Anda di halaman 1dari 56

ABSTRAK

PRAKTIKUM OPERASIONAL AMPLIFIER DAN KONTROL


PROPORTIONAL INTEGRAL DERIVATIFE (PID)
Oleh :
Heru Haryanto C.431.17.0020
Universitas Semarang

Operasional Amplifier adalah suatu penguat gandengan langsung yang


memperkuat sinyal arus searah (DC) atau tegangan yang berubah-ubah terhadap
satuan waktu, sedangkan PID (Proportional Integral Derifative) Controller
merupakan kontroller untuk menentukan kepresisian suatu sistem instrumentasi
dengan karakteristik adanya umpan balik/feed back pada setiap sistem tersebut.
Komponen PID terdiri dari 3 jenis yaitu, proporsional, integral, dan derifatif.
Ketiganya dapat dipakai bersamaan maupun sendiri-sendiri, tergantung dari
respon yang kita inginkan terhadap suatu plant. Praktikum operasional amplifier
dan kontrol PID dilakukan untuk menguji suatu rangkaian operasional amplifier
dan juga kontrol PID, sehingga diharapkan siswa mampu menerapkan dan
menganalisa suatu rangkaian dari modul operasional amplifier dan kontrol PID.
Praktikum ini merupakan suatu praktikum wajib yang harus dilakukan oleh
mahasiswa Universitas Semarang lebih tepatnya untuk Teknik Elektro.

Keyword : Dasar Sistem Kendali, Operasional Amplifier, Kontrol PID

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.1. Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.2. Tujuan Percobaan......................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Dasar Teori Operational Amplifier...........................................................3
2.1.1 Karakteristik Op-Amp........................................................................4
2.1.2 Penguat AC Non-Inverting................................................................6
2.1.3 Penguat AC Inverting.........................................................................7
2.1.4 Penguat Diferensial............................................................................7
2.2 Dasar Teori Proportional Integral Derivative (PID)..................................8
2.2.1 Jenis Jenis Kontroller.........................................................................9
2.2.2 Kontrol Proportional..........................................................................9
2.2.3 Kontrol Integral................................................................................10
2.2.4 Kontrol Derivative...........................................................................10
2.2.5 Karakteristik Proportional Integral Derivative (PID)......................11
2.2.6 Kontrol Proportional – Derivatife....................................................12
2.2.7 Kontrol Proportional – Integral........................................................12
2.2.8 Kontrol Proportional – Integral – Derivative (PID).........................12
2.2.9 Pedoman umum mendesain PID kontroler......................................12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................14
3.1 Alat dan Bahan........................................................................................14
3.2 Langkah Percobaan.................................................................................14
3.2.1 Percobaan 1 Operasional Amplifier.................................................14
3.2.2 Percobaan 2 Kontrol Proportional Integral Derivative (PID)..........15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................18
4.1 Hasil Percobaan.......................................................................................18
4.1.1 Percobaan 1 Opersional Amplifier...................................................18

ii
4.1.2 Percobaan 2 Kontrol Proportional Integral Derivative (PID)..........28
4.2 Analisa dan Pembahasan.........................................................................35
4.2.1 Setpoint Signal dan Differential Amplifier AC – DC......................35
4.2.2 Setpoint Signal dan Differential Amplifier DC – AC......................37
4.2.3 Kontrol proportional integral DC – AC...........................................39
4.2.4 Kontrol proportional integral AC - DC............................................40
4.2.5 Kontrol Proportional Integral Derivatife DC - AC..........................41
4.2.6 Kontrol Proportional Integral Derivatife AC - DC..........................42
4.3 Perhitungan..............................................................................................43
4.3.1 Setpoint Signal dan Differential Amplifier AC – DC......................43
4.3.2 Setpoint Signal dan Differential Amplifier DC – AC......................44
4.3.3 Kontrol Proportional Integral DC – AC...........................................45
4.3.4 Kontrol proportional integral AC - DC............................................46
4.4 Pembahasan.............................................................................................48
4.4.1 Operasional Amplifier......................................................................48
4.4.2 Kontrol Proportional Integral Derivatife..........................................49
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................50
5.1. Operasional Amplifier.............................................................................50
5.2. Kontrol Proportional Integral Derivatif (PID).........................................51
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................52

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem kendali merupakan hal penting di dunia industri dan di era
teknologi informasi saat ini. Proses produksi dan manufacturing dituntut
kestabilannya dan setiap perubahan dapat direspon secara cepat dan real time.
Hal ini karena adanya tuntutan kualitas produk dan proses yang konsisten
dari pasar dan dunia industri itu sendiri. Contoh sistem control industri
seperti pengontrolan variabel-variabel temperatur (temperature), tekanan
(pressure), aliran (flow), level (level), dan kecepatan (speed). Variabel-
variabel ini adalan parameter-parameter keluaran (output) yang harus dijaga
tetap sesuai dengan keinginan yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh
operator yang disebut dengan setpoint/set value (SV) sementara nilai actual
proses disebut Process Value (PV). Sistem yang dikontrol (bangunan) agar
variabel keluaran dijaga tetap pada kondisi tertentu disebut dengan plant.
Implementasi teknik sistem kendali melibatkan multidisiplin ilmu seperti
bidang: teknik mesin (mechanical engineering), teknik elektrik (electrical
engineering), elektronik (electronics) dll dimana kolariborasi keilmuan
tersebut lazim disebut Mekatronika (Mechatronics).
Dalam sistem kendali, kita mengenal berbagai metode kendali, diantaranya
adalah sistem kendali PID dan sistem kendali logika fuzzy. Kedua sistem
kontrol ini banyak dipakai pada saat ini. Salah satu aplikasi terapan yang
banyak digunakan adalah dalam pengendalian kecepatan motor DC. Sistem
kendali PID tersusun atas sistem kendali Proporsional, Integral dan Derivatif.
Ketiga sistem kontrol tersebut mempunyai daerah kerja masing-masing.
Kendali Proporsional (P) mempunyai keunggulan risetime yang cepat.
Kendali Integral (I) mempunyai keunggulan untuk memperkecil error.
Kendali Derivatif (D) mempunyai keunggulan memperkecil
overshoot.Kendali logika fuzzy berbeda dengan sistem kendali PID, dimana
pada sistem kendali ini tidak mempunyai ketergantungan pada variabel-

1
variabel tertentu. Sistem kendali ini menerapkan sustu sistem kemampuan
manusia dalam menyelesaikan masalah.

1.1. Rumusan Masalah


1. Bagaimana karakteristik dari operasional amplifier?
2. Bagaimana penggunaan komponen aktif dari operasional amplifier sebagai
sarana komputasi pada sistem pengendali?
3. Bagaimana kerja kontrol proportional integral derivative (PID)?
4. Bagaimana penggunaan kontrol proportional integral derivative (PID)
pada peralatan sistem pengendali?

