Anda di halaman 1dari 75

i

BUKU AJAR

PRINSIP DASAR PEMETAAN


KAWASAN PETERNAKAN

Dr. Dewi Ayu Warmadewi, S.Pt., M.Si


Prof. Dr.Ir. I Gusti Nym Gde Bidura, MS
Dr. Ida Bagus Gaga Partama, MS

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii

PRAKATA

Kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan adalah


kawasan yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan komoditas
peternakan dan kesehatan hewan dalam menjalankan fungsi
(perbibitan, budidaya, pakan, kesehatan hewan, dan kesehatan
masyarakat veteriner, dan pasca panen). Dengan demikian, kawasan
peternakan dan kesehatan hewan dapat mengandung unsur-unsur
hulu (perbibitan), on-farm (budidaya dan pakan) serta hilir, yaitu
kesehatan masyarakat veteriner dan pasca panen. Keseluruhan
segmen tersebut memerlukan keterlibatan fungsi kesehatan hewan
sebagai unsur penting tertentu pengamanan ternak dan
lingkungannya dalam sekala penetapan kawasan dan kesehatan
nasional tidak terlepas dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),
sehingga kawasan peternakan dan kesehatan hewan merupakan
bagian dari pengembangan tata ruang daerah yang bersangkutan.
Penetapan wilayah kawasan berbasis pada keberagaman fisik
dan ekonomi, memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu
sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan
ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam
kaitan ini, kawasan mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan
ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya.
Maksud dari tulisan ini adalah untuk memberikan panduan
dalam pengembangan potensi kawasan komoditas peternakan dan
kesehatan hewan di masing-masing Kecamatan di Kabupaten
Badung. Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah: (i) Mengetahui
dan memahami konsep pengembangan kawasan komoditas
peternakan dan kesehatan hewan di masing-masing kecamatan sesuai
dengan potensi yang dimiliki; (ii) memahami parameter teknis
pengembangan kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan
di Kabupaten Badung, sehingga mampu menerapkan parameter
teknis tersebut di masing- masing kecamatan; dan (iii) mampu
menyusun implikasi dari ditetapkannya kawasan komoditas
peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten Badung.
Kajian pemetaan potensi wilayah peternakan dilakukan untuk
memberikan panduan yang terkait dengan pengembangan kawasan
komoditas peternakan dan kesehatan hewan, sehingga para
perencana mampu merencanakan pengembangan kawasan komoditas
peternakan dan kesehatan hewan sesuai dengan potensi yang
dimiliki. Dengan adanya kegiatan ini, maka akan diperoleh tingkat
iii

efisiensi pemanfaatan dana dan peran pemerintah sebagaimana telah


ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
43/Kpts/PD/.410/1/ 2015 tentang Penetapan Kawasan Sapi Potong,
kambing/domba, babi, ayam lokal, dan itik.
Dalam buku ajar ini, dikupas mengenai pendekatan kajian
potensi wilayah peternakan untuk meningkatkan efektivitas kegiatan,
efisiensi anggaran dan mendorong keberlanjutan kawasan komoditas
unggulan. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam
pengembangan kawasan komoditas unggulan yaitu:
1. Pendekatan agroekosistem, yaitu perkembangan kesesuaian
jenis ternak dan sumberdaya yang ada untuk memperoleh
hasil produksi dan produktivitas
2. Pendekatan sosial ekonomi, yaitu pengembangan kawasan
peternakan yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi
dan RTRW yang telah ditetapkan
Buku ajar ini akan sangat berguna dan membantu sekali
dalam pemahaman mengenai kajian potensi wilayah peternakan
sebagai pertimbangan dalam menetapkan wilayah yang cocoki untuk
usaha peternakan yang sangat bermanfaat bagi mahasiswa tingkat
sarjana (S-1), magister (S-2), maupun doktoral (S-3). Sasaran utama
pengguna buku ajar ini, adalah mahasiswa peternakan tingkat sarjana
maupun pascasarjana bidang peternakan dan yang terkait dengannya.
Selain itu, buku ini juga akan bermanfaat bagi mereka yang
berkecimpung atau setidaknya menaruh minat di bidang usaha
peternakan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat, Universitas Udayana, serta Dinas Pertanian dan
Pangan, Kabupaten Badung, atas kesempatan dan dana yang
diberikan kepada penulis untuk mengkaji pemetaan potensi wilayah
peternakan di kabupaten Badung. Ucapan yang sama juga
disampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas Peternakan, Unud, atas
waktu dan dorongan yang diberikan sehingga penyusunan buku ajar
ini dapat terselesaikan. Penerbitan buku ini pun akan sulit terwujud
bila tidak ada kesempatan dan bimbingan dari para guru besar dan
teman sejawat di lingkungan Fakultas Peternakan, Unud. Karena itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus
kepada beliau. Ucapan yang sama juga diberikan kepada tim survey
kajian pemetaan potensi wilayah peternakan di Kabupaten Badung
yang telah banyak membantu dalam proses pembuatan buku ini.
iv

Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini berguna untuk


menambah pengetahuan dan menjadi rujukan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan memperhitungkan prinsip-
prinsip ekonomi, sehingga produktivitas ternak dapat ditingkatkan.
Buku ajar yang sederhana ini, tidak akan sempurna bila tidak ada
kritik saran dari pembaca. Oleh karena itu, segala kritik dan saran
untuk kesempurnaan buku ajar ini, sangat kami harapkan.

Denpasar, Desember 2017


Hormat kami,

Penyusun
v

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL …………………………………… i


PRAKATA ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ………………………………………………. v
DAFTAR TABEL …………………………………………. vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………… ix
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………… 1
Pengertian ………………………………….. 5
BAB II. ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN
DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN …
2.1 Isu Strategis dalam Pengembangan Kawasan
Peternakan dan Kesehatan Hewan ………
7
2.2 Arah Kebijakan dalam Pengembangan
Kawasan Peternakan dan Kesehatan Hewan. 14

BAB III. POTENSI PENGEMBANGAN KAWASAN


PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 19
3.1 Kondisi Saat Ini …………………………...... 19
3.2 Luas Lahan dan Produksi Pertanian ………... 20
3.3 Luas Lahan dan Produksi Perkebunan ……... 21
3.4 Populasi Ternak …………………………….. 22
3.5 Analisis Location Quotient …………………. 24
3.5.1 Peternakan sapi bali ………………… 25
3.5.2 Peternakan kambing ………………… 25
3.5.3 Peternakan babi ……………………... 26
3.6 Produksi Hijauan Pakan Ternak (HPT) di
Kabupaten Badung ………………………...
27
vi

3.7 Potensi Pemetaan Kawasan Peternakan di


Masing-masing Kecamatan ……………….. 34
3.7.1 Kuta Selatan ………………………… 34
3.7.2 Kuta ………………………………… 40
3.7.3 Kuta Utara ………………………….. 41
3.7.4 Mengwi …………………………….. 45
3.7.5 Abiansemal ……………………….... 49
3.7.6 Petang ……………………………… 52
3.8 Kawasan Peternakan ………………………. 57
BAB IV. PENUTUP ......................................... ………….. 61
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….. 64
vii

DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Halaman

3.1 Luas Lahan Pertanian di Kabupaten Badung


menurut penggunaannya (hektar), tahun 2014-
2016 ……………………...................................... 21

3.2 Luas lahan produktif tanaman perkebunan


menurut jenis tanaman di Kabupaten Badung
tahun 2015 ……………………............................ 22

3.3 Populasi ternak sapi, babi, dan kambing di


masing-masing kecamatan di Kabupaten Badung
tahun 2015 …………………................................ 23

3.4 Struktur Populasi ternak sapi potong di masing-


masing kecamatan di Kabupaten Badung tahun
2016 ………………….......................................... 24

3.5 Nilai LQ Ternak Sapi Bali, Kambing dan Babi di


Kabupaten Badung ……………………………… 24

3.6 Luas penanaman padi, ubi kayu, ubi jalar, kacang


tanah, kacang hijau dan jagung masing-masing
kecamatan di Kabupaten Badung tahun 2015
(Hektar) ................................................................ 29

3.7 Produksi limbah pertanian pada masing-masing


kecamatan di Kabupaten Badung (Ton bahan
kering/tahun) ......................................................... 29

3.8 Luas Sawah, Tegalan, Kebun, Hutan dan lainya


di Kabupaten Badung Tahun 2015 (Hektar) ....... 30

3.9 Luas Lahan yang Diprediksi Menghasilkan


Rumput ( Hektar) .................................................. 30
viii

3.10 Rumput yang Dihasilkan (Ton bahan kering ) ...... 31


3.11 Produksi Hijauan Total (Ton bahan kering/tahun). 31
3.12 Kebutuhan Hijauan untuk ruminansia di badung
(Ton bahan kering/tahun) ..................................... 32

3.13 Produksi (ton bahan kering) dan kebutuhan


hijauan untuk ruminasia di Kabupaten Badung..... 32
ix

DAFTAR GAMBAR

No Judul Gambar Halaman

2.1 Pemeliharaan sapi bali secara intensif pada


kelompok ternak di kabupaten Badung ……………
9
2.2 Pemeliharaan sapi bali secara intensif di salah satu
rumah tangga di Kabupaten Badung .......................
10
2.3 Pemeliharaan kambing di kabupaten Badung …….. 11
2.4 Pakan Ternak Kambing di Kabupaten Badung …… 12
2.5 Peternakan babi berskala usaha di Kabupaten
Badung......................................................................
13
2.6 Limbah rumah makan sebagai pakan babi di
Kabupaten Badung. …………………………..........
13
3.1 Hasil Analisis LQ Peternakan Sapi Bali di
Kabupaten Badung ...................................................
25
3.2 Hasil Analisis LQ Peternakan Kambing di
Kabupaten Badung ..................................................
26
3.3 Hasil Analisis LQ Peternakan Babi di Kabupaten
Badung …….............................................................
27
3.4 Persediaan pakan sapi pada saat musim kamarau … 35
3.5 Alat transportasi yang mengangkut limbah hotel … 38
3.6 Proses perebusan limbah hotel sebagai pakan.......... 39
3.7 Dedak padi sebagai campuran pakan ternak babi..... 42
3.8 Wawancara dengan peternak sapi dan babi ……….. 46
3.9 Pakan sapi terdiri dari rumput dan dedaunan ……... 54
1

BAB I
PENDAHULUAN

Kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan adalah


kawasan yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan komoditas
peternakan dan kesehatan hewan dalam menjalankan fungsi
(perbibitan, budidaya, pakan, kesehatan hewan, dan kesehatan
masyarakat veteriner, dan pasca panen). Dengan demikian, kawasan
peternakan dan kesehatan hewan dapat mengandung unsur-unsur hulu
(perbibitan), on-farm (budidaya dan pakan) serta hilir, yaitu kesehatan
masyarakat veteriner dan pasca panen. Keseluruhan segmen tersebut
memerlukan keterlibatan fungsi kesehatan hewan sebagai unsur
penting tertentu pengamanan ternak dan lingkungannya dalam sekala
penetapan kawasan dan kesehatan nasional tidak terlepas dari Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW), sehingga kawasan peternakan dan
kesehatan hewan merupakan bagian dari pengembangan tata ruang
daerah yang bersangkutan.
Penetapan wilayah kawasan berbasis pada keberagaman fisik
dan ekonomi, memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu
sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini,
kawasan mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya,
sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya.
Untuk memasukan suatu wilayah ke dalam suatu kawasan
komoditas peternakan dan kesehatan hewan maka diperlukan hal-hal
sebagai berikut: (1) Melihat komoditas tersebut dalam usaha tani
apakah bersifat komplementer, suplementer atau kompetitif; (2)
2

Sesudah menentukan komoditas di dalam usaha tani tersebut


ditentukan, misalnya yang bersifat komplementer komoditasnya
adalah sapi, kerbau, domba, dan kambing atau ternak ruminansia.
Sedangkan untuk komoditas yang bersifat suplementer adalah unggas
dan babi. Komoditas yang bersifat kompetitif tergantung pilihan
komoditasnya yang bersifat spesifik dan tunggal; (3) Kumpulan ternak
sesuai dengan sifat usaha taninya dihitung berdasarkan Animal Unit
(AU). Besarnya AU dalam satu kawasan adalah berjumlah 2.000 AU
dan apabila satu unit kawasan untuk satu kabupaten/kota sudah
melebihi 2.000 AU, maka dapat terbentuk embrio kawasan.
Sedangkan apabila tidak memenuhi 2.000 AU untuk 1 (satu)
kabupaten/kota dianggap tidak memenuhi persyaratan kawasan
komoditas peternakan dan kesehatan hewan; (4) Selanjutnya embrio
kawasan 2.000 AU per kabupaten/kota dapat di identifikasi sebagai
kawasan penggemukan, kawasan budidaya, atau kawasan perbibitan;
(5) Masing-masing jenis usaha peternakan dan kesehatan hewan
tersebut dalam embrio kawasan dihitung kemampuan daya dukung
wilayah baik secara teknis maupun ekonomis; (6) Daya dukung teknis
dilihat dari kemampuan dalam hal memasok pakan ternak dari
Hijauan Pakan Ternak (HPT) dan limbah. Asumsi perhitungannya
setiap 1 AU membutuhkan pakan 35 kg perhari atau 12.775 kg per
tahun. Kemudian dihitung luasan kebun rumput dan padang rumput
seberapa jauh dapat menampung ternak. Di samping itu, juga
diperhitungkan limbah atau selanjutnya disebut hasil ikutan tanaman
pangan. Akhirnya dapat diketahui kemampuan daya dukung wilayah
tersebut apakah lebih dari satu, sama dengan satu, atau kurang dari
satu. Apabila nilainya sama dengan atau lebih dari satu, wilayah
tersebut mampu menjadi kawasan; (7) Daya dukung ekonomi dan
3

teknis tersebut perlu didukung keseluruhannya dengan RTRW daerah


yang bersangkutan. Apabila telah ada daya dukung teknis dan
ekonomis tersebut telah memperoleh legitimasi daerah yang
bersangkutan untuk menjadi kawasan; dan (8) Setiap daerah yang
telah memenuhi satu kawasan, seyogyanya telah terpenuhi sarana dan
prasarana teknis berupa Puskeswan, Pos IB, BP3K yang dilengkapi
dengan SDM sesuai dengan standar (Medik Veteriner, Paramedik
Veteriner, Inseminator, dan Tenaga Fungsional Penyuluh Pertanian).
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor: 43/Kpts/PD.410/1/2015, tentang Penetapan Kawasan Sapi
Potong, Kerbau, Kambing, Sapi perah, Domba, dan Babi, Kabupaten
Badung, Bangli dan Gianyar ditetapkan sebagai kawasan ternak babi,
sedangkan Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Klungkung
ditetapkan sebagai kawasan sapi potong. Kabupaten Tabanan dan
Jembrana sebagai kawasan ternak kambing. Namun, berdasarkan hasil
Musrenbangtan Tahun 2014 di Jakarta, tanggal 13 Mei 2014, pada
kegiatan Rancangan Keterpaduan Program dan Kegiatan Fokus
Komoditas dan Lokasi Tahun 2015, maka Kabupaten Badung bersama
dengan kabupaten Gianyar ditetapkan sebagai kawasan sapi potong
dan babi.
Kabupaten Badung sebagai kawasan ternak babi, memiliki
populasi di tahun 2015 adalah: 76.997 ekor dan juga telah memenuhi
ketentuan yang berlaku, yaitu minimal 2000 AU (animal unit), dan
telah didukung oleh RTRW yang berlaku di kabupaten tersebut. Hasil
analisis LQ (Location quitions) pada tahun 2015 menunjukkan
kabupaten Badung disamping layak untuk kawasan peternakan babi
(LQ = 1,41), ternyata Kabupaten Badung berpotensi juga sebagai
kawasan peternakan sapi potong (LQ = 1,11).
4

