Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA AN. D DENGAN DIAGNOSA MEDIS DBD+ SYOK

HIPOVOLEMIK DI KASUS KEPERAWATAN KRITIS

Disusun Oleh:

Depranata

2017.C.09a.0832

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2020/2021


BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Penyakit


1.1.1 Definisi Syok Hipovolemik
Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif. Kemudian

diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya

gangguan metabolik selular. Pada beberapa situasi kedaruratan adalah bijaksana

untuk mengantisipasi kemungkinan syok. Seseorang dengan cidera harus dikaji

segera untuk menentukan adanya syok. Penyebab syok harus ditentuka

(hipovolemik, kardiogenik, neurogenik, atau septik syok)

Syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan akut fungsi sirkulasi yang

menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan

akibat gangguan mekanisme homeostasis.

Syok hipovolemik diinduksi oleh penurunan volume darah, yang terjadi

secara langsung karena perdarahan hebat atau tidak langsung karena hilangnya

cairan yang berasal dari plasma (misalnya, diare berat, pengeluaran urin

berlebihan, atau keringat berlebihan).

Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang

menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok

adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak adekuatnya aliran darah ke

jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisacedera.


1.2 Etiologi

Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,

misalnya terjadi pada:

a) kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang mengalir

keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik

terganggu.

b) trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan

darah yang besar. Misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml

perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.

c) kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan

protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:

1) Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis

2) Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison

3) Luka bakar (kompustio) dan anafilaksis

1.1.3 Tanda dan Gejala

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi


premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung.
Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respon kompensasi.
Pasian muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan
jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia. Kehilangan volume yang cukup
besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat
ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
Apabila syok talah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan

hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali

dalam beberapa menit. Tanda-tanda syok adalah:

a) Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian

kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.

b) Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon

homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran

darah ke homeostasis penting untuk hopovolemia.peningkatan

kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi

asidosis jaringan.

c) Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh

darah sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer adalah faktor

yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi

aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun

tidak dibawah 70 mmHg.

d) Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok

hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin

kurang dari 30ml/jam

1.1.4 Patofisiologi

Menurut patofisiologinya syok terbagi atas 3 fase yaitu :

a) Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa

sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk


menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan

melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak

dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang

vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi

dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi

meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di

daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak

dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan

peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau

aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara

regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan

tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga

menurun.

b) Fase Progresif

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu

mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan

adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi

gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri

menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,

gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme

menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh

darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi

bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi


sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak

dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis

kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas

(DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran

darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi

di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan

anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari

jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok

(vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia

usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan

toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan

penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat

timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim

retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak.

Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari

aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,

terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam

karbonat di jaringan.

c) Fase Irevesibel

Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga

tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya

ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak

mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul
edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan

hiperkapnea.
DBD

Terjadi Pendarahan

Syok Hipovolemik

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Respons trauma Suplai darah ke Kekurangan Kurangnya


Hambatan upaya otak menurun intake cairan asupan
napas kelemahan
makanan
Penurunan suhu
tubuh Iskemik Tekanan darah
Ganguan menurun Faktor
neuromuskular fisiologis Tidak mampu
Asidosis melakukan
Keringat dingin respiratorik aktivitas
Dispnue, dan pucat Merasa lemah
bronkospasme Nafsu makan
Penurunan
menurun Delirium
kesadaran
Trauma/pen
Pola nafas tidak Hipotermia
darahan
efektif
Penurunan Defisit Nutrisi Defisit perawatan
Kapasitas diri
Hipovolemia
Adaptif
Intrakranial
1.1.5 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada syok hipovolemik adalah sebagai berikut:

a) Gagal jantung Gagal ginjal

b) Kerusakan jaringan ARDS (Acute Respiratory Disstres Syndrom)

c) Kerusakan otak irreversible

d) Dehidrasi kronis 

e) Multiple organ failure DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)

1.1.6 Pemeriksaan Penunjang

a) Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama

kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada

pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa

pasien cepat ke ruang operasi.

b) Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala

hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber

perdarahan.

c) Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan

ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma

aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal,

sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus

dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus

perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan

(biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber

perdarahan.
d) Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan

usia subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok,

konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan

pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok

hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok

hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes

kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.

e) Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan

dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal

echocardiography, aortografi, atau CT-Scan dada.

f) Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan

FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa

dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan

umumnya dilakukan pada pasien yang stabil.

g) Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan

radiologi

1.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada syok hipovolemik adalah sebagai berikut:

a) Mempertahankan Suhu Tubuh Suhu tubuh dipertahankan dengan

memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan

mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh

penderita karena akan sangat berbahaya.

b) Pemberian Cairan
1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar,

mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi

cairan ke dalam paru.