1.2. Tujuan Percobaan


1. Mahasiswa dapat memahami karakteristik dari operasional amplifier.
2. Mahasiswa dapat menggunakan komponen aktif dari operasional amplifier
sebagai sarana komputasi pada sistem pengendali.
3. Mahasiswa dapat memahami cara kerja kontrol proportional integral
derivative (PID).
4. Mahasiswa dapat menggunakan kontrol proportional integral derivative
(PID) pada peralatan sistem pengendali.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Dasar Teori Operational Amplifier


Op - Amp adalah suatu penguat gandengan langsung yang
memperkuat sinyal arus searah (DC) atau tegangan yang berubah-ubah
terhadap satuan waktu. Penguatan yang tinggi dilengkapi dengan umpan balik
untuk mengendalikan karakteristiknya secara menyeluruh. Simbol dan Op-
Amp tampak pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Simbol Operasional Amplifier

A adalah penguat tegangan tanpa beban, dimana harga ini adalah


tegangan yang kita dapatkan bila tidak ada beban yang dihubungkan pada
keluaran. Tegangan masuk (V1 dan V2) dan tegangan keluaran (Vo) dihitung
terhadap jalur tanah. Sumber tegangan (Vcc) yang diperlukan oleh Op-Amp
ada dua macam, yaitu sumber tegangan positif (+ Vcc) dan sumber tegangan
negatif (- Vcc). Hal ini ditujukan agar Op-Amp dapat memperkuat tegangan
yang positif maupun negatif, begitu juga pada bagian output-nya di mana
tegangan dapat berharga positif maupun negatif. Semua jenis Op-Amp
mempunyai tiga buah bagian, yaitu penguat diferensial berimpedansi input
tinggi, tingkat penguat sinyal dan output berimpedansi rendah. Tampak pada
Gambar 5.2. pada penguat diferensial berimpedansi input tinggi memiliki
tingkat stabilitas yang cukup tinggi (low drift), dan jangkauan band (band

3
width) yang cukup lebar. Apablia sebuah penguat diferensial yang
mempunyai dua buah input yaitu input inverting (-) dan input non inverting
(+), maka penguat ini akan berfungsi membandingkan dua sinyal yang
dimasukkan ke dalam input – input nya. Sinyal yang keluar dari tingkat ini
besarnya akan sebanding dengan perbedaan atau diferensial antara kedua
sinyal yang masuk tadi. Tetapi bila kedua sinyal itu nol, maka output-nya nol
juga. Polaritas kedua sinyal apabila sama maka output-nya akan sebanding
dengan selisih dari kedua sinyal tersebut. Sebaliknya jika kedua sinyal itu
berlawanan polaritasnya maka output-nya pun akan sebanding dengan
jumlahnya. Bila salah satu input-nya nol (tidak ada sinyal) maka output akan
sebanding dengan sinyal yang dimasukkan pada salah satu input-nya.
Tingkat penguat berfungsi memperkuat sinyal yang ke!uar dan penguat
diferensial sebesar mungkin (kira-kira 100.000 kali). Sedangkan output
berimpedansi rendah berfungsi mengisolasi tingkat penguat ini agar tidak
dipengaruhi adanya beban dan menghasilkan daya pendorong.(1)

Gambar 2.2. Bagian – Bagian dari Op-Amp

2.2.1 Karakteristik Op-Amp


Secara teoritis Op-Amp adalah penguat yang mempunyai sifat-sifat
atau karakteristik seperti penguat ideal. Tentunya apabila kita
menyebutkan sebuah penguat ideal, maka komponen mi harus
mempunyai karakteristik sebagai berikut :

 Faktor penguat Av (open loop gain) tak terhingga artinya jika ada
perubahan sedikit saja pada bagian input-nya maka akan
menghasilkan perubahan yang sangat besar pada output-nya.
 Bila input-nya sama dengan nol maka output-nya juga nol

4
 Impedansi input tak terhingga artinya input-nya tidak akan
menarik daya dan tingkat sebelumnya, sehiigga yang diperlukan
hanya perubahan tegangan saja.
 Impedansi pada bagian output-nya sangat rendah atau nol, artinya
tegangan output-nya akan tetap walaupun impedansi beban
hampir nol.
 Lebar band width tidak terhingga artinya penguat dan DC sama
frekwensi tak terhingga tetap sama.
 Rise time sama dengan nol, artinya waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai harga puncak pada sinyal output akan sama dengan
pada sinyal input.
 Tidak peka terhadap perubahan tegangan sumber atau perubahan
suhu (tidak ada drift).

Mengingat bahwa bahan – bahan yang dipergunakan untuk membuat


IC OpAmp kemampuannya terbatas, seperti halnya benda-benda
lainnya yang terdapat di alam ini, maka pada kenyataannya sebuah
Op-Amp tidaklah tepat seperti panguat yang ideal. Sebuah Op-Amp
hanyalah sebuah penguat yang agak mendekati penguat ideal karena
pada umumnya :

 Faktor penguat Av (open loop gain) walaupun cukup besar tetapi


terbatas kira-kira 100.000 kali.
 Bila harga pada input-nya nol, maka output-nya belum tentu tepat
nol tetapi mungkin sedikit lebih atau kurang
 Walaupun impedansi input-nya relatif cukup tinggi, tetapi terbatas
hanya beberapa ratus kilo Ohm saja.
 Sedangkan harga impedansi pada output-nya yang relatif rendah
juga terbatas berkisar hanya beberapa puluh sampai ratus Ohm
saja.
 Rise time-nya tidak nol.
 Kalaupun harga impedansi tegangan sumber atau temperatur
cukup besar kerjanya akan terpengaruh.

5
Disamping karakteristik-karekterisrik tersebut di atas ada beberapa
karakteristik lagi yang berkaitan dengan masalah offset yang juga
mempengaruhi daya Op-Amp, diantaranya adalah :

 Tegangan offset masukan


 Arus prategangan masukan
 Arus offset masukan
 Resistansi-resistansi basis yang berbeda
 CMRR (Common Mode Rejection Ratio).
 Kepatuhan keluaran AC
 Arus keluar hubung singkat
 Tanggapan frekwensi
 Laju slew
 Distorsi laju slew
 Lebar pita daya distorsi laju slew
 Penukaran (trade off)

2.2.2 Penguat AC Non-Inverting


Penguat AC adalah sebuah rangkaian yang berfungsi untuk memperkuat
sinyal bolak – balik misalnya sinyal audio. Penguat ini merupakan
penguat tegangan yang mendekati ideal karena impedansi masuknya
tinggi, impedansi keluarnya rendah, dan penguat tegangannya mantap.
Untuk memperoleh suatu penguat lingkaran tertutup maka tinggal
mengatur harga-harga dan R1 dan R2, tampak pada Gambar 2.3. Agar
penguat hanya bekerja pada daerah frekwensi tertentu maka rangkaian
umpan baliknya bisa berupa rangkaian resistor dan kapasitor.(2)

6
Gambar 2.3. Penguat AC Mode Non Inverting

2.2.3 Penguat AC Inverting


Rangkaian pada Gambar 2.4. adalah salah satu rangkaian Op-
Amp yang paling luas digunakan. Rangkaian mi merupakan sebuah
penguat yang gain untaian tertutupnya dan Vin, ke Vout ditentukan oleh
harga R1 dan R2. Tegangan positif Vin diterapkan melalui tahanan
masuk R1 ke masukan negatif Op-Amp. Umpan balik negatif dibuat
oleh tahanan umpan balik R2. Tegangan antara masukan positif dan
negatif pada dasarnya sama dengan nol, karenanya terminal masukan
negatifjuga sama dengan nol. Potensial ground yang berada pada
masukan negatif juga akan berharga nol. Untuk alasan ini maka
masukan negatif dan Op-Amp dikatakan ada pada ground semu.(3)

Gambar 2.4. Penguat AC Mode Inverting

Karena ujung dan R1 yang satu ada di Vin dan yang lain ada di
nol volt, maka penurunan tegangan melalui R1 adalah Vin dibagi R1.
Seperti tampak pada Gambar 2.4. bahwa satu ujung dan R2
dihubungkan ke keluaran VOut, maka untuk memperoleh polaritas pada
ingatlah ujung kiri R2 memaksa ujung kanan R2 menjadi negatif.
Karenanya Vout akan negatif bila Vin-nya positif, dan sebaliknya Vout
akan positif bila Vin-nya negatif. Hal inilah yang dikatakan penguat
membalik (inverting).

