Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan
yang dsebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik, dan radiasi (Hardisman, 2014). Luka bakar merupakan suatu
jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (Nugroho,
2012). Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera berat yang
memerlukan penatalaksanan sebaik-baiknya sejak awal. Peran masyarakat
yang berhadapan langsung serta pertolongan petugas yang menerima kasus
ini pertama kali sangat menentukan perjalanan penyakit ini selanjutnya
(Moenadjat, 2003).
Berdasarkan data dari American Burn Association (ABA) takun 2010
ke tahun 2015 mngalami peningkatan di Amerika Serikat diperkirakan lebih
dari 163.00 kasus pada tahun 2015 menjadi 558.4400 kasus, dimana 70%
pasien adalah laki-laki dengan rata-rata usia sekitar 32 tahun, 18% anak-anak
yang berusia dibawah 5 tahun dan 12% kasus berusia lebih dari 60 tahun.
Luka bakar dengan luas 10% Total Body Surface Area (TBSA) sebesar 7%.
Penyebab tertinggi akibat flame burn (44%) dan tingkat kejadian paling
sering di rumah (68%).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI sepanjang tahun 2012-
2014 terdapat 3.518 kasus luka bakar di Indonesia. Angka kejadian luka bakar
dalam data tersebut terus meningkat dari 1.185 kasus pada tahun 2012
menjadi 1.123 kasus di tahun 2013 dan 1.209 kasus di tahun 2014. Diwilayah
Jawa Tengah mengalami peningkatan 0,1% pada tahun 2007 ke 2013. Di
Jawa Tengah tahun 2013 dari 100.000 penduduk tercatat sebanyak 0,7% dari
penduduk tahun 2007 tercatat sebanyak 0,6% sedangkan di kota Boyolali dari
1000 penduduk tidak mengalami perubahan pada tahun 2013 tercatat
sebanyak 0,6% di tahun 2007 0,6% yang terkena luka bakar. Tingkat luka
bakar tertinggi di negara berkembang terjadi pada kalangan perempuan

1
sedangkan di negara maju tertinggi dikalangan laki-laki (Schock, 2007).
Sebagian besar 80% cedera luka bakar terjadi di rumah dan 20% terjadi di
tempat kerja (Peck, 2012).
Salah satu cara dalam menangani tingkat keparahan luka bakar sangat
dibutuhkan penanganan awal penderita sebelumnya dibawa ke pelayanan
kesehatan. Pertolongan pertama adalah pertolongan yang diberikan saat
kejadian atau bencana terjadi di tempat kejadian, sedangkan tujuan dari
pertolongan pertama adalah menyelamatkan kehidupan, mencegah kesakitan
makin parah, dan meningkatkan pemulihan (Paula, K., dkk, 2009). Semua
luka bakar (kecuali luka bakar ringan atau luka bakar derajat 1) dapat
menimbulkan komplikasi berupa shock, dehidrasi dan ketidakseimbangan
elektrolit, infeksi sekunder, dan lain-lain (Rismana, et al., 2013).

B. Tujuan Penulisan
1. Mampu memahami konsep dasar luka bakar yang meliputi definisi dan
epidemiologi.
2. Mampu memahami konsep medik luka bakar yang meliputi etiologi,
klasifikasi luka bakar, berat dan luas luka bakar, pembagian luka bakar,
patofisiologi, kriteria perawatan, penatalaksanaan, prognosis dan
komplikasi.
3. Mampu menganalisis kasus luka bakar.

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Mahasiswa Keperawatan
a. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu
pengetahuan dan konsep luka bakar, khususnya untuk memfasilitasi
masyarakat dalam memecahkan berbagai masalah kesehatan.
b. Sebagai bacaan salah satu bahan pertimbangan dalam mengembangkan
praktek keperawatan komunitas selanjutnya.
c. Dapat mengaplikasikan konsep teori secara nyata kepada masyarakat.

2
2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
a. Sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam megembangkan model
praktek keperawatan komunitas selanjutnya.
b. Sebagai masukan untuk membina hubungan yang baik antara institusi
pendidikan keperawatan.
3. Bagi Instansi Pelayanaan Kesehatan
a. Upaya menyiapkan tenaga perawat yang professional, berpotensi secara
mandiri dengan kompentensi yang telah ditentukan.
b. Sebagai masukan untuk membina hubungan yang baik antara instansi
pelayanan sebagai penerima pelayanan kesehatan.
4. Bagi Masyarakat
a. Meningkatkan kemampun keluarga dalam melaksanakan fungsi
kesehatan anggota keluarga.
b. Pengembangan kemandirian masyarakat dalam mengatasi berbagai
masalah kesehatan yang ditandai denga terciptanya sikap untu berhati-
hati serta memanfaatkan sarana kesehatan tersedia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
1. Anatomi dan Fisiologi Kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu: kulit ari (epidermis),
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu: kulit ari (epidermis), sebagai
lapisan yang paling sebagai lapisan yang paling luar, kulit jangat (dermis,
korium atau kutis) dan luar, kulit jangat (dermis, korium atau kutis) dan
jaringan  jaringan penyambung penyambung di di bawah bawah kulit kulit
(tela (tela subkutanea, subkutanea, hipodermis hipodermis atau atau
subkutis). Sebagai gambaran, penampang lintang dan visualisasi struktur
subkutis). Sebagai gambaran, penampang lintang dan visualisasi struktur
lapisan kulit tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

2.1 anatomi kulit

a. Kulit Ari (epidermis)


Epidermis merupakan bagian kulit paling luar yang paling
menarik untuk diperhatikan dalam perawatan kulit, karena kosmetik
dipakai pada bagian epidermis. Ketebalan epidermis berbeda-beda
pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1 milimeter
pada telapak tangan dan telapak kaki, dan yang paling tipis berukuran
0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi dan perut. Sel-sel
epidermis disebut keratinosit. Epidermis melekat erat pada dermis

4
karena secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan dan
cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding
kapiler dermis ke dalam epidermis. Pada epidermis dibedakan atas
lima lapisan kulit, yaitu:
1) Lapisan tanduk (stratum corneum), merupakan lapisan epidermis
paling atas, dan menutupi semua lapisan epiderma lebih ke dalam.
Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel pipih, tidak
memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak
berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan tanduk
sebagian besar terdiri atas keratin yaitu sejenis protein yang tidak
larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia,
dikenal dengan lapisan horny. Lapisan horny, terdiri dari milyaran
sel pipih yang mudah terlepas dan digantikan sel baru setiap 4
minggu, karena usia setiap sel biasanya 28 hari. Pada saat
terlepas, kondisi kulit terasa sedikit kasar. Proses pembaruan
lapisan tanduk, terus berlangsung sepanjang hidup, menjadikan
kulit ari memiliki self repairing capacity atau kemampuan
memperbaiki diri. Dengan bertambahnya usia, proses keratinisasi
berjalan lebih lambat. Ketika usia mencapai sekitar 60-tahunan,
proses keratinisasi membutuhkan waktu sekitar 45-50 hari,
akibatnya lapisan tanduk yang sudah menjadi kasar, lebih kering,
lebih tebal, timbul bercak putih karena melanosit lambat
bekerjanya dan penyebaran melanin tidak lagi merata serta tidak
lagi cepat digantikan oleh lapisan tanduk baru. Daya elastisitas
kulit pada lapisan ini sangat kecil, dan lapisan ini sangat efektif
untuk mencegah terjadinya penguapan air dari lapis-lapis kulit
lebih dalam sehingga mampu memelihara tonus dan turgor kulit.
Lapisan tanduk memiliki daya serap air yang cukup besar.
2) Lapisan bening (stratum lucidum) disebut juga lapisan barrier,
terletak tepat di bawah lapisan tanduk, dan dianggap sebagai
penyambung lapisan tanduk dengan lapisan berbutir. Lapisan
bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih yang kecil-kecil,

5
tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati sinar (tembus
cahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak tangan dan
telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan bening.
3) Lapisan berbutir (stratum granulosum) tersusun oleh sel-sel
keratinosit berbentuk kumparan yang mengandung butir-butir
dalam protoplasmanya, berbutir kasa dan berinti mengkerut.
Lapisan ini paling jelas pada kulit telapak tangan dan kaki.
4) Lapisan bertaju (stratum spinosum) disebut juga lapisan malphigi
terdiri atas sel-sel yang saling berhubungan dengan perantaraan
jembatan-jembatan protoplasma berbentuk kubus. Jika sel-sel
lapisan saling berlepasan, maka seakan-akan selnya bertaju.
Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut
protein. Sel-sel pada lapisan taju normal, tersusun menjadi
beberapa baris. Bentuk sel berkisar antara bulat ke bersudut
banyak (polygonal), dan makin ke arah permukaan kulit makin
besar ukurannya. Di antara sel-sel taju terdapat celah antar sel
halus yang berguna untuk peredaran cairan jaringan ekstraseluler
dan pengantaran butir-butir melanin. Sel-sel di bagian lapis taju
yang lebih dalam, banyak yang berada dalam salah satu tahap
mitosis. Kesatuan-kesatuan lapisan taju mempunyai susunan
kimiawi yang khas; inti-inti sel dalam bagian basal lapis taju
mengandung kolesterol, asam amino dan glutation.
5) Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale)
merupakan lapisan terbawah epidermis, dibentuk oleh satu baris
sel torak (silinder) dengan kedudukan tegak lurus terhadap
permukaan dermis. Alas sel-sel torak ini bergerigi dan bersatu
dengan lamina basalis di bawahnya. Lamina basalis yaitu struktur
halus yang membatasi epidermis dengan dermis. Pengaruh lamina
basalis cukup besar terhadap pengaturan metabolisme
demoepidermal dan fungsi-fungsi vital kulit. Di dalam lapisan ini
sel-sel epidermis bertambah banyak melalui mitosis dan sel-sel
tadi bergeser ke lapisan-lapisan lebih atas, akhirnya menjadi sel

