Anda di halaman 1dari 36

UJI FIKSASI KOMPLEMEN

Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen

yang ada dalam serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut,

dan bahwa komplemen dapat diaktivasi oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga

mengakibatkan eritrosit tersebut melisis

Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan

untuk penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri

atas 2 tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks

antigen-antibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada) menghancurkan

eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak dikonsumsi pada

reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi tahap kedua, secara

tidak langsung merupakan parameter untuk antibodi atau antigen yang diperiksa.

Untuk mendapatkan hasil yang bisa dipercaya, semua reaktan yang diperlukan untuk uji ini

harus disesuaikan satu dengan yang lain dan berada dalam jumlah atau titer yang optimal.

Oleh karena itu sebelum melaksanakan pemeriksaan pada sampel penderita, terlebih dahulu

dilakukan uji pendahuluan untuk menstandarisasi titer hemolisin dan titer komplemen yang

dipakai pada sistem uji ini.

Titer hemolisin ditentukan oleh pengenceran tertinggi hemolisin yang masih dapat

melisiskan eritrosit berkonsentrasi 2% secara lengkap, bila ada komplemen. Titer hemolisin

ini disebut 1 unit dan untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit.

Oleh karena uji fiksasi komplemen melibatkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai

reaktan, disamping titrasi hemolisin dan komplemen diatas, setiap reaktan harus diuji

terhadap ada tidaknya faktor penghambat atau faktor yang meningkatkan aktivasi komplemen

(antikomplemen atau prokomplemen). Untuk keperluan ini, pada titrasi komplemen


diikutsertakan antigen dan antigen kontrol, serta pada pemeriksaan sampel selalu harus

diikutsertakan kontrol serum positif maupun negatif. Suatu hasil pemeriksaan, baru bisa

dipercaya apabila semua reaktan pada sistem ini terkontrol dengan baik.

Uji fiksasi komplemen dipakai pertama kali oleh Wassermann, Neisser dan Bruck untuk

menentukan diagnosis Sifilis (Test Wassermann), akan tetapi kemudian prinsip pengujian

yang sama dipakai juga dalam diagnosis serologik berbagai penyakit lain, diantaranya

penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit, seperti Trypanosoma, Schistosoma, serta

penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus Hepatitis B, Herpes, Rotavirus,

Rubella dan lain-lain.

Uji Fiksasi Komplemen untuk penetapan antibodi terhadap virus

Peralatan dan bahan yang diperlukan (cara mikro)

1.Peralatan yang dipakai sama seperti untuk teknik mikrohem aglutinasi

2. Kit reagens (Behring) terdiri atas antigen virus, komplemen, eritrosit domba, hemolisin dan

larutan penyangga.

Cara kerja

I.Uji Pendahuluan

1.Titrasi hemolisin

a. Sediakan 9 tabung reaksi. Masukkan kedalam tabung pertama dan seterusnya larutan

penyangga dengan volume seperti pada gambar.


b. Masukkan 1,0 ml hemolisin yang telah diencerkan 1:100 kedalam tabung pertama,

lalu campur kemudian pindahkan 1 ml kedalam tabung berikutnya, demikian

seterusnya hingga tabung terakhir.

c. Sediakan 12 tabung, kemudian kedalam 9 tabung pertama dimasukkan masing-masing

0,2 ml larutan hemolisin dari tabung-tabung permulaan. Tabung 10-12 dipakai untuk

kontrol erithrosit.

d. Kedalam tabung 1-9 dimasukkan 0,1 ml komplemen yang sudah diencerkan 1:30, 0,2

ml suspensi eritrosit 2% dan 0,5 ml larutan penyangga.

e. Kedalam tabung 10-12 masukkan 0,2 ml suspensi eritrosit 2% dan 0,8 ml larutan

penyangga.

f. Campur lalu inkubasikan tabung-tabung tersebut pada suhu 37OC selama 30 menit.

g. Perhatikan adanya hemolisis dan tentukan tabung dengan pengenceran hemolisis

tertinggi yang menyebabkan hemolisis lengkap. Pengenceran ini disebut 1 unit dan

untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit.

h. Pembuatan sistem hemolitik

Campur eritrosit 2% sama banyak dengan hemolisin yang titernya 2 unit. Biarkan

dalam suhu kamar selama minimal 10 menit sebelum dipakai.

2. Titrasi Komplemen

a. Sediakan 3 baris tabung yang jumlahnya masing-masing 8 buah. Kedalam tabung-

tabung baris I masukkan larutan penyangga, komplemen dan larutan antigen, lalu

campur
b. Lakukan hal yang sama pada tabung baris ke II dan ke III, hanya sebagai pengganti

antigen, kedalam tabung baris II dimasukkan antigen kontrol dan kedalam tabung

baris ke III dimasukkan larutan penyangga.

c. Inkubasikan semua tabung dalam penangas air dengan suhu 37OC selama 30 menit.

d. Masukkan sistem hemolitik (1h) kedalam semua tabung sebanyak 0,2 ml. Campur dan

inkubasikan lagi pada suhu 37OC selama 30 menit.

e. Perhatikan hemolisis yang terjadi dan tentukan pengenceran komplemen tertinggi

yang menyebabkan hemolisis lengkap. Apabila hemolisis lengkap pada ketiga baris

tabung terjadi pada pengenceran komplemen yang sama, berarti semua reaktan pada

sistem ini baik.

f. Pengenceran tertinggi komplemen yang dapat menyebabkan hemolisis lengkap

disebut 1 unit dan dipakai 2 unit untuk pengujian.

II. Pemeriksaan sampel

Pada setiap pemeriksaan selalu harus diikutsertakan kontrol antigen, kontrol sistem

hemolitik, kontrol eritrosit dan kontrol komplemen.

Serum penderita terlebih dahulu diinaktifkan dalam penangas air dengan suhu 56OC

untuk menghilangkan komplemen yang ada dalam serum, sehingga satu-satunya

sumber komplemen hanya yang dibubuhkan pada pengujian dan diketahui titernya.

1. Sampe Pakai satu baris sumur untuk sampel pertama (sampel akut) dan satu baris lain

untuk sampel kedua (konvalesen).

a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan sumur 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul.

b. Masukkan ke dalam sumur 1-4 sampel yang terlebih dahulu telah diencerkan 1:5

sebanyak 25 ul.

c. Buat pengenceran serum mulai sumur 4 sampai 12 dengan mikrodiluter.


d. Masukkan kedalam sumur 2, sebanyak 25 ul antigen kontrol dan ke dalam sumur

3-12 sebanyak 25 ul antigen virus (2 unit).

e. Campur, kemudian masukkan kedalam sumur 1-2 komplemen 2 unit sebanyak 25

ul, lalu campur lagi.

2. Kontrol antigen Pakailah satu baris sumur.

a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul.

b. Masukkan kedalam sumur 1-4 serum kontrol positif yang telah diencerkan 1:5

sebanyak 25 ul, dan ke dalam sumur 11-12 serum kontrol negatif yang telah

diencerkan 1:5 sebanyak 25 ul.

c. Buat pengenceran serum mulai sumur 10 dengan mikrodiluter.

d. Ke dalam sumur 2-12 dimasukkan 25 ul antigen virus (2 unit) kemudian campur.

e. Masukkan ke dalam sumur 1-12 komplemen (2 unit) sebanyak 25 ul, kemudian

campur (kocok dengan alat pengocok)

3. Kontrol sistem hemolitikPakailah baris terakhir untuk kontrol sistem hemolitik, eritrosit

dan komplemen dengan prosedur seperti yang diuraikan dibawah ini :

Masukkan ke dalam sumur 1 dan 2 larutan penyangga sebanyak 50 ul dan komplemen

sebanyak 25 ul.