7
2.2.4 Penguat Diferensial
Penguat diferensial bisa mengukur maupun memperkuat isyarat -
isyarat kecil yang terbenam dalam isyarat yang jauh lebih besar. Empat
buah tahanan presisi dan sebuah Op-Amp membentuk sebuah penguat
diferensial seperti yang tampak pada Gambar 2.5. Terminal
masukannya ada dua yaitu V1 dan V2, dimana V1 sebagai masukan
negatif dan V2 sebagai masukan positif. Tegangan keluaran dan
penguat diferensator Vout sebanding dengan perbedaan tegangan yang
diterapkan ke masukan negatif dan masukan positifnya, sehingga gain
diferensial akan tergantung dan perbandingan tahanan-tahanannya.

Gambar 2.5. Penguat Diferensial

2.3 Dasar Teori Proportional Integral Derivative (PID)


PID (Proportional Integral Derifative) Controller merupakan
kontroller untuk menentukan kepresisian suatu sistem instrumentasi dengan
karakteristik adanya umpan balik/feed back pada setiap sistem tersebut.
Komponen PID terdiri dari 3 jenis yaitu, proporsional, integral, dan derifatif.
Ketiganya dapat dipakai bersamaan maupun sendiri-sendiri, tergantung dari
respon yang kita inginkan terhadap suatu plant.

8
Gambar 2.6. Blok Diagram PID Controller

2.3.1 Jenis Jenis Kontroller


Fungsi transfer dari PID Controller akan tampak sebagai berikut :
KI K 2

+ K D s= D S + K S +K I
KP + p
(2.1)
S S
 KP = Proportional gain
 KI = Integral gain
 KD = Derivative gain
Skema seperti diatas, digunakan oleh cara kerja PID controller pada
sistem tertutup. Variabel (e) menggambarkan tracking error, nilai
masukan yang berbeda (R), keluaran aktual (Y), signal error ini akan
dikirim ke PID controllr, dan controller akan menghitung keseluruhan
turunan dan integral dari signal error ini. Sinyal (u) yang telah
melewati controller, sekarang sama dengan proportional penguatan
(Kp) dikalikan dengan ukuran kesalahannya ditambah penguatan
integral (Ki) dikalikan ukuran kesalahan integralnya ditambah
penguatan turunan (Kd) dikalikan ukuran kesalahan derivasinya.
de
u=K P e + K I ∫ e dt + K D (2.2)
dt
Sinyal (u) akan dikirim ke plant, dan akan mendapatkan keluaran baru
(y). Keluaran baru (y) ini akan dikirim kembali ke sensor untuk
mencari kesalahan sinyal baru (e). Controller membawa kesalahan
signal baru tersebut dan menghitung turunan-turunannya dan integral-

9
integralnya sekali lagi. Proses tersebut akan berjalan terus-menerus
seperti semula.

2.3.2 Kontrol Proportional


Pengaruh pada sistem :
 Menambah atau mengurangi kestabilan
 Dapat memperbaiki respon transien khususnya : rise time, settling
time
 Mengurangi (bukan menghilangkan) Error steady state
Catatan : untuk menghilangkan Ess, dibutuhkan KP besar, yang akan
membuat sistem lebih tidak stabil
Kontroler Proporsional memberi pengaruh langsung sebanding)
pada error Semakin besar error, semakin besar sinyal kendali yang
dihasilkan kontroler. Proportional kontroller (Kp) mengurangi waktu
naik, meningkatkan overshoot dan mengurangi kesalahan keadaan
tunak. Fungsi transfer loop tertutup dari sistem diatas dengan
proportional controller adalah :
Kontrol proporsional
U(t) = Kp . e(t)
dimana Kp merupakanpenguatan proporsional (menguatkan sinyal)
Sehingga diperoleh fungsi Alih sebagai berikut:

2.3.3 Kontrol Integral


Pengaruh pada sistem :
 Menghilangkan Error Steady State
 Respon lebih lambat (dibanding P)
 Dapat menimbulkan ketidakstabilan (karena menambah orde
sistem)
Perubahan sinyal kontrol sebanding dengan perubahan error, Semakin
besar error, semakin cepat sinyal kontrol bertambah/berubah
Dengan mengubah Output (kontrol Integral) :

10
sehingga fungsi alihnya yaitu:

2.3.4 Kontrol Derivative


Pengaruh pada sistem :
 Memberikan efek redaman pada sistem yang berosilasi
sehingga bisa memperbesar pemberian nilai Kp
 Memperbaiki respon transien, karena memberikan aksi saat ada
perubahan error
 D hanya berubah saat ada perubahan error, sehingga saat ada error
statis D tidak beraksi, Sehingga D tidak boleh digunakan sendiri.
Besarnya sinyal kontrol sebanding dengan perubahan error (De)
Semakin cepat error berubah, semakin besar aksi kontrol yang
ditimbulkan.

2.3.5 Karakteristik Proportional Integral Derivative (PID)


Proportional Controller (kp) akan memberikan efek mengurangi
waktu naik, tetapi tidak menghapus kesalahan keadaan tunak. Integral
controller (Ki) akan memberikan efek menghapus kesalahan keadaan
tunak, tetapi berakibat memburuknya respon transient. Derivatif
controller akan memberikan efek meningkatnya stabilitas sistem,
mengurangi overshoot, dan menaikkan respon transfer. Efek dari setiap
controller (Kp, Kd,Ki) dalam sistem loop tertutup diperlihatkan pada
tabel dibawah ini:

Respon Kesalahan
Waktu Naik OVERSHOOT Waktu Turun
Loop Keadaan

11
Tertutu Tunak
p perubahan
Kp Menurun Meningkat kecil Menurun
Ki Menurun Meningkat Meningkat Hilang
perubahan perubahan
Kd kecil Menurun Menurun kecil
Tabel 2.1 Efek Controller

Korelasi tersebut kemungkinan tidak sepenuhnya akurat, karena


Kp, Ki, dan kd saling bebas. Pada kenyataannya, mengubah salah satu
variabel dapat mengubah dua yang lainnya. Karena alasan tersebut,
tabel hanya digunakan sebagai referensi saat kita menentukan nilai
untuk Ki, Kp, dan Kd.

2.3.6 Kontrol Proportional – Derivatife


Sekarang mari perlihatkan PD control. Dari tabel terlihat jelas
bahwa Derivatif controller (Kd) mereduksi baik itu overshoot maupun
waktu turun. Fungsi transfer loop tertutup dari sistem di atas dengan PD
controller adalah :

X (s) K p s+ K p
= 2
F (s) s + ( 10 s+ K p ) s+(20 + K p )

2.3.7 Kontrol Proportional – Integral


Sebelum membahas PID controller, mari kita pahami PI control.
Dari tabel kita dapatkan bahwa I controller (Ki) menurun pada waktu
naik, meningkat pada overshoot dan waktu turun dan menghilangkan
kesalahan keadaan tunak. Dari sistem yang dicontohkan, fungsi transfer
loop-tertutup dengan PI controller adalah:

X (s) K p s+KI
= 3
F (s) s +10 s2 + ( 20 + K p ) + K I

12
2.3.8 Kontrol Proportional – Integral – Derivative (PID)
Sekarang perhatikan PID controller, fungsi transfer loop tertutup
pada sistem yang dicontohkan dengan PID controller adalah:

X (s) K p s 2+ K p s + K I
= 2
F (s) s + ( 10 s+ K p ) s2 + ( 20 + K p ) s + K I

2.3.9 Pedoman umum mendesain PID kontroler


Ketika anda ingin mendesain PID controller pada suatu
sistem ikuti beberapa langkah berikut untuk mendapatkan respon
yang diinginkan:

1. Dapatkan respon loop terbuka dan tentukan apa saja yang ingn
ditingkatkan.
2. Tambahkan P-Control untuk menambah waktu naik.
3. Tambahkan D-Control untuk menambah overshoot.
4. Tambahkan I-Control untuk menghilangkan kesalahan keadaan
tunak.
5. Seimbangkan setiap Kp, Ki, Kd sampai didapatkan keseluruhan
respon yang diinginkan. Anda dapat merujuk pada tabel 2.1
sebagai pegangan karakteristik controller.

Akhirnya, anda tidak perlu menerapkan ketiga kontroller (P,I,D)


dalam sistem tunggal jika tidak perlu. Sebagai contoh, jika PI-
controller sudah memberikan respon yang cukup baik (seperti contoh
di atas), maka anda tidak perlu menerapkan D-controller pada sistem
tersebut. Usahakan sedapatmungkin mudah dijalankan.

13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.2 Alat dan Bahan


1. Voltmeter Digital
Voltmeter digital digunakan sebagai alat pengukur inputan baik AC
maupun DC pada percobaan juga sebagai alat pengukur outputan dari
suatu percobaan ini agar nilai yang keluar dapat dianalisa.
2. Connector Plug
Connector plug digunakan sebagai jumper pada suatu module maupun
untuk menjumper dari modul ke power supply.
3. Power Supply
Power supply digunakan sebagai inputan penghasil tegangan DC untuk
dihubungkan ke module dan kemudian keluaran dari modul akan dianalisa.
4. AFG
AFG digunakan sebagai inputan penghasil tegangan AC juga sebagai
pengatur frekuensi inputan pada sebuah percobaan.
5. Osiloscope
Osiloscope digunakan sebagai penangkap gelombang hasil dari sebuah
percobaan yang kemudian hasil gelombang tersebut dianalisa sebagai hasil
dari percobaan.
6. Modul Operasional Amplifier dan PID
Modul operasional amplifier dan PID merupakan suatu rangkaian alat
praktikum yang berisikan Op-Amp, Diferensial Amplifier, PID dan
rangkaian lainnya yang berfungsi sebagai rangkaian dalam suatu
percobaan.

3.3 Langkah Percobaan


3.3.1 Percobaan 1 Operasional Amplifier
Pengukuran Set Point dan Differensial Amplifier

1. Buat rangkaian sesuai pada modul.

14
Gambar 3.1. Rangkaian Modul Op-Amp
2. Menyalakan power supply, AFG, dan osiloskop.
3. Menghubungkan titik A dan B dengan power supply ( tegangan
DC ) atau AFG ( tegangan AC ) dengan tegangan sesuai yang
diinginkan.
4. Menghubungkan titik C dengan multimeter digital dan osiloskop
CH1.
5. Menghubungkan titik D dengan multiimeter digital dan osiloskop
CH2.
6. Mengatur frekuensi pada AFG dengan 3 kondisi berbeda sesuai
yang diinginkan.
7. Mengatur putaran nilai potensiometer ¼ dan ¾ putaran.
8. Mengamati nilai tegangan keluaran pada multimeter digital dan
gelombang keluaran pada osiloskop.
9. Ulangi langkah 3 pada titik A ( tegangan AC ), dan titik B
( tegangan DC ) dengan tegangan yang sesuai.
10. Ulangi langkah 4, 5, 6, 7, dan 8 sesuai petunjuk Asisten.
11. Catat hasil percobaan.

3.3.2 Percobaan 2 Kontrol Proportional Integral Derivative


(PID)
a. Kontrol Proportional Integral
1. Buat rangkaian sesuai dengan modul.

15
Gambar 3.2. Rangkaian Modul PI
2. Menyalakan power supply, AFG, dan osiloskop.
3. Menghubungkan titik A dan B dengan power supply
( tegangan DC ) atau AFG ( tegangan AC ) dengan tegangan
sesuai yang diinginkan.
4. Menghubungkan titik C dengan multimeter digital dan
osiloskop CH1.
5. Mengatur frekuensi pada AFG dengan 3 kondisi berbeda
sesuai yang diinginkan.
6. Mengatur putaran nilai potensiometer ¼ dan ¾ putaran.
7. Mengamati nilai tegangan keluaran pada multimeter digital
dan gelombang keluaran pada osiloskop.
8. Ulangi langkah 3 pada titik A ( tegangan AC ), dan titik B
( tegangan DC ) dengan tegangan yang sesuai.
9. Ulangi langkah 4, 5, 6, 7, dan 8 sesuai petunjuk Asisten.
10. Catat hasil percobaan.
b. Kontrol Proportional Integral Derivative
1. Buat Rangkaian sesuai dengan modul

16
Gambar 3.3. Rangkaian Modul PID
2. Menghubungkan titik A dan B dengan power supply
( tegangan DC ) atau AFG ( tegangan AC ) dengan tegangan
sesuai yang diinginkan.
3. Menghubungkan titik C dengan multimeter digital dan
osiloskop CH1.
4. Menghubungkan titik D dengan multiimeter digital dan
osiloskop CH2.
5. Mengatur frekuensi pada AFG dengan 3 kondisi berbeda
sesuai yang diinginkan.
6. Mengatur putaran nilai potensiometer ¼ dan ¾ putaran.
7. Mengamati nilai tegangan keluaran pada multimeter digital
dan gelombang keluaran pada osiloskop.
8. Ulangi langkah 3 pada titik A ( tegangan AC ), dan titik B
( tegangan DC ) dengan tegangan yang sesuai.
9. Ulangi langkah 4, 5, 6, 7, dan 8 sesuai petunjuk Asisten.
10. Catat hasil percobaan.

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Percobaan


4.2.1 Percobaan 1 Opersional Amplifier
a. Tabel percobaan setpoint signal dan differential amplifier AC - DC

AC DC Potensio Frekuensi Setpoint Signal Differential


No
(+) (-) (putaran) (Hz) (Volt) Amplifier (Volt)
1 100 0,9 V -4 V
2 ¼ 1000 0,2 V -0,8 V
3 2V 500 0,4 V -1,2 V
3V
4 500 0,7 V -2,8 V
5 ¾ 100 1,1 V -3,9 V
6 1000 1V -4,2 V
Hasil Osiloskop potensio ¼

A. Frekuensi 100 Hz

1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

3. Gabungan (Add)

18
B. Frekuensi 1000Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

3. Gabungan (Add)

19
C. Frekuensi 500 Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

3. Gabungan (Add)

Hasil Osiloskop potensio ¾

20
A. Frekuensi 500Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

3. Gabungan (Add)

B. Frekuensi 100Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

21
3. Gabungan (Add)

C. Frekuensi 1000Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

22
3. Gabungan (Add)

b. Tabel percobaan setpoint signal dan differential amplifier DC – AC

DC AC Potensio Frekuensi Setpoint Signal Differential


No
(+) (-) (putaran) (Hz) (Volt) Amplifier (Volt)
1 1000 -1,1 V 4,8 V
2 ¼ 100 -1,4 V 6,2 V
3 500 -1,2 V 4V
3V 2V
4 500 -3,3 V 12,2 V
5 ¾ 100 -3,4 V 11,5 V
6 1000 -2,9 V 10,8 V

Hasil Osiloskop potensio ¼

A. Frekuensi 1000Hz
1. Setpoint (CH1)

23
2. Differensial (CH2)

3. Gabungan (Add)

B. Frekuensi 100Hz
1. Setpoint (CH1)

24
2. Differensial (CH2)

3. Gabungan (Add)

C. Frekuensi 500Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

25
3. Gabungan (Add)

Hasil Osiloskop potensio ¾

A. Frekuensi 500Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

26
3. Gabungan (Add)

B. Frekuensi 100Hz
1. Setpoint (CH1)

2. Differensial (CH2)

27
3. Gabungan (Add)

C. Frekuensi 1000Hz
1. Setpoint (CH1)

28
2. Differensial (CH2)

3. Gabungan (Add)

4.2.2 Percobaan 2 Kontrol Proportional Integral Derivative


(PID)
a. Kontrol Proportional Integral
Tabel percobaan kontrol proportional integral DC – AC

DC AC Potensio Frekuensi Output PI


No (+) (-) (putaran) (Hz) (Volt)
Kp Ki

1 100 0,3 V
2 ¼ ¼ 1000 0,3 V
3 500 0,4 V
3V 2V
4 500 0,4 V
5 ¾ ¾ 100 0,4 V
6 1000 0,4 V

29
Hasil Osiloskop ¼
A. Frekuensi 100Hz

B. Frekuensi 1000Hz

C. Frekuensi 500Hz

Hasil Osiloskop ¾

A. Frekuensi 500Hz

30
B. Frekuensi 100Hz

C. Frekuensi 1000Hz

Tabel percobaan kontrol proportional integral AC – DC

AC DC Potensio Frekuensi Output PI


No (+) (-) (putaran) (Hz) (Volt)
Kp Ki

1 1000 0,3 V
2 ¾ ¾ 100 0,2 V
3 500 0,2 V
3V 2V
4 500 0,2 V
5 ¼ ¼ 100 0,18 V
6 1000 0,2 V

Hasil Osiloskop ¼
A. Frekuensi 1000Hz

31
B. Frekuensi 100Hz

C. Frekuensi 500Hz

Hasil Osiloskop ¾

A. Frekuensi 500Hz

B. Frekuensi 100Hz

32
C. Frekuensi 1000Hz

b. Kontrol Proportional Integral Derivative


Tabel percobaan kontrol proportional integral derivative DC – AC

Potensio Output
AC DC Frekuensi
No (putaran) PI
(+) (-) (Hz)
Kp Ki Kd (Volt)
1 1000 0,654 V
2 ¼ ¼ ¼ 100 0,655 V
3 500 0,653 V
2V 3V
4 500 0,653 V
5 ¾ ¾ ¾ 100 0,655 V
6 1000 0,654 V

Hasil Osiloskop ¼
A. Frekuensi 1000Hz

B. Frekuensi 100Hz

C. Frekuensi 500Hz

33
Hasil Osiloskop ¾

A. Frekuensi 500Hz

B. Frekuensi 100Hz

C. Frekuensi 1000Hz

Tabel percobaan kontrol proportional integral derivative AC – DC

34
Potensio Output
DC AC Frekuensi
No (putaran) PI
(+) (-) (Hz)
Kp Ki Kd (Volt)
1 1000 0,656 V
2 ¾ ¾ ¾ 100 0,656 V
3 500 0,657 V
2V 3V
4 500 0,657 V
5 ¼ ¼ ¼ 100 0,658 V
6 1000 0,655 V

Hasil Osiloskop ¼
D. Frekuensi 100Hz

E. Frekuensi 1000Hz

F. Frekuensi 500Hz

Hasil Osiloskop ¾

35
G. Frekuensi 500Hz

H. Frekuensi 100Hz

I. Frekuensi 1000Hz

4.3 Analisa dan Pembahasan


4.3.1 Setpoint Signal dan Differential Amplifier AC – DC
Hasil Putaran Potensio ¼
A. Frekuensi 100Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,6 x 0,5ms >F=1/2,8ms Vpp = 3 x 2 V
T = 2,8ms >F=357,14Hz Vpp = 6V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,6 x 0,5ms >F=1/2,8ms Vpp = 5,2 x 5 V
T = 2,8ms >F=357,14Hz Vpp = 26 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,8 x 0,5ms >F=1/2,9ms
T = 2,9ms >F=344,82Hz
B. Frekuensi 1000Hz
CH 1

36
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,8 x 0,1ms >F=1/0,58ms Vpp = 3 x 2 V
T = 0,58ms >F=1724Hz Vpp = 6 V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,6 x 0,1ms >F=1/0,56ms Vpp = 5,4 x 5 V
T = 0,56ms >F=1785,71Hz Vpp= 27 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,6 x 0,1ms >F=1/0,56ms
T = 0,56ms >F=1785,71Hz
C. Frekuensi 500Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,6 x 0,2ms >F=1/1,12ms Vpp = 3 x 2 V
T = 1,12ms >F=892,85Hz Vpp = 6 V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,4 x 0,2ms >F=1/1,08ms Vpp = 5,4 x 5 V
T = 1,08ms >F=925,92Hz Vpp = 27 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,4 x 0,2ms >F=1/1,08ms
T=1,08ms >F=925,92Hz
Hasil Putaran Potensio ¾
A. Frekuensi 100Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,4 x 0,2ms >F=1/1,08ms Vpp = 3 x 2 V
T = 1,08ms >F=925,92Hz Vpp = 6V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,4 x 0,2ms >F=1/1,08ms Vpp = 5,6 x 5 V
T = 1,08ms >F=925,92Hz Vpp = 28 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,6 x 0,2ms >F=1/1,12ms
T = 1,12ms >F=892,85Hz

B. Frekuensi 1000Hz
CH 1

37
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,8 x 0,5ms >F=1/2,9ms Vpp = 2,8 x 2 V
T = 2,9ms >F=344,82Hz Vpp = 5,6 V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,8 x 0,5ms >F=1/2,9ms Vpp = 5,6 x 5 V
T = 2,9ms >F=344,82Hz Vpp = 28 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,6 x 0,5ms >F=1/2,8ms
T = 2,8ms >F=357,14Hz
C. Frekuensi 500Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,8 x 0,1ms >F=1/0,58ms Vpp = 2,8 x 2 V
T = 0,58ms >F=1724,1Hz Vpp = 5,6 V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,6 x 0,1ms >F=1/0,56ms Vpp = 5,6 x 5 V
T = 0,56ms >F=1785,7Hz Vpp = 28 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,6 x 0,1 >F=1/0,56ms
T= 0,56ms >F=1785,71Hz
4.3.2 Setpoint Signal dan Differential Amplifier DC – AC
Hasil Putaran Potensio ¼
D. Frekuensi 1000Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,4 x 0,1ms >F=1/0,54ms Vpp = 2,8 x 2 V
T = 0,54ms >F=1851,2Hz Vpp = 5,6V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,6 x 0,1ms >F=1/0,56 Vpp = 5,2 x 5 V
T = 0,56ms >F=1785,7Hz Vpp = 26 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,4 x 0,1ms >F=1/0,54ms
T = 0,54ms >F=1851,2Hz

E. Frekuensi 100Hz
CH 1

38
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,2 x 0,5ms >F=1/2,6ms Vpp = 2,6 x 2 V
T = 2,6ms >F=384,61Hz Vpp = 5,2 V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,6 x 0,5ms >F=1/2,8ms Vpp = 5 x 5 V
T = 2,8ms >F=357,14Hz Vpp = 25 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,6 x 0,5ms >F=1/2,8ms
T = 2,8ms >F=357,14Hz
F. Frekuensi 500Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,4 x 0,2ms >F=1/1,08ms Vpp = 3 x 2 V
T = 1,08ms >F=925,92Hz Vpp = 6V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,6 x 0,2ms >F=1/1,12ms Vpp = 5,4 x 5 V
T = 1,12ms >F=892,85Hz Vpp = 27 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,6 x 0,2ms >F=1/1,12ms
T = 1,12ms >F=892,85Hz
Hasil Putaran Potensio ¾
A. Frekuensi 500Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 5,6 x 0,2ms >F=1/1,12ms Vpp = 2,8 x 2 V
T = 1,12ms >F=892,85Hz Vpp = 5,6 V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 5,8 x 0,2ms >F=1/1,16ms Vpp = 1 x 5 V
T = 1,16ms >F=862,06Hz Vpp = 5 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 5,4 x 0,2ms >F=1/1,08ms
T = 1,08ms >F=925,92Hz
B. Frekuensi 100Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 2,8 x 1ms >F=1/2,8ms Vpp = 2,8 x 2 V
T = 2,8ms >F=357,14Hz Vpp = 5,6 V
CH 2

39
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 1ms >F=1/3ms Vpp = 2,4 x 5 V
T = 3ms >F=333,33Hz Vpp = 12 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 2,8 x 1ms >F=1/2,8ms
T = 2,8ms >F=357,14Hz
C. Frekuensi 1000Hz
CH 1
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div Ver. x V/Div
T = 2,8 x 0,2ms >F=1/0,28ms Vpp = 2,6 x 2 V
T = 0,56ms >F=1785,71HzVpp = 5,2 V
CH 2
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,2ms >F=1/0,6ms Vpp = 2,6 x 5 V
T = 0,6ms >F=1666,66HzVpp = 11,2 V
Add
T = Div. Hor. x T/Div >F=1/T
T = 2,8 x 0,2ms >F=1/0,56ms
T = 0,56ms >F=1785,71Hz
4.3.3 Kontrol proportional integral DC – AC
Hasil percobaan ¼

A. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 1ms >F=1/3ms Vpp = 3,6 x 0,2 V
T = 3ms >F=333,33Hz Vpp = 0,72 V
B. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,1ms >F=1/0,3ms Vpp = 3,4 x 0,2 V
T = 0,3ms >F=3333,3Hz Vpp = 0,68 V
C. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,2ms >F=1/0,6ms Vpp = 3,2 x 0,2 V
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,64 V

Hasil percobaan ¾

40
A. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 2,8 x 0,2ms >F=1/0,56ms Vpp = 3,2 x 0,2 V
T = 0,56ms >F=1785,7Hz Vpp = 0,64 V
B. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 1ms >F=1/3ms Vpp = 3,2 x 0,2 V
T = 3ms >F=333,3Hz Vpp = 0,64V
C. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,1ms >F=1/0,3ms Vpp = 3,4 x 0,2 V
T = 0,3ms >F=3333,3Hz Vpp = 0,68 V

4.3.4 Kontrol proportional integral AC - DC


Hasil percobaan ¼

A. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3,2 x 0,1ms >F=1/0,32ms Vpp = 3,2 x 0,2 V
T = 0,32ms >F=3125Hz Vpp = 0,64 V
B. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 2,8 x 1ms >F=1/2,8ms Vpp = 3 x 0,2 V
T = 2,8ms >F=357,14Hz Vpp = 0,6 V
C. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 2,8 x 0,2ms >F=1/0,56ms Vpp = 3,2 x 0,2 V
T = 0,56ms >F=1785,7Hz Vpp = 0,64 V

Hasil percobaan ¾

41
A. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,2ms >F=1/0,6ms Vpp = 3 x 0,2 V
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,6 V
B. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/DiV
T = 3 x 1ms >F=1/3ms Vpp = 3,4 x 0,2 V
T = 3ms >F=333,3Hz Vpp = 0,68 V
C. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,1ms >F=1/0,3ms Vpp = 3,2 x 0,2 V
T = 0,3ms >F=3333,3Hz Vpp = 0,64 V

4.3.5 Kontrol Proportional Integral Derivatife DC - AC


Hasil percobaan ¼

A. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,1ms >F=1/0,3ms Vpp = 1,2 x 50mV
T = 0,3ms >F=3333,3Hz Vpp = 0,6 V
B. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 2,8 x 1ms >F=1/2,8ms Vpp = 1,4 x 50mV
T = 2,8ms >F=357,14Hz Vpp = 0,7 V
C. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,2ms >F=1/0,6ms Vpp = 1,4 x 50mV
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,7 V

Hasil percobaan ¾

A. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,2ms >F=1/0,6ms Vpp = 1,6 x 50mV
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,8 V

42
B. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/DiV
T = 3,2 x 1ms >F=1/3,2ms Vpp = 1,2 x 50mV
T = 3,2ms >F=312,5Hz Vpp = 0,6 V
C. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 6 x 0,1ms >F=1/0,6ms Vpp = 1,2 x 50mV
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,6 V

4.3.6 Kontrol Proportional Integral Derivatife AC - DC


Hasil percobaan ¼

A. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 1ms >F=1/3ms Vpp = 1,2 x 50mV
T = 3ms >F=333,3Hz Vpp = 0,6 V
B. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 6 x 0,1ms >F=1/0,6ms Vpp = 1,2 x 50mV
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,6 V
C. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,2ms >F=1/0,6ms Vpp = 1,6 x 50mV
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,8 V

Hasil percobaan ¾

A. Frekuensi 500Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,2ms >F=1/0,6ms Vpp = 1,4 x 50mV
T = 0,6ms >F=1666,6Hz Vpp = 0,7 V

B. Frekuensi 100Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/DiV

43
T = 3 x 1ms >F=1/3ms Vpp = 1,2 x 50mV
T = 3ms >F=333,3Hz Vpp = 0,6 V
C. Frekuensi 1000Hz
T = Div Hor. x T/Div >F=1/T Vpp = Div. Ver x V/Div
T = 3 x 0,1ms >F=1/0,3ms Vpp = 1,4 x 50mV
T = 0,3ms >F=3333,3Hz Vpp = 0,7 V

