Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Nilai nilai keteladanan tokoh


Nahdatul ulama Dan Muhammadiyah
Di susun untuk memenuhi tugas
Mata pelajaran : Pendidikan agama island dan budi pekerti
Guru : Hermaniyah S.pd

KELAS 12 PIPS 3
Oleh:
1. Rizky abdullah
2. Syahrul ramadhan
3. Muhammad Iqbal
Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, sehingga saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

JUDUL.......................................................................................................................I
KATA PENGANTAR ..................................................................................................II
DAFTAR ISI..............................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................IV
Latar Belakang Masalah .....................................................................................................................IV
Tujuan Penulisan.................................................................................................................................IV
Sumber Data ......................................................................................................……...........................IV

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................V
Nilai-Nilai Keteladanan Tokoh Nahdatul Ulama Dan Muhammadiyah....................................V – XVIII

BAB III PENUTUP........................................................................................................XIX


Kesimpulan........................................................................................................................................XIX
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Makalah ini saya tujukan khususnya untuk kalangan remaja, pelajar dan generasi muda yang
tidak lain adalah sebagai generasi penerus bangsa agar kita semua mengenal nilai-nilai
keteladanan tokoh nahdatul ulama.

1.2 TUJUAN PENULISAN

1. Sebagai media informasi tentang keteladanan tokoh nahdatul ulama.


2. Sebagai referensi bagi siswa-siswi untuk membuat makalah pendidikan agama islam
dan budipekerti ataupun makalah tentang orgnisasi islam dalam rangka untuk memenuhi
tugas sekolah.

1.3 SUMBER DATA

1. Referensi Meneladani Tokoh nahdatul ulama


BAB II
PEMBAHASAN

KH Abdul Razaq Fachruddin dan akrab disapa Pak AR. Beliau wafat di Yogyakarta pada
1995 dalam usia 79 tahun. Semasa hidupnya yang diisi dengan khidmah kepada Islam dan
Indonesia penuh dengan keteladanan yang patut ditiru generasi masa kini.

Kendati kami pernah bertemu, tapi kami tidak banyak merekam perilaku dan
keteladanannya kecuali melalui putra-putra beliau, khususnya Mas Luthfi Purnomo, salah
seorang putra beliau yang sangat akrab dengan kami sejak mengenalnya tahun 1970-an
sampai sekarang.

Mas Luthfi, begitu ia akrab disapa, pernah bercerita kepada kami. Suatu saat ia berkata
kepada ayahandanya apakah beliau berkenan apabila ia suatu saat nanti berkiprah di luar
Muhammadiyah. Maklum, Pak AR adalah ketua umum PP Muhamadiyah sehingga Mas
Luthfi mungkin menyangka ayahandanya tidak berkenan kalau anak-anaknya berkiprah di
luar Muhammadiyah.

Ternyata jawaban beliau luar biasa, "Yo ora opo-opo. Kowe ora kudu nang Muhammadiyah
(Ya tidak apa-apa, kamu tidak harus di Muhammadiyah)." Kami langsung teringat sikap KH
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (wafat 1947) yang tidak pernah mengharuskan
putra-putrinya menjadi orang NU. Alangkah indahnya perilaku para pemimpin kita itu
dalam menyikapi perbedaan.

Bagi KH Hasyim Asy’ari, Islam itu bukan hanya NU. Demikian pula bagi Pak AR, Islam itu
bukan hanya Muhammadiyah. Bagi mereka, kebenaran adalah ajaran yang mengacu
kepada Alquran dan hadis, dan itu ada di mana-mana. Surga juga sangat luas. Setiap
Muslim akan masuk ke dalam surga. Dan jalan ke surga juga banyak, bukan hanya
Muhammadiyah dan NU.

Bandingkan misalnya dengan para aktivis bawahan yang menjadikan surga yang luas itu
sempit karena tidak ada yang dapat masuk surga kecuali kelompoknya saja. Sementara,
jalan menuju surga hanya ada satu, yaitu lorong sempit kelompoknya saja. Sehingga
mereka memvonis Muslim yang bukan kelompoknya sebagai kafir.

Karenanya muncul ungkapan ada dua macam wali, wali songo atau wali sembilan dan wali
sempalan. Wali sembilan kerjanya mengislamkan orang-orang kafir, sedangkan wali
sempalan kerjanya mengafirkan orang-orang Islam.

Sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pak AR pernah ditawari jabatan
menteri agama, tapi beliau tidak menerimanya. Ketika ditanya alasannya, Pak AR menjawab
bahwa jabatan menteri agama itu tanggung jawabnya berat di akhirat dan beliau tidak
sanggup mengemban amanah itu.

Tampaknya Pak AR dibimbing oleh hadis Nabi SAW yang menyatakan jabatan itu akan
menjadi penyesalan di akhirat sehingga apabila memang dirasa berat tanggung jawabnya
lebih baik tidak menerimanya. Ketika hal ini kami ceritakan kepada seorang kawan, dia
berkomentar, "Pada masa sekarang mungkin tidak ada orang yang seperti Pak AR itu."

Pada masa Orde Baru, terkadang ada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pas menurut
Pak AR. Namun, beliau memiliki cara sendiri untuk mengkritisi dan menasihati pemerintah.
Beliau tidak mengumpulkan wartawan kemudian menggebuki pemerintah melalui media
massa. Beliau justru menghadap Pak Harto dan memberikan nasihat atas kebijakan
pemerintah.

Cara beliau ini tampaknya dipandu oleh hadis Nabi riwayat Imam al-Hakim, "Apabila kamu
mau menasihati penguasa, maka janganlah kamu menasihatinya secara terbuka, tetapi
ajaklah ia ke tempat sepi kemudian nasihatilah. Apabila nasihat itu diterima, maka itu yang
diharapkan dan apabila tidak diterima, maka kamu telah bebas dari tanggung jawab."

Ketika negeri ini masih memiliki lembaga yang disebut Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
Pak AR pernah menduduki jabatan sebagai anggota DPA. Beliau pun mendapatkan jatah
mobil. Namun, belakangan mobil tersebut diserahkan kepada Muhammadiyah, padahal
beliau berhak memilikinya.

Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab bahwa beliau diangkat sebagai anggota
DPA itu karena kapasitasnya sebagai tokoh Muhammadiyah, bukan karena pribadinya.
Karenanya, mobil yang diterima karena menjadi anggota DPA menjadi hak Muhammadiyah,
bukan haknya sendiri.

Tampaknya Pak AR dipandu oleh hadis sahih riwayat Imam Muslim di mana seorang
sahabat yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah RA ketika diutus Nabi SAW untuk menghimpun
zakat dan jizyah dari warga Bahrain, setelah pulang ke Madinah dan menghadap Nabi SAW,
ia mengatakan, "Ini untuk Nabi dan ini adalah hadiah untuk saya dari warga Bahrain."

