Anda di halaman 1dari 262

Kajian Tafsir Tadabbur

The Grand Design of

Muslim Visioner
(Mengembangkan Visi Seorang Muslim
dalam Perspektif Surah al-Fatihah)

Oleh
Amang Syafrudin

Agenda Strategis Pengembangan Diri Muslim Visioner


• Membangun Perencanaan Strategis Dalam Da’wah
• Mengembangkan Da’wah Profesi
• Membangun Motivasi Diri
• Mengembangkan Tiga Kecerdasan (IIIQ)
• Rekonstruksi Pemikiran Islam
• Membangun Kepribadian dan Peradaban
• Membangun Masyarakat Madani

IDRIS
Institute for Development and Research
1
in Islamic Studies
2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
• Penulis
• Pakar Tafsir
• Tokoh Da’wah

Metodologi Tadabbur
• Urgensi dan Keterpentingan Tadabbur
• Metodologi Tadabbur
• Paradigma Qur’an

Surah al-Fatihah
A. Terjemahan
B. Kandungan
C. Waktu dan Sebab Turun
D. Tadabbur:
• Perspektif dan Gagasan
• Analisa Kandungan
• Paradigma Qur’ani
• Bagan dan Kesimpulan

Agenda Muslim Visioner


1. Membangun Perencanaan Strategis Dalam Da’wah
2. Mengembangkan Da’wah Profesi
3. Membangun Motivasi Diri
4. Mengembangkan Tiga Aspek kecerdasan (IIIQ)
5. Rekonstruksi Pemikiran Islam
6. Membangun Kepribadian dan Peradaban
7. Strategi Pendidikan Islam Masa Depan
8. Membangun Masyarakat Madani

3
Lampiran:
1. Pedoman Perencanaan Strategis
2. Model Masyarakat Pendidikan
3. Prroposal Sekolah Riset Islam (Islamic Research School)

4
Maka apakah mereka tidak memperhatikan (tadabbur) Al
Qur'an ? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.
(Surah: 4. Nisaa : 82 diturunkan di: Madinah)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan (tadabbur) Al


Quraan ataukah hati mereka terkunci?
(Surah: 47. Muhammed: 24 diturunkan di: Madinah)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan


(Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa
yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka
dahulu?
(Surah: 23. Mu'minuun: 68 diturunkan di: Makkah)

)15:‫ولقد يسرنا القران للذكر فهل من مدكر (القمر‬


“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an
untuk pelajaran maka adakah orang yang mengambil
pelajaran.”
(Al-Qomar:17)

5
The Grand Design of

Muslim Visioner
(Membangun dan Mengembangkan Visi
Seorang Muslim dalam Perspektif Surah al-
Fatihah)

Kata Pengantar
• Penulis
• Pakar Tafsir
• Tokoh Da’wah

6
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur hamba-Mu panjatkan ke hadlirat-Mu, ya


Allah Maha Pembuka (Al-Fattaah). Engkau turunkan dan
ajarkan kepada kami satu surah pembuka (al-Faatihah) hati,
pikiran, jiwa dan kehidupan kami. Pembuka kesempatan
menikmati indahnya rahmat-Mu yang tersebar dan terhampar
pada ayat-ayat-Mu dalam diri dan alam semesta ini.

Yaa Allah, Ar-Rahmaan (Maha Pemurah dan Pengasih) dan Ar-


Rahiim (Maha Penyayang), dengan nama-Mu, hamba-Mu
goreskan pena yang telah Engkau ajarkan ini. Maha suci
Engkau, tiada ilmu sedikit pun yang kami miliki kecuali yang
telah Engkau ajarkan. Sesungguhnya hanya Engkau Yang Maha
Mengetahui dan Maha Bijak. Jadikan tulisan ini bagian dari
kebijakan-Mu, ya Allah, agar menjadi pembuka pikiran yang
tidak bervisi sehingga memiliki visi qur’ani, pembuka hati yang
tidak bermisi agar meraih misi hidup menjadi duta rakmat-Mu
di bumi, pembuka jiwa yang tiada bermakna agar mampu
memahami hakikat ridla-Mu, dan pembuka seluruh kehidupan
yang tersia-siakan agar sarat dengan kenikmatan-Mu.

Shalawat dan salam sejahtera kami, keluarga dan ummat ini,


semoga Engkau berkenan mencurahkannya bagi Rasul-Mu,
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga untuk keluarganya, para
shahabat, setiap orang yang mencintainya dan setia kepada
sunnahnya. Perkenankan dan bimbing kami agar selalu
konsisten (istiqamah) menjadi pewaris beliau tercinta, mewarisi
risalah-Mu yang Engkau utus dia sebagai rahmat-Mu di alam ini.

Ya Allah, jadikan kami pewaris kepribadiannya yang kuat dan


cerdas yang telah mengantar ummatnya kepada peradaban yang
agung, pewaris pemikirannya yang bervisi ke depan memimpin
7
(qiyadah) manusia dan dunia ke jalan-Mu, ibadahnya yang tekun
sampai kedua kakinya bengkak hanya mendamba menjadi
hamba-Mu yang banyak bersyukur, da’wahnya yang membuat
seluruh kehidupan menjadi bermakna, ukhuwwahnya yang
menyentuh setiap shahabat atau musuhnya dengan penuh
rahmat, dan keikhlashannya yang menjadikan seluruh peristiwa
dan permasalahan hidup menjadi kenikmatan-Mu dan
kehendak-Mu yang penuh arti.

Puji-Mu (al-hamdu) adalah kenikmatan tersendiri bagi hamba-


Mu. Kenikmatan tiada akhir dan henti, ya Rabbal ‘alamin. Inilah
kenikmatan syukur yang tiada terukur. Rahmat-Mu (Ar-
Rahmah) terasa halus menyentuh setiap sisi kehidupan hamba-
Mu. Tiada ruang dan waktu dalam hidup ini tanpa peran
rahmat-Mu. Kerajaan-Mu (Al-Maalik) membentangkan betapa
luasnya kekuasaan-Mu di alam semesta sampai hari kepastian
dan keabadian bagi hamba-Mu tiba. Saat tiada balasan yang
dirindukan hamba-hamba-Mu yang ikhlash selain rahmat-Mu.
’Ibadah (al-’Ibaadah) ikhlash hanya untuk-Mu adalah dambaan
setiap hamba-Mu. Pertolongan-Mu (al-Isti’aanah) adalah
kekuatan hamba-Mu yang sesungguhnya dalam beribadah,
berda’wah dan menjalani kehidupan. Hidayah-Mu (al-
Hidaayah) adalah kenikmatan yang membuat seluruh kehidupan
menjadi ni’mat. Konsisten dan lurus untuk-Mu (al-istiqaamah)
adalah arah perjalanan hamba-Mu menuju puncak ridla-Mu.
Inilah tujuh konsep hidup, yang hamba-Mu pelajari dan
temukan dari surah-Mu yang teragung dalam al-Qur’an. Bantu
kami untuk setantiasa memeliharanya dalam setiap detik,
langkah dan nafas hidup kami.

Setelah puji dan syukur ini, perkenankan hamba-Mu mengantar


tulisan sederhana ini kepada hamba-hamba-Mu yang sedang
melaksanakan salah satu perintah-Mu ”Iqra’ (bacalah)”, seraya
merindukan rahmat-Mu khususnya saat berinteraksi dengan al-
Qur’an. Kitab-Mu yang abadi dan selalu aktual, dengan nilai
8
pemberiannya yang selalu baru dan tak kenal ragu atau layu.
Lautan, siapa pun yang menyelami kedalamannya maka semakin
menemukan mutiara yang tiada terhingga. Cerahkan pikiran dan
cerdaskan hati kami ya Rabbal ’aalamiin.

Ikhwah fillah para pembaca, semoga Allah merahmati kita


senantiasa, buku ini bukan kitab tafsir al-Qur’an, sekalipun
pendekan yang digunakan adalah tafsir tadabbur. Mengingat tafsir
merupakan salah satu cara bertadabbur yang paling efektif.
Tadabbur adalah inti dari tulisan ini. Tujuannya seperti tertera
dalam tiga ayat tadabbur: QS. 4 (an-Nisaa) ayat 82, QS. 38
(Shaad) ayat 29, dan QS. 47 (Muhammad) ayat 24. Yaitu
menemukan keserasian dan keharmonisan seluruh dimensi dan
berbagai peristiwa kehidupan dalam al-Qur’an, mendapat
pencerahan pemikiran dan jiwa agar menjadi ulul albaab (orang-
orang yang berakal), dan mengontrol hati agar terhindar dari
sikap ketertutupan dan terkunci yang mengakibatkan stagnasi,
kebuntuan berpikir, tidak kreatif, tidak inovatif, dan akhirnya
tidak proaktif apalagi produktif.

Hudan (petunjuk) adalah fungsi dan kedudukan al-quran yang


pertama kali Allah perkenalkan kepada kita dalam ayat 2 surah
al-Baqarah. Sekaligus menjawab permohonon yang kita baca
minimal 17 kali sehari semalam pada setiap raka’at shalat,
tercantum pada dua ayat terakhir surah al-Fatihah. Selayaknya
sebuah petunjuk, sesungguhnya tidak perlu didiskusikan apalagi
diperdebatkan, karena petunjuk adalah ”cara” yang harus
dilaksanakan. Namun al-qur’an tidak pernah mengabaikan
peran pemikiran dan akal yang Allah anugerahkan. Bahkan
orang berakal (’Aaqil) adalah syarat seseorang mendapat beban
tanggungjawab dalam setiap titah dan perintah Allah ’Azza wa
Jalla. Mendudukan al-qur’an sebagai hudan (guidance) adalah salah
satu metodologi berfikir yang bervisi qur’ani, jelas dan jauh ke
depan menembus batas kehidupan duniawi.

9
Paradigma qur’ani adalah salah satu bentuk hudan yang
dirumuskan sebagai ”cara”. Cara melihat, cara mendengar, cara
merasakan, cara berpikir, cara memahami, cara menyikapi, cara
menikmati dan cara hidup (way of life). Cukup lama umat ini
kehilangan paradigma hidupnya yang unik sebagai dampak
”keberhasilan” pendidikan yang tidak Islami dan jauh dari al-
qur’an. Akibatnya mereka melihat, memahami dan merasakan
berbagai peristiwa kehidupan dengan paradigma materialistik,
atomistik (tersekat-sekat), pragmatis (ingin selalu cepat dan
instan) dan hedonis (mencari kenikmatan sesaat).

The grand design (Desain besar) hidup seorang muslim juga


merupakan barang langka. Hampir mayoritas umat Islam tidak
memiliki rencana dan desain yang jelas dalam hidup ini, apalagi
untuk keislamannya. Jika para pembaca mencoba menuliskan
rencana hidup Anda baik sebagai muslim, hamba Allah, atau
perannya sebagai bagian dari umat terbaik ini, atau sekedar
mimpi sebagai manusia, maka tidak sedikit yang mengalami
kesulitan. Padahal al-Qur’an adalah pedoman kita dalam
merencanakan (planning) hidup ini. Seperti dapat dipahami
dalam surah al-Fatihah ini, khususnya ayat 4: ”Maaliki yaumid
Diin” (Raja di hari pembalasan). Ayat ini menginspirasikan salah
satu tingkat kecerdasan seorang muslim dengan visi dan rencana
hidupnya ke depan sampai kelak di akhirat.

Visi adalah esensi dari sebuah ide besar seorang muslim. Seperti
mimpi, visi terkesan hanya angan-angan. Yang membedakannya
adalah pada tataran misi, strategi dan agenda aksi yang jelas,
terencana dan terukur. Visi tanpa aksi adalah angan-angan dan
mimpi, sementara aksi tanpa visi akan membuat pekerjaan
menjadi sekedar rutinitas dan kurang berarti. Visi muslim adalah
bagaimana ia melihat dirinya di masa depan. Menjadi seorang
apa dan memposisikan diri di mana, seorang da’i, pemikir,
pengusaha, atau pemimpin yang sukses. Selanjutnya ia
merencanakan agenda strategi dan aksinya yang menunjang ke
10
arah visi tersebut. Lihat Rasulullah, shallallahu ’alaihi wa sallam,
saat pertama memperkenalkan da’wahnya, beliau telah memiliki
ide dengan visi besar yaitu meguasai, memimpin dan membuat
dunia selalu beruntung, tiada kata rugi bagi kehidupan di
dalamnya dalam kondisi apa pun.

”Katakan oleh kalian Laa ilaaha illallaah niscaya dunia akan


beruntung”, adalah kalimat yang beliau tawarkan kepada para
calon muslim saat itu. ”Kalian adalah ummat terbaik (the best
nation)” (QS. 3: 110), ”... dan kalian adalah orang-orang tertinggi
(the highest nation) jika kalian orang-orang beriman” (QS.3: 139)
adalah dua ayat yang menggambarkan kualitas muslim dengan
visi terdepan, yaitu sebagai pemimpin dan penyelamat manusia.
”Dan demikianlan kami menjadikan kalian sebagai ummatan
wasatha (ummat paling tengah dan adil atau the just nation)” (QS.
2: 143), adalah ayat yang merencanakan ummat Islam sebagai
umat yang menjadi muara tempat mencari keadilan, tempat
bertanya dan menjadi guru dunia (ustaadziyyatul ’aalam). Bukan
seperti saat ini menjadi ummat yang termarjinalkan atau
terpinggirkan dan bahkan sering tersingkirkan peran dan
eksistensinya dalam percaturan dunia. Akhirnya baik individu,
negara maupun dunia Islam sering menjadi budak bangsa lain.

Tulisan ini lahir, dan hanya dengan kehendak dan izin Allah,
diharapkan mengisi kekosongan dan kesenjangan ini.
Membantu mengingatkan setiap muslim agar memiliki visi yang
jelas dalam hidupnya (muslim visioner). Ide ini lahir dan
terispirasi dari renungan (tadabbur) panjang akan surah yang
mewakili seluruh al-Qur’an untuk di baca dalam setiap raka’at
shalat. Sehingga menjadi rukun yang menentukan sah dan
tidaknya shalat seseorang. Seharusnya, pengulangan sampai
minimal 17 kali sehari semalam, menginspirasikan dan
mengingatkan sesuatu yang sangat diperlukan dalam reorientasi
perjalanan hidup setiap muslim. Seperti laiknya visi sebuah
perusahan, yang ditulis, dipamerkaan di setiap ruang dan
11
diulang-ulang di berbagai kesempatan, untuk mengingatkan
seluruh komponen perusahaan akan tujuan yang harus dicapai.

Untuk melengkapi inti tulisan ini, penulis kemudian menyajikan


beberapa agenda dan lampiran penting dan cukup prioritas
dalam merencanakan aksi untuk seorang muslim visioner.
Mulai dengan:
• membangun visi da’wah dan mengembangkan persepsi
da’wah profesi sebagai sarana mengoptimalkan da’wah di
berbagai kondisi,
• mengembangkan diri (tarbiah dzatiah) dengan
mengoptimalkan kecerdasan dan rekonstruksi pemikiran,
sampai kepada
• agenda bina’ul ummah, dengan membangun kepribadian
dan peradaban menuju terbentuknya kembali masyarakat
madinah dalam kerangka pendidikan masyarakat madani.

Hanya untuk-Mu ya Allah, hamba-Mu persembahkan tulisan


ini, sebagai kontribusi untuk mengembalikan umat ini kepada
visi dan perannya sebagai pemimpin dunia dengan petunjuk-
Mu. Semoga Engkau berkenan mencatat kami, hamba-hamba-
Mu yang telah menulis, guru-guru dan shahabat penulis, dan
mereka yang tengah membaca tulisan sederhana ini, sebagai
amal sholeh yang dapat menyebarkan keshalehan dan menjadi
bagian dan duta rahma-Mu bagi segenap manusia. Terakhir
ampuni kami ya Allah, atas seluruh kekeliruan, kesalahan dan
dosa kami khsususnya saat menulis, membaca dan
mengamalkan ilmu yang Engkau ajarkan kepada kami, terutama
dalam keikhlasan hati nurani dalam seluruh ’ibadah kami.

Depok, Rajab 1424 H/September 2003 M.


Akhukum Fillah,

Amang Syafrudin.

12
The Grand Design of

Muslim Visioner
(Membangun dan Mengembangkan Visi
Seorang Muslim dalam Perspektif Surah al-
Fatihah)

Metodologi Tadabbur
• Urgensi dan Keterpentingan Tadabbur
• Metodologi Tadabbur
• Paradigma Qur’an

Maka apakah mereka tidak memperhatikan (tadabbur) Al


Qur'an ? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.
(Surah: 4. Nisaa : 82 diturunkan di: Madinah)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan (tadabbur) Al


Quraan ataukah hati mereka terkunci?
(Surah: 47. Muhammed: 24 diturunkan di: Madinah)

13
Tadabbur al-Qurán

☻ Tadabbur, merupakan salah satu


model metodologi pemikiran Islam
☻ Tadabbur mengandung sejumlah
filosofi ma’na; refleksi (reflection),
meditasi (meditation), berfikir
(thinking), pertimbangan
(consideration) dan perenungan
(contemplation).
☻ Ma’na ini menginspirasikan cara
berfikir Islami dengan integritas yang
kuat antara tiga aspek kecerdasan
kontemporer; kecerdasan intelektual
(IQ), kecerdasan emosional-Spiritual
(ESQ) dan kecerdasan moral atau
Adversity Quotient untuk mengukur
tingkat kesuksesan (AQ) terpadu di
dalamnya.
☻ Al-Qurán memilih kalimat tersebut
sebagai wujud komitmen seorang
muslim. “Apakah mereka tidak men-
tadabbur-kan al-Qurán, ataukah hati
mereka yang telah terkunci” (QS. 47
Muhammad, 24).

14
Maka apakah mereka tidak memperhatikan (tadabbur) Al Qur'an ?
Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
(Surah: 4. Nisaa : 82 diturunkan di: Madinah)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan (tadabbur) Al Quraan


ataukah hati mereka terkunci?
(Surah: 47. Muhammad: 24 diturunkan di: Madinah)

)15:‫ولقد يسرنا القران للذكر فهل من مدكر (القمر‬


“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran
maka adakah orang yang mengambil pelajaran.”
(Al-Qomar:17)

‫ «ال خير في قراءة إال بتدبر وال عبادة إال‬: ‫ قال رسول هللا‬:‫ قال‬،‫عن ابن عمر‬
.»‫ ومجلس فقه خير من عبادة ستين سنة‬،‫بفقه‬
Dari Ibnu Umar radliallahu ánhuma, ia berkata: telah bersabda
Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam: “tidak ada (kesempurnaan)
kebaikan dalam qiraáh (bacaan al-Qurán) kecuali dengan tadabbur, dan
tidak ada íbadah (yang sempurna) kecuali dengan fiqh, dan majlis fiqh
lebih baik dari íbadah enam puluh tahun”.
• Tadabbur, merupakan wacana dan salah satu model
metodologi pemikiran Islam yang sangat signifikan dan
efektif untuk pengembangan diri seseorang.
• Secara bahasa tadabbur mengandung sejumlah filosofi
ma’na yang jauh dan dalam, antara lain; refleksi
(reflection), meditasi (meditation), berfikir (thinking),
pertimbangan (consideration) dan perenungan
(contemplation).
• Ma’na ini menginspirasikan cara berfikir Islami dengan
integritas yang kuat. Tiga aspek kecerdasan kontemporer;

15
kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan spiritual dan emosional
(SEQ) dan kecerdasan moral atau Adversity Quotient untuk
mengukur tingkat kesuksesan (AQ) terpadu di dalamnya.
• Demikian berarti ma’na tadabbur ini, sehingga Al-Qurán
memilih kalimat tersebut sebagai wujud komitmen seorang
muslim. “Apakah mereka tidak men-tadabbur-kan al-Qurán,
ataukah hati mereka yang telah terkunci” (QS. 47 Muhammad,
24).

Urgensi Tadabbur
Tadabbur merupakan kewajiban setiap muslim, khususnya para
da’i Allah swt, sebab tadabbur memiliki urgensi yang sangat
dalam bagi hidup dan kehidupan. Di antaranya:
1. Tadabbur berfungsi sebagai media menghidupkan hati
(‫) إحياء القلب‬, sebagaimana firman Allah dalam surat 47: 14.
Al Qur’an itu sendiri berfungsi sebagai pemberi peringatan
bagi orang yang hidup, baik hidup jasmani atau hidup
rohani (Yasin: 24), yaitu mereka yang melakukan tadabbur
ayat-ayatnya secara benar.
2. Mendekatkan diri kepada minhaj ( ‫) التقريب إلى المنهاج‬,
sebagaimana firman-Nya dalam surat Shaad: 29.
3. Menjadikan diri berdaya guna ( ‫) حسن البركة‬, seperti
penjelasan Allah swt dalam surat Al Anbiya: 50. Al Barakah
dalam ayat ini berarti menetapnya kebaikan dari Allah pada
sesuatu, dinamakan berkah seperti menetapnya air di dalam
birkah (kolam). Jadi, makna ayat tersebut adalah: Dihiasi
dengan kebaikan-kebaikan ilahiah (Al Mufrodat: 44).

Tiga Macam Wirid Al Qur’an


1. Wirid Tilawah ( ‫) ورد التالوة‬, yaitu membaca Al Qur’an
dengan tajwid secara benar.
2. Wirid Hafalan ( ‫) ورد الحفظ‬, yaitu menghafal ayat-ayat Al
Qur’an semampunya.

16
3. Wirid Tadabbur ( ‫) ورد التدبر‬, yaitu upaya berinteraksi
dengan Al Qur’an dengan dhawabit sebagai berikut:
• Memperhatikan adab-adab tilawah Al Qur’an
(‫) مراعاة أداب التالوة‬.
• Tilawah secara perlahan dan khusyu’ ( ‫) التالوة بتأن وخشوع‬.
• Berhenti lama pada setiap ayat untu meneliti dan
berulang-ulang (‫) الوقوف أمام األية وقفة فاحصة متكررة‬.
• Memperhatikan secara rinci dan teliti pada struktur ayat
( ‫) النظرة التفصيلية في صياغ األية‬.
• Mengamati hubungan dimensi realita dengan ayat
( ‫) مالحظة البعد الواقعي لألية‬.
• Kembali pada pemahaman salaf ( ‫) العودة إلى فهم السلف‬.
• Memahami ayat dari kitab tafsir
( ‫) االطالع على أراء بعض المفسرين في األية‬.

Faktor Pendukung Keberhasilan Dalam Tadabbur Al-Qur’an


1. Pandangan integral terhadap Al Qur’an
( ‫) النظرة الكلية الشاملة للقرآن‬. Artinya: lebih dahulu kita harus
memandang Al Qur’an secara integral, bahwa Al Qurán
adalah pedoman hidup (hudan) untuk kebahagiaan ummat
manusia.
2. Perhatian terhadap tujuan-tujuan Qur’an yang pokok
( ‫) االلتفات إلى األهداف األساسية للقران‬, antara lain:
o Memberi petunjuk kepada manusia (QS. Al Isra: 9, Asy
Syura: 52).
o Mewujudkan pribadi-pribadi Islami, terpadu dan
seimbang (QS. Al An’am: 122).
o Mewujudkan kepemimpinan masyarakat qur’ani (Ummah)
dalam pertarungannya dengan kejahiliahan
( ‫) قيادة األمة في معركتها مع الجاهلية‬.
3. Mencermati peran Al Qur’an yang praktis dan dinamis
dalam kehidupan ( ‫) مالحظة المهمة العملية الحركية للقران‬.

17
4. Perasaan pembaca bahwa ayat yang dibaca ditujukan kepada
dirinya ( ‫) الشعور بأن األية موجهة إليه‬, sebagaimana firman
Allah swt. (QS. Al An’am: 19). Muhammad bin Ka’ab Al
Qarazhi berkata: “Siapa yang sampai kepadanya Al Qur’an,
maka seakan dia yang sedang diajak berkomunikasi dengan
Allah swt”.
5. Talaqi Al Qur’an dengan ihsan ( ‫) حسن التلقي عن القران‬, yaitu
memenuhi syarat-syarat talaqi sebagai berikut:
o Memiliki aqidah yang bersih.
o Menjauhi hawa nafsu.
o Mendahulukan pola tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an.
o Menggunakan pola tafsir Al Qur’an dengan Al Hadits
(QS. Al Nahl: 44).
o Menggunakan pola tafsir Al Qur’an dengan atsar
sahabat.
o Menggunakan pola tafsir Al Qur’an dengan atsar tabi’in.
o Memahami bahasa Arab dengan benar dan baik.
o Menguasai ilmu-ilmu Al Qur’an (ushulut tafsir, qiroat,
dll).
6. Perhatian terhadap makna Al Qur’an sebagaimana interaksi
para sahabat ( ‫) االعتناء بمعاني القران التي عاشها الصحابة‬
o Ibnu Mas’ud berkata:
‫( إنا صعب علينا حفظ ألفاظ القران وسهل علينا العمل بها وإن من بعدنا‬
) ‫يسهل عليهم حفظ القران ويصعب عليهم العمل به‬
Sesungguhnya kami sulit menghafal lafad-lafad al-Qurán
dan mudah mengamalkannya, sementara orang-orang
sesudah kami mudah menghafal al-Qurán dan sulit
mengamalkannya.

o Ibnu ‘Umar pun berkata:


‫( لقد عشنا دهرا طويال واحدنا يؤتى اإليمان قبل القران فتنزل السورة‬
‫على محمد فيتعلم حاللها وحرامها وامرها وزاجرها وما ينبغي أن يقف‬
‫عندها ثم لقد رأيت يؤتى أحدهم القران قبل اإليمان فيقرأ ما بفاتحة الكتاب‬
.)‫إلى خاتمته اليدري ما أمره وال زاجره وماال ينبغي أن يقف عنده‬

18
Kami hidup cukup lama dan salah seorang kami diberi iman
sebelum al-Qurán, lalu turunlah kepada Muhammad satu
surah, ia mempelajari halal, haram, perintah dan larangannya
serta apa yang seharusnya berhenti (untuk merenungkan
dan mengamalkan) di hadapan surah itu. Sementara saya
melihat salah seorang di antara mereka diberi al-Qurán
sebelum iman, lalu ia membaca dari mulai pembuka
(Fatihah) al-Qurán sampai penutupnya, ia tidak memahami
apa yang diperintahkan dan tidak pula yang dilarangnya,
serta apa-apa yang tidak semestinya berhenti di hadap
(huku, nilai dan aturan)-nya.
7. Mencatat / menulis hasil renungan dari makna ayat yang
dibaca ( ‫) تسجيل الخواطر والمعاني لحظة ورودها‬.
8. Mempelajari ushul tafsir ( ‫) التمكن من أساسيات علوم التفسير‬
seperti sebab turun yata, nasikh mansukh, dan lain-lain.
9. Mempelajari ilmu pengetahuan dan wawasan kontemporer
( ‫) اإلستعانة بالمعارف والثقافات الحديثة‬. Baca QS. Ali ‘Imran: 137,
Al Hajj: 46. Seperti ayat-ayat kauniyah (6:97), ayat medis
(17:12), psikologi (2:228).
10. Langkah-langkah interaksi dengan Al-Qur’an
( ‫) خطوات التعامل مع القران‬:
• Menghadirkan suasana imani dengan cara
memperhatikan kepada adab-adab tilawah.
• Menghadapi Al Qur’an dan bersiap untuk membacanya.
• Bacalah kitab tafsir yang ringkas (seperti, kalimat Al
Qur’an, tafsir wa bayan, mukhtashar Ibnu Katsir, dan
sebagainya).
• Baca kitab tafsir besar (Al Alusi, Ath Thabari, dan
sebagainya).

Manhaj Tadabbur Yang Benar.


1. Tadabbur pola tafsir Qur’an dengan Qur’an, dengan
contoh-contoh sebagai berikut:

19
o Ayat-ayat yang global ditafsirkan dengan ayat-ayat
yang lebih rinci, seperti: Al-Baqarah: 37 dengan Al
A’raf: 23.
o Ayat yang mutlak (umum/tidak terikat) ditafsir dengan
ayat muqayyad (terikat), seperti: ayat yang menjelaskan
dua buah hukum berbeda karena alasan yang sama,
yakni wudhu dan tayammum (QS. Al Maidah:6).
o Ayat yang berkonotasi umum ditafsirkan dengan yang
khusus, seperti: ayat 254 dengan 67 surat Az Zuhruf.
o Menjamak (menghimpun) ayat-ayat yang diduga
berbeda, seperti ayat tentang ciptaan Adam dari “turab”,
“thin” dan “hamaim masnun”, yang sebenarnya bukan
kontradiksi tetapi ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang
fase-fase penciptaan Adam.
o Penafsiran ayat dengan qiroat yang lain, seperti ayat
( ‫ ) فاسعوا إلى ذكر هللا‬dengan qiroat ( ‫) فامضوا‬, yang berarti
pergi tanpa berlari-lari.
2. Tadabbur pola tafsir Qur’an dengan Hadits Nabi saw.,
seperti:
o Tafsir ayat 82 surat Al An’am (kata dzulm) ditafsir
dengan hadits nabi: “dzulm disini adalah syirik”
sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman: 13.
o Tafsir surat Al Ikhlash dan Al Kafirun yang ditafsirkan
dengan sikap Rasulullah saw. sebagaimana riwayat Ibnu
‘Umar, katanya: “Aku perhatikan Nabi selama 40 hari
dalam perang Tabuk, membaca pada setiap shalat
sunnah Shubuh surat Al Kafirun dan Al Ikhlash,
beliaupun bersabda: “Alangkah indahnya dua surat
tersebut, yang satu sama halnya seperempat Al Qurán ,
sedang yang lainnya sama seperti sepertiga Qur’an (Ad
Durar Mantsur 6/693). Sayyid Quthb berkata: “Suatu
pembuka lembaran hidup yang mempunyai arti yang
dalam (Fi Dzilalil Qur’an: 6/4005)

20
3. Tadabbur pola tafsir Al Qur’an dengan atsar sahabat,
seperti:
o Tafsiran Abu Bakar Ash Shiddiq terhadap ayat
( …‫اليضركم من ضل إذا اهتديتم‬... )
o Tafsiran ayat ( ‫ ) وثيابك فطهر‬oleh Ibnu ‘Abbas: Yaitu
tidak memakainya untuk maksiat dan tipu daya. Al
Maraghi menjelaskan lebih lanjut, katanya: “Sosiolog
barat memiliki hipotesa, bahwa orang yang kotor
cenderung suka berbuat kesalahan, karenanya mereka
menasehati agar para napi sering diminta mandi dengan
bersih. Prof. Bantam berkata: “Karena ajaran
kebersihan dalam Islam, umat Islam memiliki akhlak
yang mulia”(tafsir Al Maraghi 10/125-126).
4. Tadabbur dengan pola pemahaman bahasa Arab yang benar
dan tepat, contoh:
o Ayat 116-120 surat Al Maidah.
"‫العزيز الحكيم‬...‫"إن كنت قلته فقد علمته" و "إن تغفر لهم‬
o Ayat 58 surat Maryam, yaitu “Idhofat kata aayaat
kepada Ar Rahmaan”.
o Ayat 111 surat At Taubah, yaitu bacaan (yuqtalun) dan
(yaqtulun).
o Ayat perumpamaan iman dengan pohon yang
mengandung makna yang sangat dalam tentang iman.
Fakhrur Razi: Iman seperti pohon yang memiliki tiga
unsur, yakni akar yang kuat, batang yang kokoh dan
dahan yang bercabang-cabang. Demikian iman
mengandung tiga aspek yaitu: hati peneguh keyakinan,
lisan yang mendeklasikan keyakinan, dan jasad/anggota
badan yang membuktikan dengan sikap dan prilaku (At
Tafsir Al Kabir 19/119).

Konsep Dasar Metodologi Tadabbur:


Metodologi yang digunakan dan dikembangkan dalam kajian ini
mengacu kepada firman Allah, ‘Azza wa Jalla: “Sebagaimana Kami

21
telah mengutus seorang Rasul di antara kamu, yang membacakan (yatluu,
atau men-tilawah-kan) kepada kamu sekalian ayat-ayat Kami,
membersihkan (yuzakkii, men-tazkiah) kamu, mengajarkan (yu’allimu,
men-ta’lim) kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), dan
megajarkan (ta’lim) kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu
ketahui. “ (QS. 2: 151).

Ayat ini memformulasikan sistematika pembentukan manusia


qur’ani dalam tiga tahapan dan proses yang dapat dilakukan
secara simultan:

Pertama: Tilawah “Yatluu ‘alaikum”, sebagai Proses


pembacaan (Penguasaan Rumusan berbagai Informasi
dan Pengetahuan). Ini adalah langkah pertama proses
pembelajaran. Tanpa simpanan sejumlah informasi yang telah
terumuskan, seperti paradigma, perspektif dan teori-teori ilmu
pengetahuan, seseorang tidak mungkin dapat berfikir apalagi
untuk menyimpulkan dan merumuskan sesuatu yang dihadapi
dan dialaminya. Untuk itu “membacakan ayat-ayat” (tilawah)
mengisyaratkan kepada penguasaan informasi yang sudah
terumuskan dan mudah dicerna. Ini sangat diperlukan terutama
dalam pembentukan mind set (tatanan pemikiran) sebagai awal
pengembangan kecerdasan seseorang.

Ayat-ayat, baik qauliah (wahyu) maupun kauniah (sains), secara


bahasa dapat diartikan dengan tanda-tanda, seperti nama yang
merupakan tanda, rumusan dan identitas seseorang atau
sesuatu. Penguasaan nama-nama: benda, sifat dan pekerjaan,
berarti penguasaan terhadap rumusan-rumusan dan tanda-tanda
dari segala bentuk dan jenis kehidupan. Inilah yang pertama kali
diajarkan Allah kepada manusia pertama “Dan Dia telah
mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya”. (QS.2:31).

Kedua: Tazkiyah “yuzakkii-kum”, sebagai proses penyucian


(Purifikasi). Langkah ini jarang ditemukan dalam proses
22
pembelajaran dalam sistem pendidikan selain Islam. Padahal
proses pembersihan yang diisyaratkan dalam ungkapan ayat
“dan membersihkan kamu” ini sangat diperlukan dalam
menetralisir pemikiran, perasaan dan moral dari muatan-muatan
negatif yang akan mengganggu dan merusak jaringan hidup
manusia. Dengan demikian maka potensi-potensi manusia akan
teroptimalkan ke arah dan tujuan yang lebih efektif dan efisien.
Karena pemikiran, perasaan dan prilaku yang sia-sia dan negatif
seringkali mengacaukan aktifitas fikir, rasa dan aksi seseorang
yang lebih jauh lagi akan membawa kepada cacat
kepribadiannya. Namun demikian langkah ini tidak berarti
bahwa seseorang tidak perlu memahami hal-hal negatif atau
buruk. Justeru proses ini mendorong agar seseorang
mengetahuinya agar ia terhindar dari bahaya keburukan itu.

Ke tiga: Ta’lim “yu’allimu-kum” sebagai proses pengajaran


(Penguasaan Sumber-sumber ilmu dan berbagai
informasi). Informasi yang belum diketahui baik Ilmu
Pengetahuan “sciences” maupun Kebijaksanaan
“wisdom”. Langkah ketiga ini merupakan langkah jauh dari
proses pembentukan generasi manusia agar lebih siap dalam
menghadapi dan menjalani kehidupannya. Penguasaan Sumber-
sumber ilmu dan informasi ini dapat dibagi kepada dua bidang:

1. Aspek Epistemologi dan Methodologinya. Memahami


ilmu tentang asal-usul (epistemolosi) Ilmu Pengetahuan
diperlukan untuk mengetahui sources “sumber-umber” murni
dan dapat dipertanggungjawabkan sisi kebenarannya secara
ilmiah dan argumen-argumen yang mendukungnya. Dan
penguasaan methodologi Ilmu diperlukan dalam upaya
memahami cara bagaimana ilmu pengetahuan itu
dirumuskan menjadi formula kehidupan yang dapat
dipelajari dan diterapkan.

23
Ungkapan “dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah”
menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran harus
memperhatikan penguasaan kedua sisi ini. Al-Kitab (al-
Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) merupakan sumber dan
asal usul ilmu pengetahuan yang membekali seseorang dalam
proses berfikir secara deduktif dan induktif. Di samping
mengajarkan methodologi (bagaimana cara) ilmu
pengetahuan itu diperoleh. Sementara ilmu Pengetahuan lain
seperti Sejarah, terutama sirah nabawiyyah (sejarah hidup
Rasulullah, shallallahu alaihi wa sallam), yang juga termasuk
dalam kedua sumber di atas, menggambarkan bagaimana
suatu ilmu itu diterapkan dalam kehidupan yang kongkret
dan lebih pragmatis.

2. Aspek informasi dan Masalah-masalah Baru yang


Dinamis. Ini diisyaratkan dalam ungkapan “dan mengajakan
kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui”. Proses ini
merupakan langkah antisipatif terhadap masa depan dan
dinamika kehidupan yang terus berkembang. Penguasaan
informasi dan masalah-masalah yang belum pernah
diketahui terutama oleh bangsa lain adalah cara terbaik
dalam mengungguli dan mendahului seseorang dan bangsa
tersebut sehingga siap berkompetisi dalam meraih peluang
masa depan. Dukungan dan pengembangan ilmu
pengetahuan lain warisan pengalaman seseorang atau suatu
bangsa mendapat perhatian dalam proses pendidikan Islam.
Karena “Al-Hikmah (wisdom) adalah sesuatu yang hilang dari
seorang mu’min. Kapan dan di mana saja ia menemukannya maka
ia lebih berhak (mengambilnya).” (al-Hadits). Dengan demikian
kriteria “hamba-hamba Allah yang sholeh” pewaris bumi ini
(QS. 21:105) dapat terpenuhi oleh generasi qur’ani.

24
Skema Proses Pengembangan Informasi Islam

II. SYARIÁH Individu:


ISLAM
Kepribadian: Otak
Pemikiran
C. Pendukung
(al-Muáyyidat): Keyakinan-Perasaan
Da’wah & Jihad Prilaku Berfikir
Hukum (Pidana & Perdata)
Amar Ma’ruf & Nahyi Munkan
Hati
B. Struktur (al-Binaa’):
Masyarakat (Society):
1. Primer (Ibadah, Arkan Islam) Peradaban:
2. Sekunder: Ideologi-Pemikiran
Muámalah, Sistem Hidup,(Politik, Sains-Teknologi Merasakan-
Ekonomi, sosial, Adat-Budaya-Tradisi Meyakini
Pendidikan & Keluarga) Politik
3. Tersier: Ekonomi Fisik
Etika (Adab & Moral Pendidikan
Estetika

Kehidupan Kerja
A. Fondasi (al-Asaas): Arkan Iman
Prilaku

I. AQIDAH

Penjelasan:
1. Manusia diciptakan dengan dianugrahi 3 komponen dasar:
 Akal yang berfungsi untuk berfikir atau berkhayal
sehingga menghasilkan produk berupa pemikiran atau
khayalan
 Hati yang berfungsi merasakan; cinta, takut, sayang,
benci dan sebagainya atau meyakini untuk menghasilkan
produk berupa perasaan dan keyakinan. Dan
 Jasad atau Fisik yang berfungsi untuk berbuat atau
bertindak (sebagi pelaksanaan atau eksekusi dari hasil

25
keputusan akal dan hati), sehingga melahikan produk
berupa perilaku atau perbuatan.
2. Ketiga produk inilah yang menjadi dasar terbentuknya
kepribadian manusia dengan susunan lapis terluar adalah
perilaku kemudian pemikiran dan yang terdalam adalah
keyakinan.
3. Kepribadian sebagai Output sangat bergantung kepada
Input yang terdiri dari Apa seperti informasi dan siapa
yang merupakan informan atau pembawa berita.
4. Seluruh Input ini diproses dengan Sistem/Prosesor yang
terdiri dari 3 komponen penting di atas sehingga
menghasilkan Output berupa kepribadian di tingkat
pribadi dan peradaban di tingkat sosial dan international.
5. Jika yang menjadi sumber informasi tentang kehidupan
adalah Islam sebagaimana tersruktur pada gambar di atas,
mulai dari fondasi berupa aqidah sampai struktur
bangunan itu sendiri berupa syari’ah, lengkap, integral dan
universal (mencakup berbagai aspek kehidupan), maka
kepribadian seseorang dan peradaban suatu bangsa juga
demikian, jelas, integral dan universal.

Pendekatan Metododologi Tadabbur:


Dari kerangka ini dapat dirumuskan metodologi tadabbur yang
dapat dikembangkan dengan lima pendekatan:
• Integratif (Memahami struktur pemahaman integral secara
korelatif antara ayat atau surah atau realitas kehidupan:
politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, seni dan
sebagainya).

Pendekatan ini, membantu kita memahami struktur suatu


ayat atau surah secara terpadu. Tidak ada kesan dikotomi di
dalamnya. Sehingga pesan dan gagasan utama ayat atau
surah tersebut dapat ditangkap dengan baik. Kita akan
menemukan hubungan satu konsep dengan konsep lain

26
secara interaktif dan saling terkait. Sehingga mengerucut
pada satu titik kesimpulan, yaitu berupa konsep, teori,
paradigma atau cara tertentu tentang suatu permasalahan
dalam kehidupan yang dibimbing al-Qur’an.

Contoh, pemahaman tentang kata hudan (petunjuk) dalam


ayat 2 surah al-Baqarah. Konsep tentang petunjuk ini, jika
diperhatikan kata dan ayat-ayat selanjutnya, maka memiliki
hubungan kuat dengan keperluan manusia (orang-orang
beriman) yang baru saja membentuk masyarakat baru yaitu
masyarakat Madihah Munawwarah. Antara lain petunjuk
untuk memahami tipologi masyarakat dengan masing-
masing karakteristiknya. Ayat 2-5, menggambarkan tipe
masyarakat muttaqin dengan karakteristik utama sebagai
masyarakat beriman kepada keghaiban (Allah), menegakkan
sholat, menunaikan zakat, beriman kepada kitab-kitab-Nya,
dan begitu yakin pada kehidupan akhirat yang lebih pasti
dan abadi. Ayat 6-7 (dua ayat) menggambarkan tipe
masyarakat kafirin (orang-orang kafir) yang karakteristik
utamanya adalah ketertutupan telinga, mata dan hati mereka
terhadap petunjuk Allah. Selanjutnya dalam 13 ayat (ayat 8-
20) al-Qur’an memberikan petunjuk cara memahami dan
menyikapi tipe dan karakteristik munafiqin (orang-orang
munafik, hipokrit dan ambivalen) secara lebih rinci karena
sulit mengidentifikasi mereka. Antara lain mereka
mengklaim sebagai kelompok reformis padahal
sesungguhnya perusak.

• Tematik (Menemukan dan merumuskan topik dan tema


utama: seperti aqidah, ibadah, sains dan ilmu pengetahuan,
politik, ekonomi, manajemen, pendidikan, dari setiap
pembahasan dalam setiap ayat, surah atau juz ).

27
Pendekatan ini membimbing kita memiliki kemampuan
merumuskan sebuah tema tertentu, sebagai salah satu
mutiara dari sekian banyak mutiara al-Qur’an, yang terkait
dengan permasalahan hidup. Dengan demikian kita akan
selalu mendapat bimbingan untuk selanjutnya memiliki
kemampuan baru dan terus berkembang dalam menjalani
kehidupan sesuai dengan tema-tema permasalahan yang kita
hadapi.

Contoh, kata hudan (petunjuk) dalam ayat 2 surah al-


Baqarah di atas, juga dapat dirumuskan dan dikembangkan
menjadi tema utama ”urgensi petunjuk dalam memetakan
kehidupan”. ”Keumuman” kata petunjuk ini
menginspirasikan keseluruhan jenis petunjuk yang
diperlukan manusia. Di antaranya petunjuk
mengembangkan pemikiran dan kecerdasan, petunjuk
menyelesaikan masalah-masalah penting; seperti
kebodohan, kemiskinan dan kezaliman, kepada kecerdasan,
kesejahteraan dan keadilan, petunjuk membangun
kepribadian, atau petunjuk membangun manusia yang
berperadaban tinggi dan agung. Seperti generasi qur’ani
tedahulu yang berhasil memposisikan diri sebagai agent of
change (agen perubahan) karena memiliki kemampuan tinggi
merubah setiap bangsa yang dipimpinnya ke kehidupan
yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

• Komparatif (Memformulasikan setiap tema dan topik


melalui analisa perbandingan dengan ayat, surah, realitas,
fakta, dan ilmu pengetahuan, masa lalu dan masa
kontemporer lainnya ).

Pendekatan ini diperlukan untuk melihat perbedaan atau


persamaan yang signifikan antara konsep dan realitas
kehidupan yang digambarkan dalam ayat atau surah dengan

28
realitas lainnya. Seperti saat memahami sejarah suatu
bangsa, apa yang sesungguhnya merupakan faktor esensial
kebangkitan atau kehancuran suatu bangsa. Demikian
halnya dengan cara memahami masyarakat muslim saat ini,
jika dibandingkan dengan masyarakat muslim di masa
Rasulullah, shallallahu ’alaihi wa sallam, para shahabat atau
khulafa’ur rasyidin (para khalifah dan negarawan yang
mendapat petunjuk Allah).

• Paradigmatik (Merumuskan sejumlah paradigma (cara


pandang) aktual dari setiap topik dan tema sebagai kerangka
membangun teori, konsep dan pisau analisis terhadap
permasalahan yang berkembang )

Pendekatan ini bertujuan untuk merumuskan sebuah


paradigma. Apa yang dimaksud dengan "paradigma" di sini
adalah seperti yang dipahami oleh Thomas Kuhn bahwa
pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of
thought (model pemikiran) atau mode of inquiry (model
penyelidikan) tertentu, yang pada gilirannya akan
menghasilkan mode of knowing (model atau cara mengetahui)
tertentu pula. Immanuel Kant, misalnya menganggap
"cara-mengetahui" itu sebagai apa yang disebut skema
konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan
Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa.

Dalam pengertian ini, menurut Kuntowijoyo, paradigma


Al-Quran berarti suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-
Quran memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu
dibangun oleh Al-Quran pertama-tama dengan tujuan
agar kita memiliki "hikmah" yang atas dasar itu dapat
dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif
Al-Quran, baik pada level moral maupun sosial

29
• Empirik (Mengaktualisasikan cara pandang (paradigma)
qur’ani terhadap permasalahan kontemporer yang lebih ril,
empirik dan nyata sesuai pesan Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin ).

Pendekatan ini adalah untuk memberikan jawaban terhadap


tuntutan sekelompok kalangan intelektual yang cenderung
melihat Islam sebagai konsep langitan atau kurang
membumi. Padahal Islam dan al-Qur’an sebagai sumber
utamanya merupakan kitab petunjuk manusia di bumi.
Permasalahannya adalah terletak pada kemampuan
membahasakan sebagian konsep atau kata, karena memang
tidak seluruhnya, dalam suatu ayat atau surah dengan bahasa
yang lebih menyentuh dan tersentuh dalam kehidupan
keseharian.

Al-Qur’an sendiri sering mengajak para pembacanya


mengamati hal-hal empirik seperti pengamatan (observasi)
terhadap bumi, langit, gunung, atau binatang seperti onta.
Perbedaaanya dengan pendekatan filsafat adalah terletak
pada cara mengambil kesimpulan atau pelajaran. Dalam
paradigma qur’an, fakta empirik bukan standar untuk
mengukur kebenaran, tetapi untuk mengamati hasil yang
disebabkan oleh sebuah nilai, prinsip atau keyakinan yang
melatarbelakanginya. Atau sebaliknya, yaitu untuk melihat
pengaruh empirik terhadap nilai, sikap dan keyakinan
seseorang.

30
Pendekatan Metodologi Tadabbur

☻ Integratif (Memahami struktur


pemahaman integral secara korelatif
antara ayat atau surah)
☻ Tematik (Menemukan dan
merumuskan topik dan tema utama
setiap pembahasan dalam setiap
ayat, surah atau juz ).
☻ Komparatif (Memformulasikan setiap
tema dan topik melalui analisa
perbandingan dengan ilmu
pengetahuan kontemporer ).
☻ Paradigmatik (Merumuskan sejumlah
paradigma aktual dari setiap topik
dan tema sebagai kerangka
membangun teori, konsep dan pisau
analisis terhadap permasalahan yang
berkembang )
☻ Empirik (Mengaktualisasikan cara
pandang (paradigma) qur’ani
terhadap permasalahan kontemporer
yang lebih ril, empirik dan nyata
sesuai pesan Islam sebagai rahmatan
lil ‘alamin ).

31
Skema Metodologi Tadabbur
Ayat Ayat •I’Tiqadiah (Keyakinan)
•Fikriah (Pemikiran)
•Ruhiah (Kerohanian)
Surah •Khuluqiah (Akhlaq)
Munasabah Maudlu’at
•A’iliah (Keluarga)
Pemahaman (Hubungan) (Tema-tema)
Sunnah •Ijtima’iah (Sosial)
•Iqtishodiah (Ekonomi)
•Siasiah (Politik)
Waqi •Tarbawiah (Pendidikan)
Surah (Realita) •‘Askariah (Militer)

Penjelasan:
Pemahaman merupakan faktor yang sangat ditekankan dalam
tadabbur. Dalam pemahaman suatu ayat atau surah hendaknya
diperhatikan aspek munasaban (hubungan atau korelasi) antara
konsep dengan konsep, teori dengan teori, atau kata dengan
kata sesuai dengan maudlu’at (tema-tema) yang diangkat.
Selanjutnya tema-tema tersebut juga dihubungkan dengan tema-
tema, konsep-konsep, atau konstruk teori ang sama atau yang
terkait dalam ayat, surah, sunnah (Hadits Rasulullah,
shallallahu ’alaihi wa sallam) lainnya dan juga waqi’ (realitas) yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari). Di antara tema-tema
atau konsep dan teori yang sering dijumpai adalah i’tiqadiah
(keyakinan atau ideologi), fikriah (pemikiran), ruhiah
(spiritualitas atau korohanian), khuluqiah (moralitas atau
akhlaq), a’iliah (keluarga), ijtima’iah (sosial), iqtishadiah
(ekonomi), siasiah (politik), tarbawiah (pendidikan) dan
’askariah (militer dan jihad).

Sistematika Tadabbur:
Tadabbur yang disajikan dalam buku ini menggunakan
sistematika sebagai berikut:
32
A. Terjemahan:
Terjemahan merupakan kerangka pemahaman yang sangat
global dari suatu kata, ayat, atau surah dari al-Qur’an. Dengan
terjemahan ini pembaca dapat memahami kerangka utama yang
dimaksudkan dengan firman Allah tersebut. Terjemahan
sebenarnya merupakan tafsir (interpretasi) yang paling
sederhana dari al-Qur’an. Karena sesungguhnya tidak ada
terjemahan kata demi kata. Jika hal itu dilakukan maka akan
membiaskan arti yang sesungguhnya dimaksudkan sebuah kata
dalam al-Qur’an.

Seperti bias kata al-Islaam (dalam QS. 3:19) yang


diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata
penyerahan diri. Yang dimaksud dengan al-Islaam dalam ayat
tersebut adalah Islam sebagai terminologi (nama) agama. Islam
memang merupakan agama yang menekankan penyerahan diri
seseorang kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-
Nya. Tetapi tidak setiap bentuk penyerahan diri apalagi kepada
selain Allah dapat dikategorikan sebagai orang beragama Islam.
Maka terjemahan ayat terbebut adalah: ”Sesungguhnya agama di sisi
Allah itu adalah al-Islaam.” Tidak perlu diterjemahkan dengan
kalimat : ”Sesungguhnya agama di sisi Allah itu adalah
penyerahan diri.

B. Kandungan:
Kandungan yang dimaksudkan adalah proses kategorisasi atau
pengelompokan pokok bahasan setiap ayat atau kata ke dalam
tema-tema atau konsep-konsep, bahkan berupa konstruk teori
seperti yang dikemukakan dalam metodologi tadabbur.

Misalkan ayat pertama surah al-Fatihah yang artinya ”Dengan


nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” dikategorikan
ke dalam tema atau konsep aqidah. Demikian dengan ayat ke
duanya yaitu ”Segala puji milik Allah Tuhan (Rabb) semesta Allah”,
dikategorikan ke dalam konstruk teori aqidah yang sangat
33
mendasar yaitu pengakuan kepada milkiah (hak milik) dan
mulkiah (kerajaan) Allah atas alam semesta ini.

C. Waktu dan sebab turun:


Waktu dan sebab turun suatu ayat atau surah, juga disinggung
untuk memberikan kerangka kontekstual atau latar belakang
diturunkannya ayat atau surah tersebut. Tetapi tidak setiap ayat
atau surah diturunkan dengan suatu sebab tertentu. Pemahaman
kontekstual yang terpadu dengan pernyataan tekstual adalah
cara yang sangat diperlukan dalam memahami al-Qur’an.

Dengan demikian pesan-pesan al-Qur’an akan selalu tetap


aktual dan mampu mengantisipasi perkembangan dan dinamika
kehidupan manusia di setiang ruang (tempat) dan waktu
(zaman). Cara ini akan menghindarkan siapa pun yang mencoba
memahami al-Qur’an dari jebakan pemahaman secara ”ekstirm
tekstual” yang terkesan kaku atau ”ekstrim kontekstual” yang
bisa menimbulkan bias.

