Anda di halaman 1dari 8

Pediatric drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms: A

systematic review of the literature


Lauren Metterle MD, Leigh Hatch BS, Lucia Seminario-Vidal, PhD

Abstrak

Latar belakang : Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) merupakan reaksi
simpang obat yang berat yang melibatkan integumen dan organ internal. Belum pernah dilakukan
ulasan literatur mengenai DRESS pada populasi pediatrik.

Metode : Dilakukan penelusuran literatur untuk mencari laporan kasus DRESS pada anak yang terbit
antara tahun 1997 hingga Maret 2019. Masing-masing kasus dilakukan skoring berdasarkan kriteria
RegiSCAR. Hanya kasus DRESS “probable” atau “definite” yang diikutkan dalam analisis, dengan total
130 kasus.

Hasil : Pada populasi pediatrik, usia rata-rata diagnosis DRESS adalah 8,7 tahun. Obat penyebab
utama meliputi obat antiepilepsi (50%), dan antibiotik (30,8%). Waktu pajanan obat hingga muncul
gambaran klinis DRESS rata-rata 23,8 hari. Gejala klinis pada umumnya meliputi ruam kulit (99,2%)
(paling sering tipe morbilliform (89,2%)), demam (96,2%), eosinofilia (90%), dan limfadenopati
(74,6%). Pada 16,1% kasus ditemukan reaktivasi human herpesvirus-6. Organ internal yang paling
sering terkena adalah hati (80%), diikuti limpa (21,5%), dan ginjal (15,4%). Tatalaksana meliputi
kortikosteroid (intravena 60,8% dan oral 41,5%), immunoglobulin intravena (12,3%), plasmaferesis
(2,3%), dan ganciclovir (1,5%). Sekuele jangka panjang terjadi pada 10,8% pasien, yang paling umum
terjadi adalah hipotoroidisme (3,8%), gagal hati (3,1%), dan diabetes (2,3%). Angka kematian
sebanyak 5,4%.

Kesimpulan : Ulasan literatur ini menerangkan presentasi dan perjalanan penyakit DRESS. Erupsi
morbilliform, demam, eosinofilia merupakan penanda DRESS pada anak. Obat penyebab terutama
karbamazepin serupa dengan kasus pada populasi dewasa. Angka kematian cukup tinggi dan sama
antara kasus DRESS pada anak dan dewasa.

PENDAHULUAN

Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) merupakan reaksi simpang obat
yang berat dan berpotensi fatal yang melibatkan jaringan kutaneus dan organ visceral. DRESS
merupakan penyakit yang jarang terjadi, dengan insiden 1:1.000 hingga 1:10.000 kasus per paparan
obat. Angka kematian diperkirakan sebanyak 10%, dan sekuele jangka panjang tercatat dalam
berbagai laporan kasus. Ulasan komprehensif telah dilakukan pada populasi dewasa, namun ulasan
DRESS pada populasi anak belum ada.

Istilah DRESS digunakan olah Bocquet dkk pada tahun 1996 untuk menggabungkan suatu sindrom
yang pada saat itu dinamakan berbeda-beda, diantaranya anticonvulsant hypersensitivity syndrome
(AHS), drug-induced pseudolymphoma, dan drug-induced hypersensitivity syndrome (DIHS).
Kemudian berkembang istilah DRESS yang terdiri dari tiga tanda utama yaitu erupsi kulit akibat obat,
kelainan hematologis, dan keterlibatan sistemik. Namun Kardaun dkk pada tahun 2007
mengklarifikasi fitur yang paling penting dan menonjol melalui guideline skoring RegiSCAR yang
berkembang dan lebih spesifik serta terstruktur. Menurut system penilaian ini, ada/tidaknya kriteria
penting seperti demam, eosinophilia, erupsi kulit, atau keterlibatan organ dalam akan menambah
atau mengurangi skor secara keseluruhan. Dengan metode skoring ini, tidak ada satu tampilan
penting untuk menegakkan diagnosis, tetapi terdapat spektrum klinis yang luas. Sebagai contoh,
suatu kasus didiagnosis “definite” DRESS dengan berbagai urutan kriteria. Namun, keragaman
presentasi klinis menimbulkan tantangan diagnostik karena banyaknya diagnosis banding. Diagnosis
banding ini meliputi infeksi, seperti mononucleosis, demam dengue, chikungunya, leptospirosis, dan
infeksi mycobacterium diseminata; keganasan seperti hemophagocytic lymphohistiocytosis, dan
sindrom autoimun seperti penyakit Kawasaki.

