0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
13 tayangan2 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang korupsi di Indonesia, penyebab terjadinya korupsi, dan solusi untuk mencegah korupsi. Disebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah dominasinya jiwa yang haus akan kekuasaan, harta, dan kedudukan (jiwa kromodongso). Untuk mencegah korupsi, perlu dilakukan riadloh annafs yaitu membersihkan jiwa dari hasrat-hasrat dunia
Dokumen tersebut membahas tentang korupsi di Indonesia, penyebab terjadinya korupsi, dan solusi untuk mencegah korupsi. Disebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah dominasinya jiwa yang haus akan kekuasaan, harta, dan kedudukan (jiwa kromodongso). Untuk mencegah korupsi, perlu dilakukan riadloh annafs yaitu membersihkan jiwa dari hasrat-hasrat dunia
Dokumen tersebut membahas tentang korupsi di Indonesia, penyebab terjadinya korupsi, dan solusi untuk mencegah korupsi. Disebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah dominasinya jiwa yang haus akan kekuasaan, harta, dan kedudukan (jiwa kromodongso). Untuk mencegah korupsi, perlu dilakukan riadloh annafs yaitu membersihkan jiwa dari hasrat-hasrat dunia
NIM : 1804016022 Tugas : UAS Makul Filsafat Akhlak Dosen : Bapak Ibnu Farhan
Koruptor: Potret Hegemoni Kromodongso
“Bumi ini cukup untuk menghidupi seluruh manusia namun tak cukup untuk menuruti satu manusia; yang serakah.”ungkapan Mahatma Gandhi ratusan tahun yang lalu. Pernyataan Ghandi seakan masih relevan hingga saat ini. Memang demikian kenyataannya. Apalagi Baru-baru ini indonesia dihebohkan dengan kasus dugaan korupsi dana bantuan social Covid 19. Dilansir dari CNN INDONESIA.Com, Dana yang dikorup terbilang tidak sedikit. Berkisar 7 Miliar rupiah. Fantastis, bukan(?) Ini bukan kasus korupsi pertama di negeri ini. Sebelumnya sudah banyak kasus. Tentu dengan motif yang berbeda. Berdasar laporan Wanna Alamsyah, seorang peneliti dari IWC (Indonesia Coruption Watch), kasus korupsi di Indonesia Pada pereode semester satu, tahun 2020 mencapai 169 kasus. Itu baru semester tahun ini, belum lagi jika dihitung tahun-tahun sebelumnya; mbudhak. Sekilas para koruptor ini secara finansial dikatakan lebih dari cukup, Pakaian necis, rambut klimis, namun hal itu tidak menjadi soal untuk tidak korupsi. Jadi Factor apa yang sebenarnya memegaruhi diri meraka? Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa: Manusia Indonesia sedang Krisis kemanusian dan kedirian sejati. Merujuk istilah R Surya Mentaram, Kondisi semacam Ini disebabkan oleh menghegemoninya jiwa Kromodongso; Jiwa yang tunduk dan diperbudak oleh Hasrat dan ingin. Ia sebagai pelayan catatan indra yang selama ini dikumpulkannya. Catatan itu berupa semat: jabatan, drajat: kehormatan, dan kramat: kekuasaan. Akibatnya, jiwa (yang sebagai budak cacatan indra) akan berusaha secara buta memenuhi semua catatan dan Hasrat itu. Hasrat ingin kaya agar terhormat, Hasrat ingin menjabat agar kaya, Hasrat ingin kuasa agar jumawa, dan lain sebagainya. Salah satu contoh kongkret adalah para koruptor tadi. Ketika jiwa masih lekat dengan apa yang disebut sebagai kromodongso, maka kebahagiaan dan diri sejati tidak akan pernah ditemukan dan dirasakan. Untuk merasakan itu perlu (bahkan sangat perlu) melepas catatan-catatan itu. Paling tidak bisa menganalisa catatan itu sehingga mewujud jiwa yang otonom dari catatan indra. Tidak lagi budak Hasrat. Sehingga sampai pada diri atau jiwa A kromodongso ( bukan kromodongso) adalah niscaya. Tidak mudah memang untuk mencapai itu semua. Butuh tekat dan usaha mendalam.Yang mana, dalam koridor tasawwuf dinamakan Riadloh annafs. Persoalannya, acapkali, riadotu annasf baik berupa ritus amalan dan ajaran keagamaan maupun non keagamaan, hanya dijadikan sebagai seremonial belaka. Tidak diresapi dan diterapkan. Imbasnya adalah Menjadikan esensi yang ada hilang entah ke mana. Esensi yang dimaksud adalah adalah humanisme. Jika Kuntowijoyo mengatakan bahwa puncak tertinggi dari keberagamaan adalah kemanusiaan. Maka sekarang ini yang ada hanya utopia. Sebab hanya sebatas ritual yang serimonial. Padahal jika dilakukan dengan semestinya akan berdampak besar pada jiwa. Yaitu berujung pada bertemunya diri sejati yang bukan kromodongso. Tapi sekali lagi sayang, kenyatannya tidak demikian. Berapa banyak pejabat yang disumpah atas nama Tuhan-di bawah kita suci, tapi masih juga korupsi (?). Sepakat dengan Prof Salim; “ Tuhan pun tidak ditakuti di nergi ini”. Kemudian Berapa banyak lagi, orang yang sembahyang: salat, tapi tidak berimbas apapun pada dirinya. Tetap saja, mengejar jumawa, semat, dan kramat yang berujung pada upaya pengobjekan dan pembudakan manusia lain. Ironis!
Asketisme : jalan ke dalam bukan ke luar
Implikasi nyata dari drajat a kromodongso adalah menjadi manusia Bahagia, tanpa ciri, otonom, analitis, juga lepas oleh jeratan tipudaya korupsi dan segala jenis tipu daya jeratan lainnya. Caranya ia perlu berjalan menyusuri dirinya sendiri. Dengan kata lain: berjalan ke dalam untuk menemukan jalan keluar. Jalan keluar itu ialah sifat asketisme. Jika dulu Hasan Basri, merepresentasikan asketisme sebagai kemiskinan dan benar-benar meninggalkan segala kekayaan yang ia miliki, bukan berarti kini laku asketisme persis semacam itu (tidak boleh kaya atau harus miskin). Akan tetapi lebih kepada sifat yang merasa cukup dan merasa tidak butuh apapun. Singkatnya ia sebagai sentral yang otonom, yang tidak terbelenggu oleh harta kekayaannya. Orang sekaya apapun jika masih butuh; sama dengan miskin. Sebaliknya, orang miskin yang tidak butuh apapun (tidak berhasrat apapun): sama dengan kaya. Butuh saja tidak, apalagi berhasrat ingin korupsi. Mustahil. Dalam perspektif Murtadha Mutahari, pada konsep insan kamil, manusia ideal terbentuk dari tiga komponen yang saling berangkulan. Intektualitas, spiritualitas, dan terakhir bermuara pada tanggung jawab social. Intelek saja tidak cukup kalau spiritualitasnya nihil. Oleh karenanya spiritualitass amatlah penting. Dalam hal ini ujudnya adalah sifat asketisme. Teringat sebuah kisah; diceritakan, di masa helenisme, ada seorang yang sedang berjemur di pagi hari. Kemudian datang seorang tak dikenal dan membuka percakapan, “hay kawan, adakah yang bisa saya bantu? saya bisa memberimu uang.” Dijawab olehnya, “terimakasih, kamu cukup pergi dari hadapanku. Aku hanya perlu sinar matahari ini. Sedangkan Badanmu menghalangi sinar matahari sampai kepadaku.” “Kamu sangat kaya Ketika kamu tidak butuh apa- apa.” -KH. Mustafa Bisri-