4. Kontrol eritrosit Masukkan ke dalam sumur 3 dan 4 larutan penyangga sebanyak 75 ul

dan sistem hemolitik sebanyak 50 ul.

5. Kontrol komplemen

a. Masukkan ke dalam sumur 5-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul, ke dalam

sumur 5-8 antigen virus sebanyak 25 ul dan kedalam sumur 9-12 antigen kontrol

sebanyak 25 ul.
b. Buat pengenceran komplemen dalam tabung terpisah sehingga memperoleh

larutan komplemen 2 unit, 1,5 unit, 1,0 unit dan 0,5 unit.

c. Masukkan ke dalam sumur 5 dan 9 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, ke dalam

sumur 6 dan 10 komplemen 1,5 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 7 dan 11

komplemen 1,0 unit sebanyak 25 ul dan ke dalam sumur 8 dan 12 komplemen 0,5

unit sebanyak 25 ul.

d. Campurlah reaktan dalam setiap sumur.

6. Plate ditutup dengan plate lain kemudian diinkubasikan pada suhu 4-6OC selama 18 jam

dalam kotak yang lembab (diberi kain basah).

7. Keesokkan harinya, biarkan plate dalam suhu kamar selama 15 menit, kemudian

masukkan ssitem hemolitik ke dalam semua sumur.

8. Kocok, lalu inkubasikan pada suhu 37OC selama 15-30 menit.

9. Reaksi dianggap selesai bila telah timbul hemolisis lengkap dalam sumur yang berisi

komplemen 2 dan 1,5 unit, hemolisis tak lengkap dalam sumur berisi komplemen 1 unit

dan tidak ada hemolisis dalam sumur berisi komplemen 0,5 unit.

10. Perhatikan hemolisis yang terjadi pada sumur-sumur berisi sampel dan nyatakan

pengenceran tertinggi sampel yang tidak menyebabkan hemolisis.

Penafsiran

1) Adanya reaksi positif (tidak ada hemolisis) berarti dalam serum terdapat antibodi

terhadap virus bersangkutan.

2) Titer antibodi dalam serum tunggal belum memastikan apakah ada infeksi atau

pernah divaksinasi.
3) Untuk mengetahui adanya infeksi diperlukan pemeriksaan serum ganda, yaitu 2

sampel yang diperoleh pada masa akut dan masa konvalesen dengan jarak waktu

2 minggu. Suatu kenaikan titer sebanyak 4 kali merupakan indikasi adanya

infeksi.

4) Reaksi positif pada kontrol antigen berarti dalam serum antibodi terhadap zat-zat

nonspesifik yang menyertai antigen. Untuk memastikan, titrasi terhadap serum

diulang dengan menggunakan kedua jenis antigen secara paralel. Adanya antibodi

spesifik dapat dipastikan bila titernya terhadap antigen virus 4 kali titer terhadap

antigen kontrol.

5) Serum kontrol yang diperoleh dari binatang, kadang-kadang mengandung

antibodi terhadap antigen kontrol hingga dapat menimbulkan hemolisis.

alice athecnthe

Selasa, 13 Desember 2011

UJI SEROLOGIS KHUSUS ELISA

ELISA ( Enzyme-linked immunosorbent assay) atau 'penetapan kadar

imunosorben taut-enzim' merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai

laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan

yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA

diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis

adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim

sebagai pelapor (reporter label).

Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang

menggunakan konjugat antigen–enzim atau konjugat antobodi–enzim, dan non-competitive

assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua
akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut

sebagai "Sandwich" ELISA.

Uji ini dilakukan pada plate 96-well berbahan polistirena. Untuk melakukan teknik

"Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa tahap yang meliputi:

Well dilapisi atau ditempeli antigen.

Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.

Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti

peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel sebelumnya.

Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.

Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA

reader hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD). Dengan menghitung rata-rata

kontrol negatif yang digunakan, didapatkan nilai cut-off untuk menentukan hasil positif-

negatif suatu sampel. Hasil OD yang berada di bawah nilai cut-off merupakan hasil negatif,

dan demikian juga sebaliknya. 

Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yang

besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu

dengan antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada

window period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulai

sehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi

1. Pengujian Secara Serologi (ELISA)       

1.1 Secara langsung (baku) (Double Antibody Sandwich) (DAS ELISA)      

Dalam uji ini digunakan konjugat gamma globulin murni dari antibody virus yang telah

dilabel dengan enzim. Konjugat ini hanya dapat digunakan untuk virus tertentu

saja.     

       
Cara kerja

 Gamma globulin (pengenceran yang telah disiapkan) dimasukkan ke dalam

sumur-sumur cawan elisa, masing-masing sebanyak 100-200 ul.

 Selanjutnya diinkubasikan selama 1 – 2 jam pada suhu 37oC, lalu buang

larutannya dan cawan ELISA dibilas dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-

masing 3 menit.

 Contoh antigen (dilarutkan dalam PBST + PVP atau ekstrak buffer) dimasukkan

ke dalam sumur-sumur cawan ELISA, masing-masing 100 – 200 ul.

 Inkubasikan selama 1 – 2 jam pada suhu 37oC. Lalu buang larutannya dan cawan

Elisa dibilas kembali dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3

menit.

 Enzim konjugat yang telah dlarutkan dengan konjugat buffer dengan

perbandingan tertantu dimasukkan dalam lubang-lubang cawan masing-masing

sebanyak 100 – 200 ul.

 Inkubasikan selama 1 – 2 jam pada suhu 37oC. Lalu buang larutannya dan cawan

Elisa dibilas kembali dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3

menit.

 Siapkan substrat buffer kemudian larutkan PNPP ke dalamnya dengan

perbandingan 1:1 (ul/ml), masukkan larutan tadi kedalam lubang-lubang cawan

Elisa sebanyak 150 – 200 ul. Inkubasikan cawan Elisa pada suhu kamar. Lihat

perubahan warnanya setelah 30 – 60 menit. Pembacaan dapat dilakukan secara

langsung (visual) atau dengan Elisa Reader.      

         
1.2 Secara tidak langsung (Double Antigen Coating/DAC)

Cara pengujian tidak langsung digunakan konjugat gamma globulin dari serum

darah hewan(kelinci, kambing atau mencit) yang telah dilabel dengan enzim. Konjugat

ini dapat digunakan untuk mendeteksi semua virus tanaman.

Cara Kerja :

 Sap antigen dilarutkan dalam coating buffer dengan perbandingan 1:50 atau lebih

 Larutan tersebut dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan Elisa, masing-

masing sebanyak 100 ul.

 inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC, lalu buanglah larutannya dan cawan

Elisa dibilas dengan PBS-Tween sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.

 Antiserum (dilarutkan dalam konjugat buffer) dimasukkan ke dalam lubang-

lubang cawan Elisa, masing-masing sebanyak 100 ul.

 Inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC. Lalu lakukanlah tahap kerja ke-2

 Konjugat (anti rabbit FC gamma globulin + alkalin phospatase) dimasukkan

masing-masing sebanyak 100 ul.

 Inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC, lalu lakukan tahap kerja ke-2.

 Substrat (sama seperti pada uji Elisa baku) dimasukkan ke dalam lubang-lubang

cawan Elisa, masing-masing sebanyak 100 ul.

 inkubasikan cawan Elisa pada suhu kamar selama 15 – 30 menit. Pembacaan

dapat langsung (warna kuning yang timbul) atau dengan menggunakan ELISA

Reade

Aplikasi ELISA

ELISA dapat mengevaluasi kehadiran antigen dan antibodI dalam suatu sampel,

karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk mendeterminasi konsentrasi 

antibodi  dalam serum (seperti dalam tes HIV), dan juga untuk mendeteksi kehadiran antigen.
Metode ini juga bisa diaplikasikan dalam indiustri makanan untuk mendeteksi allergen

potensial dalam makanan seperti susu, kacang, walnut, almond, dan telur. ELISA  juga dapat

digunakan dalam bidang toksikologi untuk uji pendugaan cepat pada berbagai kelas obat.

Beberapa Tipe ELISA

A. Indirect ELISA

Tahap umum yang digunakan dalam indirect ELISA untuk mendeterminasi konsentrasi

antibodi dalam serum adalah:

1. Suatu antigen yang sudah dikenal dan diketahui konsentrasinya ditempelkan pada

permukaan lubang plate mikrotiter. Antigen tersebut akan menempel pada permukaan

plastik dengan cara adsorpsi. Sampel dari konsentrasi antigen yang diketahui ini akan

menetapkan kurva standar  yang digunakan untuk mengkalkulasi konsentrasi antigen

dari suatu sampel yang akan diuji.

2. Suatu larutan pekat dari protein non-interacting, seperti bovine serum albumin (BSA)

atau kasein, ditambahkan dalam semua lubang plate mikrotiter.  Tahap ini dikenal

sebagai blocking, karena protein serum memblok adsorpsi non-spesifik dari protein

lain ke plate.

3. Lubang plate mikrotiter atau permukaan lain kemudian dilapisi dengan sampel serum

dari antigen yang tidak diketahui, dilarutkan dalam buffer yang sama dengan yang

digunakan untuk antigen standar. Karena imobilisasi antigen dalam tahap ini terjadi

karena adsorpsi non-spesifik, maka konsentrasi protein total harus sama dengan

antigen standar.

4. Plate dicuci, dan antibodi pendeteksi yang spesifik untuk antigen yang diuji

dimasukkan dalam lubang. Antibodi ini hanya akan mengikat antigen terimobilisasi

pada permukaan lubang, bukan pada protein serum yang lain atau protein yang

terbloking.
5. Antibodi sekunder, yang akan mengikat sembarang antibodi pendeteksi, ditambahkan

dalam lubang. Antibodi sekunder ini akan berkonjugasi menjadi enzim dengan

substrat spesifik. Tahap ini bisa dilewati jika antibodi pendeteksi berkonjugasi dengan

enzim.

6. Plate dicuci untuk membuang kelebihan konjugat enzim-antibodi yang tidak terikat.

7. Dimasukkan substrat yang akan diubah oleh enzim untuk mendapatkan sinyal

kromogenik/ fluorogenik/ elektrokimia.

8. Hasil dikuantifikasi dengan spektrofotometer, spektrofluorometer atau alat optik/

elektrokimia lainnya.

Enzim bertindak sebagai amplifier, bahkan jika hanya sedikit antibodi terikat enzim yang

tetap terikat, molekul enzim akan memproduksi berbagai molekul sinyal. Kerugian utama

dari metode indirect ELISA adalah metode imobilisasi antigennya non-spesifik, sehingga

setiap protein pada sampel akan menempel pada lubang plate mikrotiter, sehingga

konsentrasi analit yang kecil dalam sampel harus berkompetisi dengan protein serum lain saat

pengikatan pada permukaan lubang. Mekanisme indirect ELISA dapat dilihat pada gambar di

bawah ini.

2. Sandwich ELISA

 Tahapan dalam Sandwich ELISA adalah sebagai berikut:

 Disiapkan permukaan untuk mengikatkan antibodi ‘penangkap’

 Semua non spesifik binding sites pada permukaan diblokir

 Sampel berisi antigen dimasukkan dalam plate

 Plate dicuci untuk membuang kelebihan antigen yang tidak terikat

 Antibodi primer ditambahkan, supaya berikatan secara spesifik dengan  antigen

 Antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim dimasukkan, yang akan berikatan

dengan antibodi primer


 Plate dicuci, sehingga konjugat antibodi-enzim yang tidak terikat dapat dibuang

 Ditambahkan reagen yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal berwarna/

berfluoresensi/ elektrokimia

 Diukur absorbansinya  untuk menetukan kehadiran dan kuantitas dari antigen

Keuntungan utama dari metode sandwich ELISA adalah kemampuannya menguji sampel

yang tidak murni, dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki. Tanpa

lapisan pertama antibodi penangkap, semua jenis protein pada sampel (termasuk protein

serum) dapat diserap secara kompetitif oleh permukaan lempeng, menurunkan kuantitas

antigen yang terimobilisasi. Prinsip kerja sandwich ELISA dapat dilihat pada skema berikut

ini:

3. ELISA kompetitif

 Tahapan pengerjaan ELISA kompetitif berbeda dari dua metode yang telah

dibahas sebelumnya, yaitu:

 Antibodi yang tidak berlabel diinkubasi dengan kehadiran antigennya

 Komplek antigen-antibodi ini selanjutnya ditambahkan pada lubang yang telah

dilapisi antigen

 Plate dicuci, sehingga kelebihan antibodi tercuci (semakin banyak antigen dalam

sampel, semakin sedikit antibodi yang dapat terikat pada antigen yang menempel

pada permukaan lubang, karena inilah disebut kompetisi

 Ditambahkan antibodi sekunder yang spesifik utnuk antibodi primer. Antibodi

sekunder ini berpasangan dengan enzim

 Substrat ditambahkan, enzim akan mengubah substrat menjadi sinyal kromogenik/

fluoresensi.
PENDIDIKAN,KESEHATAN DAN BIOTEKNOLOGI KEDOKTERAN

Pendidikan dan Kesehatan merupakan hal yang sangat penting, karena itu kami tampilkan

beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan terutama di bidang Laboratorium

Kesehatan. Serta hal-hal yang menyangkut masalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh Mikroba atau parasit

Senin, 20 Desember 2010

Imunodiagnostik dan Serologi Pada Infeksi Mikroba

Pada laboratorium mikrobilogi klinik, pembiakan mikroorganismee dari specimen pasien

masih merupakan metoda yang digunakan untuk penyakit infeksi. Pada tahun 1940

dan 1950an dikembangkan teknik serologi seperti teknik Oudin dan imunodifusi

Ouchterlony. Kemudian setelah itu mulai berkembang metode lain yang didasarkan

kepada konsep immunologi, seperti fiksasi komplemen, yang diperkenalkan sebagai

metode yang dapat menentukan respon imun seseorang terhadap infeksi. Pemeriksaan

seperti radioimmunoassay, enzyme assays dan teknik hibridoma meningkatkan

peranan pemeriksaan serologis untuk penyakit infeksi.

Respon imun spesifik secara sederhana dibagi dalam 2 kategori yaitu: respon yang

dimediasi oleh sel dan respon yang dimediasi oleh antibodi. Respon imun yang

dimediasi oleh sel dibawakan oleh sel limfosit T. Limfosit T berproliferasi dan

berdifferensiasi menjadi beragam sel efektor, termasuk sel T helper dan sel T

sitotoksik. Sel T sitotoksik secara spesifik menyerang dan membunuh

mikroorganismee pada sel hospes yang rusak atau karena terinfeksi pathogen. Sel T

helper memproduksi sitokin, sitokin merangsang pematangan sel B sehingga sel B

memproduksi antibodi yang mampu membunuh organisme yang mengifeksi.

Respon imun yang dimediasi oleh antibodi adalah merupakan protein spesifik yang

dihasilkan oleh limfosit B. karena protein bersifat menimbulkan reaksi fungsi


imunologis dan memiliki struktur globular pada keadaan aktif maka disebut juga

immunoglobulin.