Meski etiologi pasti DRESS belum jelas, tampak beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
patogenesis. Satu hubungan yang sudah jelas adalah onset penyakit dengan inisiasi obat spesifik.
Terdapat beberapa teori mekanisme yang menduga adanya metabolisme obat yang tidak sempurna
dan akumulasi metabolit reaktif yang berperan dalam timbulnya DRESS. Selain itu, reaktivasi
herpesvirus, terutama HHV-6 berperan pada pathogenesis DRESS. Ahluwalia dkk menunjukkan HHV-
6 pada kasus DRESS anak berkaitan dengan perjalan penyakit yang lebih berat serta onset yang lebih
lambat setelah paparan obat dibandingkan dengan kasus yang negatif HHV-6. Kombinasi predisposisi
genetik, pemberian terapi, dan reaktivasi virus diduga memberikan gambaran kelainan kulit dan
keterlibatan sistemik beragam.

Sindrom DRESS merupakan kelainan yang jarang dan memiliki gambaran yang beragam, oleh karena
itu ulasan literatur ini dibuat untuk lebih dapat memahami demografi, obat penyebab, perjalanan
penyakit, gambaran klinis, tatalaksana, sekuele jangka panjang, dan luaran yang spesifik pada
populasi anak.

METODE

Ulasan sistematik terhadap kasus DRESS anak yang dilaporkan dilakukan melalui pencarian literatur
dari database PubMed dan EMBASE. Istilah yang dicari dimasukkan (“DRESS syndrome” OR “Drug
reaction with eosinophilia and systemic symptoms” OR “drug hypersensitivity syndrome” OR “drug-
induced hypersensitivity syndrome” OR “drug rash eosinophilia and systemic symptoms” AND
“child”) OR (“DRESS syndrome” OR “Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms” OR
“drug hypersensitivity syndrome” OR “drug‐induced hypersensitivity syndrome” OR “Drug rash with
eosinophilia and systemic symptoms” AND “pediatric”). Publikasi yang dimasukkan ke analisis adalah
yang berbahasa Inggris dan diterbitkan antara Januari 1997 dan Maret 2019.

Laporan kasus dan rangkaian kasus DRESS anak yang ditemukan dari pencarian diulas. Beberapa data
diambil dan dimasukkan ke dalam Excel spreadsheet: informasi demografi, obat penyebab, periode
laten, gejala klinis, hasil laboratorium, reaktivasi virus, tatalaksana, dan luaran. Semua tampilan klinis
dan laboratorium dimasukkan ke dalam kriteria RegiSCAR. Jika kasus telah menggunakan skoring
RegiSCAR, kasus dimasukkan ke dalam analisis. Namun bila belum ada skoring, penulis membuat
skoring RegiSCAR terlebih dahulu lalu berdasarkan data yang disebutkan dalam laporan kasus. Kasus-
kasus yang dimasukkan ke analis final adalah kasus anak (<18 tahun) yang masuk kategori DRESS
“probable” atau “definite” berdasarkan kriteria RegiSCAR. Data dianalisis secara statistik dengan
Microsoft Excel.