6
tanduk. Di dalam lapisan benih terdapat pula sel-sel bening (clear
cells, melanoblas atau melanosit) pembuat pigmen melanin kulit.

b. Dermis
Dermis, lapisan jaringan padat di bawah epidermis, membentuk
sebagian besar substansi dan struktur pada kulit. Ketebalannya
bervariasi dari 1 hingga 4 mm dan paling tebal di daerah punggung.
Dermis mengandung fibroblas, makrofag, sel mast dan limfosit, yang
mendorong penyembuhan luka. Pasokan limfatik, vaskuler, dan saraf
dari kulit, yang mempertahankan ekuilibrium pada kulit, berada di
dermis.
Dermis di bagi menjadi dua bagian: papilaris dan retikularis.
Papilaris dermis, yang mengandung kolage, pembuluh darah, kelenjar
keringat dan elastin dalam jumlah banyak, berhubungan dengan
epidermis. Retikularis dermis juga mengandung kolagen, namun
dengan jumlah jaringan elastis matur yang lebih tinggi. Dermis
mengandung banyak sel khusus, pembuluh darah dan saraf.
Epidermis dan dermis bertemu pada tautan dermoepidermal.
Area ini mengandung proyeksi seperti gelombang dari dermis yang di
sebut papila (atau retedigne). Yang berhubungan dengan struktur yang
resiprokal pada epidermis. Proyeksi ini meningkatkan area kontak
antara lapisan-lapisan kulit, dan membantu mencegah epidermis
terlepas. Proyeksi ini tidak ada pada kulit bayi dalam kandungan
namun perkembangan secara cepat setelah kelahiran, dan sangat
terlihat pada kulit orang muda jika di periksa di bawah mikroskop.
Jika kulit menua, papila menjadi semakin kecil dan pipih. Zona
membran basal subepidermal adalah saringan semi permeabel yang
memungkinkan pertukaran cairan dengan komponen seperti nutrien,
metabolit, dan produksi sisa.

7
c. Hipodermis
Lapisan subkutan adalah lapisan khusus jaringan ikat. Kadang di
sebut lapisan adiposa karena kandungan lemaknya. Lapisan ini tidak
ada pada beberapa bagian tubuh., seperti kelopak mata, skrotum,
areola, dan tibia. Usia, hereditas, dan banyak faktor lain memengaruhi
ketebalan lapisan subkutan. Lemak subkutan umumnya paling tebal
pada punggung dan bokong, memberikan bentuk dan kontur di atas
tulang. Lapisan ini berfungsi sebagai insulasi dari panas dan dinding
yang ekstrim, sebagai bantalan terhadap trauma, dan sebagai sumber
energi dan metabolisme hormon.

d. Fungsi Sistem Integumen


Kulit adalah struktur yang secara morfologi kompleks yang
memiliki beberapa fungsi yang penting bagi kehidupan. Kulit berbeda
secara anatomis maupun fisiologis pada berbagai bagian tubuh. Fungsi
kulit meliputi proteksi, mempertahankan hemoestasis, termoregulasi,
reseptor sensorik, sintesis vitamin, dan memproses substansi
antigenik.
1) Proteksi
Kulit melindungi tubuh terhadap banyak bentuk trauma
(misalnya mekanis, suhu, kimiawi, radiasi). Lapisan epidermal
kuat yang utuh adalah barier mekanis. Bakteri, partikel asing,
organisme lain, dan bahan kimia sulit menembusnya. Sekesi yang
berminyak dan sedikit asam dari kelenjar sebaseus lebih jauh
melindungi tubuh dengan membatasi pertumbuhan sebagai
organisme. Kulit telapak tangan dan kaki yang menebal
memberikan penutup tambahan untuk menyerap penggunaan
yang konstan atau trauma terhadap area ini. Sel-sel dari epidermis
dan dermis kulit penting dalam fungsi imun. Kulit sekarang di
kenal tidak hanya sebagai barier fisik namun juga berpartisipasi
dalam pertahanan yang di mediasi imun terhadap berbagai
antigen. Sel-sel langerhans tersebar di antara keratinosit yang

8
utamanya berlokasi pada epidermis, namun juga dapat di temukan
pada dermis. Sel-sel ini berasal dari sumsum tulang dan
bermigrasi ke epidermis. Sel langerhans berperan dalam respons
imun yang di mediasi sel pada kulit melalui presentasi antegien.
Antigen yang memasuki kulit yang kompeten secara imunologis
akan menemui respons yang terkoordinasi dari sel langerhans dan
sel T untuk menetralisasi efeknya. Antigen yang memasuki kulit
yang sakit dapat menginduksi dan menimbulkan respons imun.
Reaksi ini dapat terlibat dalam patogenesis dari banyak penyakit
kulit inflamatorik.
2) Hemoestasis
Kulit membentuk barier yang mencegah kehilangan air dan
elektrolit berlebihan dari lingkungan internal. Kulit yang utuh
juga mencegah kekeringan dari jaringan subkutan. Efektivitas dari
membran impermeabel ini terlihat saat mengobservasi kehilangan
cairan ekstrem yang terjadi pada kerusakan kulit, seperti pada
luka bakar dan cedera lain. Hilangnya cairan dan elektrolit yang
insensibel (tidak terasa) hanya terjadi melalui pori-pori pada
barier yang efektif.
3) Termoregulasi
Suhu tubuh merepresentasikan keseimbangan antara proses
produksi dan pelepasan panas. Kulit, dengan kemampuannya
untuk mengubah kecepatan hilangnya panas, adalah titik utama
regulasi suhu tubuh. Kecepatan hilangnya panas bergantung
terutama pada suhu permukaan kulit, yang merupakan fungsi dari
aliran darah kulit. Aliran darah kuit bervariasi dalam respons
terhadap perubahan suhu inti tubuh dan perubahan suhu
lingkungan eksternal. Aliran darah ke kulit di atur dalam dua
proses. Perfusi langsung adalah dari bantalan kapiler yang masuk
dengan arah lateral. Kulit juga mendapat perfusi secara ventrikel
dari pembuluh yang masuk dari otot dan fasia yang
mendukungnya.

9
4) Reseptor Sensorik
Selain penglihatan dan pendengaran, alat sensorik utama
manusia adalah kulit. Serat-serat sensorik yang bertanggung
jawab untuk nyeri, sentuhan, dan suhu membentuk jaringan
kompleks di dalam dermis. Informasi di transmisikan dalam
bagian-bagian ke medula spinalis dan di teruskan ke korteks
somatosensorik, di mana informasi di integrasikan menjadi
representasi somatotopik dari tubuh. Kulit mengandung reseptor
khusus untuk mendeteksi sentuhan dan tekanan yang berbeda.
Sentuhan di rasakan oleh korpuskel meissner: tekanan oleh sel
marker dan ujung-ujung Ruffini,; vibrasi dan tekanan oleh
korpuskel pacini; dan pergerakan rambut oleh ujung-ujung folikel
rambut. Bersama-sama reseptor ini mengomunikasikan informasi
ke korteks somatosensorik melalui kolumna dorsalis jalur spinal.
5) Produksi Vitamin D
Dengan adanya cahaya matahari atau radiasi ultraviolet,
sterol yang di temukan pada sel-sel malphigi di konservasi untuk
membentuk cholecalciferol (vitamin D3) di dalam liver manjadi
bentuk aktifnya.

2. Definisi Luka Bakar


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan
yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma
dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.

B. Kasus
Tn. S, usia 21 tahun dengan alamat Samarinda Utara, agama islam, pekerjaan
buruh bangunan. Masuk RS selasa, 30 April 2019 pukul 13.24.Keluhan

10
utama Luka Bakar Listrik, anamnesis didapat adalah pasien mengalami sejak
2 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit akibat tersengat listrik pada saat
bekerja di mesjid. Awalnya pasien tanpa sengaja memegang kabel telanjang,
lalu kesetrum dan terjatuh ke lantai. Terdapat kesan luka bakar pada lengan
kanan dan punggung kiri sampai ke leher. Nyeri (+) jika luka bakar disentuh.
Riwayat pingsan (+) <15 menit, riwayat muntah (-), riwayat sesak (-),
batuk(-).Riwayat penyakit dahulu: tidak ada riwayat penyakit dan alergi.
Riwayat penyakit keluarga alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK
Primary survey B1:RR:20x/menit, Rh-/-, Wh-/-, SpO2: 99%, B2:TD 110/70
mmHg, N 88 x/menit regular, kuat angkat. B3: GCS 15 (E4M6V5), pupil
isokor ∅2,5mm/2,5mm, RC +/+, suhu axilla 36,8C. B4: terpasang kateter,
produksi urin ±60cc/jam, warna merah kecoklatan. B5: Datar, peristaltik (+)
kesan normal, timpani. B6: Edema (-), fraktur (-), luka bakar grade iia-iib.

Secondary survey
Kepala & wajah : deformitas (-), bibir edema (-), Mata: edema (-),
konjungtiva anemis (-), ikterus (-), Leher: pembesaran KGB (-), THT:
sekret(-)Dada: simetris kanan = kiri,, Jantung: BJ I & II normal, murmur (-),
gallop(-)
Paru: vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-, Abdomen: datar, lemas, NT (-), tdk
teraba massa, BU (+) normal. 