Antibodi disekresikan ke dalam darah atau cairan limpa (kadangkala pada cairan tubuh

lainnya) oleh sel B limfosit, atau tetap melekat pada permukaan sel limfosit atau sel

lain. Karena sel yang terlibat dalam kategori respon imun ini berada dalam sirkulasi

darah, tipe imunitas seperti ini disebut juga imunitas humoral. Untuk keperluan

penentuan antibodi pada pasien yang telah diproduksi ketika proses melawan infeksi,

serum pasien (atau kadangkala plasma) diperiksa untuk mengetahui adanya antibodi.

Mempelajari diagnosa suatu penyakit berdasarkan penentuan kadar antibodi dalam

serum disebut serologi.

Karakteristik Antibodi.

Secara genetik manusia memilki kemampuan untuk memproduksi secara langsung

antibodi spesifik terhadap hampir semua jenis antigen, baik melalui kontak selama

hidup dan oleh pengenalan tubuh sebagai benda asing. Antigen dapat berupa bagian

struktur fisik atau bahan kimia yang diproduksi dan dilepaskan oleh pathogen

misalnya eksotoksin. Satu pathogen dapat mengandung atau memproduksi banyak

antigen yang berbeda-beda yang dapat dikenali oleh hospes sebagai benda asing,

sehingga infeksi oleh satu agent penyakit dapat menimbulkan produksi antibodi yang

berbeda-beda. Sebagai tambahan, beberapa antigen memiliki sifat tidak dapat dikenali

oleh sel hospes apabila antigen tersebut tidak melalui proses perubahan fisik, sebagai

contoh sebelum bakteri pathogen dicerna oleh leukosit polimormonuklear, beberapa

antigen pada permukaan sel tidak dapat dikenali oleh sistem imun, sekali bakteri

tersebut pecah, antigen inilah yang akan dikenali sehingga terbentuk antibodi untuk

melawan antigen tersebut. Berdasarkan alasan tersebut pasien dapat memproduksi

antibodi yang berbeda pada saat infeksi oleh satu jenis penyakit. Respon imun akan
semakin matang dengan adanya paparan yang berulang, dan antibodi yang terbentuk

akan lebih spesifik dan lebih dapat terikat dengan kuat.

Antibodi bekerja dengan jalan:

1). Melekat pada permukaan pathogen dan membuat pathogen lebih dapat diterima oleh

sel fagosit (opsonisasi antibodi)

2). Berikatan dan menghalangi reseptor permukaan pada sel hospes (antibodi netralisasi)

3). Melekat pada permukaan sel pathogen dan berperan dalam penghancuran dengan

aktifitas lisis sistem komplemen (fiksasi komplemen antibodi).

Meskipun metode diagnostik serologi rutin biasanya hanya mengukur dua kelas antibodi

yaitu IgM dan IgG, terdapat lima kelas antibodi yang berbeda yaitu : IgG, IgM, IgE,

IgA dan IgD. Pada struktur antibodi terdapat tempat melekatnya antigen (antigen

binding site), yang bersifat spesifik pada setiap antibodi yang terbentuk. Berdasarkan

spesifitas antibodi, antigen dengan beberapa kesamaan tetapi tidak identik, dapat

berikatan pula dengan antibodi, disebut dengan reaksi silang. Komplemen-binding site

terletak ditengah-tengah struktur molekul dan semua sama pada setiap kelas antibodi.

IgM merupakan respon pertama untuk beberapa antigen, walaupun jumlahnya yang

tinggi hanya bersifat sementara. Sehingga dengan adanya IgM menandakan bahwa

baru terinfeksi atau permulaan infeksi aktif. Dilain pihak IgG merupakan antibodi

yang dapat tetap bertahan lama sampai setelah infeksi hilang. Struktur molekul IgM

terdiri dari lima monomer antigen dengan sepuluh antigen –binding site.

Respon imun humoral yang bermanfaat dalam pengujian diagnostik

Sistem imun manusia mampu memproduksi baik antibodi IgM atau IgG dalam hampir

semua pathogen. Pada kebanyakan kasus, IgM diproduksi oleh pasien hanya setelah

interaksi pertama dengan pathogen dan tidak lagi terdeteksi setelahnya dalam waktu

singkat. Untuk kepentingan diagnosa secara serologis, perbedaan yang penting dari
IgM dan IgG adalah IgM tidak dapat menembus plasenta dari ibu hamil, sehingga

apabila IgM terdeteksi pada serum bayi baru lahir, pasti telah dibuat oleh bayi itu

sendiri. Dengan molekul yang besar dan jumlah antigen-binding site IgM dapat

membantu mempercepat melenyapkan pathogen.

IgG merupakan antibodi yang lebih spesifik terhadap antigen, walaupun IgG hanya

memiliki dua antigen binding site, tapi dapat pula terikat pada komplemen. Ketika

IgG terikat pada antigen, dasar molekul akan melekat dan terikat pada membran sel

fagosit, meningkatkan kemampuan menelan dan penghancuran pathogen oleh sel

hospes. Pertemuan kedua dengan antigen yang sama biasanya hanya menimbulkan

respon IgG. Karena sel B limfosit menyimpan sel memori dari pathogen tersebut,

sehingga dapat lebih cepat merespon dan lebih banyak dihasilkan antibodi

dibandingkan dengan interaksi pertama. Respon cepat tersebut dinamakan respon

anamnestik. Karena sel B memori tidak sempurna, kadangkala kelompok sel memori

akan distimulasi oleh antigen yang mirip tapi tidak sama seperti antigen asal, yang

menimbulkan respon anamnestik poliklonal dan tidak spesifik. Sebagai contoh infeksi

ulang cytomegalovirus akan menstimulasi sel B memori untuk memproduksi antibodi

terhadap virus Eipstein-Barr (family virus herpes lainnya).

Interpretasi pada pemeriksaan serologi

Pemahaman umum dari konsep serologi adalah terjadinya peningkatan titer. Titer

antibodi sebanding dengan pengenceran tertinggi serum pasien dimana antibodi masih

dapat terdeteksi. Pasien dengan jumlah antibodi yang tinggi, karena antibodi masih

dapat terdeteksi pada pengenceran tertinggi, serum yang digunakan untuk penentuan

titer antibodi harus diambil selama fase akut dari penyakit (ketika pertama kali

diketahui atau masih tersangka) dan diulangi selama masa penyembuhan (biasanya

dua minggu kemudian). Specimennya disebut serum akut dan serum konvalesen.
Untuk beberapa infeksi, seperti penyakit legionnaire’s dan hepatitis, titer dapat tidak

meningkat sampai beberapa bulan setelah infeksi akut atau dapat tidak pernah

meningkat sama sekali. Untuk kebanyakan pathogen, peningkatan titer dari

pengenceran empat kalinya (yaitu dari positif pada titer 1/8 menjadi 1/32 pada serum

berpasangan (akut dan konvalesen), dapat dipertimbangkan didiagnosa sebagai infeksi

baru. Hasil yang akurat untuk diagnosa penyakit infeksi ini akan didapatkan hanya

ketika serum akut dan konvalesen diperiksa bersama-sama dalam sistem pengujian

yang sama.

Prinsip-prinsip pemeriksaan metode serologis

Penentuan antibodi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa kasus antibodi

terhadap satu jenis antigen dapat diperiksa dengan lebih dari satu cara tetapi metode

penentuan antibodi yang berbeda terhadap satu antigen boleh jadi mengukur antibodi

yang berbeda. Berdasarkan alasan tersebut adanya antibodi terhadap pathogen tertentu

yang dideteksi oleh satu metode mungkin saja tidak berhubungan dengan adanya

antibodi terhadap antigen yang sama tapi dengan metode yang berbeda. Kemudian

pula setiap metode pemeriksaan memiliki derajat sensitifitas yang bervariasi dalam

mendeteksi adanya antibodi. Walaupun demikian, karena IgM biasanya diproduksi

hanya pada pasien dengan infeksi pertama kali terhadap agent infeksi, penentuan IgM

dapat membantu klinisi dalam penentuan diagnosa, sehingga kebanyakan metode

serologis didasarkan kepada analisa IgM.

Pemeriksaan IgM untuk pemeriksaan serologis

Pemeriksaan IgM berguna khususnya untuk penyakit yang memiliki gejala klinik yang

tidak jelas, misalnya toksoplasmosis atau untuk penyakit yang memerlukan keputusan

pengobatan yang cepat contohnya infeksi rubella pada wanita hamil yang dapat

berakibat tidak baik bagi janin seperti katarak, glukoma, keterbelakangan mental, dan
ketulian. Sehingga untuk wanita hamil yang terinfeksi virus rubella dan mengalami

sakit demam dapat dlakukan pemeriksaan terhadap IgM antirubella. Apabila positif

dapat diajukan pilihan untuk menghentikan kehamilan.

Agent yang sulit dibiakan atau hanya dapat ditemui saat stadium dewasa selama siklus

hidupnya seperti Treponema pallidum, cytomegalovirus, virus herpes, Toxoplasma

atau Rubella, biasa digunakan pemeriksaan IgM, dan telah dikelompokkan dalam satu

pemeriksaan STORCH (syphilis, Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan

Herpes). Tes ini dilakukan secara terpisah tergantung gejala klinik pada bayi baru

lahir. Akan tetapi kadangkala pada bayi yang terinfeksi terlihat sehat. Demikian pula

pada beberapa keadaan biasa terjadi positif palsu atau negatif palsu dalam

pemeriksaan serologis, sehingga berbagai pertimbangan termasuk kondisi klinis harus

disertakan pada infeksi neonatal dan teknik pembiakan pada beberapa kasus masih

merupakan metode yang dipercaya untuk diagnosa penyakit.

Pemisahan IgM dari IgG diperlukan untuk metode pemeriksaan yang menggunakan IgM

sebagai marker yang diberi label, misalnya metode IgM capture sandwich. IgM

dahulu dapat dipisahkan dengan metode sentrifugasi kecepatan tinggi. Metode lain

yang digunakan untuk memisahkan IgG dan IgM didasarkan pada kenyataan bahwa

protein permukaan staphylococcus (proteinA) dan streptococcus (protein G) terikat

pada bagian Fc dari IgG . dengan sentrifugasi dan pemisahan partikel dan ikatan IgG

dari campuran maka akan didapatkan IgM. Metode lainnya yang dapat digunakan

untuk memisahkan IgM dari serum yang mengandung IgG dan IgM adalah dengan

penambahan rheumatoid factor. Antibodi IgM diproduksi oleh beberapa pasien

bersama-sama IgG, rheumatoid factor berikatan dengan IgG sehingga IgM dapat

dipisahkan dari IgG.

Metode pemeriksaan antibodi


A. Metode aglutinasi

Reaksi aglutinasi (direk atau pasif) banyak digunakan, sebagai contoh penentuan tipe

eritrosit dalam penggolongan darah, diagnosis imunologi pada penyakit hemolitik

seperti anemia hemolitik yang diinduksi obat, tes rheumatoid faktor (IgM dan IgG),

tes untuk syphilis dan aglutinasi untuk tes kehamilan.

Contoh reaksi aglutinasi pada pemeriksaan Golongan darah

Pada reaksi aglutinasi bakteriologis, dasar pemeriksaan penentuan antibodi adalah

pengukuran antibodi yang terbentuk yang merupakan respon terhadap antigen.

Antibodi spesifik melekat pada permukaan bakteri dalam suspensi yang kental

sehingga menyebabkan bakteri berkumpul membentuk agregat. Antibodi yang

demikian disebut dengan aglutinin dan pemeriksaannya disebut aglutinasi bakteri.

Reaksi aglutinasi biasa dilakukan untuk infeksi bakteri yang sulit dilakukan

pembiakan secara in vitro. Bakteri yang menggunakan teknik ini diantaranya: tetanus,

yersiniosis, leptospirosis, brucellosis, dan tularemia. Demam thypoid agglutinin test

(Widal test) sudah jarang digunakan karena biasa bereaksi positif pada pasien dengan

infeksi bakteri lain atau reaksi silang antibodi atau karena pernah imunisasi thypoid.

Pemeriksaan yang paling sesuai untuk pasien tersangka demam thypoid adalah

dengan pembiakan dan identifikasi adanya bakteri Salmonella. Sel parasit

Plasmodium, Leismania atau Toxoplasma gondii, juga telah menggunakan metode

aglutinasi langsung untuk deteksi antibodi. Banyak pasien yang terinfeksi ricketsia

memproduksi antibodi yang dapat menyebabkan aglutinasi non spesifik terhadap

bakteri proteus. Tes Weil-Felix dapat digunakan untuk mendeteksi reaksi silang

tersebut, tetapi telah tersedia metode pemeriksaan infeksi ricketsia yang baru yang

lebih spesifik sehingga tes Weil-Felix tidak dipergunakan lagi.

B. Tes Aglutinasi partikel


Teknik pemeriksaan serologis yang mendeteksi antibodi melalui aglutinasi dari partikel

pembawa (carrier) tiruan dimana antigen terikat pada partikel tersebut. Carrier yang

biasa digunakan partikel lateks atau sel darah merah yang telah di olah, atau biologic

carrier seperti sel bakteri yang dapat membawa antigen pada permukaannya dan dapat

berikatan dengan antibodi yang diproduksi sebagai respon dari sel hospes. Ukuran

partikel pembawa memungkinkan reaksi aglutinasi dapat terlihat. Contohnya untuk

antigen cryptococcal digunakan lateks bead yang dilekati antibodi spesifik pada

metode lateks agglutination.

Untuk mendeteksi streptococcus grup A dari swab tenggorok , digunakan metode

pemeriksaan aglutinasi partikel untuk grup β-hemolitik streptococcus. Hasil aglutinasi

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jumlah dan afinitas konjugat antigen

terhadap carrier, waktu inkubasi dengan serum penderita dan interaksi yang terjadi

pada lingkungan mikro (pH dan konsentrasi protein). Tes komersial telah

dikembangkan sebagai satu kesatuan lengkap dengan pelarut, kontrol dan wadah

tersendiri. Untuk hasil yang akurat harus digunakan sebagai kesatuan tidak bisa

dimodifikasi atau digantikan dengan reagen lain. Apabila tes digunakan untuk

specimen LCS misalnya, tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan specimen serum

kecuali ada teknik prosedur yang disajikan didalamnya dan telah distandarisasi untuk

digunakan.

Sel darah merah binatang biasa juga digunakan sebagai carrier antigen pada tes aglutinasi,

tes ini disebut dengan haemaglutinasi untuk mendeteksi adanya partikel virus

berdasarkan sifat mengaglutinasikan eritrosit yang terlihat secara makroskopis dan

indirect haemaglutinasi atau haemaglutinasi pasif, karena bukan merupakan antigen

sel darah merah itu sendiri, tetapi sebagai sel pembawa antigen secara pasif, yang

akan diikat oleh antibodi. Yang digunakan secara luas dari metode ini dan telah
tersedia secara komersial adalah Mikrohaemaglutinasi untuk antibodi Treponema

pallidum (MHA-TP), Haemaglutinasi treponemal untuk syphilis (HATTS),

haemaglutinasi pasif untuk antibodi terhadap antigen ekstraseluler steptococcus , dan

tes indirek haemaglutinasi untuk antibodi virus Rubella, eritrosit diolah dengan

penambahan formaldehid-piruvat aldehid sehingga virus rubella dapat terabsorpsi

pada membrane permukaan eritrosit . Pedoman laboratorium terpercaya seperti Center

for Disease Control and Prevention (CDC) juga menyelenggarakan pemeriksaan

indirek haemaglutinasi untuk tes antibodi terhadap beberapa clostridia, Burkholderia

psudomallei, Bacillus anthracis, Corynebacterium diphtheria, Leptospira dan beberapa

agen virus dan parasit.