HASIL
Terdapat 186 publikasi PubMed dan 495 publikasi EMBASE yang potensial. Publikasi dieksklusi bila
ada duplikasi, ditulis dalam bahasa selain Inggris, tidak terkait dengan sindrom DRESS, tidak
mengandung data yang cukup untuk analisis, atau bukan merupakan laporan kasus ataupun
rangkaian kasus. Terdapat 152 kasus yang relevan dari 119 publikasi berbeda yang dimasukkan
dalam kumpulan data. Dari 152 kasus ini, 130 masuk kategori “probable” atau “definite” DRESS
berdasarkan skoring RegiSCAR dan dimasukkan dalam analisis akhir.

3.1. Demografi

Analisis menunjukkan jumlah yang setara antara kasus DRESS “definite” (48,5%) dan ”probable”
(51,5%). Usia rata-rata pasien saat diagnosis adalah 8,7 tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin,
dengan jumlah yang hampir sama antara perempuan (50,8%) dan laki-laki (49,2%). Komorbiditas
terbanyak adalah kejang (43,1%).

3.2. Hasil penting

Obat penyebab terkait kasus DRESS pada anak dalam penelitian ini dirangkum pada tabel 1. Obat
penyebab terbanyak adalah obat antiepilepsi (50%), termasuk karbamazepin, (16,2%), fenitoin
(13,8%), dan fenobarbital (11,5%). Secara keseluruhan obat antiepilepsi aromatik terlibat dalam
86,2% kasus yang disebabkan oleh obat antiepilepsi. Obat penyebab kedua terbanyak yaitu
antibiotik (30,8%), yang tersering yaitu vancomycin (6,9%) dan trimethoprim-sulfamethoxazole
(TMP-SMX) (6,9%). Selain itu, obat tersangka lainnya adalah sulfasalazine (4,6%) dan NSAID (4,6%).
Waktu rata-rata antara paparan obat dengan timbuknya gejala sindrom DRESS adalah 23,8 hari.
DRESS yang disebabkan oleh obat antiepilepsi memiliki onset rata0rata 25,5 hari, sedangkan onset
antibiotic adalah 19,2 hari. Gejala klinis yang sering timbul adalah ruam kulit (99,2% (paling banyak
gambaran morbilliform (89,2%)), demam (96,2%), eosinophilia (90%), limfadenopati (74,6%), dan
edema (59,2%). Pruritus (32,2%) merupakan gejala yang umum terjadi, dan nyeri (0,8%) jarang
ditemukan. Biopsi kulit dilakukan pada 26,2% kasus. Sebagian menunjukkan gambaran histopatologi
berupa campuran dari setidaknya dua pola inflamasi (termasuk gambaran perivaskuler, spongiotik,
dan interface). Secara keseluruhan, pola inflamasi utama yang diamati adalah perivaskuler (50%).
Eosinofil juga merupakan tampilan mencolok (54%), dan keratinosit apoptotic jelas ditemukan pada
seperempat kasus. Enam dari 34 spesimen biopsy tidak tergambar secara adekuat. HHV-6 diperiksa
pada 37,7% kasus. Reaktivasi HHV-6 ditemukan pada 42,9% kasus yang diperiksa, namun secara
keseluruhan hanya menggambarkan 16,1% kasus. Organ dalam yang paling banyak terlibat adalah
hati (80%) diikuti limpa (21,5%), dan ginjal (15,4%). Keterlibatan limpa ditemukan dari pemeriksaan
fisik splenomegaly. Strategi tatalaksana meliputi penghentian obat penyebab pada semua kasus
dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid sistemik. (88,5%), immunoglobulin intravena (12,3%),
plasmaferesis (2,3%), ganciclovir (1,5%), atau kombinasinya. Sekuele jangka panjang timbul pada
10,8% kasus dan didefinisikan sebagai kondisi yang diamati selama periode 1-24 bulan setelah
timbulnya DRESS. Sekuele yang paling banyak terjadi adalah hipotiroidisme (3,8%), gagal hati (3,1%),
dan diabetes melitus (2,3%).

Angka kematian secara keseluruhan rendah, terjadi pada tujuh kasus (5,4%). DRESS dianggap sebagai
penyebab kematian pada lima dari tujuh kasus tersebut, dan infeksi nosokomial pada 2 kasus
lainnya. Dari kasus kematian tersebut, 4 (57,1%) disebabkan obat antiepilepsi (2 fenobarbital, 1
karbamazepin, dan 1 kombinasi) dan 3 (42,9%) disebabkan antibiotik (2 vancomycin dan 1
minocyclin). Ketujuh kasus (100%) mengalami kerusakan hati atau gagal hati. HHV-6 diperiksa pada 3
dari 7 kasus (42,9%) dan positif pada1 kasus (14,3%). Lima kasus (71,4%) ditatalaksana dengan
steroid saja, sementara sisanya ditatalaksana dengan gabungan steroid dan ganciclovir atau IVIG.
Gejala klinis dan laboratorium dijelaskan pada table 2.

Tabel 1. Obat penyebab sindrom DRESS


Tabel 2. Demografi, gejala klinis, dan tatalaksana DRESS
pada anak

DISKUSI DAN KESIMPULAN

Ulasan literatur ini menjelaskan obat penyebab, manifestasi klinis, dan perjalanan penyakit DRESS
pada anak dengan lebih baik. Gambaran klinis DRESS pada anak yang paling sering muncul adalah
demam, ruam morbilliform, dan limfadenopati yang berhubungan dengan eosinophilia dan
transaminitis. Hati merupakan organ tersering yang terkena, namun limpa dan ginjal pun dapat
terkena. Waktu rata-rata munculan klinis yaitu 23,8 hari sejak onset obat, terutama pada obat
antiepilepsi dan antibiotic. Berdasarkan analisis, tatalaksana yang paling umum adalah penghentian
obat penyebab dan pemberian kortikosteroid sistemik. Hampir 50% kasus diikuti untuk menilai
sekuele dalam waktu 1-24 bulan. Secara keseluruhan, 10,8% kasus mengalami sekuele jangka
panjang, diantaranya hipotiroidisme, diabetes melitus, dan gagal hati. Risiko kematian sebesar 5,4%,
terjadi 5-12 minggu setelah paparan obat pertama kali.

Data-data ini dapat memperjelas persamaan dan perbedaan antara DRESS pada dewasa dan anak.
Tabel 3 menunjukkan data analog kasus DRESS pada dewasa dan dibandingkan dengan kasus pada
anak. Data pasien dewasa diambil dari dua penelitian: penelitian retrospektif oleh Cocoub dkk dan
penelitian prospektif oleh Kardaun dkk. Cacoub dkk meneliti kasus DRESS probable dan definite pada
usia rata-rata 40,7 tahun. Meskipun penelitian ini terutama pada dewasa, namun kasus anak tidak
dieksklusi (8,4% diikutkan dalam penelitian). Kardaun dkk menganalisis gambaran klinis dan
perjalanan penyakit dari kasus probable dan definite menggunakan kriteria RegiSCAR pada pasien
berusia rata-rata 48 tahun.
Tabel 3. Perbandingan DRESS pada anak dan dewasa

Penelitian pada DRESS dewasa menunjukkan 35-40% disebabkan oleh obat antiepilepsi, yang lebih
rendah dibandingkan populasi anak (50%). Selain itu, 11-15% kasus pada dewasa disebabkan oleh
paparan antibiotic, sedangkan pada anak sebanyak 30,8%. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
menentukan apakah terdapat perbedaan signifikan dan apakah hal ini terkait dengan perbedaan
sensitivitas terhadap hapten tertentu antar populasi atau perbedaan dalam kebiasaan peresepan
obat. Bagaimanapun, secara umum antibiotic lebih sering diresepkan dibanding obat antiepilepsi.
Chai dkk menyatakan seperempat resep anak-anak adalah antibiotic, sementara obat antiepilepsi
menempati urutan ke-12 golongan obat yang banyak diresepkan. Pada tahun 2010, 65 juta antibiotic
diresepkan, sedangkan obat antiepilepsi sebanyak 5 juta. Dengan demikian, tampaknya obat
antiepilepsi berisiko lebih tinggi menimbulkan DRESS dibanding antibiotik. Dokter perlu
mempertimbangkan untuk memonitor ketat pasien yang mendapat obat-obatan yang dapat memicu
DRESS dan memiliki indeks kecurigaan yang tinggi untuk penelusuran munculnya erupsi baru.

Pada penelitian Cacoub dkk, 60% erupsi DRESS pada dewasa digambarkan sebagai lesi
maculopapular (atau morbilliform), sementara pada analisis di atas hamper 90% pasien DRESS anak
memiliki ruam morbilliform. Penelitian prospektif oleh Kardaun dkk dapat lebih menggambarkan
presentasi klinis DRESS pada dewasa ditinjau dari desain penelitiannya. Meskipun morfologi erupsi
pada penelitian ini tidak dijelaskan, perbedaan tampilan klinis antara DRESS dewasa dan anak dapat
disimpulkan. Pasien anak lebih cenderung muncul dengan demam (96,2% vs 90%) dan limfadenopati
(74,6% vs 54%) dan lebih sedikit kemungkinan munculnya edema wajah (51,5% vs 76%). Selain itu,
penting untuk penelitian selanjutnya untuk mengeksplorasi apakah ada kecendrungan keterlibatan
limpa pada anak dengan DRESS (21% vs 15%) dan apakah ini menjadikan anak lebih berisiko
mengalami infeksi bakteri jangka panjang. Namun, angka kematian secara keseluruhan tampak sama
antara kedua populasi: 5,4% pada DRESS anak dan 5,2% pada DRESS dewasa.

Ulasan DRESS pada anak ini memiliki beberapa keterbatasan, disebabkan karena jenis penelitian
yang bersifat retrospektif. Terdapat variasi dalam informasi yang dimunculkan dalam setiap laporan
kasus. Hal ini disiasati dengan menggunakan kriteria skoring RegiSCAR sebagai panduan. Namun
demikian, tidak ada konsistensi dalam cara data disajikan; oleh karena itu, beberapa laporan kasus
tidak menyebutkan secara khusus ada atau tidaknya temuan klinis atau laboratorium tertentu yang
muncul. Terutama, data sekuele jangka panjang terbatas karena tidak dilaporkan atau dijelaskan.
Oleh karena itu tidak dapat dijelaskan apakah diabetes melitus merupakan komplikasi dari DRESS
atau akibat terapi kortikosteroid. Selain itu terdapat keterbatasan lain yang perlu dipertimbangkan
saat melakukan analisis laporan kasus secara retrospektif, seperti kesulitan dalam menerbitkan
konsep yang sudah terbentuk. Ini bisa berarti obat penyebab baru lebih mungkin dilaporkan
daripada obat yang sebelumnya sudah pernah dilaporkan atau kasus yang lebih parah mungkin lebih
mungkin dipublikasikan. Sehingga, kasus yang dianggap “probable”, bukan hanya kasus “definite”
dalam RegiSCAR dimasukkan dalam analisis.

Sebagai kesimpulan, sindrom DRESS pada anak harus dipertimbangkan bila ditemukan anak dengan
demam, erupsi morbilliform, limfadenopati, eosinophilia, dan keterlibatan organ dalam setelah
mendapat obat baru, terutama obat antiepilepsi atau antibiotic yang didapatkan 2-3 minggu
sebelum onset penyakit. Karena angka kematian pada analisis ini sama dengan yang dilaporkan pada
dewasa (5,4% vs 5,2%), maka penting untuk mengenali adanya DRESS dan menghentikan obat
penyebab segera. Dikarenakan keterbatasan dalam penelitian retrospektif, penelitian lebih jauh
terutama studi prospektif dapat lebih memberikan informasi dibandingkan dengan ulasan literatur
untuk lebih memperjelas tampilan klinis dan menuntun tatalaksana standar pada kasus DRESS anak.

Anda mungkin juga menyukai