Kabupaten Badung terdiri dari 6 kecamatan, yaitu Kecamatan


Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta Utara, Kuta Selatan, dan Kuta.
Wilayah kabupaten Badung terbelah menjadi dua bagian, yaitu
Badung Utara dan Badung Selatan. Ada tiga kecamatan yang
termasuk Badung Utara, yaitu Kecamatan Petang, Abiansemal, dan
Mengwi, sedangkan kecamatan Kuta Utara, Kuta Selatan, dan Kuta,
termasuk wilayah Badung Selatan. Dalam perkembangannya, sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Badung
Tahun 2013-2033, Badung Utara lebih mengarah ke sektor wilayah
pertanian dan peternakan, sedangkan Badung selatan ke sektor
pariwisata.
Kondisi eksisting sumberdaya subsektor peternakan di masing-
masing Kecamatan di Kabupaten Badung dapat dikelompokkan
menjadi beberapa pemanfaatan, antara lain: (i) peningkatan produksi
ternak (subsistem, terintegrasi, maupun dalam skala bisnis); (ii)
konservasi sumberdaya genetik; (iii) jasa pariwisata; dan (iv) untuk
kegiatan keagamaan.
Upaya pengembangan untuk masing-masing kelompok tersebut
perlu ditingkatkan dan dioptimalkan terus, sesuai dengan kondisi
lahan, ketersediaan sumberdaya manusia, dan arah kebijakan
pemerintah daerah. Pola penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh
pertumbuhan penduduk dan perkembangan perekonomian daerah,
sehingga cenderung mengalami perubahan pemanfaatan lahan setiap
tahunnya sebagai akibat adanya alih fungsi lahan terutama dari lahan
pertanian ke nonpertanian, seperti misalnya pengembangan
pemukiman, pariwisata, dan pembangunan lainnya.
Analisis pewilayahan kawasan peternakan merupakan panduan
yang terkait dengan pengembangan kawasan komoditas peternakan
5

dan kesehatan hewan, sehingga para perencana mampu merencanakan


pengembangan kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan
sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dengan adanya analisis ini
diharapkan dapat lebih meningkatkan efisiensi pemanfaatan dana dan
peran pemerintah sebagaimana telah ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 43/Kpts/PD/.410/1/ 2015
tentang Penetapan Kawasan Sapi Potong, kambing/domba, babi, ayam
lokal, dan itik.

Pengertian
a. Kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan nasional
adalah sentra atau gabungan dari sentra-sentra peternakan dan
kesehatan hewan yang memenuhi batas minimal skala ekonomi
dan manajemen pembangunan di wilayah serta terkait secara
fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial
budaya dan keberadaan infrastruktur penunjang. Kawasan
peternakan dan kesehatan hewan dapat berupa kawasan yang
sudah terbentuk atau lokasi baru yang memiliki sumberdaya
alam sesuai agroekosistemnya dan membutuhkan pelayanan
yang terhubung secara fungsional, dilengkapi dengan prasarana
dan sarana untuk pengembangan komoditas ternak yang
memadai di kawasan tersebut.
b. Kawasan peternakan provinsi adalah kawasan peternakan di
masing-masing kabupaten/kota sesuai dengan karakteristiknya.
Di dalam provinsi dapat terjadi keterkaitan lintas kabupaten
dalam rangka mengembangkan komoditas unggulan di provinsi
yang bersangkutan.
6

c. Komoditas peternakan adalah ternak yang dikembangkan secara


nasional berdasarkan Permentan Nomor 19 tahun 2015, yaitu
sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing/domba, ayam lokal,
dan itik, ditambah komoditas ayam ras yang dikhususkan pada
pengolahan produknya.
d. Masterplan Pengembangan Kawasan Peternakan dan Kesehatan
Hewan adalah rancang bangun dan instrumen perencanaan untuk
menjabarkan arah kebijakan, strategi, tujuan program dan
sasaran kegiatan pengembangan komoditas unggulan peternakan
nasional di tingkat provinsi.
e. Action plan atau Rencana aksi adalah rancang bangun dan
instrumen perencanaan untuk menjabarkan secara lebih
operasional Masterplan di Kabupaten/Kota.
f. Kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan adalah
kawasan yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan
peternakan terpadu. Kawasan peternakan hubungannya dengan
usaha tani dapat bersifat Land base livestock (terutama ternak
ruminansia besar dan kecil seperti sapi, kambing, dan domba,
yang bersifat komplementer dengan usaha tani) dan dapat
bersifat Non Land base livestock, yaitu ternak nonruminansia,
seperti babi dan unggas, yang bersifat suplementer.
7

BAB II
ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN DALAM
PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN DAN
KESEHATAN HEWAN

2.1 Isu Strategis dalam Pengembangan Kawasan Peternakan dan


Kesehatan Hewan

Pembangunan kawasan peternakan merupakan strategi umum


untuk meningkatkan kesejahteraan peternak, meningkatkan daya saing
produk pertanian serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian
(Saragih, 2000).
Melalui program strategis ini akan dapat meningkatkan
produksi ternak sekaligus pendapatan dan kesejahteraan petani, serta
memberi dampak positif pada pengembangan sektor lain. Peran
strategis peternakan yang utama adalah sebagai penyedia pangan
berkualitas, yakni sebagai sumber protein hewani yang turut
mencerdaskan bangsa, khususnya pada anak dan generasi penerus
bangsa. Protein hewani merupakan faktor yang tidak bisa dihilangkan
atau digantikan dalam menu makanan kita. Hal ini merupakan tantang
bagi sub sektor peternakan dalam penyediaan protein hewani.
Menurut Delgado et al. (1999) di negara-negara berkembang
terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi produk peternakan.
FAO sejak tahun 1999 sudah memprediksi akan terjadinya perubahan
signifikan pada sektor peternakan dunia. Ketika konsumsi daging
dunia meningkat 2,9 %, maka di Negara-negara berkembang sudah
melaju sampai 5,4%, bahkan di Asia Tenggara mencapai 5,6%.
Sementara di negara-negara maju hanya meningkat 1%. Sampai tahun
2020. diperkirakan pertumbuhan konsumsi daging negara-negara
8

berkembang rata-rata 2,8% per tahun, sementara di negara-negara


maju hanya 0,6% per tahun.
Kebutuhan daging di Indonesia terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya protein hewani. Saat ini tingkat konsumsi protein hewani
di Indonesia baru mencapai 4,7g/kapita/hari. Angka ini masih berada
dibawah standar yang dianjurkan oleh Food and Agriculture
Organization (FAO) yaitu 6 g/kapita/hari.
Peran strategis peternakan juga berkaitan dengan
penanggulangan kemiskinan. Pemerintahan telah menetapkan tiga
sasaran utama program penanggulangan kemiskinan, yakni;
menurunnya persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, terpenuhinya
kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, dan terpenuhinya
pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk itu, telah diambil langkah-
langkah antisipatif berupa pola pengembangan peternakan industri dan
peternakan rakyat secara proporsional.
Disisi lain, industri sapi potong di Indonesia belum mampu
memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat dan akibatnya
impor sapi potong dan daging sapi menjadi tidak terhindarkan.
Sapi bali yang sudah dikenal sebagai ternak sapi lokal
Indonesia yang terbaik dari segi produksi maupun kualitas dagingnya,
bersumber dari populasi sapi bali murni yang ada di provinsi Bali dan
ternak ini dipelihara oleh petani/peternak Bali dari sejak dahulu kala.
Pemeliharaan maupun pengembangan sapi bali hampir terjadi di
seluruh kabupaten/kota di Bali. Oleh karena itu, hampir seluruh
kabupaten dan kota di Bali sebenarnya menginginkan pengembangan
kawasan peternakan sapi bali sebagai sapi potong yang akan
9

menyediakan produk berupa daging sapi bagi masyarakat baik di Bali


maupun diseluruh wilayah Indonesia. Pemeliharaan sapi secara
intensif dalam bentuk kelompok seperti Gapoktan dan Simantri sudah
berkembang hampir di seluruh Kabupaten di Bali, termasuk di
kabupaten Badung selain pemeliharaan secara tradisional yang ada di
hampir semua rumah tangga petani di Bali, seperti terlihat pada
Gambar 2.1 dan 2.2.

Gambar 2.1. Pemeliharaan sapi bali secara intensif pada kelompok


ternak di kabupaten Badung

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia


Nomor: 43/Kpts/PD.410/1/2015, pengembangan kawasan peternakan
kambing di Bali adalah Kabupaten Tabanan dan Jembrana. Namun,
tidak tertutup kemungkinan kabupaten Badung juga mengembangkan
peternakan kambing.
10

Gambar 2.2. Pemeliharaan sapi bali secara intensif di salah satu


rumah tangga di Kabupaten Badung

Kebutuhan ternak kambing sebagai hewan kurban setiap


tahunnya cukup banyak, sehingga tidak ada masalah terhadap
pemasaran produknya yang berupa kambing siap potong. Sumber
pakan ternak kambing cukup tersedia dan masih bisa dikembangkan
terutama di daerah perkebunan. Di samping itu, limbah tanaman
perkebunan, seperti kebun kopi dan kebun kakao juga dimanfaatkan
sebagai pakan kambing. Di samping itu, juga hijauan berupa rumput
maupun daun gamal, waru, dan leguminosa seperti lamtoro, turi dan
kaliandra, disamping hijauan lain yang sudah biasa dimanfaatkan oleh
11

para petani/peternak untuk pakan kambing. Pada Gambar 2.3 tersaji


sistem pemeliharaan ternak kambing di Kabupaten Badung.

Gambar 2.3 Pemeliharaan kambing di kabupaten Badung

Menarik untuk dicermati adalah adanya peternak kambing di


daerah Badung Selatan, dimana untuk pakan ternaknya mereka
memanfaatkan lahan-lahan kosong yang tidak produktif untuk
menanam pakan ternak seperti daun gamal, lamtoro, dan sejenisnya.
Di samping itu mereka memanfaatkan limbah hasil pertanian yang ada
disekitar tempat tinggalnya. Pada Gambar 2.4 tersaji salah satu
contoh limbah perkebunan yang sering diberikan kepada ternak
kambing.
Berdasarkan hasil survey dan hasil analisis LQ ternyata di
Kabupaten Badung, untuk ke enam kecamatan yang ada, kecamatan
yang berpotensi sebagai kawasan peternakan kambing adalah
Kecamatan Petang, Abiansemal dan Kuta Utara.
12

Gambar 2.4 Pakan Ternak Kambing di Kabupaten Badung

Memelihara ternak babi bagi masyarakat Bali di perdesaan


bukan merupakan barang baru. Ternak babi bagi masyarakat di Bali
diistilahkan sebagai tatakan banyu yang dahulu dipelihara di dekat
dapur agar mudah memberi makan dengan pakan yang sering
dicampur dengan sisa makanan di keluarganya. Memelihara babi
merupakan tabungan (celengan) yang akan dijual saat mereka
membutuhkan uang. Namun, sekarang pemeliharaan babi tidak hanya
satu dua ekor di masing-masing keluarga di perdesaan, tetapi
pemeliharaan yang berskala usaha sudah banyak berkembang
(Gambar 2.5).
13

Gambar 2.5 Peternakan babi berskala usaha di Kabupaten Badung

Gambar 2.6 Limbah rumah makan sebagai pakan babi di


Kabupaten Badung
14

Ternak babi bukan merupakan Land base Livestock,


ketersediaan pakan babi tidak merupakan masalah, karena penggunaan
limbah hotel banyak digunakan disamping pakan konsentrat yang
selalu tersedia dipasaran (Gambar 2.6). Namun, limbah peternakan
babi merupakan masalah utama yang membatasi pengembangan
kawasan peternakan babi wilayah Badung Selatan.
Berdasarkan hasil perhitungan LQ pada tahun 2015, ternyata
Kabupaten Badung, cocok untuk pengembangan kawasan peternakan
babi, karena populasi ternak babinya cukup banyak, ketersediaan
pakan tidak ada masalah dan analisis LQ-nya lebih dari satu (1,0).

2.2. Arah Kebijakan dalam Pengembangan Kawasan Peternakan


dan Kesehatan Hewan
Arah dan kebijakan untuk pengembangan kawasan peternakan
dan kesehatan hewan perlu ditetapkan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Arah dan kebijakan ini diawali dengan penetapan visi
dan misi pengembangan kawasan peternakan dan kesehatan hewan,
dan dilanjutkan dengan penetapan prioritas program yang akan
dilaksanakan.
Visi: Visi Pengembangan Kawasan Peternakan dan Kesehatan
Hewan di Provinsi Bali adalah: Terwujudnya kawasan peternakan sapi
bali, ternak kambing dan babi dengan produk yang meningkat dan
mampu mensejahterakan petani/peternak di provinsi Bali.
Misi: Untuk mencapai Visi Pengembangan Kawasan
Peternakan dan Kesehatan Hewan di atas, beberapa langkah yang
perlu dilakukan meliputi: (i) Memperkuat sumber daya manusia
(petani/peternak dan petugas pendamping seperti penyuluh, tenaga
teknis, pelaku usaha dan LSM); (ii) Mempercepat adopsi teknologi
15

tepat guna dan spesifik lokasi hasil dari Lembaga Penelitian dan
Pengembangan serta Perguruan Tinggi, oleh para petani/peternak; (iii)
Memperkuat Lembaga Pembina, Lembaga Pelayanan dan Lembaga
Usaha; (iv) Meningkatkan sarana dan prasarana meliputi; benih, bibit,
pakan, obat-obatan dan pelayanan kesehatan hewan; (v)
Mengembangkan industri hilir yaitu industri pengolah bahan baku
primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk
akhir; (vi) Meningkatkan infrastruktur terutama jalan untuk
kelancaran pemasaran produk serta kebutuhan fasilitas teknis
peternakan dan kesehatan hewan, disamping penyediaan
embung/cubang dikawasan yang curah hujannya kurang.
Program prioritas: Kawasan peternakan dan kesehatan hewan
yang akan dikembangkan di provinsi Bali meliputi peternakan sapi,
peternakan kambing, dan peternakan babi. Mengingat kawasan yang
akan dikembangkan tersebut di atas, usahanya sudah berjalan dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana teknis yang tersedia, sehingga
ketiga kawasan komoditas tersebut tergolong kawasan yang sedang
berkembang. Terhadap kawasan yang sedang berkembang, bentuk
pelayanan yang dibutuhkan adalah peningkatan pelayanan fisik dan
non fisik (seperti paket kredit semi komersial dari koperasi). Dengan
demikian maka prioritas program yang direncanakan adalah sebagai
berikut:
Prioritas pertama adalah meningkatkan sumber daya manusia
(SDM) petani/peternak agar mampu meningkatkan manajemen
pemeliharaan ternaknya sehingga produksi dan kualitasnya lebih baik.
Disamping SDM peternak, peningkatan juga dilakukan terhadap
kemampuan para penyuluh, petugas teknis dan pendamping lain agar
16

masukan yang diberikan kepada para peternak dapat diserap lebih


sempurna.
Prioritas kedua menyangkut peningkatan sarana dan prasarana
peternakan dan kesehatan hewan seperti Ketersediaan pakan,
Cubang/embung, Alsin (alat dan mesin) peternakan,
fasilitas/pelayanan Pos IB (Inseminasi Buatan), Poskeswan (Pos
Kesehatan Hewan), RPH (Rumah Pototng Hewan), RPU (Rumah
Potong Umum), Pasar, dan lain sebagainya.
Peningkatan infrastruktur terutama jalan merupakan prioritas
selanjutnya agar pemasaran produk peternakan atau sebaliknya
transportasi kebutuhan terkait dengan manajemen peternakan dan
kesehatan hewan lebih lancar, disamping kebutuhan cubang/embung
untuk penampung air dimusim hujan bagi wilayah yang musim
kemaraunya lebih panjang.
Percepatan adopsi terhadap teknologi tepat guna dan spesifik
lokasi yang dihasilkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan
serta Perguruan Tinggi merupakan prioritas selanjutnya agar
manajemen peternakan yang bersifat tradisional dapat lebih
disempurnakan atau ditingkatkan.
Pengembangan industri hilir yaitu industri pengolah bahan
baku primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun
produk akhir merupakan prioritas terakhir, agar nilai produk lebih
meningkat dan peternak memperoleh keuntungan yang lebih banyak.
Khusus untuk peternakan sapi potong termasuk sapi bali, sejak
tanggal 3 Oktober 2016 Kementerian Pertanian melalui Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan dasar hukum
Permentan No 48 tahun 2016 mencanangkan suatu program yang
menjadi prioritas pembangunan peternakan di Indonesia. Program ini
17

diberi nama Upaya khusus Sapi Induk Wajib Bunting (Upsus Siwab).
Diharapkan dengan adanya program ini akan terjadi percepatan
peningkatan populasi ternak ruminansia besar baik sapi perah, sapi
potong maupun kerbau. Peningkatan populasi ternak bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan produk hewan dalam negeri terhadap daging
dan susu.
Target utama Upsus Siwab adalah ternak ruminansia indukan
yaitu ternak betina bukan bibit yang memiliki organ reproduksi
normal dan sehat untuk pengembangbiakan.
Kegiatan Upsus Siwab di suatu wilayah meliputi: 1) Pencatatan
(Rekording); 2) Pemeriksaan Kebuntingan; 3) Penanganan Gangguan
Reproduksi (Gangrep) dan/atau 4) Pemenuhan hijauan pakan ternak
dan konsentrat. Upsus Siwab dilakukan melalui Inseminasi Buatan
(IB) atau kawin alam dengan menerapkan sistem manajemen
reproduksi. Sebelum dilakukan IB ternak dilakukan pemeriksaan
status reproduksi dan gangguan reproduksi (gangrep) yang terjadwal,
serentak dan terintegrasi dan difasilitasi oleh gubernur dan
bupati/walikota.
Pemeriksaan status reproduksi dilakukan dengan palpasi rectal
atau USG dan dilakukan oleh Petugas PKB, ATR atau Medik
Reproduksi (Dokter Hewan). Ternak yang tidak bunting dengan status
reproduksi normal ditetapkan sebagai akseptor IB, sedangkan yang
tidak bunting mengalami gangrep ditetapkan sebagai target Gangrep.
Hasil pemeriksaan in kemudian direkomendasikan kepada Medik
Reproduksi sebagai dasar Surat Keterangan Status Reproduksi
(SKSR). Target gangrep yang bisa disembuhkan (fausta)
direkomendasikan sebagai akseptor.
18

Dalam rangka meningkatkan jumlah teknisi IB, berdasarkan


Permentan 48/2016 Dinas Provinsi atau Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dapat menugaskan inseminator dan petugas PKB
yang ada di suatu wilayah tetapi belum memiliki izin untuk
melakukan IB dan pemeriksaan kebuntingan ternak. Selain itu juga
bisa dilakukan mengirimkan calon inseminator dan petugas PKB
untuk dilatih (Pelatihan dan Bimbingan Teknis/ BIMTEK ) di institusi
kompeten.
Pemeriksaan kebuntingan hasil IB/kawin alam dilakukan
paling cepat 2 bulan. Apabila terjadi kebuntingan, segera dilakukan
recording, dan direkomendasikan untuk dipelihara dan ditingkatkan
kesehatanya untuk menjamin kebuntingan sampai melahirkan.
Apabila sapi tidak bunting dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Permentan 48/2016 tentang Upsus Siwab ini juga menjelaskan
mengenai pengendalian betina produktif dimana harus dilakukan
untuk menyelamatkan betina produktif dari pemotongan dan
mempertahankan/meningkatkan jumlah akseptor. Hal ini dilakukan
dengan pengawasan dan pemeriksaan Surat Keterangan Status
Reproduksi (SKSR) yang dilakukan di RPH, Kelompok Ternak, Pasar
Hewan, check point, pedagang/pengumpul ternak dan wilayah sumber
ternak oleh “kelompok penyelamatan” yang dibina oleh unit kerja
terkait.
Untuk memenuhi kebutuhan Upsus Siwab dilakukan penguatan
pakan ternak dengan melakukan penyediaan benih/bibit hijauan pakan
ternak, penyediaan lahan, penyesuaian jenis hijauan sesuai lokasi dan
memastikan air selalu tersedia. Untuk pakan konsentrat dilakukan
pada daerah yang memiliki kasus Gangrep yang tinggi.
19

BAB III
POTENSI PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWAN

3.1. Kondisi Saat ini


Secara geografis Kabupaten Badung terletak antara 8 014’20” –
8050’52” Lintang Selatan dan 115005’03” – 115026’51” Bujur Timur
dengan luas wilayah 418,52 Km2 atau sekitar 7,43% dari daratan
Pulau Bali. Terbagi atas 6 wilayah kecamatan dan 62 desa/kelurahan.
Dari 6 kecamatan, Kecamatan Petang memiliki luas terbesar yaitu 115
Km2, sedang Kecamatan Kuta merupakan kecamatan yang terkecil
dengan luas 17,52 Km2.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar
316,1 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan
Agustus dan Oktober 0,0mm. Keadaan suhu maksimum tertinggi
terjadi pada bulan November yaitu 32,9 0C, sedangkan suhu
maksimum terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 29,20C. Suhu
minimum tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember yaitu
25,80C dan terendah pada bulan Agustus yaitu 23,2 0C. Kelembaban
udara di Kabupaten Badung berkisar antara 76% - 81%. Kelembaban
tertinggi sebesar 81% terjadi pada bulan April sedangkan terendah
terjadi pada bulan November sebesar 76%.
Berdasarkan proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010,
jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2015 sebanyak 616,4
ribu jiwa yang terdiri dari 314,3 ribu jiwa penduduk laki-laki dan
302,1 ribu jiwa penduduk perempuan.
Penduduk tersebar secara tidak merata di seluruh wilayah
kecamatan di Kabupaten Badung. Jumlah penduduk paling banyak
20

terdapat di Kecamatan Kuta Selatan yaitu sebanyak 146,5 ribu jiwa


atau sekitar 23,77 persen dari total penduduk di Kabupaten Badung.
Sementara itu Kecamatan Petang merupakan wilayah dengan jumlah
penduduk paling sedikit yaitu hanya sekitar 26,0 ribu jiwa atau sekitar
4,21 persen dari total penduduk Kabupaten Badung.
Sebagai salah satu daerah tujuan migran di Provinsi Bali, rata-
rata kepadatan penduduk di Kabupaten Badung cukup tinggi yaitu
mencapai 1.473 jiwa/km2dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi
terjadi di Kecamatan Kuta yang mencapai 5.725 jiwa/km2. Sementara
kepadatan penduduk terendah terjadi di Kecamatan Petang yang hanya
sebesar 226 jiwa/km2.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional, jumlah
penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Badung pada
tahun 2015 sebanyak 466,23 ribu jiwa. Dari sejumlah itu sebanyak
339,97 ribu jiwa diantaranya merupakan angkatan kerja, dan 126,26
ribu jiwa bukan merupakan angkatan kerja. Pada tahun 2015 Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja mencapai 72,19 persen, menurun
dibanding tahun sebelumnya sebesar 71,41 persen, sedangkan Tingkat
Pengangguran Terbuka pada tahun 2015 sebesar 0,34 persen, menurun
dibandingkan tahun 2014 sebesar 0,48 persen.

3.2 Luas Lahan dan Produksi Pertanian


Luas lahan pertanian di Kabupaten Badung menurut
penggunaannya (hektar) tersaji pada Tabel 3.1. Luas lahan sawah di
Kabupaten Badung pada tahun 2016 adalah seluas 9976 hektar. Luas
lahan pertanian bukan sawah di Kabupaten Badung adalah seluas
18122 hektar, dengan rincian penggunaan sebagai berikut, yaitu kebun
21

seluas 8024 hektar, perkebunan 6337 hektar, hutan rakyat 2122 hektar,
dan lainnya seluas 1292 hektar.

Tabel 3.1. Luas Lahan Pertanian di Kabupaten Badung menurut


penggunaannya (hektar), tahun 2014-2016
No Penggunaan Lahan Tahun
2014 2015 2016
1. Lahan pertanian (Ha) 28465 28244 28098
1.1. Lahan sawah 10144 9984 9976
 Irigasi 10144 9984 9978
 Tadah hujan - - -
 Rawa pasang surut - - -
 Rawa lebak - - -
1.2 Lahan pertanian bukan sawah 18321 18260 18122
 Tegal/kebun 8154 8084 8024
 Ladang/huma - - -
 Perkebunan 6420 6415 6337
 Hutan rakyat 2122 2122 2122
 Padang - - -
pengembalan/padang
rumput
 Hutan negara - - 112
 Lainnya (tambak, kolam, 1394 1408 1292
empang, hutan negara
dll)

Produksi padi sawah tahun 2015 adalah 106.181, bila


dibandingkan dengan tahun 2014 mengalami penurunan sebesar
2,72%. Produksi tanaman jagung tahun 2015 di Kabupaten Badung
adalah sebesar 116 ton. Dengan luas panen sebanyak 32 Ha, sehingga
produktivitas tanaman jagung menjadi 36,25 Kw/Ha.

3.3 Luas Lahan dan Produksi Perkebunan


Luas areal produktif tanaman perkebunan menurut jenis
tanaman di Kabupaten Badung tahun 2015 tersaji pada Tabel 3.2.
22

Luas lahan areal produktif tanaman perkebunan yang paling luas


ternyata untuk tanaman kelapa Dalam, yaitu seluas 2.347,32 hektar,
disusul kemudian untuk tanaman kelapa Genjah seluas 250,53 hektar.
Luasnya areal untuk tanaman kelapa tersebut akan dapat mendukung
ketersediaan pakan untuk ternak ruminansia, dan limbah dari hasil
produksi buah untuk minyak kelapa akan menghasilkan limbah atau
yang disebut dengan bungkil kelapa yang potensial sebagai pakan
konsentrat alternatif sumber protein.

Tabel 3.2 Luas lahan produktif tanaman perkebunan menurut jenis


tanaman di Kabupaten Badung tahun 2015
Jenis Luas areal Luas areal Produksi (ton)
Tanaman (ha) produktif (ha)
1 Kelapa dalam 2.347,32 2.347,32 2.064,770
2 Kelapa 250,53 250,53 106,180
3 Genjah 1.413,28 1.413,28 557,000
4 Kopi Arabika 396,33 396,33 157,990
5 Kopi Robusta 558,51 558,51 370,040
Kakao

Luas areal produktif untuk tanaman kopi dan tanaman kakao


juga cukup luas yang juga potensial sebagai pendukung ketersediaan
pakan ternak ruminansia, yaitu kulit cangkang kakao sangat potensial
sebagai pakan ternak sapi, demikian juga halnya dengan kulit kopi.

3.4 Populasi Ternak


Berdasarkan informasi data dari BPS Badung (2015), terjadi
penurunan populasi sapi bali di tahun 2015 dibandingkan dengan
tahun 2014. Populasi sapi bali tahun 2014 adalah sebanyak 37.862
ekor, sedangkan populasi pada tahun 2015 menurun menjadi 30.771
ekor. Demikian juga populasi babi menurun dari 82.479 ekor pada
tahun 2014 menjadi 76.997 ekor pada tahun 2015. Sebaliknya terjadi
23

peningkatan populasi kambing dari 807 ekor pada tahun 2014 menjadi
893 ekor pada tahun 2015.
Populasi ternak unggas tertinggi di kabupaten badung diduduki
oleh ayam ras pedaging, yaitu sebanyak 673.050 ekor, disusul oleh
ayam buras 438.031 ekor, ayam ras petelur sebanyak 97.500 ekor dan
itik 90.971 ekor,.

Tabel 3.3. Populasi ternak sapi, babi, dan kambing di masing-masing


kecamatan di Kabupaten Badung tahun 2015
No Kecamatan Jenis Ternak (ekor)
Sapi Babi Kambing
1 Kuta Selatan 9.378 5.100 20
2 Kuta 231 37 -
3 Kuta Utara 1.508 3.707 128
4 Mengwi 4.880 28.310 85
5 Abiansemal 4.912 29.359 256
6 Petang 9.862 10.484 404
Total 30.771 76.997 893

Berdasarkan Tabel 3.3, populasi ternak yang dominan di


Kabupaten Badung adalah ternak babi, yaitu sebanyak 76.997 ekor,
disusul dengan sapi 30.771 ekor, dan disusul kambing 893 ekor.
Populasi ternak sapi potong tertinggi dijumpai di Kecamatan Petang
yaitu 9.862 ekor dan terendah dijumpai di Kecamatan Kuta sebesar
231 ekor.
Pada tahun 2016 terjadi lagi penurunan populasi sapi dari
30.771 pada tahun 2015 menjadi 28443 ekor. Struktur populasi ternak
sapi potong di masing-masing kecamatan di Kabupaten Badung tahun
2016 tersaji pada Tabel 3.4.
24

Tabel 3.4. Struktur Populasi ternak sapi potong di masing-masing


kecamatan di Kabupaten Badung tahun 2016
No Kecamatan Sapi potong
jantan betina JUML
dewasa juml
anak muda dewasa juml Anak muda 2<umu 4<umu Umur.
r ≤4 r ≤6 >6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 Kuta Selatan 515 854 902 2271 858 1234 1075 1280 616 5063 7334
2 Kuta 1 5 45 51 - 14 103 36 26 179 230
3 Kuta Utara 140 123 40 303 204 150 262 228 129 973 1276
Mengwi
4 Abiansemal
201 670 719 1590 191 722 863 1076 557 3409 4999
5 Petang 291 447 455 1193 414 631 1130 660 381 3216 4409
6 652 1628 1998 4278 746 1020 1845 1371 925 5907 10185
Jumlah 1800 3727 4159 9686 2413 3771 5278 4651 2634 18747 28443
Sumber: Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Badung Tahun 2017

3.5 Analisis Location Quotient (LQ)


Analisis Location Quotient (LQ) bertujuan untuk menentukan
apakah suatu wilayah merupakan sektor basis atau non basis dalam
pengembangan wilayah peternakan suatu komoditas tertentu. Terdapat
enam kecamatan di Kabupaten Badung, yaitu Kecamatan Kuta
Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal dan Petang.
Tabel 3.5. Nilai LQ Ternak Sapi Bali, Kambing dan Babi di
Kabupaten Badung
Tabel 3.5. Analisis LQ ternak sapi, kambing dan babi di Kabupaten
Badung
No. Kecamatan Ternak
Sapi bali Kambing Babi
1. Kuta Selatan 1,03 0,07 0,66
2. Kuta 1,03 0 0,004
3. Kuta Utara 0,95 2,77 0,48
4. Mengwi 1,01 0,6 3,68
5. Abiansemal 0,98 1,76 3,81
6. Petang 1,01 1,39 1,36
25

3.5.1. Peternakan Sapi Bali


Berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) peternakan sapi
bali di Kabupaten Badung, ditemukan bahwa terdapat tiga kecamatan
yang dapat dikembangkan menjadi basis pengembangan peternakan
sapi bali, yaitu: Kecamatan Kuta Selatan dengan nilai LQ 1,03;
Kecamatan Kuta dengan nilai LQ 1,03; Kecamatan Mengwi dengan
nilai LQ 1,01 dan Kecamatan Petang dengan nilai LQ 1,01 (Gambar
3.1).

1,04

1,02 1,03 1,03 Kuta Selatan


1,00 1,01 1,01 Kuta
0,98 Kuta Utara
0,98
0,96 Mengwi

0,94 0,95 Abiansemal


Petang
0,92

0,90

Gambar 3.1. Hasil Analisis LQ Peternakan Sapi Bali di Kabupaten


Badung

3.5.2. Peternakan Kambing


Berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) peternakan
kambing di Kabupaten Badung, ditemukan bahwa terdapat tiga
Kecamatan yang dapat dikembangkan menjadi basis pengembangan
peternakan kambing, yaitu Kecamatan Kuta Utara dengan nilai LQ
2,77; Kecamatan Abiansemal dengan nilai LQ 1,76 dan Kecamatan
Petang dengan nilai LQ 1,39 (Gambar 3.2).
26

Gambar 3.2. Hasil Analisis LQ Peternakan Kambing di Kabupaten


Badung

3.5.3. Peternakan Babi


Berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) peternakan babi
di Kabupaten Badung, ditemukan bahwa terdapat tiga kecamatan yang
dapat dikembangkan menjadi basis pengembangan peternakan babi,
yaitu: Kecamatan Mengwi dengan nilai LQ 3,68; Kecamatan
Abiansemal dengan nilai LQ 3,81 dan Kecamatan Petang dengan nilai
LQ 1,36 (Gambar 3.3).
Nilai LQ yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa
kecamatan tersebut merupakan daerah basis bagi pengembangan usaha
peternakan. Misalnya pada Kecamatan Kuta Selatan memiliki nilai
LQ peternakan sapi sebesar 1,03, artinya Kecamatan Kuta Selatan
sangat potensial dalam pengembangan usaha peternakan sapi
dibandingkan dengan usaha peternakan lainnya.
27

Gambar 3.3. Hasil Analisis LQ Peternakan Babi di Kabupaten Badung

Semakin besar nilai LQ maka semakin potensial kecamatan


tersebut sebagai pusat pengembangan usaha peternakan sapi bali
dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Namun demikian, nilai LQ
bukanlah satu-satunya indikator yang digunakan dalam pengambilan
kebijakan penentuan wilayah peternakan.
Dalam upaya untuk meningkatkan akurasi pemetaan wilayah
peternakan, selain analisis LQ, maka harus pula dilakukan analisis
daya dukung dan daya tampung ternak pada masing-masing wilayah,
serta analisis lingkungan sosial budaya masyarakat pada wilayah
terkait. Sehingga dihasilkan suatu kajian yang holistik dalam
pemetaan wilayah peternakan di Kabupaten Badung.

3.6 Produksi Hijauan Pakan Ternak (HPT) di Kabupaten


Badung
Kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan adalah
kawasan yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan peternakan
terpadu. Kawasan peternakan hubungannya dengan usaha tani dapat
28

bersifat Land base livestock (terutama ternak ruminansia besar dan


kecil seperti sapi, kambing, dan domba, yang bersifat komplementer
dengan usaha tani) dan dapat bersifat Non Land base livestock, yaitu
ternak nonruminansia, seperti babi dan unggas, yang bersifat
suplementer.
Pada ternak yang tergolong land base, yaitu ternak ruminansia
besar dan kecil, peternakan dapat didorong menjadi kawasan
peternakan yang mengarah ke perbibitan, penggemukan atau
budidaya. Pelayanan teknis seperti pelayanan reproduksi, perbibitan,
pakan dan kesehatan hewan sangat diperlukan pada kawasan ini.
Pelayanan kesehatan masyarakat veteriner dan pasca panen dalam
bentuk pendirian Rumah Potong Hewan (RPH) yang sesuai standar
dan penerapan aspek kesejahteraan hewan sangat dimungkinkan.
Ternak non ruminansia (seperti misalnya ternak babi) bersifat
suplementer yang artinya pasokan agro inputnya dipasok dari luar
kawasan. Pada ternak yang tergolong non land base ini, harus
diarahkan pada skala usaha dan ramah lingkungan. Pembinaan
kawasannya diarahkan di pinggiran kota, sehingga tidak mengganggu
lingkungan. Pelayanan yang diperlukan adalah pelayanan pakan dan
agroinput lainnya, karena kebutuhannya dipasok dari luar kawasan.
Kenyataannya, pelayanan pascapanen memerlukan dukungan dari
kawasan lainnya atau antar kabupaten, sehingga pendirian pelayanan
pasca panen memerlukan kajian yang lebih detail.
Tabel 3.6 menunjukkan luas penanaman padi, ubi kayu, ubi
jalar, kacang tanah, kacang hijau dan jagung masing-masing
kecamatan di Kabupaten Badung tahun 2015 (Hektar)
29

Tabel 3.6 Luas penanaman padi, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah,
kacang hijau dan jagung masing-masing kecamatan di
Kabupaten Badung tahun 2015 (Hektar)
Kecamatan Padi Ubi Ubi Kacang Kacang Kacang Jagung
Kayu Jalar Tanah Kedelai Hijau
Kuta Selatan - 40 - 46 - - 32
Kuta 29 - - - 2 - -
Kuta Utara 2729 - - - - - -
Mengwi 8028 47 19 236 662 - -
Abiansemal 4082 32 32 101 304 - -
Petang 1939 115 343 113 - - -

Hasil analisis dan perhitungan diperoleh produksi limbah


pertanian yang terdiri dari jerami padi, jerami ubi kayu, jerami ubi
jalar, jerami kacang tanah, jerami kacang kedele, jerami kacang hijau
dan jerami jagung, di masing-masing kecamatan di Kabupaten
Badung tersaji pada Tabel 3.7, sedangkan Tabel 3.8 menunjukkan
luas sawah, tegalan, kebun, hutan dan lainya di Kabupaten Badung
Tahun 2015 (Hektar)

Tabel 3.7 Produksi limbah pertanian pada masing-masing kecamatan


di Kabupaten Badung (Ton bahan kering/tahun)
Kecamatan Limbah Total
S.P SUK. JUJ JKT JKK JKH JJ
Kuta - 202 - 66,39 - - 348,8 617,04
Selatan
Kuta 111,94 - - - 2,14 - - 114,08
Kuta Utara 10533,94 - - - - - - 10533,94
Mengwi 30988,08 237,35 22,8 339,84 708,34 - - 32295,69
Abiansemal 1576,52 161,6 3,84 145,44 325,28 - - 16392,16
Petang 7484,54 580,75 411,6 162,72 - - - 8639,6

Apabila telah ditetapkan sebagai suatu kawasan ternak dalam


kecamatan tersebut, akan ada kegiatan fungsi-fungsi pembangunan
komoditas peternakan dan kesehatan hewan yang terpadu, namun
besar kecilnya tergantung kegiatan fungsi yang menonjol dan spesifik
lokasi. Tergantung komoditas ternaknya yang dapat bersifat landbase
30

atau non landbase dan kompetitif.

Tabel 3.8. Luas Sawah Tegalan Kebun Hutan dan lainya di


Kabupaten Badung Tahun 2015 (Hektar)
Kecamatan Sawah Tegalan Kebun Hutan Lainnya
Kuta Selatan - 909 1.060 655 6.469
Kuta 20 55 - - 1.591
Kuta Utara 1.300 344 - - 1.890
Mengwi 4.572 987 781 69 1.445
Abiansemal 2.916 903 903 998 937
Petang 1.198 4.830 3.583 399 1.388

Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa pakan, utama


ternak ruminansia (sapi dan kambing) adalah rumput lapangan atau
rumput campuran antara rumput lapangan, rumput gajah, dan rumput
unggul lainnya yang umumnya ditanam oleh peternak di pematang
sawah ataupun disekitar tegalan mereka. Luas lahan yang diprediksi
menghasilkan rumput di Kabupaten Badung tersaji pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9 Luas Lahan yang Diprediksi Menghasilkan Rumput (Hektar)


No. Kecamatan Sawah Tegalan Kebun Hutan Lainnya
1. Kuta Selatan - 9,09 53 32,75 323,45
2. Kuta 1 0,55 - - 79,55
3. Kuta Utara 65 3,44 - - 94,50
4. Mengwi 208,60 9,78 39,05 3,05 72,25
5. Abiansemal 145,80 9,03 45,15 49,9 46,85
6. Petang 59,90 48,30 179,15 19,95 69,40

Hasil perhitungan produksi rumput berdasarkan luasan lahan


yang tersedia di masing-masing kecamatan di Kabupaten Badung
tersaji pada Tabel 3.10, sedangkan hasil perhitungan hijauan total
setelah ditambahkan dengan limbah disajikan pada Tabel 3.11.
31

Tabel 3.10 Rumput yang Dihasilkan (Ton bahan kering )


Kecamatan Sawah Tegalan Kebun Hutan Lainnya Total
Kuta - 34,08 198,75 122,81 1212,93 1568,57
Selatan
Kuta 3,75 2,06 - - 298,31 303,81
Kuta Utara 243,75 12,90 - - 354,37 611,02
Mengwi 857,25 37,01 146,43 12,43 270,93 1324,55
Abiansemal 546,79 33,86 169,31 187,12 175,66 1112,74
Petang 221,25 181,13 671,81 74,81 260,75 1409,75

Empat kecamatan yang tinggi produksi bahan kering


rumputnya secara berturut-turut adalah Kuta Selatan sebanyak
1568,57 ton; Kecamatan Petang sebanyak 1409,75 ton; Kecamatan
Mengwi sebanyak 1324,55 ton dan Kecamatan Abiansemal sebanyak
1112,74 ton. Namun, setelah dihitung Kecamatan Mengwi
menghasilkan produksi hijauan total bahan kering per tahun yang
tertinggi yaitu sebesar 33620,24 ton disusul oleh kecamatan
Abiansemal sebanyak 17504,90 ton; Kuta Utara sebanyak 11144,96
ton dan Kecamatan Petang sebanyak 10049,35 ton.

Tabel 3.11 Produksi Hijauan Total (Ton bahan kering/tahun)


Kecamatan Rumput Limbah Total
Kuta Selatan 1568,57 617,04 2182,60
Kuta 303,81 114,08 417,18
Kuta Utara 611,02 10533,94 11144,96
Mengwi 1324,55 32295,69 33620,24
Abiansemal 112,74 16392,16 17504,90
Petang 1409,75 8639,60 10049,35
32

Apabila dilihat dari kebutuhan hijauan untuk ruminansia, maka


kebutuhan yang tertinggi ada di Kecamatan Petang yaitu sebesar
26918,28 ton, disusul oleh Kecamatan Abiansemal sebanyak 13448,60
ton dan Mengwi sebanyak 13237,20 ton (Tabel 3.12).

Tabel 3.12 Kebutuhan Hijauan untuk ruminansia di badung (Ton


bahan kering/tahun)
Kecamatan Sapi Kambing Total
Kuta Selatan 25230,60 14,40 25245,00
Kuta 623,70 - 623,70
Kuta Utara 4071,60 92,16 4163,76
Mengwi 13176,00 61,20 13237,20
Abiansemal 13264,29 184,32 13448,60
Petang 26627,40 290,88 26918,28

Tabel 3.13 menunjukkan jumlah produksi hijauan ((ton bahan


kering) dan kebutuhan hijauan untuk ruminasia di Kabupaten Badung.
Berdasarkan tabel ini dapat dikatakan bahwa ada tiga kecamatan yang
memungkinkan untuk dijadikan basis peternakan ruminansia dilihat
dari imbangan antara produksi hijauan dan dan kebutuhannya yaitu
kecamatan Abiansemal, Kecamatan Mengwi dan Kecamatan Kuta
Utara.

Tabel 3.13 Produksi (ton bahan kering) dan kebutuhan hijauan untuk
ruminasia di Kabupaten Badung
Kecamatan Produksi Kebutuhan Ket
Kuta Selatan 2182,60 25245,00 -
Kuta 417,18 623,70 -
Kuta Utara 11144,96 4163,76 +
Mengwi 33620,24 13237,20 +
Abiansemal 17504,90 13448,60 +
Petang 10049,35 26918,28 -
33

Dikotomi antara komoditas ternak dan usaha tani tersebut


melahirkan pelayanan teknis yang berbeda di dalam satu kawasan
sesuai dengan karakteristik agroinput yang diperlukan untuk
pengembangan komoditasnya.
Pada ternak yang tergolong non land base livestock, yaitu
ternak babi pengembangannya diarahkan pada skala usaha dan ramah
lingkungan. Pembinaan kawasannya diarahkan di pinggiran kota,
sehingga tidak mengganggu lingkungan. Pelayanan yang diperlukan
adalah pelayanan pakan dan agroinput lainnya karena kebutuhannya
dipasok dari luar kawasan. Demikian pula dengan pelayanan
pascapanennya yang memerlukan dukungan dari kawasan lain atau
antar kabupaten, sehingga pendirian pelayanan pasca panen
memerlukan kajian yang lebih detail.
Air merupakan suatu hal yang sangat penting untuk ternak.
Kebutuhan air sehari-hari ternak bervariasi antara spesies hewan.
Ukuran ternak dan tahap pertumbuhan akan memiliki pengaruh yang
kuat pada asupan air setiap hari. Tingkat konsumsi dapat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dan manajemen. Suhu udara, kelembaban
relatif dan tingkat tenaga ternak atau tingkat produksi adalah contoh
dari faktor-faktor ini. Kualitas air, yang meliputi suhu, salinitasi dan
kotoran yang mempengaruhi rasa dan bau, juga akan berpengaruh.
Kadar air dari pakan akan mempengaruhi kebiasaan minumnya. Pakan
dengan kadar air relatif tinggi mengurangi kuantitas air minum yang
dibutuhkan. Air untuk kebutuhan ternak tidak menjadi masalah di
kabupaten Badung demikian juga dengan penerangan berupa listrik
karena sudah menjangkau sapai ke pelosok desa.
34

3.7 Potensi Pemetaan Kawasan Peternakan di Masing-masing


Kecamatan
3.7.1 Kuta Selatan
Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung
tepatnya pada 8º46’58.7” LS dan 115º05’00”-115º10’41.3” BT,
berada pada ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2016). Kecamatan Kuta Selatan
secara administratif terdiri dari Desa Pecatu, Desa Ungasan, Desa
Kutuh, Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa dan Kelurahan
Jimbaran. Desa dan kelurahan yang ada dibagi lagi menjadi 62 banjar
atau lingkungan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2016).
Luas lahan di Kecamatan Kuta Selatan menurut
penggunaannya di tahun 2015 secara berturutan adalah: (i) luas lahan
pertanian seluas 3.465,00 hektar yang terdiri dari lahan sawah,lahan
pertanian bukan sawah seluas 3.465,00 hektar dan lahan bukan
pertanian 6.469,00 hektar. Sedangkan untuk luas lahan kering di
daerah Kuta Selatan adalah 2223,84 hektar. Untuk luas panen rata-
rata produksi tanaman jagung dengan luas panen 32 Ha dihasilkan 116
ton, luas lahan penanaman ubi kayu 40 Ha, sedangkan luas panen dan
rata rata produksi tanaman kacang tanah dengan luas panen 46 Ha
dengan produksi 32 ton. Limbah yang dihasilkan pertahunnya adalah
617,04 ton bahan kering. Produksi rumput total yang dihasilkan
pertahun adalah 1568,57 ton bahan kering, dan untuk limbah 617,04
ton bahan kering. Jadi total produksi hijauannya adalah 2182,6 ton
bahan kering pertahun.
Populasi sapi di kecamatan Kuta Selatan 9.378 ekor, kambing
20 ekor dan babi 5.100 ekor, ayam ras 76.455 ekor broiler 55.00 ekor
35

itik 1.237 ekor. Ada 37 kelompok tani ternak sapi, 1 kelompok tani
ternak babi dan kambing serta 4 kelompok tani ternak ayam buras.
Dari analisis LQ Kecamatan Kuta Selatan potensial untuk
pengembangan ternak sapi (LQ = 1,03), tapi kalau dilihat kebutuhan
hijauan ternak sapi sekitar 20256,48 ton bahan kering dan produksi
hijauan hanya sekitar 2182,8 ton bahan kering ini berarti ternak sapi
akan kekurangan pakan. Sehingga Kecamatan Kuta Selatan tidak
potensial sebagai kawasan pengembangan ternak sapi.

Gambar 3.4 Persediaan pakan ternak sapi pada saat musim


kamarau

Dari hasil survey yang dilakukan di desa Pecatu banjar


Tambiyak Kuta Selatan didapat hasil bahwa peternak di daerah ini
paling banyak memelihara ternak sapi kemudian diikuti dengan
36

beternak babi. Beternak sapi di wilayah ini cukup potensial karena


peternak tidak pernah mengalami kesulitan dalam penyediaan pakan,
karena areal penanaman pakan ternak cukup luas dan jenis pakan yang
biasa diberikan pada ternak sapi adalah rumput, gamal, daun nagka,
daun waru, dan ada beberapa peternak memberikan kulit buah buahan
hasil dari limbah hotel. Jika musim kering datang biasanya peternak
sudah mempunyai cadangan jerami dari rumput. Peternak di desa ini
tidak pernah memberikan tambahan konsentrat. Rata-rata peternak
memberikan pakan kepada sapi jantan adalah 30 kg perekor dan yang
betina rata rata 15 kg per ekor. Pemberian pakan biasanya sudah
berdasarkan berat badan ternak sapi. Proses pencarian pakan biasanya
masih dilakukan oleh anggota keluarga. Peternak di daerah ini tidak
pernah mendapat bantuan pakan dari pihak manapun. Dalam skala
rumah tangga peternak di daerah ini hanya mampu memelihara ternak
sapi sebanyak 6 ekor.
Pada umumnya peternak menjual sapinya pada umur 1 tahun
dengan berat badan berkisar 250 kg. Harga yang dijual biasanya
untuk sapi betina kurang lebih Rp.7.500.000 dan untuk yang jantan
Rp. 9.000.000. Pembeli akan datang langsung ke peternak untuk
membeli sapinya. Peternak menjual sapinya tergantung dari
kebutuhan akan uang. Beternak merupakan usaha sampingan yang
dilakukan di daerah ini. Selain pendapatan dari hasil jual ternak
pendapat lainnya adalah berasal dari menjual limbah hotel dan dari
hasil limbah kotoran yang dipakai pupuk yang dibeli oleh hotel yang
ada disekitar daerah tersebut. Sistem perkawinan yang dilakukan di
desa ini masih menggunakan kawin alam. Hal ini disebabkan oleh
kesulitan untuk melakukan proses perkawinan dengan IB karena
terbatasnya petugas IB yang ada disana.
37

Rata rata liter size untuk sapi adalah 1 ekor. Sumber bibit yang
didapat dari peternak sapi di daerah ini kebanyakan sudah merupakan
warisan turun temurun dari keluarga. Penyakit yang biasa menyerang
pada sapi biasanya mencret dan demam. Di daerah ini tidak ada
aturan yang melarang peternak untuk memelihara ternak sapi. Adapun
tujuan dari peternak memelihara ternak sapi adalah untuk tambahan
penghasilan dan memanfaatkan lahan yang ada. Ternyata peternak di
daerah ini apabila diminta memilih lebih senang memelihara ternak
babi dibandingkan ternak sapi. Hal ini disebabkan oleh penyediaan
pakan untuk babi lebih mudah dan setiap saat selalu ada. Sedangkan
untuk pakan sapi di musim kemarau peternak harus menyediakan stok
makanan berupa jerami rumput. Selain itu, beternak babi lebih cepat
bisa dijual dibandingkan ternak sapi.
Pakan babi yang diberikan di desa Pecatu, banjar Tambiak,
kecamatan Kuta Selatan adalah limbah hotel atau sisa sisa dari
makanan restoran. Hal yang menarik adalah peternak tidak membeli
limbah tersebut, justru peternak digaji oleh hotel untuk mengangkut
limbah tersebut dengan harga Rp.10.000 per ember dengan berat
kurang lebih 25kg. Menurut Rika et al. (1996), limbah hotel untuk
pakan babi biasanya terdiri dari sisa roti, nasi, sayur dan kulit buah.
Limbah hotel banyak mengandung, nasi, roti mie, kaldu,
daging, tulang ikan, sayuran, telur dan buah-buahan yang masih layak
digunakan sebagai pakan babi. Komposisi limbah hotel sangat
bervariasi dan berbeda antara hotel yang satu dengan hotel yang lain,
demikian juga kandungan nutrisinya. Limbah hotel yang layak
dimanfaatkan sebagai pakan babi mengandung 25.5-27,79% bahan
kering, 15,55- 23,93% protein kasar, 18,41-24,05% lemak kasar, 1,7-
38

3,3% serat kasar, 3997-4375 kkal energi tercerna/kg, 4,31- 9,06 %


kalsium dan 4,29-6,53% fosfor.

Gambar 3.5 Alat transportasi yang mengangkut limbah hotel

Sebagai bahan pakan limbah hotel mempunyai beberapa


keunggulan diantaranya mempunyai bentuk fisik yang basah, bau
yang khas dan partikel yang beragam sehingga merangsang selera
makan pada babi. Akibatnya ransum yang mengandung limbah hotel
dikonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan ransum tanpa limbah
hotel. Disisi lain, sebagian besar bahan penyusun limbah hotel sudah
dimasak atau direbus seperti nasi, mie roti dan sayur-sayuran (Rika et
al., 1996) sehingga mudah dicerna dan diserap dalam saluran
pencernaan babi. Hal ini memungkinkan konsumsi ransum lebih
banyak, sehingga lebih banyak nutrien yang dapat dicerna dan diserap
di dalam saluran pencernaan
39

Gambar 3.6 Proses perebusan limbah hotel sebagai pakan


ternak

Pada umumnya, peternak di desa Pecatu merebus limbah hotel


terlebih dahulu sebelum diberikan ke babi. Peternak hanya
memberikan limbah hotel saja tanpa memberikan tambahan konsentrat
lagi. Salah satu peternak babi yang bernama Nyoman Mawa
mempunyai usaha pemilahan sampah bernama CV Tambiak Lestari.
Limbah hotel biasanya akan dijual ke peternak babi yang berada
disekitarnya dengan harga Rp. 10.000 /ember untuk pakan ternak babi.
Ternak babi yang dipeliharanya 65ekor babi penggemukan.
Kemampuan peternak memelihara babi penggemukan dalam skala
rumah tangga adalah 70 ekor. Babi penggemukan biasanya dijual
pada umur 6 bulan dengan berat badan ±115 kg dan harga per kg
40

Rp.23.000. Daging babi yang diberi limbah hotel umumnya


mempunyai warna lebih merah. Peternak biasanya membeli bibit babi
di daerah Sangeh, pasar Kediri dan pasar Kapal. Harga bibit umur 2
bulan adalah Rp.540.000 dengan berat badan ±25 kg. Penyakit yang
biasa menyerang ternak babi adalah mencret terutama pada saat babi
berumur 2-3 bulan. Beternak babi pada masyarakat di daerah ini
merupakan pekerjaan pokok dan tidak ada larangan dari desa dalam
usaha pemeliharaan ternak babi.
Untuk pemeliharaan ternak kambing di wilayah Kuta Selatan
jarang ada karena mengalami kesulitan dalam penyediaan pakan. Jika
ada, hanya sebagai sambilan dan bukan merupakan pekerjaan pokok.
Dengan LQ yang kurang dari 1 untuk semua jenis ternak (sapi,
kambing dan babi) dan daya dukung pakan yang tidak memadai, maka
kecamatan Kuta Selatan tidak potensial untuk usaha peternakan sapi,
kambing dan babi, walaupun memungkinkan dari segi unsur-unsur
iklim (temperatur udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan
intensitas radiasi matahari).

3.7.2 Kuta
Kecamatan Kuta adalah sebuah kecamatan di Kabupaten
Badung, Bali Indonesia yang memiliki luas 17,52km2. Kecamatan ini
mempunyai 5 keluarahan/desa: 1) Kedonganan; 2) Tuban; 3) Kuta; 4)
Legian dan 5) Seminyak. Kecamatan Kuta terletak di selatan
Kabupaten Badung tepatnya pada 8º43’32.6” LS dan 115º10’39”2”.
Luas lahan di Kecamatan Kuta menurut penggunaannya di
tahun 2015 terdiri dari lahan pertanian seluas 188 hektar, yang terbagi
menjadi lahan sawah seluas 20 hektar, lahan bukan sawah seluas 168
hektar dan lahan bukan pertanian seluas 1.591 hektar. Luas panen
41

dan rata rata produksi tanaman padi di kecamatan Kuta dengan luas
panen 25 Ha produksi yang dihasilkan sebanyak 131 ton.
Data BPS Kabupaten Badung 2016 menunjukkan populasi
ternak yang dipelihara di kecamatan Kuta paling banyak adalah ternak
sapi sebesar 231 ekor, kemudian untuk ternak babi hanya sebanyak 37
ekor. Berdasarkan hasil analisis total produksi hijauan yang
dihasilkan adalah 417,18 ton bahan kering pertahun yang terdiri dari
rumput sebanyak 303,81 ton bahan kering dan limbah sekitar 114,08
ton bahan kering.
Kebutuhan hijauan untuk ternak sapi di daerah ini adalah 623,7
ton bahan kering pertahun, sedangkan produksi hijauan 417,18 ton
bahan kering pertahun. Hal ini menunjukkan kecamatan Kuta tidak
potensial sebagai daerah peternakan sapi karena sapi akan kekurangan
pakan. Walaupun, apabila dilihat dari analisis LQnya potensial untuk
pengembangan ternak sapi (LQ 1,03). Apabila dilihat dari RTRW
kabupaten Badung, Kecamatan Kuta juga tidak memungkinkan
sebagai kawasan peternakan, karena diperuntukkan sebagai
pariwisata.

3.7.3 Kuta Utara


Berdasarkan RTRW luas wilayah kecamatan Kuta Utara adalah
33.86 km² dengan jumlah penduduk 103.715. Luas lahan pertanian
1.648 hektar, luas total sawah 1.300 hektar dan kebun 344 hektar.
Letak astronomi kecamatan Kuta Utara 08° 38’ 44.2” lintang selatan
dan 115° 09’ 42.3” bujur timur. Kawasan kecamatan Kuta Utara
diperuntukan untuk kawasan pariwisata, peternakan, pertanian
berkelanjutan.
42

Hasil analisis LQ Kuta Utara ternyata sesuai peruntukan untuk


ternak kambing dengan nilai LQ 2,77, sedangkan untuk ternak sapi
dan babi kurang sesuai karena nilai LQnya berturut-turut adalah 0,95
dan babi 0,48.
Apabila dilihat dari daya dukung pakan maka kecamatan Kuta
Utara sesuai untuk usaha ternak ruminansia karena produksi
hijauannya lebih tingi dibandingkan dengan kebutuhannya. Hasil
analisis menunjukkan bahwa produksi hijauan Kuta Utara adalah
11144,96 ton bahan kering per tahun, sedangkan kebutuhan hijauan
adalah 3326,24 ton bahan kering per tahun.

Gambar 3.7 Dedak padi sebagai campuran pakan ternak babi

Data BPS Kabupaten Badung tahun 2016 menunjukkan


bahwa produksi ton padi sawah terbesar kabupaten badung terjadi di
kecamatan Kuta Utara yaitu 65.49 kwintal/hektar (data BPPS 2016).
Luas sawah 1300 hektar, tegalan 344 hektar dan lainnya 1890 hektar.
Luas penanaman padi 2729 hektar, Limbah yang dihasilkan sampah
43

pertanian 10533,94 ton bahan kering, Produksi limbah total 10533,94


ton bahan kering /tahun.
Dari hasil wawancara dengan peternak di kecamatan Kuta
Utara dengan tingkat pendidikan yang bervariasi dari SD sampai
dengan SMU dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
- Rata-rata peternak memelihara babi landrace 4 s/d 12 ekor untuk
ukuran rumah tangga. Pakan yang diberikan adalah nasi sisa rumah
tangga, ampas tahu, limbah roti, dedak padi, batang pohon pisang,
limbah restoran (Rp.200.000/bulan) dan kangkung. Untuk sumber
perolehan batang pisang dan kangkung ditanam pada areal tanah
seluas 1,5 are. Jumlah pakan yang diberi rata-rata 2 kg/hari/ekor.
Pada umur 6-7 bulan babi dijual sesuai dengan harga pasar (Rp.
23.000/24.000/berat badan hidup) dengan kisaran berat badan adalah
90-120 kg. liter size babi 8-14 ekor. Sumber bibit didapat dengan
membeli di desa tetangga dan pemilihan bibit babi yang baik
menurut peternak mempunyai kriteria sebagai berikut : badan tinggi,
panjang, telinga lebar, bulu halus, pinggul bulat, mulut tapak.
Penyakit yang pernah dialami ternak babi di kecamtan Kuta Utara
adalah gatal dan mencret dan ditanggulangi dengan bantuan dokter
hewan sekali suntik biayanya Rp.20.000
- Jumlah sapi yang dipelihara peternak rata-rata adalah 4-9 ekor,
sumber bibit dibeli di pasar Beringkit atau desa tetangga dengan ciri
bibit yang baik menurut peternak adalah: badan tegap, kuku nancep,
lidah bagus. Pemberian pakan sebanyak 15-30 kg/ekor/hari berupa
rumput lapangan, rumput gajah, sisa limbah rumah tangga, batang
pisang, dedak dan jerami padi. Untuk ketersediaan pakan masih
tercukupi karena peternak menanam di kebun miliknya namun ada
yang membeli seperti dedak padi. Sapi dijual umur 6 bulan dengan
44

kisaran berat 150 kg : untuk yang jantan seharga Rp. 8 juta dan yang
betina seharga Rp. 5 juta. Perkawinan dilakukan dengan
pelaksanaan inseminasi buatan karena menurut mereka lebih
gampang dan hasilnya bagus, namun masih ada juga yang
melakukan perkawinan secara alam. Calving interval sapi 2-3
bulan. Liter size sapi 1 ekor. Pada umumnya penyakit yang diderita
adalah mencret. Penanggulangannya dengan mendatangkan dokter
hewan dengan biaya Rp.30.000.
- Ternak kambing sumber bibitnya dibeli di Lumajang Jawa Timur
dan Pupuan dengan ciri sebagai berikut: pinggul besar, bulu halus.
Harga bibit berkisar antara Rp.1,1-1,5 juta /ekor. Jumlah kambing
yang dipelihara berkisar antara 11-34 ekor dengan pemberian pakan:
polard 3kg/11 ekor, batang pisang, kacang tanah kulit grade 3, ketela
rambat reject, lamtoro, gamal dan daun nangka yang ditanam di
belakang rumah. Ternak kambing umur 1 tahun dijual dengan harga
Rp.1,6 – 2 juta /ekor. Perkawinan secara alami, calving interval 3
bulan, liter size 2 ekor. Penyakit yang diderita adalah scabies.
- Dapat disimpulkan bahwa peternak memilih beternak babi, sapi dan
kambing dengan beberapa alasan: karena masih punya lahan untuk
menanam pakan ternak seperti pohon pisang, rumput dan hijauan
lainnya. Menjalankan hoby/kesenangan, sebagai tabungan yang
sewaktu waktu ternak bisa dijual untuk keperluan yang mendesak,
untuk mengisi waktu luang. Beternak merupakan pekerjaan
sambilan dan kerja pokok sebagai karyawan swalayan dan petani.
Hasil analisis daya dukung pakan menunjukkan bahwa luas
lahan yang diprediksi menghasilkan rumput: sawah 65hektar dan
tegalan 3,44 hektar, rumput yang dihasilkan berasal dari sawah 243,75
ton bahan kering dan tegalan 12,9 ton bahan kering. Produksi rumput
45

total 611,02 ton bahan kering /tahun, Produksi hijauan total rumput
611,02 ton bahan kering /tahun, limbah 10533,94 ton bahan
kering/tahun, total 11144,96 ton bahan kering/tahun.
Dengan jumlah populasi ternak ruminansia sapi sebanyak 1508
ekor, dan kambing sebanyak 128 ekor, maka kebutuhan hijauan untuk
ruminansia (ton bahan kering/tahun) ternak sapi adalah 4071,6 ton,
kambing 92,16 ton, sehingga kebutuhan total adalah 4163,76 ton.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa produksi dan kebutuhan
hijauan ruminansia ( ton bahan kering/ tahun ) adalah 11144,96 ton
dan 4163,76 ton. Produksi dan kebutuhan hijauan : produksi
11144,96 ton, kebutuhan hijauan sapi 3257,28 ton , kebutuhan hijauan
kambing 69,12 ton. Dengan produksi hijauan sebesar 11144,96 ton
dan kebutuhan hijauan untuk sapi dan kambing sebesar 3326,24 ton,
dapat disimpulkan bahwa kecamatan Kuta Utara sangat potensial
sebagai kawasan ternak ruminansia (sapi dan kambing), karena daya
dukung pakan sangat melimpah. Namun dari nilai LQ kecamatan ini
hanya potensial untuk ternak kambing. Hal ini juga ditunjang oleh
hasil pengukuran unsur-unsur iklim (temperatur udara, kelembaban
udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari) bahwa
kecamatan Kuta Utara masih sesuai peruntukannya sebagai kawasan
peternakan dengan jenis usaha beternak sapi, kambing dan babi.

3.7.4 Mengwi
Luas wilayah kecamatan Mengwi adalah 82 km² dengan
penduduk 122829 orang. Letak astronomi kecamatan Mengwi 08° 26’
36” - 08° 39’ 16” lintang selatan, 115° 051’ 58” - 115° 12’ 20” bujur
timur (BPS Kabupaten Badung, 2016). Berdasarkan RTRW
kecamatan Mengwi peruntukannya adalah sebagai kawasan budidaya
46

tanaman pangan; budidaya holtikultura; budidaya perkebunan;


peternakan dan pertanian berkelanjutan
Berdasarkan hasil wawancara di kecamatan Mengwi, dilihat
dari segi pendidikan peternak adalah bervariasi mulai dari SMP
sampai dengan SMU. Rata- rata peternak memelihara babi landrace
sebanyak 2-10 ekor. Bibit dibeli di desa sekitar dan di pasar Bringkit.
Pakan yang diberikan antara lain: daun ketela rambat direbus, polar,
dedak padi, batang pisang, ampas tahu. Untuk babi penggemukan
dipelihara sampai umur 6 bulan, kisaran berat badan 100 kg dengan
harga jual Rp.24.000/berat hidup. Penyakit yang pernah dialami
adalah mencret.

Gambar 3.8 Wawancara dengan peternak sapi dan babi

Peternak sapi memberi pakan bervariasi antara lain: rumput


lapangan, rumput gajah, batang pisang. Pakan tersebut telah tersedia
diareal sawah dan kebun peternak. Jumlah maksimal yang dipelihara
rata-rata 2-4 ekor sapi dengan pemberian pakan 20-30 kg/ekor/hari.
Bibit diperoleh dari desa tetangga dengan ciri sebagai berikut: postur
tubuh tegak, lidah tidak putih, bulu halus, kaki tegak, mata jernih.
47

Ternak dijual pada umur 5-6 bulan dengan kisaran harga Rp 4,5-5
juta/ekor betina, Rp 6-7 juta/ekor jantan. Perkawinan dilakukan
secara inseminasi buatan, karena hasilnya lebih baik. Calving interval
60 hari, liter size 1 ekor. Ternak dikawinkan rata-rata umur 17-18
bulan. Penyakit yang menimpa ternak adalah mencret.
Dari hasil survey dapat disimpulkan bahwa peternak menyukai
memelihara babi dan sapi karena beberapa faktor, yaitu menjalankan
hoby /kesenangan, mengisi waktu luang, untuk tabungan upacara yang
sewaktu waktu bisa dijual, pemanfaatan sisa limbah dapur agar tidak
terbuang, pemanfaatan rumput yang sudah ada dikebun peternak.
Menurut peternak dengan beternak sebagai pekerjaan sambilan dapat
memberikan keuntungan yang cukup memuaskan.
Hasil analisis LQ kecamatan Mengwi ternyata sesuai
peruntukan untuk ternak sapi (LQ 1,01) dan babi (LQ 3,68),
sedangkan untuk ternak kambing kurang sesuai karena nilai LQnya di
bawah 1 (LQ kecamatan Mengwi =0,6 ).
Data BPS Kabupaten Badung, 2016 menunjukkan bahwa luas
sawah di kecamatan Mengwi adalah 4572 hektar, tegalan 987 hektar,
kebun 781 hektar, hutan 69 hektar dan lainnya 1445 hektar dengan
luas penanaman (hektar): padi 8020, ubi kayu 47, ubi jalar 419,
kacang tanah 236, kacang kedelai 662. Hasil analisis menunjukkan
limbah yang dihasilkan (ton bahan kering): sampah pertanian
30988,08, sampah ubi kayu 237,35, jerami ubi jalar 22,8, jerami
kacang tanah 339,84, jerami kacang kedelai 708,34. Sehingga
produksi limbah total 32295,69 ton bahan kering/tahun.
Hasil analisis juga memprediksi luas lahan yang menghasilkan
rumput (hektar): sawah 208,6, tegalan 9,78, kebun 39,05 , hutan 3,05
dan lainnya 72,25. Dengan luas lahan itu, maka rumput yang
48

dihasilkan (ton bahan kering): sawah 857,25 tegalan 37,01, kebun


146,43, hutan 12,43 dan lainnya 270,93. Sehingga produksi rumput
total 1324,55 ton bahan kering /tahun. Produksi hijauan total (ton
bahan kering/tahun): rumput 1324,55 dan limbah 32295,69, sehingga
produksi secara keseluruhan adalah 33620,24 ton.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Badung tahun 2016, jumlah
ternak sapi di kecamatan Mengwi adalah 4880 ekor, 85 kambing
28310 ekor, babi 206500 ekor, ayam buras 275550 ekor dan ayam
broiler 52.500 ekor. Jumlah kelompok ternak sapi adalah 128
kelompok, ternak babi 9 kelompok, ternak ayam 5 dan ternak itik 2
kelompok. Dengan populasi ternak sebanyak itu, khususnya ternak
ruminansia (sapi dan kambing) maka kebutuhan hijauan untuk
ruminansia (ton bahan kering/tahun) : sapi 13176,0 , kambing 61,2
sehingga total 13237,20. Dengan produksi (ton bahan kering/tahun)
33620,24 dan kebutuhan 13237,20. Produksi dan kebutuhan hijauan :
produksi 33620,24, kebutuhan sapi 10540,80, kebutuhan kambing
45,9. Sehingga total produksi hijauan adalah 33620,24 ton dan
kebutuhan 10586,70 ton. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa
kecamatan Mengwi sangat potensial untuk ternak ruminansia
khususnya sapi dan kambing karena produksi hijauan lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan.
Hasil pengukuran unsur-unsur iklim (temperatur udara,
kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari)
menunjukkan bahwa kecamatan Mengwi masih sesuai peruntukannya
sebagai kawasan peternakan dengan jenis usaha beternak sapi,
kambing dan babi.
49

3.7.5 Abiansemal
Kecamatan Abiansemal memiliki luas wilayah 69.01 km2,
dengan jumlah penduduk 909.000 jiwa (BPS, Badung 2016) dan
ketinggian tempat 75-350 m di atas permukaan laut terletak pada
8o26’59” LS dan 115o11’38” – 115o14’57” BT.
Luas lahan pertanian di Kecamatan Abiansemal adalah 5964
Ha, lahan pertanian dengan irigasi dan lahan pertanian non irigasi
(tegalan 903 Ha, hutan 998 Ha, Perkebunan 903 Ha, ), sedangkan
lahan non sawah 937 Ha yang terdiri dari jalan, pemukiman,
perkantoran dan sungai.
Produksi padi di Kecamatan Abiansemal adalah 24.121 ton
dengan luas tanam 4.082 Ha, ubi kayu dengan luas tanam 32 Ha
dengan produksi 695 ton, ubi jalar luas tanam 32 Ha dengan
produksi 560 ton, kacang tanah produksi 140 ton dengan luas tanam
101 Ha, kacang kedelai produksinya 427 ton dengan luas lahan 304
Ha
Luasnya panen padi dan kacang tanah dan kacang kedelai
akan berdampak pada tingginya jerami yang dihasilkan. Kelemahan
jerami sebagai pakan ternak sapi rendahnya kecernaan dan
kandungan protein jerami. Hal ini dapat diatasi dengan
menambahkan 4% urea dalam jerami.
Demikian juga halnya dengan Hijauan Makanan Ternak
(HMT) rumput, kecamatan Abiansemal memiliki sawah 2.916 Ha,
tegalan 903 Ha, hutan 998 Ha, Perkebunan 903 Ha dan lainnya 937
Ha, berpotensi untuk ditanami hijauan makanan ternak rumput.
Populasi ternak sapi, kambing dan babi di Kecamatan
Abiansemal (BPS Badung 2016) berturut-turut adalah 4.912 ekor,
256 ekor dan 29.359 ekor, sedangkan untuk ternak unggas antara
50

lain ayam buras 87.323 ekor, ayam broiler 118.000 ekor, ayam
petelur 20.000 ekor dan itik 34.886 ekor. Sedangkan untuk
kelompok ternak Kecamatan Abiansemal memiliki 113 kelompok
ternak sapi, 19 kelompok ternak babi dan 9 kelompok ternak ayam
buras.
Di Kecamatan Abiansemal dari analisis LQ (Tabel 3.6),
ternak yang berpotensi untuk dikembangkan adalah kambing dan
babi karena memiliki LQ di atas 1, sedangkan sapi kurang potensial
karena nilai LQ nya di bawah 1.

Potensi hijauan dan limbah pertanian untuk makanan ternak


ruminansia:
a. Jerami padi, limbah ubi kayu, limbah ubi jalar, jerami kacang
tanah, berdasarkan Carrying capacity di Kecamatan Abiansemal
adalah: 16.392 ton Bahan Kering (BK)
b. Dilihat dari luas sawah, tegalan kebun, hutan dan lainnya, maka
hijauan rumput yang dihasilkan adalah 1.112 ton Bahan Kering
(BK).
c. Jadi jumlah makanan ternak yang dihasilkan/tersedia dari kedua
sumber tersebut di atas (limbah dan hijauan/rumput) adalah
17.504 ton Bahan Kering per tahun.
d. Jumlah ternak sapi di Kecamatan Abiansemal adalah 4.912 ekor
dengan berat rata-rata 300 kg, maka diperlukan makanan 13.264
ton per tahun, untuk kambing jumlahnya 256 ekor dengan berat
rata-rata 40 kg, diperlukan makanan 184 ton per tahun (jumlah
kebutuhan makanan untuk kedua ternak tersebut adalah 13.448
ton per tahun). Sedangkan produksi makanan ternak 17.504 ton
per tahun (terjadi kelebihan makanan ternak sekitar 4.000 ton per
tahun) .
51

Catatan: produksi hijauan dari pohon (gamal, kaliandra,


lamtoro, dapdap dan lainnya) belum di hitung

Jumlah ternak babi di Kecamatan Abiansemal adalah 29.359


ekor, sebagian besar adalah penggemukan (landrace). Peternak babi
di Bali berhubungan dengan nilai budaya dan adat dan masih
dilaksanakan secara tradisional, yang sewaktu-waktu dapat dijual
untuk kebutuhan sehari-hari. Makanan ternak babi yang sering
diberikan oleh peternak di Kecamatan Abiansemal adalah
konsentrat,dedak, pollard dan kadang-kadang diberikan berupa
hijauan sebagai makanan tambahan seperti kangkung, juga ampas
tahu dan limbah roti. Sedangkan untuk sistem perkawinan ternak
lebih banyak dilakukan sistem kawin alami dengan mendatangkan
pejantan. Biasanya dalam perkawinan anak babi yang dilahirkan
antara 8-12 ekor. Umur induk babi dikawinkan pertama umur 7
bulan. Harga jual bibit babi berkisar antara Rp.60.000,-70.000,- per
kilogram berat bibit. Sedangkan harga jual babi penggemukan yang
beratnya 100 kg berkisar 24.000,-per kilogram, hal ini sangat
tergantung dari harga pasar. Penyakit yang sering menyerang ternak
babi di Kecamatan Abiansemal adalah scabies,gatal, mencret dan
cacingan.
Jumlah ternak sapi di Kecamatan Abiansemal adalah 4.912
ekor, dengan pakan yang diberikan adalah rumput lapangan, rumput
gajah, gamal, batang pisang, jerami jagung, jerami padi serta
kadang-kadang diberikan konsentrat berupa pollard. Pakan tersebut
biasanya didapat dari pematang sawah, tegalan peternak. Setiap hari
sebagian peternak biasanya mencari makanan ternak sapi pada pagi
hari, untuk pakan satu hari dan setelah itu peternak akan mencari
pekerjaan lainnya, karena beternak adalah pekerjaan sambilan.
52

Sistem perkawinan pada ternak sapi adalah sistem alami dan ada
juga yang menggunakan sistem IB (Inseminasi Buatan). Jenis sapi
yang banyak dipelihara adalah sapi bibit. Sedangkan penyakit yang
sering menyerang ternak sapi adalah Bloat, dan gatal Untuk harga
jual ternak sapi menurut peternak berat 150 kg harga Rp.
12.000.000,- per ekor
Jumlah ternak kambing di Kecamatan Abiansemal adalah
256 ekor dengan pakan yang diberikan adalah hijauan lapangan,
daun gamal dan lamtoro kadang-kadang juga diberikan konsentrat
berupa dedak. Sistem perkawinan pada ternak kambing lebih banyak
dengan sistem alami. Ternak kambing yang banyak dipelihara
adalah kambing peranakan Etawah (PE). Sedangkan penyakit yang
sering menyerang pada ternak kambing adalah Bloat. Untuk harga
jual ternak kambing menurut peternak berat badan 50 kg harga Rp.
2.250.000 per ekor, sedangkan untuk kambing bibit umur 4 bulan
(berat 20 kg) harga jualnya sekitar RP.800.000,- per ekor.
Dari segi sosial budaya, tidak ada aturan yang melarang
untuk beternak babi,sapi dan kambing. Dari hasil survey, apabila
peternak disuruh memilih untuk memelihara ternak, maka yang
dipilih pertama adalah sapi, kemudian babi dan terakhir kambing.
Dengan alasan dengan memelihara sapi sebagai investasi dan lebih
mudah memeliharanya.

3.7.6 Petang
Kecamatan Petang adalah kecamatan paling utara di
Kabupaten Badung, dengan luas wilayah 115 km2. Kecamatan
Petang dengan ketinggian tempat 275 – 2075 m di atas permukaan
laut serta terletak pada 8o14 17 LS dan 115o11”01”- 115o11 09 BT.
53

Luas lahan pertanian di Kecamatan Petang berdasarkan data


statistik Badung (BPS Badung 2016) adalah 10.112 Ha lahan
pertanian beririgasi, non irigasi adalah 8914 Ha (Tegalan/ladang,
perkebunan dan Hutan rakyat). Sedangkan lahan non sawah 1.388
Ha yang terdiri dari jalan, pemukiman, perkantoran dan sungai.
Produksi padi di Kecamatan Petang adalah 11.654 ton dengan
luas tanam 1.939 Ha, ubi kayu dengan luas tanam 115 Ha dengan
produksi 3.226 ton, ubi jalar luas tanam 343 Ha dengan produksi
5927 ton, kacang tanah produksi 131 ton dengan luas tanam 103
Ha, sedangkan untuk sayuran produksi 6,386 ton (Kubis 4,931 ton
dan sawi 1,455 ton) dengan luas tanam 6 Ha.
Luasnya panen padi dan kacang tanah akan berdampak pada
tingginya jerami yang dihasilkan. Kelemahan jerami sebagai pakan
ternak sapi rendahnya kecernaan dan kandungan protein jerami. Hal
ini dapat diatasi dengan menambahkan 4% urea dalam jerami.
Demikian juga halnya dengan Hijauan Makanan Ternak
(HMT) kecamatan Petang memiliki 1.198 Ha sawah, 4.830 Ha
tegalan, 3.583 Ha perkebunan dan 399 Ha hutan rakyat dan 1388
lainnya yang berpotensi untuk ditanami hijauan makanan ternak.
Populasi ternak sapi, kambing dan babi di Kecamatan Petang
(BPS Badung 2015) berturut-turut adalah 9.862 ekor, 404 ekor dan
10.484 ekor, sedangkan untuk ternak unggas antara lain ayam buras
42.780 ekor, ayam broiler 224.500 ekor, ayam petelur 25.000 ekor
dan itik 1.702 ekor. Sedangkan untuk kelompok ternak Kecamatan
Petang memiliki 78 kelompok ternak sapi, 2 kelompok ternak
kambing dan 3 kelompok ternak ayam buras.
54

Gambar 3.9 Pakan sapi terdiri dari rumput dan dedaunan

Berdasarkan analisis LQ (Tabel 3.5), maka ternak yang


berpotensi untuk dikembangkan di Kecamatan Petang adalah ternak
sapi, kambing dan babi karena memiliki LQ di atas 1 (satu).
Potensi hijauan dan limbah pertanian untuk pakan ternak
ruminansia:
a. Jerami padi, limbah ubi kayu, limbah ubi jalar, jerami kacang
tanah, berdasarkan Carrying capacity di Kecamatan Petang
adalah: 8639,6 ton Bahan Kering (BK)
b. Dilihat dari luas sawah, tegalan kebun, hutan dan lainnya maka
hijauan rumput yang dihasilkan adalah 1.409,75 ton Bahan
Kering (BK).
55

c. Jadi jumlah makanan ternak yang dihasilkan/tersedia dari kedua


sumber tersebut di atas (limbah dan hijauan/rumput) adalah
10.049,35 ton Bahan Kering per tahun.
d. Jumlah ternak sapi di Kecamatan Petang adalah 9.862 ekor
dengan berat rata-rata 300 kg, maka diperlukan makanan 26.627
ton per tahun, untuk kambing jumlahnya 404 ekor dengan berat
rata-rata 40 kg, diperlukan makanan 290 ton per tahun (jumlah
kebutuhan makanan untuk kedua ternak tersebut adalah 26.918
ton per tahun). Sedangkan produksi makanan ternak 10.049 ton
per tahun (terjadi kekurangan makanan ternak sekitar 17.000 ton
per tahun .
Catatan: produksi hijauan dari pohon (gamal, kaliandra,
lamtoro, dapdap dan lainnya) belum di hitung

Jumlah ternak babi di Kecamatan Petang adalah 10.484 ekor,


sebagian besar adalah penggemukan. Peternak babi di Bali
berhubungan dengan nilai budaya dan adat dan masih dilaksanakan
secara tradisional, yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk kebutuhan
sehari-hari. Makanan ternak babi yang sering diberikan adalah
Konsentrat,dedak dan pollard dan kadang-kadang diberikan berupa
hijauan sebagai makanan tambahan seperti “dagdag”, juga ampas
tahu. Sedangkan untuk sistem perkawinan ternak lebih banyak
dilakukan sistem kawin alami dengan mendatangkan pejantan dan
ada juga dengan sisstem IB (Inseminasi Buatan). Biasanya dalam
perkawinan anak babi yang dilahirkan antara 8-12 ekor. Umur induk
babi dikawinkan pertama umur 7 bulan. Harga jual bibit babi
berkisar antara Rp.60.000,-70.000,- per kilogram berat bibit.
Sedangkan harga jual babi penggemukan berkisar antara Rp.
20.000,-24.000,-per kilogram, hal ini sangat tergantung dari harga
56

pasar. Penyakit yang sering menyerang ternak babi di Kecamatan


Petang adalah scabies,gatal dan mencret.
Jumlah ternak sapi di Kecamatan Petang adalah 9.862 ekor,
dengan pakan yang diberikan adalah rumput lapangan, gamal,
batang pisang, lamtoro, kaliandra. Pakan tersebut biasanya didapat
dari pematang sawah, tegalan peternak. Setiap hari sebagian
peternak biasanya mencari makanan ternak sapi pada pagi hari,
untuk pakan satu hari dan setelah itu peternak akan mencari
pekerjaan lainnya, karena beternak adalah pekerjaan sambilan.
Sistem perkawinan pada ternak sapi adalah sistem alami dan ada
juga yang menggunakan sistem IB (Inseminasi Buatan). Sedangkan
penyakit yang sering menyerang ternak sapi adalah Bloat, mencret
dan lumpuh. Untuk harga jual ternak sapi menurut peternak berat
270-300 kg harga Rp. 43.000 per kg.
Jumlah ternak kambing di Kecamatan Petang adalah 404
ekor dengan pakan yang diberikan adalah limbah kulit kopi,
pangkasan daun kopi, limbah sayur, limbah kakao, gamal dan
kaliandra, kadang-kadang juga diberikan konsentrat berupa pollard.
Sistem perkawinan pada ternak kambing lebih banyak dengan sistem
alami. Sedangkan penyakit yang sering menyerang pada ternak
kambing adalah Bloat, mencret dan pilek. Untuk harga jual ternak
kambing menurut peternak umur 9-10 bulan harga Rp. 700.000-
1.000.000,- per ekor, sedangkan untuk kambing jantan umur 2,5
tahun harga jualnya sekitar RP.7.000.000,- per ekor.
Dari segi sosial budaya, tidak ada aturan yang melarang
untuk beternak babi,sapi dan kambing. Dari hasil survey, apabila
peternak disuruh memilih untuk memelihara ternak, maka yang
dipilih pertama adalah sapi, kemudian babi dan terakhir kambing.
57

Dengan alasan dengan memelihara sapi lebih gampang, praktis,


biaya sedikit dan untung lebih besar.
Di samping usaha yang bersifat komplementer, berdasarkan
unsur-unsur iklim (temperatur udara, kelembaban udara, kecepatan
angin dan intensitas radiasi matahari) kecamatan Petang sangat
cocok untuk kawasan ternak yang bersifat suplementer seperti ayam
dalam arti luas, dan ayam petelur dalam arti sempit sebab dalam
pemeliharaannya kebutuhan pakan tidak menjadi kendala.

3.8 Kawasan Peternakan


Untuk pengembangan kawasan peternakan kambing di masing-
masing kecamatan diperoleh data populasi kambing yang sudah ada
terutama di wilayah perkebunan kopi dan kakao, telah memenuhi
standar minimal untuk dikembangkan sebagai kawasan peternakan
kambing, karena jumlah populasi lebih dari 2000 AU dan ketersediaan
pakannya juga mencukupi dan masih memungkinkan untuk
ditingkatkan. Masing-masing jenis kawasan tersebut di atas
membutuhkan intervensi dalam bentuk pelayanan teknis, pelayanan
agroinput, dan pelayanan yang ditunjukan untuk meningkatkan
aksesibilitas pada sumber keuangan finansial, pasar, teknologi,
permodalan dan bentuk-bentuk intervensi yang bersifat capasity
building
Bentuk pelayanan dan intervensi dari pemerintah kepada jenis
kawasan ini terdiri dari dua kategori, yaitu fisik dan non fisik.
Pelayanan dan intervensi sesuai dengan karakteristiknya, maka
semakin baru kawasan tersebut, maka akan membutuhkan pelayanan
agroinput yang cukup lengkap. Kawasan mandiri lebih mengarah
kepada pelayanan non fisik. Sedangkan kawanan yang sedang
58

berkembang, terjadi keseimbangan pelayanan dan intervensi untuk


fisik dan non fisiknya.
Fungsi budidaya peternakan diarahkan pada hal-hal sebagai
berikut ini, yaitu (i) penguatan kelembagaan peternak di masing-
masing kawasan berupa pembentukan jaringan kelembagaan antar
kelompok dalam suatu kawasan atau penguatan jaringan kelembagaan
antar kawasan; (ii) pembangunan kelembagaan Pos IB sebagai ujung
tombak pelayanan IB dilapangan dan sebagai pembuka lokasi baru
atau dapat juga sebagai pengembangan dari lokasi IB yang lama; (iii)
menerapkan dan mengembangkan teknologi baru di bidang
peternakan dan kesehatan hewan; dan (iv) menerapkan prinsip-prinsip
management pemeliharaan budidaya ternak yang baik (Good Farming
Practices).
Fungsi perbibitan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan, seperti
(i) kegiatan untuk mendukung penyediaan bibit ternak sesuai dengan
SNI (Standar Nasional Indonesia) dan termanfaatkannya fasilitas
pendukung perbibitan ternak; (ii) mengarahkan kelompok dikawasan
untuk melaksanakan prinsip-prinsip perbibitan ternak yang dituangkan
dalam surat pernyataan untuk mengikuti pelatihan teknis pembibitan
ternak dan menjaga tidak terjadinya mutasi ternak, kriteria bibit dalam
rangka program pemuliaan ternak. Selanjutnya untuk menjadi
kawasan perbibitan dapat mengacu kepada Pedoman Teknis yang
dikeluarkan oleh Direktorat Perbibitan.
Bahan pakan untuk ternak ruminansia sebagian besar berasal
dari tumbuhan pakan atau sering disebut hijauan pakan sebagai
sumber serat. Hijauan pakan mutlak diperlukan oleh ternak
ruminansia, karena ternak ruminansia memiliki rumen yang
didalamnya mengandung mikroba pencerna serat. Mikroba rumen ini
59

sebagai sumber asam amino bagi ternak ruminansia yang dapat


memenuhi kebutuhan asam amino untuk ternak sebesar 60-80%.
Produksi sapi potong dan pembibitan yang semakin meningkat
juga sudah mulai menjadi perhatian para pabrikan untuk dapat turut
serta menyediakan pakan konvensional yang berkualitas, terlebih lagi
ragam usaha penggemukan sapi (feedlot) dan sapi pembibitan juga
akan sangat tergantung pada kualitas pakan yang digunakan.
Peningkatan populasi ternak sapi potong, kerbau, dan sapi
pembibitan, juga berperan mendorong peningkatan produksi daging
sapi, susu, dan daging kerbau yang cukup tinggi. Disisi lain,
peningkatan populasi ternak juga terjadi pada ternak ruminansia kecil
(kambing/domba), yang tentunya itu semua merupakan peluang baru
yang sekaligus menjadi orientasi industri pakan untuk dapat
memenuhi kebutuhan pakannya.
Fungsi pakan diarahkan kepada peternak agar supaya: (i) dapat
memanfaatkan sumberdaya pakan setempat (kebun rumput, padang
pengembalaan dan limbah pertanian) dan pemanfaatan kotoran ternak
untuk dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman
pertanian/perkebunan/HPT; (ii) pemanfaatan produk samping tanaman
lain termasuk hasil samping perkebunan dan agro industri agar dapat
menciptakan proses integrasi ternak dan tanaman; dan (iii) Penyediaan
dan pemberian pakan yang berkualitas, peningkatan budidaya Hijauan
Pakan Ternak (HPT) yang unggul.
Fungsi Kesehatan Hewan diarahkan agar peternak melakukan
hal-hal sebagai berikut, yaitu (i) penerapan sistem manajemen
pelayanan teknis terpadu dengan mengoptimalkan peran dan fungsi
Puskeswan sebagai ujung tombak pelayan teknis pelayan dan
kesehatan hewan; (ii) peternak dalam kawasan dibina melalui
60

pendekatan paradigma ternak sehat yakni lebih mengedepankan sistim


surveilance untuk menjamin kesehatan ternak suatu kawasan; dan (iii)
arah pembinaan untuk penanganan gangguan reproduksi,
penanggulangan penyakit parasiter dan penurunan kematian pedet.
Fungsi kesehatan masyarakat veteriner dan pascapanen
diarahkan kepada kegiatan pembinaan dan sosialisasi penerapan teknis
kesehatan masyarakat veteriner dan pascapanen dan pembinaan yang
berupaya agar dapat melibatkan masyarakat dan mass media tentang
pentingnya kesehatan masyarakat veteriner dan pascapanen.
Peningkatan populasi dan produksi peternakan harus didukung
oleh ketersediaan sarana produksi ternak yang memadai, murah dan
mudah diperoleh, termasuk didalamnya ketersediaan pakan. Seperti
diketahui bahwa terdapat tiga unsur utama yang menentukan
produktivitas usaha peternakan, yang dikenal dengan istilah gold
triangle, yaitu breeding, feeding and management.
61

BAB IV
PENUTUP

Kawasan komoditas peternakan dan kesehatan hewan adalah


kawasan yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan peternakan
terpadu. Kawasan peternakan hubungannya dengan usaha tani dapat
bersifat Land base livestock (terutama ternak ruminansia besar dan
kecil, seperti sapi, kambing, dan domba, yang bersifat komplementer
dengan usaha tani) dan dapat bersifat Non Land base livestock, yaitu
ternak nonruminansia, seperti babi dan unggas, yang bersifat
suplementer.
Dalam penentuan suatu kawasan didasarkan atas Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Berdasarkan RTRW
ini ditetapkan wilayah pengembangan dengan fungsi yang berbeda-
beda.
Berdasarkan kebutuhan peternak akan ketersediaan pakan
ternak sepanjang tahun, maka jika dikaji dari segi aspek sosial
ekonomi masyarakat, maka pemeliharaan ternak sapi pada kecamatan
yang daya dukung pakannya tidak mencukupi (kurang) dapat
dilakukan melalui beberapa strategi, antara lain: (i) menyusun
formulasi ransum yang efektif dan efisien bagi pertumbuhan dan
produksi ternak; (ii) membuat diferensiasi produk sesuai dengan
spesifikasi ternak; (iii) pemberian subsidi harga pakan ternak oleh
pemerintah; (iv) membangun pabrik pakan dalam skala kecil; (v)
intensifikasi tanaman hortikultura yang limbahnya dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak berkualitas tinggi; dan (vi) mengadakan
kerjasama dengan pemerintah daerah penghasil limbah agroindustri
dan limbah pertanian.
62

Produksi sapi potong dan perbibitan yang semakin meningkat


juga sudah mulai menjadi perhatian para pabrikan untuk dapat turut
serta menyediakan pakan konvensional yang berkualitas, terlebih lagi
ragam usaha penggemukan sapi (feedlot) dan sapi perbibitan juga
akan sangat tergantung pada kualitas pakan yang digunakan.
Peningkatan populasi ternak sapi potong dan sapi perbibitan, juga
berperan mendorong peningkatan produksi daging sapi yang cukup
tinggi. Disisi lain, peningkatan populasi ternak juga terjadi pada
ternak ruminansia kecil (kambing/domba dan babi), yang tentunya itu
semua merupakan peluang baru yang sekaligus menjadi orientasi
industri pakan sekala kecil untuk dapat memenuhi kebutuhan
pakannya.
Pengembangan pola kemitraan khususnya pada ternak babi
dapat diarahkan untuk mengembangkan jaminan dan kepastian pasar
atau pemanfatan hasil industri pakan. Kemitraan juga tidak hanya
terbatas pada aspek pemanfaatannya saja, tetapi juga dapat
dikembangkan pada aspek penyediaan bahan baku. Diyakini bahwa
melalui konsep kemitraan, saluran distribusi dan aliran cash flow
dapat lebih terjamin dan lebih safe. Kemitraan bisnis merupakan
salah satu pilihan prospektif bagi pengembangan bisnis yang sehat di
masa depan, selain juga untuk menjembatani kesenjangan antar sub-
sistem dalam kerangka pembangunan agribisnis.
Peluang teknologi dan pemanfaatan sumberdaya/bahan baku
alternatif bisa lebih kompetitif memanfaatkan limbah industri pakan.
Beberapa limbah pertanian/industri telah umum digunakan sebagai
pakan dan penggunaanya dalam ransum ternak memberikan hasil yang
lebih ekonomis, akan tetapi masih banyak sumber lainnya yang
potensial dan rendah harganya, namun tingkat penggunaanya kurang
63

(undrutilized), seperti limbah buah-buahan (kecuali limbah nenas yang


sudah dimanfaatkan untuk ternak potong), cangkang cokelat, kulit
kopi, ampas tahu, jerami padi, dan lain-lain, dan masih memerlukan
pengkajian secara teknologi dan ekonomi.
Usaha tani yang bersifat Land base livestock (terutama ternak
ruminansia besar dan kecil, seperti sapi, kambing, dan domba, yang
bersifat komplementer dengan usaha tani) tidak hanya tergantung pada
pakan hijauan saja, namun dapat diberikan pakan konsentrat untuk
meningkatkan kebutuhannya.
64

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2016. Badung Dalam


Angka 2016. CV. Bhineka Karya. Badung

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali. 2015. Laporan


Tahunan Tahun 2014. Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Bali, Jl. WR. Supratman Nomor 71.
Denpasar

Kementerian Pertanian. 2015. Keputusan Menteri Pertanian Republik


Indonesia Nomor 43/kpts/PD.410/1/2015 tentang penetapan
kawasan sapi potong, kerbau, kambing, sapi perah, domba,
dan babi nasional.

Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan


Hewan. 2015. Pedoman Pelaksanaan Pengembangan
Kawasan Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta

Kementerian Pertanian. Peraturan Menteri Pertanian Republik


Indonesia Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang
Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan
Kerbau Bunting

Meijer, W.CH.P. 1962. Das Balirind. A.Ziemsen Verlag Wittenberg,


Lutherstadt

Payne, W.J.A. and D.H.L., Rollinson. 1973. Bali Cattle. World Anim.
Rev. 7; 13-21

Pemerintah Kabupaten Badung. Peraturan Daearah Kabupaten


Badung Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033

Slijper, E.J. 1954. Mens on Huisdier. J.B. Wolters, Utrecht.

Supartha, I.W., M. Adnyana, IW. Suarna, IN. Dibia, M. Trigunasih,


dan AAI. Kusumadewi. 2013. Pemetaan potensi wilayah dan
pengembangan komoditas pertanian di Kabupaten Gianyar.
Udayana University Press, Denpasar
65

Tim Pengkaji Fapet Unud. 2014. Feasible Study (FS) Pembangunan


Pabrik Pakan Ternak di Provinsi Bali. Fakultas Peternakan,
Universitas Udayana, Denpasar
66

Anda mungkin juga menyukai