1 Appendiks
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung yang memiliki panjang berkisar 10 cm
serta bermuara di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendisitis pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, kedudukan
tersebut memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Gambar 1.1 Appendiks
1.2 Appendisitis
1.2.1 Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus di samping hiperplasia jaringa limfe, fekalit,
tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E.histolytica (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005).
1.2.2 Patofisiologi
1
Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi adalah karena obstrusksi lumen
apendiks yang kemudian diikuti terjadinya infeksi. Pada orang dewasa lebih
sering disebabkan oleh fecalith atau feses yang stasis (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan di dalam lumen.
Dengan peningkatan tekanan pada obstruksi mengakibatkan pertumbuhan bakteri
yang cepat. Cairan mukus yang terbanyak berubah menjadi pus (nanah)
menyebabkan makin meningkatkan tekanan luminal. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran apendiks dan nyeri viseral yang lokasinya di regio epigastrium atau
periumbilikal. Terus berlangsungnya peningkatan tekanan tersebut menghambat
pada aliran limfe sehingga mengakibatkan edema dan ulserasi mukosa. Fase ini
dikenal sebagai apendisitis akut. Peritonium parietal menjadi iritasi dan nyeri
terlokalisasi pada kuadran kanan bawah. Keadaan ini merupakan nyeri klasik
abdomen yang menjalar pada pasien dengan apendisitis (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
Peningkatan tekanan yang terus berlangsung menyebabkan obstruksi pada
pembuluh vena, sehingga terjadi edema dan iskemik pada apendiks. Pada fase ini
invasi bakteri terjadi pada dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis
akut supuratif. Akhirnya, dengan peningkatan tekanan yang terus berlangsung,
sumbatan pada pembuluh vena dan pembuluh arteri juga terganggu akan
mengarahkan terjadinya gangren dan perforasi. Jika proses perforasi berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks untuk
membentuk dinding yang mengelilingi perforasi yang terjadi hingga menjadi
suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Nyeri mungkin
mengalami perbaikan, tapi gejala tidaklah hilang seluruhnya. Pasien mungkin
masih merasakan nyeri kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan
pola defekasi, atau demam subfebril yang intermiten. Jika infiltrat apendikularis
gagal terjadi untuk membatasi perforasi, maka peritonitis difus akan terjadi
(Sandy, 2012).
2
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, serta dinding apendiks lebih tipis. Keadaan itu ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang dewasa perforasi terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
Alvarado Score
Pada pemeriksaan klinis dalam keadaan gawat darurat, untuk menegakkan diagnosis
Appendisitis di fasilitas kesehatan layanan primer, juga dapat digunakan Alvarado Score sebagai
berikut:
Manifestasi Klinis Skor
Gejala Nyeri Berpindah 1
Penurunan Nafsu Makan (Anorexia) 1
Mual dan Muntah 1
Tanda Nyeri pada Kuadran Kanan Bawah 2
Nyeri Lepas Tekan 1
Peningkatan Suhu 1
Temuan Laboratoris Leukositosis 2
Pergeseran neutrophil ke kiri 1
Total Poin 10
Derajat Skoring:
a. 7-10: Kemungkinan Appendisitis Akut 93%
b. 5-6 : Kemungkinan Appendisitis Akut 66%
c. 1-4 : Kemungkinan Appendisitis Akut hanya 30%
3
Pada pasien yang dicurigai datang dengan gejala nyeri berpindah, dapat dilakukan anamnesis
serta pemeriksaan fisik sebagai berikut untuk menegakkan diagnosis Appendisitis Akut (Humes,
2007; Sjamsuhidajat & Jong, 2005):
Anamnesis Gambaran
a. Nyeri samar serta tumpul yang merupakan nyeri
visceral disekitar umbilicus atau epigastrium bagian
bawah
Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara
perlahan dan makin lama makin hebat. Nyeri abdomen
yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi
apendiks, distensi dari lumen apendiks, karena tarikan
dinding apendiks yang mengalami peradangan,
ataupun hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan
terjadi pada seluruh saluran cerna Pada mulanya terjadi
nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul
seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus
dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut
timbul oleh karena apendiks dan usus halus
mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral
Gambar 1.2. Nyeri awal bersifat
itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium. tumpul pada Appendisitis
4
d. Nafsu makan menurun (Anorexia)
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa
jam sesudahnya akibat rangsangan nervus vagus,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada
setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada
maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan.
Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun
jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan
vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga
timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan
vesika urinaria.
d. Palpasi
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :
5
1. Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan
ini merupakan tanda kunci diagnosis.
6
5. Psoas sign (+)
Psoas Sign terjadi pada appendik letak
retrocaecal, karena merangsang peritoneum.
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan
muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi
pada apendiks
Terdapat 2 cara pemeriksaan :
Gambar 1.7. Psoas Sign (Aktif)
a. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan
lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulatio coxae kanan
menyebabkan nyeri perut kanan bawah.
b. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan
dihiperekstensikan pemeriksa, nyeri perut
kanan bawah
Gambar 1.8. Psoas Sign (Pasif)
a. Primary Survey
8
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum
pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,
takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan
adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup
aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi
melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
Setelah dilakukan pengkajian terhadap sirkulasi, lakukan resusitasi sirkulasi
bila diperlukan (sesuai kondisi pasien), apabila sirkulasi pasien dalam kondisi
stabil, dapat diberikan Normal Saline dengan tetesan maintenance sebagai
jalur masuk obat intravena.
9
Identifikasi Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU
(Thygerson, 2011).:
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang
diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
Expose, Examine dan Evaluate
b. Secondary Survey
Pada secondar survey, dapat dilakukan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
sesuai uraian yang telah disebutkan, dapat dilakukan penilaian skor
ALVARADO pada tahap ini, apabila fasilitas tersedia dapat dilakukan
pemeriksaan laboraturium dan radiologis. Apabila pada seluruh pemeriksaan
mendukung diagnosis Appendisitis, kemudian dilakukan tatalaksana sebagai
berikut (Humes, 2007):
a. Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg) atau semifowler
10
Pasien dengan Appendisitis diberikan terapi medikamentosa berupa
analgetik dan antibiotik spektrum luas. Antibiotik diberikan untuk
profilaksis, dengan cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya.
Antibiotik yang umum diberikan adalah cephalosporin generasi 2 /
generasi 3 dan Metronidazole. Hal ini secara ilmiah telah dibuktikan
mengurangi terjadinya komplikasi post operasi seperti infeksi luka dan
pembentukan abses intraabdominal. Pilihan antibiotik lainnya adalah
ampicilin-sulbactam, ampicilin-asam klavulanat, imipenem,
aminoglikosida, dan lain sebagainya. Waktu pemberian antibiotik juga
masih diteliti. Akan tetapi beberapa protokol mengajukan apendisitis akut
diberikan dalam waktu 48 jam saja.
d. Monitor : Tanda2 peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka
penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi,
biasanya diawali dengan adanya masa periapendikuler terlebih dahulu.
Masa periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa
penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini
dapat diremisi oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan
tetapi, risiko terjadinya abses dan penyebaran pus dalam infilitrat dapat
terjadei sewaktu-waktu sehingga massa periapendikuler ini adalah target
dari operasi apendektomi. Perforasi merupakan komplikasi yang paling
ditakutkan pada apendisitis karena selain angka morbiditas yang tinggi,
penanganan akan menjadi semakin kompleks. Perforasi dapat
menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai nyeri hebat seluruh
peruhk, demam tinggi, dan gejala kembung pada perut. Bisis usus dapat
menurun atau bahkan menghilang karena ileus paralitik yang terjadi. Pus
yang menyebar dapat menjadi abses inttraabdomen yang paling umum
dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tata laksana yang
dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparotomi eksploratif untuk
membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan
11
teknologi drainase pus dengan laparoskopi sehingga pembilasan dilakukan
lebih mudah.
2. Tindakan Operatif di Fasilitas Kesehatan Lanjutan (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005)
a. Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang
diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan
suatu kasus gawat-darurat. Beberapa penelitian retrospektif yang
dilakukan sebenarnya menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang
dari 12 jam setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna menurunkan
komplikasi post-operasi dibanding yang dilakukan biasa (12-24 jam).
Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12 jam waktu operasi,
terdapat penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.
b. Teknik yang digunakan dapat berupa, (1) operasi terbuka, dan (2) dengan
Laparoskopi. Operasi terbuka dilakukan dengan insisi pada titik
McBurney yang dilakukan tegak lurus terhadap garis khayalan antara
SIAS dan umbilikus. Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan
palpasi untuk menemukan massa yang membesar. Setelah dilakukan
insiis, pemebdahan dilakukan dengan identiifkasi sekum kemudian
dilakukan palpasi ke arah posteromedial untuk menemukan apendisitis
posisi pelvik. Mesoapendiks diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks
kemudian dilakukan ligasi dan transeksi.
c. Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini
walaupun belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini
memberikan hasil operasi dan pengurangan kejadian komplikasi post-
operasi. Apendekotmi laparoskopi harus dilakukan apabila diagnosis
masih belum yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat sekaligus
menjadi prosedur diagnostik. Sampai saat ini penelitian-penelitian yang
dilakukan masih mengatakan keunggulan dari metode ini adalah
meningkatkan kualitas hidup pasien. Perbaikan nfeksi luka tidak terlalu
berpengaruh karena insisi pada operasi terbuka juga sudah dilakukan
dengan sangat minimal.
12
d. Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka
dan abses inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah
dengan pemberian antibiotik perioperatif. Abses intra-abdomen dapat
muncul akibat kontaminasi rongga peritoneum.
13
ALGORITMA APPENDISITIS DI FASILITAS KESEHATAN LAYANAN PRIMER
Anamnesis
Airway: Periksa jalan nafas, bebaskan Pasien datang
semua halanan jalan nafas Pemeriksaan Fisik lengkap
Breathing: Periksa pernafasan, berikan Focussed Assessment
oksigen Primary Survey
dan Secondary Pemeriksaan ABCDE kembali
Circulation: Cek tanda vital sirkulasi,
resusitasi cairan adekuat Survey Pemeriksaan penunjang (jika tersedia)
Dissability: AVPU
ALVARADO SCORE
Manifestasi Klinis Skor
Gejala Nyeri Berpindah 1
Penurunan Nafsu Makan (Anorexia) 1
Mual dan Muntah 1
Tanda Nyeri pada Kuadran Kanan Bawah 2
Nyeri Lepas Tekan 1
Peningkatan Suhu 1
Temuan Laboratoris Leukositosis 2
Pergeseran neutrophil ke kiri 1
Total Poin 10
1-4 5-6 7 - 10
14
2.1 Hernia
Hernia berasal dari bahasa Latin yang berarti “rupture atau robek” dan didefinisikan
sebagai penonjolan bagian organ atau jaringan melalui lubang abnormal. Hernia merupakan
protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding
rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian
lemah dari lapisan muskolo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong,
dan isi hernia (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
2.1.1 Etiologi
Hernia dapat terjadi karena anomali kongenital atau didapat. Hernia dapat
dijumpai pada segala usia, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia di anulus
internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Selain
itu diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang
sudah terbuka cukup lebar itu (Townsend, 2008).
Hernia dapat terbentuk karena berbagai sebab, Pada hernia inguinalis sebagai
bentuk hernia yang paling sering terjadi, terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya hernia inguinalis antara lain (Sjamsuhidajat & Jong, 2005):
1. Kelemahan aponeurosis dan fasia tranversalis,
2. Prosesus vaginalis yang terbuka, baik kongenital maupun didapat,
3. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik, hipertrofi
prostat,konstipasi, dan asites,
4. Kelemahan otot dinding perut karena usia,
15
5. Defisiensi otot,
6. Hancurnya jaringan penyambung oleh karena merokok, penuaan atau
penyakitsistemik.
16
2.1.3 Hernia Inguinalis
Hernia ingunalis dibagi menjadi dua yaitu Hernia Ingunalis Lateralis (HIL) dan
Hernia Ingunalis Medialis dengan penjelasan sebagai berikut (Sjamsuhidajat & Jong,
2005):
17
Hernia a. Disebabkan oleh peninggian tekanan
Inguinali intra abdomen kronik dan kelemahan
s Medialis otot dinding di trigonum Hesselbach.
b. Hernia direk merupakan hernia
yang menonjol langsung kedepan
melalui segitiga Hasselbach
c. Segitiga Hasselbach merupakan
daerah yang dibatasi oleh ligamentum
inguinal dibagian inferior, pembuluh
epigastrika inferior dibagian lateral
dan tepi otot rektus dibagian medial.
Dasar segitiga Hasselbach dibentuk
oleh fasia transversal yang diperkuat
oleh serat aponeurosis m.tranversus
abdominis yang kadang-kadang tidak Gambar 2.2. Hernia Inguinalis
Medialis
sempurna sehingga daerah ini
potensial untuk menjadi lemah
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
d. Hernia medialis, karena tidak keluar
melalui kanalis inguinalis dan tidak
ke skrotum, umumnya tidak disertai
strangulasi karena cincin hernia
longgar.
e. Jarang pada perempuan, hernia ini
merupakan penyakit pada laki-laki
tua dengan kelemahan otot dinding
abdomen
Anamnesis
18
a. Gejala dan tanda klinik hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia.
Sebagian besar hernia asimtomatik
b. Pada hernia reponibel keluhan satu-satunya adalah benjolan di lipatan paha yang
muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan, dan menghilang
setelah berbaring.
c. Keluhan nyeri jarang dijumpai, jika ada biasanya di daerah epigastrium atau
paraumbilikal berupa nyeri viseral karena regangan pada mesenterium pada
waktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia.
d. Nyeri hebat yang disertai mual atau muntah baru timbul kalau sudah terjadi
inkarserasi karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau gangrene
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Penegakkan diagnosis hernia lebih sering dilakukan melalui pemeriksaan fisik, yaitu
sebagai berikut (Sjamsuhidajat & Jong, 2005):
19
Pemeriksaan Fisik Gambaran
a. Inspeksi
Hernia reponibel : terdapat benjolan dilipat
paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk,
bersin atau mengedan dan menghilang setelah
berbaring.
Hernia inguinal
o Lateralis : muncul benjolan di regio
inguinalis yang berjalan dari lateral ke
medial, benjolan berbentuk lonjong Gambar 2.3. Jenis hernia menurut letak
o Medialis : benjolan biasanya terjadi
bilateral, berbentuk bulat.
Hernia skrotalis : benjolan yang terlihat sampai
skrotum yang merupakan tonjolan lanjutan dari
hernia inguinalis lateralis.
Hernia femoralis : benjolan dibawah
ligamentum inguinal.
Hernia epigastrika : benjolan dilinea alba.
Hernia umbilikal : benjolan diumbilikal.
Hernia perineum : benjolan di perineum.
b. Palpasi
Tes Taktil
1. Menggunakan jari ke 2 atau jari ke 5
2. Dimasukkan lewat skrotum melalui anulus
eksternus ke kanal inguinal
3. Penderita disuruh melakukan valsava
manuver
Bila impuls diujung jari berarti Hernia
Inguinalis Lateralis
Bila impuls disamping jari berarti Hernia
Inguinalis Medialis Gambar 2.4. Tes Taktil
Tes Ziemen
1. Hernia kanan diperiksa dengan tangan
kanan
2. Hernia kiri diperiksa dengan tangan kiri 20
3. Cara :
Jari ke 2 , diatas anulus int
Jari ke 3 , diatas anulus ext
2.1.5 Penatalaksanaan
a. Primary Survey
21
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
Setelah dilakukan pengkajian terhadap sirkulasi, lakukan resusitasi sirkulasi
bila diperlukan (sesuai kondisi pasien), apabila sirkulasi pasien dalam kondisi
stabil, dapat diberikan Normal Saline dengan tetesan maintenance sebagai
jalur masuk obat intravena.
Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
22
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU
(Thygerson, 2011).:
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang
diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
Expose, Examine dan Evaluate
b. Secondary Survey
Pada secondar survey, dapat dilakukan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
sesuai uraian yang telah disebutkan. Apabila pada seluruh pemeriksaan
mendukung diagnosis Hernia, kemudian dilakukan tatalaksana sebagai berikut:
Non operatif (konservatif)
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan
pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang
telah direposisi. Reposisi dilakukan secara bimanual. Tangan kiri memegang
hernia membentuk corong sedangkan tangan kanan mendorongnya ke arah
cincin hernia dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi
reposisi. Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia
yang telah direposisi dan tidak pernah menyembuhkan, sehingga harus dipakai
seumur hidup (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Indikasinya adalah:
Bila menolak operasi
Disertai penyakit berat yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal
(asites, sirosis hepatis, tumor paru)
Hernia Inguinalis Medialis ukuran kecil dan belum mengganggu.
23
Operatif
Hampir semua hernia harus diterapi dengan operasi, karena potensinya
menimbulkan komplikasi inkarserasi atau strangulasi lebih berat dibandingkan
resiko yang minimal dari operasi hernia (khususnya bila menggunakan
anastesi lokal). Khusus pada hernia femoralis, tepi kanalis femoralis yang
kaku meningkatkan resiko terjadinya inkarserasi (Gary, 1997).
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia
inguinalis yang rasional. Indikasi operatif sudah ada begitu diagnosa
ditegakkan. Prinsip dasar operatif hernia terdiri atas herniotomi dan
hernioplastik. Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai
ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan jika ada perlekatan,
kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu
dipotong. Pada hernioplastik dilakukan tindakan untuk memperkecil annulus
inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis iguinalis.
Hernioplastik lebih penting dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan
dengan herniotomi (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Dikenal berbagai metode hernioplastik seperti memperkecil anulus
inguinalis internus dangan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia
transversa, dan menjahitkan pertemuan m. tranversus internus abdominis dan
m. oblikus internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke
ligamentum inguinale poupart menurut metode Bassini, atau menjahitkan
fasia tranversa m. transversus abdominis, m.oblikus internus abdominis ke
ligamentum cooper pada metode Mc Vay. Metode McVay dapat digunakan
pada kasus hernia inguinalis indirek yang besar. Untuk hernia inguinalis direk,
khususnya yang berukuran besar dan berulang, metode McVay umumnya
lebih disukai (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Bila defek cukup besar atau terjadi residif berulang diperlukan
pemakaian bahan sintesis nonabsorbable seperti mersilene, prolene mesh atau
marleks untuk menutup defek. Tubuh akan membentuk jaringan granulasi di
sekitar mesh yang dianggap tubuh sebagai benda asing, kemudian membentuk
jaringan parut dan menciptakan barier tanpa tegangan (tension-free barrier)
24
yang solid sehingga mencegah hernia kambuh kembali (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005).
25
ALGORITMA HERNIA DI FASILITAS KESEHATAN LAYANAN PRIMER
Pasien datang
Expossure: Cari
sumber luka dan
trauma lain
Menunjang tanda klinis Hernia
Letak Klinis
Hernioraf
Herniotomi Hernioplasti
26
3.1 Tetanus
Merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani
3.1.1 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani yang bersifat
anaerob. Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa
pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut.
Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun bila tidak kena sinar
matahari. spora ini tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 0c, dan bahkan pada
otoklaf 1200c selama 15 – 20 menit. C. tetani akan mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin. Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus,
bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal
dengan nama tetanus neonatorum (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
3.1.2 Patogenesis
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level
dari susunan syaraf pusat, dengan cara (Sjamsuhidajat & Jong, 2005):
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karekteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia,
aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi
fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi
terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan
meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
27
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang
kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul
spasme otot yang khas.
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
3.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi Deskripsi (Kriteria Ablett)
Tetanus Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3a Derajat 3b
umum (Tetanus Ringan) (Tetanus Sedang) (Tetanus Berat)
a. Trismus ringan a. Trismus a. Trismus a. Gangguan
(lebar antar sedang ( lebar berat (kedua otonom berat
gigi > 2 cm) antar gigi < 1 baris gigi b. Hipertensi berat
b. Kekakuan cm) rapat) (TD >220/120
umum b. Kekakuan b. Spastisitas mmHg), dan
c. Tidak dijumpai umum makin generalisata, takikardi
kejang jelas timbul >120x/ menit,
d. Tidak dijumpai c. Dijumpai kejang atau
gangguan kejang spontan c. Hipotensi
respirasi rangsang, c. Takipnea (<70/30
tidak ada >40x/ menit, mmHg), dan
kejang takikardia bradikardi
spontan >120x/ menit <60x/ menit
d. Gangguan d. Apneic spell d. Hipertensi berat
nafas >30x/ (spasme atau hipotensi
menit laring) berat dapat
e. Disfagia e. Disfagia menetap
ringan berat
Tetanus Tetanus lokal ditandai rasa nyeri dan spasme otot di dekat luka, dapat terjadi
Lokal dalam beberapa minggu dan menghilang tanpa gejaa sisa.
28
Tetanus Merupakan bentuk tetanus yang paling jarang, terjadi setelah trauma kepala atau
Sefalik infeksi telinga. Fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf yang terkena
Tetanus Terjadi pada neonatus dengan penyebab tersering adalah penggunaan alat yang
Neonatorum tidak steril untuk memotong tali pusat.
29
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
Airway maintenance dengan cervical spine protection
Breathing dan oxygenation
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Exposure dengan kontrol lingkungan
a) Identifikasi Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi contohnya muntahan
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
30
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
b) Identifikasi Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien (Wilkinson & Skinner, 2000).
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
c) Identifikasi Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
31
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d) Identifikasi Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
e) Expose, Examine dan Evaluate
Lihat adanya sumber luka terbuka dan cari adanya luka lain
Secondary Survey
Pada secondary survey, dapat dilakukan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik sesuai
uraian yang telah disebutkan, dapat dilakukan penilaian skor ABBLET dan skor
PHILLIP, untuk menentukan berat ringannya penyakit serta prognosis pasien. Pada tahap
ini, apabila fasilitas tersedia dapat dilakukan pemeriksaan laboraturium dan radiologis.
Apabila pada seluruh pemeriksaan mendukung diagnosis Tetanus, kemudian dilakukan
tatalaksana sebagai berikut (Fauci, 2008):
a. Antitetanus
o TIG 3000-6000 IU intramuskular dosis tunggal, atau
o ATS 20000 IU (intramuskular) selama 5 hari berturut-turut
b. Antikonvulsan
o Diazepam 0,5-1 mg/kgBB/4 jam,atau
o Fenobarbital 50-100 mg/4 jam, atau
o Klorpromazine 25-75 mg/kgBB/4 jam
c. Antibiotik
o Penisilin prokain 1,2 juta unit/hari selama 10 hari, atau
32
o Metronidazole 500 mg/6 jam atau 1 gr/12 jam
d. Terapi suportif
e. Monitoring ketat: beratnya kekakuan, frekuensi kejang, suhu tubuh, status
pernapasan,tekanan darah.
33
Algoritma Tetanus di Fasilitas Kesehatan Layanan Primer
Airway: Periksa jalan nafas, Anamnesis
bebaskan semua halanan
jalan nafas Pemeriksaan Fisik lengkap
34
DAFTAR PUSTAKA
Fauci, B. 2008. Harrisons Principle of Internal Medicine;17 th edition. United States: McGraw-
Hill
Gary, GW. 1997. Applied Laparoscopic Anatomy (Abdomen and Pelvis). Edisi I.Penerbit
Williams & Wilkins, a Waverly Company.
Henry, MM, Thompson, JN. 2005. Principles of Surgery, 2nd edition. Elsevier Saunders. P. 431-
445
Karnadihardja.W, Lukman.K, Rudiman.R. 2005. Infeksi. In: Sjamsuhidajat,R dan Jong, WD :
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ketut Budha et al. Apendisitis. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kasus-Kasus Bedah
Emergency. RS Sanglah. 2005. Denpasar. p. 132-6
Sjamsuhidajat,R, Jong,WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New York
Townsend,CM. 2004. Hernias. Sabiston Textbook of Surgery. 17th Edition. Philadelphia.
Elsevier Saunders. P.1199-1217
35