Kepala dan leher :3%


Trunkus anterior :0%
Trunkus posterior :7%
Esktremitas atas kanan :5%
Ekstremitas atas kiri :2%
Ekstremitas bawah kanan :0%
Ekstremitas bawah kiri :0%
Genitalia :0%+

11
Total : 17 %

PEMERIKSAAN PENUNJANG
RUTIN Bilirubin :-
Hemoglobin : 15,8 g/dL Urobilinogen : 0,2
Hematokrit : 48,4 % Nitrit :-
Leukosit : 3.800/L KIMIA DARAH
Trombosit : 455.000/L Ureum : 32 mg/dL
MCV : 91 fl Creatinin :0,7 mg/dL
MCH : 29.8 pg SGOT : 533 U/L
MCHC : 32.7 g/dL SGPT : 112 U/L
PT : 11.3 detik GDS :150 mg/dL
PT kontrol : 10.3 detik Na :133meq/L
APTT : 32.1 detik K :4.11meq/L
APTT kontrol : 23.3 detik Cl :107meq/L
CT : 7’00
BT : 3’00
URINALISIS
Sedimen
Sel epitel : 0-1
Leukosit : 1-2
Eritrosit : 10-11
Silinder :-
Krista l :-
Bakteri :-
Berat jenis : 1.015
pH :5
Protein :-
Glukosa :-
Keton :+
Darah/Hb :+

12
DIAGNOSIS KERJA
Luka bakar grade IIA-IIB 17 % + Compartment sindrom
TERAPI
Airway : O2 2-4 tpm via Nasal Kanul
Breathing : spontan
Circulation : IVFD RL 124 tts/menit pada 6 jam pertama. Dilanjutkan
dengan 46 tts/mnt pada 16 jam berikutnya. Pasang
kateter.
Drug : Ceftriaxon 1gr/12 j/IV, Ketorolac 30 mg/8jam/iv,
Ranitidin 50 mg/8 jam/iv, kompres NaCl + Silver
Sulphadiazine 10 mg Cr.
Monitoring resusitasi
Urin (0,5-1 cc/kgBB/jam) = 30-60 cc/ jam.

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Dubia
Quo ad Sanactionam : Bonam

Buat asuhan keperawatan, pengkajian hingga Nanda NIC NOC, Pilihlah


salah satu kondisi kegawatdaruratan yang belum tergambar di kasus.
Dan ahas apa yang bisa terjadi pada kasus tersebut, buat sejelasnya.

13
BAB III
ANALISIS KASUS

A. Konsep Medik
1. Etiologi
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak
terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari
matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar.
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
a. Paparan api
1) Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka,
dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat
membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat
alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
2) Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh
yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar
akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
b. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan
dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang
akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat
dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan,
luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain
dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja,
luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.

14
c. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan
radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas
panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi.
Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga
ke saluran napas distal di paru.
d. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian
atas dan oklusi jalan nafas akibat edema.
e. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan
tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik
yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat
menyebabkan luka bakar tambahan.
f. Zat kimia (asam atau basa)
g. Radiasi
h. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

2. Manifestasi Klinik
No. Manifestasi Penyebab Hubungan dengan kasus

1. Nyeri (+) jika luka Tersengat listrik Pada saat pemeriksaan


bakar disentuh pada saat bekerja klien merasakan sakit
di masjid nyeri saat disentuh. Nyeri
terjadi ujung-ujung saraf
sensori teriritasi.

2. Riwayat pingsan Awalnya pasien Didapati riwayat pingsan


(+) <15 menit, tanpa sengaja kurang diri 15 menit
memegang kabel diakibatkan, hal ini
telanjang, lalu menandakan telah terjadi
kesetrum dan cardiac arrest akibat
terjatuh ke lantai. sengatan listrik,

15
3. riwayat muntah (-) -

4. riwayat sesak (-) -

5. batuk(-) -

6. Tidak ada riwayat -


penyakit dan alergi

7. Alergi obat,
hipertensi, DM, dan
asma disangkal.

8. B1:RR:20x/menit, Tidak ada Airway: paten. Breathing


Rh-/-, Wh-/-, SpO2: penyebab karena & Ventilation: dada
99% semua normal simetris, P 20 x/menit,
Rh-/-, Wh-/-, bunyi
pernapasan vesikuler, tipe
pernapasan
thoracoabdominal. Karena
hasil dari pemeriksaan
semuanya normal tidak
ada gangguan.

9. B2:TD 110/70
mmHg, N 88
x/menit regular,
kuat angkat.

10. B3: GCS 15 Kesdaran Dicurigai adanya


(E4M6V5), pupil komposmentis gangguan nervus III
isokor ∅ dan pupil isokor namun hasilnya negative
2,5mm/2,5mm, RC merupakan tanda
+/+, suhu axilla normal, jika tidak
36,8 C normal klien akan
mengalami
kesadaran
delirium dan
anisokor

11. B4: terpasang Hemodialysis terdapat abnormalitas pada

16
kateter, produksi urine hasil makroskopik yaitu
urin ±60cc/jam, warna urine jernih namun
warna merah kemerahan,akibat
kecoklatan. terjadinya hemolisis yang
menyebakan hemoglobin
terdapat dalam urine dan
mewarnai urine tersebut.

12. B5: Datar,


peristaltik (+) kesan
normal, timpani.

13. B6: Edema (-), Pada tubuh kerusakan meliputi


fraktur (-), luka ditemukan luka epidermis dan sebagian
bakar grade IIA-IIB bakar di region dermis yang terlihat dari
cervical (3%), reaksi inflamasi akut dan
thoracalis proses eksudasi,
posterior (7 %) ditemukan bula, dasar luka
dan ekstremitas berwarna merah atau pucat
kanan dan kiri (7 dan nyeri akibat iritasi
%). Luas luka ujung saraf sensorik.
ditentukan
menurut diagram
rules of nine dari
Wallace. Total
luas luka bakar
mencapai 17%
dengan grade II A
– II B, sehingga
digolongkan ke
dalam luka bakar
sedang.

14. Compartment meningkatnya Sehingga mengakibatkan


sindrom permeabilitas berkurangnya perfusi
kapiler akibat jaringan dan tekanan
terpajan suhu oksigen jaringan
tinggi yang

17
menyebabkan
terjadinya
perpindahan
cairan yang
berasal dari
jaringan
interstisial

15. Monitoring
resusitasi
Urin (0,5-1
cc/kgBB/jam
) = 30-60 cc/
jam.
16. Quo ad Vitam Didapati hasil pengkajian
Bonam bahwa luka bakar hanya
seluas 17% di bagian

17. Quo ad Functionam lengan kanan, leher

: Dubia hinggu punggung.


Sehingga tingkat
kesembuhannya sangat
18. Quo ad
baik.
Sanactionam
Bonam

2.1 Tabel Rasio

3. Klarifikasi Luka Bakar


Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan
suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api
yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam
luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu
domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah
terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket
sehingga memperberat kedalaman luka bakar.

18
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar,
yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:

a. Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan
banyak jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar
derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara
sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan
keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar
derajat I adalah sunburn.

2.2 derajat I luka bakar

b. Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis
namun masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi
dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar
sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya
jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3
minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang
berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar
derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema
dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang
menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

19
2.3 derajat II luka bakar

c. Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin
organ atau jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa
jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan,
sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan
cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula,
karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan
sudah tidak intak.

2.4 derajat III luka bakar

20
2.5 Derajat luka bakar berdasarkan kedalaman

4 Berat Dan Luas Luka Bakar


Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia
dan kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis.
Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas
46oC. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan
lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak.
Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler
juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma
meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan
dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan
yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan
peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan
mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin
kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh
tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar,
yaitu:

21
a. Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien.
Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas
luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
b. Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa Pada dewasa digunakan
‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan
bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha
kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing
9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu
menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

2.6 Rumus 9 atau rule of nine

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

22
2.7 Rumus 9 atau rule of nine pada dewasa, anak dan bayi

c. Metode Lund dan Browder


Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi
massa tubuh di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi
besarnya luas permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel
tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat
menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:
1) Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai
14%. Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
2) Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.

23
2.8 Lund and Browder chart illustrating the method for
calculating the percentage of body surface
area affected by burns in children.

5. Pembagian Luka Bakar


a. Luka bakar berat (major burn)
1) Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau
di atas usia 50 tahun
2) Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada
butir pertama
3) Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
4) Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
5) Luka bakar listrik tegangan tinggi
6) Disertai trauma lainnya
7) Pasien-pasien dengan resiko tinggi

24
b. Luka bakar sedang (moderate burn)
1) Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka
bakar derajat III kurang dari 10 %
2) Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau
dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10%
3) Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa
yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
c. Luka bakar ringan
1) Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
2) Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
3) Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum

6. Patofisiologi
Akibat pertama luka bakar adalah syok hipovolemi dan neurogenik.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat
terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan
menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit
akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang
berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar
derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Mekanisme utama akibat luka listrik adalah sebagai berikut:
a. Energi listrik menyebabkan kerusakan jaringan langsung, mengubah
potensial sel membran istirahat, dan tetany memunculkan otot. 
b. Konversi energi listrik menjadi energi panas, menyebabkan kerusakan
jaringan besar dan nekrosis coagulative.
c. Cedera mekanis dengan trauma langsung akibat jatuh atau kontraksi
otot kekerasan.
Faktor-faktor yang menentukan derajat cedera termasuk besarnya
energi yang disampaikan, resistensi dari jaringan yang kontak dengan arus

25
listrik, jenis arus, jalur arus, dan lamanya kontak. Efek sistemik dan
kerusakan jaringan secara langsung proporsional dengan besarnya arus
yang. Jumlah arus (ampere) secara langsung berhubungan dengan
tegangan dan berbanding terbalik dengan perlawanan, sebagaimana
ditentukan oleh hukum Ohm (I = V / R, dimana I = arus, V = tegangan, R
= resistansi). Dari parameter yang dijelaskan oleh hukum Ohm, tegangan
biasanya dapat ditentukan dan digunakan untuk mengukur besarnya
potensi pemaparan saat ini dan besarnya cedera yang disebabkan.
Sengatan listrik diklasifikasikan sebagai tegangan tinggi (> 1000 volt)
atau tegangan rendah (<1000 volt). Sebagai aturan umum, tegangan tinggi
dikaitkan dengan morbiditas dan kematian yang lebih besar, meskipun
cedera fatal dapat terjadi pada tegangan rendah. Tubuh memiliki tahanan
yang berbeda-beda. Secara umum, jaringan dengan cairan yang tinggi dan
mengandung banyak elektrolit mampu mengkonduksi listrik lebih baik.
Tulang memiliki tahanan paling tinggi. Sedangkan jaringan saraf memiliki
tahanan paling rendah, dan bersama-sama dengan pembuluh darah, otot,
dan selaput lender juga memiliki tahanan yang rendah terhadap listrik.
Kulit memberikan tahanan “intermediate” dan merupakan faktor yang
paling penting menghambat aliran arus. Kulit adalah resistor utama
terhadap arus listrik, dan derajat resistensi ditentukan oleh ketebalan dan
kelembaban. Ini bervariasi dari 1000 ohm untuk kulit tipis lembab untuk
beberapa ribu ohm untuk kulit kapalan kering.
Jalur arus menentukan jaringan yang berisiko dan apa jenis cedera
yang dihasilkan. Arus listrik yang melewati kepala atau dada lebih
mungkin menghasilkan luka fatal. Arus transthoracic dapat menyebabkan
aritmia fatal, kerusakan jantung langsung, atau pernapasan. Transcranial
arus dapat menyebabkan cedera otak langsung, kejang, pernapasan, dan
kelumpuhan.
Cedera electrothermal mengakibatkan edema jaringan. Meningkatnya
permeabilitas kapiler akibat terpajan suhu tinggi menyebabkan terjadinya
perpindahan cairan yang berasal dari jaringan interstisial yang mengawali
terjadinya edema yang akan menghasilkan sindrom kompartemen.

26
Ekstremitas adalah struktur yang paling sering terlibat untuk
pengembangan sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen merupakan
suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial pada
kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan
lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan
aliran darah kapiler dan nekrosis jaringan lokal akibat hipoksia. Ketika
tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah dalam kapiler dan
menyebabkan kapiler kolaps. Pertama-tama sel akan mengalami oedem,
kemudian sel akan berhenti melepaskan zat-zat kimia sehingga
menyebabkan terjadi oedem lebih lanjut dan menyebabkan tekanan
meningkat.Aliran darah yang melewati kapiler akan berhenti. Dalam
keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya hipoksia
menyebabkan sel-sel akan melepaskan substansi vasoaktif yang
meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam kapiler-kapiler terjadi
kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan
memperberat kerusakan disekitar jaringan dan jaringan otot mengalami
nekrosis. Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindroma
kompartemen meliputi :
a. Pain : Nyeri pada pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena.
b. Pallor : Kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat.
c. Parestesia : Biasanya terasa panas dan gatal pada daerah lesi.
d. Paralisis : Diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan
sendi.
e. Pulselesness : Berkurang atau hilangnya denyut nadi akibat adanya
gangguan perfusi arterial.
Selain itu panas yang dihasilkan oleh arus listrik akan merusak
sarkolemma pada otot rangka dan melibatkan kebocoran cairan intraseluler
(myoglobin, creatinin kinase, kalium, fosfat dan asam urat) dalam jumlah
besar ke dalam plasma. Hal ini yang disebut rhabdomyolysis. Pada orang

27
dewasa, rhabdomyolysis mempunyai 3 ciri khas yaitu kelemahan
otot,myalgia dan urin yang berwarna kecoklatan gelap. Namun ketiga
karakter ini terkadang jarang muncul bersamaan. Myoglobin hasil dari
kerusakan sel otot akan masuk ke aliran darah dan masuk ke ginjal.
Myoglobin ini mudah melewati glomerulus dan mudah di eksreksikan ke
urin (myoglobinuria). Dengan demikian, terjadi pengendapan mioglobin
dalam tubulus ginjal yang akan mengakibatkan gagal ginjal akut.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%,
akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah,
pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun
dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan,
maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau
bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas
karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat
jelaga.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan
terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh
darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak
tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal,
pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman
penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita
sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi
kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat
berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai
antibiotik.

28
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya
ditemukan kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan
sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila
penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram
negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia)
yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian
dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat
sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini
dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar
sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka
bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang
nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang
dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di
persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase
akut, peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada
fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat
dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum
dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal
sebagai tukak Curling.
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan
epitel akibat dan cedera termis yang melepaskan mediator-mediator
proinflamasi dan berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan Mutli-system
Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi karena gangguan
perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi makro
menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan perfusi (sirkulasi mikro)
sebagai end-point dari prosedur resusitasi.

7. Kriteria Perawatan

29
Kriteria perawatan luka bakar menurut American Burn Association
yang digunakan untuk pasien yang harus diadministrasi dan dirawat
khusus di unit luka bakar adalah seperti berikut:
a. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns
(luka bakar derajat III) dengan >10 % dari TBSA pada pasien berumur
kurang dari 10 tahun atau lebih dari 50 tahun.
b. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns
(luka bakar derajat III) dengan >20 % dari TBSA pada kelompok usia
lainnya.
c. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns
(luka bakar derajat III) yang melibatkan wajah, tangan, kaki, alat
kelamin, perineum, atau sendi utama.
d. Full-thickness burns (luka bakar derajat III) lebih >5 persen TBSA pada
semua kelompok usia.
e. Luka bakar listrik, termasuk cedera petir.
f. Luka bakar pada pasien dengan riwayat gangguan medis sebelumnya
yang bisa mempersulit manajemen, memperpanjang periode pemulihan,
atau mempengaruhi kematian.
g. Luka bakar kimia.
h. Trauma inhalasi
i. Setiap luka bakar dengan trauma lain (misalnya, patah tulang) di mana
luka bakar tersebut menimbulkan risiko terbesar dari morbiditas dan
mortalitas.
j. Luka bakar pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit tanpa unit
perawatan anak yang berkualitas maupun peralatannya.
k. Luka bakar pada pasien yang membutuhkan rehabilitasi khusus seperti
sosial, emosional, termasuk kasus yang melibatkan keganasan pada
anak.

8. Penatalaksanaan
a. Primary Survey

30
1) Airway, yakni membebaskan jalan nafas agar pasien dapat tetap
bernafas secara normal
2) Breathing, mengecek kecepatan pernafasan yakni sekitar 20x/
menit
3) Circulation, melakukan palpasi pada nadi untuk mengecek pulsasi
yang pada orang normal berkisar antar 60 – 100x/ menit
4) Disability
a) Periksa kesadaran.
b) Periksa ukuran pupil.
5) Environment
a) Jaga pasien dalam keadaan hangat.
Secara sistematik dapat dilakukan 6c: clothing, cooling,
cleaning, chemoprophylaxis, covering and comforting. Untuk
pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling,
baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan
1) Clothing : singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar.
Bahan pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka
dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.
2) Cooling : Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan
menggunakan air mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia
(penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan
orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah
kejadian luka bakar – Kompres dengan air dingin (air sering
diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai
analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi –
Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah
mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat
derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar karena zat
kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir
yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka
bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit
baru disiram air yang mengalir.

31
3) Cleaning : pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk
mengurangi rasa sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah
mati, proses penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi
berkurang.
4) Chemoprophylaxis : Pemberian krim silver sulvadiazin untuk
penanganan infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar
superfisial. Tidak boleh diberikan pada wajah, riwayat alergi
sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir, ibu menyususi dengan
bayi kurang dari 2 bulan
5) Covering : penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan
sesuai dengan derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak
perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka
(yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk
mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya
lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak,
oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan
meningkatkan risiko infeksi.
6) Comforting : dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri.

b. Resusitasi cairan (jika berindikasi)


Resusitasi cairan diindikasikan bila luas luka bakar > 10% pada
anak-anak atau > 15% pada dewasa. Tujuan resusitasi cairan pada
syok luka bakar adalah:
1) Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh
pembuluh vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia
jaringan
2) Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak
diperlukan.
3) Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk
menjamin survival seluruh sel
4) Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan
mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke
kondisi fisiologis.

32
Formula yang sering digunakan untuk manajemen cairan pada
luka bakar mayor yaitu Parkland, modified Parkland, Brooke,
modified Brooke, Evans dan Monafo’s formula.
1) 24 jam pertama: cairan Ringer Laktat (RL) 4 mL/kgBB untuk
setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar pada dewasa dan 3
mL/kgBB untuk setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar pada
anak. Cairan RL ditambahkan untuk maintenance pada anak:
a) 4 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 0-10 kg
b) 40 mL/jam + 2 mL/jam untuk anak dengan berat 10-20 kg
c) 60 mL/jam + 1 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 20
kg atau lebih.
Formula ini direkomendasikan tanpa koloid di 24 jam pertama.
2) 24 jam selanjutnya: koloid diberikan sebesar 20-60% dari
kalkulasi volume plasma. Tanpa kristaloid. Glukosa pada air
ditambahkan untuk mempertahankan output urin 0,5 – 1 mL/jam
pada dewasa dan 1 mL/jam pada anak.
Tekanan darah kadang sulit diukur dan hasilnya kurang dapat
dipercaya. Pengukuran produksi urin tiap jam merupakan alat
monitor yang baik untuk menilai volume sirkulasi darah. Pemberian
cairan cukup untuk dapat mempertahankan produksi urin 1,0
mL/kgBB/jam pada anak-anak dengan berat badan 30 kg atau
kurang, dan 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang dewasa.
Resusitasi luka bakar yang ideal adalah mengembalikan volume
plasma dengan efektif tanpa efek samping. Kristaloid isotonic, cairan
hipertonik, dan koloid telah digunakan untuk tujuan ini, namun
setiap cairan memiliki kelebihan dan kekurangan. Tak satupun dari
mereka ideal, dan tak ada yang lebih superior dibanding yang lain.
1) Kristaloid isotonik
Kristaloid tersedia dan lebih murah dibanding alternative
lain. Cairan RL, cairan Hartmann (sebuah cairan yang mirip
dengan RL) dan NaCl 0,9% adalah cairan yang sering
digunakan. Ada beberapa efek samping dari kristaloid:

33
pemberian volume NaCl 0,9% yang besar memproduksi
hyperchloremic acidosis, RL meningkatkan aktivasi neutrofil
setelah resusitasi untuk hemoragik atau setelah infus tanpa
hemoragik. RL digunakan oleh sebagian besar rumah sakit
mengandung campuran ini. Efek samping lain yang telah
didemonstrasikan yaitu kristaloid memiliki pengaruh yang besar
pada koagulasi.
Meskipun efek samping ini, cairan yang paling sering
digunakan untuk resusitasi luka bakar di Inggris dan Irlandia
adalah cairan Hartmann (unit dewasa 76%, unit anak 75%).
Sedangkan RL merupakan tipe cairan yang paling sering
digunakan di US dan Kanada.
2) Cairan hipertonik
Pentingnya ion Na di patofisiologi syok luka bakar telah
ditekankan oleh beberapa studi sebelumnya. Na masuk ke dalam
sel shingga terjadi edema sel dan hipo-osmolar intravascular
volume cairan. Pemasangan infus cairan hipertonik yang segera
telah dibuktikan meningkatkan osmolaritas plasma dan
membatasi edema sel. Penggunaan cairan dengan konsentrasi
250 mEq/L, Moyer at al. mampu mendapatkan resusitasi
fisologis yang efektif dengan total volume yang rendah
dibandingkan cairan isotonic pada 24 jam pertama. Namun
Huang et al. menemukan bahwa setelah 48 jam pasien yang
diterapi dengan cairan hipertonik atau RL memberikan hasil
yang sama. Mereka juga mendemonstrasikan bahwa resusitasi
cairan hipertonik berhubungan dengan peningkatan insidens
gagal ginjal dan kematian. Saat ini, resusitasi dengan cairan
hipertonik menjadi pilihan menarik secara fungsi fisiologis
sesuai teorinya, tetapi memerlukan pemantauan ketat dan resiko
hipernatremi dan aggal ginjal menjadi perhatian utama.
3) Koloid

34
Kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar
komparemen vaskular memberikan kontribusi pada
pembentukan edema. Kebocoran kapiler bisa bertahan hingga 24
jam setelah trauma bakar. Peneliti lain menemukan ekstravasasi
ekstravasasi albumin berhenti 8 jam setelah trauma bakar.
Koloid sebagai cairan hiperosmotik, digunakan untuk
meningkatkan osmolalitas intravascular dan menghentikan
ekstravasasi kristaloid.

c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral
sebaiknya dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila
pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric
tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15%
protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi
sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan
mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan
pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya
SIRS dan MODS.

d. Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar
digunakan morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa
awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam,
sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada
juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa)
setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus
untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan
nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga
diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.

e. Terapi pembedahan pada luka bakar

35
1) Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan
debris (debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7
hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari
tindakan ini adalah:
2) Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat.
Dengan dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses
inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan segera
dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar
umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran darah
dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada
jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari
luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar,
semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
3) Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi
komplikasi – komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini
didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan “burn toxic”
(lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-
mediator inflamasi.
4) Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya
proses angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka.
Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan
tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan
resiko kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan
menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut
membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan
pemberian cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk
mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat III.
Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting”
(dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga
tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang

36
luas. Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar
batang tubuh posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial
dan eksisi fasial.
5) Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana.
Tujuan dari metode ini adalah:
a) Menghentikan evaporate heat loss
b) Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai
dengan waktu
c) Melindungi jaringan yang terbuka

9. Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada
dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal
hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia
dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang
timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS,
infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.

10. Komplikasi
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system
Organ Dysfunction Syndrome (MODS), dan Sepsis. SIRS adalah suatu
bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus
klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar,
reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak
dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya
bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena
pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini
berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan
kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan

37
berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS
(Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan
berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu
infection, injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-
reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil
konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of
Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih
menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
a. Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
b. Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
c. Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2
rendah (PaCO2 < 32 mmHg)
d. Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000
sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil
kultur darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan
selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan
fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis
tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut,
SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat
dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan
merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada
pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami
MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis;
yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan
penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan
usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi
mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan

38
mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami
translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah
menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen
usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain
kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga
berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang
berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila
pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut
menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-
kondisi yang memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan
disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi
dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute
Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal
Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot
dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi
Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan
sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan
sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi
barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC)
yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat
cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin
dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan
LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul
mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian
berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme
(hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase
selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim
imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi

39
sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing
atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan
organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan
suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang
mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan
saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep
Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular
coagulation (DIC). Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan
bertujuan mencegah perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.

11. Diagnosis
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 21 tahun
Alamat : Samarinda Utara
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh bangunan
Pendidikan : -
Masuk RS : Selasa, 30 April 2019 pukul 13.24
ANAMNESIS
Keluhan utama : Luka Bakar Listrik
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 2 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit akibat
tersengat listrik pada saat bekerja di mesjid. Awalnya pasien tanpa
sengaja memegang kabel telanjang, lalu kesetrum dan terjatuh ke
lantai. Terdapat kesan luka bakar pada lengan kanan dan punggung
kiri sampai ke leher. Nyeri (+) jika luka bakar disentuh. Riwayat
pingsan (+) <15 menit, riwayat muntah (-), riwayat sesak (-), batuk(-)
Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada riwayat penyakit dan alergi

40
Riwayat penyakit keluarga
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK
Primary survey
B1:RR:20x/menit, Rh-/-, Wh-/-, SpO2: 99%
B2:TD 110/70 mmHg, N 88 x/menit regular, kuat angkat.
B3: GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor ∅2,5mm/2,5mm, RC +/+, suhu
axilla 36,8C
B4: terpasang kateter, produksi urin ±60cc/jam, warna merah
kecoklatan.
B5: Datar, peristaltik (+) kesan normal, timpani.
B6: Edema (-), fraktur (-), luka bakar grade iia-iib

Secondary survey
Kepala & wajah : deformitas (-), bibir edema (-),
Mata : edema (-), konjungtiva anemis (-), ikterus (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
THT : sekret (-)
Dada : simetris kanan = kiri
- Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, NT (-), tdk teraba massa, BU (+)
normal, H/L ttb
Ekstremitas : lihat status lokalis

Status lokalis
Kepala dan leher :3%
Trunkus anterior :0%
Trunkus posterior :7%

41
Esktremitas atas kanan :5%
Ekstremitas atas kiri :2%
Ekstremitas bawah kanan :0%
Ekstremitas bawah kiri :0%
Genitalia :0%+
Total : 17 %

PEMERIKSAAN PENUNJANG
RUTIN Protein :-
Hemoglobin : 15,8 g/dL Glukosa :-
Hematokrit : 48,4 % Keton :+
Leukosit : 43.800/L Darah/Hb :+
Trombosit : 455.000/L Bilirubin :-
MCV : 91 fl Urobilinogen : 0,2
MCH : 29.8 pg Nitrit :-
MCHC : 32.7 g/dL KIMIA DARAH
PT : 11.3 detik Ureum : 32 mg/dL
PT kontrol : 10.3 detik Creatinin :0,7 mg/dL
APTT : 32.1 detik SGOT : 533 U/L
APTT kontrol : 23.3 detik SGPT : 112 U/L
CT : 7’00 GDS :150 mg/dL
BT : 3’00 Na :133meq/L
URINALISIS K :4.11meq/L
Sedimen Cl :107meq/L
Sel epitel : 0-1
Leukosit : 1-2
Eritrosit : 10-11
Silinder :-
Krista l :-
Bakteri :-
Berat jenis : 1.015
pH :5

42
DIAGNOSIS KERJA
Luka bakar grade IIA-IIB 17 % + Compartment sindrom
TERAPI
Airway : O2 2-4 tpm via Nasal Kanul
Breathing : spontan
Circulation : IVFD RL 124 tts/menit pada 6 jam pertama. Dilanjutkan
dengan 46 tts/mnt pada 16 jam berikutnya. Pasang
kateter.
Drug : Ceftriaxon 1gr/12 j/IV, Ketorolac 30 mg/8jam/iv,
Ranitidin 50 mg/8 jam/iv, kompres NaCl + Silver
Sulphadiazine 10 mg Cr.
Monitoring resusitasi
Urin (0,5-1 cc/kgBB/jam) = 30-60 cc/ jam.

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Dubia
Quo ad Sanactionam : Bonam

B. Pembahasan Kasus
Tn. S, usia 21 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan luka bakar di
tubuhnya yaitu kedua lengan dan punggung bagian atas yang dialami sejak 2
jam sebelum masuk Rumah Sakit akibat tersengat listrik. Pasien sedang
bekerja di mesjid dan tanpa sengaja menyentuh kabel telanjang. Nyeri (+) jika
luka bakar disentuh. Riwayat pingsan (+) <15menit, hal ini menandakan telah
terjadi cardiac arrest akibat sengatan listrik, riwayat muntah (-), riwayat
sesak (-), batuk(-). Pada pemeriksaan fisis ditemukan pada regio thoracalis
posterior, cervical, ekstremitas kanan dan kiri tampak kesan luka bakar, nyeri
(+), edema (-), eritema (+), pucat(+), pulselessness(+). Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan leukositosis, peningkatan enzim transaminase,
hemoglobinuria, dan ketonuria.
Pasien datang masih dalam fase akut luka bakar. Maka perlu

43
diperhatikan ABCD dari pasien. Airway: paten. Breathing & Ventilation:
dada simetris, P 20 x/menit, Rh-/-, Wh-/-, bunyi pernapasan vesikuler, tipe
pernapasan thoracoabdominal. Circulation: TD 110/70 mmHg, N 88 x/menit
reguler kuat angkat. Disability: kesadaran composmentis, pupil isokor Ø 2,5
mm/2,5 mm. Environment: suhu axilla 36,8 C.
Pada tubuh ditemukan luka bakar di region cervical (3%), thoracalis
posterior (7 %) dan ekstremitas kanan dan kiri (7 %). Luas luka ditentukan
menurut diagram rules of nine dari Wallace. Total luas luka bakar mencapai
17% dengan grade II A – II B, sehingga digolongkan ke dalam luka bakar
sedang.
Luka bakar pada pasien ini digolongkan luka bakar derajat II A – II B
sebab kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis yang terlihat dari
reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi, ditemukan bula, dasar luka
berwarna merah atau pucat dan nyeri akibat iritasi ujung saraf sensorik. Luka
bakar pada pasien tidak digolongkan dalam derajat I sebab pada luka bakar
derajat I kelainannya hanya berupa eritema, kulit kering, nyeri tanpa disertai
eksudasi. Luka bakar juga tidak digolongkan dalam derajat III sebab pada
luka bakar derajat III dijumpai kulit terbakar berwarna abu-abu dan pucat,
letaknya lebih rendah (cekung).
dibandingkan kulit sekitar dan tidak dijumpai rasa nyeri/hilang sensasi
akibat kerusakan total ujung serabut saraf sensoris.
Lengan tampak edema hiperemis dan bulla. Edema terjadi akibat
adanya gangguan vaskularisasi yang menyebabkan permeabilitas kapiler
meningkat, tekanan osmotik koloid menurun sehingga air, protein yang
terkandung dalam vascular berpindah ke jaringan interstisial. Hiperemis
terjadi akibat adanya peningkatan aliran darah pada zona ini, dimana belum
terjadi kerusakan jaringan namun tubuh sudah mempersiapkan untuk
mencegah terjadinya kerusakan jaringan dengan meningkatkan aliran darah
pada daerah ini. Bulla menandakan terjadinya perpindahan cairan dari
jaringan interstisial (2nd spacing) menuju 3rd spacing di atas dermis yang
selanjutnya akan membentuk bulla tersebut.

44
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisis, pada ektremitas didapatkan tanda-
tanda sindrom kompartemen, seperti pain, pallor (pucat), paralisis
(kelemahan), pulselessness (denyut nadi melemah). Dimana Sindrom
kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
interstitial pada kompartemen osteofasial yang tertutup akibat meningkatnya
permeabilitas kapiler akibat terpajan suhu tinggi yang menyebabkan
terjadinya perpindahan cairan yang berasal dari jaringan interstisial. Sehingga
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Hal tersebut merupakan indikasi untuk dilakukan fasciotomi.
Dilihat dari hasil pemeriksaan laboratorium urine, terdapat abnormalitas
pada hasil makroskopik yaitu warna urine jernih namun kemerahan,akibat
terjadinya hemolisis yang menyebakan hemoglobin terdapat dalam urine dan
mewarnai urine tersebut. Dari pemeriksaan laboratorium darah tepi
ditemukan peningkatan leukosit. Peningkatan leukosit ini disebabkan oleh
reaksi inflamasi pada fase akut luka bakar. Selain itu, terjadi peningkatan
enzim transaminase akibat proses inflamasi di hepar dan otot.
Resusitasi cairan perlu dilakukan karena luka bakar mencapai 17% (di
atas 15%). Dengan rumus Parkland, dapat dihitung kebutuhan cairan pasien
yaitu: (diketahui BB pasien 65 kg).
4x BB x luas luka bakar = 4 x 65 x 17 = 4420 mL (dalam 24 jampertama)
Dari total cairan yang harus diberikan dalam 24 jam pertama, dibagi
dalam dua pemberian yaitu cairan pada 8 jam pertama dan 16 jam kedua.
Karena resusitasi seharusnya dimulai sejak terjadinya trauma bakar
sedangkan pasien datang ke rumah sakit 2 jam setelah kejadian, sehingga
tersisa 6 jam dari yang seharusnya 8 jam pertama untuk melakukan resusitasi.
2210 cc diberikan pada 6 jam pertama ≈ (2210 cc x 20)/6x60 menit= 124
tts/menit; kemudian 2210 cc yang diberikan pada 16 jam selanjutnya ≈ (2210
ml x 20)/ 16x60 menit = 46 tts/ menit.
Cairan yang digunakan yaitu Ringer Laktat (RL). Hal yang dimonitor
selama resusitasi yaitu output urin 0,5 – 1 mL/kg BB/jam dan tanda-tanda
vital.

45
Kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar kompartemen vaskular
memberikan kontribusi pada pembentukan edema. Kebocoran kapiler bisa
bertahan hingga 24 jam setelah trauma bakar. Sehingga pemberian koloid
tidak dianjurkan pada 24 jam pertama.
Setelah itu dilakukan perawatan luka bakar. Luka bakar dibersihkan
dengan air hangat yang mengalir. Hal ini merupakan cara terbaik untuk
menurunkan suhu di daerah cedera, sehingga dapat menghentikan proses
kombusio pada jaringan. Kemudian diberikan krim silver sulvadiazin untuk
penanganan infeksi. Untuk menutup luka, digunakan kasa lembab steril
menggunakan cairan NaCl untuk mencegah penguapan. Balutan dinilai dalam
waktu 24-48 jam. Bulla yang luas dengan akumulasi transudat, akan
menyebabkan penarikan cairan ke dalam bula sehingga menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan.
Diberikan antibiotik karena luka bakar yang tidak steril diakibatkan
oleh kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik untuk
pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Kuman penyebab infeksi
pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari
kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan
rumah sakit. Selain pemberian antibiotik, pasien juga diberikan analgetik
golongan NSAID untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien serta
diberikan AH2 antagonis untuk mencegah pengeluaran asam lambung yang
diakibatkan oleh stress ulcer akibat luka bakar tersebut.

46
C. Nursing Care Plan
N Diagnos Keperawatan NOC NIC
o
1. Domain 11 Integritas jaringan: Integritas jaringan: kulit &
Kelas 2 kulit & membrane membrane mukosa
Kerusakan integritas kulit mukosa Definisi :
Definisi : Definisi : Keutuhan struktur dan fungsi
Kerusakan pada epidermis Keutuhan struktur fisiologis kulit dan selaput lendir
dan/atau dermis dan fungsi fisiologis secara normal.
Batasan karakteristik : kulit dan selaput
 Kerusakan integritas kulit lendir secara Pengecekan kulit
Faktor yang berhubungan : normal. Definisi :
 cedera kimiawi kulit (mis, Pengumpulan dan analisis data
luka bakar,kapsaisin, Skala Outcome pasien untuk menjaga kulit dan
metilen, klorida, agens keseluruhan : integritas membrane mukosa
mustard) 1. Integritas kulit
Ket. Aktivitas-aktivitas :
Skala 1: sangat 1. Periksa kulit dan selaput lendir
terganggu terkait dengan adanya,
Skala 2: banyak kemerahan, kehangatan
terganggu ekstrim, edema, atau drainase.
Skala 3: cukup 2. Amati warna, kehangatan,
terganggu bengkak, pulsasi, tekstur,
Skala 4: sedikit edema, dan ulserasi, pada
terganggu ekstremitas.
Skala 5: tidak 3. Monitor warna dan suhu kulit.
terganggu 4. Mmonitor kulit dan selaput
lendir terhadap area perubahan
2. Pengelupasan warna, memar, dan pecah.
kulit 5. Monitor infeksi, terutama dari
Ket. daerah edema.

47
Skala 1: berat
Skala 2: cukup berat  Kontrol infeksi
Skala 3: sedang Definisi :
Skala 4: ringan Meminimalkan penerimaan dan
Skala 5: tidak ada transmisi agen infeksi

3. Pengerasan Aktivitas-aktivitas :
[kulit] 1. Ganti peralatan perawatan per
Ket. pasien sesuai protocol institusi
Skala 1: berat 2. Pastikan teknik perawatan luka
Skala 2: cukup berat yang tepat
Skala 3: sedang 3. Tingkatkan intake nutrisi yang
Skala 4: ringan tepat
Skala 5: tidak ada 4. Dorong intake cairan yang
sesuai
5. Dorong untuk beristirahat
6. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala
infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada
penyedia perawatan kesehatan
7. Ajarkan pasien dan anggota
keluarga mengenai bagaimana
menghindari infeksi

2. Domain : 11 Keparahan infeksi Kontrol infeksi


Kelas : 1 Definisi : Definisi :
Resiko infeksi Keparahan tanda Meminimalkan penerimaan dan
Definisi : dan gejala infeksi transmisi agen infeksi
Rentan mengalami invasi dan
multiplikasi organism Skala outcome : Aktivitas-aktivitas :
patogenik yang dapat 1. vesikel yang 1. ganti peralatan perawatanan per
mengganggu kesehatan tidak mengeras pasien sesuai protocol institusi
permukaannya 2. pastikan teknik perawatan luka
Faktor risiko ket. yang tepat

48
 gangguan integritas Skala 1: berat 3. tingkatkan intake nutrisi yang
kulit Skala 2: cukup berat tepat
Skala 3: sedang 4. dorong intake cairan yang
Skala 4: ringan sesuai
Skala 5: tidak ada 5. dorong untuk beristirahat
6. ajarkan pasien dan keluarga
2. cairan [luka] mengenai tanda dan gejala
yang berbau infeksi dan kapan harus
busuk melaporkannya kepada
ket. penyedia perawatan kesehatan
Skala 1: berat 7. ajarkan pasien dan keluarga
Skala 2: cukup berat mengenai bagaimana
Skala 3: sedang menghindari infeksi
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada

3. nyeri
ket.
Skala 1: berat
Skala 2: cukup berat
Skala 3: sedang
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada

3. Domain : 4 Tingkat Meningkatkan latihan : peregangan


Kelas : 2 ketidaknyamanan Definisi :
Hambatan mobilitas fisik Definisi : Fasilitas latihan otot pelan-
Definisi : Keparahan renggang-tahan (slow-stretch-hold)
Keterbatasan dalam gerakan ketidaknyamanan yang sistematis untuk menimbulkan
fisik atau satu atau lebih mental atau fisik relaksasi, mempersiapkan
ekstremitas secara mandiri dan yang diamati atau otot/sendi-sendi untuk latihan yang
terarah dilaporkan lebih berat, atau untuk
meningkatkan atau
Batasan karakteristi : Skala outcome : mempertahankan fleksibilitas tubuh
1. nyeri

49
 Keterbatasan rentang ket. Aktivitas-aktivitas :
gerak Skala 1: berat 1. dapatkan izin medis untuk
 Ketidaknyamanan Skala 2: cukup berat melakukan rencana latihan
Faktor yang berhubungan : Skala 3: sedang perenggangan, sesuai dengan
 Intolerana aktivitas Skala 4: ringan kebutuhan

 nyeri Skala 5: tidak ada 2. instruksikan memulai latihan


rutin pada kelompok otot/sendi
2. cemas yang tidak kaku atau pegal dan
ket. secara bertahap pindah ke
Skala 1: berat kelompok otot/sendi yang lebih
Skala 2: cukup berat kaku
Skala 3: sedang 3. instruksikan untuk perlahan-
Skala 4: ringan lahan merenggangkan
Skala 5: tidak ada otot/sendi ke titik peregangan
penuh (atau ketidaknyaman
3. sindrom retless yang wajar) dan tahan selama
legs (kondisi waktu tertentu dan perlahan-
dimana tubuh lahan lepaskan otot-otot yang
tidak merasa direnggangkan
nyaman baik 4. instruksikan cara untuk
dalam keadaan memonitor kepatuhan diri
duduk maupun sendiri akan jadwa dan
berdiri) kemajuan mencapai tujuan
ket. (misalnya, kenaikan sendi
Skala 1: berat ROM, kesadaran melepaskan
Skala 2: cukup berat ketegangan otot, meningkatkan
Skala 3: sedang durasi fase “menahan/hold”
Skala 4: ringan dan jumlah pengulangan-
Skala 5: tidak ada pengulangan tanpa rasa sakit
dan kelelahan, serta
4. meringis peningkatkan toleransi untuk
ket. latihan berat)
Skala 1: berat 5. monitor toleransi latihan
Skala 2: cukup berat (misalnya, adanya gejala
Skala 3: sedang seperti sesak nafas, denyut nadi

50
Skala 4: ringan cepat, pucat, , pusing dan nyeri
Skala 5: tidak ada atau pembengkakan sendi/otot)
selama latihan
5. merasa kesulitan
bernafas
ket.
Skala 1: berat
Skala 2: cukup berat
Skala 3: sedang
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada
4. Domain : 3 Status pernafasan : Monitor pernafasan
Kelas : 4 pertukaran gas Definisi :
Gangguan pertukaran gas Definisi : Sekumpulan data dan analis
Definisi : Pertukaran keadaan pasien untuk memastikan
Kelebihan atau deficit karbondioksida dan kepatenan jalan nafas dan
oksigenasi dan/atau eliminasi oksigen di alveoli kecukupan pertukaran gas
karbon dioksida pada untuk
membran alveolar-kapiler mempertahankan Aktivitas-aktivitas :
konsentrasi darah 1. monitor kecepatan, irama,
Batasan karakteristik arteri kedalaman dan kesulitan
 penurunan kabon bernafas.
dioksida Skala outcome : 2. Catat pergerakan dada, catat
 warna kulit abnormal 1. saturasi oksigen ketidaksimetrisan, penggunaan
(mis, pucat, ket. otot-otot banyu nafas, dan
kehitaman) Skala 1: devaisi retraksi pada otot
faktor yang berhubungan berat dari kisaran supraclaviculas dan interkosta.
 perubahan membrane normal 3. Monitor hasil pemeriksaan
alveolar-kapiler Skala 2: devaisi yang ventilasi mekanik, catat
cukup,Cukup berat peningkatan tekanan inspirasi
dari kisaran normal dan penurunan volume tidal.
Skala 3: deviasi 4. Monitor peningkatan kelelahan,
sedang dari kisaran kecemasan, dan kekurangan
normal udara pada pasien.
Skala 4: deviasi 5. Monitor keluhan sesak nafas
ringan dari kisaran pada pasien, termasuk kegiatan

51
normal yang meningkatkan atau
Skala 5: tidak ada memperburuk sesak nafas
deviasi dari kisaran tersebut.
normal

2. keseimbangan
ventilasi dan
perfusi
ket.
Skala 1: devaisi
berat dari kisaran
normal
Skala 2: devaisi yang
cukup,Cukup berat
dari kisaran normal
Skala 3: deviasi
sedang dari kisaran
normal
Skala 4: deviasi
ringan dari kisaran
normal
Skala 5: tidak ada
deviasi dari kisaran
normal

3. gangguan
kesadaran
ket.
Skala 1: sangat berat
Skala 2: berat
Skala 3: cukup
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada

5. Domain : 2 Penyembuhan luka Pencegahan perdarahan


Kelas : 5 bakar Definisi :

52
Risiko kekurangan volume Definisi : Pengurangan stimulus yang dapat
cairan Tingkat kesembuhan menyebabkan atau perdarahan pada
Definisi : luka bakar. pasien yang berisiko
Kerentanan mengalami
penurunan volume cairan Skala outcome : Aktivitas-aktivitas :
intravascular, interstisial, 1. presentasu 1. Monitor dengan ketat risiko
dan/atau intraselular, yang kesebuhan area terjadinya perdarahan pada
dapat mengganggu kesehatan trasplantasi pasien
ket. 2. Catat nilai hemoglobin dan
Faktor resiko : Skala 1: tidak ada hematokrit sebelum dan setelah
 faktor yang Skala 2: terbatas pasien kehilangan darah sesuai
mempengaruhi Skala 3: sedang indikasi
kebutuhan cairan Skala 4: besar 3. Monitor tanda dan gejala
 kehilangan volume Skala 5: sangat perdarahan menetap (contoh,
cairan besar cek semua sekresi darah yang
terlihat jelas maupun yang
2. perfusi jaringan tersembunyi/for frank or occult
area luka bakar blood)
ket. 4. Monitor kompenen koagolasi
Skala 1: tidak ada darah (termasuk protrombrin
Skala 2: terbatas time (PT), partial
Skala 3: sedang thromboplastin time (PTT),
Skala 4: besar fibrinogen degradasi fibrin/split
Skala 5: sangat produks, dan trombosit hitung
besar dengan cara yang tepat
5. Lindungi pasien dari trauma
3. infeksi yang dapat menyebabkan
ket. perdarahan
Skala 1: sangat 6. Instruksikan pasien dan
besar keluarga untuk memonitor
Skala 2: besar tanda-tanda perdarahan dan
Skala 3: sedang mangambil tindakan yang tepat
Skala 4: terbatas jika terjadi perdarahan (mis,
Skala 5: tidak ada lapor kepada perawat)

53
4. kulit melepuh
ket.
ket.
Skala 1: sangat
besar
Skala 2: besar
Skala 3: sedang
Skala 4: terbatas
Skala 5: tidak ada

5. edema pada
area terbakar
ket.
Skala 1: sangat
besar
Skala 2: besar
Skala 3: sedang
Skala 4: terbatas
Skala 5: tidak ada

6. nekrosis
jaringan
ket.
Skala 1: sangat
besar
Skala 2: besar
Skala 3: sedang
Skala 4: terbatas
Skala 5: tidak ada

6. Domain : 12 Tingkat nyeri Manajemen nyeri


Kelas : 1 Definisi : Definisi :
Gangguan rasa nyaman Keparahan dari Pengurangan atau reduksi nyeri
Definisi : nyeri yang diamati sampai pada tingkat kenyamanan
merasa kurang nyaman, lega atau dilaporkan yang dapat diterimaoleh pasien
dan sempurna dalam dimensi

54
fisik, psikospiritual, Skala outcome : Aktivitas-aktivitas :
lingkungan, budaya, dan/atau 1. nyeri yang 1. lakukan pengkajian nyeri
social dilaporkan komprehensif yang meliputi
ket. lokasi,karakteristik,onset/durasi
Batasan karakteristik : Skala 1: berat ,frekuensi ,kualitas,
 ansietas Skala 2: cukup berat kualitas,intensitas atau bertnya
 merasa tidak nyaman Skala 3: sedang nyeri dan faktor pencetus.
faktor yang berhubungan : Skala 4: ringan 2. Gali bersama pasien faktor-

 gejala terkait penyakit Skala 5: tidak ada faktor yang dapat menurunkan
atau memperberat nyeri.
2. panjangnya 3. Evaluasi bersama pasien dan
episode nyeri tim kesehatan lainnya,
ket. mengenai efektifitas tindakan
Skala 1: berat pengontrollan nyeri yang
Skala 2: cukup berat pernah digunakan sebelumnya.
Skala 3: sedang 4. Bantu keluarga dalam mencari
Skala 4: ringan dan menyediakan dukungan.
Skala 5: tidak ada 5. Dorongan pasien untuk
memonitor nyeri dan
3. menggosok area menangani nyeri dengan tepat.
yang terkena 6. Gunakan tindakan pengontrol
dampak nyeri sebelum nyeri bertambah
ket. berat.
Skala 1: berat Dukung istirahat/tidur yang edekuat
Skala 2: cukup berat untuk membantuk penurunnan
Skala 3: sedang nyeri
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada

4. mengerang dan
menangis
ket.
Skala 1: berat
Skala 2: cukup berat
Skala 3: sedang

55
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada

5. ekspresi nyeri
wajah
ket.
Skala 1: berat
Skala 2: cukup berat
Skala 3: sedang
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada

6. tidak bisa
beristirahat
ket.
Skala 1: berat
Skala 2: cukup berat
Skala 3: sedang
Skala 4: ringan
Skala 5: tidak ada

7. frekuensi nafas
ket.
Skala 1: devaisi
berat dari kisaran
normal
Skala 2: devaisi yang
cukup,Cukup berat
dari kisaran normal
Skala 3: deviasi
sedang dari kisaran
normal
Skala 4: deviasi
ringan dari kisaran
normal

56
Skala 5: tidak ada
deviasi dari kisaran
normal

Kontrol gejala
Definisi :
Tindakan seseorang
untuk mengurangi
perubahan fungsi
fisik dan emosi yang
dirasakan

Skala outcome :
1. memantau
munculnya
gejala
ket.
Skala 1: tidak
pernah menunjukan
Skala 2: jarang
menunjukan
Skala 3: kadang-
kadang menunjukan
Skala 4: sering
menunjukan
Skala 5: secara
konsisten
menunjukan

2. memantau lama
bertahannya
gejala
ket.
Skala 1: tidak
pernah menunjukan

57
Skala 2: jarang
menunjukan
Skala 3: kadang-
kadang menunjukan
Skala 4: sering
menunjukan
Skala 5: secara
konsisten
menunjukan

3. memantau
keparahan
gejala
ket.
Skala 1: tidak
pernah menunjukan
Skala 2: jarang
menunjukan
Skala 3: kadang-
kadang menunjukan
Skala 4: sering
menunjukan
Skala 5: secara
konsisten
menunjukan

4. melakukan
tindakan-
tindakan
pencegahan
ket.
Skala 1: tidak
pernah menunjukan
Skala 2: jarang
menunjukan

58
Skala 3: kadang-
kadang menunjukan
Skala 4: sering
menunjukan
Skala 5: secara
konsisten
menunjukan

7. Domain 2 Ketidakseibangan Nutrisi : ketidakseimbangan,


Kelas 1 nutrisi: kurang dari kurang dari kebutuhan tubuh
Ketidakseibangan nutrisi: kebutuhan tubuh
kurang dari kebutuhan tubuh Definisi : Manajemen nyeri
Definisi : Asupan nutrisi tidak Definisi :
Asupan nutrisi tidak cukup cukup untuk Pengurangan atau reduksi nyeri
untuk memenuhi kebutuhan memenuhi sampai pada tingkat kenyamanan
metabolic kebutuhan metabolic yang dapat diterimaoleh pasien

Batasan karakteristik : Status nutrisi Aktivitas-aktivitas :


 kesalahan informasi Definisi : 1. lakukan pengkajian nyeri
 kurang informasi Sejauh mana nutrisi komprehensif yang meliputi

 kurang minat pada dicerna dan diserap lokasi,karakteristik,onset/durasi

makan untuk memenuhi ,frekuensi ,kualitas,

Faktor yang berhubungan : kebutuhan metabolic kualitas,intensitas atau bertnya

 kurang asupan nyeri dan faktor pencetus.

makanan Skala outcome : 2. Gali bersama pasien faktor-


1. asupan gizi faktor yang dapat menurunkan
ket. atau memperberat nyeri.
Skala 1: sangat 3. Evaluasi bersama pasien dan
menyimpang dari tim kesehatan lainnya,
rentang normal mengenai efektifitas tindakan
Skala 2: banyak pengontrollan nyeri yang
menyimpang dari pernah digunakan sebelumnya.
rentang normal 4. Bantu keluarga dalam mencari
Skala 3: cukup dan menyediakan dukungan.
menyimpang dari 5. Dorongan pasien untuk

59
rentang normal memonitor nyeri dan
Skala 4: sedikit menangani nyeri dengan tepat.
menyimpang dari 6. Gunakan tindakan pengontrol
rentang normal nyeri sebelum nyeri bertambah
Skala 5: tidak berat.
menyimpang dari 7. Dukung istirahat/tidur yang
rentang normal edekuat untuk membantuk
penurunnan nyeri.
2. asupan
makanan
ket.
Skala 1: sangat
menyimpang dari
rentang normal
Skala 2: banyak
menyimpang dari
rentang normal
Skala 3: cukup
menyimpang dari
rentang normal
Skala 4: sedikit
menyimpang dari
rentang normal
Skala 5: tidak
menyimpang dari
rentang normal

3. asupan cairan
ket.
Skala 1: sangat
menyimpang dari
rentang normal
Skala 2: banyak
menyimpang dari
rentang normal

60
Skala 3: cukup
menyimpang dari
rentang normal
Skala 4: sedikit
menyimpang dari
rentang normal
Skala 5: tidak
menyimpang dari
rentang normal

8. Domain 12 Kontrol nyeri Manajemen nyeri


Kelas 1 Definisi : Definisi :
Nyeri akut Tindakan pribadi Pengurangan atau reduksi nyeri
Definisi : untuk mengontrol sampai pada tingkat kenyamanan
Pengalaman sensori dan nyeri yang dapat diterimaoleh pasien
emosional tidak
menyenangkan yang muncul Skala outcome : Aktivitas-aktivitas :
akibat kerusakan jaringan 1. mengenali 7. lakukan pengkajian nyeri
actual atau potensial atau yang kapan nyeri komprehensif yang meliputi
digambarkan sebagai terjadi lokasi,karakteristik,onset/durasi
kerusakan (international ket. ,frekuensi ,kualitas,
association for the study of skala 1: tidak pernah kualitas,intensitas atau bertnya
pain); awiran yang tiba-tiba menunjukan nyeri dan faktor pencetus.
atau lambat dari intensitas skala 2: jarang 8. Gali bersama pasien faktor-
ringan hingga berat dengan menunjukan faktor yang dapat menurunkan
akhir yang dapat diantisipasi skala 3: kadang- atau memperberat nyeri.
atau diprediksi. kadang menunjukan 9. Evaluasi bersama pasien dan
skala 4: sering tim kesehatan lainnya,
Batasan karakteristik : menunjukan mengenai efektifitas tindakan
 mengekspresikan skala 5: secara pengontrollan nyeri yang
perilaku konsisten pernah digunakan sebelumnya.
(mis,gelisah,merengek menunjukan 10. Bantu keluarga dalam mencari
, menangis, waspada) dan menyediakan dukungan.
faktor yang berhubungan : 2. menggunakan 11. Dorongan pasien untuk
 agens cedera fisik tindakan memonitor nyeri dan
pencegahan menangani nyeri dengan tepat.

61
(mis, abses, amputasi, ket. 12. Gunakan tindakan pengontrol
luka bakar, terpotong, skala 1: tidak pernah nyeri sebelum nyeri bertambah
mengangkat berat, menunjukan berat.
prosedur bedah, skala 2: jarang 13. Dukung istirahat/tidur yang
trauma, olahraga menunjukan edekuat untuk membantuk
berlebihan). skala 3: kadang- penurunnan nyeri.
kadang menunjukan
skala 4: sering
menunjukan
skala 5: secara
konsisten
menunjukan

3. menggunakan
tindakan
pengurangan
(nyeri) tanpa
analgesic
ket.
skala 1: tidak pernah
menunjukan
skala 2: jarang
menunjukan
skala 3: kadang-
kadang menunjukan
skala 4: sering
menunjukan
skala 5: secara
konsisten
menunjukan

4. melaporkan
nyeri yang
terkontrol
ket.

62
skala 1: tidak pernah
menunjukan
skala 2: jarang
menunjukan
skala 3: kadang-
kadang menunjukan
skala 4: sering
menunjukan
skala 5: secara
konsisten
menunjukan

63
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan
yang dsebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik, dan radiasi (Hardisman, 2014). Luka bakar merupakan suatu
jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (Nugroho,
2012). Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera berat yang
memerlukan penatalaksanan sebaik-baiknya sejak awal. Peran masyarakat
yang berhadapan langsung serta pertolongan petugas yang menerima kasus
ini pertama kali sangat menentukan perjalanan penyakit ini selanjutnya.
Salah satu cara dalam menangani tingkat keparahan luka bakar sangat
dibutuhkan penanganan awal penderita sebelumnya dibawa ke pelayanan
kesehatan. Pertolongan pertama adalah pertolongan yang diberikan saat
kejadian atau bencana terjadi di tempat kejadian, sedangkan tujuan dari
pertolongan pertama adalah menyelamatkan kehidupan, mencegah kesakitan
makin parah, dan meningkatkan pemulihan (Paula, K., dkk, 2009).

B. Saran
Diharapkan mahasiswa keperawatan maupun pembaca sebaiknya
mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada pasien dengan luka bakar
listrik. Mahasiswa keperawatan juga diharapkan mampu
mengimplementasikan bagaimana cara melakukan Pendidikan kesehatan
terkait masalah tersebut, memahami asuhan keperawatannya, dan melakukan
penanganan terhadap luka bakar listrik pada pasien terkait.
DAFTAR PUSTAKA

Advances Trauma Life Support untuk Dokter. 2004.


Mehmet H, Ebru SA, Hamdi K. Fluid Management in Major Burn Injuries.
Indian J Plast Surg. 2010: S29-S36.
David G. Burn Resuscitation. Journal of Burn Care & Research. 2007: 4.
WHO. Management of Burns. WHO Surgical Care at the District Hospital. 2003:
1-7.
Shehan H, Peter D. Pathophysiology and Types of Burns. BMJ. 2004;328:1427–9.
New Zealand Guidelines Group. Management of Burns and Scalds in Primary
Care. Accident Compensation Corporation. 2007: 4-6.
James M, Mahambrey T, Andrews F, Jeanrenaud P, Yao S, Wilkinson D. Adult
Acute Burn Fluid Resuscitation Guidelines. NHS: 1-4.
The Dudley Group. Clinical Guideline Burn Injury. 2012
Steffen Rex.Burn Injuries. 2012

Anda mungkin juga menyukai