Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Faisal Dhuhimamul Hilmi

NIM : 1804016022
Tugas : UAS Makul Filsafat Akhlak
Dosen : Bapak Ibnu Farhan

Koruptor: Potret Hegemoni Kromodongso


“Bumi ini cukup untuk menghidupi seluruh manusia namun tak cukup untuk menuruti satu
manusia; yang serakah.”ungkapan Mahatma Gandhi ratusan tahun yang lalu.
Pernyataan Ghandi seakan masih relevan hingga saat ini. Memang demikian kenyataannya.
Apalagi Baru-baru ini indonesia dihebohkan dengan kasus dugaan korupsi dana bantuan social
Covid 19. Dilansir dari CNN INDONESIA.Com, Dana yang dikorup terbilang tidak sedikit. Berkisar
7 Miliar rupiah. Fantastis, bukan(?)
Ini bukan kasus korupsi pertama di negeri ini. Sebelumnya sudah banyak kasus. Tentu dengan
motif yang berbeda. Berdasar laporan Wanna Alamsyah, seorang peneliti dari IWC (Indonesia
Coruption Watch), kasus korupsi di Indonesia Pada pereode semester satu, tahun 2020
mencapai 169 kasus. Itu baru semester tahun ini, belum lagi jika dihitung tahun-tahun
sebelumnya; mbudhak. Sekilas para koruptor ini secara finansial dikatakan lebih dari cukup,
Pakaian necis, rambut klimis, namun hal itu tidak menjadi soal untuk tidak korupsi. Jadi Factor
apa yang sebenarnya memegaruhi diri meraka?
Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa: Manusia Indonesia sedang Krisis kemanusian
dan kedirian sejati. Merujuk istilah R Surya Mentaram, Kondisi semacam Ini disebabkan oleh
menghegemoninya jiwa Kromodongso; Jiwa yang tunduk dan diperbudak oleh Hasrat dan ingin.
Ia sebagai pelayan catatan indra yang selama ini dikumpulkannya. Catatan itu berupa semat:
jabatan, drajat: kehormatan, dan kramat: kekuasaan. Akibatnya, jiwa (yang sebagai budak
cacatan indra) akan berusaha secara buta memenuhi semua catatan dan Hasrat itu. Hasrat
ingin kaya agar terhormat, Hasrat ingin menjabat agar kaya, Hasrat ingin kuasa agar jumawa,
dan lain sebagainya. Salah satu contoh kongkret adalah para koruptor tadi.
Ketika jiwa masih lekat dengan apa yang disebut sebagai kromodongso, maka kebahagiaan dan
diri sejati tidak akan pernah ditemukan dan dirasakan. Untuk merasakan itu perlu (bahkan
sangat perlu) melepas catatan-catatan itu. Paling tidak bisa menganalisa catatan itu sehingga
mewujud jiwa yang otonom dari catatan indra. Tidak lagi budak Hasrat. Sehingga sampai pada
diri atau jiwa A kromodongso ( bukan kromodongso) adalah niscaya.
Tidak mudah memang untuk mencapai itu semua. Butuh tekat dan usaha mendalam.Yang
mana, dalam koridor tasawwuf dinamakan Riadloh annafs. Persoalannya, acapkali, riadotu
annasf baik berupa ritus amalan dan ajaran keagamaan maupun non keagamaan, hanya
dijadikan sebagai seremonial belaka. Tidak diresapi dan diterapkan. Imbasnya adalah
Menjadikan esensi yang ada hilang entah ke mana. Esensi yang dimaksud adalah adalah
humanisme. Jika Kuntowijoyo mengatakan bahwa puncak tertinggi dari keberagamaan adalah
kemanusiaan. Maka sekarang ini yang ada hanya utopia. Sebab hanya sebatas ritual yang
serimonial. Padahal jika dilakukan dengan semestinya akan berdampak besar pada jiwa. Yaitu
berujung pada bertemunya diri sejati yang bukan kromodongso.
Tapi sekali lagi sayang, kenyatannya tidak demikian. Berapa banyak pejabat yang disumpah atas
nama Tuhan-di bawah kita suci, tapi masih juga korupsi (?). Sepakat dengan Prof Salim; “ Tuhan
pun tidak ditakuti di nergi ini”. Kemudian Berapa banyak lagi, orang yang sembahyang: salat,
tapi tidak berimbas apapun pada dirinya. Tetap saja, mengejar jumawa, semat, dan kramat
yang berujung pada upaya pengobjekan dan pembudakan manusia lain. Ironis!

Asketisme : jalan ke dalam bukan ke luar


Implikasi nyata dari drajat a kromodongso adalah menjadi manusia Bahagia, tanpa ciri,
otonom, analitis, juga lepas oleh jeratan tipudaya korupsi dan segala jenis tipu daya jeratan
lainnya. Caranya ia perlu berjalan menyusuri dirinya sendiri. Dengan kata lain: berjalan ke
dalam untuk menemukan jalan keluar. Jalan keluar itu ialah sifat asketisme.
Jika dulu Hasan Basri, merepresentasikan asketisme sebagai kemiskinan dan benar-benar
meninggalkan segala kekayaan yang ia miliki, bukan berarti kini laku asketisme persis semacam
itu (tidak boleh kaya atau harus miskin). Akan tetapi lebih kepada sifat yang merasa cukup dan
merasa tidak butuh apapun. Singkatnya ia sebagai sentral yang otonom, yang tidak terbelenggu
oleh harta kekayaannya. Orang sekaya apapun jika masih butuh; sama dengan miskin.
Sebaliknya, orang miskin yang tidak butuh apapun (tidak berhasrat apapun): sama dengan kaya.
Butuh saja tidak, apalagi berhasrat ingin korupsi. Mustahil.
Dalam perspektif Murtadha Mutahari, pada konsep insan kamil, manusia ideal terbentuk dari
tiga komponen yang saling berangkulan. Intektualitas, spiritualitas, dan terakhir bermuara pada
tanggung jawab social. Intelek saja tidak cukup kalau spiritualitasnya nihil. Oleh karenanya
spiritualitass amatlah penting. Dalam hal ini ujudnya adalah sifat asketisme.
Teringat sebuah kisah; diceritakan, di masa helenisme, ada seorang yang sedang berjemur di
pagi hari. Kemudian datang seorang tak dikenal dan membuka percakapan, “hay kawan,
adakah yang bisa saya bantu? saya bisa memberimu uang.” Dijawab olehnya, “terimakasih,
kamu cukup pergi dari hadapanku. Aku hanya perlu sinar matahari ini. Sedangkan Badanmu
menghalangi sinar matahari sampai kepadaku.”
“Kamu sangat kaya Ketika kamu tidak butuh apa- apa.” -KH. Mustafa Bisri-

Anda mungkin juga menyukai