serupa diungkapkan Anastasi (Conny Semiawan,
1994) bahwa IQ memiliki banyak keterbatasan sebagai skor umu tunggal, yamg dianggap
bukan memaksimalkan kemampuan individu dalam ekspresinya, melainkan
meminimalkannya.
Definisi keberbakatan menurut United State Office of Education (USOE) adalah sebagai
berikut:
Gifted and talented are those indentified by professionality qualified person who by virtue of
outstanding abilities are capable of high performance. These are children who require
differentiated educational program ang/or services beyond those normally provided by the
regular school program in order to realize their contribution to self and society.
Children of high performance include those with demonstrated achievement and/or
potential in any of the following areas, single or in combination:
1. General intellectual ability
2.   Specific academic aptitude
3.   Creative and productive thinking
4. Leadership ability
5. Visual and performing arts
6.   Psycho motor ability

 
United States Office of Education mengakui bahwa kemampuan AB yang menonjol
meliputi suatu variasi kemampuan yang luas hingga mengakibatkan definisi mengenai
keberbakatan harus mendapat menjamin tertampungnya sebanyak mungkin variasi yang ada.
Di samping itu menarik sekali kenyataan bahwa USOE tidak hanya memandang
keberbakatan sebagai suatu prestasi akan tetapi juga melihat  potensi laten dan suatu
“potential ability”.  Bahkan, menurut beberapa pihak misalnya Davis dan Rimm, definisi
USOE telah memberi pengakuan terhadap AB yang kurang atau belum berprestasi
(underachiever), karena dari segi potensi mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki
kelebihan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mendefinisikan keberbakatan sebagai warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (pasal 5, UU No. 20 tahun
2003), atau disebut dengan cerdas istimewa (CI) dan bakat istimewa (BI). Potensi kecerdasan
yang dimaksud merujuk pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bakat istimewa
merujuk pada bidang estetika atau seni dan olahraga (PP No. 17 tahun 2010 dan
Permendiknas No. 34 tahun 2006).
Definisi keberbakatan yang digunakan oleh kementrian Pendidikan dan kebudayaan RI
bila merujuk pada UU, PP dan Peraturan Menteri masih bersifat sangat umum. Produk dari
kemetrian Pendidikan dan Kebudayaan yang bersifat tehnis tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi Siswa Cerdas Istimea, yang dikeluarkan oleh
Direktorat Pembinaan PK-PLK tahun 2011, mendefiniskan siswa cerdas istimewa
menggunakan teori Multi Faktor yang dikembangkan oleh Monks.
Berdararkan teori multi faktor sebagaimana dalam gambar diatas dapat dijelaskan bahwa
konsep keberbakatan dapat ditinjau berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling
terkait satu sama lain. Teori multi faktor yang dikembangkan Monks sebenarnya
memperbaiki apa yang sudah dikembangkan oleh Renzulli. Sebelumnya, memalui teori tiga
cicinnya, Renzulli menjelaskan keberbakatan sebagai interaksi dari tiga variabel atau domain,
yaitu: (1) kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan/atau kemampuan khusus di atas rata
rata; (2) kreativitas yang tinggi; (3) komitmen terhadap tugas yang tinggi. Oleh Monks
dilakukan perubahan konsep menjadi motiviasi, kreativitas, dan kemampuan luar biasa 
ditambah faktor keempat yaitu faktor lingkungan.
Konsep bakat istimewa dalam bidang estetika atau seni diantaranya seni musik, seni tari,
pantomime, seni lukis, seni sastra misalnya bercerita, cipta baca puisi, mengarang cerpen,
seni desain visual dan kriya anyam atau handycraft.  Bakat istimewa dalam bidang olahraga
diantaranya adalah atletik, senam, bulu tangkis, renang, karate dan pencak silat. Hal ini
terlihat dari cabang-cabang pembinaan dan lomba atau festival yang dilaksanakan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan demikian, definisi keberbakatan yang dipakai oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan individu yang memiliki potensi kecerdasan istimewa dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, atau individu yang memiliki potensi keberbakatan istimewa
dalam bidang seni dan olahraga. Konsep istimewa di sini dapat dimaknai sebagai potensi
unggul dibandingkan dengan usia anak pada umumnya.
Karakteristik Anak Berbakat

A. Pengantar Materi
Sejak akhir abad ke-19 banyak penelitian telah dilakukan, pada umumnya di negara-
negara barat, untuk mencari ciri-ciri anak berbakat (Munandar, 1982). Di antara penelitian-
penelitian tersebut diantaranya adalah Vernon. Menurut Vernon perkembangan fisik dan
motorik tidak jelas merupakan tanda dari keunggulan mental, anak berbakat menurut Vernon
sekuarang-kurangnya normal dalam perkembangan fissik dan motorik. Menurut Parker anak
berbakat sejak kecil lebih aktif dan lebih menaruh perhatian terhadap lingkungan.
Sehubungan dengan perkembangan berbicar banyak anak berbakat mulai berbicara pada
umur yang lebih muda dari rata-rata anak. Namun usia mulai berbicara juga tidak dapat
diandalkan sebagai kriteria ”giftedness” (Munandar, 1982). Penelitian Roe dan MacKinnon
terhadap tokoh-tokoh ilmuwan yang unggul dalam berbagai bidang, nyata bahwa ciri-ciri
khas pada mereka ialah kebutuhan akan kebebasan dan sikap mandiri, yang nampak dari cara
mereka bekerja, sikap mereka dalam hubungan dengan orang, serta kepuasan mereka dalam
karir (Munandar, 1982).
Pandangan yang lebih lengkap tentang ciri-ciri anak berbakat dikemukakan oleh
Martinson yang dikutip dari Munandar (1987), ciri-ciri anak berbakat adalah sebagai berikut:
 membaca pada usia muda
 menbaca lebih cepat dan lebih banyak
 memiliki perbendaharaan kata yang luas
 mempunyai rasa ingin tahu yang kua
 memiliki minat yang luas, dan juga terhadap masalah orang dewasa
 mempunyai inisiatif, dapat bekerja sendiri
 menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal
 memberi jawaban-jawaban yang baik
 dapat memberikan banyak gagasan
 luwes dalam berpikir
 terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari luar
 mempunyai pengamatan yang tajam
 dapat berkonsentrasi dalam jangka waktu yang panjang
 berfikir kritis
 senang mencoba hal-hal baru
 mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi
 senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecaha-pemecahan masalah
 cepat menangkap hubungan sebab akibat
 berperilaku terarah pada tujuan
 mempunyai daya imajinasi yang kuat
 mempunyai banyak kegemaran
 mempunyai daya ingat uang kuat
 tidak cepat puas dengan prestasinya
 peka dan banyak menggunakan firasat
 menginginkan kebebasan dalam tindakan dan gerakan

Sebenarnya ciri-ciri anak berbakat tidak banyak berbeda dari anak biasa, hanya anak
berbakat memiliki ciri-ciri tersebut dalam derajat yang lebih tinggi.
Dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum dan Saran
Pendidikan Balitbangdikbud bekerjasama dengan Jurusan Psikologi Pendidikan Fakultas
Psikologi UI, tentang pendapat guru mengenai Sistem Organisasi Pelaksanaan Program
Pembinaan Bakat Siswa dan mengenai ciri-ciri siswa berbakat tahun 1985 (Sunardi, 1997).
Dari penelitian tersebut diketahui ciri-ciri siswa berbakat yang paling sering dikemukakan
para guru ternyata sesuai dengan tiga dimensi keberbakatan Renzulli. Daya tangkap cepat
dan kritis berkenaan dengan kemampuan umum (intelegensi di atas rata-rata), kreatif serta
mudah memecahkan masalah termasuk dimensi kreativitas, tekun dan mempunyai tanggung
jawab terhadap tugas menyangkut dimensi task commitment.

Karakteristik Kognitif Anak Berbakat


Dalam menelaah dalam perbedaan intelektualitas antara anak berbakat dengan IQ yang
tinggi dan anak lain, Rogers (1986, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) menyimpulkan
bahwa kecerdasan anak berbakat secara umum berbeda dalam derajatnya dengan anak pada
umumnya. Anak berbakat melakukan pemprosesan informasi dan pemecahan masalah lebih
baik, lebih cepat, atau di usia yang lebih awal dari anak lain seusianya. Shore (2000,
dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008).
Menurut Feretti (1987 dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) seseorang dengan IQ
tinggi, memiliki daya ingat atau memori yang lebih besar dan lebih efisien; memiliki dasar
pengetahuan yang lebih besar dan lebih luas; dan menggunakan strategi pemrosesan
informasi yang lebih kompleks dan lebih aktif. Garderen dan Mountague (2003
dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) menemukan bahwa anak berbakat lebih
menggunakan representasi visual-spatial dalam menyelesaikan masalah Matematika, bila
dibandingkan dengan anak dengan IQ rata-rata dan anak kesulitan belajar khusus.
Lovecky (1994, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) memberi perhatian pada
perbedaan kognitif antara anak yang berbakat moderat (IQ 140 – 159) dan berbakat tinggi
(IQ 170 lebih). Berdasarkan tes klinis dan observasi, ia menyimpulkan bahwa anak dengan
keberbakatan tinggi mengerjakan tugas yang mudah secara kompleks, membutuhkan presisi
atau ketepatan yang tinggi, memahami pola-pola yanag kompleks secara cepat, mampu
berpikikir abstrak pada usia yang lebih muda, dan memiliki ingatan yang luar biasa. Gross
(1994, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) menambahkan bahwa anak yang memiliki
keberbakatan tinggi memiliki kemampuan lebih awal dalam mentransfer pengetahuan antar
disiplin ilmu, memiliki humor verbal yang mengagumkan, dan memiliki intuisi yang tajam.
Silverman (2003, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) menemukan adanya proporsi
yang signifikan bahwa anak dengan IQ yang sangat tinggi mereka mungkin memiliki
kesulitan belajar khusus, sindrom asperger, atau hambatan pemprosesan kognitif.
Sternberg dan Davidson (1985, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) membuat daftar
beberapa kemampuan luar biasa yang dimiliki anak berbakat: mereka memiliki keduanya,
kecerdasan umum dan kemampuan khusus yang mana mereka akan menjadi ahli di bidang
tersebut, mereka memanfaatkan kemampuan mereka dengan baik, mereka dapat membentuk
lingkungannya, mereka mendemonstrasikan kemampuan dalam menemukan masalah dan
mereka dapat membuat hubungan tingkat tinggi.
Selain karakteristik dalam kemampuan kognitif, anak berbakat juga menunjukkan
karakteristik dalam kemampuan metakognitif. Terdapat tiga aspek dalam metakognitif, yaitu
pengetahuan faktual tentang strategi berpikir, penggunaan strategi, dan pemantauan kognitif.
Shore (2000, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) melaporkan bahwa perbedaan antara
anak berbakat dangan anak yang lain adalah terletak pada tipe-tipe strategi dalam menyeleksi
beragam masalah, dan kecepatan dan keluwesan strategi yang digunakan. Shore juga
mencatat bahwa siswa berbakat menunjukkan kinerja yang sama dengan sorang ahli dalam
hal metakognitif, fleksibilitas strategi, dan perencanaan strategi.

Karakteristik Sosial-Emosional Anak Berbakat


Mayseless (1993, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) dalam beberapa
penelitiannya mengindikasikan bahwa siswa berbakat pada usia pradewasa dan dewasa
memiliki popularitas yang sama dengan siswa lain seusianya, tetapi orang berbakat di usia
dewasa berdasarkan laporan diri (self-report) memiliki popularitas yang lebih rendah dari
yang lain. Short (1991, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) menemukan bahwa anak
laki-laki dan anak perempuan gifted usia remaja memiliki skor yang sangat tinggi dalam
pengukuran pertemanan dengan sebaya melalui self-report.
Dalam review kepustakaan tentang kepribadian anak berbakat, Olszewski, Kubilius,
Kulieke, dan Krasney (1998, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) menemukan bahwa
siswa berbakat secara umum setidaknya memiliki kemampuan diri yang sama baiknya
dengan norma kelompok. Ditemukan pula bahwa anak berbakat dapat menunjukkan fungsi
kepribadian dalam beberapa domain, sama dengan siswa yang usianya lebih tua.
Hoge dan McSheffrey (1991, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008),
menggunakan Self-Perception Profile for Children menemukan bahwa anak berbakat
memiliki skor yang sedikit di bawah norma kelompok dalam persepsi mereka tentang
kompetensi sosial dan atletik, tetapi memiliki skor yang lebih tinggi dalam skolastik
dan global self-worth. Mereka juga menemukan bahwa kinerja akademik merupakan faktor
yang lebih penting dalam memberi kontribusi terhadap global self-worth gabi anak
perempuan dari pada anak laki-laki. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Pyryt dan
Mendaglio (1994, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) menggunakan pengukuran
multidimensi konsep diri, dan menemukan bahwa siswa berbakat memiliki skor yang lebih
tinggi dari pada kelompok usianya, dengan kontribusi yang tinggi dari konsepdiri akademik.
Karakteristik motivasi anak berbakat menunjukkan perbedaan bila dibandingkan dengan
anak pada umumnya. Siegle dan McCoach (2005, dalam Robinson dan Clinkenbeard,
2008) meneliti motivasi dalam pendidikan bagi anak berbakat yang mencakup: task value,
self efficacy, persepsi terhadap lingkungan, dan self regulation. Penelitian ini
merekemondasikan bahwa faktor-faktor motivasi tersebut harus ditingkatkan dan mencegah
anak berbakat mengalami underachievement. Olzewski-Kubilius et al. (1988,
dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008) mereview beberapa penelitian yang menunjukkan
bahwa siswa berbakat memiliki skor yang tinggi dalam pengukuran motivasi yang terrefleksi
pada alasan intrinsik untuk belajar, termasuk internal locus of control dan pengukuran
motivasi intrinsik dan otonomi. Csikszentmihalyi, Rathunde, dan Whalen (1993) melakukan
penelitian longitudinal tentang bakat intelektual untuk adolesen, dan menemukan bahwa
mereka menunjukkan kelebihan dalam motivasi intrinsik pada membaca, berpikir dan
bekerja secara mandiri.
Tentang karakteristik motivasi antara siswa berbakat yang berpretasi dan berprestasi di
bawah potensinya (underachiver), Ford (1993, dalam Robinson dan Clinkenbeard, 2008)
menemukan bahwa siswa berbakat yang berprestasi sedikit terpengaruh oleh tekanan
teman sebaya, pekerja keras dan tidak mengalami kecemasan. Sedangkan siswa berbakat
yang underachiver memiliki lebih besar external locus of control, ambivalen dalam kerja
keras, dan mengalami kecemasan.

Karakter Negatif Anak Berbakat


Dengan uraian mengenai keunggulan anak berbakat, bukan berarti mereka adalah anak-
anak yang tidak memiliki karakteristik negatif. Anak berbakat sebagaimana anak pada
umumnya mempunyai kebutuhan pokok akan pengertian, penghargaan dan perwujudan diri.
Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, mereka akan menderita kecemasan
dan keragu-raguan. Jika minat, tujuan dan cara laku mereka yang berbeda dengan peserta
didik pada umumnya tidak memperoleh pengakuan, maka mereka walaupun memiliki bakat-
bakat yang unggul akan mengalami kesulitan. Soegoe (Martinson; dalam Sunardi et al,
1995:25) menyusun daftar yang menunjukkan bahwa ciri-ciri tertentu dari anak berbakat
dapat atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu misalnya:
 Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke sikap meragukan (skeptis) baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain.
 Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal yang baru bisa menyebabkan
anak berbakat tidak menyukai atau lekas bosan terhadap tugas-tugas rutin.
 Perilaku yang ulet dan terarah pada tujuan dapat menjurus ke keinginan untuk
memaksakan atau mempertahankan pendapatnya.
 Kepekaan yang tinggi dapat membuat anak mudah tersinggung atau peka terhadap kritik.
 Semangat yang tinggi, keinginan mental dan inisiatifnya, dapat membuat kurang sabar
dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau kurang ada kemajuan dalam tugas.

 
Identifikasi Anak Berbakat

A. Pengantar Materi
Identifikasi anak berbakat (AB) adalah suatu penilaian tentang kebutuhan AB untuk
menempatkannya dalam program-program pendidikan sesuai dengan dan dalam rangka
mengembangkan potensinya (Semiawan, 1994). Secara umum dapat dibedakan dua
pendekatan/metode identifikasi anak berbakat. Pertama, identifikasi melalui pengetesan
(psikometrik maupun prestasi belajar) yang meliputi dua tahap yaitu tahap screening dan
tahap seleksi. Pada tahap screening dilakukan tes kelompok dan pada tahap seleksi
digunakan tes individual yang memungkinkan pengukuran yang lebih tepat dan teliti. Kedua,
identifikasi melalui studi kasus yaitu memperoleh sebanyak mungkin informasi tentang anak
yang diperkirakan berbakat dari sumber-sumber yang berbeda, misalnya dari guru, orang tua
teman sebaya atau dari anak itu sendiri. Untuk itu dapat disusun suatu kuesioner atau
checklist untuk diisi masing-masing sumber (Munandar, 1982)
Pembahasan selanjutnya tentang identikasi AB difokuskan pada pendekatan atau metode
identifikasi melaluio pengetesan. Alat, ukuran, atau tes apa yang digunakan untuk identifikasi
tergantung dari macam keberbakatan yang dicari, macam program yang diberikan, dan ciri-
ciri apa yang dipersyaratkan agar dapat mengikuti program anak berbakat secara memuaskan
(Semiawan, Munandar & Munandar, 1990). Dalam bahasan ini akan dipaparkan konsep
pengukuran dari beberapa aspek keberbakatan, yaitu pengukuran intelegensi, hasil belajar,
kepemimpinan, bakat seni rupa dan seni pertunjukkan, dan yang terakhir pengukuran
kreativitas.
1. Pengukuran Inteligensi
Tingkat kecerdasan atau inteligensi seseorang ditentukan baik oleh bakat bawaan
(berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya) maupun oleh faktor lingkungan
(termasuk semua pengalaman dan pendidikan yang pernah diperoleh seseorang; terutama
tahun-tahun pertama dari kehidupan mempunyai dampak kuat dari kecerdasan
seseorang). Menurut Munandar (1987), inteligensi dapat dirumuskan sebagai berikut:
 kemampuan untuk berpikir abstrak;
 kemampuan untuk menangkap hubungan dan untuk belajar
 kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.
Perumusan pertama melihat inteligensi sebagai kemampuan berpikir, perumusan
kedua sebagai kemampuan untuk belajar, dan perumusan ketiga sebagai kemampuan
menyesuaikan diri. Ketiga-tiganya menunjukkan aspek-aspek yang berbeda
dari inteligensi, namun ketiga aspek tersebut saling berkaitan. Keberhasilan dalam
penyesuaian diri seseorang tergantung dari kemampuannya untuk berpikir dan belajar.
Sejauh mana seseorang dapat belajar dari pengalaman-pengalaman akan menentukan
penyesuaian dirinya. Ungkapan-ungkapan pikiran, cara berbicara, cara mengajukan
pertanyaan, kemampuan memecahkan masalah, dan sebagainya mencerminkan
kecerdasan. Akan tetapi diperlukan waktu lama untuk dapat menyimpulkan kecerdasan
seseorang berdasrkan pengamatan perilakunya, dan cara demikian belum tentu tepat pula.
Oleh karena itu para ahli telah menyusun bermacam-macam tes inteligensi yang
memungkinkan dalam waktu yang relatif cepat mengetahui tingkat kecerdasan seseorang
(Munandar, 1987).

2.  Pengukuran Hasil Belajar


Tes hasil belajar berfungsi untuk mengukur hasil perolehan belajar setelah suatu
pendidikan, latihan atau program tertentu telah selesai diikuti seseorang. Tes hasil belajar
mengukur pengalaman belajar yang sudah terstandarrisasikan, terawasi dan terancang
sebelumnya. Sehingga tes hasil belajar berbeda dengan tes bakat ataupun tes inteligensi,
karena tes bakat mengukur pengalaman yang secara kumulatif diperoleh melalui
pengalaman sehari-hari dan secara relatif menggali pengalaman yang tak terancang
(Anastasi; dalam Semiawan 1994). Jadi kalau tes bakat meramalkan sesuatu potensi
untuk dibuktikan dalam kinerja tertentu, maka tes hasil belajar pada umumnya
merupakan evaluasi terminal untuk menentukan kedudukan individu setelah
menyelesaikan suatu latihan atau pendidikan tertentu. Tekanan tes hasil belajar teruatama
pada apa yang dapat dilakukan individu pada kala itu setelah latihan atau pendidikan
tertentu.
Dalam mengidentikasi keberbakatan sering digunaka tes hasil belajar. Namun
untuk itu harus disadari keterbatasan dari tes-tes hasil belajar merupakan tes kelompok
yang tidak selalu memiliki dimensi keberbakatn tertentu, tes hasil belajr yang digunakan
untuk mermalkan kinerja individu di masa yang akan datang juga sering didasarkan atas
kurikulum yang bersifat umum, yang tidak selau memantukan segi kreativitas dalam
perkembangan manusia. Oleh karena itu konsep baru yang kini banyak digunakan adalah
pengukuran kemampuan yang sudah dikembangkan (developed abilities). Di dalamnya
tercakup semua kemampuan tes inteligensi, baterei bakat jamak, bakat khusus, hasil
belajar. Pendeknya mengukur tingkat perkembangan yang sudah dicapai seseorang dalam
satu atau lebih dari satu bidang tertentu yang merupakan suatu kontinum tertentu
(Anastasi; dalam Semiawan 1994). Kontinum tersebut digambarkan sejak tes hasil belajar
yang berorientasi pada pelajaran tertentu, kemudian beranjaka pada orientasi wawasan
yang lebih luas yang mengacu dan terfokus pada pemahaman dan aplikasi prinsip ilmiah
dan interpretasi kepustakaan atau apresiasi seni. Lebih luas dari itu adalah orientasi dari
keterampilan intelektual yang mempengaruhi kinerja individual daloam berbagai kegiatan
tertentu.
3. Pengukuran Kepemimpinan
Berbeda dengan aspek keberbakatan yang lain, misalnya kemampuan intelektual
umum, atau bakat akademik khusus serta berpikir kreatif dan produktif telah memperoleh
banyak kemajuan dalam instrument identifikasi, maupun konsep atau teorinya. Konsep
dan teori keberbakatan dalam kepemimpinan belum begitu berkembang seperti aspek
keberbakatan lainnya (Semiawan, 1994). Kepemimpinan pada permulaannya tidak terkait
dengan studi keberbakatan pada umumnya, sampai OSOE menemukan hubungan tersebut
(Khatena, J; dalam Semiawan, 1994). Setelah berbagai teori dan konsep selama empat
dekade terakhir terpaparkan dan berbagai data empiris terkumpulkan belum juga ada
pengertian yang integral tentang kepemimpinan (Stogdill; dalam Conny Semiawan,
1994). Meskipun demikian Foster (dalam Semiawan, 1994) telah mencatat bahwa
individu pemimpin seyogyanya dapat ditandai dari tanggung jawabnya dalam
mempertahankan dan mengubah proses sosial. Karena itu dapat diasumsikan bahwa
mereka pada umumnya dapat ditandai karena berprakarsa untuk mengambil tindakan
tertentu dan menjadi penghubung yang baik antara kelompoknya dengan pihak di luar
kelompoknya dalam mencapai konsensus tertentu.
Stogdill (dalam Semiawan, 1994) menjelaskan bahwa sifat kepemimpinan di
sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi memiliki nilai produktif bagi
kepemimpinan orang dewasa di dalam aktivitas sosial maupun bisnis di masa yang akan
datang. Terutama dalam kegiatan ekstrakurikuler sudah dapat ditandai ciri kepemimpinan
tersebut. Beberapa ciri dalam identifikasi dan strategi pengembangan dapat disebut
sebagai berikut: antisipasi kejadian masa yang akan datang; perencanaan yang baik;
pengambilan keputusan yang baik; komunikatif; kerjasama dan pengembangan diri;
implementasi ide kreatif serta mengenal dan mencari peluang (Kitano & Kirby; dalam
Conny Semiawan, 1994).
4. Identifikasi Bakat Seni Rupa dan Seni Pertunjukkan
Bakat seni rupa adalah keunggulan dalam menggambar, melukis, memahat dan
berbagai ekspresi artistik lain yang dapat ditangkap oleh mata. Sementara itu bakat seni
pertunjukkan menunjuki pada keungulan dalam musik instrumental maupun vokal, teater
dan tari.
Pengukuran kemampuan (ability) seni rupa dan pertunjukkan tidak selalu mudah
dilakukan, bahkan lebih sukar daripada mengidentifikasi bobotnya. Biasanya perilaku
nyata dan produk (hasil karya) individu lebih menetukan potensi dalam bidang ini. Salah
satu indikator dari bakat dalam bidang seni rupa dan seni pertunjukkan adalah inteligensi.
Bahkan faktor g sering terefleksikan dalam pengukuran bakat seni (Khatena, J; dalam
Semiawan, 1994:83).
Pada umumnya mereka yang berbakat seni termasuk unggul dalam arti
keberbakatan intelektual (e.g. Passow, Goldbey, Tannenbaum & French; dalam
Semiawan, 1994:83), meskipun superioritas tersebut tak selalu tampak dalam tes yang
mengukur IQ. Indikator yang lain adalah tamsil mental (mental imagery), suatu
komponen berpikir dan ekspresi dalam bidang seni rupa dan pertunjukkan, yang terltak
dalam kawasan non verbal. Kemampuan ini penting karena mengatasi kendala sistem
lambang pengantara (intermediary symbolic system)  dalam membayangkan sesuatu
untuk mengekspresikan bentuk seni tertentu. Kemampuan ini menjadi unsur penting
dalam semua bidang seni dan beroperasi dalam berbagai bentuk, dan tingkat, tergantung
dari keperluannya. Dalam kreativitasnya (Khatena, J; dalam Semiawan, 1994) menandai
lima ciri karakteristik utama dalam seni yaitu:
 Keluwesan dalam imajinasi dan ekspresi berbagai ide secara spontan dapat
dinyatakan atau dibayangkan dalam proses kreatif
 Sensitivitas terhadap gerak, ritme, konten dan organisasi, integrasi rasa dan pikir
dengan menghayatinya secara intens
 Kualitas intuitif imajinasi sebagai sumber inspirasi
 Kelangsungan ekspresi, yang terkait dengan kepercayaan diri
 Identifikasi diri yang diwujudkan oleh si individu denagn nyata

Semua aspek keberbakatan di atas, meskipun tidak semua menunjuk pada


keberbakatan intelektual, ternyata sedikit banyak selalu mencakup segi tersebut dan
merupakan berbagai aspek non intelektual. Ternyata secara timbal balik segi-segi non
intelektual juga mempengaruhi keberbakatan intelektual. Oleh karena itu konsep
keberbakatan seyogyanya  diteropong secara multidimensional
5. Pengukuran Kreativitas
Kreativitas adalah lebih dari semata berpikir divergen (Khatena, J; dalam Conny
Semiawan, 1994), karena kemajuan kreatif yang murni merupakan fase evaluasi kritis
yang muncul setelah produksi divergen yang tak terhalang (uninhibited). Sejalan dengan
pendapat ini maka ancangan urun pikir (brainstorming approach), sebagaimana
dikemukakan oleh Alex Osborn dan Sidney Parnes (Khatena, J; dalam Semiawan, 1994),
harus diikuti dengan penilaian terhadap berbagai ide. Juga ditindaklanjuti dengan
evaluasi yang didasarkan pada perangkat kriteria tentang nilai dan kegunaannya.
Keseluruhannya merupakan langkah-langkah dalam proses berpikir kreatif yang
pengukurannya tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan.
Tes kreativitas dapat bersifat verbal, jika tugas yang dituntut diungkapkan dalam
kata-kata, atau bersifat figural, jika tugas yang dituntut diungkapkan dalam bentuk
gambar. Contoh dari yang pertama ialah Baterai Tes Kreativitas Verbal dan contoh dari
tes kedua ialah Tes Lingkaran dari Torrance. Kedua tes tersebut dapat diberikan dalam
kelompok (Munandar, 1987).
Layanan Pendidikan Anak Berbakat

A. Pengantar Materi
Dalam teori pandidikan dikenal teori yang menekankan faktor lingkungan dan teori yang
menekankan faktor genetis (keturunan). Kedua teori ini dideskripsikan sebagai ”keturunan
versus lingkungan”  (Semiawan, 1994). Dalam konteks pendidikan anak berbakat faktor
lingkungan dan faktor keturunan diakui sama-sama berpengaruh terhadap perkembangan
individu. Lingkungan adalah segala sesuatu yang sifatnya eksternal terhadap diri individu,
karena lingkungan itu merupakan sumber informasi yang diperoleh melalui panca indera.
Semua informasi diteruskan ke otak melalui saluran-saluran neorofisiologis, semula sebagai
impuls elektro kimiawi yang menjadi isyarat tertentu, kemudian dikodifikasi menjadi bahasa
tertentu. Namun tidak semua informasi diterima oleh otak. Suatu mekanisme yang disebut
perangkat mental merupakan sistem penyaring yang menerima atau menolak informasi yang
diperoleh melalui penginderaan sebelum mencapai ke otak. Mekanisme tersebut secara
langsung atau tidak langsung merupakan mekanisme pertahanan diri untuk menyerap
informasi dengan reaksi yang dihasilkan oleh pengalaman masa lalu.
Dlam interaksi individu dengan lingkungan ini, intervensi mengambil peranan. Istilah
intervensi menunjuk pada dimensi informasi yang diatur melalui pembelajaran tertentu,
pertumbuhan maupun perubahan perilaku (Khatena, J; dalam Semiawan, 1994). Namun
intervensi juga menunjuk pada ciri-ciri lingkungan yang paling berpengaruh dalam
membentuk individu dan merupakan hasil dari respon individu terhadap lingkungan
sosialnya. Ada dua sumber informasi yang utama, yaitu konten formal dari kurikulum
sekolah dan materi yang luas yang diperoleh dari kebudayaan dan kehidupan bersama dalam
masyarakat tertentu. Berbagai fasilitas dalam cakupan intervensi adalah teknik pembelajaran
dan berbagai tindakan yang bersifat kreatif dari sekolah, msatrakat maupun keluarga.
Konsep pendidikan di atas dihubungkan dengan karakteristik keberbakatan adalah
sebagai berikut. Menurut Clark (Semiawan, 1994) keberbakatan pada hakekatnya adalah
integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak otak, yang mencakup penginderaan fisik,
emosi, kognisi dan intuisi. Fungsi yang terakselerasikan itu terekspresikan melelui berbagai
kemampuannya, kognitif, kreatif, akademik khusus, kepemimpinan, seni rupa, maupun seni
pertunjukkan, serta ditandai pula oleh intelegensi yang tinggi. Karena berfungsinya otak yang
terakselerasikan dalam perkembangannya, individu berbakat membutuhkan layanan
pendidikan yang berbeda daripada yang diperoleh di sekolah-sekolah biasa, yang pada
umumnya bersifat klasikal. Dengan perumusan tentang perkembangan otak yang
terakselerasikan yang berakar dari pola-pola genetis dan struktur anatomis indidvidu, maka
layanan pendidikan oleh lingkungan (milieu) seyogyanya memberikan kesempatan dan
peluang untuk mencapai aktualisasi secara optimal.
Pendidikan khusus bagi anak berbakat bertujuan agar potensi yang dimiliki anak, baik
kemampuan kognitif, kreativitas, akademik, kepemimpinan maupun seni, yang tidak
mungkin dapat berkembang dalam konteks pendidikan konvensional, dapat dikembangkan
secara optimal. Ada bermacam-macam model pendidikan bagi anak berbakat. Clark dikutip
dalam Sunardi (1997) mengemukakan suatu model kontinum. Dengan model ini, ada
beberapa kemungkinan model layanan yang semuanya merupakan kontinum dari yang paling
terintegrasi sampai yang terisolasi penuh. Kontinum ini terdiri dari beberapa alternatif
sebagai berikut:
1. Kelas biasa
2. Kelas biasa dengan kluster (kelompok khusus) 
3. Kelas biasa dengan pull out (dibimbing khusus di luar)
4. Kelas biasa dengan kluster dan pull out
5. Kelas individualisasi
6. Kelas individualisasi dengan kluster
7. Kelas individualisasi dengan pullout
8. Kelas individualisasi dengan kluster dan pull out
9. Kelas khusus dengan kesempatan integrasi
10. Kelas khusus penuh
11. Sekolah khusus

Berdasarkan isi programnya ada beberapa jenis program pembinaan anak berbakat yang
oleh Chon, Chon dan Kenevsky (Sunardi; 1997) diklasifikasikan menjadi dua kelompok
besar yaitu enrichment dan accelleration.

Enrichment
Meskipun enrichment seharusnya masuk dalam semua jenis layanan pendidikan bagi
setiap anak berbakat akan tetapi tekanan di sini adalah pada bagimana mereka memperoleh
pengalaman yang berbeda di dalam kelas reguler. Menurut Getzels dan Dillon tujuan
enrichment adalah untuk memelihara sosialisasi anak berbakat denagn teman-teman
seumurnya (Ichrom, 1988). Keunggulan sistem ini adalah menghindarkan anak berbakat dari
sikap elitisme. Memang harus diakui bahwa dengan program enrichment guru dituntut
bekerja ekstra dan harus ada latihan khusus. Enrichment akan menjadi efektif dan
memberikan stimulasi bagi siswa apabila guru mengembangkan pengajaran yang berbeda-
beda dengan memberikan aktivitas yang menuntut kerja kognitif yang tinggi, menggali dan
menemukan dan mengembangkan lebih luas lagi isi bahan pengajaran, serta menciptakan
komunikasi yang menantang aktivitas mereka.
Program-program pengayaan dapat berbentuk:
1. Pemecahan masalah yang lebih kompleks di kelas biasa
2. Eksplorasi, misalnya kesempatan tour ke lembaga-lembaga ilmiah
3. Role modeling, yaitu menggunakan tokoh yang sukses dalam budang yang sedang
dipelajari sebagai model
4. Pelatihan keterampilan belajar
5. Pelatihan keterampilan berkomunikasi
6. Bimbingan penyuluhan program belajar
7. Terjun ke masyarakat
  Beberapa model pembelajaran dengan program pengayaan juga telah dikembangkan.
Tiga model yang paling banyak dikenal adalah:
1. Creative Problem Solving: dengan mengandalkan penggunaan brainstorming, guru
pembimbing membantu anak berbakat mengembangkan strategi pemecahan masalah.
2. The Enrichment Triad: dikembangkan oleh Renzulli, model ini meliputi tiga komponen
kreatif, yaitu kegiatan eksplorasi umum, kegiatan kelompok, dan pemecahan masalah-
masalah nyata. Pada tahap pertama, guru merencanakan pengalaman yang
memungkinkan murid menemukan minat pribadinya. Pada tahap kedua, guru mendorong
pengembangan proses berpikir dan perasaan yang berkaitan dengan minat yang sudah
ditemukan. Pada tahap ketiga, murid dilibatkan dalam kegiatan pemecahan masalah
nyata.
3. Structure of Intelect: program pengayaan yang ditujukan untuk mengembangkan 120
kemampuan mental menurut Guilford.
 
Acceleration
Akselerasi merupakan suatu cara dimana anak berbakat diberikan kesempatan untuk maju
lebih cepat dari teman-teman seusianya, sehingga sangat dimungkinkan mereka akan dapat
menyelesaikan program itu dalam batas waktu yang lebih pendek dari yang seharusnya.
Dalam Gunarsa (1982) dipaparkan dua cara melaksanakan program percepatan ini, yakni:
1. Meloncatkan anak pada kelas-kelas yang lebih tinggi (skipping)
Sesuai dengan keadaannya, dimana usia mental (mental age) pada anak berbakat
lebih tinggi dari usia sebenarnya (chronological age), maka mudah timbul perasaan tidak
puas belajar bersama dengan anak-anak lain yang seumurnya. Mata pelajaran tertentu,
bahkan semua mata pelajaran dianggap terlalu mudah dan membosankan dan berakibat
tumbuhnya rasa malas untuk belajar. Meskipun banyak aspek perkembangan lain pada
anak ternyata memang lebih maju daripada anak-anak seumurnya, misalnya aspek sosial,
akan tetapi cara percepatan dengan meloncatkan anak pada kelas yang lebih tinggi
dianggap kurang baik, antara lain karena mempermudah timbulnya masalah-masalah
penyesuaian, baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan sosialnya. Kecuali itu
norma yang dipakai adalah norma dari kelas yang lebih tinggi yang belum tentu sesuia
seluruhnya bagi anak karena norma yang diikuti bukan norma dari anak berbakat itu
sendiri.
2. Percepatan yang diberikan kepada anak berbakat untuk menyelesaikan bahan pelajaran
dalam waktu yang lebih singkat sesuai dengan kemampuannya yang istimewa.
Cara ini oleh Kirk dan Gallagher disebut sebagai ”telescoping grades”.
Sebenarnya cara ini tergolong cara yang baik karena banyaknya dan cepatnya mata
pelajaran yang diberikan dan diselesaikan ditentukan oleh keadaan, kebutuhan dan
kemampuan anak itu sendiri. Kesulitannya ialah pengaturan administrasi sekolah yang
meliputi pengaturan-pengaturan tenaga pengajarnya karena harus memberikan pelajaran
secara individual kepada anak. Pada anak sendiri dikawatirkan oleh apara ahli akan
timbul kesulitan dalm penyesuaian diri, baik sosial maupun emosional karena terbatasnya
hubungan-hubungan dengan teman-teman sebaya.
Pendidikan Anak Berbakat di Indonesia
A. Pengantar Materi
1. Sejarah Layanan Pendidikan Anak Berbakat di Indonesia
Upaya merintis program pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa tersebut, telah dimulai sejak tahun 1974 dengan
pemberian beasiswa bagi siswa Sekolah Dasa (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat
dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi keluarganya.
Selanjutnya, pada tahun 1982 Balitbang Dikbud membentuk Kelompok Kerja
Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB). Kelompok Kerja ini mewakili
unsur-unsur struktural serta unsur-unsur keahlian seperti Balitbang Dikbud, Ditjen
Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian di bidang sains,
matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa, dan humaniora,
serta psikologi. Kelompok Kerja tersebut antara lain bertugas untuk: (1) mengembangkan
"Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat" yang meliputi program
jangka pendek dan jangka panjang untuk pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi; (2) merencanakan, mengembangkan, menyelenggarakan / me-
laksanakan, dan menilai kegiatan-kegiatan sesuai dengan rencana induk pengembangan
anak berbakat.
Kemudian, pada tahun 1984 Balitbang Dikbud menyelenggarakan perintisan
pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, dan SMA di satu daerah
perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur). Program pelayanan
yang diberikan berupa pengayaan (enrichment) dalam bidang sains (Fisika, Kimia,
Biologi, dan Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa), matematika, teknologi (elektronika,
otomotif, dan pertanian), bahasa (Inggris dan Indonesia), humaniora, serta keterampilan
membaca, menulis, dan meneliti. Pelayanan pendidikan dilakukan di kelas khusus di luar
program kelas reguler pada waktu-waktu tertentu. Perintisan pelayanan pendidikan bagi
anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan seiring dengan pergantian pimpinan dan
kebijakan di jajaran Depdikbud.
Selanjutnya, pada tahun 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
mengembangkan program Sekolah Unggul (Schools of Excellence) di seluruh propinsi
sebagai langkah awal kembali untuk menyediakan program pelayanan khusus bagi
peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat dan kreativitas yang dimilikinya.
Namun akhirnya, program ini dianggap tidak cukup memberikan dampak positif pada
siswa berbakat untuk mengembangkan potensi intelektualnya yang tinggi. Keluhan yang
muncul di lapangan secara bersamaan didukung oleh temuan studi terhadap 20 SMU
Unggulan di Indonesia yang menunjukkan 21,75 % siswa SMU Unggulan hanya
mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata, sedangkan
mereka yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa hanya 9,7
% (Reni H., dkk., 1998).
Pada tahun 1998/1999, dua sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah
swasta di Jawa Barat melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan belajar
(akselerasi), yang mendapat arahan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah. Pada tahun 2000 program dimaksud dicanangkan oleh Menteri Pendidikan
Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi program pendidikan nasional. Pada
kesempatan tersebut Mendiknas melalui Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat
Keputusan (SK) Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada
11 (sebelas) sekolah yakni 1 (satu) SD, 5 (lima) SLTP dan 5 (lima) SMU di DKI Jakarta
dan Jawa Barat. Kemudian pada tahun pelajaran 2001/2002 diputuskan penetapan
kebijakan pendiseminasian program percepatan belajar pada beberapa sekolah di
beberapa propinsi di Indonesia.
Pada tahun ajaran 2015-2016 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
menghapus penyelenggaraan program akselerasi. Hal ini dilakukan sejalan dengan
diberlakukannya Kurikulum 2013. Alasan yang dikemukakan oleh Dirjen Dikdasmen
adalah untuk menghilangkan diskriminasi antara anak yang pandai dan yang biasa-biasa
saja. Ia mengatakan sebagai gantinya program akselerasi, yaitu bagi siswa kelas tiga
SMU/SMK bisa mengambil mata kuliah di perguruan tinggi. "Nantinya itu berdasarkan
SKS, jadi siswa yang masih belajar di SMU/SMK bisa mengambil mata kuliah di
perguruan tinggi yang nantinya akan diperhitungkan apabila masuk di perguruan
tinggi,". (https://republika.co.id/ berita/nd6cab10/kemendikbud-hapus-program-
akselerasi).
 
2. Landasan Hukum Pendidikan Anak Berbakat di Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menegaskan bahwa: “Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus” (pasal 5 ayat 4). Begitu pula dalam
pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa: “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya; (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan”. Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi  peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik,emosional, mental, sosial,dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa.
Mengoperasionalkan UU No. 20 tahun 2003 diterbitkan Peraturan Pemerintah no.
17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pada pasal 134,
dijelaskan: (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik
menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya. (2)  Pendidikan
khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan
keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik,
kinestetik, dan kecerdasan lain.
Pada pasal 135 dijelaskan bahwa: (1)  Pendidikan khusus bagi peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan
pendidikan formal TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain
yang sederajat. (2)  Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berupa:
a. program percepatan; dan/atau
b. program pengayaan.
Selanjutnya pada ayat (3) dijelaskan bahwa pogram percepatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persyaratan:
a. peserta didik memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang diukur
dengan tes psikologi;
b. peserta didik memiliki prestasi akademik tinggi dan/atau bakat istimewa di bidang seni
dan/atau olahraga; dan
c. satuan pendidikan penyelenggara telah atau hampir memenuhi Standar Nasional
Pendidikan.
Pada ayat (4) dijelaskan tentang penerapan program percepatan melalui sistem
kredit semester sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai bentuk layanan yang diberikan dalam ayat (5) dinyatakan bahwa
penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat dilakukan dalam bentuk:
a. kelas biasa;
b. kelas khusus; atau
c. satuan pendidikan khusus.

Anda mungkin juga menyukai