Contoh pemeriksaan aglutinasi partikel:

ASI Color Mono II test merupakan tes aglutinasi untuk pemeriksaan kualitatif dan

semikunatitatif untuk mendeteksi antibodi heteropil serum yang berhubungan dengan

Mononukleus infeksiosa (IM). Tidak diperlukan pengenceran sampel.

Prinsip pemeriksaan:

Tes didasarkan reaksi antara antibodi IM dalam sampel bereaksi dengan antigen yang

dilekatkan pada eritrosit kuda dan diberi indikator warna. Apabila dalam sampel

terdapat antibodi heterofil akan terjadi aglutinasi yang menunjukkan hasil positif

apabila tidak ada antibodi, tidak terjadi aglutinasi (hasil tes negatif)

Gambar contoh reaksi aglutinasi Positif (1) dan negatif (2)

Sumber www.dshs.state.tx.us/LAB/serology_cf.shtm

Tes Haemaglutinasi

Digunakan untuk pemeriksaan

- Virus influenza dan virus lainnya


- Pemeriksaan protein : Neuramidase , Haemaglutinin ( yang secara spesifik terikat pada

sel eritrosit)

Langkah-langkah pemeriksaan:

1. Pemipetan larutan pengencer.

2. Tambahkan eritrosit dan aduk secara perlahan sampai homogen.

3. Biarkan sel eritrosit tenang dan amati pola susunan eritrosit.

4. Amati apakah sel normal mengendap atau ada aglutinasi dengan mengamati apakah

terbentuk seperti kancing pada dasar mikrotiter plate atau terbentuk suspensi eritrosit

yang terlarut .

Haemaglutinasi inhibisi

Pada umumnya virus yang menginfeksi manusia dapat berikatan dengan sel darah merah

dari spesies yang berbeda. Sebagai contoh partikel virus rubella dapat berikatan

dengan sel darah manusia tipe O, angsa atau eritrosit ayam dan menyebabkan

aglutinasi sel darah merah. Virus influenza dan parainfluenza dapat

mengaglutinasikan eritrosit babi, ayam dan manusia tipe O, arbovirus dapat

mengaglutinasikan eritrosit angsa, adenovirus dapat mengaglutinasikan eritrosit tikus

atau sel rhesus kera, virus mumps berikatan dengan eritrosit kera, virus herpes dan

cytomegalovirus mengaglutinasikan eritrosit domba.

Tes serologi untuk mendeteksi adanya antibodi berbagai virus tersebut berdasarkan

kemampuan aglutinasi virus. Serum pasien yang telah diolah dengan penambahan

kaolin atau heparin-magnesium chloride (untuk menghilangkan inhibitor nonspesifik

dan nonspesifik agglutinin sel eritrosit) ditambahkan ke dalam system yang

mengandung virus tersangka penyebab penyakit. Apabila serum mengandung antibodi

terhadap virus, akan terbentuk kompleks dan akan menghalangi binding-site


permukaaan virus. Ketika sel eritrosit ditambahkan ke dalam larutan seluruh partikel

virus akan terikat pada antibodi, sehingga akan mencegah virus mengaglutinasikan

eritrosit. Sehingga serum pasien dikatakan positif untuk tes haemaglutination

inhibition antibodi

Gambar Reaksi pada tes haemaglutinasi inhibisi

C. Tes flokulasi

Berbeda dengan pembentukkan agregat ketika partikel antigen berikatan dengan antibodi

spesifik, interaksi antara antigen terlarut dengan antibodi akan membentuk presipitat,

pemadatan partikel halus, biasanya terlihat hanya jika presipitat tetap stabil berada

pada matrik.

Ada dua jenis tes berdasarkan flokulasi:

1). Tes Presipitin

Metode klasik untuk mendeteksi antigen terlarut yaitu antigen dalam suatu larutan adalah

Outcherlony double immunodiffusion. Pada metode ini sumur dibuat dalam suatu

agar, suatu matrik berbentuk gelatin yang memungkinkan partikel berdifusi dalam

cawan petri. Metode ini biasanya digunakan untuk mendeteksi eksoantigen yang

diproduksi oleh jamur sistemik untuk konfirmasi keberadaannya dalam pembiakan.

Akan tetapi teknik ini terlalu lambat untuk penggunaan secara umum untuk deteksi

antigen secara langsung dari specimen serum pasien.

Contoh hasil double immunodiffusi dan imunopresipitasi

Imunodiffusi

Tes imunodifusi didasarkan pada pembentukkan imunokompleks yang berdasarkan berat

molekul yang tinggi, presipitat dan bentuk garis presipitasi dapat diamati secara

makroskopik. Metode ini untuk mendapatkan hasil diperoleh kurang lebih satu

minggu itupun hanya hasil kualitatif. Teknik imunodifusi dapat dilakukan pada cawan
petri yang mengandung agar gelatin 1% dalam suasana buffer posfat atau tris buffer.

Sumur-sumur dibuat menggunakan perforator, untuk menempatkan antigen di sumur

dan serum-serum diletakkan mengeliligi antigen. Antigen dan antibodi dalam serum

akan berdifusi dalam agar dan ketika bertemu akan membentuk garis agak kabur yang

akan terlihat pada cahaya langsung dan dengan latar belakang gelap. Kontrol positif

(standar serum) harus disertakan untuk panduan pembacaan hasil positif dan

interpretasi. Teknik imunodifusi selain untuk serum juga dapat digunakan untuk LCS

dan urine. Teknik imunodifusi biasa digunakan pula untuk deteksi antibodi terhadap

jamur pathogen : Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides, Paracoccidioides, dan

beberapa jamur opportunistic yang pemeriksaannya memerlukan waktu sekurang-

kurangnya 48 jam bahkan lebih untuk mengembangkan pembentukan pita .

Gambar contoh hasil imunodifusi yang positif untuk paracoccidioidomycosis (a) dan hasil

positif pada reaksi aglutinasi latek pada sumur atas dan hasil negatif pada sumur di

bawah (b)

VDRL (Veneral Disease Research Laboratory test)

Merupakan metode yang menggunakan prinsip presipitasi dengan bentuk produk akhir

presipitin berkumpul terlihat secara makroskopis dan mikroskopis. Pasien yang

terinfeksi treponema, pada umumnya Treponema. pallidum, penyebab shypilis

membentuk antibodi seperti protein dinamakan reagin yang akan berikatan dengan

antigen cardiolipin-lecithin-coated cholesterol partikel, menyebabkan partikel

berflokulasi. Karena reagin bukan merupakan antibodi langsung yang spesifik

terhadap antigen T. pallidum, tes ini kurang spesifik tetapi baik digunakan untuk

skrining tes. VDRL merupakan satu-satunya tes yang paling berguna untuk

mendeteksi cairan LCS pasien tersangka Neuroshypilis, meskipun kemungkinan

terjadi positif palsu. Pelaksanaan tes VDRL memerlukan ketelitian, alat gelas yang
bersih, dan harus memperhatikan rincian secara tepat, termasuk kontrol kualitas rutin.

Sebagai tambahan, reagen yang akan digunakan harus disiapkan baru setiap

pelaksanaan tes, serum pasien harus diinaktivasi dengan pemanasan selama 30 menit

pada 56⁰C sebelum tes, dan hasilnya dibaca menggunakan mikroskop. Untuk semua

alasan tersebut banyak laboratorium klinik menggunakan tes kualitatif tandingan

Rapid Plasma Reagin (RPRtest)

RPR (Rapid Plasma Reagin test)

RPR merupakan tes yang tersedia secara komersial lengkap dengan konrol positif dan

negatif, kartu tempat reaksi, dan reagen untuk persiapan suspensi antigen. Antigen

kardiolipin-lecithin-coated cholesterol dengan cholin klorida dan juga mengandung

partikel arang untuk memperlihatkan flokulasi makroskopis. Serum tanpa pemanasan

dan reaksi terjadi pada permukaan kartu tes yang kemudian dibuang. RPR merupakan

tes yang dianjurkan untuk specimen LCS. Seluruh prosedur distandarisasi dan

dijelaskan terperinci dalam kit reagen dan harus diikuti dengan tepat. Secara

keseluruhan RPR merupakan tes skrining yang lebih sensitif dibandingkan VDRL,

dan lebih mudah dalam pengerjaannya. Beberapa modifikasi telah dibuat, misalnya

penggunaan zat warna untuk mempermudah melihat hasil reaksi.

Kondisi dan infeksi lain selain shypilis yang dapat menyebabkan hasil positif pada

pemeriksaan VDRL atau RPR disebut biologic false positive tes. Penyakit autoimun,

seperti lupus erythematosus dan demam reumatik, mononucleosis infeksiosa,

hepatitis, kehamilan dan usia tua,dapat menyebabkan positif palsu sehingga untuk

hasil positif dinyatakan sebagai dugaan dan harus dikonfirmasi dengan tes spesifik

treponemal.

Tes RPR

Contoh : BD Macro-Vue™ RPR Card Test Kits


Sumber : www.cardinalhealth.com/.../images/B/B6940-9.jpg

BD Macro-Vue™ RPR (rapid plasma reagin) merupakan tes nontreponemal untuk

mendeteksi shypilis, terdiri dari reagen tetes, kartu tes berdiameter 18 mm dan

prosedur yang tercantum dalam A Manual of Tests for Syphilis (Larsen, S., et al.,

editors, 1990, American Public Health Association).

Gambar Rotator untuk RPR

Sumber : websites.labx.com/rankin/pics/41747.JPG

BD Macro-Vue Card Test Rotator model 51-II. Merupakan rotator yang digunakan pada

metodeith Macro-Vue circle card tests. Rotator dengan kecepatan rotasi konstan 100

rpm dengan diameter lingkaran kartu tes 2 cm. waktu yang dibutuhkan selama 8 menit

dan akan terdengar suara bel apabila telah mencukupi waktu yang telah ditentukan.

115V, 60 Hz.

Gambar pengenceran serum RPR kuantitatif

Sumber :student.ccbcmd.edu/.../lab18/images/rprdil.jpg

2). Counterimmunoelectrophoresis

Jenis tes lain yang menggunakan prinsip presipitasi dan penggunaannya secara luas

digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam jumlah sedikit. Kelebihan tes ini

menggunakan muatan listrik yang dialirkan pada antigen-antibodi yang dites pada

sistem buffer tertentu. Karena antigen dan antibodi dipertemukan satu sama lainnya

dengan bantuan arus listrik pada suatu matriks semisolid untuk bermigrasi sehingga

metode ini disebut Counterimmunoelectrophoresis (CIE). CIE merupakan modifikasi

metode Ouchterlony yang dipercepat migrasi antigen antibodinya oleh adanya aliran

listrik. Dengan pengecualian bakteri Streptococcus pneumonia serotype 7 dan 14,

antigen bakteri akan bermuatan negatif pada suasana sedikit basa, sedangkan antibodi

bersifat netral. Sifat antigen bakteri inilah yang digunakan pada prinsip metode CIE,
dimana larutan yang mengandung antibodi dan larutan sampel diletakkan pada lubang

sumur agarosa yang diletakkan pada permukaan kaca. Kertas atau fiber bersumbu

digunakan untuk menjembatani dua agarosa yang bersebrangan untuk dilalui buffer

yang sedikit alkali. Ketika dialiri arus listrik maka akan terjadi migrasi dari Antigen

yang bermuatan negatif akan bermigrasi ke elektoda positif. Antibodi yang bermuatan

netral akan terbawa oleh elektroda negatif . pada perbatasan antara sumur akan

terbentuk zona ekuivalen, dan komplek antigen-antibodi membentuk garis presipitasi

yang nampak, proses migrasi ini memerlukan waktu satu jam. Banyak antigen yang

dapat diperiksa oleh metode CIE, mendeteksi hampir 0,01 sampai 0,05 mg/ml antigen

yang setara dengan 103 organisme/ml larutan. Perlu disertai control pada setiap

pengerjaan, CIE merupakan metode yang berdasarkan reaksi presipitasi yang cukup

mahal, sehingga tidak banyak digunakan lagi dalam imunodiagnostik.

D. Tes Netralisasi

Tes netralisasi pada kultur sel dan pengujian laboratorik menggunakan hewan coba,

antibody akan mencegah atau menurunkan virulensi virus. Teknik ini sulit dan

membutuhkan waktu pengerjaan yang lama dan sulit untuk dikerjakan, akan tetapi

kadangkala diperlukan.

Gambar tahapan tes netralisasi virus

E. Tes Fiksasi komplemen

Tes fiksasi komplemen merupakan teknik imunologi yang digunakan untuk menentukan

antigen spesifik atau antibody apabila ada dalam serum pasien. Metode ini sangat

umum digunakan untuk membedakan dan menemukan penyebab infeksi. Pada

umumnya digunakan untuk pemeriksaan mikroorganisme yang sulit di identifikasi

melalui metode pembiakan. Akan tetapi metode ini telah tergantikan oleh metode
serological lainnya dalam dignosa klinik seperti ELISA dan metoda identifikasi

patogen yang didasarkan pada DNA khususnya polymerase chain reaction (PCR)

Pada teknik fiksasi komplemen, komplemen digunakan ketika antigen bereaksi dengan

antibodi. Komplemen dapat ditemukan pada serum babi Guinea. Ketika sel darah

merah ditambahkan dengan anti-red-cell-antibody, sel darah merah akan lisis ketika

ditambahkan komplemen (hasil tes negatif). Apabila dalam serum mengandung

antibodi maka complemen akan menfiksasi ikatan antigen dan antibodi sehingga

ketika ditambahkan anti-red-cell antibodi tidak menghasilkan hemolisis sehingga tes

menunjukkan hasil positif.

Reaksi pada teknik fiksasi komplemen

Contoh pemeriksaan dengan metode fiksasi komplemen

Adenovirus

Jamur (Blastomyces, Coccicioides, & Histoplasma)

Virus Influenza A & B

Parainfluenza 1, 2, & 3

Poliovirus 1, 2, & 3

Respiratory Syncitial Virus (RSV)

F. ELISA (Enzyme Linked Immunoassays)/EIA (Enzym Immunoassays)

ELISA digunakan untuk pengukuran konsentrasi antibody terhadap suatu antigen,

biasanya digunakan antibody monoclonal.

Persiapan tes:

- Antigen dilekatkan pada fase padat misalnya pada permukaan dasar mikroplate

- Persiapan anti-human antibody dilabel enzim (contohnya β-galaktosida) yang berfungsi

sebagai indicator warna dari substrat yang jernih.