Nabi kemudian berpidato di hadapan para sahabat, "Ada orang yang saya utus untuk
memungut zakat dan jizyah di Bahrain. Setelah pulang, dia mengatakan, 'Ini untuk engkau
wahai Rasul, dan ini untuk saya, hadiah dari warga Bahrain'." Nabi kemudian mengatakan,
"Sekiranya dia akan mendapatkan hadiah, mengapa dia tidak duduk saja di rumahnya.
Nanti hadiah itu akan datang sendiri ke rumahnya."

Dari hadis ini para ulama berpendapat, hadiah seseorang yang diperoleh karena jabatannya
adalah milik lembaga di mana ia menjabat, bukan miliknya pribadi. Dan itulah yang
dilakukan Pak AR Fachruddin. Bandingkan misalnya dengan oknum-okum tokoh masa kini
yang semula termasuk berkantong kempes, tetapi dengan menggunakan lembaga atau
organisasinya, ia menggendutkan rekeningnya.

Perilaku Pak AR ini memang dibimbing oleh agama karena beliau mendalami agama dulu
sebelum menjadi pemimpin, seperti disebutkan dalam hadis Ibnu Umar RA, "Dalamilah
agama sebelum kamu menjadi pemimpin." Sementara banyak orang sekarang menjadi
pemimpin tanpa pernah mendalami agama lebih dulu sehingga perilakunya tidak dipandu
oleh agama tetapi dipandu emosi dan hawa nafsu.

Tampaknya perilaku Pak AR inilah yang menyebabkan tokoh NU KH M Yusuf Hasyim yang
akrab disapa Pak Ud, ketika dalam perjalanan darat dari Tebuireng ke Jakarta dan sampai di
Brebes, beliau mendengar dari radio mobilnya bahwa Pak AR wafat, maka Pak Ud tidak
melanjutkan perjalanannya ke Jakarta, melainkan kembali berputar menuju Yogyakarta
untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Pak AR.

Semoga keteladanan Pak AR ini dapat menjadi seteguk air yang menghilangkan kedahagaan
umat Islam akan keteladanan seorang pemimpin.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah Perjalanan NU juga tak dapat dile¬pas¬kan dari sosok Kiai
Wahab, karena dialah penggagasnya dan dia pula yang menjadi motornya sejak awal.

Kiai Wahab, yang lahir pada 1888 (ada yang menyebut 1883, 1884) di Tam¬bakberas,
Jombang, sejak kecil hi¬dup dalam lingkungan pesantren. Ayah¬nya, Kiai Hasbullah, adalah
putra Kiai Sa‘id, salah seorang keturunan Sunan Pandan Aran. Ibunya, Nyai Lathifah, juga
dari kalangan terkemuka pula.

Setelah mendapat didikan langsung dari kedua orangtuanya di Pesantren Tambakberas


hingga usia 13 tahun, Wahab menjadi santri kelana dari satu pesantren ke pesantren
lainnya, baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah, di an¬taranya pesantren-pesantren di
Mojo¬sari Nganjuk, Branggahan Kediri (Kiai Faqihuddin), Kademangan Bangkalan (Kiai
Cholil), Tebuireng Jombang (Hadra¬tusy Syaikh Hasyim Asy‘ari), dan ter¬akhir, seperti putra-
putra kiai umumnya, ia menimba ilmu di Makkah selama tiga sampai empat tahun.

Selama di Makkah, ia belajar kepada sejumlah ulama ternama, seperti Syaikh Mahfuzh
Tremas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Abdul Hamid Kudus, Syaikh Baqir
Yogyakarta, Syaikh Muhtaram Banyumas, Syaikh Asy‘ari Bawean, Syaikh Sa‘id Al-Yamani,
Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani, dan Syaikh Umar Bajunaid.

Pada tahun 1914, K.H. Abdul Wahab Hasbullah pulang ke tanah air. Dengan bekal
pengalaman selama di Makkah, pemuda asal Tambakberas Jombang ini bertekad
mengembangkan pendidikan modern bagi kaum Ahlussunnah wal Jama’ah di tanah air.
Sesampainya di tanah air, Kiai Wa¬hab segera merancang program. Sete¬lah mengunjungi
gurunya, K.H. Hasyim Asy‘ari, ia mulai mengembangkan jaring¬an dengan menghubungi
sejumlah te¬man saat di Makkah. Orang pertama yang dihubungi adalah Abdul Halim asal
Leuwimunding, Majalengka. Sebelum¬nya, pemuda yang juga dikenal aktivis itu tinggal di
Majalengka, Jawa Barat. Di sana ia berhasil menghimpun para pe¬muda Islam dalam
organisasi Hayatul Qulub, yang kemudian menjadi Persyari¬katan Ulama.

Demi dakwah dalam cakupan yang lebih besar, akhirnya Kiai Abdul Halim rela meninggalkan
Majalengka untuk ting¬gal di Surabaya, menemani Kiai Wahab.

Setelah menemukan partner, Kiai Wa¬hab berniat menggandeng teman satu¬nya lagi saat
di Makkah. Mas Man¬sur namanya, yang kemudian dikenal se¬bagai K.H. Mas Mansyur dan
menjadi tokoh Muhammadiyah yang terkenal.

Mereka bertiga sepakat bahwa, ka¬rena dalam SI, organisasi keislaman yang saat itu
dianggap paling mantap dan war¬na politiknya terlalu kental, sedangkan yang dibutuhkan
adalah gerakan yang bergerak di bidang sosial-keagamaan dan pendidikan, perlu dibentuk
satu wa¬dah baru, tanpa meninggalkan peran ser¬ta mereka bertiga di SI. Maka, setelah
mendapat dukungan dari berbagai pi¬hak, seperti Ketua SI, H.O.S. Tjokro¬ami¬noto,
masyarakat, dan tokoh agama Surabaya, temasuk para dermawan yang dipelopori H. Abdul
Kahar, mereka mendirikan satu gedung megah di Sura¬baya guna difung¬sikan sebagai
sekolah agama (madrasah).

Madrasah yang diberi nama Nah¬dlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dan berbadan
hukum pada 1916 itu, di¬kelola bersama, dengan susunan peng¬urusnya: K.H. Abdul Kahar
(direktur), K.H. Wahab Chasbullah (pemimpin ke¬ulamaan), dan K.H. Mas Mansyur (ke¬pala
sekolah), dibantu oleh K.H. Abdul Halim, K.H. Ridwan Abdullah, K.H. Bisri Syan¬suri, dan K.H.
Abdullah Ubaid.

Di kemudian hari, Nahdlatul Wathan (NW) mendapat sambutan positif dari umat Islam,
dikenal sebagai tempat me¬nimba ilmu pengetahuan sekaligus pusat pengkaderan kaum
muda dalam aspek kebangsaan.