2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi

atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala

(otak).

3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak

ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila

penderita menjadi mual atau muntah.

4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan

pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk

mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan

intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk

meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus

seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin

diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang,

darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air

harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa

air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik.

Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid

memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang,

sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah


yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah

diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi

dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah

lengkap.

6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah

pemberian cairan yang berlebihan.

7) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,

mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ

majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan

alat canggih berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan

pemeriksaan analisa gas darah.

2  Primari survay
Pemeriksaaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang

mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat

tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon

penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital,

produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih

rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.

1. Airway dan breathing

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten

dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan

tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih

dari 95%.
2. Sirkulasi - kontrol perdarahan

Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan

perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses intra vena yang

cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luar

biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat

pendarahan. PASG (Pneumatick Anti Shock Garment) dapat

digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah tulang

pelvis atau ekstremitas bawah, namun tidak boleh menganggu

resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan

jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan

operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.  

3. disability – pemeriksaan neurologi

Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk

menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil,

fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam

menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi

dan meramalkan pemulihan.perubahan fungsi sistem saraf sentral

tidak selalu disebabkan cidera intra kranial tetapi mungkin

mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan

oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat

dianggap berasal dari cidera intra kranial.


4. Exposure – pemeriksaan lengkap

Setelah mengurus prioritas- prioritas untuk menyelamatkan

jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun

sampai jari kaki sebagai bagian dari mencari cidera. Bila

menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hipotermia.

5. Dilasi lambung – dikompresi.

Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma,

khususnya pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau

disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa

bradikardi dari stimulasi saraf fagus yang berlabihan. Distensi

lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang

tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko respirasi isi

lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.

Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selamh atau

pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya

pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun

penempatan pipa sudah baik, masih mungkin terjadi aspirasi.

6. Pemasangan kateter urin

Katerisasi kandung kenving memudahkan penilaian urin

akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan

memantau produksi urine. Darah pada uretra atau prostad pada

letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki


merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan keteter uretra

sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra yang utuh.

3 Sekundery survey

Harus segera dapat akses kesistem pembulu darah. Ini paling baik

dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar

(minimun 16 gaguage) sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral

kecepatan aliran berbanding lirus dengan empat kali radius kanul, dan

berbanding terbalik dengan panjangnya (hukum poiseuille). Karena itu

lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan

terbesar dengan cepat.

Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa

adalah lengan bawah atau pembulu darah lengan bawah. Kalau keadaan

tidak memungkunkan pembulu darah periver, maka digunakan akses

pembulu sentral (vena-vena femuralis, jugularis atau vena subklavia

dengan kateter besar) dengan menggunakan tektik seldinger atau

melakukan vena seksi pada vena safena dikaki, tergantung tingkat

ketrampilan dokternya. Seringkali akses vena sentral didalam situasi gawat

darurat tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna atau pu tidak seratus

persen steril, karena itu bila keadaan penderita sedah memungkinya, maka

jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbaiki.

Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius

sehubungan dengan usaha penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumo-

atau hemotorak, pada penderita pada saat itu mungkin sudah tidak stabil.
Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra-osseus

harus dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu

yang penting untuk memilih prosedur atau caranya adalah pengalaman dan

tingkat ketrampilan dokternya.

Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah

untuk jenis dan crossmatch, pemerikasaan laboratorium yang sesuai,

pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada wanita usia subur.

Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat ini. Foto torak

haris diambil setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena

jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan penilaian kemungkinan

terjadinya pneumo atau hemotorak.

4 Tersieri survey

Terapi awal cairan

Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis

cairan ini mengisi intravaskuler dalam wakti singkat dan juga

menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan

cairan berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraseluler. Larutan

Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan

kedua. Walaupun NaCL fisiologis merupakan pengganti cairan terbaik

namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis

hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungi ginjalnya

kurang baik.
Tabel 1. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk Resusitasi
Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan

(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) Osmotik

mOsm/L
Ringer 130 4 109 3 28* 273

Laktat
Ringer 130 4 109 3 28: 273

Asetat
NaCl 154 - 154 - - 308

0.9%
* sebagai laktat

: sebagai asetat
1.2 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
1.2.1 Pengkajian

Pemeriksaan fisik: data fokus

1. Primery survey
a. Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan
atau obstruksi,
b. Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas
teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung,dan suara
napas vesikuler,
c. Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah
dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan,
sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik
apabila ada perdarahan.
d. Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow
Coma Scale (GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya. Apatis : keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan kehidupan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja. Dapat dibangunkan
dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium : keadaan kacau
motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak sadar
terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan
kesadaran yang menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan
dengan rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama
sekali dan tidak dapat dibangunkan dengan rangsang apapun.
e. Exposure/Environment: keadaan kulit, seperti turgor/kelainan pada kulit
dan keadaan ketidaknyamanan nyeri dengan pengkajian PQRST
2. Secondary survey
a. Fokus Asesment
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian
fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala berat.
Keadaan umum pada keadaan cedera kepala berat umumnya mengalami
penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi
bradikardi dan hipotensi.
1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok
saraf parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan
dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending
akibat trauma pada tulangbelakang sehingga mengalami terputus
jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan
didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk
peningkatan produksi sputum, sesak napas.

2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi
dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan
hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.

3) B3 (Brain)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi
serebral dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran :
tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian
fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai
gaya bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik
inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik
bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem sensori ganguan
sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan segmen yang
mengalami gangguan.
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.

5) B5 (Bowel)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya
ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus,
kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari
tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.

6) B6 (Bone)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada
ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik
sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran
ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit

3. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia,
dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga:
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang


menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang


pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian


yang menyebabkan adanya keluhan utama)

1.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan keletihan otot-otot pernapasan


(D.0005 Hal.26)

2. Hipotermia berhubungan dengan mengalami penurunan tekanan darah (D.0131


Hal.286)

3. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial berhubungan dengan penurunan


kesadaran (D.0066 Hal.149)

4. Hipovolemia berhubungan dengan kadar sel darah menurun (D.0023 Hal.64)

5. Defisit nutrisi berhubungan dengan menurunnya nafsu makan (D.0019 Hal.56)

6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan klien mengalami penurunan otot


dan mengalami kelemasan (D.0109 Hal.240)
1.2.2 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi


1. Pola nafas tidak efektif berhubungan Pola nafas SLKI (L.08066 hal 145 ) Menajemen jalan nafas (I.01011 hal: 186)
dengan keletihan otot-otot pernapasan atau Setelah di lakukan tindakan selama 1x7 Observasi
kelumpuhan otot diafragma (D.0005 jam di harapkan inspirasi/ekspirasi tidak 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
Hal.26) memberikan ventilasi adekuat dengan kedalaman, usaha nafas)
kriteria hasil : 2. Monitor bunyi nafas (mis. Gurgling,
1. Napas dalam normal mengi, wheezing, ronki kering)
2. Sesak berkurang 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
3. Klien tampak tenang dan rileks aroma)
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
dengan head lift dan chin lift (jaw-
thrust jika dicurigai trauma sevikal)
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Berikan minuman hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan pengisapan lendir kurang
dari 15 detik
6. Lakukan hiper oksigenasi sebelum
pengisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep Mcgil
8. Berikan oksigenasi, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 200ml/hari,
jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
2. Hipotermia berhubungan dengan Hipotermia SLKI (L.05047 hal 149) Intervensi
mengalami penurunan tekanan darah Setelah di lakukan tindakan selama 1x7 1. Monitor suhu tubuh
(D.0131 Hal.286) jam di harapkan respon fidiologis 2. Edukasi program pengobatan
terhadap tekanan darah dengan kriteria 3. Edukasi terapi cairan
hasil : 4. Edukasi Temorugulasi
1. Tidak mengigil 5. Kompres panas
2. Tekanan darah kembali normal 6. Manajemen cairan
3. Tidak lemas lagi. 7. Manajemen lingkungan
8. Manajemen nutrisi
9. Pemantauan cairan
Traupetik
1. Lakukan pendinginan ekstrernal
2. Lakukan pendinginan internal
3. Gunakan sentuhan wajah dan tangan
atau pembungkus untuk mengurangi
respon menggil, jika perlu
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat untuk
mencegah atau mengendalikan
menggigil

3. Penurunan Kapasitas Adaptif Setelah di lakukan tindakan selama 1x7 Observasi


Intrakranial berhubungan dengan
jam di harapkan respon Penurunan 1. Monitor status kesadaran
penurunan kesadaran
Kapasitas Adaptif Intrakranial dengan 2. Monitor status oksigenasi
kriteria hasil : 3. Monitor status cairan
1. Kesdaran kembali normal 4. Monitor tingkat kesdaran
GCS meningkat Treaupetik
1. Pertahankan jalan napas paten
2. Beikan oksigenasi
3. Berikan posisi syck
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian infus
2. Kolaborasi pemberian transfuse
darah
4. Hipovolemia berhubungan dengan Setelah di lakukan tindakan selama 1x7 Obsevasi
kadar sel darah menurun jam di harapkan hipovolemia dengan 1. Identifikasi tanda dan gejala penurunan
kriteria hasil : kadar kalium
1. 1. Sel darah merah normal 2. Identifikasi penyebab hiponatremia
2. 2. Tidak mengalami penurunan 3. Monitor irama jantung ,frekwensi
jantung, dan EKG
4. Monitor intake dan out put
5. Monitor tanda dan gejla gagal napas
6. Monitor kadar kalium
Traupetik
1. Pasang monitor jantung
2. Pasang askes inravena
3. Berikan suplemen kalium
4. Hindari pemberian kcl
5. Hindari pemberian kalium secara bolus
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian kcl oral
2. Kolaborasi pemberian kcl intravena
5.Defisit nutrisi berhubungan dengan Setelah di lakukan tindakan selama 1x7 Observasi
menurunnya nafsu makan.
jam di harapkan Defisit nutrisi berhubungan 1. Idenrtifikasi factor yang mempengaruhi
dengan menurunnya nafsu makan normal asupan gizi
kembali dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi perubahan berat badan
1. klien bisa makan kembali 3. Identifikasi kelainan pada kulit
2. Nafsu makan normal 4. Identifikasi kelainan pada kuku
5. Monitor mual dan muntah
6. Monitor asupan oral
7. Monitor warna konjungtiva
Teraupetik
1. Timbang berat badan
2. Hitung perubahan bearat badan
3. Dokumentasi hasil pemantauan
Kolaborasi
1. Informasiakan hasil pemantauan
2. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan

6. Defisit perawatan diri berhubungan Setelah di lakukan tindakan selama 1x7 Observasi
dengan klien mengalami penurunan otot
jam di harapkan Defisit perawatan diri 1. Identifikasi kebiasan aktivitas
dan mengalami kelemasan
normal kembali dengan kriteria hasil : perawatan diri sendiri sesuai usia
1. Bisa melakukan aktivas kebersihan 2. Monitor tingkat kemandirian
sendiri 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu
2. Tidak tergantung pada keluarga dan Teraupetik
perawat 1. Sediakan lingkungan yang teraupetik
2. Siapkan keperluan pribadi
3. Damping perawatan sendiri sampai
mandiri
4. Fasilitasi untuk menerima keadaan
ketergantungan
Kolaborasi
1. Anjurkan perawatan diri sendiri secara
konsisten sesuai kemampuan
1.2.3 Implementasi
Pada tahap ini ada pengolahan dan perwujudan dari rencana perawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan keperawatan yang telah ditentukan
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan secara optimal

1.2.4 Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sitematik dan terencana tentang
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan berkesinambungan
dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lain
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth.2014 . Keperawatan Medikal Bedah edis 8. Jakarta: EGC


Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).
Nursing Intervention Classification. Jakarta: Elsevier.

Gleadle Jonathan 2006 “Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik”. Jakarta: Erlangga


Gallo, B. M.dkk. 2011. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Muttaqin Arif.2008.”Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan”. Jakarta:Salemba Medika

Morton, P. G.dkk 2011. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai