Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH “KORUPSI”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Patologi Sosial dan Kriminologi

Dosen Pengampu : Shofia Mawaddah, S.Psi, M.Sc

Disusun Oleh :
Kelompok 3
BK Reguler C 2019
Trisna Febrina (1191151015)
Lidya Munawarah Siregar (1193151026)
Putri Tasya Muri Handayani (1193351031)
Muhammad Luvvi Rangkuti (1193351032)
Martauli O. Sihaloho (1193351039)

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis
ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai
rangkuman.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :


1. Ibu Shofia Mawaddah, S.Psi, M.Sc. Selaku dosen mata kuliah Patologi Sosial dan
Kriminologi yang telah memberikan ilmu kepada kami.
2. Teman-teman yang telah membantu kami langsung ataupun tidak langsung dalam
pembuatan makalah ini.
3. Orang tua kami, berkat dorongan dan semangat yang telah diberikan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan sesuai dengan kemampuan penulis. Terlepas
dari itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.Akhir kata penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.

Medan, Oktober 2020

Kelompok 3

i
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG..........................................................................................................2
1.2. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................2
1.3. TUJUAN PENULISAN........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3
2.1 Gejala Korupsi dan Definisi Korupsi...................................................................................3
2.2. Korupsi dan Modernisasi......................................................................................................4
2.3 Praktik-Praktik Korupsi di Indonesia, Korupsi dengan Latar Belakang Masyarakatnya.....6
2.4 Korupsi Akibat Iklim Politik yang Tidak Sehat...................................................................8
2.5. Korupsi dan Administrasi Negara yang Simpang Siur.........................................................9
2.6. Infiltrasi Bisnis ke dalam Pemerintahan.............................................................................11
2.7. ABRI dan Masalah Korupsi................................................................................................12
2.8. Tanggapan Pemerintah dan Rakyat terhadap Korupsi........................................................15
2.9 Saran-Saran Penanggulangan Korupsi 16
BAB III PENUTUP......................................................................................................................22
3.1 KESIMPULAN...................................................................................................................22
3.2 SARAN...............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan
mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan
terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang
terlibat sejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor
tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara
terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya,
Negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan
sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya
dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara
negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang
sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar.
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju,
adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak
mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan
mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang
maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke
jurang kehancuran.
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu
mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun

1
semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Gejala Korupsi dan Definisi Korupsi
2. Apa itu Korupsi dan Modernisasi
3. Bagaimana Praktik-Praktik Korupsi di Indonesia, Korupsi dengan Latar Belakang
Masyarakatnya
4. Korupsi Akibat Iklim Politik yang Tidak Sehat
5. Korupsi dan Administrasi Negara yang Simpang Siur
6. Infiltrasi Bisnis ke dalam Pemerintahan
7. ABRI dan Masalah Korupsi
8. Tanggapan Pemerintah dan Rakyat terhadap Korupsi
9. Saran-Saran Penanggulangan Korupsi

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah


1. Bagi Pembaca
Pembaca dapat mengetahui dan memahami kajian tentang korupsi
2. Bagi Calon Pendidik
Untuk Mengetahui topic kajian Korupsi dan mampu mengimplemntasikannya kepada
peserta didik

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gejala Korupsi dan Defenisi Korupsi


Dalam kajian Patologi Sosial, perilaku korupsi termasuk suatu tindakan atau perilaku yang
menyimpang atau deviasi sama dengan tindakan kriminal lainnya seperti; perjudian, pelacuran,
perkosaaan, pencurian, pembunuhan dan lain lain.Bahkan dalam pembahasan kesehatan mental
dan Psikologi perilaku tersebut termasuk dalam mental yang tidak sehat dan perilaku
menyimpang dan gangguan-gangguan kontrol diri.
Kehidupan masyarakat modern yang sangat kompleks telah menumbuhkan aspirasi-
aspirasi materil yang tinggi dan sering disertai oleh ambisi-ambisi sosial yang tidak sehat.
Keinginan untuk pemenuhan kebutuhan materil kekayaan dan barang-barang mewah tanpa
mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan jalan wajar, mendorong individu untuk
melakukan criminal.
 Korupsi
Secara bahasa, kata “korupsi” berasal dari kata corruptio (Latin) kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono,
korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan,  dan merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah
perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat
disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas
dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa
dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan
negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan

3
wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata)
untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau
keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang
pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau
diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya
atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai
korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi
adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.

2.2 Korupsi dan Modernisasi


Modernisasi mendorong korupsi dengan cara mengubah dan menghasilkan sesuatu melalui
sistem politik. Penataan mekanisme dan tertib politik pada banyak negara setelah Perang Dunia
Kedua masih menjadi topik diskusi menarik di kalangan cendekiawan politik, negarawan, politisi
bahkan masyarakat awam. Tidak bisa tidak, setelah sebuah masyarakat memeroleh kemerdekaan
dan kemudian melewati fase kehidupan tradisional maka mereka akan memulai babak baru
kehidupan yang disebut modernisasi--sebagai akibat dari gerakan rasionalisasi dan
fungsionalisasi.
Ketika masyarakat masih diliputi oleh pola kehidupan tradisional maka nilai pada sebuah
perbuatan lebih menonjol sedang pada modernisasi yang diutamakan adalah fungsi bagi
kehidupan bukan nilainya. Maka modernisasi membawa akibat salah satunya terjadi pembiakan
korupsi karena kecukupan materi bagi mereka adalah tujuan. Hal ini terjadi akibat perubahan
cara berpikir yang berdampak kepada perilaku.

4
Menurut Samuel P.Huntington dalam bukunya "Political Order in Changing Society"--buku
ini diterjemahkan menjadi "Tertib Politik di Dalam Masyarakat yang Sedang Berubah", CV
Rajawali, Jakarta (1983)--di samping modernisasi menjanjikan perubahan tetapi juga yang tidak
kalah ironisnya, modernisasi melakukan pembiakan perilaku korupsi. Korupsi adalah tingkah
laku di antara pejabat negara yang menyimpang dari norma-norma umum pelayanan
masyarakat. 
Pengertian pejabat negara dapat diperluas yaitu semua orang yang memiliki otoritas di dalam
masyarakat yang kebetulan memiliki kedudukan istimewa. Huntington menjelaskan bahwa
terdapat tiga alasan kenapa modernisasi membiakkan korupsi. 
 Pertama, modernisasi membawa perubahan dasar dalam nilai-nilai masyarakat. Pola
hidup sederhana, jujur, rendah hati yang menjadi kebiasaan pola kehidupan masyarakat
tradisi kemudian setelah mereka mulai berkenalan dengan modernisasi--maka masyarakat
mulai mengenal pola hidup hedonistik, hipokrit, egois yang menjadi dasar yang
mendorong mereka untuk terlibat dalam persaingan memperebutkan sumber daya. 
Benih-benih konflik yang ada pada setiap orang karena tuntutan penonjolan identitas lalu
menguat menjadi tindakan kompetisi memonopoli sumber daya baik materi maupun non
materi. Pola hidup modernisasi berubah yaitu terus menerus diliputi rasa tidak puas untuk
selalu mengejar berbagai asesori kehidupan. Lihatlah misalnya, pada rumah tempat
tinggal, kenderaan, atribut dalam berbusana semuanya menampakkan kemewahan yang
tentunya memerlukan ongkos yang sangat besar. Setiap jabatan diperoleh setelah melalui
pembayaran materi maupun janji-janji non materi yang semuanya akan berpeluang
menjadi faktor pembiakan korupsi. 
 Kedua, modernisasi menjadi pembiakan korupsi karena ia menciptakan sumber kekayaan
dan kekuasaan baru sementara aktivitas politik belum ditentukan batas-batasnya dalam
tradisi kuno. Setiap bentuk peraturan maupun undang-undang selalu bersikap reaktif
terhadap perubahan bukan mendahului perubahan. Menjadi sebuah ironi, manakala
sebuah peraturan dirancang justru untuk memuluskan terjadinya pembiakan korupsi itu.
Akibatnya peraturan maupun undang-undang selalu terlambat dalam menghambat
terjadinya perilaku korupsi. Korupsi dalam kerangka ini adalah akses langsung
peningkatan peran politik kelompok baru yang sarat dengan sumber-sumber baru--upaya

5
setiap kelompok pemegang otoritas kekuasaan membuat mereka efektif dalam kegiatan
politik. 

 Ketiga, modernisasi mendorong korupsi dengan cara mengubah dan menghasilkan


sesuatu melalui sistem politik. Apabila pada masa lalu, titik berat peran pemerintahan
terletak di tangan eksekutif maka sekarang berubah yaitu legislatif juga ikut sebagai
pemegang peranan itu. Lihatlah misalnya bagaimana peranan legislatif yang mengurusi
bidang anggaran menjadi semacam lumbung untuk menghimpun pundi-pundi kekayaan
materi. Akhirnya, sekalipun modernisasi di satu sisi positif akan tetapi ia juga menjadi
kekuatan yang mengerikan karena ia tetapi ia bisa berubah menjadi monster yang
mengerikan. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, lebih banyak dipahami sekedar semboyan
untuk memenuhi amanat konstitusi. Seruan komitmen keberagamaan hanya tinggal
dikenal di rumah ibadat, pengajian, majelis taklim dan ketika ada peristiwa kematian.
Oleh karena itu, selayaknya bangsa Indonesia merumuskan kembali makna modernisasi
agar perjalanan kehidupan bangsa ini terhindar dari dampak pembiakan korupsi
sebagaimana pengalaman negara-negara lain.

2.3 Praktik-Praktik Korupsi di Indonesia, Korupsi dengan Latar Belakang Masyarakatnya


Di Indonesia masalah korupsi telah menjadi fokus utama. Di tingkat Asia Tenggara kita
termasuk Negara terkorup nomor satu. Praktek korupsi telah terjadi sejak zaman nabi sampai
dengan sekarang. Boleh dikatakan tindakan korupsi ini telah berusia seumur zaman. Bagaimana
perilaku penguasa dengan memperkaya diri sendiri dan menindas rakyatnya sudah ada sejak
zaman dahulu kala. Raja Fir’aun yang zalim memerintah dengan penuh kezaliman, menindas
rakyatnya dan mengumpulkan harta yang berlimpah untuk kesenangan ia dan keluarganya
sendiri. Zaman raja-raja di Indonesia juga menunjukkan perilaku korupsi. Setiap raja
memerintahkan kepada pejabat dibawahnya untuk memberikan berupa upeti. Pejabat dibawah
menindas rakyatnya untuk memenuhi keinginan sang raja. Sistem upeti merupakan hal yang
biasa dalam sistem kerajaaan Jawa zaman dahulu.

6
Pada masa kolonial Belanda, praktek ini juga terjadi. Praktek suap, setoran upeti, memungut
pajak dari rakyat untuk kepentingan memupuk kekayaan keluarga raja semata adalah praktek
korupsi yang telah berlangsung sejak zaman dahulu di Indonesia. Jadi praktek korupsi telah
berlangsung lama di Indonesia ada. Praktek korupsi merupakan perilaku negatif manusia dengan
mengorbankan makhluk lain dan sesama manusia. Lingkungan yang rusak adalah salah satu
contoh praktek korupsi di bidang kehutanan yang merugikan manusia.
Perilaku manusia yang terkait dengan korupsi dapat berdampak negatif kepada manusia
lainnya. Korupsi telah menyengsarakan semua sendi kehidupan manusia. Kasus Gayus terkait
dengan penggelapan pajak telah mengurangi pendapatan Negara. Dapat dibayangkan apabila
pelaku penggelapan pajak tidak hanya Gayus saja. Apabila seorang Gayus yang hanya PNS
golongan IIIA mampu melakukan penggelapan pajak ratusan milyar, bagaimana kalau pelakunya
juga melibatkan atasannya yang beberapa tingkat di atas. Baru satu kasus gayus. Satu gayus akan
menimbulkan kerugian ratusan milyar bagi Negara. Kerugian yang ditimbulkan akibat praktek
korupsi bisa menimbulkan ratusan triliun bahkan kalau di akumulasikan dapat mencapai ribuan
triliun. Jumlah ini bahkan bisa menyamai jumlah hutang negara Indonesia saat ini. Banyak pihak
yang menulis dan menyatakan bahwa apabila semua harta koruptor tersebut disita buat Negara,
maka seluruh hutang pemerintah RI sekitar Rp1.600 triliunan akan lunas.
Keserakahan manusialah, sebagai sifatnya yang tidak pernah puas, mendorong manusia
untuk melakukan praktek korupsi yang membabi buta. Gaji bukanlah ukuran seseorang untuk
melakukan korupsi. Gaji yang tinggi tidak menjamin manusia untuk tidak melakukan korupsi.
Sifat keserakahan, kerakusan, dan tindakan yang tidak berdasarkan pada hati yang terdalam
(nurani) telah membuat manusia tidak akan pernah puas.
Praktek korupsi di masyarakat telah merambah ke-segala sendi kehidupan. Kita terkadang
sulit membedakan apakah ini praktek korupsi atau tidak. Hal ini disebabkan adanya suatu kondisi
yang menganggap suatu praktek korupsi yang sudah biasa dan tidak dianggap itu sebagai korupsi
lagi. Masyarakat memandang seseorang yang dianggap sukses apabila ia mampu mengumpulkan
banyak harta berupa rumah yang bagus dan mobil mewah, meskipun dari sisi kedudukan dan
jabatannya sangat sulit kita menerima bagaimana caranya ia mampu mengumpulkan harta
sebanyak itu.

7
Namun masyarakat di lingkungannya tentu saja tidak melihat hal itu. Masyarakat cenderung
melihat hasil yang telah dicapai dalam bentuk materi tanpa memperhatikan bagaimana caranya
seseorang itu mendapatkannya. Pelaku korupsi cenderung melakukan perbuatan terpuji di tengah
masyarakat melalui sifat kedermawanannya. Pelaku sering memberikan sumbangan sosial ke
masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, membantu pembangunan Mesjid, bahkan
membangun Mesjid secara utuh di tempat kelahirannya. Pelaku korupsi juga suka membantu
masyarakat dhuafa. Meskipun demikian tidak semua pelaku korupsi bersikap dermawan. Tidak
sedikit dari mereka memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan agama dan budaya setempat.
Bagi pelaku korupsi yang memiliki sikap dermawan sering status sosialnya ditempatkan oleh
masyarakat dalam strata yang tinggi. Ada kekaguman masyarakat disitu terhadap pelaku korupsi.
Namun pelaku korupsi yang memiliki sikap kurang dermawanpun, tetap juga ditempatkan oleh
masyarakat sebagai orang yang sukses secara materi, karena dianggap sukses mengumpulkan
harta kebendaan dan kedudukan. Kedua tipe perilaku dari pelaku korupsi menimbulkan
kekaguman bagi masyarakat.

2.4 Korupsi Akibat Iklim Politik yang Tidak Sehat


Sumber Korupsi adalah Politik yang Tidak Sehat, Korupsi jelas menjadi musuh besar bangsa
manapun di dunia. Ia merusak segala sendi kehidupan, hingga mampu menghancurkan
peradaban. Korupsi yang melibatkan pembuat keputusan politik menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dimilikinya. Kaum elite mengontrol pemerintah, ini yang bahaya. Akibatnya kaum
elite yang mengatur sedemikian rupa agar negara membuka ruang hingga terjadi eksploitasi
hingga monopoli. Korupsi bukan sekadar musuh KPK, tapi korupsi juga musuh untuk peradaban.
Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan
sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk
merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab
tanpa memikirkan masyarakat kecil. Korupsi yang sudah menyandera pemerintahan pada
akhirnya akan menghasilkan konsekuensi menguatnya plutokrasi (sistem politik yang
dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis) karena sebagian orang atau perusahaan besar
melakukan ‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga pada suatu saat merekalah yang
mengendalikan dan menjadi penguasa di negeri ini.

8
Perusahaan-perusahaan besar ternyata juga ada hubungannya dengan partai-partai
yang ada di kancah perpolitikan negeri ini, bahkan beberapa pengusaha besar menjadi ketua
sebuah partai politik. Tak urung antara kepentingan partai dengan kepentingan perusahaan
menjadi sangat ambigu. Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai berbagai hajat hidup
orang banyak, seperti bahan bakar dan energi, bahan makanan dasar dan olahan,
transportasi, perumahan, keuangan dan perbankan, bahkan media massa pada saat ini setiap
stasiun televisi dikuasai oleh oligarki tersebut. Kondisi ini membuat informasi yang
disebarluaskan selalu mempunyai tendensi politik tertentu dan ini bisa memecah belah
rakyat karena begitu biasnya informasi.
Korupsi yang terjadi pada lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Indonesia
dan marak diberitakan di berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga tersebut hilang. Akhir-akhir ini masyarakat kita banyak menerima
informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Demokrasi yang diterapkan di Indonesia sedang menghadapi cobaan berat yakni
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya
tindak korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi pemerintah, legislatif atau
petinggi partai politik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya
kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.
Masyarakat akan semakin apatis dengan apa yang dilakukan dan diputuskan oleh
pemerintah. Apatisme yang terjadi ini seakan memisahkan antara masyarakat dan
pemerintah yang akan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Hal ini benar-benar harus diatasi
dengan kepemimpinan yang baik, jujur, bersih dan adil. Sistem demokrasi yang dijalankan
Indonesia masih sangat muda, walaupun kelihatannya stabil namun menyimpan berbagai
kerentanan.

2.5 Korupsi dan Administrasi Negara yang Simpang Siur


Telah disinggung sistem kepegawaian yang tidak sehat, yang menyangkut fungsi para
pegawai sebagai the man behind the gun yang kurang wajar. Akibat dari pola nepotisme
terjadilah banyak kepincangan dan peristiwa overbelast, kebanyakan jumlah pegawai.
Administrasi Negara tidak efisien dan budget untuk gaji pegawai tidak memadai lagi. Dengan

9
begitu administrasi menjadi semrawut, dan menjadi sumber kongkalikong. Banyak terjadi
penggelapan dan tindak salah urus.
Departemen-departemen berjumlah cukup besar, dengan bermacam-macam jawatan,
board, institut, lembaga-lembaga, komisi-komisi, tim-tim, dan dinas-dinas di bawahnya. Karena
tidak ada koordinasi dan kontrol yang terpusat, maka timbullah birokrasi dan overbirokratisasi.
Birokratisasi memudahlan berlangsungnya perbuatan-perbuatan menyeleweng, tidak a-moral,
penyogokan, dan korupsi.
Sistem Budget yang tidak terkontrol mengakibatkan praktik-praktik penggelapan, tindak
menyimpankan harta benda Negara, pengobralan uang Negara untuk kepentingan kelompok dan
pribadi, demi interes kawan dan keluarga. Pemborosan banyak dilakukan berdalih keperluan
dinas dan kesejahteraan rakyat banyak. Juga, dengan adanya sentralisasi kekuasaan yang terlalu
besar di tangan pejabat-pejabat yang kurang bertanggung jawab di bidang bea cukai dan
perpajakan, maka berkembanglah prakti penggelapan dan korupsi.
Dalam kenyataan sehari-hari, aparat pemerintah itu tidak bisa netral dan tidak objektif,
sering jadi berat sebelah. Artinya, tidak mengabdi kepada kepentingan umum juga tidak turut
memelihara ketertiban umum dan hukum. Sebaliknya justru menjadi instrument kekuasaan
bahkan menjadi kekuasaan itu sendiri. Juga bagi alat kaum politisi untuk terus berkuasa. Maka
birokrasi pemerintahan itu menjadi birokrasi politik dengan daya upaya intensif dari penguasa
untuk melanggengkan kekuasaan dan pelestarian sumber-sumber ekonomi serta kekayaan, juga
untuk mengawetkan pemusatan kekuasaan ini biasanya dijalankan dengan cara: (1) mengurangi
pertisipasi sosial-politik dari kekuatan-kekuatan sosial dan (2) mencegah mereka melakukan
intervensi kepada kekuasaan pusat.
Pegawai negeri dan pejabat tidak berfungsi sebagai abdi masyarakat (public servant), dan
tidak tanggap terhadap kebutuhan rakyat serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Sehubugan dengan ini, rakyat tidak sudi berurusan dengan aparatur pemerintah dan
birokrasi pemerintah, karena ikhtiar demikian dianggap sia-sia belaka dan jelas tidak efisien.
Aparatur pemerintah kurang dipercayai oleh rakyat, karena kelancaran pekerjaannya cuma
bergantung pada oli penyemir dan penyuapan.
Sebagai aparat pemerintah, birorasi ini lebih banyak memihak kepentingan pribadi
pejabat dan person penguasa. Ringkasnya birokrasi pemeirntah selalu dimuati dengan ambisi-

10
ambisi pribadi tokoh-tokoh politik, demi kepentingan-kepentingan pribadi, clan, familial, dan
golongan. Birokrasi yang keliru memunculkan monopoli dan oligopoly (oligo = kecil; poli,
pooleoo = menjual, oligopoly = hak-hak khusus dan pemilikan di tangan satu kelompok kecil).
Birokrasi demikian justru menghambat jalannya pembangunan. Dengan kata lain, hambatan
pembangunan itu justru disebabkan oleh aparat Negara yang tidak efisien dan korup.
Semakin tidak berkuasanya undang-undang dan peraturan formal dan semakin
semrawutnya kelembagaan pemerintah (birokrasi pemerintahan), makin menyuburkan korupsi.
Sistem pemerintahannya menjadi korup, pegawai dan pejabat menjadi korup, dan masyarakatya
menjadi ikut-ikutan korup. Muncullah kebudayaan korupsi sebagai bentuk deviasi situasional
kumulatif. Sehingga orang tidak mampu lagi membedakan antara yang benar dan salah, antara
jujur dan korup, antara kepentingan nasional dan umum dengan kepentingan pribadi. Dan jelas,
proses pembangunan mengalami hambatan-hambatan serius dari dalam.

2.6 Infiltrasi Bisnis ke dalam Pemerintahan


Korupsi itu berkembang pararel dengan pesatnya kemajuan kemajuan di bidang ekonomi,
usaha, dan perdagangan. Tambahan lagi, kebutuhan-kebutuhan yang menancap di sektor
transport, pertanian dan irigasi, pendidikan dan kesejahteraan rakyat, pembangunan Perumahan,
industri industri berat yang semuanya memerlukan budget miliar dan dollar, memberikan
kesempatan bagi kaum koruptor dan profitcur untuk menangguk keuntungan dalam kesibukan
pembangunan tersebut (vide persistiwa haji Taher di Pertamina, 1980). Konsentrasi jumlah uang
yang sangat besar di tangan beberapa orang atau sindikat perdagangan sering digunakan untuk
menggoyahkan Iman para pejabat atau fungsionaris melalui praktik penyuapan. bahkan tidak
sedikit pejabat, penegak hukum karma dan oknum angkatan bersenjata bisa dibeli dengan rupiah
atau dolar.
Tindakan-tindakan penyelewengan di bidang politik dan ekonomi itu jelas menurunkan
derajat moralitas politik dan moralitas bisnis. Kedua-duanya sama buruknya. Menurunnya kedua
moralitas itu menambah berkembangnya praktik-praktik korupsi. Maka berlangsunglah
rangkaian interelasi di antara kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, moralitas, korupsi dalam
wujud lingkaran setan atau vicious circle yang sulit dipecahkan. Disamping itu ada usaha-usaha
untuk mengendalikan dan mengontrol perdagangan secara intensif oleh pemerintah dan pejabat-

11
pejabat formal, sehingga ikhtiar ini menumbuhkan etatisme. peristiwa inilah justru menyuburkan
praktik-praktik penyelundupan, penyuapan, dan korupsi yang didalangi oleh kaum koruptor,
yaitu pejabat-pejabat dan para penegak hukum yang korup. Jelaskan bahwa relasi akrab antara
sektor bisnis dan pemerintah-akrab namun sifatnya deviatif atau menyimpang dalam periode
modernisasi dan pembangunan dewasa ini membuka banyak kesempatan bagi kaum koruptor
untuk menanggung keuntungan pribadi.
Penanaman modal asing dan hadirnya pengusaha-pengusaha asing di tanah air juga ikut
merangsang berkembangnya korupsi. Kekuasaan memberikan perizinan, fasilitas usaha, dan
monopoli ekonomi tertentu. disamping itu juga membuka kesempatan bagi pejabat pejabat
eksekutif dan tokoh-tokoh politik kunci untuk berbuat korupsi dengan dalih berhak mendapatkan
imbalan jasa dalam bentuk jutaan rupiah atau susunan dolar. Maka, para penanam modal dan
pengusaha asing itu harus pandai-pandai mengikat pertalian atau aliansi dengan para policy
makers dan decision makers, baik yang lokal maupun yang pusat.
Di negara kita ini, tampaknya lebih mudah bagi orang-orang muda yang ambisius untuk
menjadi tokoh politik terbuka atau menjadi menteri dalam satu kabinet melalui jenjang politik,
daripada mendapatkan sukses di bidang usaha dan bisnis. hal tersebut disebabkan karena fungsi
politik memberikan kesempatan luas untuk menduduki jabatan eksekutif. Dan jabatan ini
memberikan banyak fasilitas untuk beraliansi dengan tokoh-tokoh bisnis, ataupun membuat
macam-macam firma dan perusahaan sendiri. maka jalan paling singkat bagi pejabat-pejabat
kunci untuk mendapatkan keuntungan pribadi ialah dengan jalan mengadakan barter,
memberikan lisensi dan fasilitas-fasilitas dengan keuntungan jutaan rupiah atau dolar.
Orientasi pada uang dan harta kekayaan pada zaman modern sekarang, juga ambisi-ambisi
perorangan dan interest interest pribadi tampaknya berkembang subur dalam kondisi sosial yang
bebas sekarang, bahkan tampaknya menjadi semakin tidak terkendali. maka korupsi menjadi satu
aspek dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang tengah mengadakan usaha modernisasi.

2.7 ABRI dan Masalah Korupsi


Sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 sampai sekarang, Abi memainkan peranan
yang menentukan dalam perjuangan nasional. Indonesia juga mempunyai tokoh-tokoh militer
yang menduduki kursi kepemimpinan negara. kejadian ini memberikan keluangan untuk

12
dimanipulasi oleh profit profitcur profitcur dan koruptor-koruptor. keberhasilan usaha
pemerintah itu bergantung pada faktor tunggal: kepribadian yang jujur karakter dan mentalitas
kuat dan berfungsi sebagai penguasa. Jelaslah bahwa besar sekali peranan The Man behind the
gun titik maka korupsi penyelewengan dan kegagalan-kegagalan lainnya tidak sepatutnya hanya
ditimpakan kepada korps angkatan bersenjata atau korps pegawai sipilnya.
Pada setiap sistem pemerintahan yang bagaimanapun coraknya, pasti selalu ada oknum-
oknum penyimpangan dan penyelewengan dalam wujud sipil maupun yang berbaju seragam
militer dan polisi. Kurangnya karakter dan lemahnya mental para pejabat sipil maupun militer
yang melakukan tindakan korupsi itu selalu dijadikan objek kritikan dan dijadikan alasan oleh
pihak luar untuk melancarkan oposisi dan perlawanan. Peristiwa demikian ini adalah wajar
dalam iklim demokrasi.
Kekuasaan yang terlalu besar pada satu tangan, tanpa dibarengi sistem kontrol dan sanksi
yang seimbang akan mengakibatkan penyalahgunaan wewenang dan merangsang tindak korupsi.
namun disamping gejala sosial yang negatif itu, masih banyak tokoh militer yang bersih dengan
mental dan pribadi besar titik sebab, keprihatinan hidup selama perjuangan fisik dan periode
transisi memberikan pengembangan dan stempel pada karakter mereka. Dan tidak mudah
lumpuh oleh onggokan uang sehingga mereka masih mempunyai daya kritis guna memberikan
kontrol sosial. Masih banyak tokoh militer yang mematuhi kode profesi dan kode etik, dijiwai
oleh semangat pengabdian pada nusa dan bangsa titik dengan tegas mereka menyatakan: korupsi
adalah bahaya nasional yang bisa merongrong kestabilan negara. Sehingga perlulah tindak
korupsi itu diberantas seminimal mungkin dikurangi jumlahnya.
Intervensi-intervensi militer di bidang politik, eksekutif, dan yudikatif tampaknya merupakan
bagian integral dari proses pembangunan dan modernisasi politik. Ada beberapa ciri-ciri
karakteristik yang menonjol dari tokoh-tokoh militer sehingga mereka mampu melaksanakan
dwifungsi dan intervensi tersebut diatas adalah sebagai berikut.
1. Mereka memiliki keterampilan teknis dan kemampuan manajerial tinggi.
2. Mereka memiliki kohesi atau kepaduan internal yang sangat kokoh.
3. memiliki etik pengabdian kepada bangsa dan negara yang telah berulang-ulang diuji oleh
zaman dan dibuktikan dengan perbuatan perbuatan heroik di masa-masa lalu.

13
4. memiliki sikap pragmatis dan praktis, dan mampu melaksanakan politisasi terhadap
kekuatan-kekuatan sosial.
5. mempunyai mentalitas yang terbuka dan progresif sifatnya. Sehingga sistem militer
Indonesia sekarang ini merupakan sistem yang terbuka dan progresif.
semakin modern dan kompleks suatu masyarakat, makin sulit bagi tokoh-tokoh militer untuk
melaksanakan fungsi militer dan non militer secara simultan sedang sarana dan metode metode
pemecahan yang mereka gunakan menjadi tidak efektif lagi titik khususnya tokoh-tokoh militer
yang radikal dengan garis keras ( the hard liners) berpendirian, bahwa kau militer harus tetap dan
terus berkuasa. Mereka selalu menghalang-halangi orang-orang sipil untuk berpartisipasi politik
dan menduduki jabatan jabatan penguasa titik mereka juga akan merintangi Proses reformasi
struktural dari sistem politik yang ada.
Penyalahgunaan dwifungsi menjadi multifungsi demi interest interest sendiri ini yang perlu
dibatasi atau ditiadakan sama sekali dan harus ada retribusi dari kekuasaan dan kesejahteraan
yang lebih adil dan merata titik dengan begitu tindak korupsi bisa diminimalisasi menjadi
seminim mungkin.
Tokoh-tokoh militer itu pada awal pembangunan bisa benar-benar efektif sebagai pendiri
lembaga-lembaga politik. Karena itu mereka disebut sebagai agen modernisasi titik akan tetapi,
semakin kompleks masyarakatnya akan menjadi semakin terdiferensiasi dan berkembang
struktur sosialnya. peristiwa ini menjadi umpan balik bagi para tokoh militer penganut garis
keras untuk bersikap lebih keras lagi serta menolak dengan keras partisipasi politik yang lebih
luas dari masa intelektual orang-orang sipil, masa buruk serta tani.
maka untuk menjamin stabilitas politik dan pemerintahan interventif dari kaum militer ini, tidak
ada acara lagi selaku menempuh dua jalan dibawah ini, yaitu
1. membuka pintu lebih luas untuk pengembangan sistem politik, dan memberikan
kesempatan partisipasi politik lebih luas kepada kelompok-kelompok dan kelas-kelas
sosial lain yang mulai bangkit;
2. tetap tinggal menduduki jabatan jabatan sipil serta politik, namun dengan terus
mengembangkan keterampilan teknis dan keterampilan sosial politiknya tanpa
menyalahgunakan kekuasaan militer.

14
Dalam masyarakat yang modern dan kompleks, pemerintahan militer itu tidak bisa kokoh
berdiri tanpa bantuan orang-orang sipil. Pemerintahan militer hanya bisa stabil kuat apabila
mendapatkan dukungan dari sekelompok luar titik yaitu dari kaum intelegensia yang memiliki
sarana otak dan kebijaksanaan titik atau didukung oleh kaum buruh tani, dan golongan miskin
dari rakyat yang memiliki senjata pemukul berupa jumlah dan suara yang sangat besar. Adalah
sempurna apabila pemerintahan militer itu mendapatkan dukungan dari kedua golongan tadi.
Partisipasi politik aktif yang meluas dari unsur-unsur pedesaan di satu pihak bisa
melangsungkan kontrol sosial dan mengurangi tindak korupsi, dan mampu mengenali masalah
masalah atau kesulitan kesulitan lokal dan regional sendiri sehingga bisa melaksanakan
pembangunan secara lebih wajar. Sedang di lain pihak lagi, bisa menyehatkan dan mengembang
suburkan lembaga-lembaga politik di tanah air. Sebab cepat atau lambat, pemerintahan sipil
harus bisa ditegakkan kembali titik dan partisipasi politik yang semakin meluas dari bagian
terbesar rakyat dalam negara demokrasi yang menuju pada modernitas itu harus dapat
tertampung melalui kanal-kanal formal, demi stabilitas pemerintahan dan negara itu sendiri titik
stabilitas ini bisa tercapai apabila pemerintahan yang bersih (clean government) dan
dilaksanakan oleh pribadi-pribadi yang tidak korup.

2.8 Tanggapan Pemerintah dan Rakyat Terhadap Korupsi


Tanggapan pemerintah dan rakyat terhadap korupsi yaitu, pada Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42
ayat (5) menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian
penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan
tanggungjawab masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana
korupsi.
Di samping itu, dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih bergairah untuk
melaksanakan kontrol sosial terhadap tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara
lain mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan

15
hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang memberikan hak kepada
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tindakan diskriminatif mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka dalam Peraturan Pemerintah ini
diatur mengenai hak dan tanggungjawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kebebasan menggunakan hak tersebut
haruslah disertai dengan tanggungjawab untuk mengemukakan fakta dan kejadian yang
sebenarnya dengan mentaati dan menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum serta
hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai kewajiban pejabat yang berwenang atau
Komisi untuk memberikan jawaban atau menolak memberikan isi informasi, saran atau pendapat
dari setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebaliknya
masyarakat berhak menyampaikan keluhan, saran atau kritik tentang upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari menunjukan bahwa keluhan,
saran, atau kritik masyarakat tersebut sering tidak ditanggapi dengan baik dan benar oleh pejabat
yang berwenang.
Dengan demikian, dalam rangka mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pejabat yang berwenang atau Komisi
pemberantasan tindak pidana korupsi diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan
sesuai dengan tugas fungsinya masing-masing. Kewajiban tersebut diimbangi pula dengan
kesempatan pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi
menggunakan hak jawab informasi yang tidak benar dari masyarakat. Disamping itu untuk
memberi informasi yang tinggi kepada masyarakat, maka dalam Peraturan Pemerintah ini diatur
pula pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa terhadap upaya pencegahan dan
penanggulangan tindak pidana korupsi berupa piagam dan atau premi.

16
2.9 Saran-Saran Penanggulangan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu Negara ingin mencapai
tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur
dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan
menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi
secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penanggulangan korupsi yang
ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Menurut pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan agar
korupsi tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat. Didalam sebuah essay-nya yang
dimuat di Harian Republika mengatakan bahwa berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber,
didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Syariat Islam.
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-
baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik apabila gaji mereka tidak mencukupi, karena para
birokrat juga manusia biasa. Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang
diberikan kepada aparatur pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa
seseorang memberikan sesuatu kalau tidak ada maksud tertentu. Ketiga, perhitungan kekayaan.
Orang yang melakukan korupsi tentu kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak
selalu orang yang cepat kaya itu melakukan tindakan korupsi. Bisa saja dia mendapatkan
kekayaan itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau dengan cara lain yang halal. Keempat, teladan
pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para pemimpin, terlebih
pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin
melakukan tugasnya dangan penuh amanah.
Karena dengan taqwa pula ia takut untuk melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa
melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat
semuanya dan di akhirat nanti pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Kelima, hukuman yang
setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya,
termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal bagi para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah,
hukuman setimpal atas koruptor membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Keenam,
Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi.
Dari point-point tersebut dapat dieksplisitkan bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan

17
semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa
persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu,
korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah
yang terpadu.
Bahwa ada individu yang memang bejat, ingin kaya secara instant, atau setidaknya
dengan harta dengan jalan pintas, itu memang kenyataan di dunia ini. Tapi, individu yang baik
sebenarnya banyak. Andaikan di dunia ini lebih banyak yang tidak baik, tentu kehidupan tidak
bisa lagi berjalan dengan normal. Orang selalu dalam ketakutan karena tidak ingin ditipu, atau
semangat untuk menipu. Kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan dengan manusia, baik
berdagang maupun menikah.
Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang tidak
akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara” agar lolos
ujian sekolah atau dapat pekerjaan. Andaikata dua hal ini dicoba pada masyarakat yang memilki
persepsi sebaliknya, bahwa uang pelicin itu haram, dan nepotisme itu awal kehancuran, tentu
akan terjadi sasuatu yang berbeda. Budaya adalah sesuatu yang dapat dibentuk peran pendidikan
sangat besar. Para guru itulah yang menanamkan nilai-nilai sejak dini. Tentu saja mereka pula
yang berhak memberikan sikap keteladanan yang baik. Kalau sang guru sendiri dulu
mendapatkan pekerjaan dengan menggunakan uang pelicin atau lulus ujian guru dengan
mencontek, ya susah. Mereka merupakan bagian dari masalah dan bukan merupakan sebuah
solusi.
Budaya anti korupsi akan menghasilkan individu-individu anti-korupsi, yang akhirnya
akan menjadi aktor-aktor pencegahan atau pemberantasan korupsi. Pada masyarakat yang sarat
dengan korupsi, tentu saja sulit untuk mendapatkan individu-individu semacam ini. Namun
dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau suatu organisasi, budaya ini bisa
ditumbuhkan melalui pendidikan, keteladanan pemimpin dan lewat kampanya yang massif,
misalnya dengan pemasangan poster-poster yang akan mengingatkan orang akan dampak
mengerikan dari korupsi, atau azab Allah yang dijanjikan pada koruptor.
Namun juga strategi individual dan kultural terkadang masih belum cukup juga. Korupsi
juga terjadi dengan adanya aturan-aturan main yang salah. Sebagai contoh; aturan biaya mutasi
kendaraan yang lumayan tinggi (10% harga kendaraan), membuat sebagian orang enggan untuk

18
melakukan balik nama setelah membeli kendaraan bekas. Hasilnya, di beberapa daerah cukup
sulit menemukan mobil dengan nama pemilik sebenarnya pada STNK. Ketika ada PNS untuk
datang kedaerah itu dan akan menyewa mobil, yang ada hanyalah mobil seperti itu. Padahal di
aturan sewa kendaraan dalam pekerjaan pemerintah, diwajibkan nama pemilik mobil seperti
dalam KTP harus sama dalam nama STNK. Lalu solusinya apa? Solusi jangka pendeknya adalah
bisa menggunakan fotocopy STNK palsu atau menyuap agar petugas kantor kas Negara dan
auditor pura-pura tidak melihat. Cara yang lebih elegan adalah dengan membuat klausul
tambahan pada aturan yang formal berlaku, yang kalau tetap dalam bentuk sekarang ini, akan
menimbulkan akses yang rumit di lapangan.
Perubahan aturan-aturan ini dapat berupa aturan sewanya atau aturan balik nama
kendaraannya. Misalnya biayanya diturunkan, agar pemilik kendaraan tertarik untuk balik nama.
Contoh lainnya adalah hubungan kerja yang kabur, sehingga tidak jelas apakah seorang direktur
BUMN/BUMD itu perlu dibayar tinggi meskipun perusahaan merugi atau dia sebenarnya hanya
perlu digaji secukupnya, sedang penghasilan yang tinggi tergantung prestasinya. Dari beberapa
contoh diatas adalah contoh untuk merubah aturan dalam mencegah korupsi. Contoh yang lain
adalah aturan yang dapat memberantas korupsi setelah terjadi. Perhitungan kekayaan pejabat
setelah menjabat untuk dibandingkan dengan sebelumnya adalah salah satu ide yang baik. Kalau
ada peningkatan yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk Negara,
atau yang bersangkutan dipidana.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi
sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran
tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan
pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi
yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran
yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang
semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan

19
resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup,
begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi,
misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa
meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal(dalam Lubis, 1987) memberi saran penanggulangan korupsi yaitu
agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang
perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang
lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh
mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya
diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk Polisi harus diperkuat, hukum
pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang
yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara
melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup
ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu mulai melihat
masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya
korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi Nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan Nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan
jumlah Kementerian beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan Pegawai Negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur

20
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan
negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek.
Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang
Negara untuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan,
kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di
berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
3.2 SARAN
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan pencegahan korupsi
dapat dimulai dari hal yang kecil

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer.
Jakarta: LP3ES.
Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial jilid 1. Bandung: Rajawali Press

23

Anda mungkin juga menyukai