4.4 Perhitungan
4.4.1 Setpoint Signal dan Differential Amplifier AC – DC
1. Vout Setpoint = 0,9 V, 100 Hz
1
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =2500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 2500
Vout = ×Vout Setpoint = × 0,9V =0,51 V
Rin 4400

2. Vout Setpoint = 0,2 V, 1000 Hz

1
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =2500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 2500
Vout = ×Vout Setpoint = × 0,2V =0,11V
Rin 4400

3. Vout Setpoint = 0,4 V, 500 Hz

1
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =2500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 2500
Vout = ×Vout Setpoint = × 0,4 V =0,39V
Rin 4400

4. Vout Setpoint = 0,7 V, 500 Hz


3
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =7500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 7500
Vout = ×Vout Setpoint = × 0,7 V =1,19 V
Rin 4400

44
5. Vout Setpoint = 1,1 V, 100 Hz
3
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =7500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 7500
Vout = ×Vout Setpoint = × 1,1V =1,87 V
Rin 4400
6. Vout Setpoint = 1 V, 1000 Hz
3
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =7500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 7500
Vout = ×Vout Setpoint = × 1V =1,70V
Rin 4400
4.4.2 Setpoint Signal dan Differential Amplifier DC – AC
1. Vout Setpoint = -1,1 V, 1000 Hz
3
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =7500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 7500
Vout = ×Vout Setpoint = ×−1,1 V =−31,87 V
Rin 4400
2. Vout Setpoint = -1,4 V, 100 Hz
3
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =7500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 7500
Vout = ×Vout Setpoint = ×−1 , 4 V =−2,38 V
Rin 4400
3. Vout Setpoint = -1,2 V, 500 Hz
3
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =7500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 7500
Vout = ×Vout Setpoint = ×−1 , 2V =−2,04 V
Rin 4400
4. Vout Setpoint = -3,3 V, 500 Hz
1
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =2500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 2500
Vout = ×Vout Setpoint = ×−3,3 V =−1,87 V
Rin 4400

45
5. Vout Setpoint = -3,4 V, 100 Hz
1
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =2500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 2500
Vout = ×Vout Setpoint = ×−3,4 V =−1,9 3 V
Rin 4400
6. Vout Setpoint = -2,9 V, 1000 Hz
1
Rp=VR 2 x Putaran Potensio=10000 x =2500 Ohm
4
Rin = R3 + R4 = 4400 Ohm
Rp 2500
Vout = ×Vout Setpoint = ×−2,9 V =−1,64 V
Rin 4400
4.4.3 Kontrol Proportional Integral DC – AC
1. Vout setpoint = 0,9 V , 100 Hz potensio Kp 1/4 Ki 1/4
E(s) = SP – U(s) = 0,9 – 0,3 = 0,6

U ( s) 0,3
Ki= = =0,5V
1. E ( s ) 1 X 0,6

U (s) 0,3
Kp= = =0,5 V
E( s) 0,6

Ki 0,5
U ( s )=Kp . E ( s )+ =0,5 X 0,6+ =1,13V
1. E(s) 1 X 0,6

2. Vout setpoint = 0,2 V, 1000 Hz potensio Kp 1/4 Ki 1/4

E(s) = SP – U(s) = 0,2 – 0,3 = -0,1


U ( s) 0,3
Ki= = =−0,3V
1. E ( s ) 1 X (−0,1)
U (s) 0,3
Kp= = =−0,3 V
E( s) −0,1
Ki −0,3
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,3 X−0,1+ =3,3V
1. E(s) 1 X −0,1

3. Vout setpoint = -0,4 V, 500 Hz potensio Kp 1/4 Ki 1/4


E(s) = SP – U(s) = -0,4 – 0,4 = -0,8

46
U ( s) 0,4
Ki= = =−0,5 V
1. E ( s ) 1 X (−0,8)
U (s) 0,4
Kp= = =−0,5 V
E( s) −0,8
Ki −0,5
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,5 X (−0,8)+ =1,025 V
1. E(s) 1 X (−0,8 )

4. Vout setpoint = 0,7 V , 500 Hz potensio Kp 3/4 Ki 3/4


E(s) = SP – U(s) = 0,7 – 0,4 = 0,3
U ( s) 0,4
Ki= = =1,33 V
1. E ( s ) 1 X ( 0,3)
U (s) 0,4
Kp= = =1,33 V
E( s) 0,3
Ki 1,33
U ( s )=Kp . E ( s )+ =1,33 X 0,3+ =4,83V
1. E(s) 1 X ( 0,3 )
5. Vout setpoint = 1,1 V, 100 Hz potensio Kp 3/4 Ki 3/4
E(s) = SP – U(s) = 1,1 – 0,4 = 0,7
U ( s) 0,4
Ki= = =0,57 V
1. E ( s ) 1 X 0,7
U (s) 0,4
Kp= = =0,57 V
E( s) 0,7
Ki 0,57
U ( s )=Kp . E ( s )+ =0,57 X 0,7+ =1,21V
1. E(s) 1 X ( 0,7 )
6. Vout setpoint = 1 V, 1000 Hz potensioKp 3/4 Ki 3/4
E(s) = SP – U(s) = 1 – 0,4 = 0,6
U ( s) 0,4
Ki= = =0,66 V
1. E ( s ) 1 X ( 0,6)
U (s) 0,4
Kp= = =0,66 V
E( s) 0,6
Ki 0,66
U ( s )=Kp . E ( s )+ =0,66 X 0,6+ =1,49V
1. E(s) 1 X ( 0,6 )

4.4.4 Kontrol proportional integral AC - DC


1. Vout setpoint = -1,1 V, 1000Hz potensio Kp 3/4 Ki 3/4

47
E(s) = SP – U(s) = -1,1 – 0,3 = -1,4
U ( s) 0,3
Ki= = =−0,21 V
1. E ( s ) 1 X (−1,4)
U (s) 0,3
Kp= = =−0.21 V
E( s) −1,4
Ki −0,21
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,21 X (−1,4)+ =0,44 V
1. E(s) 1 X (−1,4 )
2. Vout setpoint = -1,4 V, 100 Hz potensio Kp 3/4 Ki 3/4

E(s) = SP – U(s) = -1,4 – 0,2 = -1,6


U ( s) 0,2
Ki= = =−0,125 V
1. E ( s ) 1 X (−1,6)
U (s) 0,2
Kp= = =−0.125 V
E( s) −1,6
Ki −0,125
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,125 X (−1,6)+ =0,27 V
1. E(s) 1 X (−1,6 )
3. Vout setpoint = -1,2 V, 500 Hz potensio Kp 3/4 Ki 3/4

E(s) = SP – U(s) = -1,2 – 0,2 = -1,4


U ( s) 0,2
Ki= = =−0,14 V
1. E ( s ) 1 X (−1,4)
U (s) 0,2
Kp= = =−0.14 V
E( s) −1,4
Ki −0,14
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,14 X (−1,4)+ =0,29V
1. E(s) 1 X (−1,4 )
4. Vout setpoint = -3,3 V, 500Hz potensio Kp 1/4 Ki 1/4

E(s) = SP – U(s) = -3,3 – 0,2 = -3,5


U ( s) 0,2
Ki= = =−0,05V
1. E ( s ) 1 X (−3,5)
U (s) 0,2
Kp= = =−0,05 V
E( s) −13,5
Ki −0,05
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,05 X (−3,5)+ =0,18V
1. E(s) 1 X (−3,5 )
5. Vout setpoint = -3,4 V, 100 Hz potensio Kp 1/4 Ki 1/4

48
E(s) = SP – U(s) = -3,4 – 0,18 = -3,58
U ( s) 0,18
Ki= = =−0,05V
1. E ( s ) 1 X (−3,58)
U (s) 0,18
Kp= = =−0.05 V
E( s) −3,58
Ki −0,05
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,05 X (−3,58)+ =0,19V
1. E(s) 1 X (−3,58 )

6. Vout setpoint = -2,9 V, 1000 Hz potensio Kp 1/4 Ki 1/4

E(s) = SP – U(s) = -2,9 – 0,2 = -3,1


U ( s) 0,2
Ki= = =−0,06V
1. E ( s ) 1 X (−3,1)
U (s) 0,2
Kp= = =−0.06 V
E( s) −3,1
Ki −0,06
U ( s )=Kp . E ( s )+ =−0,06 X (−3,1)+ =0,2 V
1. E(s) 1 X (−3,1 )
4.5 Pembahasan
4.5.1 Operasional Amplifier
Dari percobaan di atas dapat diketahui bahwa :

1. Pada rangkaian module operasional amplifier karena


menggunakan amplifier tipe inverting maka ketika dikoneksi
menggunakan model AC – DC maka setpoint keluaran yang
dihasilkan bernilai negatif dan nilai difernsialnya bernilai postif.
2. Sebaliknya ketika inputan dipasang menggunakan model DC –
AC mak keluaran setpoint akan bernilai positif dan nilai keluaran
diferensial akan bernilai negatif.
3. Hasil dari percobaan dapat dilihat bahwa tegangan output yang
dihasilkan sesuai perhitungan lebih sedikit daripada inputan yang
dilakukan tetapi frekuensi yang dihasilkan keluaran bernilai
kelipatan daripada nilai inputan sebesar 2 – 3 kali lipat sesuai
putaran potensionya.

49
4. Putaran potensio berpengaruh pada hasil outputan baik dari
tegangan maupun dari nilai frekuensi yang dihasilkan oleh
output, ketika putaran potensio sebesar ¼ nilai yang dikeluarkan
berkelipatan 2 kali dari inputan dan ketika potensio di berikan
nilai sebesar ¾ maka hasil output yang dikeluarkan bisa sampai 3
kali lipat.

4.5.2 Kontrol Proportional Integral Derivatife


Dari hasil sesuai percobaan dan juga perhitungan diketahui bahwa :

1. Hasil frekuensi yang dikeluarkan kebanyakan mengalami


peningkatan ketika menggunakan modul PI.
2. Hasil frekuensi ketika menggnakan modul PID frekuensi yang
dihasilkan lebih stabil.
3. Ketika hanya menggunakan modul PI frekuensi yang dihasilkan
pada gambar terlihat terdapat lompatan yang tidak stabil pada
gambar gelombang, namun ketika sudah ditambahi Devariatif
menjadi PID maka gelombang yang dihasilkan lebih stabil
namun Vpp yang dihasilkan akan semakin kecil.
4. Potensio pada setiap modul baik Proportional, Integral dan
Devariatif dapat berfungsi sebagai sebuah alat untuk mentuning
hasil dari suatu modul PID untuk menghasilkan gelombang dan
juga nilai outputan yang stabil.

50
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Operasional Amplifier


1. Penguat inverting adalah penguat yang membalik keluaran, dimana pada
rangkaian praktikum ketika AC – DC ketika masukan DC dari kaki
inverting (-) maka hasil diferensial yang dikeluarkan bernilai negatif.
2. Penguat non inverting adalah penguat yang tidak membalik keluara,
dimana pada rangkaian ketika AC – DC non inverting merupakan yang
digunakan untuk menentukan nilai setpoint.
3. Prinsip kerja operation amplifer adalah dengan membandingkan nilai
kedua input (input inverting dan non-inverting ) apabila kedua input
bernilai mendekati sama maka output op-amp akan semain tidak ada
(bernilai nol) dan apabila terdapat perbedaan nilai input keduanya maka
output op-amp akan memberikan tegangan output yang sesuai mana yang
lebih besar di bagian input inverting atau non-inverting.
4. Gelombang yang dikeluarkan dari operational amplifier lebih besar dari
nilai gelombang yang dimasukkan.
5. Tegangan output dari dari amplifier lebih kecil tergantung dari inputan
yang dimasukkan dibagian inverting dan non inverting.
6. Hasil dari percobaan dapat dilihat bahwa tegangan output yang dihasilkan
sesuai perhitungan lebih sedikit daripada inputan yang dilakukan tetapi
frekuensi yang dihasilkan keluaran bernilai kelipatan daripada nilai
inputan sebesar 2 – 3 kali lipat sesuai putaran potensionya.
7. Putaran potensio berpengaruh pada hasil outputan baik dari tegangan
maupun dari nilai frekuensi yang dihasilkan oleh output, ketika putaran
potensio sebesar ¼ nilai yang dikeluarkan berkelipatan 2 kali dari inputan
dan ketika potensio di berikan nilai sebesar ¾ maka hasil output yang
dikeluarkan bisa sampai 3 kali lipat.

51
5.2. Kontrol Proportional Integral Derivatif (PID)
1. Ada tiga jenis controller yaitu proportional, integral, dan derivative.
2. Proportional kontroller memberikan efek mengurangi waktu naik, tapi
tidak menghapus kesalahan keadaan tunak. Integral controller memberikan
efek menghapus kesalahan keadaan tunak tapi berakibat pada respon
transient yang buruk. Sedangkan derivatif controller akan memberikan
efek meningkatkan stabilitas sistem, mengurangi overshoot, dan
menaikkan respon transient.
3. Ketika menggunakan hanya control PI pada percobaan dapat dilihat
gelombang yang dihasilkan terdapat beberapa diferensiasi dan jika
ditambah derivatife tegangan yang dihasilkan menurun tetapi kontrol PID
gelombangnya lebih stabil dari pada hanya PI.
4. Masalah dalam sistem kontrol dapat diselesaikan menggunakan
Proportional kontrol, PI control, dan PID controller.
5. Ketika hanya menggunakan modul PI frekuensi yang dihasilkan pada
gambar terlihat terdapat lompatan yang tidak stabil pada gambar
gelombang, namun ketika sudah ditambahi Devariatif menjadi PID maka
gelombang yang dihasilkan lebih stabil namun Vpp yang dihasilkan akan
semakin kecil.
6. Potensio pada setiap modul baik Proportional, Integral dan Devariatif
dapat berfungsi sebagai sebuah alat untuk mentuning hasil dari suatu
modul PID untuk menghasilkan gelombang dan juga nilai outputan yang
stabil.

52
DAFTAR PUSTAKA

Elektronika.2012,Operasional Amplifier (Op- Amp).


Anonim. 2011. “Teori Kontrol PID Proportional, Integral, Derivetive”.
https://www.academia.edu/4607460/Teori_Kontrol_PID_Proportional_In
tegral_Derivative. diakses pada tanggal 12/5/2019 pukul 21.33.

Modul praktikum Dasar Sistem Kendali Universitas Semarang.

53

Anda mungkin juga menyukai