Setelah Mas Mansyur mengundur¬kan diri karena perbedaan visi dan memilih aktif di
Muhammadiyah, NW membuka cabang di beberapa kota, seperti Pasu¬ruan, Lawang-
Malang (Far‘ul Wathan), Jombang (Hidayatul Wathan), Sidoarjo, Gresik (Far‘ul Wathan),
Semarang (Akhul Wathan), dan Surabaya sendiri, yaitu di Wonokromo (Ahlul Wathan) dan di
Pacarkeling (Khithabul Wathan).

Selain itu, dari NW lahir dua organi¬sasi lain, yaitu Jam‘iyyat Nashihin (Orga¬nisasi para Dai),
yang didirikan oleh para alumnus NW, dan Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).

Atas inisiatif Kiai Wahab juga, pada 1919 para tokoh pemuda itu berhasil men¬dirikan
kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pemotretan Pemikiran), yang ber¬lokasi dekat Ampel
Surabaya. Dari ke¬lompok diskusi yang membahas berba¬gai masalah keagmaan dan sosial
ke-masyarakatan, Tashwir berkembang, de¬ngan didirikannya madrasah tingkat da¬sar.
Setahun sebelumnya (1918), Kiai Wahab juga mendirikan organisasi yang bergerak di bidang
ekonomi. Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang) nama¬nya, berbentuk koperasi,
yang sa¬hamnya dimiliki oleh para kiai.

Puncaknya, pada tanggal 31 Januari 1926, atas dasar kesepakatan para kiai, dibentuklah
Nahdlatul Ulama. Meskipun Kiai Wahab yang menggagas ide itu se¬kaligus
memperjuangkan realisasinya, ketika ide itu menjadi kenyataan ia tidak mau tampil sebagai
orang nomor satu. Ketika kepengurusan NU tersusun, ia duduk sebagaikatib ‘am (sekretaris
umum) di jajaran Syuriah.

Tak dapat dipungkiri, salah satu ke¬lebihan Kiai Wahab adalah memiliki ide brilian sekaligus
semangat besar untuk dapat mewujudkannya. Termasuk dalam bidang pendidikan.

Seperti cita-citanya di Makkah, yaitu bertekad mengem¬bang¬kan pendidikan modern bagi


kaum Ahlus¬sunnah wal Jama‘ah di tanah air. Sesampai di sini tak sedikit yang ia laku¬kan
demi kemajuan pesantren, hingga boleh dibilang ia adalah pelopor refor¬masi dunia
pesantren.

Jika sebelumnya sistem pengajaran di pesantrennya berjalan secara alami, ia kemudian


memperkenalkan sistem klasikal. Karena dianggap menyerupai sistem Belanda, ayahnya,
Kiai Hasbullah pun tak setuju.

Kiai Wahab tidak menyerah, tetapi ti¬dak pula melakukan perlawanan. Ia pin¬dahkan
sekolah itu ke pesanten milik pa¬mannya, sekitar satu kilometer dari Tambaberas.

Akhirnya, melihat manfaat yang di¬hasil¬kan lebih besar, sang ayah pun da¬pat menerima,
bahkan menyediakan ke¬las khusus untuk sistem yang baru itu.

Setelah itu, terobosan lain pun ia la¬kukan. Ia mendukung berdirinya Pesan¬tren Putri
Denanyar Jombang, yang di¬asuh oleh iparnya, Kiai Bisri Syansuri. Pa¬dahal, Kiai Hasyim
Asy‘ari pada awal¬nya tidak menyetujui. Setelah tidak ada masalah, baru pesantren putri
pun di¬buka di Tambakberas (PP Al-Lathifiah).

Budaya tulis-menulis di NU pun tak lepas dari peran Kiai Wahab. Tak lama setelah NU
berdiri, ia menerbitkan (se¬kaligus memimpin selama tujuh tahun) majalah dwimingguan
bernama Suara Nahdlatul Oelama. Pada era K.H. Mach¬fudz Shiddiq, majalah itu berganti
nama menjadi Berita Nahdlatul Ulama.

Maka sejak itu, media-media NU lain pun bermunculan, di antaranya Suluh Nah¬dlatul
Ulama, di bawah pimpinan Mathari Basyar, Suara Ansor, yang di¬pimpin Umar Burhan,
Terompet Ansor, di¬asuh oleh Tamyiz Chudlari, dan maja¬lah berbahasa Jawa Penggugah,
yang dikelola secara berurutan oleh Kiai Ra¬den Iskandar dan K.H. Saifuddin Zuhri.
Sayangnya, di saat Jepang mengambil alih kekuasaan, semua media di atas dilarang terbit.

Sebagai pemimpin, Kiai Wahab tidak pernah berbuat semena-mena atau oto¬riter,
melainkan bertindak bijak, demo¬kratis, dan moderat. Tidak hanya sekali-dua kali ia
mengupayakan mencari titik temu antara tokoh pemuda yang terpe¬ngaruh paham Wahabi
dan yang tetap melestarikan nilai-nilai tradisional, meskipun hasilnya tidak optimal.
Dengan para tokoh non-NU pun ia men¬jalin hubungan. Dengan pendiri Mu-hammadiyah,
K.H. Ahmad Dahlan, mi¬salnya, ia pun berhubungan. Beberapa kali Kiai Wahab bertandang
ke kediam¬annya di Yogyakarta. Demikian juga de¬ngan pendiri Al-Irsyad, Syaikh Ahmad
Surkati.

Dengan kalangan nasionalis dan kaum non-muslim pun, Kiai Wahab juga di¬kenal dekat,
tidak eksklusif. “Saya me¬ngenal Kiai Wahab sebagai tokoh yang terbuka dan luwes, bisa
bergaul dengan berbagai kalangan. Ia tokoh yang sangat inklusif,” tutur sesepuh PNI, Ny.
Supeni, suatu ketika. Ia pun menambahkan, be¬tapa kehadiran Kiai Wahab di gedung DPR
bak oase yang menyejukkan.

K.H. Bisri Syansuri juga seorang to¬koh besar NU dan hingga akhir hayatnya sangat
disegani di Indonesia. Ilmunya mendalam dan pandanganya luas. Ia pun mempunyai
kearifan yang menga¬yomi semua orang dari semua tingkatan. Seorang pelindung umat
yang berwi-bawa.
Ia tokoh pendiri NU yang paling be¬lakangan berpulang ke rahmatullah. To¬koh pendiri NU
yang lain-lain, di antara¬nya K.H. Hasyim Asy‘ari, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Raden
Asnawi, K.H. Maksum Lasem, K.H. Mas Alwi, dan lain-lain, telah mendahuluinya.

Di masa hidupnya, K.H. Bisri Syan¬suri juga menjadi rais ‘am Partai Persa¬tuan
Pembangunan. Ia pula yang per¬tama kali mengusulkan gambar Ka‘bah sebagai tanda
gambar PPP dalam Pe¬milu 1977 sebagai hasil dari istikharah¬nya.

Di kalangan NU, sepeninggal K.H. Hasyim Asy‘ari, K.H. Abdul Wahab Has¬bul¬lah dan K.H.
Bisri Syansuri men¬jadi sepasang tokoh ulama yang saling me¬ngisi. Dapat diibaratkan
semacam dwi¬tunggal dalam kepemimpinan pusat. Kiai Wahab lebih muda dua tahun tetapi
ia menjadi kakak ipar Kiai Bisri, karena istri Kiai Bisri, yaitu ibunda Ibu Sholihah Wa¬hid
Hasyim, adalah adik langsung Kiai Wahab.

Semenjak muda, kedua tokoh itu sa¬ling berkompetisi dalam menuntut ilmu. Keduanya
sama-sama cakap, rajin, dan pandai berdiskusi. Suatu ketika kedua pemuda itu pernah
belajar di bawah satu atap sama-sama dalam asuhan K.H. Hasbullah, ayahanda Kiai Wahab.
Ke¬dua tokoh ini juga mempunyai tempat ber¬pijak yang sama dan pangkal orien¬tasi yang
sama, dan sama-sama memi¬liki perbendaharaan ilmu yang dalam dan luas. Hanya saja,
dalam penerapan ilmunya kelak saat dipraktekkan di ma¬syarakat, mereka mempunyai jalan
pe¬mikiran yang berbeda.

Begitu banyak permasalahan hukum Islam yang diterapkan dalam masyara¬kat. Dalam hal
ini, Kiai Wahab dan Kiai Bisri sering mempunyai perbedaan ke¬putusan.

Memang, di dalam setiap hukum yang bukan qath‘i (yang sudah pasti dan sudah sangat
jelas) terdapat beberapa pendapat di kalangan ahli-ahli hukum Islam. Dalam persoalan-
persoalan hu¬kum yang bukan qath‘i ini, Kiai Wahab men¬dasarkannya pada pertanyaan:
Bisakah masyarakat menanggung kon¬sekuensinya?

Tujuan hukum adalah untuk ditaati, ka¬rena itu Kiai Wahab memilih hukum yang paling
ringan (selama masih dalam batas-batas hukum), yang kira-kira bisa dipikul oleh
masyarakat. Itu sebabnya, ia dipandang oleh orang yang tidak menguasai masalah hukum
Islam se¬bagai mempermudah hukum. Yang lebih ekstrem terkadang menuduhnya
men¬jual Islam.

Pangkal berpikir Kiai Wahab adalah demikian: Buat apa menerapkan hukum yang berat jika
ada hukum yang lebih ringan sehingga bisa dipikul oleh ma¬syarakat. Bukankah tujuan
hukum untuk dipraktekkan?

Adapun pangkal berpikir Kiai Bisri didasarkan pada faktor mental manusia. Pada umumnya
manusia itu selalu hen¬dak menghindar dari hukum, bagaimana pun ringannya hukum itu.
Maka, lebih baik diterapkan hukum yang berat, ka¬rena bakal ditawar juga. Maka jika
sese¬orang melanggarnya, ia masih bisa di¬tampung oleh hukum yang lebih ringan.

Perbedaan-perbedaan antara Kiai Wahab dan Kiai Bisri tetap saja berlang¬sung meski
keduanya telah diikat men¬jadi saudara ipar. Bahkan hingga kedua¬nya telah menjadi tokoh
terkenal di NU.

Namun, perbedaan pendapat itu ha¬nya di saat musyawarah atau berdiskusi. Di luar itu,
hubungan keduanya sangat mesra, saling mencintai dan saling meng¬hormati. Jika kedua
ulama besar itu kebetulan sedang berjalan, tidak per¬nah Kiai Bisri mengambil posisi sejajar,
melainkan mengambil posisi di belakang Kiai Wahab, sekitar setengah meter atau satu
meter. Kiai Bisri pun tak pernah mau menjadi imam shalat selagi masih ada Kiai Wahab,
meskipun Kiai Wahab sen¬diri yang memintanya.

Seperti itu pulalah sikap hormat dan rasa cinta yang diperlihatkan oleh Kiai Wahab. Jika
kebetulan keduanya se¬dang menikmati hidangan, Kiai Wahab tidak segan-segan
mengambilkan lauk paling enak ke piring Kiai Bisri, baru ke¬mu¬dian mengambil untuk
dirinya sendiri bila dirasakan sudah waktunya harus ma¬kan. Jika kebetulan Kiai Wahab
ma¬kan di sebuah warung makan, selesai makan ia tidak lupa membelikan apa-apa yang
paling enak dan minta dibung¬kuskan untuk oleh-oleh buat Kiai Bisri.

Ketika Kiai Wahab dipilih dalam Muk¬tamar NU memangku jabatan rais akbar (pemimpin
terbesar) sepeninggal K.H. Hasyim Asy‘ari, ia menolaknya. Ia tidak mau menerima jabatan
rais akbar. Ia minta jabatan itu diganti menjadi rais ‘am (pemimpin umum). Alasannya,
“Jabatan rais akbar hanya layak bagi K.H. Hasyim As‘ari, dan bukan bagi saya.” Maka
ke¬mudian jadilah K.H. Wahab Hasbullah sebagai rais am pertama.

Ketika Muktamar NU di Bandung me¬milih K.H. Bisri Syansuri menjadi rais ‘am (mengingat
K.H. Abdul Wahab Hasbul¬lah sedang menderita sakit sehingga diang¬gap oleh segolongan
muktamirin seba¬gai telah uzur), ia berdiri di atas podium dan dengan lantang berkata,
“Saya tidak bersedia dicalonkan maupun dipilih men¬jadi rais ‘am selagi K.H. Abdul Wahab
Hasbullah masih ada!
K.H. M. Hasyim Asy‘ari Pada tanggal 31 Januari 1926, K.H. Hasyim Asy‘ari bersama
muridnya, K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1871), dan banyak tokoh ulama lainnya,
men¬dirikan Nahdlatul Ulama. K.H. Hasyim Asy‘ari adalah pemimpin pertama orga¬nisasi ini
dan disebut sebagai pemimpin terbesar, ra‘is akbar. Kharisma dan ke¬pemimpinannya
sangat mendukung per-kembangan organisasi ini.

Tokoh yang ketika lahir diberi nama Muhammad Hasyim ini lahir dari keluar¬ga elite Kiai
Jawa pada 24 Dzulqa‘dah 1287 H (14 Februari 1871) di Desa Ge¬dang, sekitar dua kilometer
sebelah timur Jombang.

Ayahnya, Asy‘ari, adalah pen¬diri Pe¬santren Keras di Jombang. Mu¬hammad Hasyim


adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafi‘ah, Ah¬mad Saleh, Radiah, Hassan,
Anis, Fa¬tanah, Maimu¬nah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Sam¬pai umur lima tahun, ia
ber¬ada da¬lam asuhan orangtua dan ka¬keknya di Pesantren Gedang.

Ia kemudian belajar di beberapa pe¬santren di Jawa sebelum melanjutkan pen¬didikan


lanjutan ke Makkah. Guru-gurunya di Makkah di antaranya Syaikh Mahfuzh Tremas, Syaikh
Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Ahmad Khathib Minang¬kabau, Sayyid Abu Bakar Syatha, dan
banyak lagi tokoh terkenal lainnya.

Sepulangnya ke tanah air, ia mendiri¬kan Pesantren Tebuireng di Jombang yang terkenal


dengan ilmu haditsnya. Pe¬santren ini kemudian menelurkan ba¬nyak kiai yang menjadi
pendukung aktif NU.

Dari waktu ke waktu Pesantren Tebu¬ireng berkembang sangat pesat dan ketokohan K.H.
Hasyim Asy‘ari pun terus menguat. Ia kemudian menjadi figur ulama yang sangat dihormati
di Jawa sejak awal abad ke-20. Gurunya, Kiai Cholil dari Bangkalan, Madura, juga
menunjukkan rasa hormat kepada K.H. Hasyim Asy‘ari dengan sesekali meng¬ikuti
pengajian-pengajian yang diasuh K.H. Hasyim Asy‘ari pada bulan Ra¬ma¬dhan. Hal ini
mendorong para kiai Jawa yang lain menganggap K.H. Hasyim Asy‘ari sebagai guru mereka.
Sehingga setelah meninggalnya Kiai Cholil, ke¬pemimpinan spiritual atas para kiai
ter¬limpah kepada K.H. Hasyim Asy‘ari.

Maka sejak tahun 1920-an ia telah menjadi tokoh sentral ulama Jawa. Ke¬besaran seorang
kiai tidak saja diukur dari jumlah santri yang diberi pelajaran, tetapi juga jumlah santri yang
kemudian menjadi kiai dan pemimpin masyara¬kat¬nya. Dengan standar ini, K.H. Hasyim
Asy‘ari adalah contoh yang paling ber¬hasil, mengingat sangat banyak santri¬nya yang
kemudian menjadi ulama ter¬kenal: K.H. Abdul Wahab Hasbullah, sa¬lah seorang pendiri
NU, K.H. Abbas, pen¬diri Pesantren Buntet, Cirebon, K.H. As‘ad Syamsul Arifin, pendiri
Pesantren Sukorejo, K.H. Bisri Syansuri, pendiri Pe¬santren Denanyar, Sukorejo, K.H. Manaf
Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo, Kediri. Juga, K.H. Masykur, yang ke¬mu¬dian
menjadi menteri agama, yang se¬lama dua tahun belajar di Pesantren Tebu¬ireng, dan K.H.
Saifuddin Zuhri, yang juga menjadi pernah menjadi men¬teri agama, yakni pada masa
Demokrasi Terpimpin. Wajar jika kemudian Pesan¬tren Tebuireng di masanya disebut
se¬bagai “kiblat” pesantren di Jawa.
Perannya tidak hanya di lingkungan NU. Pada akhir 1930-an ia menjadi ketua federasi
organisasi-organisasi Islam, MIAI (Majlis Islam A‘la Indonesia). Dalam kapasitasnya sebagai
ketua federasi ini, ia berperan dalam penggabungan MIAI de¬ngan gerakan-gerakan
nasionalis yang menghasilkan federasi politik GAPI (Gabungan Politik Indonesia), yang
me¬nuntut Belanda agar membentuk perwa¬kilan rakyat yang representatif (Indone¬sia
Berparlemen) bagi rakyat pribumi.

Ia juga pernah mengeluarkan fatwa agar umat Islam menolak wajib militer dari pemerintah
Belanda dalam usaha¬nya mempersiapkan diri menghadapi Jepang pada 1940-an serta
fatwa lain yang melarang donor darah untuk ke¬pentingan perang Belanda.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, K.H. Hasyim Asy‘ari dipenjara beberapa hari, tetapi
kemudian dibebaskan ketika pemerintah Jepang mengubah politik me¬reka ke arah yang
lebih mendekati kelompok muslim. Ia juga memimpin Masyumi semasa pendudukan
Jepang.

Saat perang kemerdekaan meletus di Surabaya pada 10 November 1945, ia mengeluarkan


fatwa yang menyata¬kan bahwa mempertahankan kemerde¬ka¬an Indonesia adalah
kewajiban bagi setiap muslim.

Sikap politik K.H. Hasyim Asy‘ari yang sangat penting adalah ajakannya pada seluruh umat
Islam untuk bersatu dalam aksi bersama. Ajakan persatuan ini disampaikannya dalam
berbagai ke¬sempatan, mengingat kondisi umat yang terpecah-pecah ketika itu dan
kebutuhan akan persatuan yang sangat mendesak bagi bangsa Indonesia. Dalam
pidato¬nya, al-Mawa‘izh (Nasihat), yang disam¬pai¬kan pada tahun 1936 di Muktamar NU
ke-11 di Banjarmasin, ia mencoba men¬damaikan antara kaum modernis dan tra¬disionalis.
Ketika itu, konflik antara dua kubu sudah semakin parah. Pidato ini, menurut Hamka, ulama
modernis, me¬rupakan, “Wasiat keagamaan yang sangat penting, tidak saja bagi para
anggota NU, tetapi juga bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Wasiat ini tidak saja penting
selama masa hidup Hadra¬tusy Syaikh (K.H. Hasyim Asy‘ari), tetapi juga menjadi pedoman
bagi setiap mus¬lim setelah kepergian baliau.”

Nasihat ini ia kemukakan lagi pada muk¬tamar NU berikutnya dengan meng¬undang para
pemimpin dari berbagai or¬ganisasi lain, temasuk kalangan moder¬nis. Dalam pidato ini,
K.H. Hasyim Asy‘ari mengajak segenap umat Islam untuk menjaga tali persaudaraan
mus¬lim. Ia mengatakan, “Manusia harus ber¬satu, agar tercipta kebaikan dan
kese¬jah¬teraan, dan agar terhindar kehancuran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan
kese¬rasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat
ter¬ciptanya kemakmuran. Ini juga akan da¬pat mengukuhkan rasa kasih sayang. Adanya
persatuan dan kesatuan telah menghasilkan kebajikan dan keber¬hasil¬an. Persatuan juga
telah mendorong ke¬sejahteraan negara, peningkatan status rakyat, kemajuan dan
kekuatan peme¬rintah, dan telah terbukti sebagai alat un¬tuk mencapai kesempurnaan.
Satu dari banyak tujuan persatuan adalah berse¬mainya kebajikan yang akan menjadi
se¬bab terlaksananya berbagai ide.”

K.H. Hasyim Asy‘ari tidak mau me¬nyerang gerakan nasionalis maupun mus¬lim modernis,
selama mereka tidak melarang praktek-praktek keagamaan kaum tradisionlis. Partisipasi
K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam berbagai ge¬rakan bersama kaum modernis
merupa¬kan bukti hal ini. Dalam tradisi pesantren, murid sangat patuh kepada gurunya.
Seandainya K.H. Hasyim Asy‘ari mela¬rang muridnya, Wahab Hasbullah, untuk tidak terlibat
dalam berbagai kegiatan ber¬sama kalangan lain, pasti Wahab Hasbullah akan mematuhi.

Sebagaimana diketahui, Kiai Wahab Hasbullah mendirikan forum diskusi Tash¬wirul Afkar
bersama K.H. Mas Man¬sur, yang pernah belajar di Kairo dan kemudian menjadi tokoh
organisasi mus¬¬lim modernis, Muhammadiyah. K.H. Abdul Wahab Hasbullah pada 1916
juga mendirikan sekolah Islam bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), sebuah
nama yang jelas menun¬juk¬kan semangat nasionalisme pendirinya. Dia juga telibat aktif
dalam forum studi yang dipimpin oleh Dr. Sutomo, Indo¬ne¬sis¬che Studeclub (Studi Klub
Indonesia), yang didirikan pada 1924 sebagai forum diskusi para intelektual Indonesia
se¬kuler.

Aktivitas dalam kelompok inilah yang mungkin telah mendorong Wahab Has¬bullah untuk
mendirikan organisasi se¬rupa bagi kalangan tradsisionalis muslim sebagai wadah untuk
mempertahankan keyakinan mereka terhadap kritik kaum modernis. Dalam waktu yang
bersama¬an, organisasi pemuda bagi kalangan tradisionalis, Syubbanul Wathan (Pe¬muda
Tanah Air), juga dibentuk, dengan tokoh-tokoh K.H. Abdullah Ubaid, K.H. Thori Badri, K.H.
Abdul Halim, dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah sebagai pena¬sihat. Organisasi ini menjadi
cikal bakal kelahiran NU.

Peran K.H. Hasyim Asy‘ari dalam pe¬ngembangan Nahdlatul Ulama sangat¬lah penting.
Pada kenyataannya ia bisa di¬pandang sebagai arsiteknya. Ia menu¬lis aturan-aturan dasar
organsisai ini, Qanun al-Asasi al-Nahdlat al-Ulama, yang masih terus digunakan sebagai
da¬sar ideologi NU sampai kini.

K.H. Hasyim Asy‘ari tidak saja ber¬pe¬ran utama dalam mengeluarkan fat¬wa-fatwa hukum
mengenai berbagai ma¬salah keagamaan yang diperdebat¬kan oleh banyak ulama, tetapi
juga ber¬peran dalam mempromosikan NU seba¬gai organisasi nasional. Berkat kharisma
dan pengaruhnya, banyak kiai pesan¬tren, para murid, dan masyarakat, ber¬gabung dan
mendukung NU.

Selama sepuluh tahun pertama, NU di¬sibukkan oleh urusan-urusan internal, temasuk


memperluas pengaruhnya dan menarik pemimpin-pemimpin pesantren untuk bergabung
dalam NU. Ketika itu, K.H. Hasyim Asy‘ari dan kiai lain, seperti K.H. Abdul Wahab Hasbullah
dan K.H. Bisri Syansuri, membentuk tim untuk mengadakan pendekatan kepada para
pemimpin pesantren dan mengajak par¬tisipasi mereka.

Tim ini terbukti sangat berguna untuk mempromosikan NU ke berbagai wila¬yah dalam
waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan kharisma para anggota tim dan hubungan yang
sangat dekat antara sesama kiai dan para murid, baik melalui hubungan darah maupun
pewa-risan ilmu pengetahuan. Beberapa murid juga ada yang menjadi pedagang yang
sukses sehingga merasa berkewajiban mendukung usaha mulia ini.

K.H. Hasyim Asy‘ari dalam berbagai kesempatan mengajak seluruh umat Islam untuk
bergabung dengan NU, “Hai orang-orang yang memalingkan diri dari Nahdlatul Ulama,
cepatlah bergabung dalam Nahdlatul Ulama; atau jika kalian merasa tertinggal, segeralah
berga¬bung.”

Ia juga mengadakan program untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan NU. Mengenai


hal ini, Idham Chalid, se¬orang pemimpin NU di era Demokrasi Ter¬pimpin dan awal Orde
Baru, menga¬ta¬kan, pada masa Hadratusy Syaikh Hasyim Asy‘ari, “Setiap bulan Rama-dhan
para pemimpin (NU) ditempa sam¬pai menjelang Hari Raya ‘Idul Fithri saat mereka pulang
ke daerahnya masing-ma¬sing untuk berjuang. Tahun berikut¬nya mereka datang lagi untuk
mengikuti program ini. Saya mengalami sendiri hal ini.”

K.H. Hasyim Asy‘ari bukan hanya ber¬peran dalam masalah-masalah agama, melainkan juga
dalam masalah lain, misalnya politik. Dalam hal ini ia cukup fleksibel dalam menangani
per¬soalan-persoalan yang muncul. Selama masa awal perkembangan NU, K.H. Hasyim
Asy‘ari dan organisasi ini me¬nerapkan pendekatan akomodatif ter¬hadap pemerintah
Belanda, meskipun bukan muslim. Kondisi ini tidak dapat diragukan lagi berasal dari doktrin
politik Sunni yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Sunni seperti Imam Ghazali dan
Imam Mawardi. Juga, NU pasti telah me¬narik pelajaran dari Syarekat Islam yang mengalami
hambatan dari pemerintah kolonial ketika SI melakukan oposisi yang keras terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Tidaklah mengherankan jika pada muktamar NU ketiga di
Surabaya (1928) pemerintahan non-muslim juga di¬puji dalam beberapa hal.

Pendekatan akomodatif ini juga di¬tekankan oleh K.H. Hasyim Asy‘ari dan NU dalam
muktamarnya pada 1936 di Banjarmasin. Ketika ditanya apakah ne¬geri yang dikuasai oleh
orang kafir harus dipertahankan dari serangan luar, K.H. Hasyim Asy‘ari menjawab, “Ya.” Hal
ini ber¬dasarkan alasan bahwa Nusantara dapat dianggap sebagai negeri muslim karena
merupakan tanah air umat Islam, meskipun dikuasai oleh orang kafir. Jadi, status Nusantara
adalah tetap sebagai negeri muslim.

Pendapat K.H. Hasyim Asy‘ari yang menganggap Belanda dapat dipatuhi sepanjang mereka
membiarkan umat Islam melaksanakan ajaran agamanya ini dipandang oleh sementara
orang se¬bagai sikap yang oportunis. Pandangan ini diperkuat dengan kenyataan bahwa
banyak kiai NU mengikuti doktrin politik Sunni yang menganggap huru-hara po¬litik (fitnah)
dalam sesaat itu lebih buruk dari tirani satu abad. Juga, sebagian be¬sar aktivitas politik NU
di masa lalu di¬dasarkan pada keputusan Majelis Syu¬riah, yang sering merujuk pada kitab
ku¬ning, kitab berbahasa Arab yang diguna¬kan di pesantren, yang secara teoretis mungkin
tampak sangat kaku tapi dalam prakteknya sangat fleksibel.

Namun perlu juga diketahui, K.H. Hasyim Asy‘ari dan NU tidak selalu ber¬sikap demikian. Ia
pun beberapa kali ber¬seberangan dengan pemerintah kolo¬nial. Misalnya, ia menolak
sumbangan finansial dari pemerintah Belanda ke¬pada Pesantren Tebuireng. Sikap opo¬sisi
juga terlihat ketika NU menolak du¬duk dalam lembaga perwakilan semua Volksraaad,
berdasarkan keputusan yang diambil pada muktamar ke-13 di Menes (Banten) pada 1938.
Setahun kemudian, NU bersama oganisasi Islam lain menolak pembatasan pelaksanaan
pendidikan (Ordonansi Guru), menolak pelimpahan wewenang urusan harta wa-risan dari
peradilan agama ke peradilan umum (Landraad), dan menolak berpar¬tisipasi dalam milisi
buatan Belanda un¬tuk mempertahankan Nusantara dari ancaman Jepang.
Khusus yang terakhir ini, mesti dipa¬hami bahwa bukan berarti ia tidak kon¬sisten dengan
sikapnya untuk memper¬ta¬hankan Nusantara dari serangan luar. Yang ia tolak adalah
bergabungnya de¬ngan milisi buatan Belanda.

NU juga menolak subsidi pemerintah kolonial untuk mempertahankan hukum, artikel 177
dan 178, yang mengatur misi Kristen dan dakwah Islam.

Walaupun penolakan-penolakan di atas dilakukan secara resmi oleh NU, peranan K.H.
Hasyim Asy‘ari dalam me¬ngeluarkan keputusan-keputusan ini ti¬dak dapat diragukan lagi.

Selain itu, K.H. Hasyim Asy‘ari juga me¬nolak medali penghargaan yang akan diberikan pada
1937 oleh Gubernur Jen¬deral Belanda, Van der Plas, yang meng¬unjungi berbagai
pesantren untuk me¬narik simpati para kiai. Penolakan ini di¬dasarkan pada teladan Nabi
Muhammad SAW yang menolak penghargaan dari kaum kafir Makkah bila beliau mau
meninggalkan dakwah Islam.

K.H. Hasyim Asy‘ari adalah tokoh yang sangat peduli kepada umat. Kepe¬du¬lian ini dapat
dilihat dari pidatonya pada muktamar ketiga pada 1930 de¬ngan judul Qanun Asasi
Nahdlatu al-‘Ulama. Dalam pendahuluan pidato ini, ia mengajak umat Islam untuk bersatu
(ittihad), saling mengenal (ta‘aruf), dan bertenggang rasa (ta‘aluf). Kemudian, da¬lam bagian
kedua ia menekankan pen¬tingnya ajaran madzhab dan perlu¬nya mengikuti ajaran ini.

Tema ini diulang lagi pada muktamar ta¬hun 1936 di Banjarmasin dengan meng¬ajak para
ulama untuk menge¬sam¬pingkan perbedaan-perbedaan dan meng¬akhiri fanatisme
golongan mereka (ta‘ashshub), menghindari mencaci dan menghina kepada yang lain, serta
men¬jaga persatuan umat. Ia juga mengajak umat Islam untuk mempertahankan Al-Quran
dan menolak pikiran-pikiran anti agama. Ia menambahkan, seseorang se¬harusnya hanya
menjaga hal-hal prin¬sip dan mengajak orang lain untuk me¬laksanakan ajaran Islam.

Ajakan serupa juga ia kemukakan pada muktamar NU ke-12 di Malang (Juli 20-24, 1937),
“Telah sampai berita ke¬pada saya bahwa kalian memfitnah, men¬caci, dan memusuhi
antara satu de¬ngan yang lain. Kalian semua bertengkar antara satu dengan lainnya. Oh!
Ulama yang keras hati dalam memegang madzhab atau pendapat! Tinggalkan sikap
fanatikmu pada masalah-masalah cabang (furu`iyah)! Sebab ulama sendiri berbeda
pendapat dalam masalah ini dan mengakui lebih dari satu pendapat. Jagalah Islam,
laksanakan ijtihad me¬lawan mereka yang mencela Al-Quran dan sifat-sifat Tuhan.

Sikap keras kepala Anda semua pada masalah-masalah cabang dan me¬maksakan madzhab
atau pendapat pada yang lain tidak akan disukai Allah Ta‘ala. Dan Tuhan tidak akan
memberi¬kan syafa’at Nabi Muhammad SAW ke¬pada kalian. Motivasi Anda
sesungguh¬nya adalah sikap fanatik, konflik, dan ke¬bencian satu dengan yang lain. Jika
Imam Syafi‘i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ibn Hajar, dan Imam
Ramli masih hidup, mereka pasti menolak apa yang telah kalian lakukan.”

Sedangkan kepada muslim moder¬nis, ia mengatakan, “Oh ulama, jika ka¬lian melihat orang
mengerjakan kebaik¬an berdasarkan pendapat (qaul) para imam atau taqlid pada mereka,
meski¬pun pendapat yang diikuti tersebut tidak argumentatif (marjuh), kemudian
meski¬pun kamu tidak setuju, jangan mencaci mereka, tetapi bimbinglah mereka de¬ngan
cara yang baik! Dan jika mereka tidak mau mengikutimu, jangan berteng¬kar dengan
mereka. Karena jika kamu melakukan hal itu, kamu seperti mereka yang akan membangun
istana dengan menghancurkan kota lebih dulu.”

Ia pun mengatakan, “Janganlah hal-hal yang sepele menyebabkan kalian ber¬cerai-berai,


bertengkar, dan bermu¬suhan. Jangan juga kita meneruskan bu¬daya saling bertikai dan
mencaci. (Se¬bab) agama kita hanyalah satu: Islam! Madzhab kita hanyalah satu: Syafi`i!
Daerah kita adalah satu: Jawa! Dan kita se¬mua adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.”

K.H. Hasyim Asy‘ari meninggal dunia pada 7 Ramadhan 1366/25 Juli 1947. Setelah
mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pa¬sukan Belanda di
bawah Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di
Singosari (Ma-lang) dengan korban yang banyak dari rakyat biasa, ia sangat terkejut. Dan
itu¬lah kiranya yang menjadi lantaran ia me¬ninggal dunia.