D. Tadabbur:
Tadabbur adalah proses selanjutnya yang menjadi inti
pembahasan. Tadabbur pada langkah ini dimaksudkan untuk
mengajak pembaca terlibat bersama-sama memikirkan,
memahami, merenungkan dan mempelajari kata demi kata,
konsep demi konsep, ayat demi ayat, dengan cara berulang-
ulang mengikuti pendekatan dan saran-saran yang telah
dikemukakan di atas.

1. Paradigma, Perspektif dan Gagasan:


Tesis untuk mengembangkan gagasan mengenai niscayanya
perumusan teori -dalam hal ini teori sosial — yang
didasarkan kepada Al-Quran, menurut Kuntowijoyo,
pertama-tama adalah bahwa kita perlu memahami Al-Quran
sebagai paradigma.

34
Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan itu juga
memungkinkan kita merumuskan desain besar mengenai
sistem Islam, termasuk dalam hal sisten ilmu
pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran
aksiologis, paradigma Al-Quran juga dapat berfungsi untuk
memberikan wawasan epistemologis. ...Fungsi paradigma
Al-Quran pada dasarnya adalah untuk membangun
perspektif Al-Quran dalam rangka memahami realitas. (Dr.
Kuntowidjoyo, Paradigma Islam, Interaksi untuk Aksi,
halaman 327)

2. Analisa Kandungan:
Langkah ini dimaksudkan untuk mengajak pembaca terlibat
secara aktif dan bersama-sama menganalisa dan mengurai
ayat demi ayat. Dengan cara mengkonsentrasikan
pemikiran, perasaan dan seluruh perhatian pada setiap tema
dan pokok bahasan. Beri kesempatan sejenak kepada akal
pikiran dan hati nurani untuk menghubungkannya dengan
kehidupan sehari-hari, dan usahakan untuk menghayati dan
merasakan setiap pesan dan firman Allah seakan-akan
ditujukan untuk diri anda sendiri, bukan untuk orang lain.
Nikmati setiap sentuhan kalimat dan suara yang dilantunkan
saat membacanya.

Bukalah pikiran dan hati seluas-luasnya untuk menerima


curahan ni’mat dan rahmat Allah saat tadabbur ini. Terakhir
konsentrasikan seluruh pikiran dan perasaan untuk menyatu
dalam do’a seraya memohon bimbingan, petunjuk dan
taufiq-Nya agar selalu menjaga pesan-pesan setiap kalimat
dan ayat yang dibaca dalam aktifitas sehari-hari. Bacalah
do’a:

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah


Engkau memberikan petunjuk kepada kami, dan anugerahkan

35
kepada kami rahmat (kasih sayang) dari sisi-Mu, sesungguhnya
Engkau Maha Pemberi”.

3. Rumusan Bagan dan Kesimpulan


Untuk membantu mengingat kandungan dan pokok-pokok
pikiran yang terdapat dalam setiap surah atau suatu ayat,
pada bagian akhir tadabbur ini dirumuskan dan disimpulkan
tema-tema penting dalam bentuk suatu bagan atau skema.

Dengan demikian pembaca diharapkan tetap dapat menjaga


dan memelihara struktur pemakahaman yang sistematis dan
bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Sehingga perilaku
kita selalu dikontrol dengan paradigma qur’ani yang lebih
menjanjikan masa depan hidup cemerlang dan suci dengan
kepribadian dan peradabannya yang agung.

36
The Grand Design of

Muslim Visioner
(Membangun dan Mengembangkan Visi
Seorang Muslim dalam Perspektif Surah al-
Fatihah)

Surah al-Fatihah
E. Terjemahan
F. Kandungan
G. Waktu dan Sebab Turun
H. Tadabbur:
• Perspektif dan Gagasan
• Analisa Kandungan
• Paradigma Qur’ani
• Rumusan Bagan dan Kesimpulan

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu


penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-
orang yang mempunyai fikiran.
(Surah: 38. Shaad: 29 diturunkan di: Makkah)

“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an


untuk pelajaran maka adakah orang yang mengambil
pelajaran.”
(Al-Qomar:17)

37
Visi diri adalah seperti apakah
penampilan diri di masa depan. Visi
merupakan representasi dari keyakinan
bagaimanakah seharusnya diri itu di
masa depan dalam pandangan orang-
orang yang terkait (Orang tua,
masyarakat, organisasi dan lingkungan),
langsung atau tidak, terhadap
kepribadian diri anda.

Misi diri adalah konsep keseluruhan diri.


Dibandingkan dengan visi, misi lebih
komprehensif.

Hal-hal yang tercakup dalam misi:


1. Konsep diri
2. Sifat pengembangan diri
3. Alasan keberadaan pribadi
4. Pihak-pihak yang dilayani
5. Prinsip dan nilai yang dijadikan
pegangan saat kita menjalankan diri.

38
• Surah al-Fatihah sangat diperlukan
untuk membangun, mempertajam dan
memperkokoh keimanan sebagai
sumber pembentukan visi dan misi
dalam menyelamatkan kehidupan

• Surah ini adalah “The Grand Design”,


rancangan dan pola besar, untuk
membangun sebuah peradaban
manusia yang baru.

39
Keagungan surah al-Fatihah:
• Pilihan yang mewakili seluruh al-Qur’an
untuk dibaca setiap hari minimal 17
kali
• Surah yang paling agung di dalam al-
Qur’an
• Ummul Kitab ( yang artinya: Induk al-
Kitab atau al-Qur’an) adalah nama
yang merepresentasikan seluruh inti
ajaran Islam yang terkandung dalam
al-Qur’an
• al-Fatihah (yang artinya pembuka)
adalah nama yang menggambarkan
dan mempelopori sistematika
penyusunan cukup modern dan baru
dikenal dalam sistem pembuatan
konstitusi.
 Al-Fatihah (pembuka) dapat menjadi
filosofi pembuka berbagai aspek
kehidupan manusia; wawasan yang
dangkal, jiwa dan spiritualitas yang
sesak dan lelah, visi dan misi hidup
yang sempit dan sebagainya.
 Sepuluh (10) Rumusan isi dan
kandungan al-Fatihah, adalah induk
dan pokok-pokok pemikiran ajaran

40
Islam, yang secara global terdiri dari
aqidah dan sayari’ah.
 Pendidikan qur’ani mengoptimasikan
kecerdasan yang integral dan integratif
(terpadu); antara kecerdasan
intelektual (IQ) dengan metode
fikirnya, kecerdasan spiritual (atau
kecerdasan emosi, Emotional
Intelligence-EQ) dengan metode
zikirnya dan kecerdasan pisik atau
moral dengan metode amal sholehnya.
 Gagasan besar (The grand Idea) surah
ini menawarkan konsep universal dan
holistik bagi pengembangan diri,
kepribadian, visi dan misi seorang
manusia dan peradaban
masyarakatnya.
• Sadar, karena sesungguhnya tidak ada
upaya dan kekuatan kecuali oleh-Nya
“Laa haula wa laa quwwata illaa bil-
Laah”.
• Kebersamaan (ma’iyyah) Allah jauh
lebih berarti dari kesertaan seorang
manusia, kawan atau pengawas.
Kebersamaan-Nya adalah anugerah
dan ni’mat bagi kita, saat itulah kita
dapat berkomunikasi dan berkonsultasi

41
dengan-Nya lewat dzikr, aspek yang
senantiasa perlu kita tingkatkan
karena inilah bagian dari kecerdasan
seorang mu’min. Ya’ni kecerdasan
emosi (emotional intelligence).
• Tidak sepantasnya kita “suu-udz dzann
(berburuk sangka, negative thinking)”
kepada-Nya. Karena ternyata semua
(Islam) itu semata-mata merupakan
kasih dan sayang-Nya kepada ummat
manusia, “rahmatan lil-‘aalamiin”.
• Pengalaman ruhani ini begitu penting
dalam proses membentuk diri dan jiwa
ikhlash. Pikiran dan perasaan kita
dibimbing oleh-Nya agar cita-cita dan
harapan akan imbalan (kompensasi)
itu terpusat pada-Nya.
• Tiada aturan yang paling tepat, benar
dan pas selain aturan Maha Pencipta
yang Maha Tahu akan seluruh aspek
ciptaan-Nya.
• Kasih dan sayang-Nya tidak pernah
sirna atau terhenti diberikan dan
dianugerahkan, sebesar apapun dosa
manusia.

42
• Berbagai pintu kesempatan dan
peluang memperbaiki diri dan taubat
dibuka demikian luas dan banyak.
• Pengalaman aqidah ketiga ini pun
segera menyadarkan kita pada hakikat
penciptaan manusia. Sebahagian besar
manusia mengira bahwa mereka
diciptakan dengan berbagai fasilitas
rahmat dan ni’mat-Nya sia-sia tanpa
pertanggungan jawab.
• Ayat ini membangun kesadaran aqidah
selanjutnya dalam proses
pembentukan cara pandang, misi dan
visi kita dalam kehidupan. Mengubah
wacana dan kepribadian kita dengan
integritas diri yang kokoh dan kuat
sesuai dengan visi dan misi hidup yang
jauh ke depan melampaui batas
kehidupan duniawi yang sesaat
menuju kehidupan ukhrawi yang serba
pasti dan abadi.
• Sadar bahwa seluruh tindakan dan
perbuatan akan mendapat balasan;
baik atau buruk membuat kita selalu
memiliki pertimbangan yang matang
dalam mengambil keputusan.

43
Kesadaran ini demikian penting untuk
mengontrol kualitas diri kita
• Dalam cara pandang Islam, seluruh
perbuatan dan aktifitas manusia
adalah ‘ibadah. Perkataan dan
pebuatan, baik akal dengan
berpikirnya, hati dengan perasaan dan
keyakinannya, dan pisik (jasad)
dengan prilakunya, adalah ‘ibadah
manakala dilakukan dalam kerangka
tha’ah kepada Allah.
• Demikian besar dan luas aspek-aspek
‘ibadah ini, mengaharuskan kita untuk
selalu memohon pertolongan kepada
Allah, satu-satunya yang Maha
berkemampuan mewujudkan apa saja
yang diminta manusia.
• Pertolangan yang paling berarti bagi
manusia adalah petunjuk, guidance-
Nya. Ibarat peta kehidupan yang
sangat diperlukan bagi seseorang yang
tengah menempuh perjalanan jauh ke
wilayah dan tempat yang sama sekali
baru diinjaknya. Itulah perjalanan
hidup manusia di dunia.
• Jalan lurus yang selalu menjadi pilihan
orang-orang terbaik, dari kalangan

44
para Nabi dan Rasul, orang-orang
sholih, syuhada (para syahid di jalan
Allah) dan shiddiqin (orang-orang
jujur).
• Pengalaman sejarah ini menasehati
kita agar konsisten “istiqamah” dalam
menempuh perjalanan hidup sesuai
dengan jalan lurus yang digariskan
Pencipta Yang Maha Bijak. Dia
senantiasa mengingatkan kita, minimal
sehari tujuh belas kali dalam tujuh
belas rakaat sholat lima waktu ini,
untuk selalu berada di titik sadar agar
tidak tersesat atau disesatkan orang
lain.
• Nilai universal sejarah inilah yang perlu
diingat, jangat mengganggu,
membahayakan, merugikan dan
menyesatkan orang lain (seperti
Yahudi yang dimurkai Allah) dan
jangan mau atau tidak sadar diganggu,
dibahayakan dan disesatkan orang
lain.

45
46
Surah: 1. Al-Fatihah
Diturunkan di Makkah

A. Terjemahan:

1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi


Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai di Hari Pembalasan
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan.
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

B. Kandungan:

Surah ini mengandung rumusan induk dan pokok-pokok


pemikiran dan ajaran Islam (Ushulud Din) yang merumuskan
seluruh muatan inti tujuan-tujuan esensial ajaran Islam dalam al-
Qur’an, yaitu:
1. Aqidah,
2. ‘Ibadah,
3. Tasyri’ (perundang-undangan syari’ah),
4. Iman kepada hari akhir,
5. Iman kepada nama-nama Allah yang terbaik (Al-Asmaa’ul
Husnaa),
6. Meng-esa-kan-Nya dalam ber’ibadah, isti’anah (memohon
pertolongan), dan do’a.

47
7. Permohonan hidayah ke jalan yang benar dan lurus
(konsisten),
8. Permohonan agar selalu teguh atas keimanan dan
konsisten menempuh jalan para Nabi dan Rasul, orang-
orang shaleh, orang-orang jujur (shiddiqin), dan para syahid
(syuhada).
9. Menjauhi sikap dan jalan yang ditempuh orang-orang
yang dimurkai Allah (Yahudi) dan orang-orang sesat
(Nashrani),
10. Sejarah tentang kisah orang-orang terdahulu.

C. Waktu dan sebab turun:

Surah ini merupakan surah yang pertama turun secara


sempurna sebagai satu surah. Diturunkan di Makkan sebelum
Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah.
Melihat waktu dan tempat turunnya, surah ini sangat diperlukan
ummat Islam dalam membangun, mempertajam dan
memperkokoh keimanan sebagai sumber pembentukan visi dan
misinya dalam menyelamatkan kehidupan. Tidak berlebihan
jika kita melihatnya sebagai “The Grand Design” rancangan dan
pola besar untuk membangun sebuah peradaban manusia yang
baru.

D. Tadabbur:

1. Perspektif dan Gagasan:

1. Demikian agung surah ini, sebagai bukti keagungannya


antara lain:
 Surah ini menjadi pilihan yang mewakili seluruh al-
Qur’an untuk dibaca setiap hari minimal 17 kali di
setiap rakaat shalat, sekaligus menjadi salah satu

48
rukunnya. Pemilihan ini dapat dipahami dan
dimengerti jika kita memahami dan mengerti
kandungannya.

 Abu Sa’id Rafi’ bin Mu’alla berkata: Rasulullah,


shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda kepadaku:
“Tidakkah Aku ajarkan kepadamu satu surah yang
paling agung di dalam al-Qur’an sebelum kamu keluar
dari Mesjid?”, lalu beliau mengambil kedua tanganku,
maka ketika kami hendak keluar, Aku berkata: Wahai
Rasulullah sesungguhnya Engkau bersabda: Sungguh
akan Aku ajarkan kepadamu surah yang paling agung
dalam al-Qur’an? Beliau menjawab: “Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam (yakni al-Fatihah), yaitu
tujuh (ayat) yang diulang-ulang dan al-Qur’anul ‘adzim
yang telah dianugrahkan kepadaku”. (Hadits riwayat
Bukhari).

 Diantara nama surah ini adalah Ummul Kitab ( yang


artinya: Induk al-Kitab atau al-Qur’an). Nama ini
merepresentasikan dan memuat seluruh inti ajaran
Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Sehingga
cukup beralasan jika manusia dapat dan harus
mengingatnya sebanyak 17 kali. Ini diperlukan sebagai
kontrol kualitas dirinya yang sangat rentan dengan
berbagai penyimpangan dan deviasi. Khususnya
orientasi hidup yang sering berada di persimpangan
jalan akibat kuatnya pengaruh kepentingan hidup
duniawi yang pragmatis dan hedonis.

 Nama yang sudah dikenal luas adalah al-Fatihah (yang


artinya pembuka). Nama ini menggambarkan bahwa
sekalipun al-Qur’an bukan merupakan Kitab Undang-
Undang atau konstitusi, tetapi ia memiliki dan

49
mepelopori sistematika penyusunan yang cukup
modern dan baru dikenal dalam sistem pembuatan
konstitusi. Surah al-Fatihah adalah preambule dari
keseluruhan batang tubuh al-Qur’an yang cukup
terinci.

2. Ditinjau dari muatan dan isinya, nama ini (al-Fatihah


atau pembuka) dapat menjadi inspirasi ”pembuka”
berbagai aspek kehidupan manusia. Pembuka wawasan
yang sempit, misalkan wawasan yang duniawi oriented
dibuka seluas-luasnya agar juga mengakui dan memiliki
wawasan ukhrawi oriented yang jauh lebih menjanjikan.
Pembuka jiwa dan spiritualitas yang sesak dengan
berbagai kesempitan visi dan misi hidup; kemiskinan,
kezaliman dan konflik sosial akibat persaingan
kepentingan, ke arah jiwa yang lapang, dewasa dan
dapat menikmati hidup karena visi dan misi hidupnya
yang lebih jauh dan lebih luas. Keluasan visi, misi dan
orientasi ini sangat berarti bagi seorang manusia. Karena
seringkali suatu masalah, seperti kemiskinan menjadi
benar-benar bermasalah ketika wawasan dan jiwa serta
emosi (spiritualitas)-nya sempit. Akhirnya ia tidak
mampu mengubah masalah tersebut ke suasana dan
nuansa hidup yang lebih prospektif, produktif, ni’mat
dan indah. (Lihat QS. 26 asy-Syu’ara 61-68, ketika nabi
Musa, ‘alaihis salaam, didesak kaumnya untuk mencari
solusi saat hampir terkejar Fir’aun dan pasukannya).

3. Sepuluh (10) Rumusan isi dan kandungan di atas,


adalah induk dan pokok-pokok pemikiran dan ajaran
Islam, yang secara global terdiri dari aqidah dan
sayari’ah. (Lihat bagan struktur bangunan Islam).
Kesepuluh rumusan ini menjadi sangat signifikan
(berarti) dan begitu penting sekali dipahami, diingat
bahkan diingatkan dalam setiap saat dan kesempatan.
50
Karena manusia sebagai makhluq yang memiliki watak
pelupa dan cepat berubah terutama mengenai
permasalahan hidup yang tujuan dan hasilnya tidak
langsung dirasakan atau dipetik dalam waktu cepat,
pragmatis dan hedonis. Seperti aktifitas yang
berorientasi ukhrawi di antaranya shabar dan shalat.
Kedua aktifitas ini sangat abstrak dan cenderung sulit
dirasakan hasil dan mafaatnya dalam waktu cepat.
Berbeda dengan pekerjaan yang berorientasi duniawi
yang lebih pragmatis (langsung terasa, dapat disentuh
dengan panca indera dan dapat dini’mati secara cepat)
seperti seorang karyawan yang bekerja di sebuah
perusahaan, sekalipun harus mengorbankan waktunya
delapan jam sehari dan minimal lima hari setiap pekan,
ia rela melakukannya dengan penuh motivasi karena
kompensasi (imbalan)nya bisa langsung dini’mati di
akhir bulan. Konflik dua kepentingan ini (ukhrawi dan
duniawi) sering memunculkan dilemma (kesulitan
memilih) bagi seorang muslim.

4. Konsep surah al-Fatihah dengan sepuluh rumusan


induknya menawarkan dan sekaligus membuka wawasan
baru. Surah ini memberikan formula untuk
menjembatani dua kepentingan yang sering berbenturan
tersebut. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika
manusia cukup cerdas memahami, mendudukakkan dan
menyikapi setiap permasalahan masing-masing. Di sini
pendidikan qur’ani menawarkan untuk mengoptimalkan
kecerdasan secara integral dan integrated (terpadu);
antara kecerdasan intelektual dengan metode fikirnya,
kecerdasan spiritual (atau kecerdasan emosi, Emotional
Intelligence) dengan metode zikirnya dan kecerdasan pisik
dengan metode amal sholehnya.

51
5. Atas dasar persepektif dan paradigma di atas, dapat
disimpulkan bahwa surah ini memuat gagasan dan
desain besar (Grand Design) yang sangat diperlukan
manusia dalam upaya menunaikan tugasnya sebagai
hamba Allah dan perannnya sebagai khalifah; pengelola,
penata dan manajer dunia (bumi). Gagasan besar (The
grand Idea) surah ini menawarkan konsep universal dan
holistik bagi pengembangan diri, kepribadian, visi dan
misi seorang manusia dan peradaban masyarakatnya.
Berbagai landasan dirumuskannya demikian singkat dan
padat. Hal ini sangat berguna untuk selalu diingat
dengan mudah dalam proses mengontrol kualitas hidup
seorang muslim dalam proses pembentukan integritas
kepribadiannya yang kokoh. Tidak bias atau terjebak
oleh berbagai fenomena hidup yang terkesan lebih
menjanjikan dan sering begitu kuat mempengaruhi arah
atau orientasi hidup. Dari yang seharusnya, sesugguhnya
dan sebenarnya mesti ditempuh karena serba abadi dan
pasti (ukhrawi), berubah arah dan tersesat menempuh
jalan yang serba sementara dan tidak pasti (duniawi).

2. Analisa Kandungan:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi


Maha Penyayang. (Ayat 1).

Suatu permulaan yang sangat indah, untuk memulai setiap


aktifitas dengan ucapan dan ungkapan “basmalah
(Bismillaahirrahmanirrahim)” . Ayat yang menyentuh dasar
kesadaran, agar mengembalikan segala usaha dan
kemampuan yang dimiliki dalam setiap kegiatan manusia
kepada Allah. Sadar, karena sesungguhnya tidak ada upaya
dan kekuatan kecuali oleh-Nya “Laa haula wa laa quwwata illaa
bil-Laah”.
52
Ungkapan ini merupakan pendidikan (tarbiah dan ta’dib)
Allah yang pertama dibaca seorang mu’min dalam al-Qur’an.
Suatu pernyataan aqidah yang kerap harus menyertai setiap
detik kehidupan. Sekaligus pengalaman yang luar biasa
menarik dan indah dalam menata berbagai aspek yang
memerlukan inspirasi dan bimbingan Allah Yang Maha
ber’ilmu dan Maha mengawasi setiap kegiatan hidup.
Kebersamaan (ma’iyyah) Allah jauh lebih berarti dari
kesertaan seorang manusia, kawan atau pengawas lain.
Kebersamaan-Nya adalah anugerah dan ni’mat bagi kita, saat
itulah kita dapat berkomunikasi dan berkonsultasi dengan-
Nya lewat dzikr dan fikr. Dua aspek yang senantiasa perlu
kita tingkatkan, karena inilah komponen dari tiga kecerdasan
seorang mu’min. Ya’ni kecerdasan spiritual (spiritual
intelligence), emosional (emotional intelligence), dan intelektual
(intellectual intelligence).

Dia adalah Allah yang Maha Pemurah “Ar-Rahmaan” dan


Maha Penyayang “Ar-Rahiim”. Dua sifat-Nya yang pertama
diangkat dan diperkenalkan kepada manusia dalam
membuka Kitab suci-Nya ini sangat berarti bagi
pembentukan persepsi, paradigma, dan cara pandang kita.
Tidak sepantasnya kita “suu-udz dzann (berburuk sangka atau
negative thinking)” kepada-Nya. Terutama saat memasuki ayat-
ayat berikut yang memuat perintah atau larangan yang bagi
sebagian orang terkesan menyulitkan dan memberatkan.
Karena ternyata semua (Islam) itu semata-mata merupakan
kasih dan sayang-Nya kepada ummat manusia, “rahmatan lil-
‘aalamiin”.

Saat kita menyadari sisi terpenting ini, maka semakin sadar


betapa sesungguhnya rahmat “kasih-sayang” Allah jauh
lebih luas, lebih banyak dan sangat dominan daripada
mushibah, “siksa”, atau kesulitan yang pernah ditimpakan-
Nya kepada kita. Kesempatan dan peluang memperbaiki dan
53
meningkatkan diri senantiasa terbuka, baik lewat taubat
(kembali kepa-Nya), dzikr atau do’a. Seraya dengan tulus
mengakui segala kesalahan, kekeliruan dan dosa di hadapan-
Nya, terutama saat kita shalat dan membaca ayat pertama ini.
Dengan pandangan dan kecerdasan nurani ini maka hanya
pujian dan syukur yang terucap dan terungkap dari mulut
kita selanjutnya. Al-Hamdu lil-Laahi Rabbil-‘aalamiin.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Ayat 2).

Hanya kalimat ini yang paling laik terucap dan paling tulus
tersimpan mulia dalam hati. Mengingat, tidak ada sedikitpun
yang terkesan cacat apalagi tercela dari setiap kebijakan;
perintah atau larangan maupun keputusan-Nya. Allah,
Rabb; Pencipta, Pengatur, Penata, dan Penguasa semesta
Yang maha Bijak. Sebagai Pencipta manusia, alam, dan
kehidupan, Dia Maha mengetahui dan mengerti betul
keinginan dan keperluan manusia. Seperti kata sebuah
aksioma Arab: “Sang Pencipta adalah Yang Maha
Mengetahui ciptaa-Nya”.

Yang Maha terpuji hanyalah Dia Yang Maha Berjasa,


Pencipta, Mengetahui dan Bijak, Rabb alam semesta. Tidak
laik seorangpun di antara kita menerima pujian apalagi
mengharapkannya, untuk sesuatu yang sebenarnya tidak
pernah kita perbuat kalau bukan karena anugerah-Nya.
Konsep aqidah kedua ini sangat berarti untuk kita ingat
minimalnya tujuh belas kali dalam putaran 24 jam, di setiap
raka’at shalat. Pengalaman ini juga demikian kita perlukan
untuk mengendalikan dan mengawasi diri (self control) dari
kemungkinan dan gejala kesombongan akibat sanjungan atau
pujian apalagi gila penghargaan.

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang


gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka
54
supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan
janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan
bagi mereka siksa yang pedih. kepunyaan Allah-lah kerajaan langit
dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu”. (Surah: 3.
Al.'Imran: 188-189, diturunkan di Madinah).

Pengalaman ruhani ini begitu penting dalam proses


membentuk diri dan jiwa yang ikhlash. Pikiran dan perasaan
kita dibimbing oleh-Nya agar cita-cita dan harapan akan
imbalan (kompensasi) itu terpusat pada-Nya. Karena Dia
Maha pasti janji-Nya, persoalannya hanya masalah waktu,
cepat atau lambat, yang juga tidak terlepas dari ke-Maha
Bijaksana-an-Nya. Sebagai Pencipta alam, kehidupan dan
manusia, Dia-lah Yang berhak mengatur seluruhnya. Pada
akhirnya, aqidah ini demikiran signifikan (sangat berarti)
bagi terbentuknya kesadaran kedua, yaitu sadar dan siap
hidup teratur, terarah dan tertata khususnya oleh Allah ‘Azza
wa Jalla. Tiada aturan yang paling tepat, benar, dan pas selain
aturan Maha Pencipta yang Maha Tahu akan seluruh aspek
ciptaan-Nya. Seluruh aturan itu dapat kita pahami dalam
setiap kehendak-Nya, baik sebagai qadla dan qadar-Nya,
sunnah atau hukum-Nya di alam semesta (hukum alam),
maupun hukum dan aturan-Nya dalam Syari’ah seperti yang
terpetakan dalam setiap kitab suci-Nya.

55
Qadla Qadar Allah
Keputusan / Kehendak Hikmah
Allah atas Manusia

Sunnah-Sunnah Allah Tajribah /


Kehendak Eksperimen
Hukum / Kehendak
Allah Khibrah /
Allah di Alam
Pengalaman

Syari'ah Allah Hukum


Tha'ah /
/ Kehendak Allah
Dalam Islam Keta'atan

Penjelasan:

Kehendah Allah (Iradah dan Masyiah Allah) bisa berbentuk;


 Pertama, qadla dan qadar (keputusan dan ketetan) Allah
terhadap kita, tanpa sedikitpun campur tangan manusia
di dalamnya seperti seseorang diputuskan menjadi laki-
laki atau perempuan. Untuk menyikapinya manusia
dituntut cerdas untuk menyingkap hikmah dan rahasia
terbaik di balik kebijaksanaan Allah ini. Hikmah adalah
hasil manfaat atau kemashlahatan, berupa pengetahuan
berdasarkan pengalaman yang dipetik seseorang dari suatu
perbuatan. Maka hikmah adalah kebaikan terbanyak yang
dianugerahkan Allah kepada manusia (QS.2 al-Baqarah,
269).
 Ke dua, dapat berupa sunnah-sunnah Allah (hukum
alam yang ditetapkan dan diputuskan Allah) seperti
keputusan Allah untuk menjadikan api panas dan besi
memuai jika dipanaskan, siapa berbuat dan giat maka ia
akan dapat, siapa berobat maka ia akan sehat. Manusia
dituntut menguji coba pengalaman ini ( tajribah atau
eksperimen dan khibrah atau pengalaman) untuk
memanfaatkannya dalam upaya memahami kehendaknya.
56
Dengan bantuan sains dan teknologi manusia akhirnya
mampuh memahami kehendak Allah tersebut.
 Ke tiga, berupa syari’ah (keputusan dan ketentuan atau
hukum) Allah dalam agama-Nya (Islam), seperti hukum
halal dan haram makanan dan perbuatan, wajib dan
sunnah shalat. Manusia dituntut untuk mentaati (tha’ah)
kepada setiap kehendak Allah dalam syari’ah-Nya.
Dengan keta’atan ini ia dapat memahami rahasia dan
manfaat setiap ketetapan Allah bagi dirinya yang
demikian bijak dan adil.

Seluruh kesadaran diri yang penuh dengan kepuasan ruhani


ini selanjutnya kembali mengingatkan bahwa semua itu
karena semata kasih-sayang Allah Yang Maha Ar-Rahmaan
dan Ar-Rahiim.

Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Ayat 3).

Kasih dan sayang-Nya tidak pernah sirna atau terhenti


diberikan dan dianugerahkan, sebesar apapun dosa manusia.
Sekalipun dosa itu telah tertumpuk mencapai puncak langit.
Berbagai pintu kesempatan dan peluang memperbaiki diri
dan taubat dibuka demikian luas dan banyak. Sampai ruh
manusia mencapai tenggorokannya saat menjelang kematian
tiba. Seluruh kasih dan sayang-Nya menyentuh berbagai
aspek kehidupan kita. Hanya tinggal kecerdasan kita yang
menyadari kenyataan ini, apakah sempat terenungkan dan
menangkapnya sebagai kenikmatan ataukah tidak.

Dua sifat dan jati diri Allah ini kembali diulang dalam surah
al-Fatihah, untuk membuka kedewasaan kita dalam berpikir
dan bertindak. Di saat seluruh keni’matan selalu
mendominasi dan jauh lebih banyak sesungguhnya kita

57
rasakan dan ni’mati, maka tiada kata yang pantas melekat
pada diri Allah kecuali Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini.

Namun pengalaman aqidah ketiga ini pun segera


menyadarkan kita pada hakikat penciptaan manusia.
Sebahagian besar manusia mengira bahwa mereka diciptakan
dengan berbagai fasilitas rahmat dan ni’mat-Nya begitu saja
tanpa pertanggung jawaban. Demikian pula kita sering lupa
bahwa seorang mu’min pun tidak pernah dibiarkan mengira
dan menduga mereka berkata “kami telah beriman”
sementara mereka belum diuji. Akibat dugaan ini,
keni’matan dan rahmat-Nya tersia-siakan tanpa manfaat dan
produktivitas sekalipun untuk dirinya apalagi lingkungannya.
Pada akhirnya keni’matan itu dibelanjakan secara tidak
bertanggung jawab terhadap efek dan pengaruhnya yang
terjadi dalam kehidupan.

Untuk mengantisipasi kemungkian munculnya dugaan


seperti ini, sekaligus meluruskan cara pandang manusia
tentang hidup dan fasilitas rahmat-Nya, maka ayat berikut
perlu terus diingat dan diulang-ulang. “Maaliki yaumid diin
(Raja di hari pembalasan)”. Seraya membangun kesadaran
berikutnya bahwa kompensasi (imbalan dan balasan) atas
aktifitas dan perbuatan manusia yang hakiki dan abadi
hanyalah kelak di akhirat. Apapun balasan; baik atau buruk
selama masih di dunia hanyalah fenomena dan sementara
saja, yang di dalamnya terkandung nilai terhadap begaimana
cara manusia menyikapinya, untuk mendapatkan balasan
kelak di akhirat.

Yang Maha menguasai di Hari Pembalasan. (Ayat 4).

Dia-lah, Allah satu-satunya Raja pembalasan, di hari yang


tiada balasan berarti dari siapapun yang selama ini kita
harapkan. Balasan, imbalan atau kompensasi adalah faktor
58
yang sangat kuat mempengarungi terbentuknya motivasi kita
dalam bertindak dan berbuat.

Ayat ini membangun kesadaran aqidah selanjutnya dalam


proses pembentukan cara pandang, misi dan visi kita dalam
kehidupan. Mengubah wacana dan kepribadian kita dengan
integritas diri yang kokoh dan kuat sesuai dengan misi dan
visi hidup yang jauh ke depan melalmpaui batas kehidupan
duniawi yang sesaat. Visi dan misi ini demikian penting dan
sangat berarti untuk merancang dan membangun niat
(motivasi) dalam setiap aktifitas. Tanpa visi dan misi yang
jelas atau hanya sesaat dan cara pandang pragmatis dan
hedonis dalam menilai dan mengharapkan hasil dari suatu
pekerjaan, maka aktivistas hanya akan mengantarkan hidup
kepada pencapaian kepuasaan atau kekecewaan yang juga
sesaat.

ALLAH Tujuan

Ikhlas
h
I
Amal
M Kompensasi
Amal
A Niat
Amal
N

Penejelasan:
Iman kepada Allah sebagai sumber kebenaran informasi
tentang apa sebenarnya tujuan kita diciptakan dan hidup di
planet Bumi ini, mengantarkan kita kepada sebuah niat

59
yang memotivasi setiap amal perbuatan dan aktivitas kita.
Tujuan dengan kompensasinya yang jelas dan terjamin
juga sangat mempengaruhi tingkat ke”ikhlas”an kita dalam
beramal.

IMAN Tujuan
Niat
ALLAH Cita-cita
Visi Maksud
Misi

Amal
Kerja
Apa? (Informasi) Kehendak Aktivitas
Tindakan
Siapa? (Informan) Keinginan Prilaku
Perbuatan

Visi
Manusia Misi Motivasi Kompensasi

Penjelasan:

Informasi dan informan (si pembawa berita) sangat kuat


mempengaruhi kemunculan kehendak dan keinginan
seseorang untuk melakukan amal, kerja, aktivitas dan
prilaku lainnya. Jika informasi bersumber dari manusia
maka visi dan misi hidup seseorang akan sangat dipengaruhi
oleh kompensasi yang ditawarkan dan dijanjikannya.
Selanjutnya visi dan misi inilah yang menjadi dasar
60
terbentuknya motivasi (niat) untuk melakukakn sesuatu.
Demikian pula ketika Allah yang menjadi dasar terbentuknya
visi dan misi seseorang sebagai hasil pemahaman dan
interaksinya dengan ke”iman”an yang benar, terutama akan
tujuan hakiki dari kehidupan dengan seluruh kompensasi
(imbalan) yang dicita-citakannya, akan membentuk suatu
niat (motivasi) dan maksud yang kuat dalam beramal.

Sadar bahwa seluruh tindakan dan perbuatan akan mendapat


balasan; baik atau buruk membuat kita selalu memiliki
pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan.
Kesadaran ini demikian signifikan untuk mengontrol kualitas
diri kita. Suatu pengawasan melekat sesungguhnya dan
kendali yang luar biasa dalam menata kepribadian seseorang.
Saat itulah ia memohon bantuan Allah dalam ber’ibadah dan
mengatasi berbagai probelmatikanya. ”Iyyaaka na’budu wa
iyyaaka nasta’iin”.

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada


Engkaulah kami meminta pertolongan. (Ayat 5).

Di sinilah puncak pengakuan kita kepada Allah sebagai


Tuhan yang Maha berhak di’ibadahi (disembah). Dalam
cara pandang Islam, seluruh perbuatan dan aktifitas
manusia adalah ‘ibadah. Perkataan dan pebuatan, baik akal
dengan berpikirnya, hati dengan perasaan dan keyakinannya, dan
pisik (jasad) dengan prilakunya, adalah ‘ibadah manakala
dilakukan dalam kerangka tha’ah kepada Allah.

Demikian luas, besar dan luasnya aspek-aspek ‘ibadah ini,


mengaharuskan kita untuk selalu memohon pertolongan
kepada Allah, satu-satunya yang Maha berkemampuan
mewujudkan apa saja yang diminta manusia. Namun Dia
juga satu-satunya Yang Maha mengetahui apa yang
bermanfaat dan merusak dari setiap rahasia dibalik apa
61
yang diminta. Maka logis dan rasional jika kita
menyerahkan keputusan akhir kepada kehendak-Nya.
Kita dituntut sadar dan seimbang dalam memahami
seluruh sifat-sifat Allah yang terbaik. Benar bahwa Dia
Maha berkuasa dan berkemampuan, namun kita juga
harus sadar akan ke-Maha-tahuan Allah dalam mengambil
keputusan yang terbaik bagi manusia terutama hamba-
Nya. Saat-saat seperti inilah selanjutnya Allah mendidik
kita agar selalu bermohon kepada-Nya. Terutama
petunjuk atas segala keputusan yang kita buat dan
aktivitas yang kita lakukan. ”Ihdinash shiraathal mustaqiim”.

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Ayat 6).

Pertolangan yang paling berarti (signifikan) bagi manusia


adalah petunjuk (guidance)-Nya. Ibarat peta kehidupan yang
sangat diperlukan bagi seseorang yang tengah menempuh
perjalanan jauh ke wilayah dan tempat yang samasekali baru
diinjaknya. Itulah perjalanan hidup manusia di dunia, setiap
detik dan langkah yang dimasukinya adalah baru. Sekalipun
terdapat sejumlah kemiripan dalam bentuk dan tujuan
perbuatannya sehari-hari, namun sebenarnya ia memasuki
kehidupan yang baru. Aktivitas dari mulai bangun tidur,
mandi, sarapan pagi, kerja, dan tidur adalah aktivitas rutin
setiap hari yang selalu mirip. Namun sekali lagi
sesungguhnya setiap detik semua itu adalah pengalaman baru
dengan nilai yang senantiasa baru dan dinamis.

Inilah barangkali ma’na hadits Rasulullah saw, “barangsiapa


yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia beruntung”.
Petunjuk seperti peta merupakan bekal utama suatu
perjalanan demi menjaga si pejalan kaki dari segala bentuk
kesesatan dan akhirnya mencapai tujuan. Itulah jalan yang
lurus, konsisten, dan mustaqim (lurus) yang menuntut
istiqamah atau konsistensi para pemakainya, jalan yang
62
mengantarkan anda kepada tujuan sebenarnya dari
perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan ini dengan
hasil yang memuaskan.

Peta perjalanan nampaknya tidak cukup jika tidak disertai


dengan seorang guide (penunjuk jalan), contoh atau bukti
orang-orang yang telah menempuh perjalanan tersebut.
Sejarah merupakan salah satu bukti empirik keterandalan
peta dalam mengantarkan para pelaku dan pembuat sejarah
dalam mencapai tujuan hidupnya menuju peradaban yang
agung. Sejarah para nabi dan rasul, orang-orang shalih, jujur,
dan syuhada menunjukkan kehidupan menembus batas
duniawi dan melampaui kepentingan pribadi. Mereka,
dengan kitab-kitab Allah dan petunjuk yang terdapat di
dalamnya, adalah para pembuat sejarah keagungan dan
kemulian yang dicitakan setiap manusia. ”Shiraathal ladziina
an’amta ’alaihim, gairil maghdluubi ’alaihim wa ladldloolliin”.

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat


kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Ayat 7).

Jalan lurus yang selalu menjadi pilihan orang-orang terbaik,


dari kalangan para Nabi dan Rasul, orang-orang sholih,
syuhada (para syahid di jalan Allah) dan shiddiqin (orang-orang
jujur). Mereka adalah contoh dan model terbaik orang-orang
yang sukses mengarungi perjalanan hidup. Orang-orang yang
mampu menikmati kehidupan dalam kondisi dan situasi apa
pun. Seperti para Rasulullah, adalah mereka yang menikmati
kelelahan dan penderitaan saat berda’wah dan ber’ibadah.
Syuhada, mereka adalah orang yang mampu merindukan dan
menikmati kematian di jalan Allah. Shiddiqin adalah mereka
yang sukses menebar dan menikmati kejujuran sebagai kunci
kesuksesan. Sementara shalihin adalah orang-orang yang
berhasil membangun keshalehan untuk diri dan orang lain.
63
Yang perlu dan senantiasa diingat, tentunya bukan karena
mereka hebat dan prima secara pisik, gen (keturunan) dan
kemampuan kemanusiannya. Mereka sukses karena sistem
dan konsep hidup yang bersumber dari petunjuk Pencipta
alam, kehidupan dan seluruh manusia. Mereka cerdas dan
mampu berpikir logis dan rasional untuk menerima setiap
kebijakan yang Maha mengerti dan mengetahui segala aspek
ciptaan-Nya.

Bukan jalan yang ditempuh orang-orang yang dimurkai


Allah, seperti Yahudi dengan seluruh penyimpangan yang
pernah dilakukannya terhadap petunjuk Allah (Taurat).
Mereka lebih memilih kemampuan akal dan perasaannya
dalam menentukan arah dan kebijakan hidup. Lebih jauh
lagi, mereka tidak hanya tersesat sendirian. Salah satu prilaku
dan karakter Yahudi adalah menyesatkan, membahayakan
dan merugikan orang lain. Di antara orang-orang dan bangsa
yang menjadi korban mereka adalah Nashrani. Mereka
tersesat oleh rekayasa intelektual Yahudi yang telah
mengubah petunjuk hidup “Taurat” (perjanjian lama), kitab
suci mereka sendiri, dan “Injil” (perjanjian) baru, kitab suci
Nashrani.

Mereka semua menjadi seperti itu juga bukan karena faktor


gen (keturunan), seperti persepsi bahwa semua yahudi (Bani
Israel) atau Nashrani diciptakan dengan garis keturunan
berbahaya. Tidak, semua terjadi karena mereka
meninggalkan dan merubah garis pedoman dan peta yang
telah diberikan Allah, Pencipta mereka. Sampai membunuh
para pembimbing hidup (Para nabi dan Rasul) yang pernah
diutus kepada mereka sebagai Guide (Pembimbing). Selama
hal ini menjadi bagian dari kebiasaan (habit)-nya, maka
mereka menjadi bagian dari masyarakat yang dimurkai Allah.

64
Pengalaman sejarah ini menasehati kita agar konsisten
“istiqamah” dalam menempuh perjalanan hidup sesuai dengan
jalan lurus yang digariskan Pencipta yang Maha Bijak. Dia
senantiasa mengingatkan kita, minimal sehari tujuh belas kali
dalam tujuh belas rakaat sholat lima waktu, untuk selalu
berada di titik sadar agar tidak tersesat atau disesatkan
orang lain. Nilai universal sejarah inilah yang perlu diingat,
jangat mengganggu, membahayakan, merugikan, mengkhianati dan
menyesatkan oranglain (seperti orang-orang Yahudi yang dimurkai
Allah) dan jangan mau atau tidak sadar diganggu, dibahayakan,
dikhianati dan disesatkan orang lain (seperti orang-orang Nashrani).

Pelajaran terakhir ini menyimpulkan bahwa manusia terbagi


ke dalam tiga tipe (model) masyarakat:
Pertama: Model masyarakat mu’min, dengan karakternya
istiqamah (konsisten) dalam memahami dan
menapaki perjalanan hidupnya.
Ke dua: Model masyarakat yahudi, dengan ciri khasnya
membahayakan, merugikan dan menyesatkan
orang lain, selama berpedoman dengan selain
petunjuk Allah yang juga diakuinya sebagai
Tuhan mereka.
Ke tiga: Model masyarakat nashrani, dengan sifatnya
yang menjadi korban kesesatan dan bulan-
bulanan orang lain (Yahudi).

Amiin (terimalah permohonan kami)

Ya Allah, gabungkan, kumpulkan, dan satukan kami bersama


orang-orang yang senantiasa Engkau anugerahi ni’mat,
orang-orang mu’min dari kalangan Anbiyaa’ (para Nabi), Ar-
Rusul (para Rasul), Shalihin (orang-orang sholih), Syuhada
(para Syahid) dan Shiddiqiin (orang-orang Jujur).

65
“Paradigma Qur’an adalah suatu
konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan kita memahami realitas
sebagaimana Al-Quran memahaminya.”

Fungsi paradigma Al-Quran pada


dasarnya adalah untuk membangun
perspektif Al-Quran dalam rangka
memahami realitas.” (Dr. Kuntowijoyo).

Paradigma Surah al-Fatihah:

 Setiap manusia membutuhkan Grand


Design (desain dan pola besar) dalam
membangun visi dan misinya dalam
menata kehidupan.
 Al-Fatihah adalah The Grand Design
muslim dalam membangun visi dan
misi.
 Rahmat Allah meliputi segala sesuatu.
Termasuk dosa manusia.

66
 Pencipta alam, manusia dan kehidupan
adalah Allah. Pencipta adalah Sang
Maha tahu dan mengerti segala aspek
ciptaaannya.
 Visi dan misi mu’min adalah akhirat
dengan segala kompensasi (imbalan
dan balasan)-nya. Akhirat adalah
hakikat kehidupan yang pasti dan
abadi.
 Dunia adalah ladang menyemai
seluruh kegiatan dan aktifitas muslim
dengan hasil yang akan dituai di
akhirat. Seseorang tidak akan sukses
memanen dan menuai di akhirat jika
tidak sukses menanam dan menyemai
di dunia.
 Manusia adalah makhluk lemah, selalu
bergantung dan bersandar, kekuatan
manusia terletak pada apa dan siapa
yang menjadi tempat sandarannya.
 Hanya Allah yang laik di’ibadahi;
dicintai, ditakuti, dita’ati dan
dimengerti setiap kebijakannya.
 Hanya Allah Yang Maha kuat untuk
menjadi tempat bergantung dan
bersandar (Ash-Shomad) serta Maha

67
Mampuh dan Bijak dalam mewujudkan
setiap permohonan manusia.
 Hidayah (petunjuk, pedoman dan
guidance) adalah peta kehidupan yang
paling berarti dalam menempuh
perjalanan hidup.
 Jalan dan Petunjuk Allah adalah desain
perjalanan yang konsisten,
mewariskan dan membentuk jiwa
konsistensi (istiqamah) dalam
kehidupan.
 Sejarah adalah model dan potret nyata
(empirik) pengalaman hidup dan
peradaban suatu bangsa.
 Sejarah memuat nilai-nilai universal
dan transendental yang berisi faktor-
faktor yang mungkin diulangi dan
ditiru dalam kejayaan atau kehancuran
suatu bangsa.
 Jadilah bangsa dan orang yang paling
bermanfaat untuk orang lain. Jangan
menjadi bangsa dan orang yang
membahayakan dan merugikan atau
dirugikan orang lain.

68
E. Paradigma:
1. Setiap manusia membutuhkan Grand Design (desain dan
pola besar) dalam membangun visi dan misinya dalam
menata kehidupan.

Al-Qur’an memandang bahwa setiap manusia memerlukan


desain hidup yang jelas dan terarah. Seperti sebuah peta
yang sangat dibutuhkan dalam mengarungi perjalanan jauh
dan baru ditempuh. Demikian halnya dengan kehidupan
bagai hutan belantara yang baru dijamah manusia yang lahir
ke muka bumi. Untuk itu Allah telah menciptakan mereka
dan membekalinya dengan desain yang sangat jelas. Dia
menjelaskan rencana hisup manusia mulai dari asal usul
manusia, tugas dan fungsi, sampai kepada puncak tujuan
kehidupannya.

2. Al-Fatihah adalah The Grand Design muslim dalam


membangun visi dan misi.

Inilah salah satu cara memandang surah al-Fatihah. Dengan


cara pandang ini setiap muslim dapat membangun,
mengembangkan dan merencanakan kembali kehidupan
dan keberadaanya di bumi dengan visi dan misi yang jelas.
Setiap kali membaca surah ini setiap muslim dibimbing agar
memiliki dan mengingat desain hidupnya yang terencana
sampai kepada tujuan kehidupan yang sebenarnya dengan
prestasi yang memuaskan khsusnya kelak di akhirat.

3. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Termasuk dosa


manusia.

Cara pandang ini juga sangat diperlukan oleh manusia yang


kerap kali salah, keliru dan berdosa. Dengan demikian
seorang muslim tidak akan pesimis apalagi putus asa dalam
menghadapi berbagai permasalahan yang muncul akibat
69
kesalahan yang di lakukannya. Sekaligus membuka peluang
yang tetap membentang di hadapannya sampai akhir
kehidupan dunia dan memulai kehidupan barunya di akhirat
kelak.

4. Pencipta alam, manusia dan kehidupan adalah Allah.


Pencipta adalah Sang Maha tahu dan mengerti segala
aspek ciptaaannya.

Paradigma ini begitu mendasar. Kesalahan dalam


memandang siapa yang paling berjasa, terutama dalam
menciptakan dan memfasilitasi kehidupan, akan
mengakibatkan kesalahan mendasar dalam memahami dan
menyikapi kehidupan itu sendiri. Kesalahan ini selanjutnya
akan sangat berpengaruh dalam menentukan sumber
informasi, pengetahuan dan siapa sebenarnya yang berhak
memastikan suatu kebenaran. Karena itu sudah menjadi
aksioma bahwa pencipta sesuatu adalah yang paling
memahami dan mengetahui setiap keperluan, kekuatan dan
permasalahan yang diciptakannya.

5. Visi dan misi mu’min adalah akhirat dengan segala


kompensasi (imbalan dan balasan)-nya. Akhirat adalah
hakikat kehidupan yang pasti dan abadi.

Paradigma ini adalah juga diperlukan dalam menentukan


visi dan misi kehidupan yang jauh ke depan. Bagi seorang
muslim, visi ini juga akan lebih meningkatkan dan
mengoptimalkan kecerdasan yang dianugerahkan Allah
kepadanya. Seperti sabda Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa “Orang cerdas adalah orang yang mampu
mengendalikan dirinya dan bekerja untuk sesuatu (yaitu balasan,
kompensasi dan kehidupan) sesudah kematian”.

70
6. Dunia adalah ladang menyemai seluruh kegiatan dan
aktivitas muslim dengan hasilnya yang akan dipetik di
akhirat. Seseorang tidak akan sukses memanen di
akhirat jika tidak sukses menanam di dunia.

Paradigma ini memandang dan memposisikan dunia sebagai


kehidupan sementara dalam segala konsekuensinya. Senang
dan sedih, suka dan duka, menderita dan bahagia, selama
masih di dunia semuanya semetara. Yang serba pasti dan
abadi hanyalah kehidupan akhirat. Namun dengan cara
pandang ini diingatkan bahwa manusia (seorang muslim)
tidak akan sukses di akhirat jika tidak sukses di dunia.
Karena dunia adalah ladang tempat menyemai benih dan
bercocok tanam, sedang akhirat adalah ladang menuai dan
memanen hasil.

7. Manusia adalah makhluk lemah, selalu bergantung dan


bersandar, kekuatan manusia terletak pada apa dan
siapa yang menjadi pusat sandarannya. Dengan
karakteristik ini manusia berpotensi menjadi hamba.

Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk yang


diciptakan serba lemah (QS. 4: 28). Coba lihat saat kita
menjadi janin dan bayi. Sifat ini memaksa manusia memiliki
ketergantungan kepada yang lebih kuat baik fisik, harta,
kekuasaan atau keilmuan. Logis, jika selanjutnya ia akan
bergantung kepada yang lebih kuat, bahkan cenderung siap
patuh, tunduk dan sampai ke tingkat diperbudak sekali pun.
Kondisi ini menuntut manusia agar memiliki cara pandang
yang tepat tentang siapa yang patut ia jadikan sandaran.
Logikanya adalah tentu Yang Maha dalam segala
sesuatunya.

8. Hanya Allah yang laik di’ibadahi; dicintai, ditakuti,


dita’ati dan dimengerti setiap kebijakannya.
71
Inilah paradigma yang ditawarkan untuk menyelamatkan
manusia dari ketergantungan dan perhambahan yang salah.
Karena Allah adalah yang Maha Berjasa mulai dari
menciptakan, memfasilitasi kehidupan dan mengatur
semesta alam. Dia-lah yang Maha Besar perhatian-Nya
kepada manusia, sehingga logis jika Dia yang Maha
Disembah, Dicintai karena Dia Maha Tahu dan Bijak.

9. Hanya Allah Yang Maha kuat untuk menjadi tempat


bergantung dan bersandar (Ash-Shomad) serta Maha
Mampu dan Bijak dalam mewujudkan setiap
permohonan manusia.

Dengan paradigma ini seorang muslim terselamatkan dari


ketergantungan (dependensi) yang salah dan merugikan. Ini
juga merupakan kekuatan yang akan memperkokoh dirinya
dalam mengarungi kehidupan dan menghadapi berbagai
percaturan. Karena ia sadar dan yakin selalu didampingi
Allah Yang Maha Kuat. Namun sebagai bagian dari
masyarakat manusia, ia juga tidak mungkin terhindar dari
ketergantungan kepada sesamanya. Solusinya adalah al-
Qur’an memposisikan manusia pada sikap saling
bergantung, saling memerlukan dan saling menghargai
(interdependensi) yang cukup adil.

10. Hidayah (petunjuk, pedoman dan guidance) adalah peta


kehidupan yang paling berarti dalam menempuh
perjalanan hidup.

Paradigma ini memberikan kejelasan lebih lanjut bahwa peta


kehidupan adalah bentuk pertolongan Allah yang sangat
diperlukan dalam menempuh perjalanan hidup. Seperti
seorang pengawai atau karyawan yang baru diterima bekerja
pada suatu perusahaan. Ia akan mengalami kesulitan
72
mengerjakan apa saja yang diperlukan dan menjadi
kebijakan perusahan tersebut. Bagaimana halnya dengan
manusia yang lahir ke bumi dengan berbagai sisi
kehidupannya yang serba baru.

11. Jalan dan Petunjuk Allah adalah desain perjalanan yang


konsisten, mewariskan dan membentuk jiwa konsistensi
(istiqamah) dalam kehidupan.

Konsistensi (al-Istiqomah), sikap lurus, akurat, tepat dan


teguh pendirian merupakan kebutuhan manusia yang lain
dalam merambah kehidupan. Paradigma ini memudahkan
manusia dalam pencariannya akan kebenaran dalam
menentukan arah tujuan kehidupan. Peta perjalanan hidup
yang bersumber dari sang Pencipta tentunya tidak perlu
disangsikan.

12. Sejarah adalah model dan potret nyata (empirik)


pengalaman hidup dan peradaban suatu bangsa.

Al-Qur’an juga mengingatkan pentingnya sejarah bagi


pembentukan karakter manusia dan suatu bangsa. Sejarah
adalah model dan contoh kongkrit bagaimana suatu bangsa
membangun atau meruntuhkan peradabannya. Cara
pandang ini sangat diperlukan dalam mengembangkan
sistem pendidikan. Karena manusia adalah makhluk peniru.

13. Sejarah memuat nilai-nilai universal dan transendental


yang berisi faktor-faktor yang mungkin diulang dan
ditiru dalam kejayaan atau kehancuran suatu bangsa.

Ini paradigma qur’ani dalam cara memandang dan


mempelajari sejarah. Memahami dan mempelajari sejarah
bukan hanya sekedar menghapal tempat dan waktu suatu
kejadian dan peristiwa, atau hanya mengenal tokoh-
73
tokohnya. Tetapi yang paling signifikan adalah memahami
nilai-nilai universal yang dimiliki suatu bangsa atau
kepribadian para tokoh itu sendiri. Karena nilai-nilai inilah
yang dapat dulang kembali dalam membangun atau
memperbaiki nasib bangsa selanjutnya.

14. Jadilah bangsa dan orang yang paling bermanfaat untuk


orang lain. Jangan menjadi bangsa dan orang yang
membahayakan dan merugikan atau dirugikan orang
lain.

Ini paradigma qur’ani dalam menempatkan setiap muslim


dalam interaksinya dengan kehidupan orang lain dan
masyarakat. Paradigma yang membentuk falsafah hidup
yang cukup adil ini membedakan setiap muslim dari bangsa
lain seperti Yahudi yang cenderung merugikan orang lain
sehingga mereka dimurkai Allah (Al-Maghdluubi ’alaihim),
atau Nashrani yang sering menerima sikap untuk dirugikan
yang dikategorikan oleh Allah sebagai kelompok yang
tersesat (Adl-Doolliin).

74
F. Rumusan, bagan dan kesimpulan:

Bagan: STRUKTUR BANGUNAN ISLAM

III. Atap
(Pelindung):
 Jihad dan Dakwah
 Hukum Pidana
(Jinayah & Hudud)
 Hukum Perdata
 Amr Ma'ruf dan Nahyi Munkar

II. Struktur:
B. SYARI’AH 1. Primer (Ibadah): Rukun Islam
2. Skunder (Muamalah) : Sistem Hidup :
 Sosial
 Ekonomi
 Politik
 Pendidikan
 Keluarga (Munakahah)
3. Tersier (Akhlaq):
 Etika
 Estetika
 Sarana Hidup (Sandang, Pangan &
Papan)
A. AQIDAH
I. Fondasi: Rukun Iman (6)

Penjelasan:

Penjelasan, Fungsi dan Tahapan Pembangunan:

Secara garis besar bangunan Islam terdiri dari dua konstruksi


utama. Yaitu konstruksi “Aqidah” sebagai fondasi, dan
konstruksi “Syari’ah” sebagai struktur dan ornamen bangunan
itu sendiri. Keduanya berfungsi saling mendukung sehingga
terbentuk dan berdiri sebuah bangunan. Sekalipun masing-
masing memiliki fungsi yang berbeda tetapi perbedaan itu

75
mampu ditata sehingga menjadi sinergi bangunan yang utuh,
kokoh, indah dan berdayaguna. Inilah kesan pertama Islam
sebagai way of life yang mampuh menyentuh berbagai aspek
kehidupan dengan tingkat keperluannya yang beragam. Untuk
selanjutnya ditata dan dimanage menjadi sebuah bangunan
kehidupan yang indah, anggun dan nyaman mencerminkan
kalimat rahmatan lil’alamin (QS: 21:107).

Pertama: Fondasi (Aqidah).

Berfungsi sebagai land of building dengan konstruksi sangat


global tapi kokoh, bersih dan permanen. Keretakan di tingkat
dasar dan fundamental ini tidak bisa ditolelir sedikit pun apalagi
dimanipulasi. Karena akan berakibat fatal terhadap muatan dan
beban bangunan di atasnya. Oleh karena itu persoalan aqidah
sangatlah tegas dan jarang ditemukan toleransi. Seperti riya’ atau
tidak ikhlash dalam beramal merupakan penyakit aqidah yang
tidak pernah dibiarkan berkembang dalam hati nurani seorang
yang beriman.

Dalam frame aktualnya, aqidah dapat berfungsi sebagai vision


yang menjadi dasar “cara pandang” seseorang terhadap
kehidupan. Visi ini sangat diperlukan untuk mengarahkan
setiap orientasi dari setiap aksi dan prilaku yang diperbuatnya
sepanjang hidup. Dengan visi ini aktifitas manusia tidak akan
terkesan sebagai rutinitas yang membosankan tetapi lebih indah
dari mimpi indah yang memperindah nuansa rutinitas tidur
seseorang yang kadang melelahkan. Dengan demikian seorang
yang beriman dengan visinya yang aktual seperti ini senantiasa
memiliki muatan misi yang mulia dalam kehidupannya.

Aktualitas dan vitalitas dalam cara pandang Islam ini tidak


didasarkan pada penomena waktu dan ruang semata yang
mempengaruhinya sehingga lebih dianggap realistik dan
pragmatik. Tetapi lebih didasarkan pada esensi tuntutan
76
kebenaran yang dimilikinya. Oleh karena itu setiap visi dan aksi
dalam Islam memiliki nuansa aktualitas yang mencerminkan ke-
realistik-an yang sesungguhnya karena dibangun di atas
konsistensi dan kesesuaian antara “teori visi” dan “aplikasi
aksi”nya.

Tahapan fondasi ini dalam proses pembangunannya tentu saja


harus selalu diprioritaskan (didahulukan dan diutamakan).

Ke dua: Struktur dan Atap Bangunan (Syari’ah).

Berfungsi sebagai eksistensi struktur dan pelindung utama


yang menampilkan adanya sosok dan performen suatu
bangunan. Kekuatan, kelengkapan dan keindahan struktur
bangunan sangat ditentukan oleh keahlian dalam penataan
ruangan berikut interiornya. Termasuk kemampuan
mengekspresikan seni bangunan berikut landscape-nya sesuai
dengan ornamen yang dikehendaki. Semua akan memberikan
nuansa ketenangan, keamanan dan kenyamanan bagi para
penghuninya baik dalam fungsi individual maupun fungsi
sosialnya.

Proses dan tahapan pembangunan struktur ini dilakukakan


pada tahap kedua sesudah siap dan kokohnya fondasi. Dimulai
dari hal-hal yang sangat primer dalam ‘ibadah dengan lima
struktur utamanya sebagaimana terbangun dalam kerangka
rukun Islam berikut kedudukan dan fungsinya masing-masing
yang sangat esensial.

Statemen syahadat, adalah pintu gerbang Islam yang berfungsi


untuk membuat kontrak dan komitmen (keterikatan dan
keterlibatan) seseorang dalam memiliki, menghuni atau/dan
meni’mati bangunan.

77
Shalat berfungsi sebagai tiang-tiang struktur yang menopang
kekuatan dan bentuk struktur bangunan. Struktur shalat
memiliki inti esensial menjalin hubungan dan ketergantungan
(dependensi) kepada Yang Maha Kuat dalam segala-galanya.
Simultan dengan upaya membangun kemandirian dari segala
bentuk ikatan yang akan berdampak pada kebebasan dirinya
dari perbudakan di antara manusia. Namun demikian ia juga
memiliki fungsi kultural dalam menjalin hubungan antar
manusia (inter-dependensi) yang saling menguntungkan (win-
win) apalagi jika dilakukan dalam konteks berjamaah.

Zakat berfungsi sebagai kemampuan dan kekuatan anggaran


(budget pembangunan) yang merupakan bagian dari struktur
utama Islam yang sangat penting. Tanpa anggaran maka gambar
bangunan akan kehilangan fungsi struktural maupun sosio-
kulturalnya, termasuk kelangsungan bangunan dan
penghuninya.

Shaum menempati bagian dari struktur bangunan yang lebih


tersembungi. Ia berfungsi bagaikan batu bata yang berfungsi
membentuk kerangka kepribadian bangunan sehingga memiliki
sosoknya yang lebih berbentuk dan berarti-fungsi. Sifat dan
karakter batu batu mewariskan atribut kesabaran, ketulusan dan
siap berkorban demi penataan dan kesempurnaan suatu
bangunan.

Sementara itu haji menempati bagian struktur bangunan yang


berfungsi sebagai perekat bangunan, seperti semen, pasir, split
dan air, yang menyatukan seluruh bagian bangunan. Dalam
haji semua struktur rukun Islam diikat menjadi kesatuan
bangunan Islam termasuk fungsinya yang lebih luas dalam
rangka membentuk suatu bangsa (ummat) dengan sekala
eksistensinya secara universal, integral dan internasional.

78
Adapun konsep hidup lain, seperti politik, ekonomi, sosial,
keluarga dan budaya, menempati posisi sekunder dalam
memfungsikan bangunan tersebut terutama dari sisi penataan
interior bangunan sehingga lebih sempurna dan menarik yang
membuat setiap penghuninya merasa aman, tenang dan
nyaman. Semua itu ditata dalam konsep mu’amalah, terutama
kontrak-kontrak jual beli dan pergaulan sosial, dan munakahah
sebagai awal dari pembentukan keluarga yang berfungsi sebagai
miniatur negara dan masyarakat dalam Islam.

Aklaq dan sarana hidup lain berfungsi sebagai ornamen-


ornamen bangunan yang tidak kalah pentingya dalam
membangun estetika dan citra suatu bangunan. Oleh karena itu
etika dan moral sangat diperhatikan dalam bangunan Islam
dalam upaya membangun keperibadin manusia. Apalagi akhlaq
dan etika menempati bagian terluar dari keperibadian itu sendiri
yang selalu memberikan kesan pertama perilaku dan
penampilan seseorang.

Namun seluruh atribut yang disandang oleh struktur ini akan


rusak seketika dalam waktu singkat manakala tidak dilengkapi
dengan penutup atap yang berfungsi sebagai pelindung dari
hujan dan panas yang akan mengikis atribut-atribut tersebut.
Keberadaan hukum termasuk punishment-nya (jinayah dan
hudud) yang lebih bersifat struktural, baik perdata maupun
pidana, sangat diperlukan untuk melindungi seluruh bagian
bangunan dari segala bentuk kerusakan dan kejahatan. Oleh
karena itu lebih membutuhkan adanya dukungan struktur yang
independen dan memiliki kedaulatan sendiri.

Keberadaan dan tegaknya amar ma’ruf dan nahyi mungkar, yang


lebih bersifat membangun keperdulian sosial, juga harus
dibangun dalam kerangka pendekatan sosio-kultural. Sektor ini
lebih berfungsi sebagai kontrol sosial yang lebih menitikberatkan
pada kesadaran setiap individu masyarakat dalam menjaga
79
keindahan dan keamanan bangunan kehidupan dari ancaman
individu-individu yang berpotensi merusak. Amar ma’ruf dan
nahyi mungkar sebenarnya merupakan tugas dan kewajipan
pemerintah. Karena perintah maupun larangan lebih bersifat
top-down bukan buttom-up.

Sedangkan jihad, yang dalam arti luas berarti berjuang dan arti
yang lebih spesifik berarti berperang di jalan Allah, adalah
bagian bangunan yang berfungsi defensif dan sekaligus ofensif
dalam memelihara, menjaga dan meluaskan bangunan Islam
dalam rangka menyebarkan dan mengembangkan misi Islam
sebagai rahmatan lil’alamin. Di sinilah keberadaan dan fungsi
militer yang sesungguhnya dalam struktur bangunan Islam harus
dibangun dengan misinya yang sangat mulia dan luhur. Yaitu di
jalan Allah dalam tujuan dan caranya.

80
81
A. Skema Pokok-Pokok Pemahaman Surah al-Fatihah
Ayat 1.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
AQIDAH :
 Pucak dan pusat keimanan (Allah)
 Pengalaman imani dan ruhani yang indah
 Kesadaran pertama memahami asma Allah sebagai Maha Pemurah (ar -
Rahman) dan Maha Penyayang (ar Rahim)

Ayat 3.
Ayat 2.
Maha Pengasih lagi Maha
Segala puji bagi, Rabb semesta Alam
Penyayang
AQIDAH :
AQIDAH :
 Kesadaran kedua, penyerahan
 Kesadaran ketiga, semakin
seluruh puji hanya kepada Allah
memahami asma Allah
yang Maha berhak
 Pengalaman dan kepuasan ruhani
 Pencipta adalah yang Maha Tahu
menjadi hamba dari yang Maha
dan Maha berhak mengatur alam
Pengasih dan Maha Penyayang
 Kepuasan nurani saat berserah diri
kepada-Nya

Ayat 4.
Ayat 5. Yang menguasai hari
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan pembalasan
hanya kepada Engkaulah kami mohon AQIDAH (visi) :
pertolongan  Kesadaran keempat, visi ke
IBADAH (misi) : depan yang sangat jauh.
 Setiap detik kehidupan butuh pertolongan  Kompensasi terbaik dan
dan hanya Allah yang Maha Mampu terpasti hanya dari Allah, Raja
mewujudkannya Pembalasan
 Ibadah (puncak rasa terima kasih dan
syukur) hanya kepada Allah (atas seluruh
jasa dan pertolongan-Nya)
Ayat 7.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula
Ayat 6. jalan) mereka yang sesat
Tunjukilah kami jalan yang lurus SEJARAH / MODEL :
HIDAYAH :  Manusia perlu sejarah dan contoh,
 Hidayah adalah peta kehidupan karena nilai dan pelajaran adalah
 Peta yang terjamin ketepatannya, universal
hanya dari yang Maha Tahu tujuan  Paradigma muslim, tidak boleh
dan seluk beluk perjalanan (logis) menyesatkan dan jangan mau
disesatkan

82
Summary:
• Kajian Surah al-Fatihah merupakan
sumber ilham (Inspirasi) seorang
muslim dalam memanaj kehidupannya
• Tadabbur adalah aktifitas berfikir yang
mencerdaskan akal dan nurani setiap
muslim
• Tadabur hendaknya menjadi aktifitas
dan habit (kebiasaan) setiap mu’min
dalam setiap kesempatan

83
The Grand Design of

Muslim Visioner
(Membangun dan Mengembangkan Visi
Seorang Muslim dalam Perspektif Surah al-
Fatihah)

Agenda Muslim Visioner


• Membangun Perencanaan Strategis Da’wah
• Mengembangkan Da’wah Profesi
• Membangun Motivasi Diri
• Mengembangkan Tiga Aspek Kecerdasan (IIIQ)
• Rekonstruksi Pemikiran Islam
• Membangun Kepribadian dan Peradaban
• Strategi Pendidikan Islam Masa Depan
• Membangun Masyarakat Madani

84
VISI DAWAH SEORANG MUSLIM
DALAM REKAYASA MASA DEPAN UMAT
(Studi Strategic Planning)

َّ ‫عاكُ ْم ِل َما يُحْ يِيكُ ْم َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬


َ‫َّللا‬ َ َ‫ول إِذَا د‬
ِ ُ‫ِلرس‬ ِ َّ ِ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ا ْست َِجيبُوا‬
َّ ‫ّلِل َول‬
)24( َ‫َي ُحو ُل َبيْنَ ْال َم ْرءِ َوقَ ْل ِب ِه َوأَنَّهُ ِإلَ ْي ِه ت ُ ْحش َُرون‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah
dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada
suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah
kamu akan dikumpulkan.”
(QS. 8 al-Anfal, 24).

َ ُ‫سيُ ْن ِفقُونَ َها ث ُ َّم تَكُون‬


‫علَ ْي ِه ْم‬ َ َ‫َّللا ف‬ َ ‫ع ْن‬
ِ َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫صدُّوا‬ ُ َ‫ِإ َّن الَّذِينَ َكف َُروا يُ ْن ِفقُونَ أ َ ْم َوالَ ُه ْم ِلي‬
)36( َ‫َحس َْرة ً ث ُ َّم يُ ْغلَبُونَ َوالَّذِينَ َكف َُروا إِلَى َج َهنَّ َم يُ ْحش َُرون‬

Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta


mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka
akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi
mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka
Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan, (al-Anfal
36)

‫ارا َويَ ِزدْكُ ْم قُ َّوة ً ِإلَى‬


ً ‫علَ ْيكُ ْم مِ د َْر‬ َّ ‫َويَا قَ ْو ِم ا ْست َ ْغف ُِروا َربَّكُ ْم ث ُ َّم تُوبُوا ِإلَ ْي ِه ي ُْر ِس ِل ال‬
َ ‫س َما َء‬
)52( َ‫قُ َّوتِكُ ْم َو َال تَت ََولَّ ْوا ُمج ِْرمِين‬
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada
Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia
menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan
menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah
kamu berpaling dengan berbuat dosa." (Huud, 52)

َ‫َّللا َو َما أَنَا مِن‬ ُ ‫يرةٍ أَنَا َو َم ِن ات َّ َب َعنِي َو‬


ِ َّ َ‫س ْب َحان‬ َ ‫ص‬ِ ‫علَى َب‬ ُ ْ‫س ِبيلِي أَد‬
ِ َّ ‫عو ِإلَى‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫قُ ْل َه ِذ ِه‬
)108( َ‫ْال ُم ْش ِركِين‬
85
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang
nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik". (Yusuf, 108)

َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالَّتِي ه‬


َ ْ‫ِي أَح‬
َ‫سنُ ِإ َّن َربَّك‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬
َ ‫سبِي ِل َربِكَ بِ ْالحِ ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬
َ ‫ادْعُ ِإلَى‬
ْ َ َ
)125( َ‫سبِي ِل ِه َوه َُو أ ْعل ُم بِال ُم ْهتَدِين‬ ْ
َ ‫عن‬ َ ‫ض‬ َّ‫ل‬ َ ‫ه َُو أ َ ْعلَ ُم بِ َمن‬
ْ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (an-Nahl,
125)

‫عد َُّوكُ ْم‬ َ ‫ط ْعت ُ ْم م ِْن قُ َّوةٍ َوم ِْن ِربَاطِ ْال َخ ْي ِل ت ُ ْر ِهبُونَ بِ ِه‬
ِ َّ ‫عد َُّو‬
َ ‫َّللا َو‬ َ َ ‫َوأ َ ِعدُّوا لَ ُه ْم َما ا ْست‬
‫ف‬ َّ ‫يل‬
َّ ‫َّللاِ ي َُو‬ ِ ‫س ِب‬
َ ‫ش ْيءٍ فِي‬ َ ‫مِن‬ْ ‫َّللا ُ َي ْعلَ ُم ُه ْم َو َما ت ُ ْن ِفقُوا‬
َّ ‫َو َءاخ َِرينَ م ِْن د ُونِ ِه ْم َال ت َ ْعلَ ُمونَ ُه ُم‬
)60( َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ُ ‫إِلَ ْيكُ ْم َوأ َ ْنت ُ ْم َال ت‬
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang
kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan). (al-Anfal, 60).

Da’wah secara bahasa berarti ajakan. Dan menurut istilah


didefinisikan dengan “mengajak manusia ke jalan Allah untuk
mengeluarkan mereka dari kegelapan kekufuran kepada cahaya Islam,
dan dari kezaliman kepada keadilan.”

Ayat dan Pengertian da’wah di atas menggambarkan bahwa


da’wah memiliki peran yang demikian strategis dalam
pembinaan ummat manusia. Yaitu melepas manusia dari segala

86
bentuk dan penyebab kehinaan, kebodohan, penindasan dan
kezaliman. Maka sangat logis dan wajar jika orang-orang
termulia di sisi Allah dan tentu saja terhormat di kalangan
manusia seperti para nabi, Rasul, syuhada dan ‘ulama, memiliki
peran utamanya adalah sebagai da’i. Jasa mereka terus dikenang
sepanjang sejarah hidup manusia karena mampuh
mengantarkan mereka kepada hakikat hidup yang
sesungguhnya.

Dengan demikian da’wah dapat dipahami sebagai suatu sistem


yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahkan da’wah
dengan seluruh ma’na, pemahaman dan penerapannya
sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah, shallallahu
‘alaihi wa sallam, telah berhasil membangun dan memberi
kehidupan kepada setiap sektor kehidupan manusia, baik
pemikiran (intelektual), mental (spiritual), maupun perilaku
(moral) lengkap dengan wujud peradabannya yang agung dan
mulia. (lihat kembali ayat di atas).

Peran Da’wah dalam Pembinaan Masyarakat:

Pertama: Da’wah berperan menghidupkan masyarakat


pada sektor pemikiran (intelektual).

Peran ini demikian penting karena pemikiran adalah gerbang


dan dasar perbaikan suatu masyarakat dan bangsa. Hanya
bangsa yang memiliki pemikiranlah yang dapat menentukan
masa depan generasinya secara baik. Karena pemikiran akan
membentuk dalam jiwa generasi bangsa itu prinsip-prinsip yang
sangat diperlukan dalam membangun mind setting (penataan
pemikiran) tentang kehidupan dan peradabannya. Prinsip inilah
yang akan membawa mereka kepada sikap teguh pendirian dan
kepercayaan diri yang sangat diperlukan dalam menguasai
percaturan hidup dengan bangsa-bangsa lain.

87
Dalam peran ini da’wah selalu mewariskan gagasan dan ide yang
mulia dan agung. Ide untuk selalu hidup terhormat dan mulia.
Orang-orang yang hidup dengan da’wah sepanjang sejarahnya
selalu mewariskan cara pandang (paradigma) dan cara hidup
(way of life) yang kaya dengan nilai positif. Ini terjadi karena
sumber pemikiran dan gagasan tersebut berasal dari Islam.
Dinul Fithrah yang sesuai dengan watak dan karakter manusia
sepanjang masa. Sebagaimana firman Allah:

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. 30 Ar-
Ruum, 30).

Ke dua: Da’wah berperan membangun mental (Spiritual)


masyarakat dengan benar, kokoh dan terarah.

Peran ini juga sangat penting dalam mengarahkan masyarakat


dan bangsa sehingga memiliki spiritualitas yang luhur dan
kokoh. Karena kekuatan spiritual adalah kekuatan mendasar
dari kecerdasan emosional dan spiritual yang sangat signifikan
dan inti dari seluruh kekuatan yang dimiliki manusia. Oleh
karena itu tiada satu bangsa atau masyarakat manapun yang
mengabaikan pembinaan sisi spiritual ini melainkan ia akan
terancam keruntuhan. Sejarah membuktikan hal ini, di mana
bangsa yang lebih memiliki perhatian dan kekuatan spiritual
yang lebih tinggi dan kuatlah yang selalu mampuh melestarikan
dirinya dalam sejarah.

Sisi inilah yang ternyata kurang diperhatikan masyarakat.


Sekalipun ada, tetapi spiritualitas dan mental yang dibangun
bukan atas dasar konsep dan ajaran hidup yang terjamin
kebenarannya. Berbagai paham kehidupan abad ini memang
banyak dipelajari di bangku sekolah atau kursi kuliah. Tetapi
88
kesalahan dalam memilih ajaran dan paham hidup justeru awal
dan muara keasalahan lainnya. Oleh karena itu da’wah dengan
Islam sebagai objeknya menawarkan spiritualitas yang telah
teruji keberhasilannya dalam membawa bangsa-bangsa di dunia
ke jenjang peradabannya yang mulia dan dicita-citakannya.

Ke tiga: Da’wah berperan membangun moralitas (akhlaq)


masyarakat yang agung dan mulia.

Sisi akhlaq adalah sisi terluar dan paling dirasakan langsung hasil
dan pengaruhnya dalam kehidupan. Sedikit cacat yang terdapat
pada moral akan langsung memberikan kesan dan dampak
buruk dalam diri seseorang dan masyarakat. Dengan demikian
sisi ini sangat diperhatikan oleh da’wah dan para pelakunya.
Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan tidak
diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia
(al-Hadits).

Dengan ketiga sisi pembinaan ini, da’wah telah menempatkan


dirinya sebagai sistem dan mekanisme yang paling efektif dan
baik. Karena dengan kekuatan di ketiga sisi ini suatu
masyarakat dan bangsa akan selalu eksis dan dihormati bangsa-
bangsa lain.

Perencanaan Strategis Da’wah Dalam Pengembangan


Umat

“Sesungguhnya amal-amal perbuatan (berbagai aktifitas) itu (tergantung)


kepada niat (visi, misi, motivasi dan perencanaan strateginya)”. (al-
Hadits)

 Strategi merupakan seni untuk membawa musuh ke dalam


suatu pertempuran pada satu waktu dan tempat yang anda
inginkan. “the art of bringing the enemy into battle at a time and

89
place of your own choosing”. Atau seni membawa suatu produk
dan pasar secara bersama-sama di bawah kondisi-kondisi
yang kondusif dengan keuntungan ”the art of bringing the
product and the market together under conditions which are conducive
to profit”. (Personal/Humen Resource Management in
Australia, Randall S. Schuler dkk, hal. 4).

 Da’wah, seperti dikemukakan di atas, adalah ajakan ke jalan


Allah dengan hikmah dan mau’idzoh hasanah (pelajaran
atau nasehat yang baik) serta debat yang baik, agar beriman
kepada-Nya dan kufur terhadap segala bentuk thoghut,
supaya keluar dari segala bentuk kezaliman akibat
kebodohan menuju keadilan Islam.

 Strategi da’wah dalam pengembangan ummat adalah seni


membawa dan mengajak ummat ke dalam suatu kondisi
kehidupan yang adil sebagaimana yang diinginkan Islam dan
sumbangan rahmatnya dalam menata dunia.

 Dalam cara pandang seorang “military strategist” bahwa


strategi harus mencerminkan suatu etos perang untuk
memenangkan pertempuran. Sementara dalam perspektif
seorang bisnismen yang juga mengadaptasi pemikiran ahli
strategi militer di atas bahwa strategi bisnis harus
merefleksikan etos kerja atau seni mengantarkan suatu
produk dan pasar sekaligus ke gerbang keuntungan.

 Dari kedua cara pandang ini strategi adalah sistem yang


memiliki kepentingan dan tujuan untuk membawa segala
komponennya ke suatu kemenangan dan keuntungan.
Untuk mendukung sistem ini diperlukan suatu seni atau
kemampuan yang dapat diperlihatkan dalam dua jenis etos,
yaitu etos kerja dan etos perang (jihad).

90
 Demikian halnya dengan da’wah, yang juga merupakan
suatu sistem dengan seluruh komponennya mulai dari
tujuan, tahapan, target, objek, metode dan mekanismenya,
diarahkan untuk memberikan kemenangan dan keuntungan
bagi ummat khususnya dalam bidang ekonomi, politik,
budaya dan pendidikan.

 Da’wah sering diilustrasikan dalam al-Qur’an dengan sistem


transaksi jual beli atau perdagangan. Dua ayat di atas
menunjukkan hal ini, yang pertama (Surah at-Taubah 111)
menyatakan adanya transaksi antara Allah dan hamba-Nya.
Yang kedua (Surah Shaff: 10-11) menegaskan suatu
transaksi perdagangan.

 Kedua ilustrasi tersebut menggambarkan adanya tuntutan


etos kerja yang optimal. Lebih jauh kedua ilustrasi itu
menggambarkan implementasi kongkrit dari etos kerja
seorang mu’min ( apalagi da’i) yang optimal yaitu etos jihad
(perang di jalan Allah). Dalam konteks kehidupan nyata
dapat diwujudkan dalam jihad (perjuangan atau perang)
menuju kemenangan di segala bidang.

 Sebagai suatu sistem, strategi da’wah ini harus didesain


dalam suatu perencanaan (planning) sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai da’i pertama paling berhasil.

 Dalam merencanakan suatu strategi diperlukan komponen-


komponen dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penguasaan nilai berbagai aspek wawasan
teoritik tentang segala permasalahan kehidupan
dalam pandangan Islam dan konvensonal. Hal ini
dapat dilakukan secara simultan dengan
pengembangan wawasan ummat mulai dari kalangan
91
ulama, da’i, kaum intelektual sampai kalangan
masyarakatnya.
2. Penguasaan nilai data dan informasi tentang
berbagai kondisi ummat baik yang positif atau yang
negatif sebagai bahan pertimbangan pengambilan
kebijakan oleh kalangan pengambil keputusan seperti
pemerintah, anggota legislatif sampai ke tingkat
direktur dan manajer perusahaan dan perdagangan.
3. Perumusan visi dan misi tentang pemberdayaan
ummat dan kepentingannya dalam upaya mengubah
kondisi ummat menuju kesejahteraan dan keamanan
yang memadai.
4. Penumbuhan etos kerja sekaligus etos jihad yang
terbentuk dari refleksi visi dan misinya dalam konteks
kehidupan nyata, etos kerja diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan hidup di kalangan ummat,
sehingga mampuh menduduki posisi-posisi strategis
dalam penentuan kebijakan yang menguntungkan.
Sementara etos jihad (juang dan perang) sangat
diperlukan dalam pertahanan, perlindungan dan
pengembangan karena pihak “musuh” sangat
berkepentingan untuk menguasai aspek-aspek yang
cukup menentukan nasib bangsanya.
5. Perencanaan operasional dengan mengaudit,
menghitung dan menganalisa seluruh variabel yang
mempengaruhi kondisi ummat baik kekuatan internal
atau eksternal ummat. Seperti jumlah para pelaku
bisnis, ekonom dan politik di setiap tingkatan, jumlah
dan perbandingan potensi yang dikuasai intern dan
ekstern ummat.
6. Menentukan pilihan skenario untuk mengantisipasi
setiap perkembangan kondisi baik lokal, nasional
maupun internasional. Perkembangan ini akan
mempengaruhi kebijakan atau sikap da’i dan ulama

92
misalnya dalam keterlibatan mereka dalam dunia
ekonomi, politik dan pendidikan.
7. Pelaksanaan (Implementation) dari setiap
perencanaan menuju masa depan ummat yang
berdaya dan mencerminkan kehidupan penuh rahmat
bagi semesta alam.

Semoga masyarakat dan umat kita dapat mewujudkan peran


da’wah dengan strategic palnning-nya yang efektif dan efisien.
Sehingga umat dan peranannya sebagai guru dunia (ustaadziyyatul
’aalam) dapat hidup dengan ma’na yang sesungguhnya. Amin.

93
Langkah-langkah Perencanaan Strategi Da’wah
Dalam Pengembangan Ummat:

PROSES

IN OUT
Strategi Planning
Da'wah Ummat

Inventarisasi Nilai

Visi
dan
Misi

Etos Kerja Etos Jihad

Operasional Planning

Alternative Scenario

Implementation

94
Kontinuum Perencanaan
(Perspektif Islam)

Dzikir Fikr

Intuitif Analitis

Pemikiran Perencanaan
Strategis Perencanaan Taktis
Jangka Panjang

Perspektif Posisi Performa

Iman Niat Amal Sholeh

Diadaptasi dari Pedoman Pemikiran Strategis,


Membangun Landasan perencanaan Anda, George L.
Morrisey.

95
PROFESIONALISME DA’WAH
dan DA’WAH PROFESI
Alternatif Pengembangan Diri

“Dan berbuat ihsanlah kamu. Sesungguhnya Allah


mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS.2 Al-
Baqarah 195).
“Jikan kamu berbuat ihsan maka kamu telah berbuat
untuk dirimu, dan jika kamu berbuat buruk maka
(itupun) untuk dirimu sendiri.” (QS. 17 Al-Isra, 7).

“Sesungguhnya Allah telah mewjibkan ihsan atas segala


sesuatu ...”
(al-Hadits).
“Islam adalah lingkaran, maka berputarlah kamu
bersamanya sebagaimana ia berputar.” (al-Hadits).

Profesionalisme dengan kedua dimensinya, efektivitas dan


efesiensi, telah menyentuh sebahagian besar jaringan dan aspek
kehidupan. Tuntutan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru
dalam kehidupan, yang dirasakan baru adalah terminologinya.
Islam memiliki sebuah terminologi tersendiri dalam
menggambarkan esensi ini, yaitu Ihsan. Ihsan adalah tahapan ke
tiga sesudah Iman dan Islam. Puncak pengalaman hidup dalam
menunaikan tugas utama manusia diciptakan ke muka bumi
yaitu ‘ibadah.

“Hendaklah engkau ber’ibadah kepada Allah, seolah-olah kamu


melihatnya, dan jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia
melihatmu”. Adalah sebuah hadits yang mendefinisikan istilah
“ihsan”. Definisi ini dapat mengilhami dan menghadirkan
dalam diri seorang muslim suatu intuisi untuk selalu terawasi.
Controlling yang menjadi dasar kesadaran dirinya untuk terus
berprestasi tanpa kehilangan esensi orientasi hidup atau
96
prustasi. Karena obsesi tertinggi dan terakhirnya adalah ridlo
Allah, tempat menguji dan mengukur keberhasilan hidup
seluruh manusia.

Begitu sering Allah ‘Azza wa Jalla menyebut dan menekankan


istilah ini dalam al-Qur’an, demikian pula Rasulullah, shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sejumlah Haditsnya. Kesuksesan da’wah
Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa sallam, menampilkan model
ke’ihsan’an dan profesionalisme yang utuh. Dua kategori di atas,
efektivitas dan efesiensi, menjadi urat nadi dan darah segar
kedisiplinan yang selalu menyuplai inovasi dan kreasi beliau
dalam bingkai wahyu Allah, di samping memelihara perjalanan
da’wahnya dari gejala dan segala bentuk stagnasi.

Prestasi dan reputasi da’wah Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa


sallam, dibukukan dalam sejarah tersingkat jika dibandingkan
dengan para pendahulunya dari kalangan para nabi dan rasul
‘alaihimus salam. Namun hasilnya pun bagai mata air yang tidak
pernah kering, terus mengairi setiap ruang dan waktu berbagai
bangsa di dunia dari generasi ke generasi. Da’wah beliau adalah
sistem asimilasi yang mendaur ulang udara kehidupan manusia
yang telah terkena dan pekat polusi seluruh sisi dan aspek
hidupnya.

Dengan air dan udara da’wah itu manusia dapat survive


‘bertahan hidup’, bercocok tanam dan menyemai berbagai
benih kehidupan yang sangat mereka butuhkan. Mulai dari
benih kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Lukisan performen kepribadian
manusia yang utuh ini adalah cermin da’wah Rasulullah,
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang integratif dan kondusif
dengan seluruh aspek kehidupan. Profesionalisme da’wah
Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah sosok utuh
da’wah akomodatif, mampuh menampung seluruh aspirasi

97
manusia yang positif dan menempatkannya dalam setiap
profesi sesuai kecenderungan masing-masing.

Dengan demikian, kategori da’wah integral adalah da’wah yang


menyeluruh secara integratif, kondusif dan akomodatif. Tiga
karakteristik yang menyatu dalam satu esensi ini dapat diujicoba
sebagai ukuran keberhasilan da’wah integral. Dengan da’wah ini
seluruh jaringan sel dan saraf dalam kehidupan berfungsi,
saling mendukung dan memberikan kontribusi. Sehingga
kehidupan tidak pernah kehilangan sentuhan da’wahnya yang
sarat inovasi dan kreasi variatif dalam mengantisipasi setiap
laju kehidupannya yang dinamis.

Allah dalam Al-qur’an merumuskan da’wah beliau dengan


firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah oleh
kamu (seruan) Allah dan Rasul-Nya bilamana beliau
menda’wahimu kepada sesuatu (din) yang menghidupkan
kamu...” (QS. 8 Al-Anfal, 24). Da’wah Rasulullah adalah
da’wah yang telah membawa kepada esensi kehidupan. Dengan
sentuhan da’wah itu berpikir, kesadaran diri, hati nurani, harga
diri, dan keperibadian setiap manusia dan suatu bangsa
menjadi hidup kembali dan diantarakan ke peradabannya yang
mulia dan agung.

Ke arah Profesionalisme Da’wah:

Integralitas dan kesuksesan da’wah Rasulullah, shallallahu ‘alaihi


wa sallam, menunjukkan suatu da’wah yang profesional. Tidak
satupun sisi kehidupan yang tidak tersentuh da’wah. Dan tidak
satupun sisi kehidupan yang tersentuh da’wah melainkan sisi
tersebut menjadi lebih bernilai dan optimal. Profesi positif
sebelum Islam yang dimiliki para shahabat tidak pernah
terabaikan ketika mereka memasuki Islam. Bahkan profesi
tersebut menjadi lebih optimal dalam Islam.

98
Persepsi ini mencerminkan bukti kebenaran sabda Rasulullah,
shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Manusia adalah (ibarat) barang
tambang, sebaik-baik kamu di (masa) jahiliah adalah
sebaik-baik kamu di (masa) Islam apabila mereka
memahami (Islam)”. Dan ini sesuai dengan karakter Islam
yang tidak pernah menolak segala bentuk kebaikan dan
kemashlahatan apapun yang benar-benar bermanpaat.

Merenungkan realita historis ini dapat disimpulkan sementara


bahwa da’wah menuntut profesionalisme. Untuk menganalisa
esensi profesionalisme ini dapat dirumuskan pendekatan dua
sisi sebagaimana tersebut di atas. Yaitu sisi efektivitas dan
efisiensi.

Pertama: Efektivitas, yang sering dimaksudkan dengan setiap


bentuk pendayagunaan potensi ke arah pencapain tujuan dan
target sesuai dengan yang ditentukan. Jika tujuan utama da’wah
adalah ridlo Allah, maka seluruh potensi, kemampuan dan
variabel kehidupan manusia dapat diarahkan untuk mencapai
tujuan ini. Dan jika salah satu target da’wah adalah membentuk
manusia mulia dan berkepribadian agung, maka da’wah
mengantarkan setiap potensi dan profesi ke jenjang itu. Dengan
demikian seorang manusia dapat mencapai tingkatan taqwa
tertinggi, sebagai standar ukur kemuliaan, melalui potensi dan
profesi yang ditekuninya. Dan ini lebih sesuai dengan realita
kehidupan manusia yang tidak mungkin profesional dalam
menangani seluruh aspek kehidupan.

Namun demikian seluruh potensi dan profesi harus terikat


dengan visi dan misi global da’wah. Visi dan misi global harus
terus dijaga dan dikembangkan dalam suatu sistem dan
mekanisme yang applicable sesuai dengan dinamika ruang dan
waktu. Sesuai dengan ungkapan “Think globally, act locally”,
rumusan yang dapat dipinjam untuk menganalisa ketepatan
profesinalisme ini. Al-Imam Syathibi merumuskan pandangan
99
ini dalam kaidah: “ mengabaikan hal-hal yang parsial akan
membawa kepada pengabaian hal-hal yang global”.

Ke dua: Efisiensi. Dengan pengertian bahwa segala sesuatu


dapat dilakukan dalam waktu dan mekanisme yang terukur
sesuai dengan target dan tujuan yang direncanakan. Demikian
pula dengan da’wah, sudah seharusnya terukur dari segi waktu
sekalipun tidak pasti menentukan, kaku dan mengikat.
Mekanisme da’wah juga sudah semestinya memperhatikan sisi
ini. Sehingga setiap permasalahan dapat terakomodasi dalam
waktu cepat dan efisien. Managemen sistem informasi
nampaknya sangat laik untuk diadopsi sebagai medium untuk
membangun mekanisme yang efisien.

Kembali menengok sejarah, bahwa Rasulullah, shallallahu ‘alaihi


wa sallam, telah mencontohkan dua sisi ini. Begitu efektif dan
efisien da’wah beliau. Dalam waktu singkat, kurang dari 23
tahun berhasil menanamkan visi, misi dan orientasi.
Ditindaklanjuti dengan keberhasilan membangun seluruh aspek
kehidupan dengan melahirkan tenaga-tenaga profesioal di
bidang masing-masing dengan tetap terikat dan komitmen
dengan visi globalnya yaitu membangun alternatif peradaban
manusia.

Da’wah Rasulullah telah melahirkan Khulafa’ Rasyidun, para


kepala negara yang tampil sebagai para pemimpin dan
negarawan yang juga da’i dalam setiap kebijakannya. Kholid bin
Walid sangat profesional dalam menangani sistem militer yang
tangguh dan kaya inovasi variatif dalam menyusun strategi
perang. Salman al-Farisi yang potensi pengalamannya dalam
strategi perang bertahan, dioptimalkan Rasulullah, shallallahu
‘alaihi wa sallam, dalam perang Ahzab, sehingga diabadikan
sejarah dengan nama perang Khandaq (Parit). Ini sekelumit
contoh kongkrit bagaimana da’wah begitu kondusif dengan
setiap potensi positif, keterampilan dan profesi yang digeluti.
100
Da’wah Profesi sebagai Alternatif:

Ketika da’wah dipahami secara parsial, di mana para pemeran


da’wah didominasi oleh mereka yang berlatar belakang syar’i,
seperti santri atau lulusan perguruan tinggi ilmu-ilmu Islam,
maka terkesan profesi lain dengan latar belakang pendidikan
non syar’i tidak memiliki kontribusi dalam da’wah. Lebih parah
lagi timbul kontroversi yang saling merugikan. Da’wah tidak
mendukung profesi dan profesi dianggap telah menghambat
da’wah. Seolah-olah dua kutub berlawanan yang sulit
dipertemukan.

Fenomena yang menggejala akibat persepsi ini adalah


tumbuhnya benih stagnasi dari kedua pihak. Mereka yang terjun
dalam profesi banyak kehilangan arah dan orientasi da’wah.
Karena da’wah dirasa kurang akomodatif dan kondusif dengan
tuntutan profesionalisme. Sementara yang langsung
ber”profesi” sebagai da’i kurang dapat mengembangkan diri
dengan tuntunan dunia profesi. Sehingga kontribusinya bagi
da’wah cenderung mengabaikan mereka yang secara tuntutan
hidup harus terjun dalam profesi masing-masing. Padahal ke
dua pihak adalah juga subjek dan sekaligus objek da’wah yang
sesungguhnya sama-sama membutuhkan sentuhan da’wah
secara efektif dan efisien.

Di sisi lain yang perlu diperhatikan adalah tidak mungkin atau


sulit memaksa kaum profesional menjadi da’i dalam performen
seorang ustadz atau muwajjih ‘pemberi arahan atau materi’
apalagi menjadi ulama atau mufti ‘pemberi fatwa’ yang
kompeten. Mengingat kompetensi dan kapasitas ilmiahnya yang
tidak cukup mendukung bidang ini. Demikian pula akan sulit
memaksa sang ‘ustadz untuk menjadi tenaga profesional praktis
di bidang profesi non syar’i yang bukan bidangnya.

101
Mengamati fenomena ini diperlukan alternatif sistem dan
mekanisme yang bersifat simbiosis mutualisme ‘saling
meguntungkan’, kondusif dan sinergik. Di mulai dari
pembenahan persepsi seputar da’wah sampai kepada konsep,
sistem dan mekanisme yang applicable untuk mempertemukan
dua kepentingan hidup manusia ini. Sehingga dua terminologi
ini seharusnya dapat kita satukan dalam istilah “Da’wah
Profesi”.

Esensi Da’wah Profesi:

Dari gambaran di atas dapat dipahami esensi da’wah profesi.


Yaitu da’wah yang berhasil memanpaatkan setiap potensi
profesional sebagai medium dan lapangan da’wah. Selama
potensi tersebut memiliki akses yang diperlukan oleh manusia
dalam kehidupannnya. Termasuk bidang bimbingan dan
penyuluhan seputar ilmu da’wah dan Islam yang banyak
diperankan oleh kalangan ustadz, muwajjih dan instruktur atau
mentor. Karena da’wah itu sendiri harus bersentuhan dengan
seluruh lapisan manusia dari berbagai latar belakang profesi
masing-masing. Dengan demikian kontroversi antara dua
kepentingan da’wah dan profesi tidak perlu lagi muncul akibat
dari kesalahan persepsi dan tarik menarik dua kepentingan yang
sering dipertentangkan.

Ke arah Optimalisasi Da’wah Profesi:

Untuk mengoptimalkan da’wah profesi ini dapat dilakukan


dengan analisa dan beberapa pendekatan sebagai berikut:

Pertama: Ta’rif ‘pengenalan’ ke arah penyatuan persepsi.


Kedua pihak, baik da’wah maun profesi, hendaknya mengenali
watak dan persepsi masing-masing. Da’wah memiliki peta nilai
dan idealisme yang lebih dominan. Sementara profesi memiliki
peta realita yang demikian dinamis. Kedua watak ini
102
sesungguhnya tidak kontradiktif, justru keduanya saling
diperlukan. Da’wah harus bisa tampil dalam performen realistik,
sehingga dapat merasakan langsung sejumlah pengalaman
ketika ingin menggulirkan suatu upaya pembenahan terutama ke
arah sistem yang kondusif dengan Islam.

Demikian pula profesi memerlukan peta idealisme dan prinsip


untuk mengendalikan diri, minimal agar tetap bertahan hidup
sebagai muslim dan juga da’i dengan seluruh atributnya. Di
samping itu kekuatan prinsip dan spiritual sangat diperlukan
profesi untuk menjaga konsistensinya terhadap visi da’wah dan
misi pembenahan sistem termasuk dalam bidang yang
digelutinya ke arah sistem Islam. Karena hanya orang-orang yang
memiliki prinsip benar dan kokohlah yang akan dapat membuat
perubahan ke arah yang lebih baik dalam setiap sistem dari
dimensi kehidupan. Langkah pertama ini adalah pembuka jalan
untuk ditindaklanjuti ke langkah berikutnya.

Ke dua: Fahmu ‘ memahami’ ciri dan watak . Berangkat dari


pengenalan sifat dan karakter masing-masing, kedua pihak dapat
merumuskan mekanisme kerja dengan bingkai saling
memahami. Karena boleh jadi ditemukan kepentingan-
kepentingan yang sesungguhnya dapat meningkatkan pihak
masing-masing, tetapi tidak bertemu dalam satu waktu atau
sistem dan model yang sama. Akibatnya jika tidak dipahami titik
temu antara keduanya maka yang terjadi adalah tarik-menarik
antar dua kepentingan.

Contohnya adalah pembenahan sistem yang harus dilakukan


dalam dunia profesi agar sesuai dengan misi da’wah.
Pembenahan ini tentu tidak bisa dilakukan secara sporadis,
tanpa memperhatikan fleksibelitas (kelenturan) yang semestinya
dilakukan. Dan da’wah sudah seharusnya memberikan
kesempatan waktu sebagai bagian dari terapi dan pembenahan.
Termasuk sejumlah dasar toleransi yang dapat ditolelir ketika
103
berhadapan dengan permasalahan yang tampak bertentangan
dengan syar’i.

Kelenturan dalam konteks Fiqh Da’wah tidak berarti


melakukan tawar menawar hukum syar’i yang sudah baku.
Tetapi kelenturan itu sendiri justeru didasarkan pada
pertimbangan syar’i sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku
dan pertimbangan aplikasinya sesuai dengan konteks sejarah
penerapannya ketika hukum itu turun. Di sinilah kematangan
wawasan kedua pihak sangat menentukan. Sehingga keduanya
dapat bersatu dalam pandangan sekala fiqh prioritas yang saling
memahami dan menghormati.

Ke tiga: Isti’ab ‘penguasaan’ konsep dasar. Pengenalan dan


pemahaman seluruh watak, karakter dan persepsi ke dua sisi di
atas, memang membutuhkan perhatian dan waktu cukup lama.
Sehingga terkesan sulit dan mebuat setiap pihak tidak percaya
diri untuk dapat mengatasinya. Sebagai contoh adalah perangkat
bahasa, seperti bahasa Arab yang merupakan gerbang
pemahaman fiqh da’wah dan fiqh syar’i. Demikian pula dengan
bahasa Inggris dan bacaan buku sains yang merupakan gerbang
pembuka ilmu-ilmu pengetahuan sebagai pendukung kebijakan
dan profesionalisme da’wah. Betapa banyak para aktifis da’wah
dengan semangat dan kesadaran tinggi untuk memahaminya
telah tersandung batu kejenuhan di perjalanan.

Sebenarnya kendala ini dapat diatasi secara efektif dan efisien


dengan penguasaan konsep dasar masing-masing bidang, baik
da’wah maupun profesi. Melalui pelembagaan kajian dan diskusi
bidang masing-masing, mulai dari konsep dasarnya. Contoh
ushul fiqh yang dianggap sulit dan sangat sakral oleh
sebahagian orang termasuk aktifis da’wah, sebenarnya dapat
dipelajari sebagai konsep dasar methodologi pemikiran Islam yang
dapat diajarkan dan didiskusikan dalam bingkai modifikasi baru.
Sehingga lebih aplikatif dan lebih mudah dipahami oleh setiap
104
pemikir dan pelaku da’wah termasuk yang berlatar belakang non
syar’i.

Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti managemen,


sosiologi, phsikologi dan alam dapat dipelajari dari philosophi
dan konsep dasarnya baik dengan methodologi ilmu secara
umum atau terkait dengan disiplin ilmu masing-masing. Karena
dasar-dasar ilmu tersebut manakala penelitiannya telah tuntas,
dan kebenaran ilmiahnya telah diakui sebagai rumusan yang
valid, baku dan teruji, sangat mungkin dapat dijadikan rumusan
analisis untuk ilmu lain. Contoh cara berpikir induktif dan
deduktif, adalah rumusan teori berpikir yang dapat diterapkan
dalam proses berpikir di setiap disiplin ilmu, termasuk ilmu
keislaman.

Dengan penguasaan konsep dasar ini masing-masing dapat


melakukan kritik konstruktif dan analisa ulang terhadap
penyimpangan yang terjadi dalam dunia masing-masing, baik
da’wah maupun profesi termasuk keilmuan. Karena ketika
seseorang memahami sesuatu dari cabang suatu ilmu atau
permasalahan, seringkali ia mengalami kesulitan untuk
mengoreksi kebenaran ilmiahnya karena ia tidak menguasai
dasar dan akar keilmiahannya. Termasuk dalam fiqhud Da’wah,
tidak jarang terjadi distorsi dalam pemahaman da’wah dan
terapannya tetapi banyak kalangan da’i sendiripun tidak
mampuh atau takut melakukan koreksi karena tidak menguasai
ushulud Da’wah (dasar-dasar da’wah)-nya.

Atau ketika ia dihadapkan kepada persoalan yang harus segera


diatasi, sementara ia tidak memiliki perangkat methodologi analisis
di samping materi-materi instan yang dimilikinya tidak cukup
memadai untuk melakukan koreksi dan inovasi. Akibat
fenomena ini adalah tidak percaya diri dan ketakutan melakukan
kreasi variatif dalam mengembangkan diri dan kompetensinya

105
sebagai da’i atau muslim, sampai pada tingkat kekhawatiran
yang berlebihan dalam pengambilan keputusan.

Ke empat: reorientasi ‘pengarahan ulang’ potensi dan


keterampilan. Setiap bidang, baik da’wah maupun profesi
memiliki potensi masing-masing yang dapat dikembangkan dan
dipadukan menjadi sinergi. Secara esensial, sebagaimana telah
disinggung di atas, da’wah Islamiah selalu mendukung
optimalisasi keterampilan dan potensi setiap individu muslim.
Tidak satupun potensi kaum muslimin terdahulu baik
keterampilan atau keilmiahan yang tercecer atau tidak
mendapatkan perhatian dari Islam dan da’wahnya. Karena sikap
ini sesungguhnya dari sikap Islam sendiri.

Dasar pemikiran ini dapat dilihat dari misi utama perundangan


Syari’ah Islamiah (Maqashid at-Tasyri’ al-Islami) yang
berorientasi untuk merealisasikan setiap kemashlahatan bagi manusia.
Oleh karena itu setiap kemashlahatan, baik berbentuk perolehan
manpaat atau penghindaran madlarat (bahaya) apa saja, bagi
kehidupan manusia senantiasa didukung Islam. Dukungan ini
tidak sekedar pembenaran (justifikasi), tetapi sampai ke tingkat
perintah (obligasi) setiap perkara atau perbuatan yang memiliki
muatan manpaat lebih besar atau murni, atau pelarangan setiap
hal yang merugikan manusia atau pelakunya secara khusus.

Dengan demikian setiap potensi muslim, khususnya para pelaku


dan objek da’wah, selalu mendapatkan tempat, perhatian sampai
penghargaan dalam Islam. Tidak satupun merasa terabaikan
atau tersia-siakan dalam struktur da’wah ini. Kemampuan
administrasi, mengajar, dan keahlian manajemen, meneliti dan
menyusun konsep dalam diri seorang muslim yang tidak
berlatar belakang ilmu syar’i tidak kalah pentingnya dengan
kemampuan taujih, tabligh dan tarbiah dalam diri seorang da’i
yang menekuni ilmu Islam dan da’wah. Kerangka dasar persepsi
ini perlu dingat kembali.
106
Oleh karena itu peningkatan dan pengembangan sampai
penempatan potensi tersebut sesuai dengan profesi yang
ditekuninya, hendaklah diakui sebagai bagian dari kiprah
da’wahnya yang tidak kalah kontribusinya untuk perbaikan
ummat ini. Bahkan mereka yang menekuni profesi ini, selama
tetap komitmen dengan visi dan misi da’wahnya, dapat
memetakan nilai-nilai normatif yang selama ini belum dapat
divisualisasikan oleh para da’i yang berprofesi sebagai
muballigh, dosen atau ustadz. Mereka dapat menampilkan
kebenaran normatif Islam ini dalam performen dan bukti-bukti
empiris melalui bidangnya. Dengan kata lain, mereka dapat
menjadi kekuatan faktual dan pesona aplikatif tersendiri bagi
kebenaran da’wah Islamiah.

Yang penting diperhatikan dalam pengakuan dan dukungan


terhadap masing-masing bidang ini adalah orientasi yang
mencerminkan visi dan misinya. Sekalipun profesi seseorang
sebagai mubaligh yang menghabiskan waktunya dalam
memberikan ceramah dan taujih, jika tidak bersama dengan
orientasi, visi dan misi da’wah tentulah bukan bagian dari
ummat da’wah ini. Di sinilah prinsip “Saya da’i sebelum segala
sesuatunya”
akan mengarahkan setiap orientasi pelaku dan objek da’wah
kepada visi dan misinya secara istiqamah.

Ke lima: tansiq ‘koordinasi’ dan tandzim ‘konsolidasi,


organisasi dan penataan’ bidang dan wilayah kerja. Untuk
menghindari terjadinya penumpukan potensi di satu bidang,
adalah dengan pengkoordinasian dan penataan bidang dan
wilayah kerja masing-masing secara proporsional. Sebagai
contoh antara dunia kampus dan pasca kampus. Kesadaran
peningkatan diri pasca kampus harus segera diantisipasi sejak
seorang da’i di kampus. Ia harus memilki visi dan misi yang
terorientasikan secara jelas ketika memasuki dunia kerja yang
menuntut profesialisme.
107
Yang lebih kondusif lagi adalah bagaimana memformat da’wah
kampus seiring atau dapat megikuti rithme kehidupan pasca
kampus dengan seluruh dimensi dan tuntutannya. Sehingga
ketika aktifis da’wah kampus lulus, ia tidak lagi merab-raba
profesi apa yang dapat dan harus ditekuninya terutama yang
benar-benar sejalan dengan misi da’wahnya. Minimal
menyelamatkan dan menjaga dirinya dari kemungkinan distorsi
dan degradasi visi dan misi ketika ia terjun sebagai tenaga
profesional.

Disini tampaknya tuntunan atau pedoman dasar ke arah


pelembagaan atau institusi yang menjadi embrio wadah
peningkatan profesionalisme da’wah dan profesi harus segera
digulirkan. Lengkap dengan sistem dan mekanisme serta kajian-
kajian keilmiahan dan konsep dasarnya, baik sebagai penunjang
da’wah maupun profesi. Dimulai dari penataan ulang persepsi
seputar da’wah dan profesi, sampai kepada pelatihan-pelatihan
produktivitas pemikiran yang menjadi dasar pengembangan
inovasi dan kreasi yang diperlukan dilapangan kerja masing-
masing.

Ke enam: ta’biah ‘mobilisasi’ potensi sebagai kekuatan


alternatif. Pada langkah terakhir ini, bagaimana setiap potensi
individu atau komunitas aktifis da’wah dapat diproyeksikan
menjadi kekuatan yang memegang political will atau decition
maker di sebuah institusi dan dunia profesinalnya. Untuk
selanjutnya dapat dikembangkan menjadi kekuatan intelektual
profesional dalam mengambil alih setiap peluang yang kondusif
dengan da’wah. Disini sudah dapat dilihat kekuatan da’wah yang
mampuh mewujudkan visi integralitasnya dengan melibatkan
seluruh lapisan pelaku dan objek da’wah.

Da’wah profesi pada akhirnya bisa dirumuskan menjadi


alternatif da’wah yang harus segera diantisipasi dalam memasuki
108
era globalisasi informasi yang menuntut profesionalisme dan
efisiensi. Dengan tetap komitmen pada visi dan misi
integralitasnya, da’wah tetap mendukung setiap orientasi
individu dan komunitas yang menekuni profesinya ke arah
terbentuknya kekuatan profesionalisme yang memilki
kompetensi untuk siap bargaining position di dunia manapun
dalam bingkai kepentingan da’wah.

Dengan pemerataan bidang dan wilayah kerja seperti ini, da’wah


terbukti semakin akomodatif dalam menampung seluruh
potensi dan aspirasi, dan mampuh menempatkannya sesuai
dengan profesi masing-masing. Pemerataan persepsi seperti ini
dapat menjadi penghargaan tersendiri bagi para aktifis da’wah,
baik yang berkafaah dengan latar belakang ilmu-ilmu syar’i atau
non syar’i, sehingga diharapkan menjadi kekuatan motivasi
untuk mengembangkan diri masing-masing demi karirnya dalam
da’wah di jalan Allah.

Kesimpulan dan Urgensi Pengembangan Diri Aktifis


Da’wah:

Akhirnya sampailah kepada kesimpulan, bahwa :

Pertama: Da’wah profesi diharapkan dapat menjadi alternatif


untuk mengantisipasi stagnasi da’wah yang diakibatkan salah
persepsi terhadap ke dua belah pihak, baik da’wah atau profesi,
yang terkesan kurang menguntungkan. Akibat kesalahan ini
muncul opini saling mepersalahkan, da’wah menjenuhkan dan
tidak akomodatif terhadap tuntutan profesionalitas, di pihak
lain da’wah melihat profesi sebagai batu sandungan mobilitas
da’wah, karena Sumber Daya Manusia da’wah terkuras dan
banyak mengendap di dunia profesi masing-masing.

Ke dua : Da’wah profesi dapat dijadikan sebagai alternatif


sistem dan mekanisme pengembangan diri para pelaku dan
109
objek da’wah. Mulai dari pemahaman ulang dan penyamaan
persepsi seputar da’wah dan profesi, melalui konsep dasar
masing-masing agar dipahami esensi orisinalitasnya. Dari
pemahaman konsep dasar dan keaslian kerangka pemikiran ini
di harapkan tumbuh dan berkembang kesadaran untuk
melakukan kritik konstruktif, ilmiah, inovatif, kreatif dan
profesional menuju integralitas da’wah yang akomodatif
terhadap dinamika kehidupan manusia dan tuntutannya.

Ke tiga : Da’wah profesi pada akhirnya dapat diharapkan


menjadi mekanisme untuk memetakan kekuatan alternatif
da’wah melalui profesi masing-masing. Dengan sistem kerja
yang solid demi terbentuknya kompetensi individu dan
komunitas da’wah yang tetap sholih ‘laik’ dalam ruang dan
waktu kerjanya, seluruhnya diharapkan siap menutup kebutuhan
da’wah di berbagai sektor, dan selanjutnya cukup berkompeten
untuk mengendalikan political will ummat ini.

Untuk mewujudkan paradigma ini seluruh pelaku dan objek


da’wah dituntut mengembangkan diri dengan kaidah dasar
“Fastabiqul khairat” (maka bersainglah ke arah kebaikan).
Khairat ‘kebaikan-kebaikan’ ini dapat diimplementasikan dalam
bentuk keunggulan dan kompetensi yang sesuai dengan
dinamika tuntutan bidang dan zamannya. Secara garis besar
khairat ini dapat dilihat dari spesifikasi berikut:

1. Kompetensi dan keunggulan ilmiah intelektual , meliputi


konsep dasar ilmu-ilmu syar’iah, sosial dan alam berikut
perangkat dasar methodologi analisisnya. Sebagai dasar
penguasaan persepsi bidang masing-masing, baik da’wah
maupun profesi, demi terpeliharanya visi dan misi da’wah sesuai
dengan bingkai ashalahnya.

2. Kempetensi dan keunggulan mental dan spiritual, yang


meliputi ketajaman kesadaran diri, ketulusan hati nurani dan
110
kekuatan prinsip yang sangat diperlukan oleh para pelaku dan
objek da’wah dalam memetakan dan menggulirkan setiap
tuntutan perubahan yang diperlukan dalam setiap sistem dan
profesi yang digelutinya. Sehingga diharapkan menjadi manusia
yang memiliki kekuatan pengaruh dalam membentuk
lingkungannya.

3. Kompetensi dan keunggulan moral, yang meliputi sifat


dasar kejujuran demi terbentuknya seluruh nilai baik prilaku
setiap pelaku dan objek da’wah. Untuk selanjutnya dapat
diimplementasikan dalam visualisasi kepribadian dan etos kerja
masing-masing secara disiplin dan profesional. Seluruh
performen ini pada puncaknya diharapkan mencerminkan
pesan Islam dan da’wahnya yang cinta segala estetikanya.

111
MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN
MOTIVASI

Motivasi adalah bahan baku dan substansi yang diperlukan


manusia dalam menempuh perjalanan hidupnya. Ia adalah
kristalisasi formula-formula visi, misi dan orientasi yang terpadu dan
terintegrasi secara sempurna. Untuk selanjutnya motivasi akan
menjadi muatan inti dari niat seseorang dalam melakukan dan
memformat bentuk, jenis dan dimensi kerjanya. Rasulullah,
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda: “Sesungguhnya amal
perbuatan itu (tergantung) kepada niat”. Hadits yang akrab dengan
kita ini nampak sederhana. Padahal esensi dan muatannya
begitu kuat untuk menggariskan sebuah prinsip dalam
membangun dan memperhatikan arti suatu motivasi.

Seorang muslim, dengan dan dalam keislamannya, seharusnya


menemukan dan memiliki motivasi yang begitu kuat, tahan lama
dan teruji dalam setiap kondisi. Jika ia memahami substansi ini
maka ia tidak akan kehilangan atau kehabisan energi yang
diperlukannya dalam menata kehidupan individual maupun
sosialnya. Ia akan selalu berada pada stamina yang prima dan
mampuh mengatasi setiap gejala kelesuan dan stagnasi yang
mungkin timbul di tengah perjalanan. Di antara esensi
pembangunan motivasi terletak pada upaya seseorang membangun dan
memiliki self confidence ‘kepercayaan diri’. Dasar ini sangat
erat kaitannya dengan ‘kesadaran diri’ yang dibingkai dalam
pemahaman yang sempurna terhadap potensi yang dimiliki.

Dari sekian banyak potensi diri yang dimiliki seseorang, adalah


potensi akal dan nalar, hati nurani dan intuisi, prilaku dan
moral. Tetapi semua unsur ini tergantung pada muatan file dan
dokumen yang selama ini diserapnya dari sejumlah informasi
sepanjang hidupnya. Baik informasi aktif, yang memberikan
rumusan dan kesimpulan seperti guru, orang tua atau teman,
atau informasi pasif, yang harus dicerna dan dirumuskan sendiri
112
dengan bantuan informasi aktif. Oleh karena itu nilai sebuah
informasi dan ilmu pengetahuan begitu kuat mempengaruhi
pemikiran, perasaan dan prilaku seseorang dalam proses
pembentukan kepribadiannya. (Lihat skema I).

Demikian pula dengan informasi seputar keislamannya. Jika


Islam yang dipahami selama ini benar (lihat skema II a), maka
seorang muslim akan memiliki kepribadiannya yang Islami,
tetapi jika informasi yang diterima selama ini dengan
pemahaman salah (lihat skema IIb), maka kesalahan itu akan
tercermin dan terefleksi dalam kepribadiannya pula.
Perhatikan skema I berikut:

Informasi
(Input) Al-Insan
(Manusia)

Akal Hati Jasad

Berpikir Merasa Berbuat


Berkhayal Meyakini

Pemikiran Perasaan Perbuatan


Khayalan Keyakinan Perilaku

Kepribadian
(Output)

113
Al Islam Pemahaman Salah

Pemahaman Benar
Islam adalah:
 Tradisi
 Parsial
Islam adalah:
 Tidak menyeluruh
 Konstitusi Allah
 Statis
 Petunjuk Allah
 Pasif
 Konsep hidup
 Menyeluruh Kepribadian kurang Islami
 Integral atau tidak Islami:
Kepribadian  Jiwa dan perilaku kontradiksi
Islami:  Kadang sesuai kadang tidak

Skema berikut menggambarkan sumber informasi dan Ilmu


pengetahuan dari Allah, dibandingkan dengan informasi dari
manusia.

 Pencipta Manusia, Alam dan Kehidupan


 Tidak terbatas dan Pencipta ruang dan waktu
 Maha Tahu akan ciptaan-Nya
ALLAH  Ilmu-Nya pasti tepat
 Aturan-Nya pasti akurat
 Maha Obyektif

Al Islam Manusia

Syari'ah Allah Fitrah Allah

114
Manusia

 Tidak banyak mengetahui dirinya


 Diliputi keterbatasan ruang dan waktu
 Lemah adalah sifat dasarnya
 Keilmuan dan kebenarannya nisbi
 Praduga adalah dasar pengetahuannya
 Masih mencari kebenaran, belum tuntas.
Ajaran, Pandangan manusia dan cara hidup

Lingkaram Kepribadian

III. Akhlaq dan perilaku

II. Pemikiran Kepribadian

I. Iman

115
Islam dengan seluruh dimensinya memiliki muatan informasi
yang cukup memadai lebih jauh dari sekedar kepuasan, bahkan
merupakan potensi terbesarnya. Hanya karena pemahaman
yang terlalu sederhana pula yang telah menempatkan Islam
sebagai agama dalam dimensi yang pasif dan reaktif, tidak
mengesankan sistem dan konsep aktif dan proaktif. Sebagai
contoh, dependensi ‘ketergantungan’ dalam dunia manajemen yang
sering menjadi masalah dasar munculnya sikap reaktif,
kemudian dirubah menjadi interdependensi ‘kesalingtergantungan’
adalah salah satu prinsip dasar ilmiah yang kondusif dengan
misi Islam. Tetapi Islam tetap mengakui keberadaan sikap
dependensi ini untuk diorientasikan secara khusus kepada Allah
semata. Sedangkan interdependensi dikembangkannya dalam
menjalin hubungan antar manusia. Apabila sikap dependensi ini
terjadi kepada seorang manusia, terutama jika sampai ke tingkat
pengakuan dan ketundukan hati nurani, maka sikap
perhambaan atau perbudakan yang menjadi akar kemunculan
rasa rendah diri dan tidak percaya diri, akan sulit dihindari.

Dengan demikian seorang muslim dan da’i seharusnya


memahami Islam dengan tekun dan mengembangkannya
sebagai potensi dasar dalam membangun motivasi hidupnya.
Keuntungan lain dari sikap ini adalah apapun kepentingan
dirinya yang positif dan benar-benar merupakan tuntutan
fitrahnya selalu mendapat penghargaan dari Islam dan
dijadikannya sebagai bagian dari ‘ibadah. Mengingat misi Islam
itu sendiri dalam perundangannya adalah untuk mewujudkan
segala kemashlahatan bagi manusia. Bahkan sulit menemukan
konsep dan ajaran hidup yang sangat akomodatif terhadap
aspirasi manusia yang positif selain Islam. Di dalam Islam
seluruh esensi kebaikan terlindungi dan teroptimalkan secara
sempurna.

Untuk mengarahkan Islam sebagai motivasi dasar seseorang,


dapat dimulai dengan membenahi persepsi dan ‘cara pandang’nya
116
terhadap Islam menjadi visi dan misinya dalam kehidupan. Dengan
cara pandang ini ia akan menemukan keagungan dan keluhuran
motivasi yang demikian kokoh, kuat dan cukup memuaskan. Di
antara pokok-pokok pikiran visi dan misi Islam dalam
memotivasi diri seseorang adalah dengan cara menayangkan
“kesadaran diri” di setiap ruang dan waktunya bahwa ia
adalah:

Pertama: Seorang muslim. Menyadari dirinya sebagai muslim,


tentu ia dituntut merefleksikan pesan Islam. Dilihat dari
kedudukannya, “Islam itu luhur (tinggi, mengatasi) dan tidak diluhuri
(tidak ada yang melebihi ketinggiannya)” (al-Hadits). Visi ini
mengilhami seorang muslim agar mempunyai misi yang
memotivasi untuk menempatkan dirinya pada cita-cita dan
kedudukan tertinggi dalam segala jenis profesi yang ditekuninya.
Selama profesinya sejalan dengan pesan Islam yaitu
membangun kemaslahatan dan kebaikan di segala bidang.
Dengan dasar motivasi ini ia ditantang untuk menjadi yang
terbaik. Karena Islam sebagai konsep dan jalan hidupnya berada
pada posisi terluhur dalam segala aspeknya. Sementara manusia
itu sendiri luhur dan tidaknya tergantung kepada apa yang
menjadi tempat berpijak dan sandarannya. Baik sisi ilmu
pengetahuan sebagai sandaran intelektualitasnya, kepercayaan
dan keyakinan sebagai pijakan spiritualitasnya maupun prilaku
sebagai dasar moralitasnya. Islam, sebagai petunjuk hidup yang
disajikan Pencipta manusia dan kehidupan ini, memahami betul
apa yang diinginkan manusia mulai dari hal mendasar sampai
kepada pernik-pernik kehidupannya. Dengan motivasi
keislamannya ini, seorang muslim akan dan harus mampuh
mengatasi, mendominasi, mengatur dan memimpin manusia
lain. Posisi dibawahi, didominasi dan ditata nampak kontradiksi
dengan keinginan Islam, kecuali antar sesama muslim yang
berlaku paradigma “ruhama’u bainahum” saling kasih sayang
sesama mereka.

117
Ke dua : Seorang mu’min. “Janganlah kamu sekalian merasa hina
(rendah diri), dan janganlah kamu bersedih, padahal kamu adalah orang-
orang tertinggi jika kamu beriman” (QS. 3 Ali ‘Imran, 139).
Kitabullah dan pedoman setiap muslim senantiasa
menempatkan seorang muslim, mu’min atau hamba Allah, pada
posisi dan strata sosial tertinggi. Akar motivasi ini menyadarkan
tanggung jawab seorang mu’min, di samping sebagai
penghargaan, agar merefleksikan dan mengoptimalkan
kemampuan dan keimanannya untuk mencapai puncak
keluhuran. Dengan demikian seorang mu’min tidak akan
merasa cukup dan puas dengan hanya mendapatkan gajih
terbesar sebelum ia menjadi ‘khalifah’ sekalipun hanya di dunia
profesionalnya.

Keimanan seperti inilah yang pernah dipahami generasi-generasi


terbaik ummat ini. Mereka begitu hidup dan dinamis sesuai
dengan garis kebenaran pemahaman, pemikiran dan sikap
keimanannya. Keimanan inilah yang telah membuka cakrawala
berfikir proaktif dan antisipatif untuk menatap masa depan
dengan optimisme yang luar biasa. Bukti historisnya adalah
selama berabad-abad dan secara bergantian dari suatu bangsa ke
bangsa lain, Arab, Afrika, Cina, India, Eropa (yang diwakili,
Turki bagian Eropa, Sepanyol dan Andalusia) sampai Melayu,
pernah merasakan kebesaran visi, misi dan motivasi Islam dan
Iman ini. Dan diawal karir sejarahnya keimanan seperti ini telah
mampuh menjadikan bangsa Arab percaya diri sehingga berhasil
mendominasi dan menggeser kebesaran dua imperium Romawi
dan Persia. Di mana sebelumnya sulit dibayangkan akan terjadi
perubahan sejarah secara radikal di dataran bangsa yang dikenal
jahiliyah itu.

Ke tiga : Seorang hamba Allah yang shalih. “Dan sungguh


telah Kami tetapkan dalam az-Zabur (Kitabullah untuk Nabi Daud)
sesudah at-Taurat, bahwa bumi diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang
shalih”. (QS. 21 al-Anbiya’ 105). Sepanjang sejarah manusia
118
Allah menjanjikan bumi-Nya untuk diwariskan kepada hamba-
hamba-Nya yang sholih. Sholih secara bahasa berasal dari akar
kata shalaha yang berarti baik, laik dan damai. Pemahaman
sholih di sini memiliki dua dimensi kesholihan, pertama sholih
menurut Allah, dengan tingkat pemahaman dan komitmen
kepada Din-nya secara benar, integral dan optimal, untuk
selanjutnya direfleksikan dalam dimensi ke dua yaitu sholih di mata
manusia, dengan nilai kompetensi, kredibilatas dan
keunggulannya yang diakui manusia sehingga ia laik mewarisi
bumi ini atau sebahagian dari padanya dan dipercaya untuk
memimpin mereka.

Janji ini cukup sebagai dasar motivasi agar seorang hamba Allah
selalu meningkatkan jati diri, kompetensi dan kredibilitasnya
dengan memperkaya diri melalui sejumlah nilai dan materi
kebaikan. Mulai dari kebaikan ‘ilmiah intelektualitas, kebaikan
spiritual mentalitas, kebaikan prilaku moralitas sampai kebaikan skill
dan kemampuan. Sehingga dengan bobot dan nilai seluruh
kebaikan ini ia memiliki keunggulan dan kompetensi yang
diandalkan untuk menempatkan diri dan siap memasuki
persaingan seketat apapun dalam memperjuangkan warisan
bumi ini.

Ke empat : Seorang individu dan elemen terkecil Ummat


‘bangsa’ terbaik yang menjadi muara orbit setiap bangsa.
“Kamu sekalian adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan untuk
(menyelamatkan dan menata kehidupan) manusia”. (QS, 3 Ali ‘Imran
110).”Dan demikianlan Kami telah menjadikan kamu sebagai ummat
wasatho (adil, berada ditengah dan moderat dengan seluruh makna
obyektifnya)”. (QS. 2 al-Baqarah, 143). Predikat ini laik
disandang ummat Islam karena karakter dan misi sucinya
menyelamatkan manusia dan seluruh variabel kehidupannya
dengan “memerintahkan kebaikan” yang jelas bermanpaat,
“mencegah kemungkaran” karena berdampak negatif dan
merugikan sehingga diingkari setiap hati nurani, dan “beriman
119
kepada Allah” dengan seluruh konsekwensi dan janji-janji yang
ditawarkan-Nya.

Misi ini cukup memberikan sentuhan akan tanggung jawab


seorang muslim untuk menunjukkan dan menempatkan diri
sebagai duta dan elemen bangsa dengan performen dan kinerja
ummat terbaik. ‘Izzah dan harga diri ini harus selalu diingat dan
melekat sebagai pakaian kebesarannya, karena dengan demikian
ia termotivasi untuk tampil percaya diri dan yakin bahwa ia bisa
memerankan hidupnya sebagai manusia dengan visi dan misi
terbaik yaitu sebagai “rahmatan lil’alamin” rahmat untuk semesta
alam. Bukan untuk sekedar popularitas diri, kepentingan
pribadi, suku atau rasnya. Karena terminologi “Ummat” tidak
didefinisikan dengan letak geografis, demografis atau ras suatu
bangsa, melainkan dengan sistem, cara pandang dan gaya hidup
Islam yang siapa pun dapat menjadi bagian dan memiliki
kehormatan ummat ini.

Ke lima: Seorang khalifah. “Dan Allah telah berjanji kepada


orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal
sholeh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka khalifah di
bumi.” (QS. 24, an-Nuur, 55). Janji ini sunggguh merupakan
motivasi tertinggi di panggung perjalan karir kepemimpinan
manusia. Dengan kejelasan dasar dan alasan pengangkatannya,
yaitu keimanan dan amal sholeh, setiap orang berpeluang
mendapatkan janji Allah yang tidak pernah mengenal kata
pelanggaran. Iman dan amal sholeh adalah mitra kehidupan
yang tidak boleh terpisah dari diri seorang muslim. Dengan cara
pandang, bahwa Iman merupakan landasan idealnya sedangkan
amal sholeh sebagai landasan operasionalnya. Integritas Iman
dan amal sholeh ini dapat melahirkan sinergi motivasi
tertinggi.

“Iman bukanlah dengan angan-angan dan hiasan, tetapi yang tertanam


dalam hati nurani dan dibenarkan dengan kerja”. (Al-Hadits).
120
Persespi dan pemahaman seperti inilah yang perlu
direkonstruksi dalam diri setiap muslim. Iman dengan refleksi
kerja sebagai alat ukur kadar keberadaannya. Disini dapat
ditangkap dimensi baru dari esensi dan makna iman yang sering
disederhanakan dalam kalimat kepercayaan. Yaitu Iman sebagai
visi, misi dan orientasi, dengan sudut pandang lain sebagai cara
pandang dan paradigma kehidupan. Dengan dimensi
persepsional seperti ini kita dapat memahami benang merah
ungkapan Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa sallam, di atas
“Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu (tergantung dan
terformat) dengan niat”.

Kerja
I Visi
M Kerja
A Misi Motivasi Niat
Kerja
N Orientasis
Kerja
i
Niat adalah bagian dari kerja hati nurani. Lebih jauh lagi,
sebagaimana dikemukakan di atas, niat adalah formulasi dari
motivasi sebagai refleksi dari visi, misi dan orientasi seseorang.
Dengan struktur seperti ini niat bukan sekedar keinginan atau
rencana, tetapi merupakan blue print dari rencana kerja
seseorang yang matang dan telah memasuki batas pertama
ruang kerja. Karena secara pilosofi bahasanya niat berma’na
kesengajaan, dari nawaa yang artinya bersengaja. Di sini
tertangkap salah satu hikmah dari sikap Al-Imam Syafi’i dan
para pengikutnya mensyaratkan niat harus bersamaan dengan
rukun pertama atau batas awal suatu pekerjaan.

Ke enam : Seorang makhluk yang dimuliakan . “Dan


sesungguhnya Kami telah memuliakan bani Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik,
121
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.” (QS. 17 al-Israa’ 70).
Adalah motivasi lain yang tidak kalah menyentuh kesadaran
manusia, khususnya seorang muslim. Ia dituntut menjaga dan
memelihara kemuliaan dirinya. Baik dari pikiran, perasaan atau
ulah dan prilaku sendiri atau karena rekayasa orang lain. Dengan
demikian ia juga memiliki misi untuk menjaga, menyelamatkan
dan mempertahankan posisi kemuliaan manusia lain, baik
sesama muslim maupun sesama manusia non muslim, termasuk
lima variabel kehidupannya yang esensial yaitu agama (ad-Din), jiwa
raga (an-Nafs), akal (al-’Aql), kehormatan (al-’Irdl) atau keturunan
(an-Nasl), dan kekayaan hartanya (al-Mal).

Enam kesadaran diri ini adalah dasar prinsip hidupnya yang


akan menjadi sinergi kekuatan motivasi yang tertinggi, dan
prinsip yang cukup kuat untuk menepis setiap gejala stagnasi
dan pesimisme. Untuk selanjutnya ia siap menekuni setiap potensinya
dalam profesi yang digeluti, sampai ke puncak prestasi yang tidak bisa
dihentikan kecuali oleh pertemuannya dengan Allah. Di sanalah puncak
keberhasilan dan kepuasan hidup yang sesungguhnya bagi seorang
manusia. Bukan pada nobel, secarik sertifikat penghargaan atau hak
cipta yang menghasilkan setumpuk uang, sekalipun semua itu tidak perlu
ditolak kehadirannya dalam diri seorang muslim profesional. Semua itu
akan menjadi kontribusi berharga bagi proses rekonstruksi
peradaban Islam yang dicita-citakannya.

122
MENGEMBANGKAN TIGA KECERDASAN (IIIQ)
”Menuju Kecerdasan Terintegrasi”

Mukmin itu cerdas dan pandai


(al-Hadits)

• Spiritualisasi kecerdasan Anda dengan melibatkan hati


nurani dalam setiap aktivitas
• Intelektualisasi kecerdasan Anda dengan mengintegrasikan
otak kanan dan otak kiri
• Emosionalisasi kecerdasan Anda dengan menghargai emosi
dan hati nurani
• Moralisasi kecerdasan Anda dengan menciptakan estetika
yang sarat etika
• Rekonstruksi kecerdasan Adversity (Ketahanmalngan) Anda
dengan menyemangati jiwa yang handal

Hadits di atas menginspirasikan kedudukan seorang mu’min


dalam perspektif Islam. Lebih lanjut, Rasulullah, shallallaahu
alaihi wa sallam, mengembangkan pemahaman seorang yang
cerdas, yaitu “siapa saja yang mampu mengendalikan dirinya dan
berbuat untuk kehidupan pasca kematian.” Betapa jauh visi masa
depan seorang mu’min. Sehingga dibutuhkan berbagai
perangkat kecerdasan tinggi dan terpadu yang mampu
mengatasi berbagai permasalahan, baik intelektual, emosional
maupun moral-spiritual.

Keterpaduan (Integration), saat ini merupakan jawaban yang


dicari di tengah permasalahan dikotomi. Kesenjangan akibat
pengkotakan dan parsialitas pemahaman dan perilaku telah
menjadikan manusia merasa paling berjasa seraya mengabaikan
penghargaan terhadap jasa orang lain. Puncaknya adalah
terbentuknya kepribadian yang pecah (split personality) yang
mewariskan karakter ambivalen (mendua) dalam banyak

123
penampilan manusia. Globalisasi pada akhirnya menjadi sebuah
alternatif mengembalikan manusia dan dunia kepada kesatuan
dan keutuhannya. Tidak terkecuali dalam dunia kecerdasan. IQ
(Intelligence Quotient) yang selama ini mendominasi alat ukur
kecerdasan manusia mulai menunjukkan kelemahannya dalam
memprediksi dan menghargai kemampuan otak manusia.
Sebagai antisipasi dan solusi terhadap kelemahan IQ ini tercatat
sedikitnya ada tiga momentum besar ”revolusi” kecerdasan.
Jencks, (1972, dalam Gardner, 2003) mengkritik keterbatasan alat ukur
kecerdasan yang sempat mendominasi dunia termasuk Indonesia sampai saat
ini. IQ, menurutnya, memperkirakan kinerja sekolah dengan ketepatan yang
cukup tinggi, tetapi tes itu merupakan alat yang tidak berarti untuk
memperkirakan kinerja dalam suatu profesi setelah bersekolah formal.
Bahkan ketika tes IQ hanya mengukur kemampuan logika atau logika-
matematik, dalam masyarakat ini kita dapat dikatakan telah “cuci otak”
untuk membatasi pengertian kecerdasan pada kemampuan yang dipakai
dalam menyelesaikan masalah logika dan linguistik.

Gardner (2003) selanjutnya memperkenalkan sudut pandang


alternatif, dengan melakukan “percobaan berfikir” berikut ini.
Ia mengajak kita menghentikan penilaian biasa mengenai apa
yang menyusun kecerdasan dan membiarkan pikiran Anda
berkelana bebas mencermati kemampuan manusia – mungkin
akan dipilih oleh pengunjung dari Mars. Dalam latihan ini, Anda
tertarik pada permainan catur yang luar biasa, pemain biola
kelas dunia, atlet yang menjadi juara; orang-orang dengan
prestasi luar biasa memerlukan perhatian khusus. Dengan
percobaan ini, pandangan yang cukup berbeda mengenai
kecerdasan muncul. Apakah pemain catur, pemain biola, dan
atlet, “cerdas” dalam kegiatan-kegiatan ini? Bila mereka
memang cerdas, lalu mengapa tes kecerdasan kita gagal
mengenai mereka? Bila mereka tidak cerdas apa yang membuat
mereka mencapai prestasi yang demikian tinggi? Secara umum,
mengapa kecerdasan menurut paham kontemporer gagal
menjelaskan sebagian besar usaha manusia?

124
Gardner kemudian menggagas dan merumuskan teori
kecerdasan majemuk (multiple intelligences atau MI). seperti yang
dicerminkan dalam namanya, ia yakin bahwa kompetensi
kognitif (belajar, memahami) manusia lebih baik diuraikan
dalam arti kumpulan kemampuan, bakat, atau ketrampilan
mental, yang ia sebut kecerdasan.

Golmen (1997) menemukan sejumlah fakta dan bukti betapa


banyak para sarjana lulusan berbagai perguruan tinggi ternama
di dunia dengan IPK (Indeks Prestasi Komulatif) tertinggi dan
sangat memuaskan tidak mampu berbicara banyak di panggung
kehidupan yang lebih nyata dan sangat memerlukan
kemampuan lain khususnya dalam berinteraksi dan
berhubungan dengan manusia. Selanjutnya ia menggagas teori
kecerdasan baru yang dikenal dengan Emotional Intelligence
berikut alat ukurnya Emotional Quotient (EQ). Yaitu kemampuan
untuk mengendalikan dorongan hati sebagai basis kemauan
(will) dan watak (character). Dengan cara yang sama, akar cinta
sesama terletak pada empati, yaitu kemampuan membaca emosi
orang lain; tanpa adanya kepekaan terhadap kebutuhan atau
penderitaan orang lain, tidak akan timbul rasa kasih sayang.
Apabila ada dua sikap moral yang dibutuhkan oleh zaman
sekarang, sikap yang paling tepat adalah kendali diri dan kasih
sayang.

Zohar dan Marshall (2000) melanjutkan kritik terhadap para


perumus teori kecerdasan sebelumnya yang cenderung
mengabaikan aspek spiritual. Menurutnya, EQ memberi kita
rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi
kesedihan atau kegembiraan secara cepat. Untuk mengatasi
kekurangan ini, ia merumuskan teori Spiritual Intelligence dengan
alat ukur Spiritual Quotient (SQ) yang ia maksudkan sebagai
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku
dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
125
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ
adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan
EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi
kita. Bahkan, semua jenis kecerdasan yang disebut Gardner
pada hakikatnya adalah varian dari ketiga kecerdasan utama IQ,
EQ dan SQ serta pengaturan syaraf ketiganya.

Jika memperhatikan seluruh kecerdasan yang dirumuskan di


atas, maka tidak perlu terjadi perdebatan dan klaim mana yang
terbaik dan menentukan. Masing-masing memiliki
keunggulannya sesuai prioritas dan kebutuhan manusia dalam
lingkungannya. Untuk mempertajam analisa ini ada baiknya kita
membandingkan ketiga teori kecerdasan Gardner (Multiple
Intelligence), Golmen (Emotional Intelligence), Zohar-Marshall
(Spiritual Intelligence).

PERBANDINGAN TIGA JENIS KECERDASAN

No. Multiple Emotional Spiritual


Intelligence Intelligence Intelligence
1. Linguistic: self-awareness, Awareness of
Sensitivity to “otherness”
sounds, structure, (Flatland, A
meanings and Testament of
functions of words Devotion)
and language
(writer, orator)
2. Logical- personal Wonder, awe, a
Mathematical: decision sense of the
Sensitivity to, and making, numinous
capacity to discern (astronomy,
logical or numerical microbiology,
patterns; ability to cosmology)
handle long chains

126
of reasoning
(scientist,
mathematician)
3. Spatial: Capacity to managing Wisdom
perceive the visual- feelings, (proverbs, sages)
spatial world
accurately and to
perform
transformations on
one’s initial
perceptions (artist,
architect)
4. Bodily- handling Perspective,
Kinesthetic: Ability stress, awareness,
to control one’s ability to listen:
body movements “Be still and know
and to handle that I am God.”
objects skillfully (prophets)
(athlete, dancer,
sculptor, surgeon)
5. Musical: Ability to empathy, Comfort with
produce and chaos,
appreciate rhythm, dichotomy,
pitch, and timbre; paradox (counter
appreciation of the to conventional
forms of musical wisdom)
expressiveness
(composer,
performer)
6. Interpersonal: communicatio Commitment,
Capacity to discern ns, dedication, faith.
and respond
appropriately to the
moods,
temperaments,
motivations, and
desires of other
people (counselor,
political leader)
127
7. Intrapersonal: self-disclosure,
Access to one’s own
feeling life and the
ability to discriminate
among one’s
emotions; knowledge
of one’s own
strengths and
weaknesses
(psychotherapist,
religious leader)
8. Naturalistic: insight,
Ability to perceive
the environment
and ecosystems;
knowledge of
relationships in
nature (naturalist,
environmentalist)
9. self-
acceptance,
10. personal
responsibility,
11. assertiveness,
12. group
dynamics,
13. conflict
resolution

Illini Christian Faculty and Staff February 18, 1999

Konsep Dasar Tiga Kecerdasan (IIIQ) dalam Paradigma


Islam

Dengan memperhatikan berbagai definisi dan terminologi


kecerdasan menurut para psikolog di atas, maka dapat
disimpulkan dan dirumuskan bahwa esensi kecerdasan terletak pada
128
kemampuan. Semakin banyak, dalam dan luas kemampuan seseorang
maka ia semakin cerdas.

Kecerdasan tidak hanya ditentukan faktor genetika (nature)


seperti bawaan, bakat dan talenta, tetapi juga sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan (nurture) yang mampu mengoptimalkan
kemampuan manusia dalam berbagai aspek (ranah) yang
dianugerahkan Pencipta-nya. Pendidikan adalah salah satu
faktor lingkungan yang sangat efektif dan bertangjawab
terhadap pengembangan dan peningkatan kecerdasan ini.
Demikian halnya dengan peran agama dan juga filsafat.

Sebagai upaya mengoptimalkan potensi kecerdasan manusia


khususnya seorang mu’min, para ulama sering merumuskan
konsep-konsep pengenalan (ma’rifah). Di antara aspek-aspek
ma’rifah yang cukup mendasar dalam proses pembentukan
kecerdasan intelektual seorang mu’min mencakup enam
pengenalan, yaitu:
• Mengenal Allah (Sebagai sumber informasi, inspirasi,
orientasi, visi, misi, dan motivasi)
• Mengenal Ar-Rasul (Sebagai model dan contoh
implementasi dan aksi)
• Mengenal Al-Islam (Sebagai kerangka operasional)
• Mengenal Al-Qur’an (Sebagai sumber petunjuk, peta
kehidupan dan landasan ideal)
• Mengenal A-Sunnah (sebagai landasan operasional)
• Mengenal Manusia (Sebagai Pelaksana, ‘Ibadullah
dan khalifah di bumi)

“Tak kenal maka tak sayang” adalah ungkapan yang dapat mewakili
pentingnya gagasan ke enam ma’rifah (pengenalan) ini. Tanpanya kita akan
mengalami tingkat kesulitan dalam memahami standar kebenaran dan
petunjuk berbagai permasalahan hidup. Karena keenam pengenalan ini
adalah sumber berbagai kecerdasan (Multiple Intelligence) yang sangat
mempengaruhi setiap diri seorang muslim.

129
Mengenal Allah (Ma’rifatullah) adalah sumber dari segala
sumber kehidupan. Ideologi, keyakinan dan nilai sebagai
sumber pemikiran dan visi, hukum dan etika sebagai sumber
nilai dan misi peradaban dan kepribadian, serta sejarah, kisah
dan nasehat sebagai informasi dan inspirasi pengembangan diri,
seluruhnya tergantung pada tingkat pengenalan pertama ini.
Sebagai Maha Pelaku ( Faáal-The Subject), Allah adalah Pencipta
dan Penganugerah manusia dan kehidupan. Dan sebagai
Pencipta, Dia Maha mengetahui dan menguasai betul seluruh
aspek dan unsur ciptaan-Nya. Sehingga ilmu-Nya pasti dan
informasi-Nya valid dan akurat.. Dengan ma’rifah ini seorang
muslim memiliki sumber kecerdasan pertama yang sangat
dibutuhkannya. Dengan pengenalan pertama ini maka cara ia
membaca, berfikir, berperasaan dan berperilakunya menjadi
cerdas (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

Mengenal ar-Rasul (Ma’rifatur Rasul) merupakan jawaban


terhadap tuntutan fithrah manusia yang satu ini. Ya’ni manusia
sebagai makhluk peniru dan penjiplak. Contoh dan teladan
selalu menyertai setiap pertumbuhan dan perkembangan
dirinya. Tidak seorang pun manusia yang terbebas dari
kebutuhan ini. Keberadaan seorang Rasul teladan terbaik,
menjadi sangat penting dalam membentuk karakter seseorang.
Allah sebagai pencipta manusia dan fithrah ini dengan Maha
Bijaksana tidak membiarkan manusia kebingungan mencari
teladan. Dengan demikian maka mengenal ar-Rasul sebagai
contoh memiliki kontribusi menentukan dalam mewujudkan
dan meyempurnakan kecerdasan.

Mengenal al-Islam, merupakan penguasaan terhadap bentuk,


sistem dan konsep hidup yang ideal. Seluruh aspek kehidupan
tercermin secara integral dan terpadu di dalamnya. Mulai dari
aqidah sebagai fondasi sampai syariáh dan akhlaq sebagai
tatanan, badan bangunan, atap pelindung dan ornamen estetik
bangunan kehidupan. Pengenalan struktur bangunan Islam
130
menjadi sangat signifikan dalam membangun struktur
kecerdasan terhadap berbagai permasalahan hidup. Dengan
frame kecerdasan ini seorang mu’min dapat menyikapi setiap
permasalahan hidup dengan keputusan prioritas yang cerdas
dan tidak tumpang tindih (Lihat Fiqh Prioritas). Pengenalan
Islam secara terstruktur juga akan membentuk mind dan cognitive
setting seorang mu’min dengan struktur kecerdasan yang pada
akhirnya akan menyumbangkan kreatifitas dan inovasi yang
tinggi dan produktif dalam pengembangan dirinya.

Mengenal al-Qurán adalah potensi berikutnya yang diperlukan


seorang mu’min. Sebagai kitab Allah-Maha Pencipta, al-Qurán
berisikan muatan yang universal dan isi yang selalu aktual. Dan
sebagai petunjuk dan peta kehidupan (Hudan), al-Qurán sangat
signifikan dalam pengembangan kecerdasan seseorang. Di
dalamnya terdapat pedoman dan metodologi, dari mulai cara
berfikir, berperasaan dan berkeyakinan sampai kepada
berperilaku yang produktif. Dengan mengenali dan menguasai
al-Qurán dan berbagai aspeknya, seorang mu’min dibimbing
untuk mengoptimalkan seluruh potensi diri dan berbagai
dimensi kehidupannya (muslim kaaffah).

Salah satu nama al-Qur’an adalah pembeda (al-Furqan). Melalui


interaksi dengan al-Qur’an seorang mu’min memiliki salah satu
kemampuan yang menjadi ciri utama kecerdasan seseorang yaitu
kemampuan membedakan. Terutama kemampuan
membedakan hal-hal abstrak, semakin abstrak maka semakin
sulit untuk membedakannya. Kemampuan mengatasi tingkat
kesulitan ini juga semakin menaikkan tingkat kecerdasan
seseorang.

Mengenal as-Sunnah merupakan catatan penting yang bersifat


operasional dan refleksi dari berbagai gagasan, pemikiran dan
hukum yang digali dari al-Qu’ran. Wahyu kedua ini berperan
sebagai petunjuk teknis di samping yang taktis dalam
131
pelaksanaan wahyu pertama (al-Qurán). As-Sunnah didasarkan
pada pengalaman empirik dari seorang manusia (utusan Allah)
yang berhasil menciptakan dan mengembangkan sebuah
masyarakat yang ideal, masyarakat madani. Tiga kecerdasan
(Intelektual, Emosional, dan Spiritual-Moral terpadu dengan
indah dalam wujud sebuah peradaban yang mengagumkan.
Namun yang perlu diingat, kepribadian dan peradaban ini masih
dalam kerangka dasar kemanusiaan, alias manusiawi. Seperti
tercermin pada kemampuan mengatasi, mengelola dan memanaj
sifat marah, kondisi miskin dan tanah gersang bukan menjadi
hal negatif dan selalu mendatangkan penderitaan. Sebaliknya
semua itu dirubah dalam istilah kecerdasan lain (Adversity
Quotient - Cerdas dalam Ketahanmalangan) menjadi peluang
dalam pengembangan diri yang berkepribadian lebih kokoh dan
konsisten. Sehingga masyarakat itu mampu melahirkan
manusia-manusia berkepribadian sebagai climbers (para pendaki
gunung) yang tidak kenal lelah dalam mengejar prestasi. Dengan
mengacu kepada kedua sumber ini, maka secara epistemologis
dan metodologis, Islam ingin membangun kecerdasan dengan
pendekatan terpadu antara deduktif dan induktif secara
harmonis.

Mengenal Manusia adalah aspek lain yang juga sangat berarti


dalam mengembangkan apek kecerdasan dirinya. Tanpa
mengenali dirinya, seorang manusia akan kesulitan memahami
dan berinteraksi dengan seluruh kebutuhannya. Baik sebagai
makhluq individu maupun sebagai makhluq sosial dengan segala
konsekuensi logisnya. Karena dalam diri manusia terdapat
banyak ayat dan tanda keagungan Allah – Pencipta mereka,
yang menstimuli otak dan hati untuk selalu berfikir. Sebagai
pelaku (subyek) dan juga sebagai yang diperlakukan (obyek)
manusia harus memerankan tugas dan kedudukan ganda secara
simultan. Dalam perspektif Islam kemampuannya sebagai
hamba Allah dengan tugas íbadah adalah proses pengembangan
kecerdasannya dalam kesiapan mengemban kedudukannya
132
sebagi khalifah. Pengalaman, dalam dunia ilmu pengetahuan,
menjadi sangat berharga dalam pembentukan diri seseorang.
Dengan pengalaman yang baik dan berharga seseorang akan
memiliki kemampuan yang cerdas dalam mengemban tugas
pada suatu kedudukan.

Enam pengenalan inilah dasar-dasar konsep diri (self concept)


dan harga diri (self esteem) seorang mu’min. Inilah potensi-
potensi terbesar yang sangat berma’na bahkan menentukan
dalam melakukan proses pengembangan kepribadian
khsususnya dalam aspek kecerdasan intelektual. Kelemaham di
tingkat ini mengakibatkan paradigma, mind setting dan bingkai
pemikiran dalam mencerdaskan aspek lain baik emosional
maupun spiritual-moral menjadi terhambat.

133
REKONSTUKSI PEMIKIRAN ISLAM DALAM
PARADIGMA USHUL FIQH
(Pengantar Studi Paradigmatik Epistemologi dan Metodologi
Pemikiran Islam)

Ushul Fiqh sebagai Warisan Intelektual Ulama Islam

Keengganan memahami sejarah tentang perhatian para ‘ulama


terhadap ‘Ilmu Pengetahuan telah mengakibatkan kedangkalan
Pemikiran Islam di kalangan Ummatnya. Bahkan lebih
memperihatinkan lagi muncul fenomena ketidakpercayaan
terhadap warisan intelektual Ummat Islam sebagai alternatif
pengayaan dan rekonstruksi Pemikiran ummat kontemporer
dalam usahanya mengatasi distorsi Peradaban manusia dari visi
dan misi kehidupan sesungguhnya. Sampai muncul persepsi,
seraya menunjuk sistem Pendidikan Timur Tengah, bahwa
‘Ilmu-ilmu keislaman miskin methodologi dan kultur
Pendidikan Islam kurang memahami dasar-dasar berpikir
analisis, bernalar pasif dan hanya mengandalkan hapalan.

Dominasi opini dan persepsi seperti ini telah menggiring


generasi intelektual Ummat Islam untuk mengagumi
Intelektualitas Peradaban Barat. Kekaguman ini telah membawa
mereka kepada sikap apriori dan minder terhadap warisan
Intelektualitas Islam dan sistem pendidikannya sendiri. Kondisi
seperti ini didukung rekayasa eksternal, kebudayaan Barat
khususnya, yang selalu mengunggulkan sistem Pendidikannya
sebagai “the Best” terutama pada tataran Epistemologi dan
Methodologi. Akibat fenomena ini adalah terjadinya pergeseran
Pedoman Hidup Ummat Islam, al-Qur’an dan Sunnah yang
sarat paradigma epistemologi dan methodologi yang konsisten
sebagai refleksi konsistensi ideologinya, tergeser oleh filsafat
Barat yang masih harus mengatasi inkonsestensi komitmen

134
intelektualnya secara paradigmatik sebagai refleksi inkonsistensi
ideologinya.

Kelengahan intelektual ini selanjutnya membawa dampak


perubahan radikal dalam tataran Pemikiran ummat Islam,
sampai kepada paradigma spiritualitas dan moralitasnya.
Mempelajari ilmu apapun yang bermuatan manpaat buat
kehidupan sebenarnya bukan barang haram dalam pandangan
Islam. Kekeliruan itu terletak pada sikap kekaguman yang
berlebihan terhadap Khazanah Intelektualitas Peradaban non
Islam, seraya mengucilkan Khazanah Intelektualitas Peradaban
Islam sampai mencampakkannya di tong sampah sejarah
pemikiran kuno dan terbelakang. Sementara itu bagi kalangan
yang ingin membela Islam baik ‘ulama, da’i maupun ilmuwan
muslim, dengan resiko tuduhan sikap apologi dari pihak
mereka, dihadapkan pada kesulitan menggali ulang timbunan
Intelektualitas Islam yang sudah terkubur perasaan minder,
apriori dan kebodohan ummatnya.

Kondisi ini diperburuk oleh fenomena dilematis antara


kebutuhan rekonstruksi paradigma Idealisme Pemikiran Islam
dan tuntutan empirisme pragmatis dari Nilai-nilai normatik
Islam pada tataran realisme Intelektual. Kontroversi kebutuhan
dan tuntutan ini pada perkembangan terakhir telah
memunculkan debat terbuka seputar keputusan penekanan
prioritas yang harus diambil dalam membenahi Pemikiran dan
peran empirik ummat ini. Berbagai lompatan pemikiran dan
strategi program kerja di tingkat individu dan organisasi Islam
tidak jarang ditemukan, sampai lupa akan susunan rekonstruksi
pembangunan ummat dan terkesan sproradis.

Dari studi analisis terhadap sejarah perkembangan Intelektual


ummat Islam ini dapat ditampilkan sistematika pembangunan
Pemikiran Islam sampai terbentuknya Peradaban Islam secara
empirik. Salah satu frame yang diperlukan adalah waktu sebagai
135
bagian dari proses terapi. Sejarah sangat erat kaitannya dengan
perhitungan waktu. Menuai buah sebelum waktunya akan
berhadapan dengan resiko yang cukup fatal. Sumpah Allah
tentang waktu “Wal ‘ashri (demi masa)” cukup menyentuh setiap
orang yang ingin membangun sebuah karya yang agung dan
besar. Seperti membangun kembali (rekonstruksi) Pemikiran
Islam mulai dari paradigma, epistemologi dan methodologi
sampai realisasi empiriknya dalam bentuk Peradaban Islam
secara integral dan komprehensif..

Kepentingan mempelajari Warisan Intelektual ‘Ulama:

Mempelajari Warisan intelektual ‘Ulama terdahulu terutama


generasi pertama, kedua dan ketiga memiliki sejumlah
kepentingan dan urgensi, antara lain:

A. Memperkaya khazanah pemahaman dan pengetahuan


tentang hal-hal berikut:
 Mengetahui dan memahami usaha dan perhatian ‘ulama
dalam menyusun konsep dasar dan pengembangan
Intelektual Islam.
 Memahami keunikan dan keunggulan Metodologi
Berpikir di kalangan ‘Ulama.
 Memahami sikap ‘Ulama dalam proses penumbuhan
dan pengembangan Intelektual antara inovasi dan
adopsi Pemikiran.
 Memahami cara dan sikap ‘ulama dalam mengatasi
konflik dan dialektika Pemikiran.
 Membangun kembali sistematika dan rekonstruksi
Pemikiran Islam dalam perspektif ‘Ulama.

B. Memahami esensi sejarah perkembangan intelektual


Ummat Islam, terutama yang berkaitan dengan hal-
hal berikut:
136
 Memahami kronologi lahirnya Pemikiran Islam sebagai
dasar pembangunan sektor Intektualitas.
 Memahami fluktuasi pertumbuhan dan perkembangan
faktor-faktor esensial penyebab kebangkitan
Intelektualitas Islam.
 Memahami fluktuasi pertumbuhan dan perkembangan
faktor-faktor esensial penyebab kejatuhan Intelektualitas
Islam.
 Meyakini secara argumentatif bahwa metodologi
pemikiran ‘Ulama Islam telah mencapai puncak
keilmiahannya yang sangat konsisten dengan pola dan
rumusan berpikirnya baik secara deduktif maupun
induktif.

C. Memahami peran da’wah dalam proses Pembentukan


dan Perkembangan Intelektualitas, diantanya
mengenai:
 Peran dan kedudukan da’wah dalam proses kelahiran
Intelektualitas Islam.
 Intelektualitas sebagai Karakteristik Da’wah Integral.
 Da’wah dan ekspansi Pemikiran Intelektual di kalangan
Ummat Islam dan bangsa-bangsa di dunia.
 Da’wah Intelektual sebagai alternatif pengembangan
Pemikiran Ummat.

D. Mengetahui pengaruh Khazanah Intelektualitas Islam


terhadap Intelektualitas Barat; terutama mengenai isu-
isu terpenting sebagai berikut:
 Kontroversi sejarah antara Intelektualitas Islam dan
Intelektualitas Barat.
 Intelektualitas Islam, jasa, kontribusi dan pengaruhnya
terhadap perkembangan Intelektualitas Barat.

137
 Studi komparatif karakteristik Intelektualitas Islam dan
Intelektualitas Barat secara Epistemologis dan
Metodologis.

Urgensi dan Kepentingan Mempelajari Ushul Fiqh sebagai


Epistemologi dan Methodologi Berpikir Analisis Kritis:

Langkah pembahasan selanjutnya, akan dimulai dengan


mengenalkan dan mengingatkan beberapa istilah yang
digunakan dalam tulisan ini yaitu:
 Pengertian Epistemologi dan Metodologi
 Definisi Ushul Fiqh, Pokok bahasan dan rerlevansinya dengan Fiqh
dan qawa’id Fiqhiyyah
 Sejarah dan Metode penulisanUshul Fiqh.
 Sumber-sumber Pengetahuan Ushul Fiqh
 Ciri khas, karakteristik dan Konsep dasar Ushul Fiqh
 Urgensi dan relevansi mempelajari Ushul Fiqh dalam tataran
Pemikirian Islam.

Pengertian Epistemologi dan Methodologi:

Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti


pengetahuan dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi
Epitemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan
(theory of knowledge).

Persoalan pokok epistemologi membahas :


1. Apakah sumber pengetahuan itu
2. Dari manakah pengetahuan yang benar itu diperoleh dan
bagaimana mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan kita valid atau benar? dan
4. Bagaimana kita membedakan yang benar dengan yang
salah?

138
Jadi dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah: teori pengetahuan
yang membahas empat masalah pokok: sumber pengetahuan, batas-batas
pengetahuan, struktur pengetahuan dan keabsahan (validitas)
pengetahuan.

Methodologi adalah salah satu cabang epistemologi. Berasal


dari kata Yunani Methodos dan Logos. Methodos berasal dari kata
meta yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, dan hodos
artinya: jalan, perjalanan, cara-cara. Kata Methodos kemudian berarti
penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam arti
luas metode ialah “cara-cara bertindak menurut sistem aturan
tertentui”. Metodologi menunjukkan pada proses, prinsip, prosedur yang
kita lakukan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban atas
masalah tersebut.

Metode Ilmiah didefinisikan sebagai prosedur dan langkah-


langkah yang dengan itu kita memperoleh pengetahuan (Harold Titus).
Jadi metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai
tindakan, pikiran, pola kerja, tata langkah dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan yang baru atau mengembangkan pengetahuan
yang ada.

Dengan demikian metodologi merupakan analisis, penyusunan


asas-asas dan jalan-jalan yang mengatur penelitian ilmiah pada
umumnya, serta bagaimana pelaksanannya dalam bidang-bidang
khusus. Dalam dunia ilmiah, kita mengenal aneka ragam
metode, sesuai dengan ciri-ciri masalahnya (subject matter). Kini
terlihat bahwa metode ilmiah dijalankan secara teratur,
sistematis sesuai dengan beberapa prinsip yang sudah diterima
dalam paradigma tertentu. Perbedaan ini didasarkan atas
pandangan, persoalan yang didekati serta jawaban yang
diinginkan atau dicari oleh ilmuwan yang berbeda-beda. Oleh
karena itu tidak heran jika dalam filsafat sekalipun masih ditemukan
perdebatan panjang dan tidak pernah selesai seputar meodologi ilmu
139
pengetahuan itu sendiri. Seperti antara aliran rasionalis dengan
aliran empiris atau aliran idealis dengan aliran realis.

Kontroversi Seputar Kebenaran Ilmiah dan Kriterianya:

Adapun probelmatika mengenai kebenaran, seperti halnya


problematika tentang pengetahuan. Ia merupakan masalah yang
memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi.

Secara global, para ahli filsafat epitemologis, membagi


kebenaran kepada tiga jenis:
1. Kebenaran epistemologikal, yaitu pengertian kebenaran dalam
hubungannya dengan pengetahuan manusia,
2. Kebenaran ontologikal, yaitu kebenaran sebagai sifat dasar
yang melekat kepada segala sesuatu yang ada atau yang
diadakan. Dengan kata lain kebenaran yang ada dalam objek
pengetahuan itu sendiri. Dan
3. Kebenaran semantik, yaitu kebenaran yang terdapat
serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa (kebenaran
moral). Dengan kata lain manusialah yang dapat secara
sadar mengemukakan kebenaran ataupun secara sadar tidak
mengemukakan kebenaran (kebohongan).

Teori pokok tentang kebenaran meliputi :

1. Teori Korespondensi : yaitu benar jika berkorespondensi atau


sepadan dengan kenyataan.
2. Teori Koherensi : yaitu kebenaran terletak pada sistem ide
yang koheren.
3. Teori Pragmatis : yaitu kebenaran adalah pemecahan yang
memuaskan situasi problematis.
4. Teori Semantik : yaitu pernyataan tetang kebenaran ada
dalam metabahasa.
5. Teori Performatif : yaitu kebenaran adalah persetujuan yang
diberikan terhadap pernyataan tertentu.
140
Kriteria kebenaran adalah tanda-tanda yang memungkinkan kita
mengetahui kebenaran. Selain koherensi dan kepraktisan
adakalanya konsensus (ijma’) dijadikan kriteria kebenaran.
Dengan demikian di kalangan filosof sekalipun terjadi perbedaan
mendasar dalam kriteria kebenaran ini. Dan muncullah sejumlah
kriterian kebenaran, seperti kebenaran itu relatif (Protagoras),
kebenaran berhubungan dengan dirinya sendiri, atau perbuatan
memulai, melanjutkan dan mengakhiri dalam ide-ide (Plato),
pernyataan benar atau tidak lewat fakta-fakta kasus empiris
(Aristoteles), kebenaran sama sekali tidak ada, manusia
sebaiknya hidup dalam penangguhan keputusan atau skeptis
(Carneades), kebenaran mempunyai dua aspek: pertama empiris
dan merupakan tampakan semata, ke dua absolut dan
mengatasi akal budi (Nagarjuna), dan masih banyak kriteria lain
yang didasarkan pada cara pandang masing-masing.

Definisi dan Pokok bahasan Ushul Fiqh serta relevansinya


dengan Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah:

Sekilas tentang definisi, pokok bahasan dan metode


penulisan Ushul Fiqh:

Ushul Fiqh berasal dari gabungan dua kata “Ushul” yang


berasal dari “ashl” berarti pokok atau dasar, yang menurut istilah
didefinisikan dengan: sesuatu perkara yang menjadi dasar atau
landasan dibangunnya perkara lain. Dan “Fiqh” yang berarti
pemahaman yang mendalam dan tajam. Menurut istilah, Fuqaha
mendefinisikan Fiqh dengan: Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang
bersifat taklifi dan ‘amali (instruktif dan praktis) dari dalil-dalilnya yang
terperinci.

Al-Imam Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan Ushul Fiqh


dengan : Ilmu tentang qaidah-qaidah yang menggambarkan manahij
(metode atau cara) untuk mengistinbath (mengeluarkan dan

141
merumuskan) hukum-hukum yang bersifat ‘amali (praktis) dari dalil-
dalinya yang terperinci. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pokok bahasan (maudlu’) Ushul Fiqh adalah untuk
menjelaskan cara beristinbath (atau methodologi menyimpulkan
atau merumuskan) suatu hukum.

Melihat topik bahasan ini Ushul Fiqh dapat dibedakan dengan


Fiqh. Di mana fiqh kembali kepada dalil-dalilnya secara juz’i
(parsial), sedangkan ushul Fiqh secara ijmali (global), dengan
memperhatiakn aspek-aspek Hujjiyyah (kehujjahan dalilnya;
baik al-Qur’an maupun as-Sunnah), qath’i dan dzanni, umum
dan khusus, muthlaq (lepas) dan muqayyad (terikat),
kontektualitas tujuannya (maqashid) dan sebagainya. Dengan
demikian kedudukan Ushul Fiqh dari Fiqh adalah seperti logika
dengan Filsafat, nahwu -sharaf dengan bahasa Arab, atau
grammar (tata bahasa) dengan bahasa terkait. Seluruh ilmu
pertama ini (Ushul Fiqh, logika dan tata bahasa) berfungsi
untuk menjaga dan meluruskan methode perumusan (dalam
Fiqh), berfikir (dalam filsafat) dan berbahasa secara tepat dan
benar serta terhindar dari sesat fikir atau lisan.

Sedangkan Qawa’id Fiqhiyyah didefinisikan dengan: konstelasi


(kumpulan) hukum-hukum serupa yang dihimpun oleh satu
analogi (qias) atau batasan (dlobith) fiqhi yang mengikatnya. Dari
ketiga disiplin ilmu ini dapat disusun sistematika krologis
sebagai berikut:

Pertama kali Ushul Fiqh telah digunakan sebagai undang-


undang rumusan (istinbath) sekalipun belum dibukukan, telah
menjadi metode berfikir para ‘ulama khususnya para shahabat
dalam memahami hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari
proses ijtihad ini lahirlah apa yang disebut selanjutnya dengan
Fiqh. Dari hukum-hukum Fiqhiyyah tersebut, para ‘ulama
(Fuqaha) melihat sisi-sisi yang serupa dan mirip dalam dasar
alasan dan tujuannya, untuk selanjutnya mereka mengikat
142
hukum-hukum yang mirip ini dengan suatu qias atau batasan
yang disebut dengan Qa’idah Fiqhiyyah.

Sejarah singkat perkembangan dan Metodologi penulisan


Ushul Fiqh:

Di masa Rasulullah, para shahabat sampai masa awal Al-Imam


Syafi’i, Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin Ilmu tersendiri
belumlah dikenal para ulama. Kendatipun sebagai suatu
komitmen pemahaman dalam terapan sudah dipergunakan sejak
masa-masa ini. Baru di masa Al-Imam Syafi’i-lah komitmen
intelektual dalam beristinbath hukum ini dibukukan oleh beliau
sendiri dalam bukunya “Ar-Risalah”. Sekaligus memuat disiplin
ilmu lain yang juga baru pertama ditulis yaitu “Ilmu Hadits”
atau mushthalah Hadits.

Sesudah masa ini baik para murid Al-Imam Syafi’i maupun


Imam-Imam lain (Hanafiyyah, Malikiyyah termasuk yang
datang belakangan yaitu Hanabilah) marak menulis kitab dalam
Ushul Fiqh ini. Masing-masing menulis dengan metodologi
penulisan yang berbeda-beda menurut perbedaan beberapa
sumber ushuliahnya. Tetapi perbedaan di tingkat Ushuliah ini
tidak terlalu mendasar. Bahkan perbedaan itu sering kali
diakibatkan perbedaan cara pandang dan kriteria Imam masing-
masing terhadap Sumber Ushul yang diajukan. Seperti Istihsan
yang diusulkan Imam Hanafi atau Mashalih Mursalah yang
diajukan Imam Maliki dan para pengikut masing-masing.
Keduanya ditolak dijadikan hujjah (argumen) dalam beristinbath
hukum oleh Imam Syafi’i karena dinilainya khawatir terlalu
didominasi oleh hawa nafsu. Sementara kedua Imam tersebut
tidak menilainya demikian karena masing-masing telah
membuat batasan-batasanya (dlawabith) yang cukup mampu
mengontrol mana istihsan atau mashalih yang dapat diterima
dan mana yang tidak dapat diakui.

143
Pada masa Imam Syafi’i sampai datangnya Al-Imam Ghozali,
penulisan Ushul Fiqh lebih menitik beratkan pada Fiqhun
Nashsh (pemahaman tekstual ) dari segi bahasanya (yaitu bahasa
Arab). Sementara Fiqhul Maqashid Asy-Syar’iyyah belum diperluas
dan diperdalam. Baru Al-Imam Ghozali yang dianggap
inspirator oleh Al-Imam Asy-Syathibi dalam mengembangkan
lebih banyak lagi sisi bahasan tersebut yang justeru sangat
penting untuk dipahami dalam mendudukkan suatu dalil secara
proporsional dan tepat dalam suatu hukum atau kasus tertentu.
Melihat kepentingan ini Al-Imam Syathibi memusatkan diri
dalam penulisan Ushul Fiqh pada sisi Fiqhul Maqashid ini
dengan karya monumentalnya berupa empat jilid kitab bernama
“Al-Muwafaqat”. Buku ini masih bertahan sebagai buku
terlengkap dalam sisi ini, dan belum satupun menyamainya baik
sebelum maupun sesudahnya. Buku-buku Ushul Fiqh
sesudahnya yang mengupas sisi ini tidak mungkin lepas dari
ketergantungan terhadap kitab menumental tersebut.

Metode penulisan Ushul Fiqh:

Secara garis besar, berdasarkan sejarah perkembangannya,


Ushul Fiqh ditulis sebagai disiplin Ilmu Islam dengan
menggunakan pendekatan dua Metode:

Pertama: Methode Syafi’iiyyah atau Mutakallimun (Para ahli Ilmu


Kalam atau sering disebut dengan kaum dialektika). Atau
pendekatan metode deduktif.

Metode ini berorientasi secara teoritis. Karena para penelitinya


bertujuan untuk merealisasikan dan menyeleksi kaidah-kaidah
tanpa memperdulikan madzhab tertentu. Mereka ingin
memproduk kaidah-kaidah terkuat baik membawa kepada
kepentingan madzhabnya atau tidak. Sehingga di antara mereka
ada yang berselisih pendapat dengan Asy-Syafi’i sendiri dalam
Ushulnya, sekalipun ia pengikut furu’nya. Contoh Asy-Syafi’i
144
tidak mengambil Ijma’ Sukuti (konsesnsus diam), sedangkan Al-
Amidi, yang bermadzhab syafi’i, menguatkannya sebagai hujjah
sebagaimana dikemukakan dalam kitabnya “Al-Ihkam fii
Ushuulil Ahkam”.

Sisi positif methode ini adalah konsistensi dan objektifitasnya


dalam menghakimi masalah furu’ (cabang) suatu permasalahan.
Sehingga mereka lebih mampu dan objektif dalam
menghindarkan diri dari ta’ashshub madzhabi (fanatisme
madzhab). Namun metode ini tidak lepas dari kritik karena ada
sisi yang kurang baik. Yaitu keasikannya dalam sisi teoritis
terkadang menjebak mereka sibuk dengan masalah-masalah
yang kurang aplikatif. Metode ini dinamai dengan metode
Mutakallimin (kaum dialektika) karena cara berfikir dan
analisanya mirip atau menempuh cara Mutakallimun dalam
permasalahan aqidah. Sehingga warna-warna filsafat dan
logikanya cukup kentara.

Melihat sistematika analisa pemikirannya metode ini lebih dekat


dengan metode deduktif. Dimana analisa dan penelitiannya
dimulai dengan suatu rumusan baku, untuk kemudian
diterapkan pada cabang-cabang terkait untuk menghukumi
setiap permasalahan yang muncul sesuai dengan kaidah yang
berlaku dalam rumusan tersebut.

Ke dua : Metode Hanafiyyah, atau pendekatan Metode Induktif.

Metode ini berorientasi dan cenderung banyak dipengaruhi oleh


furu’. Para peneliti metode ini berorientasi kepada Qaidah-
qaidah Ushul untuk menganalogikan cabang-cabang madzhab
mereka dan menetapkan kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah
tersebut. Dengan demikian kaidah ini cenderung lebih subjektif
karena dianggap sering melegitimasi atau menjastifikasi furu’
yang telah dilahirkan Imam mereka menurut kaidah-kaidah

145
tersebut. Dan ini suatu kelemahan tersendiri disamping sisi
positifnya yang terkesan lebih aplikatif.

Metode ini dinamai metode Hanafiyyah karena yang pertama


kali merintis metode ini adalah Ahnaf (para pengikut Abu
Hanifah) yang lahir sesudah masa Imam mereka dan sesudah
Imam Syafi’i. Metode ini mirip dengan metode induktif dari sisi
analisa lapangan yang dilanjutkan dengan rumusan akhir yang
sesuai dengan data di lapangan tersebut.

Sumber-sumber Pengetahuan (Epistemologi) Ushul Fiqh:

Ilmu Ushul Fiqh memiliki asal usul dan epistemologi


keilmiahan yang menyatukan antara Sumber-sumber baku dan
permanen dengan sumber-sumber yang dinamis dan fleksibel. Dengan
perpaduan ini maka dalam produk hukum Islam dikenal istilah
“Tsawabit dan Mutaghayyirat” yang berarti mengandung “hal-hal
yang permanen dan konstan tidak mengalami perubahan” dan
“hal-hal yang dinamis, berkembang dan fleksibel dipengaruhi
tata ruang dan waktu serta latar belakang kemampuan nalar
manusia”.

Sumber-sumber Ushul Fiqh yang baku dan permanen:


1. Al-qur’an al-Karim.
2. Sunnah Nabawiyyah.
3. Ijma’.

Sedangkan sumber-sumber Ushul Fiqh yang dinamis dan


fleksibel antara lain :
1. Fatwa Shahabat
2. Qiyas (Analogi).
3. Istihsan
4. Istishlah (Mashalih Mursalah).
5. ‘Urf (tradisi)
6. Dzari’ah (Fathu atau Saddu Dzari’ah).
146
Ciri khas, karakteristik dan Konsep dasar Ushul Fiqh:

Sebagaimana diketengahkan diatas, dengan kedua bentuk


sumber-sumber yang menjadi muara asal pengambilan
rumusannya, Ushul fiqh merupakan metodologi berfikir ummat
Islam dengan ciri khas dan karakteristik sebagai berikut:
1. Rabbaniah
2. Syumuliah (Integral dan Universal)
3. Tawazun (balance)
4. Wasathiah (Moderat)
5. Waqi’iyyah (Realistik)
6. Jami’ baina tsabat dan murunah (memadukan antara
konstanitas dan fleksibelitas).

Dengan keenam karakteristik ini Ushul Fiqh dapat


memerankan fungsinya sebagai metode berfikir yang
komprehensif, integratif dan sistematik. Karena setiap
karakteristik membimbing para pelaku pikir untuk melihat
setiap masalah yang dihadapi secara objektif. Objektifitas ini
sangat mungkin diperoleh dengan daya dukung keenam
kerangka karakteristik tersebut. Sistematika perolehan
objektifitas melalui keenam karateristik ini dapat digambarkan
sebagai berikut:

Rabbaniyyah artinya asal-usul pemikiran ‘Ilmu Ushul Fiqh


bersumber dari wahyu Allah, Rabb Pencipta, baik al-Qur’an maupun
Sunnah Rasul-Nya. Karakteristik pertama ini membentuk pra
konsepsi atau pra ilmiah yang dilakukan seorang pemikir dan
peneliti muslim. Setiap pemikir harus memiliki kondisi pra
ilmiah jika penelitian dan pemikiran yang dilakukannya ingin
diakui sebagai cara berpikir ilmiah. Termasuk dalam proses
berpikir empirik yang dilakukan secara induktif dan sering
dianggap sebagai cara berpikir objektif. (Lihat Pengantar Filsafat
Ilmu). Karena memang sulit bagi siapa pun untuk melepas diri
147
dari pengaruh teori atau pemikiran orang yang pernah berjasa
mengajarinya.

Dengan demikian robbaniah melarbelakangi seorang pemikir


muslim untuk memiliki kondisi pra ilmiah. Seperti “positif
thinking”. Berpikir positif yang dilakukannya cukup beralasan.
Dengan menerima sumber rumusan dan penalaran wahyu dari
Maha Pencipta (alqur’an dan Sunnah Rasul-Nya), sebagai Yang
Paling Mengetahui seluruh dimensi kehidupan ciptaan-Nya;
manusia, alam dan kehidupan, maka pra konsepsi yang
dimilikinya jauh lebih konsisten dan terjamin jika dibandingkan
dengan teori-teori manusia yang harus digunakan sebagai pra
konsepsinya.

Bahkan lebih jauh lagi rabbaniah dapat menjadi kendali pikir (


Thinking control ) bagi aktifitas berpikir sehingga dapat
menghindari proses dan hasil fikir yang merugikan dirinya dan
juga orang lain. Disini tidak ada istilah “Ilmu untuk Ilmu”
dalam kamus pemikiran Islam. (Lihat al-Muwafaqat). Dari asas
berpikir inilah lahir batasan-batasan (Dlawabith) dan etika
berpikir dalam Islam.

Karakteristik pertama ini selanjutnya membentuk karakteristik-


karakteristik lain. Batasan-batasan berpikir (Dlawabith
Tafkiriyyah) dengan sendirinya muncul dan terbentuk manakala
seluruh karakteristik tersebut terpenuhi pada diri seorang
pemikir. Seperti kemampuan berpikir integral dan universal adalah
dasar untuk berpikir secara seimbang, moderat dan realistik.
Dengan sistematika ini maka seorang pemikir Islam diharapkan
mampu memadukan secara proporsional dan objektif antara
tuntutan kebakuan (konstanitas) dengan tuntutan keluwesan
(fleksibelitas) yang cenderung dinamis dan berkembang dalam
proses pemikirannya.

148
Dengan demikian kombinasi keenam karakteristik ini telah
mampuh mengintegrasikan dua pola berpikir Deduktif dan
Induktif. Karakteristik Rabbaniyyah membimbing dan
membingkai seorang pemikir muslim untuk memiliki pra
konsepsi yang lebih konsisten dalam teori maupun rumusan-
rumusannya. Pendekatan berfikir ini juga dapat dikenal dengan
istilah Fiqhud-Diin (pemahaman agama dari sumber wahyu
secara langsung atau tidak langsung). Sedangkan karateristik
lain: universal, moderat, seimbang dan realistik adalah pola yang
memformat cara berpikir induktif yang akan memahami
tuntutan lapangan yang dihadapi seorang pemikir. Dan
pendekatan pemahaman ini dikenal dengan istilah Fiqhut
Tadayyun (pemahaman cara beragama dengan memperhatikan
proses aplikasi rumusan wahyu dalam kehidupan yang real).

Urgensi dan relevansi mempelajari Ushul Fiqh dalam


rekonstruksi Pemikirian Islam:

Dengan memperhatikan sekilas definisi, sejarah perkembangan


dan penulisan, sumber-sumber dan karakteristik Ushul Fiqh
seperti diketengahkan di atas, mempelajari Ushul Fiqh memiliki
sejumlah kepentingan dan relevansi yang sangat kuat dengan
usaha rekonstruksi Pemikiran Islam. Antara lain:
1. Ushul Fiqh merupakan karya besar dan bukti prestasi
Intelektual Ulama Islam sejak zaman sebelum
dibukukannya, yaitu Zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabat-nya radliallahu ‘anhum, sehingga
menjadi disiplin Ilmu tersendiri dengan muatan substansial
pemikiran yang konsisten (Intelectual Consistency).

2. Ushul Fiqh adalah hasil ijtihad Ulama Islam yang cukup


monumental. Di mana ijtihad merupakan bagian terpenting
dalam Ilmu ini, dengan paradigma yang sangat konsisten
untuk mengontrol sistem dan mekanisme berfikir, sehingga
proses dan hasil pemikirannya dapat
149
dipertanggungjawabkan secara ilmiah khususnya dalam
bidang hukum.

3. Ushul Fiqh mampu memadukan dua kutub pemikiran:


deduktif dan induktif yang sering dikontroversikan sejumlah
pemikir dan ilmuwan. Demikian pula dengan kontroversi
antara kelompok rasionalis dengan tradisionalis, kelompok
normatif dengan kelompok empiris, dan kelompok idealis
dengan realis.

4. Ushul Fiqh memiliki epistemologi dan metodologi berfikir


dengan asal usul dan sumber pemikiran yang tidak pernah
kering menyumbangkan inspirasi untuk berkreasi dan
berinovasi bagi para pembaca dan perenungnya. Yaitu Al-
Qur’an dan As-Sunnah dengan karakteristik utamanya yang
integral (mencakup berbagai aspek kehidupan) dan universal
(berlaku untuk setiap manusia di setiap ruang dan waktu).

5. Sekalipun Ushul Fiqh seringkali difungsikan untuk


beristinbath hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi
methodologi yang dimilikinya juga dapat difungsikan untuk
mengistinbath pemikiran, keilmuan, kritik historis dan
petunjuk-petunjuk lain dari kedua sumber tersebut.
Mengingat berfikir tekstual dan kontektual atau deduktif
dan induktif yang sangat diperlukan untuk menganalisa
disiplin ilmu dan pengalaman lain telah mampu
diintegrasikan Ushul Fiqh secara baik. Sehingga tidak
berlebihan jika Dr. Jabil al-’Alwani, pakar Ushul Fiqh dari
IIIT, menyebutnya denga Islamic Philoshophy (Filsafat
Islam).

6. Dengan demikian Ummat Islam khususnya generasi pewaris


Intelektual Ummat ini sangat berkepentingan dengan Ilmu
Ushu Fiqh. Karena disiplin ilmu tersebut sangat relevan dan
diperlukan sekali untuk membangun kembali pemikirannya
150
dengan metodologi dan epistemologi yang unik dan sangat
berbeda dengan disiplin pemikiran dan ilmu lain.

Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu dan Methode berpikir


Analisis Kritis:

Ushul Fiqh dengan pedoman ijtihad di dalamnya merupakan


prinsip berfikir analisis dan kritis. Analisis, karena mampu
membangun kemampuan mengurai setiap permasalahan dengan
dua dimensi esensialnya, yaitu secara tekstual (Fiqhun Nashshs
dan Fiqhul Lughah) dan kontekstual (Fiqhul Maqashid) dengan
integritas yang seimbang dan proporsional antara ide dan realita.
Kritis, karena mampu mengkritisi setiap permasalahan dengan
melibatkan seluruh dimensi ilmu dan pengalaman yang terkait
dengan masalah tersebut, baik sisi kemanfataan maupun sisi
bahayanya. Seperti sering diperaktekkan para Mujtahid ketika
melakukan analogi atau berfatwa.

Methodologi ini dirumuskan dari sifat dasar kedua sumber


utamanya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah yang integral dan
universal sebagaimana tersebut di atas. Dari isi substansial atau
materi hukum dan petunjuknya, kedua sumber ini cukup
mampuh menampung setiap permasalahan manusia dan
kehidupannya baik secara ekplisit, muhkamat dan yang bersifat
qath’iy ( pasti, permanen dan konstan) maupun implisit,
mutasyabihat dan bersifat dzanni (mengandung beberapa
makna dan pemahaman).

Ushul Fiqh dengan dua sifat dasar dari kedua sumber utamanya
ini , qath’iy dan dzaniy, yang (dengan ke-dzanniah-annya) ia
dapat bergerak dinamis mengantisipasi setiap permasalahan
yang fleksibel dan (dengan ke-qath’iyyah-annya) tetap berada di
garis lurusnya yang konstan sehingga terhindar dari
penyimpangan baik dalam tataran intelektual, pengalaman
spiritual maupun prilaku moral. Dari sinilah kedua pendekatan
151
pemikiran baik deduktif (yang sering dituduh sebagai kebenaran
subyektif) maupun induktif (yang sering diklaim sebagai
kebenaran obyektif) dapat dikompromikan bahkan dapat
diintegrasikan menjadi sinergi pemikiran yang lincah dan
bermata sempurna.

Inilah sejumlah faktor yang dapat digali sebagai fakta dan data
bahwa Islam dengan metodologi Pemikirannya seperti ini selalu
mampuh menunjukkan dirinya sebagai sistem hidup yang selalu
relevan dengan perkembangan manusia. Jika seorang muslim,
baik kalangan ‘ulama atau kaum intelektual, memahami esensi
warisan intelektualitas ini, maka visi dan misinya terhadap
Pemikiran Islam akan menghasilkan produk-produk pemikiran
yang kaya dengan kreatifitas dan inovasi yang tiada henti dengan
nilai yang sangat tinggi di tengah melajunya pemikiran bangsa
lain.

Pengantar ini diharapkan dapat memberikan gambaran global


tentang kedudukan Ushul Fiqh sebagai bagian terpenting dari
akar dan metodologi Pemikiran Islam. Untuk selanjutnya dapat
dijadikan sebagai upaya merintis rekonstruksi, reformasi dan
reformulasi kerangka Pemikiran Islam yang diperlukan sebagai
perangkat kebangkitan kreatifitas dan inovasi para intelektual
dan ilmuwan muslim.

152
IMAN, PEMIKIRAN DAN AKHLAQ
Tiga Unsur Pembentuk Kepribadian dan
Peradaban

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar


dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman,
beramal sholeh, saling menasehati dengan kebenaran dan
saling menasehati dengan keshabaran.”
(QS. 103 al-’Ashr 1-3).

Sebuah surah pendek yang begitu akrab di telinga kita kaum


muslimin ini nampak sederhana. Tetapi tidak demikian bagi Al-
Imam Syafi’i, menurutnya ia adalah surah yang jika hanya surah
ini satu-satunya yang diturunkan Allah bagi manusia niscaya
cukup memadai sebagai hujjah (argumentasi) terhadap berbagai
aspek kehidupan mereka. Bagaimana perbedaan pandangan
yang demikian jauh ini bisa terjadi. Padahal beliau adalah salah
seorang tokoh yang memilliki pengikut cukup besar di negeri
ini. Bahkan kecerdasan, keilmuan, kepribadian dan
ketaqwaannya cukup diakui para ‘ulama terutama di masanya.
Sehingga sebahagian sejarawan Islam mengabadikannya di
deretan para pembaharu ummat ini.

Surah ini pulalah yang telah dijadikan landasan para shahabat,


generasi terbaik ummat ini, dalam melakukan perubahan
tatanan dunia hingga terbentuknya peradaban baru. Mereka
sering mengakhiri pertemuan-pertemuan dan majlis mereka
dengan membaca surah al-’ashr. Peradaban Islam yang benar-
benar mencerminkan sifat manusia yang unik. Berada di antara
kemuliaan para malaikat dan bersih dari prilaku hewani. Cukup
dipahami jika Al-Imam Sayid Quthb mengungkapkannya
sebagai surah yang meletakkan seluruh kerangka dasar “dustur”
(perundangan-undangan) Islami.

153
Surah ini memuat tiga kata singkat dan padat. Yaitu Iman,
‘amal sholeh dan tawashi ‘saling menasehati’dengan al-haq
‘kebenaran’ dan keshabaran. Tiga kata dasar pembentukan
keperibadian dalam kehidupan seorang manusia sebagai syarat
melepas kerugian yang seringkali membelenggu hidupnya.
Sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh Allah Pencipta
manusia, alam dan kehidupan, dalam ayat 2. Pernyataan yang
sulit diperdebatkan atau dipertanyakan obyektifitasnya.
Mengingat itu keluar dari Maha Pencipta yang secara aksiomatis
adalah Yang Maha Mengetahui segala permasalahan ciptaan-
Nya.
Yang ingin dianalisa ulang adalah bagaimana ke tiga kata
tersebut begitu esensial bagi pembentukan keperibadian dan
sekaligus peradaban umat Islam sepanjang sejarahnya.
Peradaban yang telah menyumbangkan seluruh karya dan
perestasinya bagi kehidupan dan rahmatan bagi semesta alam.
Tanpa meminta balas jasa atau pamrih terhadap dunia bagi
kesejahteraan umat ahli warisnya. Sikap yang tidak dimiliki
bangsa-bangsa dengan peradaban materialistik modernnya yang
demikian idealis namun egois dengan “hak cipta”nya.

Iman mewakili dimensi pertama dari Islam sebagai agama


aqidah dan syari’ah. Perpaduan antara keduanya adalah syarat
suatu kebenaran. Keikhlasan dan amal sholeh ‘baik, benar dan
laik’ menurut Allah harus tercermin dan terpadu dalam setiap
kepribadian muslim. Aqidah adalah unsur mendasar yang harus
dipahami dan dimiliki manusia. Ia merupakan pijakan dan frame
segala pemikiran, perasaan dan prilakunya dalam mengarahkan
kehidupan ke arah yang benar. Istilah yang menjadi standar
kebenaran berfikir, merasakan dan bertindak ini hendaknya
menjadi perhatian prioritas pemahaman dan keilmuan sebelum
segala sesuatunya. Tidak satupun Nabi dan Rasul diutus
melainkan untuk menjelaskan dan meluruskan dua asas ini.

154
Bias tentang standar kebenaran yang sering muncul adalah
akibat mengabaikan unsur ini. Padahal puncak pencarian
kebenaran akan berakhir pada siapa yang menghendaki sesuatu
kebenaran dan cara pencapaiannya. Siapa saja yang memahami
dan berbuat sesuai dengan kehendaknya maka akan dinilai
sebagai kebenaran. Keyakinanlah yang kemudian menggiring
dan mengharuskan seseorang mematuhi setiap kehendaknya.
Dengan demikian yang menjadi persoalan sekarang adalah siapa
yang harus kita yakini sebagai seseorang yang menghendaki
kebenaran. Dari sekian yang dianggap paling mengetahui
tentang kehendak suatu kebenaran adalah Pencipta kebenaran
itu sendiri. Dia-lah Yang Maha mengetahui kebenaran tujuan,
kewajiban dan hak manusia dalam kehidupan sesuai dengan
kehendak-Nya.

Puncak dan akhir pengabdian dan penyerahan diri yang harus


kita buktikan akan bermuara pada siapa Pencipta ini.
Selanjutnya bagaimana cara memahami dan menyikapi
kehendak tersebut dalam kehidupan nyata. Tentu saja hanya
petunjuk-Nya semata yang dijamin kebenarannya dalam
memaparkan kehendaknya. Dan untuk memahami sesuai
kehendaknya harus langsung dari-Nya. Jika tidak bisa maka
melalui nara sumber seperti ‘seorang rasul’ yang
direkomendasikan-Nya dan para pengikutnya yang setia dan
konsisten terhadap pemahaman dan sekaligus penerapannya.

Pengertian dan Peranan Aqidah:

Aqidah diambil dari akar kata ‘a-qa-da yang berarti mengikat,


bertransaksi dan menyambungkan tali. Filosofi arti kata ini
memberikan pengertian bahwa aqidah adalah sesuatu yang
memang mengikat si pemiliknya dalam setiap prilaku. Baik
prilaku berfikir, merasakan, berbicara maupun bertindak.
Ditinjau dari sisi ini maka tidak seorangpun yang bertindak
dalam konteks action (aksi) melainkan selalu terikat dengan
155
aqidah yang diyakininya. Nampaknya imposible seseorang bisa
netral dari keterikatan ini. Apakah keyakinan itu disadari sebagai
aqidah atau prinsip lainnya. Oleh karena itu tinggal bagaimana
seseorang mengarahkan keterikatan ini kepada keyakinan yang
benar.

Dilihat dari fakta ini aqidah berperan penting dalam


menyalurkan sifat dasar dan fitrah manusia berupa keterikatan,
ketergantungan dan keberpihakan. Sifat yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya dan begitu kuat pengaruhnya dalam
hidup. Sekali lagi yang terpenting bagaimana mengarahkan sifat
ini dengan benar. Inilah salah satu ciri khas dan karakteristik
Islam. Islam tidak pernah mengingkari fakta yang benar-benar
terjadi apalagi sebagai watak dasar manusia melainkan ia
menempatkan dan mengarahkannya sesuai dengan tuntutan
dalam mengikuti kehendak Yang Maha Benar.

Di antara peran penting lain aqidah adalah menyesuaikan


keyakinan dan perasaan seseorang dengan fakta kehidupan yang
sesungguhnya. Setelah ia mendapat informasi yang akurat
mengenai kepastian keberadaan fakta tersebut. Fakta-fakta yang
menjadi masalah terbesar dalam hidup manusia antara lain
adalah hal-hal yang terkait dengan ketuhanan dan masalah-
masalah ghaib, metafisik dan transendental lainnya seperti
mengenai ruh. Lagi-lagi manusia dengan kondisi keilmuan yang
dibatasi ruang dan waktu tidak mampuh menjangkau bidang ini.
Oleh karena itu ia membutuhkan informasi tentang hal itu dari
orang lain. Dan keyakinanlah yang paling dominan untuk
membenarkan fakta ini.

Membenarkan sebuah informasi berdasarkan keyakinan kepada


informan ‘pembawa berita’ bukan tidak argumentatif. Selama sang
pembawa info ini seorang yang jujur dan dikenal bukan seorang
pendusta. Apalagi jika ia seorang aktor atau pelaku dalam
peristiwa itu. Karena sementara akal dan nalarnya tidak sanggup
156
dipaksakan untuk mengamatinya mengingat keterbatasan ruang
dan waktu tadi. Coba dari sekian informasi yang kita terima
sehari-hari, baik yang ilmiah akademik atau berita biasa, berapa
prosenkah yang diterima berdasarkan pengamatan dan
penelitian nalar terhadap fakta dan peristiwanya, jika
dibandingkan dengan kepercayaan hati kepada si pembawa
beritanya? Di sini betapa besar peran keyakinan dalam
kehidupan manusia.

Rumusan Aqidah Islam:

Rukun-rukun Iman yang enam merupakan rumusan aqidah


Islam yang mampuh menjelaskan masalah-masalah terbesar
dalam kehidupan manusia. Keenam rukun ini saling terkait dan
membentuk mata rantai dan bingkai paradigma yang jelas untuk
menjawab tuntutan kebutuhan dasar manusia.

Iman kepada Allah, eksistensi, sifat-sifat dan nama-nama baik-


Nya adalah poros yang menjadi orbit kelima rukun iman
lainnya. Rukun pertama ini menjadi puncak seluruh kebenaran
pengabdian manusia. Karena kelima rukun lain bagian dari
kehendak-Nya dan sangat terkait dengan cara dan metodologi
memahami dan mengetahui kebenaran kehendak-Nya serta
cara menyikapinya.

Iman kepada malaikat sebagai makhluk yang selalu berada di sisi


Allah dan patuh tak pernah ma’siat kepada-Nya menempati
posisi ke dua. Lewat salah seorang merekalah ‘yaitu Jibril’ Allah
mewahyukan kehendak-Nya yang berisikan informasi yang sarat
dengan petunjuk yang diperlukan manusia dalam memahami
hakikat juklak kebenaran dalam kehidupan. Wahyu yang
dihimpun dalam kitab-kitab-Nya ini menempati posisi rukun
iman ke tiga.

157
Dalam memahami dan mengamalkan kehendak dan petunjuk
ini diperlukan penerjemah sekaligus sebagai contoh
penerapannya. Mengingat salah satu sifat dasar dan fitrah
manusia yang lain adalah meniru dan mencontoh seseorang.
Maka Allah mengutus para rasul-Nya sebagai uswah hasanah
yang mewariskan pemahaman dan penerapan yang benar
kepada para pengikut-nya yang setia. Betapa pentingnya
mengakui kehadiran contoh ini sehingga menempati rukun
iman ke empat yang statemennya disatukan dalam kalimah
syahadat yang ke dua..

Setiap manusia menghendaki hasil yang dipetik dari jerih payah


yang dilakukannya. Sekaligus membuktikan dan mengalami
kebenaran setiap petunjuk dari Yang Maha diyakininya dalam
kehidupan.Di samping urgensi lain yang muncul saat meyakini
akibat dan balasan yang diperolehnya berdampak besar dalam
mengawasi dan mengontrol kehidupannya. Maka urgensi
beriman kepada hari akhir untuk memasuki alam akhirat dan
pembalasan menempati rukun iman ke lima.

Namun semua itu akan bermuara pada ketetapan Allah, baik


maupun buruk, dalam qadla dan qadar-Nya. Sebagai Pencipta
alam, manuisa dan kehidupan Allah tidak pernah membuat
keputusan melainkan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya yang
pasti. Rahmat Allah amat meliputi segala sesuatu. Manusia tidak
perlu cemas terzalimi di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Seluruh rukun iman ini merupakan bingkai dan standar


kebenaran bagi manusia. Dengan keenam rukun ini manusia
mendapat kejelasan dalam memahami dan menerapkan apa arti
suatu kebenaran berdasarkan fakta-fakta argumentatif. Jika ini
dianggap sebagai doktrin maka tidaklah keliru seseorang untuk
menjadikannya sebagai prinsip. Karena tidak semua doktrin bisa
dinilai tidak ilmiah. Bahkan betapa banyak sisi kehidupan

158
manusia yang ditetapkan dengan doktrin yang sudah cukup
faktual dan aksiomatis kebenarannya.

Hubungan Informasi dan Kebenaran

Informasi
(Berita)
Benar Salah

Isi Pembawa
Informasi Informasi

Akal Hati
Nalar Yakin

Kebenaran

159
Iman Kepada Allah
(Sumber Informasi Keimanan dan Kebenaran)

Iman Kepada Malaikat


(Makhluk Gha'ib Terpercaya)

Iman Kepada Kitab-kitab


(Petunjuk Hidup)

Iman Kepada Para Rasul


(Manusia-manusia Terpercaya )

Iman Kepada Hari Akhir


(Hari Memetik Hasil Pasti dan Abadi)

Iman Kepada Qadla dan Qadar


(Keputusan dan Ketetapan)

Aqidah Islamiah, Kepribadian dan Peradaban Manusia:

Aqidah Islamiyyah adalah dasar dan pola pembentukan


kepribadian dan peradaban manusia. Ia bukan produk dan
rumusan nalar atau sosio-kultural manusia. Melainkan semua
muatan berita dan instruksinya berasal dari Pencipta manusia
yang disajikan dalam wahyu-Nya. Inilah yang membedakan
aqidah Islam dan aqidah-aqidah lainnya. Di mana aqidah lain
berpangkal dan bermuara pada hasil kebudayaan manusia dalam
satu kurun waktu sejarah.
160
Pengaruh dari perbedaan mendasar ini aqidah Islam adalah
bingkai pradigma pemikiran, perasaaan dan prilaku manusia.
Yang secara evolutif ‘lambat laun’ berproses menjadi visi dan
misi yang melahirkan kepribadian dan peradaban manusia. Ia
tidak dapat dipengaruhi dan bukan hasil kebudayaan tertentu
suatu bangsa. Hal yang mungkin sekali terjadi terhadap aqidah
lain. Mengingat aqidah lain tersebut memang dirumuskan
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman seseorang atau suatu
bangsa. Atau hasil adopsi, modifikasi dan rekayasa dari
keyakinan agama tertentu.

Semua rukun iman yang enam ini ditetapkan berdasarkan


ketentuan khobari ‘informatif’. Tidak satupun yang disimpulkan
berdasarkan pengamatan dan pengalaman seseorang. Keenam
rukun ini bersih dari unsur subyektifitas manusia. Baik
kepentingan maupun keterbatasan ruang dan waktu yang
diamati dan dialami manusia. Semua ketentuan itu datang dari
Yang Maha Berkehendak di alam, manusia dan kehidupan ini.
Dia adalah Allah sebagai Pencipta, Pengatur, Pemilik, Raja dan
tempat kembali untuk memperoleh balasan masing-masing atas
hasil keyakinan dan amal perbuatannya.

Paradigma ini dapat dipahami dengan ilustrasi realita struktur


kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di mana seluruh
aktifitas manusia harus seirama dan tunduk di bawah kehendak
yang dianggap memiliki political will atau kedaulatan dalam
negara. Apakah berupa sosok individu seorang kepala negara atau
suatu bangsa ‘rakyat’. Jika ini dapat diterima sebagai suatu
peraturan dan paradigma ilmiah, kenapa ada keberatan untuk
tunduk dan menerima kebenaran yang berasal dari Pencipta,
yang secara aksiomatis Maha mengetahui struktur dan tujuan
ciptaan-Nya, sekaligus sebagai Maalikal Mulki ‘Pemilik seluruh
kerajaan’ serta Pemegang hak prerogatif dalam mengatur alam
semesta, termasuk manusia dan kehidupannya.
161
Obyektifitas kehendak Allah juga dapat dirasakan dengan tidak
adanya kepentingan Allah sedikitpun dalam aturan-Nya bagi
manusia. Semua peraturan syari’ah yang ditetapkan-Nya semata-
mata demi mewujudkan kemashlahatan manusia. Ini terlihat
dengan betapa kecilnya keberadaan bumi dan seisinya jika
dibandingkan dengan satu galaksi saja dari universe -alam
semesta- ini. Kehilangan sebuah titik bumi dalam bentangan
galaksi Bima sakti yang ditempatinya tidak akan mempengaruhi
kerajaan Allah. Jadi apa yang Allah inginkan bagi manusia dalam
aqidah dan syari’ah-Nya ini semata-mata sebagai rahmatan lil
‘alamin.

Paradigma seputar wahyu ini juga tidak menghilangkan peran


akal dan nalar manusia. Sebagaimana yang sering dikhawatirkan
sebahagian orang. Akal dilibatkan oleh Allah dalam bidang
ruang dan waktu yang mampuh dijangkaunya. Yaitu bidang
kreasi, inovasi dan rekayasa pengembangan hidup manusia
dalam bingkai aqidah dan syari’ah-Nya. Bukan bidang
supernatural yang transendental metafisik. Karena jangkauan
imajinasi -daya khayal- manusia selalu berkisar pada analogi apa
yang ghaib dengan apa yang pernah dilihat dan dialaminya. Ini
tidak cukup untuk menjangkau wilayah hakikat keghaiban. Jika
dipaksakan maka kebenaran alam ghaib ini akan tergambar
pada simbolisme. Seperti patung-patung ketuhanan yang kita
lihat dalam agama lain. Oleh karena itu Rasulullah, shallallaahu
’alaihi wa sallam, melarang ummatnya memikirkan tentang Zat
Allah dan membuka dengan seluas-luasnya untuk memikirkan
makhluk-Nya.

Iman seperti ini adalah puncak keperibadian seseorang. Ia juga


merupakan lapisan terdalam keperibadian manusia yang sulit
dibaca atau diusik. Kata ini merupakan hasil kristalisali dan
perpaduan kecemerlangan wawasan pemikiran dan kematangan
kedewasaan mental. Karena akhir sebuah pemahaman baru
162
bermanfaat saat menjadi keyakinan dalam bentuk prinsip atau
kepercayaan. Ia tersimpan dan terpelihara sebagai puncak
rahasia hidup seseorang. Dan akhirnya ia menjadi dorongan dan
kekuatan untuk mengambil keputusan. Disamping dapat
melindungi dan menenteramkan pemiliknya dalam melakukan
tindakan.

Iman secara bahasa berasal dari kata dasar a-mi-na. Yang berarti
merasa aman dan tenteram. Sedangkan aa-ma-na berarti
meyakini, percaya atau beriman. Jika dilihat dari kata dasarnya
maka keimanan adalah sesuatu yang memberikan keamanan dan
ketenangan bagi pemiliknya. Jika keimanan tidak memberikan
nuansa tersebut maka telah terjadi distorsi, penyimpangan,
ketidak berfungsian bahkan mungkin kesalahan total pada
obyek yang diimaninya. Disinilah kita dapat memahami ma’na
dibalik firman Allah “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan
dzikir (mengingat dan menyebut) Allah niscaya hati menjadi tenang”.
(QS. 13 Ar-Ra’d, 28).

Ketenangan adalah puncak dan muara kebahagiaan dan


kesenangan seseorang. Bahkan itulah kebahagiaan yang
sesungguhnya. Kesenangan dan kebahagiaan yang tidak
membawa kepada ketenangan dapat dikatakan kesenangan
semu. Dengan ketenangan dan ketenteraman seseorang akan
mampuh mengendalikan diri dengan baik. Di mana saat itulah
kemampuan mengantisipasi dan menganalisa seseorang
berfungsi dengan baik pula. Karena saat ia gelisah, emosi tak
terkendali dan kalut maka hal yang sepele bisa menjadi rumit,
sulit dan bisa bertele-tele.

Oleh karena itu iman tersimpan di bagian terdalam dan


terpenting tubuh manusia. Hati atau tepatnya Qalbu, yang
menurut Rasulullah, shallallahu ‘alai wa sallam, sebagai orbit
atau muara baik-buruknya seluruh tubuh. “Ingatlah bahwa dalam
163
tubuh itu terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh
tubuhnya dan jika rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah
bahwa itulah qalbu” (Al-Hadits).

Atau sebagai “hakim agung” dalam diri seseorang. Pengambil


keputusan terakhir untuk suatu tindakan yang harus diambil dan
dilaksanakan anggota tubuh. Sebagaimana Nabi besabda:
“istafti qalbaka” artinya: Mintalah fatwa (nasehat, pandangan
dan putusan) kepada hati nuranimu. Dengan demikian
keimanan dan keyakinan menjadi ukuran dan ruh kejujuran
yang menenteramkan hati seseorang.

Pemikiran adalah lapisan ke dua pembentuk kepribadian. Ia


menjadi muatan akal setiap manusia. Dengan akal dan nalar
manusia dapat berpikir secara dinamis untuk menghasilkan
suatu rumusan yang bernama pemikiran. Pemikiran adalah
anugerah Pencipta manusia yang sangat berharga. Dengan
pemikiran manusia dapat berinisiatif, berkreasi, berinovasi dan
berkarya secara baik, efektif dan efisien. Dalam konteks
individual pemikiran ini dapat memformulasikan maket
kepribadian. Sedangkan dalam konteks ummat atau sosio
kultural manusia dapat memetakan tatanan peradaban.

Di sini pemikiran cukup menentukan dalam menata kembali


masa depan keperibadian seseorang dan merekayasa ulang
peradaban suatu bangsa. Bangsa yang tidak mewariskan
pemikiran kepada generasinya, akan kehilangan masa depannya
sekalipun saat ini hidup dalam peradaban yang modern dan
maju. Sebaliknya bangsa yang mewariskan dan memelihara
pemikirannya dari generasi ke generasi akan tetap eksis dan
memiliki peluang besar membangun kembali peradabannya.

Iman yang tumbuh baik dan hidup dinamis adalah iman yang
melahirkan kekuatan berpikir untuk menghasilkan pemikiran,
‘irodah’ atau keinginan dan tekad untuk melakukan sesuatu.
164
Yang seluruhnya diformulasikan dalam istilah niat. Niat dalam
pandangan para ‘ulama menempati sepertiga kehidupan
manusia. Karena hati manusia adalah satu dari tiga bagian dan
unsur primer manusia di samping akal untuk berpikir dan pisik
untuk bertindak. Disinilah nilai interaktif dan interdependen
antara ke tiga unsur tersebut.

Dengan demikian niat dapat menjadi ujung tombak keimanan.


Ia dapat mengarahkan dan menata sebuah orientasi kerja dan
perilaku. Oleh karena itu untuk mengetahui seberapa tinggi
keimanan yang dipusatkan pada niat seseorang adalah kata ke
dua yaitu “amal sholeh”.

Amal sholeh adalah refleksi kongkrit dimensi kedua dari Islam


yaitu syari’ah. Amal sholeh juga merupakan salah satu prinsip
dasar methodologi pemikiran dalam Islam. Sebuah pemikiran
yang tidak berlandaskan hasil karya adalah tercela menurut
syari’. Demikian para ‘ulama Islam, seperti Al-Imam Asy-
Syathibi, menggariskan paradigma methodologi pemikirannya.
Prinsip ini diilhami ayat di atas. Ayat yang menginspirasikan dan
sekaligus meminta pertanggungan jawab atas pemikiran dan
keyakinan seseorang.

‘Amal sholeh juga menempati posisi cukup strategis dalam


membentuk keperibadian. Bahkan ialah pembentuk konstruksi
bangunan akhlaq dan perilaku yang merupakan lapisan terluar
kepribadiannya. Lapisan terluar ini mengesankan ma’na dan
nilai pemikiran dan keyakinan seseorang manakala orang lain
bersinggungan dan berinteraksi dengannya.

Amal sholeh secara bahasa berarti kerja yang baik, laik, sesuai,
benar, damai, serasi dan segala yang bernuansakan ma’na
kebaikan dan kemashlahatan. Pilihan kata ini amatlah tepat dan
mencerminkan miracle atau kemu’jizatan al-Qur’an. Ukuran
165
kebenaran dan kebaikan yang dimaksud tentu saja menurut
seluruh team penilai, baik kalangan manusia atau makhluq lain
seperti malaikat dan alam semesta.

Kebaikan tersebut pada akhirnya memerlukan standar penilaian


baku yang disepakati bersama. Inilah persoalan mendasar
terjadinya perselisihan, perbedaan pandangan dan sikap dalam
kehidupan manusia. Jika kebaikan dan kebenaran ini diserahkan
kepada manusia maka tidak akan dan sulit terjadi titik temu.

Disinilah Allah menurunkan ajaran dan konsep hidup bagi


manusia. Bahkan untuk seluruh makhluk-Nya sehingga mereka
tunduk dan patuh dengan peraturan-Nya. “ Maka apakah mereka
mencari agama selain agama Allah. Padahal kepada-Nya-lah
menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka kembali”.
(QS. 3 Ali ‘Imron 83).

Dengan diturunkannya Islam sebagai pedoman dan jalan hidup


maka titik kesepakatan nilai kebenaran akan ditemukan. Dan
selanjutnya akan menjadi tali pengikat hubungan kehidupan
menuju terciptanya kesejahteraan dalam peradaban manusia.
Bahkan sebagaimana diisyaratkankan dalam ayat tersebut
kesepakatan standar nilai ini juga diakui kalangan makhluk lain
seperti malaikat yang lebih besar jumlahnya dari pada manusia
dan tidak pernah maksiat sedikitpun kepada Allah (Lihat QS. 66
at-Tahriim, 6).

Dengan demikian amal sholeh yang dimaksud Islam adalah


kerja yang baik dan laik menurut Allah ‘Azza wa Jalla yang
selanjutnya menjadi dasar pengakuan kesholihan kalangan
manusia, jin dan para malaikat. Karena kebenaran itu adalah
otoritas yang Maha Mengetahui. Dan dipastikan tidak ada yang
maha mengetahui hakikat sesuatu selain Penciptanya. Di sini
kita melihat bagaimana keimanan dituntut untuk meyakini siapa
166
yang sebenarnya yang harus mendefinisikan dan
mendimensikan kata “kebenaran” atau al-haq. Jika terjadi
kekeliruan dalam keyakinan ini maka akan terjadi kekeliruan
fatal dalam perbuatan, tindakan dan seluruh dimensi kehidupan.

Tawashi ‘saling menasehati’ dengan al-haq ‘kebenaran’ dan


keshabaran merupakan bentuk kesholehan sosial. Kesholehan
ini adalah refleksi dari kesholehan individual pribadi muslim
yang beriman dan beramal sholeh. Pemahaman dan pengalaman
imani dan kesholehannya tidak hanya dinikmati sendiri. Ia
tergerak hati nuraninya untuk berbagi kenikmatan iman dan
amal sholeh dengan orang lain. Bentuk nyata kecerdasan
emosional dan spiritual inilah yang tengah dicari dan dibangun
kembali peradaban Barat yang selama ini kehilangan
kebermaknaan dalam meikmati kehidupan.

Saling menasehati dengan al-haq (kebenaran) dimulai dari


tingkat pemahaman, penerapan, sampai perjuangan
menegakkan kebenaran dalam kehidupan. Memahami
kebenaran adalah proses pertama dan prioritas dalam
membentuk mind setting seseorang. Selanjutnya pemikiran yang
telah tertata dengan nilai-nilai kebenaran akan menginspirasikan
berbagai gagasan, inovasi dan kreativitas kerja yang serba
sholeh. Sedikit sekali ditemukan ide dan karya keburukannya.

Proses memahami, menerapkan, apalagi sampai menegakkan


kebenaran memerlukan waktu cukup lama dan panjang. Bahkan
waktu merupakan bagian dari terapi, solusi dan syarat
membenahi kehidupan. Untuk mengantisipasi kemungkinan
munculnya dampak negatif akibat lama dan panjangnya waktu
yang harus ditempuh, maka Allah menutup surah ini dengan
gambaran pentingnya membiasakan (habit) saling menasehati
dengan keshabaran.

167
Shabar merupakan potensi dan kemampuan mengendalikan
diri. Inilah salah satu tingkat kecerdasan yang sangat diperlukan
dan sahabat kehidupan yang tidak boleh ditinggalkan dan
terabaikan. Dengan kemampuan ini seorang muslim dapat
mengikuti proses perjalanan tegaknya kebenaran secara bijak.
Di mana puncak kebenaran yang sesungguhnya adalah
kenyataan, kepastian dan keabadian hidup di akhirat kelak. Masa
yang tidak bisa diukur dengan periode dan generasi sejarah hiup
manusia. Kemampuan luar biasa ini pada akhirnya menyiapkan
pribadi-pribadi muslim yang siap dan handal menghadapi dan
mengarungi perjalanan hidupnya.

Perpaduan ketiga unsur utama ini menjadi sinergi keperibadian


bagi kemuliaan dan keagungan seseorang dan bangsa. Sinergi ini
selanjutnya menjadi dasar kekuatan dalam berbagai dimensi dan
aspek kehidupannya. Oleh karena itu membangun kepribadian
Islami merupakan prioritas utama dalam pembangunan setiap
individu yang akan membentuk suatu bangsa dengan
peradabannya. Dimulai dengan memahami dan internalisasi
esensi keimanan dan pemikiran Islam yang selanjutnya
diaktualisasikan dan dieksternalisasikan dalam bentuk akhlaq
dan prilaku baik dalam konteks individu maupun sosial.

168
TANTANGAN DAN STRATEGI
PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN
(Studi Antisipatif Pendidikan Anak Abad 21)

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”
(QS. 4 An-Nisaa’ 9).

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan


beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya (dengan sempurna). Allah berfirman:
’Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘ (Dan saya mohon
juga) dari keturunaku’. Allah berfirman: ‘Janjiku (ini)
tidak mengenai orang yang zalim’.”

“Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara cucu kamiummat yang
tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkalah kepada kami cara-cara
dan tempat-tempat ‘ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha penerima taubat lagi Maha
Penyayang”.

Ya Rabb kami, utuskanlah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan


merek, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah serta
mentazkiah (mensucikan) mereka. Sesungguhnya Engkau-lah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya,


demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah
169
kamu mati kecuali dalam keadaan (komitmen ‘terikat dan terlibat’)
menjadi muslim”. (QS. 2 al-Baqarah 124, 128, 129 dan 132)

Berpikir antisipatif ‘membaca, merencana dan menata masa depan’


adalah salah satu ciri khas visi dan misi Islam. Dalam sejumlah
ayat dan hadits seringkali ditemukan ungkapan kata dan
pemikiran yang memetakan masa depan yang bakal terjadi, baik
ataupun buruk. Sifat ini hendaknya mengilhami ummat Islam
untuk membuka masa depan dengan kreasi dan inovasi positif
dan proaktif. Tidak reaktif menunggu peristiwa terjadi atau
menanti rintisan orang lain. Sikap terakhir ini hanya akan
membuat ummat ini tidak hanya tertinggal tetapi lebih parah
lagi akan menjadi bulan-bulanan “keinginan” rencana dan pola
hidup orang dan bangsa lain.

Abad 21 adalah abad masa depan setiap bangsa. Siapa yang


paling siap memasuki dan laik hidup di abad itu, merekalah yang
akan memegang dan mengendalikan abad tersebut sesuai
dengan keinginannya. Fenomena hari ini dengan globalisasi
informasi, transpormasi dan policy internasional berikut
sejumlah dampaknya, masih memetakan dominasi bangsa lain
terhadap umat Islam. Seakan-akan jangankan untuk bersaing
apalagi merubah peta tersebut, untuk bertahan hidup ‘survive’
di masa itu dengan eksistensinya sebagai muslim saja masih
diragukan.

Fenomena ini tentu saja tidak perlu membuat kita larut dalam
keperihatian. Sebagai ummat yang memiliki kekayaan sistem,
prinsip, pemikiran dan orientasi kerja yang jelas didukung
pengalaman sejarah dalam membangun peradaban yang besar
dan agung sampai meraih prediket ummat ‘bangsa’ terbaik
“Khairu Ummah’, kita tidak perlu pesimis. Justeru dengan
sejumlah potensi ini terutama warisan pemikiran Islam yang
tetap utuh, kita bisa mengulang peradaban baru yang lebih baik,
sebagai alternatif bagi peradaban manusia sekarang yang sedang
170
berada di titik puncak kejenuhan dan kebingungannnya. Di
samping mereka telah kehilangan pemikirannya, sehingga dapat
diprediksikan jangankan untuk mengulang peradaban baru,
mereka sulit untuk bertahan hidup sekalipun dengan kondisi
meterialistik yang mempesona dan serba ada seperti sekarang
ini.

Tantangan Pendidikan Islam:

Pertama Tantangan Internal:

Sistem, kurikulum dan pola pendidikan Islam dua abad terakhir


(abad 19 dan 20 ini) telah melahirkan sejumlah dampak. Tanpa
melupakan sisi positif yang dapat dipertahankan dan
ditingkatkan, berbagai sisi negatif produk sistem dan
mekanisme pendidikan abad ini harus bertanggungjawab atas
berbagai krisis kepribadian yang terjadi. Mulai dari krisis
intelektual yang miskin paradigma dan methodologi, krisis
mental yang kurang dewasa, sampai krisis moral dan prilaku
yang keliru dalam menampilkan esensi nilai. Secara global
permasalahan ini dapat dirumuskan dalam tiga urutan bentuk
kesalahan kepribadian:
1. Kesalahan dalam sistematika ‘susunan’ intelektual dan pemikiran
2. Kesalahan dalam sistematika mental dan perasaan,
3. Kesalahan dalam sistematika moral dan tindakan.

Kesalahan-kesalahan ini telah mewarnai keperibadian hampir


seluruh lapisan umat Islam. Mulai dari anak-anak, remaja,
sampai orang dewasa, mulai dari orang awam, kaum
cendekiawan sampai para ulama.

Kesalahan pertama terlihat dalam salah persepsi, tidak berpikir


prioritas, opini kontradiktif dan cara pandang yang tidak
obyektif. Faktanya sering terbalik antara esensi inti dan kulit,
tujuan dan sarana. Gejala ini dapat terlihat dalam kekeliruan
171
penggunaan istilah, baik disadari atau tidak, atau karena ada
unsur rekayasa. Seperti istilah “karir” bagi kaum wanita. Karir
sering identik dengan profesi yang menghasilkan uang. Tidak
ada kata pahala, dosa, dan nilai hukum reliji seperti haram dan
halal dalam kamus karir.

Kesalahan ini berdampak pada lahirnya kesalahan ke dua. Anak


yang menjadi ibu rumah tangga yang melahirkan, merawat dan
mendidik anak, jauh kurang dihargai daripada seorang anak
yang menjadi sekretaris sebuah perusahaan. Bahkan profesi ini
jarang diakui sebagai karir yang berhak mendapat penghargaan.
Termasuk oleh ibu rumah tangga sendiri yang terkadang merasa
minder jika dideretkan di kalangan wanita karir lainnya.

Gejala ini telah merubah moral, cara betindak dan bersikap yang
merupakan kesalahan ke tiga. Banyak kaum ibu, sampai kurang
menghargai anak perempuannya yang sudah sarjana tetapi
hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, sekalipun cukup
sibuk dengan tugas rumah tangga dan bekerja untuk
kepentingan keluarga sampai 17 jam sehari.

Penyebab yang cukup mendasar kesalahan-kesalahan ini adalah ketidak


berimbangan informasi. Informasi Islam dan sejumlah dimensinya
tentang nilai hidup sangat jauh tidak berimbang dengan arus
informasi tentang cara hidup menurut pendapat para ahli. Mata
pelajaran dan kuliah di berbagai jenjang pendidikan sangat
miskin muatan informasi Islam. Baik tentang nilai hidup
maupun seputar ilmu pengetahuan alam dan sosial. Islam yang
seharusnya menjadi dasar dalam cara berfikir, merasakan dan
bertindak untuk setiap saat hanya diberikan jatah waktu kurang
dari 2 jam. Kondisi ini diperburuk oleh kualitas sumberdaya
manusia pelaku pendidikan Islam itu sendiri, baik guru, orang
tua maupun murid, yang miskin perhatian dan wawasan.

Ke dua Tantangan eksternal:


172
Rekayasa luar umat Islam cukup terbukti mempengaruhi
munculnya berbagai permasalan pendidikan Islam. Berbagai
muatan Islam yang telah dieliminir, dipersempit dan disekat-
sekat pun tidak dikehendaki menjadi bagian kurikulum
terpenting. Semua ini berorientasi untuk mengosongkan atau
meminimalisasi pengetahuan dan opini Islam dari benak pikiran
ummat Islam. Sehingga kata Islam dan terminologi “istilah”
Islami terasa asing dan dilepas dari setiap dimensi kehidupan.
Selanjutnya ummat dikondisikan memasuki kebimbangan dan
kebingungan menentukan pilihan dan mengantisipasi setiap
perkembangan.

Dalam kondisi mengambang seperti ini tiba giliran peran kulturisasi


‘pembudayaan’ dan pelembagaan pengetahuan dan terminologi
non Islam. Ia masuk, menggumpal dan kemudian mengkristal
menjadi opini dan prinsip baru dalam kehidupan. Kristalisasi
berlanjut sampai menjadi paradigma atau cara pandang, standar
dan prinsip dalam menilai segala permasalahan. Berikutnya
terjadilah perubahan cara dan pola hidup yang semakin jauh
dari kata Islam. Kondisi ini merupakan tanah subur untuk
tumbuh dan berkembangnya benih pemikiran dan budaya tidak
Islami tanpa nilai yang cenderung permisif ‘serba boleh’.

Era globalisasi semakin mengokohkan eksistensi budaya non


Islam. Peran Islam, baik dalam pemahaman, pemikiran dan
model hidup, terus dipersempit, terutama dari dunia
pendidikan. Sementara arus informasi asing tidak Islami
semakin deras dan semakin memperluas ketidakbeimbangan.
Data empiris dan contoh kongkritnya adalah perimbangan
prosentase acara di setiap saluran televisi. Akibatnya
permasalahan semakin komulatif dan rumit. Umat Islam
semakin sulit mencari penyebab utamanya dan dari mana ini
mulai terjadi, jangankan untuk mencari dan memulai solusi.

173
Klimaksnya, terbagilah ummat ini menjadi tiga kelompok:
Kelompok pertama adalah mereka yang pro modernisme dan
“kemajuan”. Mereka larut dan menerima seluruh kenyataan ini,
tanpa sedikitpun merasa perlu menyeleksi bahkan sampai berani
melepas atribut-atribut Islam.

Kelompok ke dua adalah kaum penolak dan anti perkembangan


dan realita, sampai pada pengharaman produk teknologi seperti
televisi, pengeras suara dan radio.

Kelompok ke tiga adalah kaum yang menerima realita produk,


budaya dan pendidikan luar Islam dengan tetap berada di pihak
Islam.

Kelompok terakhir ini masih terbagi kepada tiga golongan:

Pertama, mereka yang menggunakan pendekatan methodologi


Barat, dengan asumsi bahwa ilmu pengetahuan Islam miskin
methodologi. Produk pendekatan ini adalah kecenderngan
mengadaptasikan Islam kepada teori dan paradigma Barat.

Ke dua, mereka yang menggunakan pendekatan methodologi


Islam secara murni dan menolak mentah-mentah methodologi
non Islam seperti Barat. Dengan asumsi bahwa Islam telah
memiliki segalanya, mereka anti ilmu pengetahuan Barat dan
menganggap tidak perlu belajar bahasa mereka seperti Inggris.

Dan ke tiga, mereka yang moderat dengan menggunakan


pendekatan methodologi Islam dengan tetap menerima
methodologi lain sesuai dengan paradigma ‘kerangka berpikir’
Islam.

Tantangan Masa Depan Pendidikan Anak abad 21:

174
Dari tantangan global di atas, dapat kita persempit jenis
tantangan pendidikan anak dan permasalahannya dalam
menyongsong abad 21.

Pertama : tantangan sumberdaya manusia.


Tantangan pertama dan utama yang dihadapi pendidikan anak
adalah aspek sumberdaya manusia yang laik menjadi idola. Baik
orang tua, masyarakat maupun kalangan pendidik seperti guru.
Pemikiran orang tua semakin tidak jelas dan rancu dalam soal
pendidikan terutama sistem pendidikan Islam. Wawasan
seputar pendidikan Islam , mulai dari makna, gambaran sampai
tujuan sebenarnya, sangatlah miskin. Pemikiran mereka masih
didominasi oleh kepentingan materialistik duniawi sebagai
dampak ketidakberimbangan informasi di atas.

Kondisi ini mempengaruhi perhatian orang tua terhadap dunia


pendidikan. Terbukti dengan sikap mereka dalam memasukkan
dan menyerahkan anaknya ke suatu lembaga pendidikan.
Apalagi cita-cita agar anaknya menjadi guru sangatlah kecil
kemungkinannya. Maka pada akhirnya profesi guru seringkali
hanyalah pelarian bukan keinginan. Obsesi untuk menjadi guru
karena jasa dan kemuliaannya, yang pernah membudaya dan
melembaga di kalangan masyarakat tahun tujuh puluhan ke
belakang, semakin hari semakin terkikis. Bahkan untuk lembaga
pendidikan tinggi seperti IKIP sekalipun belum berhasil
menggiring para mahasiswanya untuk menjadi pendidik dengan
keinginan sepenuh hati.

Mentalitas seperti ini diperburuk oleh tingkat penghargaan dan


perhatian ummat kepada guru yang dirasa belum memenuhi
kata cukup jangankan penuh hormat. Termasuk kalangan
pemerintahan yang belum memadai menempatkan profesi guru
terutama dari sisi pemenuhan keperluan primer dan sekunder
mereka. Sanjungan dan pujian sekalipun dalam bentuk himne
guru yang diabadikan tidaklah cukup untuk mengatasi dan
175
memenuhi tuntutan mereka. Akibatnya banyak ditemukan
peraktek pendidikan yang cenderung komersial. Walaupun bisa
dimaklumi bahwa itu kadang dilakukan sekedar untuk menutupi
kekurangan.

Ke dua : tantangan sumber dan sistem pendidikan.


Tantangan lain yang cukup serius adalah aspek sistem dan
sumber pendidikan itu sendiri. Orientasi meterialistik dan
dominasi duniawi telah merubah tatanan kehidupan anak yang
serba lemah. Prinsip dan pemikiran yang mestinya mengarahkan
cara hidup telah mencair. Anak-anak itu pada akhirnya larut
menjadi manusia reaktif dan pembeo. Kemiskinan nilai dalam
sistem pendidikan pada puncaknya telah melahirkan anak didik
yang kurang mengenal sopan santun.

Sumber pendidikan yang tidak berorientasi Islam, baik ke Barat


atau sistem lain, telah membuang dan menghapus kata dan
nuansa Islami dari dunia pendidikan. Contoh kalimat ‘hukum
alam’ yang terkesan sekuler, jauh lebih dikenalkan dari pada kalimat
‘sunnatullah’ yang bernuansa imani. .Anak didik produk pendidikan
seperti ini mencapai titik kehilangan jati dirinya. Jangankan
sebagai muslim, ummat Islam atau bangsa terhormat, sebagai
manusia saja sulit disadarkan. Realita ini kemudian membawa
mereka kepada sikap tidak percaya diri. Lebih jauh lagi mereka
telah menuduh dirinya tidak berharga dan manusia buangan.

Ke tiga : tantangan budaya dan lingkungan masyarakat.


Sistem pendidikan seperti diatas selanjutnya “sangat berjasa”
dalam membangun kekecewaan pada diri anak. Anak-anak yang
kehilangan prinsip dan nilai itu pada akhirnya menemukan apa
yang mereka inginkan pada budaya dan lingkungan masyarakat.
Sekalipun kepuasan yang mereka peroleh sesungguhnya amatlah
semu. Figur orang tua dan guru pun harus bertanggungjawab
terhadap terbentuknya karakter ini. Karena peran idola dan
teladan yang seharusnya mereka tampilkan tidaklah membuat
176
anak-anak terkesan. Karena saluran air kasih sayang dan cinta
mereka telah mengering. Yang ada adalah figur-figur ambivalen,
munafik dan pendusta. Baik dalam dunia seni-budaya (hiburan),
politik, ekonomi, termasuk pendidikan itu sendiri.

Di pihak lain mereka justeru menganggap menemukan


“pengertian” dan “perhatian” dari teman sekitarnya. Lihat
bagaimana seorang pelajar begitu asyik menceritakan
pengalaman dan permasalahan hidupnya termasuk tentang
keluarganya, kepada teman lelakinya sambil bergandengan dan
berpelukan. Fenomena ini dapat kita saksikan tidak lagi di
tempat sunyi atau gelap tetapi di banyak tempat terbuka. Rasa
malu yang merupakan control nuraninya yang terakhir, saat itu
tidak lagi masuk dalam agenda perbincangan mereka. Semua
larut dan tersita oleh agenda “kesenangan” dan “kebahagiaan”
berdua.

Bunga dekadensi moral ini semakin hari semakin harum dan


memikat para peminat. Didukung oleh perubahan selera hidup
dari nuansa reliji yang dianggap mengikat kepada gaya hidup
yang serba boleh dan bebas. Semua ditampilkan demikian
mempesona tanpa “rasa riskan dan malu” sedikitpun, didukung
oleh sejumlah mas media cetak dan elektronik. Diperkaya
dengan globalisasi informasi yang memaksa kita untuk
membiasakan kerkata “itu biasa”. Yang pada akhirnya mereka
menjadi pesaing kita dalam membangun budaya dan cara hidup
baru beresensi Islam dalam nuansa hidup penuh nilai dan etika.

Strategi Pendidikan Anak abad 21:

Pendidikan anak adalah strategi yang paling tepat untuk


menuntaskan solusi terhadap tantangan global ummat Islam di
atas. Orientasinya tidak sekedar bermuara pada pemberdayaan
manusia muslim yang berkualitas tetapi sampai pada mengganti

177
dan merubah manusia dengan seluruh dimensi kehidupan dan
peradabannya.

Pertama: Pembangunan visi dan misi para pendidik: guru, orang tua dan
masyarakat.
Langkah ini adalah langkah pertama dan perioritas. Visi dan
misi orientasi pendidikan umat ini harus ditata ulang dan jika
perlu dirombak. Dari cita-cita menjadikan anak sekedar pintar
kepada “anak sebagai ‘abdun (hamba) sholeh”. Bahkan penataan
ulang ini nampaknya juga harus dimulai dari persepsi tentang
anak sholeh itu sendiri. Yang sering dipahami masyarakat luas
sebagai anak “pendiam, tidak banyak permintaan, dan
penurut”. Semua atribut ini tentu tidak mewakili keseluruhan
dimensi kesholehan. Sekalipun merupakan bagian kesholehan
yang tetap harus disertai dengan penjelasan.

Secara bahasa ‘abdun berasal dari kata ‘a-ba-da yang berarti


tunduk, patuh, khusyu’, dan nurut. Jadi ‘abdun adalah seorang
yang tunduk, patuh dan penurut yang sering distilahkan dengan
kata ‘hamba’. Karena seorang hamba memang memiliki sifat-
sifat seperti ini. Jadi wajar jika anak sholeh dipahami sebagai
anak penurut. Sifat-sifat ini tidaklah negatif. Bahkan semua itu
merupakan sifat terpuji yang harus menjadi dasar karakter
seseorang. Kekeliruan terjadi bukan pada pengakuan sifat-sifat
tersebut sebagai karakter baik. Melainkan terjadi pada kesalahan
alokasi atau penempatan sifat dan sikap itu kepada ‘siapa’ yang
berhak dipatuhi.

Visi atau cara pandang tentang “siapa yang harus dipatuhi”


harus mutlak benar dan tepat termasuk dalam susunan siapa-
siapa saja yang didahulukan. Sesuai dengan jasa dan hak
dipatuhi yang dimilikinya mengingat ‘ilmu dan kebijakannya.
Singkatnya, jelas bahwa yang berhak dan laik dipatuhi secara
mutlak di atas segalanya dan siapa saja hanyalah Allah, Pencipta
manusia yang Maha Tahu dan Maha Bijak. Dari kalangan
178
manusia yang harus dipatuhi secara mutlak adalah Rasul-Nya,
shalllallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang manusia
sempurna yang direkomendasikan Allah agar dijadikan idola
dalam memahami dan mengekspresikan dimensi kesholehan.

Kebijaksanaan Allah selanjutnya terlihat pada kebijakan dan


ketentuannya agar seorang anak tidak berkata “ah...” kepada
kedua orang tua apalagi menyakitinya. Karena Allah Maha Tahu
bahwa orangtuanya begitu berjasa menghamilkan, melahirkan
dan merawatnya sampai besar dengan penuh kasih sayang
anugerah dari-Nya. Demikian pula Allah mengingatkan agar
seorang anak menghormati siapa saja yang telah berjasa seperti
guru dan siapa yang lebih dewasa. Untuk menjaga
penyimpangan susunan kepatuhan ini Rasulullah membuat
rumusan: “tiada ketha’atan kepada seorang makhluq (ciptaan
Allah) dalam hal ma’shiat kepada Kholiq (Allah, Maha
Pencipta).

Adapun kata “sholeh”, berasal dari kata sho-la-ha yang berarti


baik, laik dan damai. Semua ma’na ini mengilhami dan
mengispirasikan bahwa “anak sholeh adalah anak yang laik hidup
dan diterima masyarakat mengingat kebaikan-kebaikan yang menjadi
karakter dirinya cukup membuat damai setiap orang di sekitarnya”.
Dari gambaran ini terlihat transparan bahwa anak yang tidak
laik hidup di suatu kurun waktu dan masyarakat tertentu, karena
kelemahan dan keburukan lapisan-lapisan keperibadiannya baik
pemikiran, kedewasaan maupun tindakannya, tidak dapat
dikategorikan dalam istilah “anak sholeh”.

Untuk memenuhi terminologi ini nampak jelas bahwa


membentuk anak sebagai ‘abdun sholeh tidaklah mudah.
Bahkan pengakuan dirinya sebagai anak sholeh harus dari dua
garis lurus; vertikal “hablum minallah” dan horizontal “hamlum
minannas”. Artinya dinyatakan laik dan baik pertama kali
menurut Allah dan selanjutnya menurut manusia. Di sini dapat
179
disimpulkan sementara, bahwa anak sholeh terbukti merupakan
anak yang laik dan siap hidup di masanya dan masa depan
umatnya.Yaitu mereka yang kaya dengan kesiapan dan
kematangan diri. Baik prinsip, mental maupun perilakunya.

Kedua : Rekayasa ulang sistem pendidikan.


Mulai dari konsep dasar visi, misi dan orientasinya, ruang
lingkup, mekanisme sampai sarananya. Orientasi visi dan misi
pendidikan secara global telah tercermin pada gambaran “anak
sholeh” di atas. Yang memang terkesan tidak gampang. Oleh
karena itu diperlukan rekayasa ulang dalam kurikulum,
mekanisme pengajaran, tenaga pendidik dan sarana. Rekayasa
ulang ini harus berjalan secara intergratif dan terpadu, dan
dengan kondisi kita seperti ini harus berjalan secara bertahap
namun simultan melibatkan seluruh lapisan.

Kurikulum pendidikan Islam:


Kurikulum pendidikan di berbagai institusi Islam secara global
cukup mewakili potret Islam. Namun secara muatan dasar dan
pengembangan masih jauh belum memuaskan dan perlu
penyempurnaan. Terutama ditinjau dari sisi kwalitas sumber
daya para pengajar yang belum banyak berwawasan luas di
samping pengalaman. Untuk kurikulum sekarang dan menjelang
abad 21 ini dapat diusulkan rumusan global sebagai berikut:

(1). Penguasaan dan pengalaman tsaqafah (wawasan) Imaniyyah.


Meliputi penanaman dasar aqidah shohihah sejak dini melalui
pengajaran kalimat-kalimat ‘imaniyyah dan methode tafakkur
sesuai dengan tingkat berpikir dan bahasa anak. Seperti istilah
sunnatullah lebih dimasyarakatkan dari pada hukum alam, rizqi
Allah lebih seringkali diungkapkan dari pada uang dari ayah atau
ibu. Latihan-latihan pengalaman imani melalui observasi juga
dapat ditumbuhkan sejak dini. Yang menggiring mereka untuk
selalu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta rindu akan segala
yang dijanjikan-Nya.
180
(2). Penguasaan dan pengamatan tsawafah Islamiyyah.
Meliputi pengajaran al-Qur’an dan As-Sunnah, Sirah
Nabawiyyah dan Shahabahnya, sejarah kebudayaan dan
peradaban Islam, fiqh Islami dan bahasa Arab. Untuk
penguasaan al-Qur’an tidak hanya berkisar pada kemampuan
membaca dan menghapal tetapi dapat diperkenalkan sejak dini
pemahamannya melalui penguasaan bahasa dan tafsirnya secara
sederhana. Demikian pula dengan as-Sunnah dan Sirah
Nabawiyyah, dapat ditayangkan keperibadian beliau sehingga
terkesan dan terbentuk pada diri mereka kekaguman kepadanya
sebagai idola. Untuk medidik pengamatan mereka kepada
tsaqafah Islamiyyah dapat dilakukan dengan methode dialog
dan berpikir kritis. Berikan kesempatan kepada mereka untuk
mengungkapkan gagasan, ide dan pendapatnya tentang suatu
masalah yang berkaitan dengan wawasan Islam dan ummatnya.
Jadilah seorang penengah, pengarah dan pembimbing dalam
mengkuti perbincangan ini. Jangan berperan diri sebagai
penguasa.

(3). Penguasaan dan penelitian wawasan teknologi dan ‘ilmiyyah, baik


alam maupun sosial.
Meliputi pengajaran dan pendidikan keterampilan sederhana
dengan memberikan kebebasan kepada anak untuk berkreasi
dan berinovasi. Diperkaya dan diperkuat dengan penguasaan
konsep dasar ‘ilmu pengetahuan alam dan sosial. Mulai dari
bahasa sebagai cermin peradaban dan alat berkomunikasi,
sampai rumusan-rumusan ‘ilmiyyah yang mudah dicerna dan
diterapkan. Memasuki abad 21ini telah terjadi banyak
perubahan dalam kedudukan dan orientasi suatu ‘ilmu dan
teknologi. Contoh bahasa Inggeris, yang dahulu sering disikapi
sebagai bahasa penjajah dan kafir, kini sulit dihindari
dominasinya sebagai bahasa internasional pertama. Maka untuk
mengantipasi perkembangan komunikasi abad 21 yang semakin
mengglobal dan bebas, anak didik harus dipersiapkan

181
kemampuan berbahasanya, termasuk bahasa sains dan teknologi
abad ini, sehingga siap dan laik hidup di masa tersebut.

Peran dan kriteria pendidik:


Melihat beban dan dimensi pendidikan seperti ini, semakin jelas
bahwa membentuk anak sholeh khususnya untuk memasuki
abad 21 memerlukan rencana kerja ekstra yang lebih matang.
Keberadaan tenaga pendidik atau guru dan institusi pendidikan
yang asal-asalan, seperti asal dapat uang atau sekedar mengisi
kekosongan dan tidak menganggur, jelas tidak cukup bahkan
mungkin membahayakan. Pendidik yang tidak berpikir
antisipatif, siap dan laik memasuki abad 21 akan berdampak
pada ketidaksiapan anak didiknya. Oleh karena itu diperlukan
tenaga pengajar dengan keriteria dasar sebagai berikut:
1. Berwawasan Islami yang luas, luwes dan komprehensif.
2. Mencintai dan setia kepada profesinya sebagai pendidik atau guru.
3. Berkeperibadian Islami, meliputi:
 kematangan pemikiran,
 kedewasaan mental,
 dan keindahan moral.
4. Dinamis, antisipatif, terbuka dan siap menerima perkembangan dan
perubahan positif.
5. Berfikir positif, proaktif, obyektif, kreatif dan inovatif.
6. Berpengalaman methodologis, sistematis dan berjiwa harmonis.

Jika kriteria di atas tidak terpenuhi oleh setiap individu


pendidik, maka dapat dibentuk sistem untuk membentuk dan
saling mengisi kekurangan tersebut. Misalkan, melalui
konsorsium guru, forum dialog dan pelatihan peningkatan
wawasan dan pengalaman pendidik. Terutama peningkatan dan
perluasan wawasan ilmu-ilmu dasar Islam. Semua usaha ini
tentu harus didukung oleh sejumlah fasilitas dan sarana. Namun
kekurangan sarana ini janganlah menjadi kambing hitam dan
kesulitan terbesar dalam pengembangan pendidikan.
Bagaimanapun, keinginan kuat, kecintaan, dan cara pandang
182
seorang pendidik terhadap dunia pendidikan adalah muara
kemajuan atau stagnasi, kemandekan dan kemunduran sistem
pendidikan. Dengan dedikasi para pengelola pendidikan yang
konsisten dan kuat, perlahan kendala-kendala sarana akan
teratasi.

KU DIDIK ANAKKU DALAM DO’A

Rabb, ku didik anakku dalam do’a


saat diriku tak lagi menjadi idola.
Ku lihat kecewaku semakin menduka
dalam cita dan rasa
ketika para pendidik tak lagi mulia.
Kini ku baca suasana tak lagi cerah
seperti saat mereka melukis sejarah
dengan nuansa penuh rahmah.
Adakah kesempatan bagiku mengulang kemuliaan
walau lewat kata kadang miskin ketulusan.
Mungkinkah ku bangun kembali peradaban
walau dengan cita kurang wawasan.
Jika semua tak kan terulang
Ku mohon titip anakku untuk masa depan.

Rabb, mohon sampaikan cinta dan citaku


pada nalar dan nurani anakku
agar tak menuntutku di haribaan-Mu.
ku coba dialog dengannya dengan kata
ku coba cintai dia lewat harta
namun nampak sia sia.
kurindukan dia saat mengelana
ku dekap dia dalam suka ketika canda
kadang ku bentak saat dia tak beretika
namun tak mampuh kulepas dari duka
karena sukmanya hanya di tangan-Mu.
183
Rabb, di sini ku tatap masa depannya
di antara keperibadian bangsanya
di tengah peradaban lawannya
di balik cita ayah-bundanya
di sekitar cara hidup sahabatnya
di dalam sentuhan gurunya
dan di hadapan ... umatnya.
Ku lihat diriku semakin tak kuasa
mengantarnya ke jenjang alam nyata
yang penuh budaya rekayasa.

Harapku hanya tinggal do’a


walau tak berma’na
karena tenggelam dalam angan
yang kian hari kian mengangkasa.
Hanya ini yang ku wariskan untuknya
ku didik anakku dalam do’a.

184
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI
(Pendekatan Visi Sosiokultural Kepemimpinan Islam)

Konsep Pendidikan Islam di sini dimaksudkan dengan “cetusan


pikiran yang menggambarkan suatu pemikiran dan pengertian baik dalam
bentuk rencana atau bagan dan gambaran tentang segala usaha orang dewasa
dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan, dengan perspektif Islam sebagai
landasan ideologis konsepsional maupun operasional, dan landasan epistemologis
maupun metodologisnya”.

Visi Pendidikan Islam adalah membentuk hamba Allah yang


shaleh, sebagai komponen masyarakat terkecil, menuju terbentuknya
masyarakat terbaik (Khairu Ummah).

Misi Pendidikan Islam, sebagaimana dapat ditransformasi dari


sumber-sumber aslinya al-Qur’an dan as-Sunnah, adalah:

1. Membangun kepribadian seorang muslim dan hamba Allah yang sholeh


dalam mengemban misi utamanya yaitu ‘ibadah. (QS. 2 al-
Baqoroh, 21).
2. Mengantarkan manusia agar siap dan mampu menunaikan kedudukannya
sebagai khalifah yang diserahi amanah qiyadiah (kepemimpinan)
manusia sampai ke tingkat dunia. (QS. 3, Ali ‘Imron 139).
3. Membangun masyarakat yang terbaik (khairo ummah QS. 3 Ali ‘Imron
110) dengan misi amar ma’ruf dan nahyi munkar. Dan
4. Menjadi ummat yang adil (ummatan wasatho, the just nation, QS. 2 Al-
Baqoroh, 143) dengan misi menjadi saksi terhadap prilaku dan
peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Karakteristik Pendidikan Islam, mencerminkan dan merefleksikan


muatan-muatan Islam itu sendiri. Di antara karakteristik yang
mendasar adalah:

185
1. Rabbaniyyah. Artinya seluruh variabel dan komponen
pendidikan Islam didasarkan kepada sumber-sumber dan asal usul
(epistemolgi) pemikiran, visi dan misi yang berasal dari Allah, Rabb
dan Pencipta manusia, kehidupan dan alam. Selanjutnya,
diarahkan kepada Allah dengan seluruh janji dan kompensasi-Nya.
2. Integral dan Universal. Yang berarti Pendidikan Islam
mencakup berbagai aspek kehidupan secara terpadu termasuk
tiga unsur pendekatan pendidikannya baik kognitif, afektif
maupun psikomotorik.
3. Balance dan Serasi. Keseimbangan dan keserasian ini lahir
dari keterpaduan dan keuniversalan Islam yang didasarkan pada
karakteristik pertama yaitu rabbaniyyah yang mencerminkan sifat
dasar Maha Pencipta yang Maha berilmu dan berpengalaman
dalam kehidupan khususnya tentang manusia. Seimbang dan
serasi berarti segala aspek didudukkan dan diperhatikan secara
proporsional, bukan atas dasar kesamaan dan persamaan, sesuai
dengan fungsi dan kebutuhannya sehingga tampil serasi.
4. Ideal dan Realistik. Pendidikan Islam berkemampuan
memadukan antara dua karakteristik ideal, melalui ide-ide dan
gagasannya yang melangit, dan realistik, dengan konsep-konsep
kerjanya yang tetap membumi. Keterpaduan ini merupakan
simultansi dan sinergi yang tidak pernah terpisahkan.
5. Sistematis. Ketersusunan dan kerapihan juga merupakan
karakteristik Pendidikan Islam yang signifikan. Seluruh
komponen pendidikan tersusun dan terencana berdasarkan
sistem yang teruji, terukur, dan terevaluasi. Salah satu faktor
yang sangat menunjang karakteristik ini adalah kejelasan garis
yang signifikan antara berbagai hal dan sejumlah variabel
kehidupan dengan fakta prinsipil dan yang fenomenal, serta
faktor esensial
6. Profesional, Efektif dan Efisien. Efektivitas, dimaksudkan
dengan setiap bentuk pendayagunaan potensi ke arah pencapain
tujuan dan target sesuai dengan yang ditentukan. Jika tujuan
utama pendidikan adalah ridlo Allah, maka seluruh potensi,
kemampuan dan variabel kehidupan manusia dapat diarahkan
untuk mencapai tujuan ini.

186
Namun demikian seluruh potensi dan profesi harus terikat
dengan visi dan misi global pendidikan. Visi dan misi global
harus terus dijaga dan dikembangkan dalam suatu sistem dan
mekanisme yang applicable sesuai dengan dinamika ruang dan
waktu. Sesuai dengan ungkapan “Think globally, act locally”,
rumusan yang dapat dipinjam untuk menganalisa ketepatan
profesinalisme ini. Al-Imam Syathibi merumuskan pandangan
ini dalam kaidah: “mengabaikan hal-hal yang parsial akan
membawa kepada pengabaian hal-hal yang global”.

Efisiensi, adalah segala sesuatu dapat dilakukan dalam waktu,


sistem, biaya dan mekanisme yang terukur dan hemat sesuai
dengan target dan tujuan yang direncanakan. Demikian pula
dengan pendidikan, sudah seharusnya terukur dari segi waktu,
tenaga dan anggaran, sekalipun tidak pasti menentukan, harus
kaku, dan mengikat.

Pembangunan Masyarakat Madani adalah: Kemampuan para


pengambil keputusan untuk membentuk atau membentuk kembali
lingkungan mereka secara total (politik, sosial, ekonomi, administasi,
pendidikan, dsb) melalui mobilisasi berbagai sumber daya nasional
dan dibimbing oleh suatu ideologi yang mereka yakini dengan kuat
menuju terbentuknya suatu masyarakat yang beradab dan
berperadaban tinggi sehingga mencapai otoritas kemandirian yang
dapat mempengaruhi setiap kebijakan negara dalam pengambilan
keputusannya demi terwujudnya negara yang kuat, adil, makmur dan
sejahtera.

Karakteristik Masyarakat Madani tercermin dalam sejumlah


substansinya yang sangat universal dan integral. Karakteristik-
karakteristik ini dapat dibagi menjadi dua kategori :

Pertama: Karakteristik Primer. Yaitu karakteristik yang sangat vital


dan mendasar yang menjadi landasan dan jaminan lahirnya
karakteristik lain:
1. Masyarakat Intelektual. Karakteristik ini merupakan sifat dasar
yang terkait dengan pemenuhan aspek kognitif yang menjadi
perhatian utama dari komponen pendidikan. Oleh sebab itu,

187
mencerdaskan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional
setiap bangsa tersebut.
2. Masyarakat Spiritual. Karakteristik ini adalah aspek afektif yang
juga menjadi perhatian utama komponen pendidikan. Aspek ini
akan memberikan kontribusi nilai mental yang sangat diperlukan
dalam pembangunan suatu masyarakat. Masyarakat spiritual
(muslim) akan melihat kemiskinan atau bencana dan musibah
yang menimpa sebagai proses pematangan kedewasaan diri.
3. Masyarakat Moral. Inilah karakteristik yang terkait erat dengan
aspek motorik yang menjadi bagian terpenting dari dunia
pendidikan. Aspek ini adalah aspek terluar dan sekaligus sebagai
standar ukur dan evaluasi keberhasilan suatu sistem dan proses
pendidikan. Karakteristik primer ini selanjutnya akan
mengantarkan mereka menjadi masyarakat yang santun, beradab
dan berperadaban sebagai ciri khas masyarakat madani.
4. Masyarakat Hukum. Yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi dan
menjadikan hukum sebagai panglima. Karena hukum dan kesadaran
hukum adalah lambang supremasi peradaban suatu bangsa, maka oleh
karena itu pendidikan harus dapat menjadikan hukum dan
kesadaran hukum sebagai mainstream komponen dan
programnya.
5. Masyarakat Berperadaban. Karakteristik ini adalah refleksi dari
masyarakat bermoral yang lebih menitikberatkan kepribadian di
tingkat individu. Sementara, peradaban adalah bentuk komprehensif di
tingkat kehidupan sosial sebagai integralisasi dan universalisasi seluruh
nilai moral yang merefleksikan inteletualitas, spiritualitas, dan hukum di
tataran pribadi individual. Karakteristik inilah yang menjadi potret
dan fakta sosial dari suatu masyarakat atau bangsa.

Kelima karakteristik tersebut selanjutnya dapat disederhanakan melalui


pendekatan relijius, dengan istilah masyarakat relijius (baca; masyarakat
Islami). Yaitu masyarakat yang merefleksikan tatanan dan sistem atau cara
hidup (way of life) yang integral sebagaimana yang terdapat dalam ajaran
agama (baca: Islam).

Kedua: Karakteristik Sekunder. Yaitu karakteristik yang tidak kalah


penting dan mendasarnya, karena jika aspek-aspek karakteristik ini

188
tidak terbentuk maka sifat masyarakat madani yang dimaksud masih
akan mengalami cacat dan buruk citranya.
1. Masyarakat demokrat. Yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi
dan membudayakan sikap demokratis yang mampu
mengakomodasi seluruh fakta sosial dengan segenap
keragamannya. Pendidikan Islam merintis budaya demokratis ini
dengan menghidupkan budaya syura dan istisyarah (musyawarah
dan konsultasi) dalam setiap pengambilan kebijakannya.
2. Masyarakat moderat. Yaitu masyarakat yang terdiri dari, dikelola,
dan dipimpin oleh pribadi-pribadi yang berwawasan dan
bersikap jujur, adil, dan proporsional. Moderat berarti bersikap
di tengah-tengah dan tidak ekstrim dan berlebihan dalam sikap
maupun tindakan. Namun juga bukan berarti tidak memiliki
ketegasan, plin-plan apalagi hipokrit (munafiq atau ambivalen)
dalam setiap pengambilan keputusannya. Al-Qur’an menyebut
masyarakat ini dengan “ummatan wasatho” (ummat yang tengah-
tengah, adil atau the just nation).
3. Masyarakat Mandiri (independen) dan bertanggungjawag (responsible).
Yaitu masyarakat yang memiliki dan menghormati kebebasan
sebagai hak asasi manusia yang paling fundamental. Dengan
kebebasan ini masyarakat tersebut menjadi mandiri dan tidak
memiliki ketergantungan terhadap orang lain yang
membahayakan dirinya. Kompetensi ini selanjutnya membawa
mereka untuk berfikir proporsional dan adil bahwa hubungan
antar manusia yang menjamin kebebasan dan kemandirian itu
hanyalah dalam bentuk interdependensi (kesalingtergantungan) di
mana satu sama lain saling memerlukan dan diperlukan, bukan
dependensi (ketergantungan) sepihak yang secara perlahan berakibat
pada muncul, membudaya, dan melembaganya sistem
perbudakan. Inilah wujud dari pertanggungjawaban (responsibility)
masyarakat madani di tengah kebebasan dan kemandiriannya.
4. Masyarakat profesional. Yaitu masyarakat yang sangat menghargai
dan menghormati profesionalisme dengan menempatkan dan
memposisikan seseorang sesuai kemampuan, skil dan profesinya.
Sehingga hasil kerja setiap individu benar-benar optimal, rapi,
dan teliti.
5. Masyarakat reformis. Yaitu masyarakat yang setiap individunya
siap melakukan dan selalu berorientasi kepada kebaikan dan
189
perbaikan menuju kesempurnaannya. Dengan ide dan gagasan
cinta kebaikan yang ada dalam budaya pemikirannya mereka
menjadi masyarakat yang dinamis dan siap berubah dan merubah
demi perbaikan dan kebaikan yang dicita-citakannya.

Kelima karakteristik sekunder ini tidaklah mungkin terwujud secara


sempurna kecuali dengan prasyarat lima karakteristik primer
sebelumnya.

Adapun Model yang paling mampu mengakomodasi seluruh


karakteristik Masyarakat madani di atas adalah model masyarakat
pendidikan.
"Masyarakat pendidikan adalah setiap pertemuan dan hubungan antara
manusia yang menimbulkan situasi pendidikan dan dihayati sebagai
yang mewajibkan."

Perilaku pendidik ini diarahkan untuk memberi bantuan guna


memperbesar penguasaan daya hidup, meningkatkan
pemahaman bidang kerohanian dan pembentukan nilai-nilai
yang lebih tinggi serta menghidupkan kesadaran kesusilaan
yang lebih dalam, ringkasnya seperti dalam tujuan umum dari
proses pendidikan untuk "meningkatkan kepribadian pedidik.

Pendidikan adalah sistem alternatif yang melahirkan masyarakat, dan


masyarakat adalah komponen suatu negara yang paling bertanggung jawab
dalam keberhasilan sistem pendidikan.

Atau seperti yang dikemukakan Hasan Langgulung: “Pendidikan itu


salah satu lembaga sosial yang bersumber pada falsafah setiap bangsa
(baca masyarakat). Pendidikan itulah yang membawanya ke alam
ujud”.

Dengan demikian, Konsepsi Pendidikan Islam dapat diasumsikan sebagai


alternatif dan media unggulan untuk mewujudkan sebuah masyarakat ideal,
yaitu Masyarakat Madani. Untuk lebih definitif dan spesifiknya, asumsi
ini didukung oleh sejumlah data faktual, sebagaimana dikemukakan di
atas, yaitu:
190
1. Konsepsi Pendidikan Islam memiliki visi dan isi universal dan
Integral serta cukup definitif dalam sistem dan tujuan
pendidikannya.
2. Konsepsi Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang mampu
menyatukan seluruh komponen manusia dan kehidupan secara
sinergis, dan prosedur serta proses yang feasible dan predictable
dalam tujuan dan model kepribadian di tingkat individual dan
peradaban di tingkat sosial yang diinginkan.
3. Model dan karakteristik Masyarakat Madani dengan seluruh
komponen dan tuntutan-tuntutannya dapat diakomodasi oleh
Konsepsi Pendidikan Islam.

Pembangunan Masyarakat Madani dapat diketahui dan


dirumuskan dengan tiga pendekatan konsepsional, yaitu:

1. Konsepsi Historis
Ide dasar atau the grand Idea terbentuknya masyarakat madani, oleh
para cendekiawan, pemikir, dan ulama Islam, seringkali
digambarkan dengan masyarakat Madinah di masa Rasulullah,
shallallaahu alaihi wa sallam. Esensi mempelajari sejarah tidaklah
terfokus pada kronologi peristiwa yang terjadi pada suatu kurun
waktu tertentu. Tetapi bertujuan untuk menangkap dan
memformulasikan benang merah dan faktor-faktor universal kenapa suatu
bangsa itu besar dan agung atau jatuh dan runtuh.

Secara global, masyarakat Madinah dibentuk dan dibangun


dalam dua fase:

Pertama: fase Makkiyyah. Yaitu fase yang secara integral


diorientasikan kepada terbentuknya SDM yang berkepribadian
Islami. Proses fase ini berjalan dengan tahapan pembangunan
kompetensi berikut:
1. Pembangunan kompetensi intelektual. Bertitik tolak dari
perubahan kondisi jahiliyyah kepada kondisi yang serba
intelektual dengan visi dan misi yang jauh dan jelas menuju
pencerahan masa depan.

191
2. Pembangunan kompetensi spiritual. Ditindaklanjuti
dengan proses pembentukan spiritualitas yang kokoh dengan
kekuatan aqidah dan keyakinan yang objektif menuju
terbentuknya kepercayaan diri yang kaya dengan ketulusan
dan kejujuran, dan
3. Pembangunan kompetensi moral. Direfleksikan dalam
bentuk moralitas yang indah dengan akhlaq yang terpuji dan
mempesona.

Semua proses ini berjalan dalam bentuk pendekatan yang lebih


bersifat kultural sehingga terbentuk budaya dan perilaku islami
termasuk dalam keluarga dan komunitasnya.

Ke dua: fase Madaniyyah. Yaitu fase terbentuknya masyarakat


dalam bentuk sebuah negara yang lebih beradab dan lebih bersifat
struktural dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Pembangunan Institusi. Struktur ini direfleksikan dengan
pembangunan masjid sebagai sarana beribadah (hablum
minallah) dan sekaligus sebagai sarana pendidikan (madrasah)
dan interaksi sosio-kultural dan sosio-politikal (hablum
minannas).
2. Ikatan konsolidasi. Struktur ini dilakukan dengan konsep
mu´akhoh (mempersaudarakan) terhadap potensi ukhuwwah
islamiah yang telah mereka miliki sebagai suatu kebiasaan
hidup sehari-hari di tingkat kehidupan individu.
3. Peyusunan konstitusi. Struktur ini dilakukan dengan
disusunnya Piagam Madinah yang dalam sejarah perundang-
undangan dunia dianggap sebagai “The first written constitution
in the World”. Konsitusi Madinah dimaksudkan untuk
mengikat komitmen sosial antara internal kaum muslimin
sendiri, seperti antara kaum muhajirin dan anshor, antara
suku-suku anshor, dan antarkaum muslimin dan nonmuslim,
seperti yahudi.
4. Pembangunan Kekuatan Militer dan mental militeristik.
Mental ini diperlukan dan dimiliki setiap warga negara saat
itu, untuk memelihara dan mengamankan negara, sebagai
tanggung jawab bersama. Sementara struktuk kekuatan
militer diperlukan baik dalam misi defensif sebagai upaya
192
menangkal bahaya dan ancaman eksternal, maupun misi
ofensif sebagai upaya membuka tirani kekuasaan dan militer
yang menghalangi da`wah Islamiyyah.
5. Pelembagaan hukum dan etika. Proses ini berjalan
sepanjang sejarah madaniyyah selama kurang lebih sepuluh
tahun. Pembangunan hukum dan etika diperlukan untuk
menata masyarakat sehingga memiliki peradaban tertinggi
dan mulia.

Seluruh proses ini dilakukan dengan pendekatan struktural


sehingga lebih cepat terlihat keberhasilannya. Karena seluruh
elemen kehidupan dapat terwujud secara kongkrit dan terlindungi
oleh kebijakan negara. Masyarakat dalam tatanan struktural
seperti ini pada akhirnya dapat merasakan perlindungan,
keamanan dan kesejahteraan yang lebih optimal.

2. Konsepsi Konstitusional

Pendekatan konsepsional ini mengacu kepada mashdar (sumber)


konstitusional utama ummat Islam dalam menata kehidupannya
yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Wujud suatu masyarakat yang
memiliki karakteristik yang khas dan unik adalah masyarakat qur’ani
refleksi dari kepribadian Pendidiknya, Rasulullah, shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang berakhlaq qur’ani.

Secara obyektif, generasi qur’ani tidak lain adalah suatu generasi


yang mencintai kebaikan, kebenaran dan keadilan sebagai jaminan
hidup dengan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber dan acuan
kebenaran pikiran (kognitif), rasa (afektif) dan sikap prilaku (psiko
motorik)nya. Karena mereka sadar bahwa ilmu manusia tidak akan
lepas dari karakter kemanusiaanya sebagai makhluq yang serba
terbatas ruang dan waktu, di mana dan kapan saja mereka berada.
Sedangkan Allah Yang menurunkan kitab-Nya adalah The
Supreme, Yang Maha Tahu dalam segalanya.

Keunggulan SDM ditentukan oleh apa yang melekat dalam


dirinya, yang diekspresikan dalam kematangan dan kesempurnaan
kepribadian. Dan kesempurnaan suatu acuan sebagai dasar
193
pembentukan SDM sangatlah menentukan kesempurnaan
tersebut. Di tengah pencarian acuan dan konsep pembentukan ini,
al-Qur’an hadir sebagai acuan kongkrit yang menjanjikan
kepuasan. Baik kepuasan intelektual, spiritual maupun moral.
Keberadaan al-Qur’an telah teruji sepanjang sejarah
diturunkannya.

Proses Pembentukan Generasi Qur’ani, didasarkan pada ayat


berikut:

“Sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul di antara kamu, yang


membacakan kepada kamu sekalian ayat-ayat Kami, membersihkan kamu,
mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), dan
megajarkan kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui. “ (QS.
2: 151).

Ayat ini memformulasikan sistematika pembentukan manusia


qur’ani dalam empat tahapan dan proses yang dapat dilakukan
secara simultan:

Pertama: Proses pembacaan (Penguasaan Informasi). Ini


adalah langkah pertama proses pembelajaran. Untuk itu
“membacakan ayat-ayat” mengisyaratkan kepada penguasaan
informasi yang sudah terumuskan. Oleh karena itu penguasaan
nama-nama: benda, sifat dan pekerjaan, berarti penguasaan
terhadap rumusan-rumusan dan tanda-tanda (ayat-ayat) dari segala
bentuk dan jenis kehidupan yang pertama kali diajarkan Allah
kepada manusia pertama “Dan Dia telah mengajarkan kepada Adam
nama-nama seluruhnya”. (QS.2:31).

Kedua: Proses penyucian (Purifikasi). Proses pembersihan


yang diisyaratkan dalam ungkapan ayat “dan membersihkan kamu”
ini sangat diperlukan dalam menetralisir pemikiran, perasaan dan
moral dari muatan-muatan negatif yang akan mengganggu dan
merusak jaringan hidup manusia. Dengan demikian maka potensi-
potensi manusia akan teroptimasi ke arah dan tujuan yang lebih
efektif dan efisien.

194
Ke tiga: Proses pengajaran (Penguasaan Epistemologi dan
Methodologi Ilmu Pengetahuan “sciences” dan
Kebijaksanaan “wisdom”). Penguasaan bidang-bidang ini
merupakan langkah jauh dari proses pembentukan generasi
manusia agar lebih siap dalam menghadapi dan menjalani
kehidupannya. Memahami ilmu tentang asal-usul (epistemolosi)
Ilmu Pengetahuan diperlukan untuk mengetahui sources “sumber-
umber” murni dan dapat dipertanggungjawabkan sisi keilmiahan
dan argumen-argumen yang mendukungnya. Dan penguasaan
methodologi Ilmu diperlukan dalam upaya memahami cara
bagaimana ilmu pengetahuan itu dirumuskan menjadi formula
kehidupan yang dapat dipelajari dan diterapkan.

Ke empat: Proses Penguasaan Informasi dan Masalah-


masalah Baru dan Dinamis. Ini diisyaratkan dalam ungkapan
“dan mengajarkan kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui”.
Proses ini merupakan langkah antisipatif terhadap masa depan dan
dinamika kehidupan yang terus berkembang. Penguasaan
informasi masalah-masalah yang belum pernah diketahui terutama
oleh bangsa lain adalah cara terbaik dalam mengungguli dan
mendahului seseorang dan bangsa tersebut sehingga siap
berkompetisi dalam meraih peluang masa depan.

Pembentukan Masyarakat Madani, masih mengacu kepada


sejarah Masyarakat Madinah. Proses pengintegrasian SDM di atas
dibimbing langsung oleh Allah dengan suatu guideline yang
esensinya terpusat pada paradigma terbentuknya ummatan
wasatha dengan tahapan proses sebagai berikut:

1. Kesatuan pemikiran, orientasi dan visi sebagai ikatan


dasar konsolidasi dan institusi. Lihat ayat; 142-146, 168-
150).
2. Kemurnian referensi sebagai dasar terbentuknya
konstitusi, hukum dan etika. Lihat ayat; 147.
3. Kesiapan kompetensi sebagai dasar persaingan di
tataran aksi. Lihat ayat; 148.

195
Semua tahapan proses ini dilakukan dengan dua
pendekatan:
Petama: pendekatan kultural yang berorientasi membentuk
kesadaran dan habit (kebiasan) hidup yang selalu interaktif dan
kondusif dengan Islam. Di tataran individu pendekatan ini lebih
difokuskan pada terbentuknya kepribadian Islami (Syakhshiah
Islamiyyah), sedangkan di tataran masyarakat dan negara
diorientasikan ke arah terbentuknya peradaban Islam (Hadlarah
Islamiyyah).

Ke dua: pendekatan struktural yang berorientasi membentuk


sebuah masyarakat yang terstruktur dengan sebuah otoritas dan
konstitusi yang lebih berdaulat. Dalam proses selanjutnya
masyarakat ini diarahkan kepada sistem yang lebih mandiri dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan terbentuknya sistem
kepemimpinan Khilafah Islamiyyah.

3. Konsepsi Operasional

Islam dan ummatnya siap rnengkontribusikan visi dan gagasan


terbentuknya masyarakat madani dalam paradigma-paradigma
operasional sebagai berikut:

Pertama: Paradigma aqidah ideologis. Ummat Islam mengenal dan


membangun dirinya atas kebebasan dan tanggungjawab (Freedom
and Responsibility) tertinggi dalam hidupnya kepada Allah.
Ideologi aqidah Islamiah menawarkan dan menjanjikan ridlo Allah
jauh lebih berarti dan berharga bahkan lebih murah costnya dari
jenis imbalan dunia sebesar apapun.

Dampak substansial dan fundamental dari paradigma aqidah ini


adalah terbentuknya "a power of indedependent society". Yang menurut
Ryaas, (masyarakat) yang tidak mengenal sebentar-sebentar minta
restu atau minta petunjuk. Budaya minta restu dan petunjuk,
lanjutnya, merupakan gejala dependensi (ketergantungan) yang
tinggi yang dengan sendirinya mematikan kreativitas.

196
Ke dua: Paradigma Konstitusional. Berdasarkan rumusan yang final
dan sempurna yaitu al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagai dua
sumber; nilai, hukum dan etika konstitusional yang telah terbukti
sepanjang perjalanan sejarah manusia dan selalu melahirkan
mereka menjadi bangsa-bangsa besar dengan peradabannya yang
agung, Fakta historis ini perlu dijadikan dasar pertimbangan untuk
memberikan kesempatan kepada ummat Islam untuk
mengkontribusikan setiap pemikiran dan sikap konstitusional dan
ideologisnya berdasarkan kebenaran yang mereka yakini sebagai
impelementasi dari petunjuk dan pedoman robbani-nya.

Ke tiga: Paradigma intelektual. Kedewasaan intelektual setiap elemen


bangsa adalah akar terbentuknya masyarakat madani. Kedewasaan
ummat Islam secara intelektual terbentuk melalui proses
interaksinya dengan nilai-nilai al-qur'an.

Proses ini menjangkau seluruh kalangan Ummat, baik kecil


maupun dewasa, pria maupun wanita. Karena Qur'an sebagai
kitab bacaan telah tersosialisasikan di seluruh kalangan ummat
secara pendekatan persuasif kultural-relijius. Dengan demikian
pemerataan intelektual dengan standar wawasan paling dasar di
kalangan ummat Islam telah terwujud melalui tanggung jawab
relijius (agama). Paradigma inilah yang telah dan akan melahirkan,
masih menurut Ryaas, "revolusi intelektual, yakni suatu kesadaran
bahwa kita adalah warga negara independen yang mempunyai hak
dan kewajiban.

Ke empat: Paradigma spiritual. Refleksi dari kematangan dan


ketajaman intelektual adalah kedewasaan spiritual. Paradigma ini
terbentuk dari proses pengalaman ruhani setiap muslim yang
kommit dengan din dan aqidah-nya. Mereka terlatih untuk
memikirkan dan meyakini adanya kompensasi (imbalan) dari Allah
dan alam ukhrawi sebagai nilai yang paling tinggi. Baik aqidah
maupun al-Qur'an membimbing Ummat Islam untuk memiliki visi
jauh ke depan sampai menembus batas-batas kepentingan duniawi
yang lebih cenderung materialistik.

197
Ke lima: Paradigma Moral. Nilai-nilai moral adalah ujung tombak
yang bersifat aksi sebagai refleksi dari visi dan misi Ummat Islam.
Kecantikan dan keindahan moral adalah bukti kinerja setiap
manusia. Di tataran inilah kita mengukur komitmen, ketulusan,
keseriusan dan kejujuran seseorang dalam setiap pemikiran dan
program yang ditawarkannya dalam menata kehidupan termasuk
dalam usahanya membangun masyarakat madani.

Proses Pendidikan Islam dalam Pembentukan Masyarakat Madani:

Sebagaimana diakui sosiolog agama Robert N. Bellah, masyarakat


muslim klasik yang dipimpin Rasulullah SAW ini adalah masyarakat yang
sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah membuat
lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik,
sehingga tetap dan sangat aktual untuk menjadi acuan dalam shift paradigm.
(Ahmad Hatta, Republika, Online, 19 Mei 1998, mengutip Beyond
Belief, 1976).

Pembentukan masyarakat madani, mengacu kepada pengalaman


historis Rasulullah SAW dan ummatnya, dapat dibagi kepada dua
fase:

Pertama, fase pendidikan Individu Madani (Sumber Daya


Manusia). Fase ini digulirkan dengan suatu proses transformasi dua
sistem; da'wah dan tarbiah (pendidikan) integral dengan target
terbentuknya kepribadian Islami (syakhshiyah islamiyyah) dan generasi
qur'ani yang meliputi tiga pembentukan kompetensi sebagaimana
tersebut di atas:

1. Kompetensi Intelektual. Keunggulan ini ditransforrnasikan


dengan proses pembacaan ayat-ayat Allah (yatluu alaikum
ayaatinaa,..wa yu'alimukumul kitaaba wal hikmata, .. wa
yu'allimukum maa lam takuunuu ta'lamuun. QS.2:15 1).
Dengan demikian transformasi intelektual meliputi Qur'aniah
sebagai pedoman ta'shili atau orisinalisasi pemikiran normatif dan
Kauniah sebagai acuan ilmiah atau dinamisasi kehidupan yang lebih
pragmatis.
198
2. Kompetensi SpirituaL Kompetensi ini diproses melalui sistem
dan mekanisme purifikasi (tazkiah, "wayuzakkikum " QS.
2:151) yang meliputi pembentukan motivasi (niat yang
ikhlash), jiwa yang handal dan mental dan tangguh.
Keimanan dengan ma'kna dan dimensinya yang utuh dan
sempurna telah dan akan terus melahirkan spiritualitas yang
agung seperti ini.
3 . Kompetensi Moral. Yang dibangun sebagai konsekwensi logis
dan bukti komitmen terhadap intelektualitas dan
spiritualitasnya. Kepribadian terluar ini adalah tataran aksi
yang menjadi perwujudan kongkrit dari seorang muslim yang
menjadi agent of change (agen perubahan) dengan status dan
misinya sebagai rahmatan lil'alamin.

Kedua, fase pendidikan Masyarakat Madani. Proses


transformatif dari kondisi individual kepada masyarakat ini
dilakukan melalu tahapan-tahapan sebagai berikut:

1 . Pembangunan Institusi, yang digulirkan melalui Lembaga Mesjid


atau lembaga lain yang berfungsi sebagai tempat 'Ibadah
ummat Islam (sebagai proses menjalani purifikasinya), pusat
pendidikan dan kederisasi sekaligus sebagai Majlis (parlemen)
untuk berkumpul dan Syura.
2. Konsolidasi, yang diwujudkan dalam program dan deklarasi
muaakhaah (mempersaudarakan) antara berbagai kelompok
yang ada. Langkah ini sangat efektif dalam membangun
solidaritas yang tinggi di kalangan masyarakat pluralistik yang
diperlukan betul sebagai jalinan terwujudnya masyarakat
madani. Efektifitas ini juga berhasil mengatasi jarak sosio-
kultural dan ekonomik sehingga berhasil menciptakan
egalitarianisme dalam bidang ekonomi.
3. Deklarasi Konstitusi, yang mengatur hubungan seluruh elemen
negara yang cukup pluralistik. Baik antara internal kaum
muslimin yang terdiri dari berbagai kelompok; atau antar
kalangan non muslim. Berbagai lintas pluralistik ini, agama,
suku dan ras, mampuh dimanaj dan dikelola dalam sebuah
Konstitusi (seperti Piagam Madinah) yang sangat demokratis,
cukup aspiratif dan sangat akomodatif.
199
4. Pembangunan Militer. Masyarakat yang berjiwa militer yang siap
menjaga, memelihara dan melindungi negara dan bangsa dari
setiap kemungkinan bahaya perang. Masyarakat ini tentu saja
mencerminkan masyarakat madani yang memiliki etika dan
hukum yang menjanjikan keadilan dalam setiap manuver-
manuver kebijakan militernya.
5. Pembangunan bidang hukum dan etika, yang dimulai dari
pendekatan kultural dengan orientasi membangun kesadaran
hukum sampai pendekatan struktural yang beroientasi untuk
menegakkan keadilan hukum. Pembangunan sektor hukum
ini adalah lambang supremasi peradaban suatu bangsa yang
menjadi standar ukur keberhasilannya dalam membangun
masyarakat madani yang demokratis.

Saran-saran:

Dari kesimpulan di atas, penulis dapat merumuskan beberapa


saran yang kondusif bagi pengembangan penelitian ini dan
sekaligus mengusulkannya sebagai kontribusi terakhir, sebagai
berikut:

1. Penelitian ini masih perlu disempurnakan, dan sekaligus dapat


diusulkan untuk dijadikan tema dan topik utama kajian-kajian
intelektual khususnya bagi para mahasiswa dan cendekiawan
muslim. Terutama bagi riset di tingkat dan jenjang studi pasca
sarjana, mengingat tema ini sangat signifikan dengan
perkembangan masyarakat kontemporer baik nasional maupun
internasional, khususnya ummat Islam.

2. Kajian dan penelitian tentang pendidikan dan masyarakat,


khususnya masyarakat madani, merupakan kajian yang sangat
aktual, integral dan sangat universal. Oleh karena itu, kontribusi
para intelektual, ulama dan cendekiawan muslim khususnya,
sangat diperlukan dan demikian besar pengaruhnya dalam
menentukan pola dan model blue print (cetak biru) masyarakat
yang akan memimpin dunia atau suatu bangsa di masa datang,
khsususnya dalam memasuki milenium ke tiga.
200
3. Formulasi konsepsional dan operasional sampai model
masyarakat madani dalam perspektif Islam adalah bukti
pragmatik yang lebih mampuh merepresentasikan bahwa Islam
dapat dirasakan dan dilihat sebagai rahmatan lil ‘aalamiin. Bukan
sekedar konsepsi normatif yang sering diposisikan sebagai ajaran
langit yang sulit direalisasikan atau dibumikan. Oleh karena itu
lembaga dan para penanggung jawab Pendidikan Islam,
berkewajiban untuk mengelaborasi seluruh tuntutan ini karena
merekalah peletak dasar tujuan dan arah suatu pendidikan yang
menjadi core competence suatu masyarakat.

4. Operasinalisasi konsep masyarakat madani dalam perspektif


pendidikan Islam dapat dimulai dengan membangun dan
menciptakan kelompok-kelompok madani yang kecil, seperti
keluarga, lingkungan pendidikan atau perkampungan dan
perumahan madani dengan karakteristik-karakteristik tersebut di
atas.

5. Pemasyarakatan al-Qur’an dan as-Sunnah berikut Sirah


Nabawiyahnya, sebagai pedoman dan acuan utama pendidikan
masyarakat madani, dapat dijadikan sebagai kebijakan setiap
lembaga pendidikan atau perhatian kalangan para pendidik,
bahkan selanjutnya harus didukung kebijakan politik pendidikan
nasional, khususnya bagi kalangan “masyarakat pendidikan”
muslim. Karena mereka, sebagai mayoritas penduduk, sangat
menentukan model inti dari masyarakat Indonesia yang
sesungguhnya.

Tulisan yang singkat dan sederhana ini, tentu saja sangatlah jauh dari
kesempurnaan dan ketepatan. Namun demikian, semoga kontribusi
penulis dan seluruh pihak dan kalangan yang terlibat baik langsung
atau tidak langsung dalam penyusunan tulisan ini mendapat manfaat
dari sisi Allah, subhaanahuu wa ta’aalaa, yang mengantarkan mereka
kepada ridlo-Nya. Selanjutnya, semoga usaha ini mendapat perhatian
dan penghargaan dalam bentuk kritik, saran atau pemanfaatan sesuai
dengan nilai dan manfaat yang terdapat di dalamnya.

201
Billaahi at-Taufiiq wal hidaayah. Wa aakhiru da’waanaa al-hamdu
lillaahi Rabbil ‘aalamiin.

202
The Grand Design of

Muslim Visioner
(Membangun dan Mengembangkan Visi
Seorang Muslim dalam Perspektif Surah al-
Fatihah)

Lampiran:
1. Pedoman Perencanaan Strategis
2. Model Masyarakat Pendidikan
3. Prroposal Sekolah Islam (Islamic Research School)

203
PEDOMAN STRATEGIC PLANNING
MUSLIM VISIONER

Diadaptasi dari buku George L. Morrisey, Jakarta: Prenhallindo,


1997, berjudul MORRISEY DAN PERENCANAAN:
I. Pedoman Pemikiran Strategis, Membangun Landasan
perencanaan Anda
II. Pedoman Perencanaan Jangka Panjang, Menciptakan
Perjalanan Strategis Anda
III. Pedoman Perencanaan Taktis, Membuahkan Hasil
Jangka Pendek Anda.

PEDOMAN PEMIKIRAN STRATEGIS :


MEMBANGUN FONDASI PERENCANAAN ANDA
Oleh George L. Morrisey

GARIS BESAR
Secara umum, akan dibicarakan tentang segala sesuatu tentang
perencanaan dari proses, strategi sampai aksi, hingga tercapai
tujuan yang diinginkan. Ada tiga tema sentral di dalamnya yaitu:
1. Pemikiran Strategis
2. Perencanaan Strategis/Jangka panjang
3. Perencanaan Taktis

PEMIKIRAN STRATEGIS
• Amat bersandar pada intuitif, porsi analitis hanya sedikit
• Mengarah pada perspektif

Pemikiran strategis adalah koordinasi pemikiran-pemikiran


kreatif menjadi suatu perspektif bersama yang membawa
organisasi atau diri Anda melangkah ke depan dengan sikap
yang jelas.

204
Tujuannya: mengeksploitasi tantangan kini dan yang akan
datang serta mempersiapkan diri untuk kemungkinan tersebut.

PERENCANAAN STRATEGIS
• Seimbang antara intuitif dan analitis
• Mengarah pada posisi

Perencanaan strategis adalah mengembangkan kesepakatan-


kesepakatan hasil pemikiran strategis untuk menangani masalah.

Tujuannya: ekstraplorasi sejarah, pemroyeksian hasil masa


depan berdasarkan pengalaman kini dan masa lampau (cetak
biru rencana).

PERENCANAAN TAKTIS
• Amat bersandar pada analitis. Intuisi sebagai pengecek dan
penyeimbang.
• Mengarah pada performa

Perencanaan taktis adalah keterlibatan terus-menerus seluruh


komponen inti Anda (akal pikiran, hati nurani dan fisik) untuk
menghasilkan rencana bagi keseluruhan diri maupun unit-unit
kehidupan.

Tujuannya: Memastikan bahwa performa diri terorganisasi


untuk membuahkan hasil jangka pendek konsisten dengan arah
strategis diri dan pemanfaatan sumber yang ada seefektif
mungkin.

PEMIKIRAN PERENCANAAN PERENCANAAN


STRATEGIS STRATEGIS TAKTIS

PRESPEKTIF POSISI PERFORMA


• nilai-nilai • area strategis • area hasil kunci
205
• misi kunci • analitis isu
• visi • analitis kritis kritis
• strategi • sasaran jangka • indikator kerja
panjang kunci
• rencana • rencana
tindakan tindakan
strategis • peninjauan
rencana

 Pemikiran strategis penting, karena:


1. Merupakan pemikiran yang sehat.
2. Agar efektif (visi yang jelas dan arah yang konsisten)
3. Visi organisasi diri berdasarkan intuitif (si pembuat
langsung melihat dan merasa)
4. Masuknya nilai-nilai, misi dan strategi yang berdasarkan
pada intuitif
5. Adanya pencapaian kesepakatan-kesepakatan

 Perencanaan Strategis penting, karena:


1. Membawa kita tetap terfokus pada masa depan dan
masa kini
2. Memperkuat prinsip-prinsip yang ada dalam misi, visi
dan strategi
3. Mendorong perencanaan dan komunikasi lintas
fungsional
4. Membangun jembatan untuk proses jangka pendek
5. Mendorong diri untuk melihat perencanaan dari
perspektif makro
6. Menghemat waktu, mengurangi konflik dan
meningkatkan daya juang

Jadi perencanaan strategis/jangka panjang ini merupaka proses


mempersatukan tim management diri untuk menerjemahkan
visi, misi dan strategi menjadi hasil yang nyata dimasa depan.
206
 Perencanaan taktis penting, karena :
1. Menerjemahkan pemikiran strategis dan perencanaan
jangka panjang menjadi hasil-hasil khusus yang bisa
diukur.
2. Membangun tim sehingga tiap orang akan merasa
memiliki
3. Merupakan pelaksanaan rencana jangka pendek dan
memastikan tetap pada komitmen semula
4. Penekanan pada pengambilan keputusan berdasarkan
data
5. Lebih terfokus pada intern organisasi diri
6. Mempunyai rentang waktu 1 tahun
7. Dapat digunakan sebagai proses yang terus -menerus .
8. Merupakan sumber informasi vital sebelum persiapan
anggaran
9. Dapat digunakan secara efektif oleh perseorangan, unit
kerja, departemen, divisi bahkan keseluruhan organisasi.

I. PEMIKIRAN STRATEGIS
nilai-nilai, visi, misi, strategi

☻ NILAI-NILAI
Nilai adalah keyakinan filosofis Anda yang bertugas menuntun
diri Anda untuk meniti perjalanan yang berhasil.
1. Membuat kesepakatan nilai-nilai strategis diri (ada yang
sudah ada dengan sendirinya ada yang perlu diciptakan).
2. Susun nilai-nilai tersebut, dimulai dengan yang paling besar
maknanya (mis. 1-10)
3. Lakukan assesmen terhadap nilai strategis tersebut, penting
- tidak penting.
4. Gunakan daftar nilai strategis sebagai acuan siap pakai pada
saat kita mengembangkan misi, visi dan strategi dan untuk
mengambil keputusan.
207
☻ MISI
Misi adalah konsep keseluruhan diri.

Dibandingkan dengan visi, misi lebih komprehensif. Hal-hal


yang tercakup dalam misi:
1. Konsep diri
2. Sifat usaha
3. Alasan keberadaan diri
4. Pihak-pihak yang dilayani
5. Prinsip dan nilai yang dijadikan pegangan saat kita
menjalankan diri.

Mengapa kita perlu misi ?


1. Untuk tetap mempertahankan konsistensi dan kejelasan
tujuan untuk keseluruhan diri.
2. Memberikan kerangka acuan
3. Wujud komunikasi yang jelas mengenai sifat dan konsep
usaha diri untuk mendapatkan komitmen.
4. Untuk memperoleh pengertian dan dukungan dari orang-
orang di luar diri Anda.
5. Pernyataan misi bersifat konseptual, berskala luas dan
komprehensif.

Jadi pernyataan misi harus menjadi dokumen yang jelas yang


memungkinkan semua komponen dalam diri tersebut
memfokuskan upayanya dengan sikap yang mendukung tujuan
keseluruhan diri.

Dari pernyataan misi yang jelas, padat dan komprehensif, ia


kemudian dijadikan dasar untuk pernyataan-pernyataan peran
dan misi dari unit-unit yang lebih kecil di dalamnya.

208
Setiap unit harus memiliki pernyataan peran dan misi sendiri.
Beberapa alasan yang menyebabkan hal itu adalah:
1. Untuk memastikan bahwa semua pekerjaan penting telah
dipenuhi.
2. Untuk mengurangi duplikasi upaya
3. Untuk memastikan bahwa anggota dalam diri tersebut jelas
terhadap misi diri
4. Untuk memastikan adanya upaya yang dicurahkan pada
pekerjaan sehingga memberikan kontribusi pada diri
5. Untuk mengurangi kemungkinan pertentangan hukum
6. Sebagai forum untuk mendialogkan permasalah yang
muncul berkaitan dengan misi diri

Mempersiapkan pernyataan unit (contoh unit pemikiran,


unit spiritual dan emosional, dan unit prilaku dan moral):
1. Identifikasi misi keseluruhan diri
2. Identifikasi peran dan misi yang menaungi unit
3. Siapkan konsep dasar
4. Periksa konsep pernyataan tersebut secara teliti dan
obyektif
5. Kaji konsep secara mendalam dengan pihak-pihak yang
terkait.

☻ VISI
Visi dan misi sangat berkaitan erat, mana yang lebih dulu, itu
seperti pertanyaan situasi 'ayam dan telur'.

Kesimpulan penulis menunjukkan bahwa untuk kebanyakan


orang ada manfaatnya rnemisahkan antara misi dan visi.
Visi adalah seperti apakah penampilan diri Anda di masa depan.
Jadi visi merupakan suatu representasi dari keyakinan mengenai
bagaimanakah seharusnya diri Anda di masa depan dalam
pandangan orang-orang yang terkait baik langsung maupun

209
tidak (orang tua, suami/istri, anak-anak, saudara, masyarakat
dll).

Awal dari visi adalah intuitif. Visi merupakan perkembangan dari nilai
dan keyakinan Anda. Visi yang baik:
1. ringkas, kurang dari 10 kata
2. menarik perhatian dan mudah diingat
3. memberi inspirasi dan tantangan bagi prestasi di masa
depan
4. dapat dipercaya. konsisten dengan nilai strategis misi
5. merupakan titik temu dengan semua orang yang penting di
sekitar Anda
6. menyatakan esensi apakah seharusnya diri Anda
7. fleksibel dan kreatif dalam pelaksanaan

Visi -------- visioner, free sight, core competerncies

Visi sebaiknya selalu dikomunikasikan, disosialisasikan dan


diiklankan dalam berbagai bentuk cantuman (di kop surat,
hiasan dinding, souvenir dll.) agar visi tersebut selalu diingat
dan dijadikan sumber inspirasi.

☻ STRATEGI
Strategi adalah pelengkap alamiah bagi misi dan visi.

Yaitu suatu proses untuk menentukan arah yang perlu dituju


oleh diri dalam memenuhi misinya.

Strategi perlu dan penting dirumuskan dengan jelas, karena


strategi :
1. memberikan dasar yang logis sehingga keputusan yang
diambil terfokus pada arah yang benar.
2. menghindari kekeliruan arah
3. memperkuat misi dan visi

210
4. menuntun pada kesepakatan bersama
5. menghemat waktu dan upaya
6. meningkatkan laba atas investasi dalam hidup
7. meningkatkan minat orang lain kepada diri Anda
8. memberikan arah yang jelas bagi orang-orang yang penting
di sekitar Anda.

Tanpa strategi, Anda sering kali mengambil keputusan


berdasarkan perspektif operasional atau taktis daripada
perspektif strategis. Hal ini mengakibatkan diri Anda akhirnya
berjalan dengan arah yang berubah-ubah. Dengan
menggunakan pendekatan ---daya dorong arah strategis--- maka
kita akan terbantu untuk:
1. Mendefinisikan dan menentukan faktor-faktor strategis
yang ada, baik primer maupun faktor potensial lainnya.
2. Menetapkan faktor strategis berdasarkan urutan prioritas.
3. Menentukan daya dorong atau motivasi diri, baik pada masa
sekarang maupun yang akan datang.
4. Mengidentifikasi perubahan yang terjadi apabila terindikasi
adanya arah baru.
5. Memformulasikan pernyataan strategi yang menentukan
arah yang jelas bagi diri.

Jadi:
 Strategi ditujukan pada arah yang dituju di masa depan,
bukan cara untuk sampai kesana.
 Strategi mensyaratkan kita untuk melihat sesuatu di balik
yang sudah jelas untuk mendapatkan cara baru yang kreatif
dalam menghadapi tantangan di masa mendatang.
 Strategi dibentuk melalui penafsiran dan prioritas faktor-
faktor strategis yang mungkin akan berdampak pada semua
keputusan besar yang akan mempengaruhi masa depan diri
Anda.

211
 Strategi dapat dibentuk oleh pertanyaan terbuka yang
dirancang untuk memperluas pemikiran mengenai arah yang
seharusnya dituju oleh diri Anda.
 Strategi perlu dikaji ulang secara teratur, masih absah atau
perlu perubahan.
 Strategi adalah pendahuluan untuk menyusun rencana
jangka panjang.
 Strategi adalah proses terakhir dari bagian pemikiran
strategis dari proses perencanaan.

PEDOMAN PERENCANAAN JANGKA PANJANG:


MENCIPTAKAN PERJALANAN STRATEGIS
ANDA. By. George L. Morrisey
Selama bertahun-tahun perencanaan strategis dan perencanaan
jangka panjang dianggap sebagai sinonim.

Sayangnya, perencanaan jangka panjang yang dilakukan banyak


orang dan organisasi lebih menitikberatkan pada eksploitasi
masa lampau.

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya perencanaan jangka


panjang itu ?

a. Perencanaan jangka panjang


Adalah proses yang membawa diri Anda bersama-sama orang
lain untuk menerjemahkan misi, visi dan strategi menjadi hasil
yang nyata.

Dengan membuat perencanaan jangka panjang akan :


1. menghemat waktu
2. mengurangi konflik
3. mendorong rasa memiliki dan komitmen untuk berusaha
mewujudkan keinginan
212
Perencanaan jangka panjang penting karena:
• menjaga agar kita tetap terfokus ke masa depan
• memperkuat prinsip-prinsip yang termuat dalam misi, visi
dan strategi
• mendorong perencanaan dan komunikasi lintas
fungsional
• membuat prioritas kemana sumber daya akan diarahkan
• membangun jembatan bagi proses perencanaan taktis
jangka pendek
• mendorong diri untuk melihat perencanaan dari
perspektif makro, mengarahkan orang-orang di sekitar
diri Anda pada sasaran inti sehingga dapat berkontribusi
untuk mencapainya

b. Elemen-elemen yang terlibat dalam proses


perencanaan jangka panjang :

1. area strategis kunci


2. analisa isu krisis
3. sasaran jangka panjang
4. rencana tindakan strategis
5. peninjauan dan modifikasi rencana strategis

c. Siapa perencana jangka panjang ?


Perencanaan jangka panjang adalah proses yang membutuhkan
keterlibatan aktif seluruh pembuat keputusan kunci pada
berbagai tingkatan. Meskipun masa depan diri Anda secara
keseluruhan diarahkan oleh pribadi sendiri, orang-orang di di
sekitar Anda (seperti keluarga, teman dalam organisasi atau
pekerjaan) akan memainkan peranan penting dalam
menentukan posisi masa depan yang akan diraih. Lebih dari itu.
mereka akan menjadi implementator yang utama, yang akan
mewujudkan masa depan yang diinginkan.
213
Apabila Anda telah memiliki pernyataan misi, visi dan strategi
yang memuaskan, pengalaman penulis menunjukkan,
pembuatan rencana jangka panjang cukup dengan 2 kali
pertemuan diselingi 30-60 hari untuk memungkinkan seluruh
tim perencanaan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.

Selanjutnya bahasan akan kita fokuskan pada elemen-elemen


yang terlibat dalam proses jangka panjang.

1. AREA STRATEGIS KUNCI

Yaitu bidang-bidang utama yang harus menjadi fokus


perhatian koleklif untuk masa depan yang bisa
diramalkan/diduga.

Misi, visi dan strategi merupakan rangsangan awal yang paling


produktif untuk memulai untuk membahas area hasil kunci.

Dengan mencapai kesepakatan mengenai area strategis kunci,


akan membantu anda dan tim anda untuk :
1. memfokuskan bagian-bagian dari misi, visi dan strategi
2. mengindentifikasi dan membuat prioritas isu strategis kritis
yang menunjukkan SWOT organisasi anda ketika anda
mulai berjalan menuju pencapaian posisi masa depan yang
diinginkan.

Pedoman menentukan area strategis kunci :


1. Area strategis kunci umumnya harus mengidentifikasikan 5
hingga 8 bidang kategori utama yang menentukan posisi
masa depan organisasi atau unit anda yang harus dicapai.
2. Area strategis kunci harus mencakup baik bidang keuangan
maupun non keuangan

214
3. Area strategis kunci harus memfokuskan pada isu dan posisi
masa depan yang untuk mencapainya memerlukan usaha
beberapa tahun.
4. Area strategis kunci harus secara langsung maupun tidak
langsung mendukung pernyataan misi, visi dan strategi diri
anda
5. Area strategis kunci biasanya membutuhkan usaha lintas
fungsional
6. Setiap area strategis kunci merupakan pernyataan yang
terbatas, biasanya dua, tiga kata dan tidak bisa diukur tetapi
mengandung faktor-faktor yang mengarahkan pada
pencapaian di masa depan.

2. ANALISIS ISU KRITIS

Yaitu proses mengidentifikasi, membuat prioritas,


menganalisis dan meringkas isu-isu yang berkaitan dengan
peluang dan ancaman yang datang dari luar diri anda, serta
kekuatan dan kelemahan internal diri anda.

Mengidentifikasi dan menganalisis isu kritis akan memberi anda


data dan alasan rasional dalam menentukan prioritas strategis,
sasaran jangka panjang dan mempersiapkan rencana tindakan
strategis anda. Proses ini dicakup dalam proses yang
diistilahkan oleh Morrisey sebagai penilaian SLOT (strength,
limitation, opportunity, threats ).

Analisis isu kritis membantu anda untuk :


1. Membangun dasar informasi yang memungkinkan anda
untuk menetapkan sasaran jangka panjang dan rencana
tindakan strategis
2. Menentukan valid dan tidak validnya asumsi anda mengenai
masa depan

215
3. Memfokuskan pada isu-isu yang sedikit tetapi penting yang
akan memiliki dampak terbesar pada masa depan diri anda
4. Menghindari keputusan yang prematur
5. Mengurangi atau menghapus pengeluaran sumber daya
(manusia dan bahan) pada isu-isu yang potensinya rendah.
6. Membangun tim manajemen diri anda, dengan melibatkan
orang penting di sekitar anda, sebagai bagian dari proses
pegambilan keputusan
7. Menentukan pertanggungjawaban untuk tindakan yang
perlu diambil

Analisis isu kritis kelak juga akan kita jumpai pada pembahasan
perencanaan taktis, namun ada beberapa hal yang membedakan,
yaitu:

 analisis isu kritis dalam perencanaan jangka panjang


1. identifikasi dan pembahasan peluang masa depan
2. memfokuskan pada alasan-alasan yang mungkin untuk lebih
langsung membahas peluang
3. lebih melihat ke dalam yang belum diketahui/belum dieksplorasi
4. menuntut berfikir kreatif
5. berorientasi pada posisi masa depan
6. lebih membutuhkan perencanaan jika …… maka ……

 analisis isu kritis dalam perencanaan taktis


1. berorientasi pada masalah
2. memfokuskan pada sebab-sebab yang mungkin
3. Lebih banyak melihat ke teritori ycmg sudah lidak asing
4. berfikir pada apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa
dilakukan
5. berorientasi pada khusus

SLOT

216
Morrisey mengganti SWOT dengan SLOT, pada Weakness
(kelemahan) diubah menjadi Limitation (keterbatasan). SL dari
intern organisasi, OT dari ekstern organisasi.

Tindakan yang dilakukan untuk melakukan analisis isu kritis:


1. mengidentifikasi isu strategis potensial
2. membuat prioritas isu
3. menganalisis isu
4. meringkas isu

3. SASARAN JANGKA PANJANG

Adalah posisi strategis yang ingin anda raih pada waktu


tertentu di masa depan. Sasaran jangka panjang adalah
cara mendokumentasikan impian anda. Sasaran harus
bisa diukur dan diuji serta merupakan hasil spesifik yang
harus menjadi komitmen kita.

Sasaran jangka panjang dan susaran jangka pendek

Sasaran jangka panjang merupakan posisi masa depan yang


harus diraih. Sasaran jangka pendek merupakan hasil yang bisa
diukur, yang harus dicapai dalam rentang waktu perencanaan
taktis anda.

Sasaran jangka panjang mencakup proyeksi keuangan, karena


semua sasaran jangka panjang berimplikasi pada keuangan, dan
semua proyeksi keuangan harus didukung sasaran jangka
panjang yang lain.
Sasaran jangka panjang bisa ditetapkan tanpa perlu mengetahui
bagaimana mencapainya.

Sasaran jangka panjang bisa diturunkan secara langsung dari


area strategis kunci anda atau melalui proses analisis isu kritis.

217
Sebagai validasi vinal, periksa sasaran jangka panjang anda
dengan menguji setiap pernyataan menurut kriteria berikut ini:
1. Apakah bisa diukur atau diuji .
2. Apakah bisa dicapai atau layak.
3. Apakah fleksibel dan bisa diadaptasi.
4. Apakah konsisten dengan rencana strategis anda.

4. RENCANA TINDAKAN STRATEGIS

Yaitu langkah dan tahapan utama yang diperlukan untuk


bergerak menuju posisi masa depan yang telah
diproyeksikan.

Rencana tidakan strategis akan membantu kita untuk :


a. Menyatakan valid atau tidaknya kelayakan pencapaian
sasaran jangka panjang anda.
b. Memastikan bahwa tahapan-tahapan utama dalam rencana
tindakan strategis akan dilaksanakan dengan waktu dan
sumber daya yang memadai.
c. Menentukan di mana ada kaitan lintas fungsional.
d. Membentuk jembatan bagi sasaran taktis jangka pendek
dengan rencana tindakan.
e. Mengkomunikasikan harapan kepada mereka yang harus
berkontribusi untuk memungkinkan mereka
menyiapkan rencana tindakan mereka sendiri.
f. Menetapkan dasar untuk meninjau kemajuan menuju
pencapaian sasaran jangka panjang anda dan untuk tindakan
koreksi

Pohon Keputusan

Pohon keputusan adalah cara menggambarkan secara grafis dilema


anda untuk mengidentifikasi titik keputusan tertentu apakah anda
akan mengambil keputusan tersebut, mengubah atau tidak jadi.

218
Pohon keputusan juga dapat menghindari penutupan suatu isu secara
prematur. Bisa juga kita meninggalkan keputusan yang mengambang
sampai tersedia lebih banyak informasi mengenai bagaimana
berjalannya rencana.

Pohon Keputusan Sasaran


Jangka Panjang

Tindakan

Titik keputusan

Tindakan Tindakan Tindakan

Titik keputusan

Tindakan Tindakan Tindakan Tindakan Tindakan

Titik keputusan

Tindakan

Implementasi

219
Rencana tindakan strategis mencakup :
• peristiwa, fase dan pencapaian utama
• tanggung jawab utama dan tanggung jawab pendukung
(pada setiap langkah)
• jadwal (kapan suatu langkah harus dimulai dan
diselesaikan)
• sumber daya (sumber daya modal, pengoperasian, dan
manusia yang diperlukan untuk melaksanakan setiap
langkah)
• mekanisme umpan balik, bagaimana dan kapan mereka
perlu mengetahui informasi mengenai kemajuan
mendapatkan informasi yang dibutuhkan tersebut.

5. PENINJAUAN DAN MODIFIKASI RENCANA


STRATEGIS

Salah satu kegagalan dari banyak usaha perencanaan strategis


adalah kecenderungan untuk menyelesaikan rencana strategis
tersebut sebagai suatu peristiwa, kemudian meletakkannya
dalam rak dan melupakannya sampai seseorang menanyakan
atau harus membuat rencana lagi.

Pengalaman penulis menunjukkan bahwa keberhasilan


implementasi setiap rencana (strategis, taktis dll) sangat
tergantung pada kecermatan melakukan proses peninjauan
ulang rencana.

Peninjauan ulang rencana strategis secara teratur akan membantu anda


dan tim anda untuk:
 menyegarkan dalam ingatan mengenai visi, misi dan
strategi anda.

220
 memastikan aktivitas anda tetap konsisten dengan dan
mendukung misi, visi dan strategi.
 mengidentifikasi lingkungan (mis. terobosan teknologi)
yang mungkin mengubah arah strategis anda
 memfokuskan pada aspek rencana jangka panjang anda
yang perlu ditangani dalam waktu dekat.
 memastikan bahwa bagian-bagian dari rencana taktis yang
berkaitan dengan rencana jangka panjang
diimplementasikan secara etektif.
 mengidentifikasi informasi baru, terutama yang bisa
mengarahkan pada dilakukannya modifikasi.
 mengingatkan bahwa perencanaan adalah proses yang
berkelanjutan, bukan peristiwa.

Kapan sebaiknya dilakukan peninjauan ulang rencana


strategis ?

Ada 4 peristiwa utama untuk melakukan peninjauan ini,


1. Peninjauan ulang kemajuan periodik
2. Peninjauan ulang selektif yang sedang berjalan
3. Jika terjadi perubahan arah strategis
4. Sekali setahun pada awal siklus perencanaan anda

Dalam hal ini fokus perhatian kita adalah pada peninjauan


ulang periodik. Peninjauan ini dilakukan berdasarkan jadwal.
Biasanya agenda yang dianggap sangat bermanfaat oleh
beberapa tim adalah:
1. Peninjauan ulang visi dan misi
2. Peninjauan ulang strategi
3. Peninjauan ulang isu kritis
4. Peninjauan ulang isu kritis, sasaran jangka panjang, area
strategis kunci terpilih mis. laporan mengenai kemajuan
dua atau tiga isu kritis oleh penanggung jawabnya.
5. Kesepakatan mengenai tahap berikutnya.
221
Modifikasi Rencana Strategis

Mengapa, kapan, dan bagaimana kita melakukannya ?


Modifikasi rencana strategis terjadi akibat adanya perubahan-
perubahan pada bagian-bagian tertentu dari rencana jangka
panjang. Hal ini disebabkan oleh :
1. Terobosan teknologi
2. Peluang usaha yang tidak terantisipasi
3. Persalinan yang tidak terantisipasi
4. Menurunnya atau meningkatnya perekonomian
5. Perubahan politik
6. Kontrak baru atau perluasan kontrak utama
7. Kehilangan pemasok utama (dalam bisnis)
8. Kekurangan sumber modal yang memadai
9. Tidak tersedianya atau hilangnya personil kunci yang
tidak terantisipasi.

Penyelesaian rencana jangka panjang bersama hasil pemikiran


strategis anda membentuk bagian proses perencanaan yang
bervisi dan berorientasi masa depan. Gabungan keduanya
membentuk rencana strategis diri, organisasi/unit anda.
Kesemuanya menggambarkan konsep sinergi.

PEDOMAN PERENCANAAN TAKTIS :


MEMBUAHKAN HASIL JANGKA PENDEK ANDA

Siapakah perencana taktis itu ?


Perencana taktis adalah kita dan oleh kita.

222
Salah satu cara pendekatan pada perencanaan taktis adalah
menggunakan konsep presiden unit. Seorang presiden unit
dapat merupakan seorang CEO, ketua divisi/departemen,
manager menengah, penyelia lini pertama atau kontributor
individu, anggaplah anda seorang presiden sebuah perusahaan.

Layaknya seorang presiden maka ia bertanggung jawab,


mengenali dengan jelas hal yang dibutuhkan serta mengelola
organisasi tersebut dengan cara apa saja asal tidak keluar dari
batas-batas yang telah ditetapkan oleh organisasi tersebut.

Seorang presiden juga perlu memahami 'seluruh hasil', dapat


menentukan kontribusi yang layak diberikan, mengetahui
rencana perusahaan rekan anda dan sebaliknya, sehingga bisa
saling kerjasama untuk kebaikan bersama.

Rencana adalah bentuk komunikasi utama di dalam dan di


antara organisasi-organisasi yang mempunyai kepentingan
yang sama.

Rencana adalah sarana untuk mencapai kesepakatan


dengan pihak lain tentang harapan bersama yang saling
menguntungkan. Rencana adalah penggabungan
perencanaan strategis dan taktis.

Semua manager perlu dilibatkan dalam proses perencanaan


supaya :
o hasilnya lebih baik
o perencanaan lebih baik
o pertanggungjawaban lebih baik
o komunikasi dan koordinasi lebih baik

Narnun tidak semua orang mau ikut terlibat dalam proses


perencanaan karena keterlibatan dan komitmen tidak datang
dengan sendirinya. Hal tersebut dipengaruhi oleh pandangan
223
seperti : "Saya benci rapat"; "kertas, kertas dan kertas lagi"
(hukum Morrisey 'manfaat dokumen perencanaan berbanding
terbalik dengan panjangnya'); "mengapa membuat rencana,
kita tak pernah memanfaatkannya" dll.

Untuk meng-up-date perencanaan, ada baiknya melakukan


pemeriksaan dengan 3 pertanyaan.
1. Apa yang berjalan dengan baik dan apa yang dapat
dipelajarinya.
2. Apa yang tidak dapat berjalan dengan baik dan apa yang
kita lakukan terhadapnya.
3. Apa yang berbeda sekarang dari yang sudah ada
sewaktu rencana dibuat.

Aspek lain yang juga penting dalam perencanaan adalah


pembinaan tim. Proses perencanaan yang diutamakan untuk
meningkatkan kinerja tim adalah:
• partisipasi
• diskusi terbuka
• kesepakatan dan dukungan bersama di semua tingkat

Dalam organisasi proses manajemen sering diibaratkan suatu


garis tanpa putus (kontinum) antara 2 titik ekstrim. Semakin
ke kanan kita, semakin profesional.

MAR _______________________________________ MP
Manajemen berdasarkan Manajemen
Aksi dan Reaksi Profesional

Gambaran manager yang sempurna, segala hal siap dengan


antisipasinya, ibarat pemadam kebakaran di sebelah kiri dan
pencegah kebakaran di sebelah kanan.

224
Pemadam kebakaran Pencegah kebakaran

Tetapi, tidak satupun dari contoh tersebut ada dalam


pengertiannya yang paling murni tentang proses manajemen.

Perencanaan taktis dengan jelas mendefinisikan apa yang ingin dicapai


oleh organisasi atau unit anda, bagaimana dan kapan ini akan
berlangsung dan siapa yang bertanggung jawab.

Rencana bisa merupakan dokumen yang berisi hasil-hasil


tertentu yang ingin dicapai pada periode waktu tertentu.
Rencana juga dapat meliputi tindakan dan sumber-sumber
tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil tersebut.

6 elemen yang membentuk rencana :


1. Area hasil kunci
2. Analisis isu kritis
3. Indikator kinerja kunci
4. Sasaran
5. Rencana tindakan
6. Tinjauan rencana

Perbedaan perencanaan strategis dan taktis :

Jika perencanaan strategis memfokuskan pada bagaimana organisasi


dan arah mana yang harus dituju, maka perencanaan taktis
memusatkan pada arah tujuan jangka pendek organisasi dan
bagaimana caranya sampai ke sana

Proses perencanaan bisa dimulai dengan perencanaan taktis


ataupun strategis atau kombinasi dan keduanya - sesuai
dengan kebutuhan.

Yang perlu diingat proses perencanaan bersifat dasar, non linear dan
berulang. Kita bisa memulai dari unsur apa saja pada proses
225
tersebut. Tujuan perencanaan bukanlah untuk menghasilkan rencana,
tetapi memperoleh hasil.

Berikut ini akan diuraikan satu demi satu dari keenam elemen
yang membentuk rencana.

1. AREA HASIL KUNCI

Adalah bidang-bidang prioritas yang didalamnya perlu


pencapaian hasil selama periode perencanaan yang
diproyeksikan.

Pedoman untuk menentukan Area Hasil Kunci:

1) Identifikasi lima sampai delapan bidang utama di mana


unit anda harus mencapai hasil signifikan selama tahun
mendatang.
2) Identifikasi bidang-bidang finansial maupun non finansial.
3) Pilihlah bidang-bidang yang langsung maupun tidak
langsung mendukung rencana strategis organisasi anda
dan rencana pada tingkat yang lebih tinggi lainnya.
4) Jangan berharap area hasil kunci anda mencakup seluruh
keluaran unit anda, tetapi identifikasikanlah sedikit bidang
tetapi banar-benar vital yang perlu menjadi pusat
perhatian anda.
5) Sadarilah bahwa banyak area hasil kunci yang akan
mensyaratkan upaya lintas fungsional.
6) Masing-masing area hasil kunci harus dibatasi umumnya
sampai dua atau tiga dan tidak dinyatakan dengan
pernyataan yang bisa diukur tetapi harus mengandung
faktor-faktor yang memungkinkan untuk bisa dibuat
untuk bisa diukur

2. ANALISIS ISU KRITIS

226
Area hasil kunci membantu kita memusatkan perhatian
kita pada hasil-hasil yang dibutuhkan. Analisis isu kritis
membantu kita mengenali dan memecahkan isu-isu
paling penting kita.

Ada 4 tahap utama dalam analisis isu kritis :


1. Mengenali isu
2. Memprioritaskan isu
3. Menganalisis isu
4. Merangkum isu

Analisis isu kritis adalah tahap kedua dalam pengembangan


rencana, mengikuti penentuan bidang-bidang hasil kunci.

Analisis ini :
 memastikan integrasi dengan rencana strategis dan taktis
yang ada, dengan cara mengenali, menentukan prioritas,
menganalisis dan merangkum isu-isu taktis yang kritis.
 menjaga dari terlalu cepat melompat ke solusi sebelum isu
tersebut dipahami dengan jelas.
 memungkinkan tim perencanaan menyepakati kesimpulan
kunci-kunci untuk memecahkan isu-isu paling penting
 menghasilkan masukan-masukan penting bagi rencana
unit organisasi lainnya.

3. INDIKATOR KERJA KUNCI

Adalah faktor-faktor yang bisa diukur dalam suatu area


hasil kunci tertentu yang bermanfaat untuk menetapkan
sasaran

Tujuannya adalah untuk mengidentifikasikan jenis keluaran yang bisa


diukur, memberi visibilitas yang dibutuhkan serta memberi informasi
paling relevan untuk mengawasi hasil yang diinginkan.

227
Dalam proses perencanaan indikator kinerja kunci
berfungsi untuk :
 mengidentifikasikan faktor-faktor yang bisa diukur
potensial dalam setiap area hasil kunci
 memilih faktor-faktor yang terukur sebagai dasar untuk
menetapkan sasaran saat itu
 menentukan tahap-tahap tindakan tertentu untuk
mencapai sasaran itu
 menjaga kinerja yang berkaitan dengan sasaran dan
rencana tindakan

Ingatlah, tujuan utama mengidentifikasi area hasil kunci dan indikator


kinerja kunci adalah memberi kita peluang untuk menetapkan sasaran
yang tepat pada waktu yang tepat

4. SASARAN

Sasaran adalah pernyataan mengenai hasil-hasil yang


bisa diukur yang harus dicapai dalam kerangka waktu
rencana kita (biasanya 1 tahun).

Area hasil kunci, analisis isu kritis dan indikator kinerja kunci
memberi basis informasi yang bisa dijadikan dasar perumusan
sasaran. Elemen berikutnya yaitu rencana tindakan, yaitu
menetapkan sarana untuk memenuhi sasaran. Sasaran sendiri
adalah faktor prinsip yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja.

Adalah krusial untuk menetapkan sasaran berdasarkan hal


yang benar dan sasaran tersebut realistis dan bisa dicapai.

Bagi banyak organisasi, enam sampai sepuluh sasaran dengan


rencana tindakan tertulis adalah jumlah yang wajar.
Pembatasan ini akan memaksa kita untuk konsentrasi pada

228
pencapaian yang sedikit tetapi penting. Proses memilih sasaran
pada tingkat organisasi biasanya terjadi dalam rapat
perencanaan.

Pedoman menulis sasaran :


a) Sasaran harus dimulai dengan kata "untuk" diikuti dengan
kata kerja tindakan atau pencapaian (mis. menyelesaikan,
memperoleh, menghasilkan dst.)
b) Sasaran harus menentukan hasil tunggal terukur yang
dapat dicapai.
c) Sasaran harus menentukan target tanggal atau rentang
waktu untuk penyelesaian.
d) Sasaran harus menentukan faktor-faktor biaya maksimum.
e) Sasaran harus sedapat mungkin spesifik dan kuantitatif
(dan oleh karenanya bisa diukur dan diuji).
f) Sasaran harus menentukan hanya apa dan kapan, harus
menghindari spekulasi kata mengapa dan bagaimana.
g) Sasaran harus dalam arah mendukung atau sesuai dengan
rencana strategis organisasi dan rencana tingkat tinggi
lainnya
h) Sasaran harus realistis dan dapat dicapai, tetapi tetap
menggambarkan tantangan yang berarti.

5. RENCANA TINDAKAN

Adalah sarana khusus untuk mencapai sasaran. Ia juga


merupakan suatu titik dalam proses perencanaan di
mana kita dapat mengundang keterlibatan mereka yang
akan mengimplementasikan rencana tersebut

Secara mendasar, rencana tindakan mencakup lima faktor, yaitu :


1) Tahap-tahap atau tindakan tertentu yang diperlukan.
2) Orang-orang yang akan bertanggung jawab untuk melihat
apakah tiap tahap atau tindakan itu diselesaikan. (Siapa)

229
3) Jadwal untuk melaksanakan tahap-tahap atau tindakan itu.
(Kapan)
4) Sumber daya (orang-orang) yang perlu dialokasikan untuk
melaksanakannya. (Siapa)
5) Mekanisme umpan balik yang akan digunakan untuk
memantau perkembangan/kemajuan dalam tiap tahap
tindakan.

Tujuan utama dan terpenting dari rencana tindakan


adalah
(1) untuk mengidentifikasikan apa yang harus dilakukan jika kita
ingin mencapai sasaran,
(2) membantu kita untuk memastikan bahwa yang nyata tidak
terlewatkan, selain itu juga untuk menguji atau mumvalidasi
sasaran,
(3) sebagai sarana komunikasi bagi orang lain yang perlu
memberikan kontribusi atau yang akan terkena dampak oleh
apa yang dilakukan.

Rencana tindakan biasanya ditentukan dengan menggunakan


salah satu atau kombinasi dari tiga pendekatan:
1. Serangkaian kegiatan atau kejadian tertentu
2. Pendekatan analitis atau pemecahan masalah
3. Serangkaian sasaran yang lebih kecil atau berjangka lebih
pendek

Rencana tindakan memberi peluang, karena tingkat rincian yang


diisyaratkan, untuk meninjau beberapa pertimbangan khusus, seperti
dampak finansial, kecanggiahan dan kepekaan politis.

6. TINJAUAN RENCANA

Kita telah menentukan hasil kunci, menyelesaikan analisis isu kritis,


mengenali indikator kinerja kunci, menetapkan sasaran dan rencana

230
tindakan. Sekarang kita sudah menyelesaikan proses perencanaan.
Benarkah ? Salah !

Kita perlu mempunyai cara untuk memastikan bahwa apa


yang telah kita tetapkan bisa diterjemahkan ke dalam tindakan
yang mendatangkan hasil. Akhir pembahasan kita kali ini akan
menyoroti beberapa pertimbangan dan metode yang sangat
bermanfaat untuk memantau dan memperkuat
kemajuan/perkembangan terhadap pencapaian sasaran.
Dalam pendekatan manajemen, aspek ini sering disebut
sebagai pengendalian manajemen (management control).

Apa tujuannya ?
Tujuannya adalah untuk memperingatkan kita kapan diperlukan
perubahan dalam waktu yang cukup untuk melakukan tindakan
koreksi yang perlu.

Tindakan koreksi bisa meliputi segala sesuatu dari beberapa


penyelarasan sampai revisi rencana sepenuhnya. Koreksi
hanyalah sarana terhadap terjadinya sesuatu, dan bukan
merupakan sesuatu yang diharapkan terjadi. Pengendalian
yang efektif menunjukkan kekhilafan pada waktu yang tepat
dengan penggunaan waktu dan upaya yang maksimal.

3 pertanyaan dasar yang perlu diperhatikan dalam penilaian


manajerial :
1. Apa yang kemungkinan besar akan berubah ?
2. Bagaimana dan kapan kita akan tahu ?
3. Apa yang akan kita lakukan ?

1. Apa yang kemungkinan besar berubah ?


Perhatian sebaiknya ditujukan pada apa yang cenderung akan berubah,
bukan pada apa yang mungkin berubah.
Jadi, yang kita cari adalah penyebab pokok penyimpangan
yang menuntut diadakannya tindakan koreksi.
231
Penyimpangan terbagi ke dalam 4 kategori umum :
1. Ketidakpastian
2. Kejadian yang tidak terduga
3. Kegagalan
4. Kesalahan manusiawi yang meliputi kesalahan murni dan
ketidakcakapan.

2. Bagaimana dan kapan kita akan tahu ?


Setelah menentukan apa yang perlu dipantau, kita harus memutuskan
mekanisme umpan balik apa yang akan memberi kita pandangan
sekilas yang paling efektif dan efisien untuk memastikan bahwa kita
tetap berada pada jalurnya.

Morrisey menyoroti 4 hal yang sangat bermanfaat :


1. tinjauan perkembangan
2. laporan keadaan
3. tayangan visual
4. manajemen berdasarkan perkecualian

3. Apa yang akan kita lakukan ?


Satu-satunya alasan untuk menetapkan umpan balik ini adalah untuk
memungkinkan kita mengambil tindakan koreksi ketika diperlukan.

Berikut ini ada 3 jenis koreksi generik yang dapat dilakukan


setelah kita mengidentifikasi penyimpangan yang terjadi :
1. tindakan koreksi diri
2. tindakan manajemen
3. tindakan operasi

PENILAIAN DAN PELAKSANAAN PROSES


PERENCANAAN

232
Dalam menganalisis proses sekarang, ada 3 pertanyaan
mendasar yang perlu dijawab untuk menentukan perubahan
apa yang diperlukan:
1. Apakah proses perencanaan berfungsi dengan baik ?
2. Apakah upaya perencanaan berfungsi dengan baik ? (yang
melibatkan karyawan dan manajer). Kalaupun belum
berskala organisasi, kita dapat memulainya dari unit kita
sendiri untuk kemudian mempengaruhi pihak lain agar
melakukan hal yang serupa.
3. Bagaimana proses perencanaan dapat diperkuat ? (kita
fokuskan pada bagian-bagian yang membutuhkan
perhatian)

Penilaian dan pelaksanaan proses perencanaan taktis membantu kita


untuk :
 menentukan dimana kita berada pada proses perencanaan
 menentukan tambahan atau modifikasi apa dalam proses yang
kita butuhkan
 definisikan apa yang organisasi atau unit kita ingin capai selama 1
tahun mendatang serta kapan dan bagaimana ini akan terjadi
 laksanakan bagian rencana strategis kita untuk tahun mendatang
 catatlah keterlibatan aktif dari semua pihak yang harus
memainkan peran dalam proses
 tetapkan proses pengawasan yang tepat untuk memastikan bahwa
rencana terlaksana

233
VISI DAN MODEL
MASYARAKAT PENDIDIKAN
YANG KREATIF DAN PRODUKTIF
(Visi Seorang Muslim Tentang Otonomi Pendidikan
Pendekatan Strategic Planning)

Nilai:

ُ‫الزبَي ِْر َقا َل َحدَّثَنَا سُ ْف َيانُ قَا َل َحدَّثَنَا يَحْ يَى بْن‬ ُّ ُ‫َُّللا بْن‬
ِ َّ ‫ع ْبد‬
َ ‫ي‬ ُّ ‫حدَّثَنَا ْال ُح َم ْي ِد‬
َ‫ع ْلقَ َمة‬
َ ‫س ِم َع‬ َ ُ‫ي أَنَّه‬ ُّ ‫يم التَّي ِْم‬ َ ‫ي قَا َل أ َ ْخبَ َرنِي ُم َح َّمد ُ ا ْب ُن ِإب َْرا ِه‬ ُّ ‫ار‬ َ ‫س ِعي ٍد ْاْل َ ْن‬
ِ ‫ص‬ َ
‫ع ْنهم‬َ ‫ضي اللهم‬َّ ِ ‫ب َر‬ َّ ْ
ِ ‫س ِم ْعتُ عُ َم َر بْنَ الخَطا‬ َ ‫ي يَقُو ُل‬ َّ
َّ ِ‫اص الل ْيث‬ ٍ َّ‫بْنَ َوق‬
َّ
‫سل َم يَقُو ُل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ
َ ‫صلى اللهم‬ َّ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫س ِم ْعتُ َرسُو َل‬ َ ‫علَى ْال ِم ْنبَ ِر قَا َل‬ َ

‫رئٍمَانَوَى‬
ِ ْ‫ِإنَّمَاالْأَعْمَالُبِالنِّيَّاتِ وَِإنَّمَالِكُلِّ ام‬
“Sesungguhnya amal perbuatan itu (berhubungan erat bahkan ditentukan)
dengan niat (rancangan dan strategic planningnya), dan bagi setiap manusia
apa yang telah ia niatkan, (rancang dan rencanakan)”

‫ُصيبُ َها أ َ ْو ِإلَى ا ْم َرأَةٍ يَ ْن ِك ُح َها فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى َما هَا َج َر ِإلَ ْي ِه‬
ِ ‫َت ِهج َْرتُهُ ِإلَى د ُ ْنيَا ي‬
ْ ‫فَ َم ْن كَان‬
‫* رواه البخاري‬

Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan isu dan sekaligus tuntutan paling
penting dan menentukan nasib bangsa Indonesia memasuki
abad 21. Berbagai persiapan, perundang-undangan sampai
kucuran dana otonomi sudah mulai digulirkan khususnya
pemerintah pusat. Wajar jika setiap kalangan terutama
“masyarakat pendidikan”; orang tua, guru, pelajar, dan kalangan
cendekiawan di setiap daerah, berpikir keras untuk mencari
keunggulan daerahnya masing-masing. Daerah diharapkan
234
menjadi miniatur Indonesia yang mencerminkan karakter
bangsa yang berkualitas, kreatif dan produktif. Tetapi bukan
sekedar “Taman Mini Indonesia” yang hanya indah sebagai
taman rekreasi.
Beraksi kedaerahan (lokal atau Indonesia Mikro) dalam
kerangka berpikir nasional (Indonesia Makro) dan internasional
(global) merupakan tuntutan signifikan dalam merancang
sebuah daerah yang otonom. Think globally act locally ini adalah
cara tepat menyikapi otonomi. Tidak dibalik, berpikir
kedaerahan dan beraksi global yang selama ini telah membuat
bangsa Indonesia semakin terpuruk dalam berbagai aspek dan
dimensi kehidupan terutama pendidikan sampai kepada
ancaman disintegrasi.
Kerativitas setiap kalangan dalam kondisi seperti ini menjadi
probalematika yang cukup serius dan cukup mempengaruhi
produktivitas pemikiran orang-orang pusat dan daerah. Hasil dan
produk pendidikan selama ini menjadikan mereka yang biasa
terlatih dengan budaya “minta petunjuk” terutama kalangan
pemerintahan mengalami kesulitan mengembangkan daerahnya.
Jika gagasan-gagasan tentang model otonomi dan betuk
unggulan suatu daerah dimunculkan dan digulirkan, nampak
terkesan tidak sistematis, kurang memahami skala prioritas dan
tidak mencerminkan gagasan yang genuine dan baru terutama
bagi masa depan bangsa. Banyak yang masih terlalu pragmatis
dan sangat hedonis, kurang memperhatiakan aspek masa depan
(futuristik) yang memang sangat membutuhkan kesabaran
sebagai bagian dari ciri kecerdasan emosional suatu bangsa.
Untuk mengantisipasi perkembangan ini, saya mencoba
berkontribusi untuk merencanakan sebuah “model” otonomi
daerah khususnya dalam aspek pendidikan. Baik dalam posisi
sebagai pemimpin formal, seperti wali kota, atau sebagai
pemimpin informal, seperti tokoh masyarakat, LSM atau pakar
pendidikan yang berpengaruh, usaha ini dirumuskan dengan
pendekatan strategic planning “Visi dan Model Masyarakat
235
Pendidikan Abad 21”. Hitungan abad nampaknya cukup
beralasan untuk mendukung rasionalitas perencanaan yang
menitikberankan pada kompetensi pendidikan sebagai ciri khas
dan keunggulan masyarakat. Mengingat konteks pendidikan
baru dapat diukur secara obyektik dalam hitungan generasi,
bukan periodisasi.

Visi:

“Menciptakan Masyarakat Pendidikan menuju Masyarakat


Madani yang Islami.”

Visi ini, di samping sudah mulai dikenal masyarakat dan


menjadi gagasan global masyarakat Indonesia era reformasi dan
juga internasional, memiliki kebermaknaan yang sangat dalam,
luas dan selalu aktual. Di tataran internasional lebih dikenal
istilah civil society sebagai model masyarakat yang dicita-citakan
dengan karakteristik utamanya sebagai masyarakat mandiri
(independent). Peran sipil; masyarakat dan rakyat, bukan militer
dan pemerintah, adalah yang dominan mengatur dan
menentukan arah kebijakan suatu negara.
Sebagai ide besar, rumusan tentang definisi, karakteristik,
sistem dan mekanisme pembentukan masyarakat madani belum
dilakukan secara memadai dan cukup adaptatif dengan budaya
bangsa Indonesia. Diskursus dan perdebatan seputar model
masyarakat ini masih cukup mewarnai sejumlah forum. Untuk
itu dalam tulisan ini ditawarkan sebuah kontribusi dalam bentuk
rumusan dan karakteristik yang dikehendaki dari model
masyarakat madani yang sesuai dengan kondisi budaya dan
potensi bangsa Indonesia.

Misi:

236
 Menjadikan Masyarakat Pembelajaran sebagai model
“Masyarakat Pendidikan yang Kreatif dan Produktif.”

 Menjadikan Masyarakat Pendidikan sebagai


“Masyarakat Madani yang Islami.”

Misi pertama, menjadikan masyarakat sebagai “masyarakat


pendidikan dengan kompetensi intinya sebagai masyarakat
pembelajaran,” merupakan langkah pertama dan menentukan
keberhasilan misi kedua. Misi ini dipilih berdasarkan beberapa
alasan:
1. Pendidikan merupakan core competence dan inti kehidupan
suatu masyarakat. Seluruh problematika bangsa dan
manusia di dunia sangat ditentukan oleh kualitas
pendidikannya. Tiada bangsa yang mengabaikan
pendidikan melainkan bangsa tersebut semakin hari
semakin terpuruk, kehilangan identitas bahkan bisa
punah .
2. Berbagai kebutuhan; intelektual, emosional dan moral
sampai karakteristik yang diperlukan suatu masyarakat
seluruhnya berjalan dalam suatu proses yang cukup lama.
Hal itu hanya bisa terpenuhi melalui sistem dan
mekanisme pendidikan. Karena pendidikan dengan
seluruh dimensinya adalah komponen yang paling
memahami dan siap memenuhi kebutuhan dasar (basic
needs) setiap manusia.
3. Pendidikan yang direncanakan sebagai model masyarakat
ini dititikberatkan pada aspek kemampuan kreativitas
sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya produktivitas.
Kreativitas yang selama ini terabaikan di sebahagian
besar lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia telah
membuat bangsa dan para pemimpinnya lemah dalam
aspek inovasi. Terbukti penyelesaian krisis bangsa ini

237
masih dipercayakan dan sangat bergantung pada budaya
“meminta petunjuk” kepada bangsa lain.
4. Dengan lahirnya masyarakat Depok yang kreatif dan
produktif diharapkan mampu memberikan kontribusi
pada bangsa ini agar menjadi salah satu bangsa perintis
peradaban dunia yang cerdas dan bernilai.
5. Masyarakat pendidikan (education society), dengan
demikian merupakan pilihan strategis bagi model dan
sistem pengembangan suatu masyarakat. Di mana
keunggulannya sangat terkait dengan sistem dan tingkat
pendidikan yang dikembangkan di dalamnya. Kreativitas
dan produktivitas masyarakat tersebut selanjutnya diukur
dengan tingkat kreativitas dan produktivitas
pendidikannya.

Strategi:
Strategi yang diperlukan dan dikembangkan untuk mencapai visi
dan misi tersebut menggunakan dua pendekatan:
 Pendekatan Sistem Pemerintahan dengan cara
membangun dua aspek penting:
1. Membangun sistem pemerintahan yang:
 legitimate,
 kredibel,
 kuat,
 bersih dan
 relijius

2. Mengawasi jalannya sistem pemerintahan dengan:


 Pembentukan lembaga atau pusat kajian strategis
(Lembaga Ilmiah dan Riset)
 Pembentukan LSM-LSM yang kuat, kredibel dan
bersih (Lembaga Operasional dan pressure groups).
 Pembentukan ‘lembaga legislatif (bayangan)

238
Pendekatan pertama ini dilakukan sebagai langkah cukup
strategis dengan alur top-down yang efisien. Sekalipun hasil dan
ketahanannya kurang efektif dan tidak mengakar serta sangat
bergantung pada periode kekuasaan dan pemerintahan
bersangkutan. Efisiensi pendekatan ini terletak pada periode
waktu yang lebih singkat dan dapat diukur oleh periode
pemerintahan dan kekuasaan yang menentukan political will
dalam melakukan perubahan.
Sedangkan ketidakefektifan terjadi karena konsep dasar
sebagai akar dan bekal kesiapan pembinaan masyarakat belum
dilakukan sampai ke tingkat penguasaan konsep yang
menanamkan kesadaran apalagi attitude. Karena kekuasaan
cenderung melakukan perubahan dengan dasar keterpaksaan
atau pemaksaan bukan dengan dasar kesadaran seperti yang
dilakukan pendidikan.

 Pendekatan Perubahan Masyarakat dengan fokus pada


pembangunan dua model masyarakat:
1. Membangun Masyarakat Pendidikan dengan core
competence-nya sebagai masyarakat pembelajaran
(learning society) yang berorientasi pada:
 Penyadaran dan Pemenuhan Kebutuhan Anak
Berbakat
 Penyadaran dan Pemenuhan Kebutuhan
Masyarakat
 Penyadaran dan Solusi Problem Masyarakat

2. Membangun Masyarakat dengan core competence-nya


sebagai masyarakat relijius (Islamic society)
menuju:
 Terbentuknya Masyarakat yang diterima dan
kredibel

239
 Terbentuknya Masyarakat yang berubah dan siap
berubah ke arah nilai yang positif.

Untuk mengatasi kelemahan pendekatan pertama di atas,


maka secara simultan dilakukan pendekatan kedua yang jauh
lebih efektif bahkan sangat strategis karena perubahan akan
terjadi dalam bingkai kesadaran pembelajaran sebagai hasil
interaksi dengan pendidikan. Akan tetapi tidak bisa dihindari
bahwa pendekatan pendidikan ini memakan waktu cukup
panjang dan biaya yang tidak sedikit.
Membangun masyarakat pembelajaran (learning society) dipilih
menjadi inti kompetensi dan keunggulan masyarakat pendidikan,
karena masyarakat seperti inilah yang selalu siap melakukan
perubahan. Mereka selalu belajar untuk berubah atau siap
mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Tiada perbaikan
tanpa proses perubahan, dan tiada perubahan tanpa proses pembelajaran.
Adapun inti keunggulan lain dari masyarakat pendidikan
dipilih model masyarakat relijius (Islami), didasarkan pada
pertimbangan bahwa abad 21, meminjam istilah Toffler, adalah
abad peradaban respiritual. Sementara sumber nilai yang paling
bermakna dan kebermaknaan itu sendiri banyak ditemukan
dengan jelas dalam agama. Dengan catatan, agama dipahami dan
diperaktekan dengan benar sesuai tuntutan ajarannya yang selalu
menjanjikan kebaikan dan perbaikan menuju kedamaian.
Sementara ilmu pengetahuan menjadi perangkat sistem dan
teknik menjalankan nilai-nilai tersebut dengan tepat. Sehingga
tidak pernah terjadi pertentangan, konflik atau kontradiksi antara
agama dan ilmu pengetahuan.

Perencanaan Jangka Pendek:


Perencanaan jangka pendek ini mengacu kepada studi kasus lima
aspek yang saat ini menjadi kebijakan dan visi kota Depok
sebagai kota pendidikan dan relijius. Untuk itu maka perlu
dilakukan langkah-langkah berikut:

240
 Penyusunan Konsep “Grand Design” dan “Strategic
Planning” Visi Masyarakat yang meliputi:
1. Konsep Pemerintahan (Eksekutif, Legislatif dan
Birokrasi) meliputi:
 Bidang Pemerintahan
 Bidang Keamanan dan Ketertiban
 Bidang Penerangan
 Bidang Sosial dan Politik
 Bidang Hukum dan Perundang-undangan
2. Konsep Perekonomian, meliputi:
 Bidang Perdagangan dan Perindustrian
 Bidang Pertanian
 Bidang Perikanan dan Peternakan
 Bidang Kehutanan dan Perkebunan
 Bidang Koperasi
3. Konsep Keuangan, meliputi:
 Bidang Keuangan Daerah
 Bidang Perpajakan dan Retribusi
 Bidang Perbankan
 Bidang Perusahaan Daerah dan Patungan
 Bidnag Penanaman Modal
4. Konsep Pembangunan Daerah, meliputi:
 Bidang Pekerjaan Umum
 Bidang Tata Ruang dan Perumahan Rakyat
 Bidang Perhubungan
 Bidang Pertambangan dan Energi
 Bidang Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup
5. Konsep Kesejateraan sosial, meliputi:
 Bidang Ketenaga kerjaan
 Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
 Bidang Agama

241
 Bidang Kepemudaan dan Olah Raga
 Bidang Hak Asasi Manusia (HAM)

Langkah penyusunan konsep “grand design” dilakukan


pertama kali untuk memenuhi tuntutan penyadaran terhadap
problem dan kebutuhan masyarakat. Dengan rancangan besar
ini seluruh program dan kebijakan pemerintah dan masyarakat
secara bersama-sama bergerak dan beranjak untuk mewujudkan
cita-cita bersama. Penyusunan konsep ini dilakukan dengan dua
proses:
Pertama: Pembentukan Kelompok-kelompok Kerja:
1. Inventarisasi SDM; dewan pakar (Strategis), staff
ahli (Taktis) dan staff kelompok kerja bidang
(Teknis).
2. Pengelompokkan SDM sesuai dengan keahlian
dan kebutuhan konsep di masyarakat.
Kedua: Penyusunan Konsep:
1. Melakukan kajian-kajian strategis; seminar, diskusi,
sarasehan, kunjungan dan konsultasi, pendidikan
dan pelatihan, dll.
2. Penyusunan konsep di setiap Divisi dan Bidang.
3. Menyelenggarakan loka karya, penyelesaian akhir
konsep (the grand design).

Ketika konsep rancangan besar masyarakat telah


dirumuskan dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah:
 Strukturisasi Kelembagaan:
1. Format kelembagaan dan manajemen keorganisasian
2. Penyusunan kepengurusan lembaga
3. Pembentukan Format dan Struktur LSM-LSM kajian
ilmiah dan operasional.

 Sosialisasi konsep di kalangan masyarakat:


1. Pendidikan dan pelatihan
242
2. Ceramah, diskusi dan seminar.
3. Lobbying dengan formal dan informal leaders
(Eksternal).

 Pembentukan LSM-LSM:
1. LSM Pemerintahan
2. LSM Perekonomian
3. LSM Keuangan
4. LSM Pembangunan Daerah
5. LSM Kesejahteraan Sosial.

Perencanaan Jangka Menengah:


Perencanaan jangka menengah dititikberatkan pada
pembentukan kader-kader yang dipersiapkan mengisi seluruh
lapisan masyarakat. Terutama para bakal calon pemimpin yang
akan diamanati memegang dan menentukan arah masyarakat
abad 21. Untuk memenuhi tuntutan tersebut maka digulirkan
dua program unggulan yaitu :
 Kaderisasi SDM (Leadership) Strategis meliputi:
1. SDM Pemerintahan: Eksekutif, Legislatif dan Birokrat
(Formal Leaders)
2. SDM Perekonomian (Informal Leaders)
3. SDM Keuangan (Informal Leaders)
4. SDM Pemerintahan Daerah (Informal Leaders)
5. SDM Kesejateraan Sosial (Informal Leaders).

Program kaderisasi ini menjadi prioritas utama mengingat


SDM merupakan komponen penentu suatu masyarakat.
Persoalan yang paling rumit saat ini adalah menyangkut kualitas
sumber daya manusia. Sistem termasuk perundang-undangan
seringkali menjadi pusat tuduhan kehancuran bangsa.
Sementara faktor manusia yang menjalankannya baru akhir-
akhir ini mendapat perhatian berbagai kalangan sehingga

243
lahirlah era reformasi. Agar program ini bergulir secara baik dan
sistematis maka perlu dilakukan dengan tiga proses:
Pertama: Penyusunan konsep kaderisasi
Kedua : Pendidikan dan Pelatihan
Ketiga : Rekomendasi Kader-Kader formal dan informal
leaders.

 Pembentukan Masyarakat Pendidikan:


SDM yang telah terbentuk melalui program pertama ini
selanjutnya diproyeksikan menjadi kader dan embrio lahirnya
masyarakat baru sesuai rencana yaitu masyarakat pendidikan.
Dalam prosesnya, masyarakat pendidikan ini dilakukan dalam
dua tahap:
1. Pembentukan kelompok-kelompok Pembelajaran
(Learning Communities)
2. Pembangunan Masyarakat Pembelajaran (Learning
Society)

Perencanaan Jangka Panjang :


Terbentuknya embrio masyarakat pembelajaran pada
perencanaan jangka menengah pada akhirnya diproyeksikan
tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat pendidikan sesuai
“The Grand Design” yang telah dicanangkan. Perencanaan terakhir
dan merupakan strategi jangka panjang ini dilakukan dengan:

Pertama: Membangun Masyarakat Relijius; yaitu


masyarakat yang benilai, bermakna dan memiliki dedikasi yang
tinggi dalam mengembangkan diri dan kontribusinya dalam
pembentukan bangsa. Dalam proses pembentukan ini juga
perlu dilakukan langkah-langkah yaitu:
 Membentuk generasi relijius (Generasi Qur’ani),
 Membangun Masyarakat Relijius (Islami)

Kedua: Membangun Masyarakat Madani.


244
Potensi terbentuknya masyarakat pendidikan yang gemar belajar
dalam proses perubahan yang harus dilakukannya, merupakan
inti komponen masyarakat madani. Dengan kemampuan
pembelajan dan pendidikannya masyarakat ini selanjutnya
diarahkan memiliki sejumlah kemampuan dasar dengan
terbentuknya karakteristik primer yaitu:
A. Karakteristik Primer.
1. Masyarakat Intelektual.
2. Masyarakat Spiritual.
3. Masyarakat Moral.
4. Masyarakat Hukum.
5. Masyarakat Berperadaban.

Kelima karakteristik tersebut juga dapat disederhanakan


melalui pendekatan relijius dengan model masyarakat relijius di
atas. Yaitu masyarakat yang merefleksikan tatanan dan sistem hidup
(way of life) yang integral sebagaimana yang terdapat dalam ajaran agama
(religious Paradigm). Kelima karakteristik ini pula yang selanjutnya
dapat menjadi dasar pembangunan dan pengembangan
karakteristik sekunder yang kedua.

B. Karakteristik Sekunder:
1. Masyarakat demokrat.
2. Masyarakat moderat.
3. Masyarakat Mandiri (independen) dan
bertanggungjawag (responsible).
4. Masyarakat profesional.
5. Masyarakat reformis.

Kesimpulan:

Pilihan perencanaan strategis menjadikan masyarakat


sebagai masyarakat pendidikan tidak lagi merupakan keinginan

245
tetapi selayaknya menjadi kebutuhan. Model inilah yang paling
mampu mengakomodasi seluruh karakteristik masyarakat
madani baik yang primer maupun yang sekunder. Masyarakat
pendidikan (Education Society) adalah “masyarakat yang setiap
pertemuan dan hubungan antara manusia di dalamnya menimbulkan
situasi pendidikan dan dihayati sebagai yang mewajibkan."
Dengan demikian pilihan strategis ini merupakan suatu
perencanaan yang didukung oleh argumen yang cukup
beralasan. Di samping bahan dasar SDM masyarakat Islam yang
secara intelektual cukup kondusip dengan cita-cita tersebut.

246
PROPOSAL

Islamic Research School (IRS)


Membangun Masa Depan Umat

“Center of excellence towards the best


competency and integrated personality”.

YASRI

YAYASAN SEKOLAH RISET ISLAMI

247
PROPOSAL PENDAHULUAN
SEKOLAH RISET ISLAMI  Islam memandang
pendidikan sebagai
(Islamic Research School) hal yang
fundamental dalam
membentuk
PENDAHULUAN
peradaban
masyarakat dan
Islam memandang pendidikan sebagai hal bangsa.
yang fundamental dalam membentuk  Pendidikan Islam
peradaban masyarakat dan bangsa. Pendidikan menghasilkan
dalam hal ini merupakan proses penanaman sesuatu manusia yang
ke dalam diri manusia. Proses penanaman berarti mutunya sedekat
metode dan sistem untuk menanamkan apa mungkin mampuh
yang disebut “pendidikan secara bertahap” baik meneladani
dalam pendidikan formal (sekolah) maupun Rasulullah,
nonformal (luar sekolah) . Sesuatu mengacu shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sesuai
pada kandungan yang ditanamkan, dalam hal
dengan kapasitas
ini perlunya kurikulum yang sesuai dan dan potensi
berdasarkan kebutuhan. Diri manusia adalah bawaannya.
penerima proses kandungan itu, perumusannya
sebagai suatu sistem harus mengambil model  Dalam merintis
manusia sempurna di dalam pribadi suci nabi konsep pendidikan
Muhammad, shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam tersebut, Yayasan
Sekolah Riset Islami
hal pengetahuan dan tindakan. Dalam
(YASRI) akan
pengertian ini pendidikan Islam menghasilkan menyelenggarakan
manusia yang mutunya sedekat mungkin pendidikan (formal)
menyerupai Rasulullah, shallallahu ‘alaihi wa dari mulai tingkat
sallam, sesuai dengan kapasitas dan potensi dasar dan
bawaannya. menengah dengan
Di sisi lain, dalam UU Pendidikan Nasional konsep dan
No.2 tahun 1989, Pendidikan diartikan sebagai
paradigma baru
upaya sadar untuk menyiapkan peserta didik
yaitu Islamic
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan bagi peranannya dimasa yang akan Research School.

248
datang. Dari pengertian tersebut pendidikan  Sekolah Riset Islami
dapat dikembangkan sebagai proses yang (Islamic Research
terencana dan terarah dalam School)
membimbing/mengarahkan perubahan peserta menginspirasikan
didik kearah kedewasaan melalui transpormasi, bahwa pendidikan
perubahan, pewarisan, pembentukan ilmu tidak pernah lepas
pengetahuan, kepribadian (mencakup dari dinamika,
pemikiran/intelektual, mental/spiritual dan eksperimen,
pengembangan, dan
prilaku/moral ) dan peradaban.
perumusan konsep,
Sebagai langkah awal dalam merintis teori, karakter,
menuju kearah konsep pendidikan tersebut sampai ke arah
maka Yayasan Sekolah Riset Islami (YASRI) paradigma baru
akan mendirikan dan menyelenggarakan yang lebih baik.
pendidikan dalam hal ini pendidikan formal
(sekolah) yang Insya Allah dapat memberikan
konstribusi yang berarti bagi perkembangan
peradaban masyarakat yang berlandaskan Islam.
Sekolah Riset Islami (Islamic Research School)
diambil sebagai ciri khas konsep dan model
pendidikan yang dikembangkan diseluruh
jenjang. Nama ini menginspirasikan bahwa
pendidikan tidak pernah lepas dari dinamika,
eksperimen, pengembangan, dan perumusan
konsep, teori, karakter, sampai ke arah
paradigma baru yang lebih baik. Seperti
perkembangan paradigma dan teori kecerdasan
sebagai komponen sangat menentukan dalam
pendidikan dan pembelajaran. Saat ini
pendidikan tidak hanya mengenal satu jenis
kecerdasan intelektual dengan alat ukurnya IQ
yang cukup lama mendominasi dunia
pendidikan, tetapi mengalami perkembangan
yang sangat pesat dan cukup ”revolutif” dengan
gagasan dan rumusan teori kecerdasan
emosional yang dikembangkan Golmen (EQ),
249
Visi :
kecerdasan spiritual Zohar dan Marshall (SQ), Mencetak generasi
dan kecerdasan majmuk Gardner (Multiple yang berpengetahuan,
Intelligence atau MI). berkepribadian, dan
Perkembangan yang demikian cepat seperti berperadaban Quráni
ini, ditambah dengan arus informasi yang deras
dan terus membanjiri kehidupan anak-anak Misi :
1. Memberdayakan
setiap saat, menuntut suatu konsep,
dan membudayakan
mekanisme, dan sistem pendidikan yang sistem pendidikan
mampu mengantisipasi perkembangan. Islam
Optimalisasi seluruh potensi anak didik, seperti 2. Memadukan
upaya mensinergikan berbagai jenis kecerdasan kurikulum (kognitif,
di atas, menjadi suatu kebutuhan mendasar afektif,
yang sangat menentukan masa depan mereka. psikomotorik dan
interpersonal skill)
yang berorientasi
VISI DAN MISI
pada pembentukan
Visi : pribadi muslim ideal
Mencetak generasi yang berpengetahuan, 3. Menyelenggarakan
berkepribadian, dan berperadaban Quráni pembelajaran yang
menyenangkan dan
Misi : sarat dengan nilai-
1. Memberdayakan dan membudayakan sistem nilai Quráni
pendidikan Islam sebagai bagian dari peradaban
Islam
2. Memadukan kurikulum (kognitif, afektif,
psikomotorik dan interpersonal skill) yang
berorientasi pada pembentukan pribadi muslim
ideal
3. Menyelenggarakan pembelajaran yang nyaman dan
menyenangkan yang sesuai dengan nilai-nilai
Quráni

JENJANG, KARAKTERISTIK DAN


TUJUAN
 Jenjang:

250
Jenjang pendidikan IRS yang akan didirikan  Karakteristik:
JENJANG,
oleh Yayasan Sekolah riset Islami adalah KARAKTERISTIK
1. Islami, dengan seluruh
DAN TUJUAN
karakteristiknya
jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu
 Terpadu,
2. Jenjang: baik dalam
Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar, Jenjang
sistem pendidikan
pembelajaranIRS
Sekolah lanjutan Pertama (SLTP), dan Sekolah adalah
maupun jenjang
kurikulumnya.
Menengah Umum (SMU) Laboratorium Islami pendidikan
3. Unggul, dengandasar dan
atau Islamic Research School. menengah
kompetensi: yaitu
1. •
Taman Kanak-kanak
Bertinteraksi dengan al-
(TK),
Qur’an dan Sunnah,
 Karakteristik: 2. Sekolah
• Berbahasa Dasar,
internasional
Untuk memposisikan Islamic Research School 3. Sekolah
(Arab danlanjutan
Inggris)
(IRS) sebagai sistem dan lembaga pendidikan Pertama
• Menguasai (SLTP),
sains dandan
yang mampu menawarkan alternatif, IRS 4. Sekolah Menengah
teknologi, seni, dan
Umum (SMU)
jurnalistik
merumuskan tiga karakteristik unggulan:
1. Islami, dengan seluruh karakteristiknya • Memiliki kebiasaan
 Karakteristik:
penelitian (research)
sebagai agama rabani (bersumber dan 1. Islami, dengan seluruh
berorientasi kepada Allah -Tuhan alam karakteristiknya
semensta), universal, integral, seimbang, 2. Terpadu, baik dalam
permanen dan fleksibel, serta realistik dan sistem pembelajaran
maupun kurikulumnya.
manusiawi. 3. Unggul, dengan
2. Terpadu, baik dalam sistem pembelajaran kompetensi:
maupun kurikulumnya. Keterpaduan • Bertinteraksi dengan al-
(Integration) ini diperlukan untuk Qur’an dan Sunnah,
menghilangkan dikotomi antara Islam dan • Berbahasa internasional
(Arab dan Inggris)
kehidupan, kepentingan ukhrawi dan
• Menguasai sains dan
duniawi, termasuk dalam memahami dan teknologi, seni, dan
menghargai kemampuan anak didik jurnalistik
khususnya dalam aspek kecerdasan. • Memiliki kebiasaan
3. Unggul, dengan kompetensi, kemampuan, penelitian (research)
dan keterampilan:
o Bertinteraksi dengan al-Qur’an dan Sunnah,
sebagai dasar pembentukan kecerdasan
spiritual (SQ), karakter dan kepribadian
Islami.

251
o Berbahasa internasional (Arab dan Inggris)  Tujuan
di samping bahasa nasional yang baik
1. Melahirkan
dan benar, sebagai alat komunikasi dan
interaksi sosial penunjang kecerdasan kembali
intelektual (IQ) dan emosional (EQ) generasi yang
terutama dalam kehidupan pasca sholih
pendidikan formal. 2. Membentuk
o Menguasai sains dan teknologi khususnya generasi
Information Technology (IT), seni dan Qur`ani
jurnalistik baik teori maupun terapan dambaan
sebagai bekal pengembangan aspek ummat
kecerdaan intelektual (IQ) untuk
3. Turut serta
menjalani kehidupan anak didik yang
kreatif di masa depan. mencerdaskan
o Memiliki kebiasaan (habit) untuk kehidupan
melakukan penelitian (research) dalam bangsa
kehidupan sehari-hari, tidak hanya 4. Mempersiapka
terbatas tugas sekolah, sebagai dasar n generasi yang
pengembangan kemampuan berpikir terampil
kreatif dan inovatif. sebagai:
 Seorang
 Tujuan: pembelajar (to be a
Islamic Research School Al-Qudwah didirikan dengan learner)
tujuan :  Seorang
1. Melahirkan kembali generasi yang sholih wirausahawan
yang mandiri (to
dengan seluruh dimensi keshalihan sesuai
be an entrepreneur)
perspektif Islam  Seorang
2. Membentuk generasi Qur`ani dambaan pemimpin di
ummat, yang berpengetahuan, lingkungannya (to
berkepribadian, dan berperadaban. be a leader)
3. Turut serta mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan menyelenggarakan
pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai
bermutu tinggi khususnya Islam

252
4. Mempersiapkan generasi yang terampil dan
siap memasuki persaingan ketat di masa PERANGKAT
depan, handal, dan berinteraksi di PEMBELAJARAN
masyarakat dengan berbekal kemampuan 1. Bangunan Sekolah
• Masjid dan Islamic
menjadi:
Center
o Seorang pembelajar (to be a learner) • 6 (enam) buah
o Seorang wirausahawan yang mandiri (to gedung belajar dari
be an entrepreneur) jenjang TK, SD,
o Seorang pemimpin di lingkungannya (to SLTP, dan SMU.
be a leader)  1 (satu) gedung
terpadu Pusat
DEWAN PENDIRI Sumber Belajar
Dewan pendiri adalah orang-orang yang terlibat (PSB).
 Lapangan olahraga,
di dalam merumuskan konsep dan model
taman, kantin, dan
pendidikan dan pembelajaran Islamic Research klinik.
School, dan juga sebagai panitia persiapan • Laboratorium
pendirian dan manajemen IRS. perekonomian
Islam sebagai
PERANGKAT PEMBELAJARAN sarana
1. Bangunan Sekolah pengembangan
Bangunan IRS YASRI, direncanakan terdiri dari: kewirausahaan
(entrepreneurship)
 Masjid dan Islamic Center sebagai pusat
‘ibadah dan pembentukan karakter dan
kepribadian Islam.
 6 (enam) buah gedung yang terdiri dari
ruangan belajar dari jenjang TK, SD, SLTP,
dan SMU.
 1 (satu) gedung terpadu yang terdiri dari
ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang
TU, Pusat Sumber Belajar (PSB),
laboratorium sains dan teknologi, seni dan
jurnalistik, plus perpustakaan.
 Lapangan olahraga, taman, kantin, dan
klinik.
253
 Laboratorium perekonomian Islam sebagai 2. Kurikulum
sarana pengembangan kewirausahaan A. Kurikulum
(entrepreneurship). Nasional
Antara lain : Agama,
 Tempat parkir dan toilet. PPKn, Bahasa
Indonesia,
Semuanya dirancang sedemikian nyaman dan Matematika, IPA, IPS
menyenangkan. Sehingga menciptakan dan KtK.
lingkungan belajar yang kondusif.

2. Kurikulum
Kurikulum yang akan digunakan dalam IRS
YASRI terdiri dari :
A. Kurikulum Nasional
Antara lain : Agama, PPKn, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS dan KtK.
Mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, dan KtK mengikuti apa yang
ditetapkan pemerintah, dan dimodifikasi sesuai
kebutuhan. Sedangkan untuk mata pelajaran
IPS, kurikulum IRS YASRI ditambahkan
dengan filsafat sejarah, yang menekankan pada
sirah Nabawiyah, shahabat dan salafushaleh,
serta sejarah peradaban Islam sesuai dengan
jenjang masing-masing.
Khusus pelajaran Agama, IRS YASRI
menekankan pada aspek psikomotorik (untuk
seluruh jenjang), yaitu praktek langsung atas
hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, dan
muamalah dengan orientasi terbentuknya moral
dan kepribadian Islami. Aspek kognitif dan
afektif merupakan kesimpulan siswa setelah
praktek melalui model experiential learning.
Sedangkan untuk mengantisipasi evaluasi yang

254
diadakan oleh pemerintah, akan ditentukan B. Kurikulum Lokal
kemudian sesuai perkembangan. Berbasis
Kompetensi:
a. Interaksi dan
B. Kurikulum Lokal Berbasis Kompetensi: Tahfidzul Qur`an
Yang merupakan Fokus dari IRS YASRI yaitu : dan Hadits: dengan
b. Interaksi dan Tahfidzul Qur`an dan Hadits target utama
Kompetensi interaksi, pemahahaman, dan sebagai dasar
tahfidzul Qur`an, merupakan target utama dalam proses
dalam proses pembentukan karakter dan pembentukan
kepribadian anak didik. Kurikulum ini didesain karakter dan
seefektif mungkin. Dengan memanfaatkan kepribadian anak
didik.
masjid sebagai tempat belajar. Dalam hal ini
b. Bahasa Arab dan
siswa dikelompokan, masing-masing kelompok Inggris:
berjumlah antara 8 s/d 12 orang. Masing- dititiktekankan
masing kelompok dimanaj oleh seorang sebagai bahasa
pembimbing. Dengan target tiap pertemuan komunikasi dan
(sehari), anak diharapkan dapat memahami dan interaksi sosial
menghapal 1 ( satu ) atau sejumlah ayat al- (untuk jenjang
Qur`an. TK dan SD),
ditambah dengan
Interaksi dan Tahfidzul Hadits, memungkinkan
bekal analisa,
anak menghapal hadits-hadits pilihan yang interaksi budaya,
sesuai dengan perilaku sehari-hari (untuk dan
jenjang TK dan SD) dan pembekalan konsep pengembangan
ilmu pengetahuan, kepribadian, dan peradaban kemampuan
Islam (untuk jenjang SLTP dan SMU). berpikir kreatif
c. Bahasa Arab dan Inggris (untuk jenjang
Target dari kopetensi berbahasa Arab dan SLTP dan SMU).
Inggris dititiktekankan sebagai bahasa
komunikasi dan interaksi sosial (untuk jenjang
TK dan SD), ditambah dengan bekal analisa,
interaksi budaya, dan pengembangan
kemampuan berpikir kreatif (untuk jenjang
SLTP dan SMU). Dalam hal ini setiap siswa
dapat mengenal kata-kata bahasa arab dan
inggris serta aplikasinya secara sederhana
255
dengan metode induktif. Setiap tingkatan kelas e.
c. Riset: target
Sains dan Teknologi
bobot kosa-kata lebih dipadatkan dan (Information ini
kompetensi
Technology), Seni,
adalah
dikembangkan. Broadcasting, dan
membangun
c. Sains dan Teknologi, Seni, Broadcasting, dan Jurnalistik: dengan
kebiasaan (habit)
Jurnalistik target
dan membentuk
menajamkan
Target pengenalan dan penguasaan sains dan kompetensi
indera dalam
technology, khususnya dalam bidang keterampilan
mengamati dan
Information Technology (IT), seni, broadcasting, dan hidup (Life Skill).
melakukan
jurnalistik adalah membentuk kompetensi d. Riset: targetdalam
penelitian
keterampilan hidup (Life Skill). Dengan kehidupan
kompetensisehar-
ini
hari.
adalah
kompetensi ini masa depan anak didik pasca
membangun
pendidikan formal diharapkan lebih terencana, kebiasaan (habit)
D. Kurikulum
cemerlang, dan cukup menjanjikan. dan menajamkan
Alternatif
d. Riset Yaituindera dalam
: olahraga,
Target kompetensi riset adalah membangun mengamati
kepanduan, dan
training,
kebiasaan (habit) dan menajamkan indera dalam dan melakukan
kegiatan Out
mengamati dan melakukan penelitian dalam Boundpenelitian
lainnya.dalam
kehidupan sehar-hari. Tidak terbatas pada tugas kehidupan
Tujuan kurikulumsehar-
sekolah. Kebiasaan ini penting untuk hari. yaitu
alternatif
mendukung kreativitas siswa dalam pembentukan self
C. Kurikulum
confidence dan
mengembangkan dirinya. Alternatifexplore.
kemampuan
Yaitu : olahraga,
C. Kurikulum Alternatif kepanduan, training,
Yaitu : olahraga, kepanduan, training, dan dan kegiatan Out
kegiatan Out Bound lainnya. Bound lainnya.
Kurikulum alternatif dirancang untuk Tujuan kurikulum
menyeimbangkan kurikulum nasional dan lokal alternatif yaitu
yang menekankan pada aspek akademik dan pembentukan self
confidence dan
kemampuan manusia. Kurikulum alternatif
kemampuan explore.
adalah kurikulum yang berorientasi pada fisik
dan mental kreatif dan inovatif. Kurikulum
alternatif ini dirancang agar siswa belajar dalam
suasana yang menyenangkan. Tujuan kurikulum
alternatif yaitu pembentukan self confidence dan
kemampuan explore. Self Confidence maksudnya
256
4. Mentor (Instruktur
dan Pembimbing) :
agar siswa memiliki kepercayaan diri dengan
melakukan hal-hal yang menantang, sedangkan •
3.Pemberi
Tenaga wawasan
explore agar mental siswa dapat tumbuh dengan da’wah dan tarbiah
Pengajar
kemampuan penjelajahan diri. Islamiah,
(Guru)
Dengan memadukan tiga kurikulum tersebut, • konsultan
• Memiliki bagi para
visi
diharapkan dapat mencapai tujuan yang telah siswa dan orang tua,
dan misi
ditetapkan, sehingga suasana belajar yang
• mengatasi
• Berdedikasi
masalah
nyaman dan menyenangkan dapat terlaksana. belajar siswa,
tinggi
3. Tenaga Pengajar ( Guru ) • Kreatif dan
• meningkatkan
Guru adalah unsur yang sangat penting. inovatif
keterampilan
Gurulah yang akan membawa siswa ke arah belajar dan prilaku
• Kompeten dan
siswa,
terampil
tujuan pembelajaran yang telah dirancang,
sehingga output sesuai dengan apa yang • Berkepribadian
• membantu guru
diharapkan. Tenaga Pengajar harus pigur mengelola
Islami siswa,
pendidik yang Ideal, melalui sistem seleksi.
• memantau, dan
Sistem seleksi bagi para calon pengajar melakukan evaluasi
ditentukan kemudian dengan karakteristik kepribadian dan
sebagai berikut: moral siswa.
o Memiliki visi dan misi tentang pendidikan,
pembelajaran, dan masa depan anak didik 5. Psikolog,
dan pendidikan. berfungsi sebagai:
o Berdedikasi tinggi dengan ketulusan dan • Pemberi wawasan
keikhlasan yang arif dan bijaksana. psiko-paedagogis,
o Kreatif dan inovatif dalam mejalankan tugas • konsultan bagi para
pengajaran dan pembelajaran. guru dan orang tua,
o Kompeten dan terampil dalam khususnya • mengatasi masalah
dalam bidang studi yang ditugaskan dengan belajar siswa,
kemampuan dan keterampilan yang • membantu seleksi
memadai. siswa dan guru,
o Berkepribadian Islami sebagai sosok dan figur
keteladanan bagi anak didik.

4. Mentor (Instruktur dan Pembimbing)

257
• membantu seleksi
Mentor berfungsi sebagai tenaga dan daya siswa dan guru,
dukung sekolah dan guru untuk memberikan: • meningkatkan
o wawasan da’wah dan tarbiah Islamiah, keterampilan
o konsultan bagi para siswa dan orang tua, mengajar guru dan
belajar siswa,
o mengatasi masalah belajar siswa, • membantu guru
o meningkatkan keterampilan belajar dan mengelola kelas,
prilaku siswa, • memantau, dan
melakukan evaluasi
o membantu guru mengelola siswa, kesehatan
psikologis siswa.
o memantau, dan melakukan evaluasi
kepribadian dan moral siswa.
5. Psikolog
Psikolog berfungsi sebagai tenaga dan daya
dukung untuk memberikan:
o wawasan psiko-paedagogis,
o konsultan bagi para guru dan orang tua,
o mengatasi masalah belajar siswa,
o membantu seleksi siswa dan guru,
o meningkatkan keterampilan mengajar guru
dan belajar siswa,
o membantu guru mengelola kelas,
o memantau, dan melakukan evaluasi
kesehatan psikologis siswa.

5. Sarana dan Perangkat lain


Antara lain Masjid dan Islamic Center, Klinik dan
Pusat Sumber Belajar (PSB), dan sarana
pengembangan keterampilan kewirausahaan.
o Masjid dan Islamic Center dirancang sebagai
sarana pembinaan ubudiyah, pembinan
akhlaq, pembinaan amal shalih, dan
interaksi Qur`an dan Sunnah.

258
o Klinik dirancang untuk pelayanan medis,
pelayanan gizi, pembinaan kesehatan
lingkungan sekolah, pembinaan sikap
belajar yang sehat dan lain-lain.
o Pusat sumber belajar (PSB atau Student Center)
dirancang untuk produktivitas siswa dan
lembaga IRS, antara lain; produksi media
pembelajaran, pelatihan, dan pelayanan
belajar. Perpustakaan, buku cetak, dan
laboratorium lain merupakan bagian dari
pusat sumber belajar.
o Sarana pengembangan kewirausahaan, seperti
kantin, wartel, bazar, dan kios ekonomi
Islam (kios bank dan asuransi syari’ah),
dirancang sebagai sarana pengenalan dan
pembentukan mental wirausaha sesuai
perkembangan perekonomian syariah. Ini
bertujuan membentuk mental kemandirian
di kalangan anak didik.

Perangkat pembelajaran tersebut merupakan


daya dukung sistem pendidikan dan
pembelajaran IRS. Dengan demikian unsur-
unsur perangkat pembelajaran tersebut sangat
menentukan keberlangsungan proses belajar
mengajar dalam mengahsilkan kualitas produk
yang diharapkan IRS YASRI.

259
Curriculum Vitae

Nama : Amang Syafrudin.

Tempat & tanggal lahir : Sukabumi, 4 Juni


1964 M.

Alamat :
Yayasan Islam Al-Qudwah
Jl. Beringin, No. 1, Margonda raya,
Kemiri Muka,
Beji, Depok. 16423. Telp. (021) 775-
8033.

Status :
Menikah, dengan 4 anak: 1 (satu orang)
putra dan 3 (tiga orang) putri.

Pekerjaan :
 Pengajar di Jur. Syari’ah, Ekonomi
Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam
Al-Qudwah (STAIQ) Depok.
 Peneliti IDRIS (Institute for
Development and Research in
Islamic Studies) Al-Qudwah,
Depok.

Riwayat Pendidikan :
 MI (SD Islam) 1977 M Sukabumi
 MTs (SMP Islam)1981 M Bogor
 SMA Islam dan Pesantren
Cipasung 1984 M Tasikmalaya
 Fak. Syari’ah LIPIA 1990 M
Jakarta.
 Fak. Pendidikan Agama Islam
STAI At-Taqwa Bekasi 1999

260
 Program Pasca Sarjana (S2)
Psikologi Pendidikan, Universitas
Indonesia, angkatan 2000.

Pengalaman :
 Ketua OSIS SMP dan SMA
 Ketua Yayasan Islam Al-
Qudwah 1991- Sekarang
 Kabid. Tabligh dan Masajid
LP2SI Al-Haramain 1994-1998
 Pengajar di SLTA Depok Th.
1986 - 1990
 Pengajar di LSDI al-Hikmah
Th. 1990 - 1992
 Pengajar di IPPI / STAI al-
Qudwah Th. 1992- Sekarang
 Seminar, ceramah, tabligh,
dialog, kajian Islam berkala
dan bedah buku di diberbagai
PTN & PTS.

Karya Ilmiah :
Makalah-makalah, artikel, dan
terjemahan buku dan artikel dalam
berbagai tema:
 Etika Bisnis Dalam Islam.
 Paradigma Methodologi Pemikiran
dalam Islam.
 Paradigma Pembentukan Ummah
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
 Kebudayaan dan Peradaban Islam.
 Kepemimpinan Efektif dan
Berpengaruh
 Da’wah, Hukum, Keluarga Muslim,
dan lain-lain.

Pengalaman da’wah :
1. Indonesia (Jawa, Bali, Mataran,
Sumatra dan Kalimantan).
261
2. Eropa; Inggris, Prancis, Jerman dan
Belanda tahun 1992 (selama 3
bulan) dan tahun 1998; Inggris dan
Jerman (selama 2 bulan), Belanda
dan Inggris 2003.
3. Australia 1995-1996 (selama 3
bulan) dan 2004.

262

Anda mungkin juga menyukai