Prinsip ELISA

Cara kerja :

- Specimen yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam sumur biasanya mikroplate,

molekul antibody akan berikatan dengan antigen yang dilekatkan pada fase padat

- Anti-human antibody yang diberi label ditambahkan pada campuran. Antibody berlabel

akan terikat pada ikatan molekul antigen-antibodi yang pertama sehingga terjadi

ikatan sandwich antibody-antigen-antibody berlabel

- Setelah proses pencucian molekul yang tidak berikatan, ditambahkan substrat

- Setelah beberapa waktu sesuai dengan standar prosedur, ditambahkan reagen untuk

menghentikan reaksi (penambahan NaOH 1N). intensitas warna yang terbentuk

proporsional/ sebanding dengan konsentrasi antigen yang terikat.

Contoh teknik ELISA dan imunoblot

G. Indirect Flourescent Antibodi Test (IFA)

Pemeriksaan yang berdasarkan IFA ke dalam analisis serologi dan molekular :

Ehrlichia antibody

Fluorescent Treponemal antibody (FTA)

Legionnella antibody

Mumps IgM antibody

Q Fever antibody

Rocky Mountain Spotted Fever antibody

Toxoplasma IgG antibody

Typhus antibody
Teknik Fluorescent-antibody (FA) masih digunakan untuk mendeteksi antigen dan

antibodi walaupun tidak sebanyak EIA. Teknik fluorescent terdiri dari direct dan

indirect, metode indirek biasanya digunakan untuk mendeteksi antibodi (IFA) seperti

pada EIA, sedangkan untuk pemeriksaan antigen digunakan metode direk.


Indirect Fluorescent Antibody Test (IFA)

1. Antigen mikroba diletakkan dalam kaca objek dan diberi bahan fiksatif

2. Serum pasien yang telah diencerkan diinkubasi bersama antigen pada kaca objek,

kemudian dicuci

3. Antibodi berlabel flouresen (konjugat) ditambahkan

4. Kaca objek dicuci hemudian dikeringkan, kemudian dibaca dibawah mikroskop

flouresen

Preparat diamati adanya area terang berfloresensi warna hijau dan dibandingkan dengan

control positif dan negatif. Adanya floresensi hijau menandakan adanya antibodi

terhadap antigen
Contoh teknik IFA untuk antibodi

toxoplasma. Pada lapang pandang kiri

hasil positif, sedangkan kanan hasil

negatif
Contoh tes IFA untuk antibodi ehrlichia .

Ehrlichiae adalah obligat intraseluler

rickettsiae, penyebab penyakit seperti

Rocky Mountain Spotted Fever.


H. Immunoprecipitasi

Imunopresipitasi merupakan metode dimana protein antigen dipresipitasikan dalam

larutan menggunakan antibodi spesifik yang berikatan dengan protein antigen

tersebut. Metode ini dapat digunakan ketika isolasi dan pemadatan protein spesifik

pada bahan pemeriksaan terdiri dari berbagai macam protein dan tidak sejenis.

Antibodi harus dilekatkan pada fase padat pada saat yang sama pada teknik

pemeriksaan.

J. Immunoblot
Immunoblot disebut juga dengan Western Blot adalah suatu metoda analisa. Mendeteksi

protein tertentu yang terdapat pada sampel ekstrak atau jaringan. Pada teknik

imunoblot, protein didenaturasi, rantai panjang polipeptida atau struktrur tiga dimensi

protein dengan elektroforesis. Setelah protein dipindahkan ke dalam membrane

nitroselulosa, protein dideteksi dengan penambahan antibodi. Setiap protein akan

berikatan dengan antibodi yang digunakan untuk mendeteksi adanya antigen. Sebuah

indicator spesifik digunakan untuk melabel antibodi yang akan menimbulkan warna

setelah bereaksi dengan streptavidin.

K. Pemeriksaan biologi molecular

Misalnya : PAGE atau SDS PAGE (sodium dodecyl sulfate poliacrylamide gel

electrophoresis) adalah metode yang biasanya digunakan untuk biokimia, forensik,

genetik dan biologi molekular. Metode ini menggunakan teknik pemisahan protein

berdasarkan kemampuan pergerakan molekul dalam elektroforesis

L. Teknik pemeriksaan lainnya

Protein sequencing dan X-ray crystallography digunakan untuk analisis protein virus.

Sedangkan teknik Agarose gels, restriction analysis, sequencing, southern blot,

northern blot, PCR atau RT-PCR biasanya digunakan untuk analisa genom virus.

Diposkan oleh Mursalim Achmad di 20.27

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Reaksi: 
Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Iklan berlangganan

Apple Google Microsoft

didukung oleh

Pengikut

Arsip Blog

►  2013 (41)

►  April (6)

►  Apr 26 (1)

►  Apr 15 (1)

►  Apr 02 (4)

►  Maret (8)

►  Mar 28 (4)

►  Mar 26 (1)

►  Mar 25 (1)

►  Mar 24 (2)

►  Februari (22)

►  Feb 25 (2)

►  Feb 22 (2)

►  Feb 17 (16)

►  Feb 10 (2)

►  Januari (5)

►  Jan 28 (3)

►  Jan 24 (1)
►  Jan 20 (1)

►  2012 (22)

►  November (5)

►  Nov 13 (5)

►  Oktober (1)

►  Okt 06 (1)

►  September (7)

►  Sep 29 (3)

►  Sep 22 (4)

►  Agustus (1)

►  Agu 25 (1)

►  Juni (2)

►  Jun 03 (2)

►  Mei (2)

►  Mei 27 (2)

►  Februari (4)

►  Feb 13 (2)

►  Feb 12 (2)

►  2011 (10)

►  Desember (1)

►  Des 11 (1)

►  Juni (3)

►  Jun 11 (3)

►  Februari (1)

►  Feb 16 (1)
►  Januari (5)

►  Jan 26 (3)

►  Jan 05 (2)

▼  2010 (9)

▼  Desember (6)

▼  Des 20 (6)

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH UNTUK JURNAL

Isolasi dan identifikasi bakteri

Imunodiagnostik dan Serologi Pada Infeksi Mikroba

Pewarnaan Bakteri

Penuntun Pemeriksaaan Bakteriologis ISK (urogenita...

bakteriologi

►  Agustus (1)

►  Agu 04 (1)

►  Juli (2)

►  Jul 21 (2)

►  2009 (20)

►  Juli (2)

►  Jul 25 (1)

►  Jul 08 (1)

►  Juni (18)

►  Jun 27 (1)

►  Jun 22 (1)

►  Jun 21 (16)
Mengenai Saya

Mursalim Achmad

Sungguminasa, Sulawesi Selatan, Indonesia

Nama saya : Mursalim Dg Masselekang S.Pd.M.Kes. Lahir di Gowa SulSel tanggal 16

September 1968. Sekolah SD di SD Negeri ParangloE dan Lanjut di SMP Negeri

ParangloE Gowa kemudian lanjut ke Sekolah Menengah Analis Kesehatan Depkes

Makassar tahun1984. Kemudian Lanjut di PT Universitas Muhammadiyah Palu FISIP

JURUSAN sosioloGI Thn 1988. dan AAK Depkes Bandung Tahun 1993,Lanjut ke

FMIPA Universitas Negeri Makassar Jurusan Pendidikan Kimia 2000 dan

Pascasarjana Universitas Hasanuddin Prodi BIOMEDIK Konsentrasi Mikrobiologi

Tahun 2004. Pekerjaan : Kepala Laboratorium Kesehatan RS Jiwa Palu tahun 1987

s/d 1999, Guru SMAK depkes Makassar tahun 1999 s/d 2004, Ketua Program Analis

SMK Kesehatan Megarezky Makassar Tahun 2005 S/d 2009,Dosen Poltekkes

Makassar Jurusan Analis Tahun 2004 S/D sekarang

Anda mungkin juga menyukai