KH Mas Mansur, seorang ulama besar dan menjadi pemimpin organisasi besar yaitu
Muhammadiyah. Beliau dikenal sebagai sosok kiai yang sederhana, cerdas, sabar, taqwa
dan tawakal. Nah oleh sebab itu sosok seperti Mas Mansur sungguh dibutuhkan baik
persyarikatan dan bangsa ini agar segera terlepas dari berbagai persoalan. KH Mas Mansur
dilahirkan pada tanggal 25 Januari 1986 di Surabaya. Ayahnya bernama Kiai Mas Ahmad
seorang ulama yang cukup terkenal di Jawa Timur dan ibunya adalah Raulah, wanita yang
berasal dari keluarga yang kaya. Karena ayahnya seorang mubaligh secara otomatis Mas
Mansur kecilnya mendapatkan pendidikan agama yang mendalam. Di usianya beranjak 10
tahun dia dikirim oleh orang tuanya kepada Kiai Khalil di Bangkalan Madura untuk belajar
ilmu Agama. Setelah menginjak usia remaja rasa kehausan untuk menutut ilmu dalam diri
Mas Mansur terus membara. Maka pada tahun 1908 dia belajar ke timur tengah 2 tahun di
Mekah, selanjutnya melanjutkan ke Universitas Al-Azhar Mesir. Saat di Mesir ia mulai
tertarik dengan disiplin ilmu lain seperti : sosial politik yang sedang berkembang di Negeri
Pyramid. Hal ini dapat terjadi lantaran negri asalnya sedang dijajah bangsa_lain. Berbekal
dengan ilmu yang diraihnya maka setelah kembali ke Indonesia Mas Mansur aktif dalam
organisasi baik yang sifatnya religius dan nasionalisme. Mas Masnsur sangat ingin
memperbaiki citra umat Islam di Indonesia. Sebab dalam keadaan dijajah kondisi umat
sungguh memprihatinkan dan cenderung dimarjinalkan dengan kelompok yang lain.
Padahal mayoritas penduduk Indonesia pada itu adalah beragama Islam. Semasa itu orang
Islam dikenal dengan keterbelakanganya yaitu : kebodohan dan kemiskinan. Dua perkara
itulah yang hendak dihilangkan oleh Mas Mansur, mengapa orang Islam dianggap bodoh ?
Sebab saat itu pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam hanya mengajarkan seputar ilmu
agama mereka cukup bangga dengan Kitab Kuningnya. Dan mengganggap ilmu diluar itu
semua haram sehingga tidak boleh untuk dipelajari. Sebab di mata mereka (kaum santri-
baca) ilmu sosial dan eksak yang diajarkan di sekolah umum adalah ilmu yang dibawa oleh
kaum penjajah padahal mereka kafir. Karena pandangan yang keliru ini akhirnya umat Islam
mengalami ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan. Lalu mengapa waktu itu banyak orang
Islam itu miskin karena pos-pos kekuasaan pemerintah dikuasi oleh penjajah. Mereka
hanya dijadikan obyek pemerasan, seperti para petani  disuruh menanam padi dan hasilnya
75 % disetor kepada penjajah. Apabila tidak mau membayar upeti maka harus berakhir
didalam jeruji besi atau kematian. Untuk segera merealisasikan ide, gagasan tersebut maka
pada tahun 1917 beliau mendirikan sebuah Madrasah yaitu Mufidah, yang menggabungkan
kurikulum pasantren dan sekolah umum. Sehingga siswa yang sekolah disitu selain
mendapatkan ilmu agama juga mendapatkan ilmu umum seperti Ilmu hitung, sosial. Sejak
saat itulah Mas Mansur dikenal sebagai mujadid (pembaharu) ulama modern khususnya di
Jawa Timur. Akan tetapi hal itu tidak berjalan lancar karena banyak juga ulama-ulama di
Jatim yang menolak model pembelajaran Islam ala Mas Mansur. Selain itu beliau aktif
dalam berbagai organisasi salah satu organisasi yang pertama diikuti adalah Syarikat Islam
pimpinan HOS Cokroaminoto. Saat menggeluti organisasi tersebut ia pernah memangku
jabatan sebagai Penasehat Pengurus Besar Syarikat Islam. Tahun 1921 KH Ahmad Dahlan
berkunjung ke rumah Mas Massur di Surabaya untuk bersilaturohmi. Dan pertemuan itu
adalah pertemuan pertama kedua ulama besar tersebut. Kiai Dahlan melakukan diskusi
panjang lebar dengan Kiai Mansur terutama permasalahan umat Islam waktu itu. Karena
merasa sepemahaman dan sangat tertarik dengan ide,gagasan Dahlan maka Mas Mansur
memutuskan untuk bergabung dan berjuang melalui Muhammadiyah. Sebagai bentuk
komitmen terhadap Organisasi Muhammadiyah selang beberapa hari kemudian. Beliau
bersama Pakih Hasyim mendirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya. Karir organisasi KH
Mas Mansur cukup gemilang khususnya di Muhammadiyah melalui Konggres
Muhammadiyah ke 29 di lapangan Asri Yogyakarta. Para peserta konggres menunjuknya
sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1937-1942). Mendengar berita tersebut
Mas Mansur segera bergegas dari Kantor PP Muhammadiyah lama (wil notoprajan) pergi
kampung Kauman untuk menemui Nyai Dahlan Istri pendiri Muhammadiyah. “ Bu saya
terpilih menjadi ketua Muhammadiyah”, ujar Mas Mansur kepada Nyai Dahlan. Sahut
wanita itu “ Baguslah kalau gitu dan selamat untukmu anakku”, “ Kedatangan saya disini
mohon didoakan agar diri saya mempunyai sifat mulia yaitu : kesabaran, kemajuan,
ketaqwaan dan tawakal”. “Insyaallah saya doakan” tutur Nyai Dahlan dan Mas Mansur
langsung memohon pamit kepadanya Dibawah kepemimpinan Mas Mansur
Muhammadiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya berdiri ranting-ranting baru Muhammadiyah diseluruh pelosok negri dan
sekolah Muhammadiyah berdiri dimana-mana. Selain itu Muhammadiyah mulai dikenal
sebagai gerakan Islam Modern disamping dari model sekolahnya juga Muhammadiyah aktif
menyampaikan tabliq kepada umat sehingga kaum muslim bisa keluar dari bentuk kegiatan
takhayul, khurafat dan bid’ah. Model kepemimpinan KH Mas Mansur kepada
Muhammadiyah tidak lepas dari 4 sifat mulia tersebut. Selain dikenal sebagai ulama besar
Mas Mansur juga disebut sebagai tokoh pergerakan nasional, karena aktif dalam gerakan
PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) bersama ketiga temanya yaitu : Ir Sukarno, Mohammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara. Sehingga ada istilah empat serangkai dan hal itu tidak bisa lepas
dari keberadaan Mas Mansur Sungguh besar bentuk kontibusi beliau bagi kemajuan agama
Islam dan bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1. Kisah-kisah di atas menggambarkan bahwa ulama bukan sekadar orang yang ahli
tentang suatu bidang keilmuan Islam. Integritas seorang ulama dan wi¬bawanya,
karena taqwanya kepada Allah SWT, berada di dalam penilaian ma¬syarakat, dan
terutama berada dalam penilaian Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai