Anda di halaman 1dari 13

SKIZOFRENIA : ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI, DAN

PENATALAKSANAAN : SEBUAH KAJIAN LITERATUR

Abstrak
Pendahuluan : diagnosis skizofrenia sebagain besar didasarkan pada penilaian
secara klinis pada tanda dan gejala. Terdapat berbagai faktor yang dapat dijadikan
penyebab atau faktor resiko untuk menciptakan gangguan ini, dimana beberapa
dapat dicegah dan beberapa tidak dapat dicegah. Pemilihan terapi nya cukup
beraneka ragam dan hingga saat ini masih terus diteliti dalam rangka
meningkatkan outcome pasien dan mengurangi efek samping akibat terapi.
Metodologi : kami melakukan kajian ini menggunakan penelitian secara
komprehensif mengunakan database medline, pubmed, dan embase, mulai dari
januari 1987 hingga maret 2017. Istilah yang digunakan untuk melakukan
pencarian antara lain : skizofrenia, etiologi skizofrenia, patofisiologi, gejala
klinis, dan terapi skizofrenia.
Tujuan penelitian : tujuan penelitian ini adalah untuk memahami etiologi,
patofisiologi, dan mempelajari berbagai lini serta meningkatkan penatalaksanaan
terapi skizofrenia.
Kesimpulan : dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemilihan terapi yang
memunculkan obat baru dan kombinasi obat terbaru ini dengan atau tanpa terapi
non farmakologi yang menunjukkan hasil menjanjikan. Penelitian lebih lanjut
harus dilakukan untuk menerapkan perbaikan regimen terapi untuk skizofrenia.
Kata kunci :
schizophrenia, genetic cause of schizophrenia, pharmacologic management of
schizophrenia

PENDAHULUAN
Gejala utama dari skizofrenia adalah :
- Gejala positif : termasuk delusi dan halusinasi, disebut juga gejala psikotik
dimana tidak ada kontak dengan kenyataan/realitas
- Gejala negatif : termasuk gangguan khusus pada motivasi, penurunan
bicara spontan, penarikan diri dari dunia sosial.

1
- Melemahnya fungsi kognitif :
Gejala positif cenderung berulang dan kambuh kambuhan, meskipun
beberapa pasien merasakan pemanjangan masa relaps/kambuh dari gejala
psikotiknya. Gejala positif dan negatif cenderung menjadi kronik dan
berkaitan dengan efek jangka panjang pada fungsi sosial. Tanda ganguan
fungsi kognitif adalah klasifikasi terbaru dari skizofrenia. Berbagai gejala
nya tidak khas dan oleh karena itu, gejala ini tidak cukup berat untuk dapat
disadari pasien. Gejala kognitif terdiri dari gangguan bicara, perhatian dan
pikiran, sehingga mengganggu kemampuan komunikasi pasien.
Dari semua sikap tambahan yang tidak normal (skizoid), penarikan diri
dari lingkungan sosial biasanya akan membuat membuat orang tersebut
masuk ke dalam episode psikotik pertamanya, namun, beberapa pasien ini
mungkin tidak menunjukkan gejala sama sekali. Episode psikotik yang
dijelaskan oleh pasien—tanda dan gejala khusus (disebut juga dengan
gejala psikotik) yang merupakan cerminan dari “realita yang salah”
terbentuk dalam kesadaran pasien. episode pertama dari psikosis biasanya
terjadi pada usia remaja akhir atau masa dewasa awal namun sering kali
didahului oleh fase prodomal yang disebut juga sebagai “fase mental yang
beresiko”
Gangguan premorbid lain pada fungsi sosial dan atau fungsi kognitif
kembali dalam beberapa tahun. Namun dalam kondisi lain, onsetnya
biasanya tiba tiba pada individu yansg sebelumnya memiliki kemampuan
fungsional yang baik.
Gangguan kecanduan obat obatan terjadi paling sering pada pasien ini,
beberapa gangguan dapat melibatkan berbagai obat obatan termasuk
kencanduan alkohol, obat /resep tertentu dan rokok. Ansietas, gangguan
obsesif kompulsif, depresi dan panik juga dapat disadari oleh pasien
dengan skizofrenia dan mungkin memperburuk gejala mereka. Beberapa
pasien juga secara umum kurang perhatian terhadap penyakit mereka
sendiri. Pemikiran ini berkaitan dengan tingginya angka ketidakpatuhan
minum obat, rendahnya fungsi psikososial, kekambuhan, higienitas yang
buru, serta buruknya prognosis.

2
Prognosis untuk pasien dengan skizofrenia biasanya tidak dapat diprediksi.
Hanya saja 20% pasien biasanya akan mendapatkan manfaat terapi yang
baik sedangkan pasien lain mengalami banyak episode psikotik, gejala
yang bertahan dalam jangka panjang, serta respon yang rendah terhadap
terapi antipsikotik. Kajian ini akan membahas mengnai etiologi,
patofisiologi dan penatalaksanaan skizofrenia.

METODOLOGI
SUMBER DATA SERTA ISTILAH PENCARIAN
Kami melakukan kajian ini menggunakan pencarian secara komprehensif
menggunakan data base MEDLINE, PubMed, and EMBASE mulai dari
januari 1987 hingga maret 2017. Istilah yang digunakan untuk melakukan
pencarian adalah : skizofrenia, etiologi skizofrenia, patofisiologi, gejala
klinis, dan terapi skizofrenia.

EKSTRAKSI DATA
Dua pengkaji penelitian secara independen mengkaji penelitian ini, data
secara abstrak dan ketidaksamaan pendapat diselesaikan menggunakan
konsesus. Penelitian ini dievaluasi untuk melihat kualitas serta protokol
kajian nya diikuti kemudian.Penelitian ini dikerjakan setelah disetujui oleh
komite etik universitas king abdul aziz.

ETIOLOGI
Genetik
Studi genetik membuktikan adanya asal muasal genetik yang berpengaruh
terhadap gangguan skizofrenia, karakteristik dari berbagai genetik ini dan
berbagai macam ekspresi fenotip yang sebenarnya masih belum jelas.
Studi mengenai skizofrenia pada kembar indentik juga menunjukkan
bahwa faktor non genetik yang lain ternyata turut berperan dan berdampak
pada timbulnya penyakit ini. Baik studi terkait keluarga maupun studi
mengenai anak adopsi menunjukkan bahwa prevalensi yang lebih besar
dari gangguan kepribadian skizotipal terjadi pada pasien dengan

3
skizofrenia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kasus kembar
monozigot, kemungkinan satu anak kembar menderita skizofrenia sama
tinggi yakni hingga 48% jika anak kembarnya yang lain juga mengalami
hal yang sama, sedangkan resikonya menurun jadi 12-14% pada kembar
diazigotik. Pada kasus yang mana kedua orangtuanya alami skizofrenia,
kemungkinan anaknya untuk juga mengalami skizofrenia adalah sebesar
40%.
Bukti yang berkembang menyatakan bahwa gejala seperti defisit atau
gejala psikotik memiliki heritabilitas autonomi baik pada pasien dengan
sprektum skizofren maupun yang normal. Studi pada anak kembar dari
pasien yang normal dan studi pada keluarga yang anggota keluarganya
mengalami skizofrenia menunjukkan bahwa terdapat setidaknya dua
pengaruh keturunan pada timbulnya skizofrenia :
1. Yang berkaitan dengan gejala positif dan
2. Gangguan kognitif serta gejala negatif dari sprektum penyakit.
Frekuensi baik pada gangguan kepribadian terkait skizofrenia dan psikosis
akan lebih tinggi lagi pada saudara penderita skizofrenia dibandingkan dengan
keluarga penderita gangguan afektif, meskipun begitu, gangguan kepribadian
skizofrenia, dicirikan dengan eksentrisitas dan defisit sosial, dan pada
dasarnya, gangguan psikotik itu juga tidak langsung berhubungan dengan
kejadian penyakit ini (dalam hal ini skizofrenia) pada kerabat terdekat.
Data ini sesuai dengan sebagian penularan penyakit secara independen dari
satu kelompok faktor genetik yang saling terkait dengan sprektum dan
sebagian besar berkaitan pada defisit sosial serta kognitif serta satu kelompok
lain dari faktor genetik yang berkaitan dengan gangguan psikosis.

PERKEMBANGAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN


Contoh yang tepat untuk menganalisis pengaruh dari lingkungan yang turut
berperan dalam etiologi skizofrenia selama tiga dekade terakhir adalah sesuai
dengan hipotesis neurodevelopmental/perkembangan neurologi. Hal ini
menimbulkan perhatian khusus dalam rangka pengenalan faktor resiko untuk
skizofrenia yang mempengaruhi perkembangan saraf saat usia kehamilan.

4
Berbagai hal yang menimbulkan stres maternal, defisiensi nutrisi, infeksi
maternal, gangguan pertumbuhan intrauterine, serta komplikasi kehamilan dan
kelahiran. Meskipun begitu, sebab sosial ekonomi, kesulitan di masa anak
anak serta latar belakang pada generasi pertama dan kedua sebagai seorang
imigran juga berkaitan dengan timbulnya skizofrenia.
Stressor sosial, misalnya, diskriminasi dan kesulitan ekonomi, mungkin
memicu timbulnya delusi serta pikiran paranoid pada pasien. terdapat juga
laporan yang reliabel mengenai tingginya prevalensi skizofrenia pada individu
yang lahir selama akhir musim dingin atau pada awal musim semi, pada
individu yang lahir di daerah urban, serta individu dimana usia ayahnya relatif
tua, namun penyakit ini juga berkaitan dengan orang tua yang berusia muda.
Hubungan antara peningkatan usia orang tua berkaitna dengan peningkatan
jumlah mutasi denovo pada keturunannya, namun penjelasan berbeda juga
muncul dari penelitian lain. Yang terbaru lagi, terdapat juga hubungan antara
penggunaan ganja di masa remaja, khususnya pada peyalahgunaan THC.
Mirip dengan hal ini, beberapa pengaruh lain seperti cedera kepala, gangguan
autoimun, epilepsi serta infeksi berat juga dapat meningkatkan resiko penyakit
ini.

PATOFISOLOGI SKIZOFRENIA
Abnormalitas anatomi
Beberapa pencitraan dan studi neuropatologi mencoba untuk menghubungkan
antara tanda skizofrenia dengan berbagai struktur atau fungsi dari daerah otak
khusus serta sirkuitnya dengan kejadian skizofrenia. Terdapat hubugnan antara
beberapa aspek dari gangguan ini terhadap penyebab neurobiologi serta berbagai
bukti menunjukkan adanya hubungan pasien dengan skizofrenia dengan korteks
prefontal, terutama pada gangguan kognitif (misalnya dalam fungsi mengingat
serta kontrol eksekutif.
Namun, sedikit penurunan pada massa abu abu pada otak (grey matters) dan
iregularitas dari massa putih (white matters) ternyata ditemukan pada beragam
area otak dan sirkuitnya. Penurunan dari massa abu abu berjalan bersamaan
dengan periode penyakit, khususnya pada lobus temporal, dan tampaknya juga

5
berkaitan dengan terapi antipsikotik. Sebalinya meskipun pada pasien yang drug-
naive patient (pasien yang belum mengkonsumsi obat apapun) menunjukkan
adanya penurunan volume dari bagian otak tertentu (meskipun tidak secara nyata
seperti pada pasien yang telah diterapi), khususnya di bagian nukleus kaudatus
dan thalamus. Selain itu, meskipun terdapat ratusan penelitian, tidak ada
abnormalitas fungsional maupun anatomi yang ditemukan berkaitan dengan
gangguan jiwa ini.
Hal ini mencerminkan adanya kesulitan dan heterogenitas dalam hal psikopatologi
serta berkaitan dengan defisiensi kognitif, dan tidak adanya batas tegas yang
memisahkan skizofrenia dari penyakit lain.

DISFUNGSIONAL NEUROTRANSMISI
Terdapat bukti farmakologi dan kajian mengenai pencitraan pada otak terkait
disfungsi neurotransmisi dopaminergik pada awal gejala psikotik seperti
delusional dan halusinasi. Meskipun begitu, dimana hal ini sering terjadi pada
sebagian besar kasus skizofrenia, hal ini juga tampak terjadi pada kondisi
gangguan jiwa lainya. Disisi lain, berdasarkan studi farmakologi, yang
mengidikasikan bahwa disfungsi dopaminergik masih dipertanyakan dalam
rangka menjelaskan timbulnya gejala klinis secara keseluruhan dari penyakit ini.
Bukti berdasrkan farmakologi, psikologi, dan pencitraan otak menyatakan bahwa
gangguan pada fungsi glutamatergik mungkin berperan sebagai penyebab biologi
yang timbulkan gejala klinik, khusunya pada gangguan fungsi kongnitif. Satu
gagasan menyatakan bahwa disfungsi glutaminergik pada skizofrenia berkaitan
dengan disfungsi parvalbumin-interneuron positif didalam korteks serebral dan
hipokampus, yang berhubungan dengan gangguan pada reseptor glutamat tipe
NMDA. Peningkatan neuron ini bersamaan dengan memuncaknya neuron
piramidalis dan sebabkan produksi osilasi gamma, merupakan komponen penting
dari fungsi kognitif. Selain itu, disfungsi pada populasi neuron mungkin sebabkan
defisit fungsi kongnitif seperti yang tampak pada pasien skizofrenia :
1. Jalur nigrostriatal berawal dari substansia nugra dan berakhir di nukleus
kaudatus. Rendahnya kadar dopamin didalam jalur ini diketahui dapat

6
sebabkan ganggauan pada sistem ekstrapiramidalis, sebabkan gejala
motorik.
2. Jalur mesolimbik mungkin berperan dalam terbentuknya gejala positif dari
skizofrenia dalam peningkatan kadar dopamine.
3. Gejala negatif dan defisit kognitif pada skizofrenia diketahui diawali
dengan rendahnya kadar dopamin didaerah mesokortikal.
4. Penurunan atau adanya blokade pada tubero-infundibular dopamin dalam
peningkatan kadar prolaktin sebabkan galaktorea, amenorea, dan
penurunan libido
Teori serotonin untuk perkembangan skizofrenia terjadi sebagai akibat dari
adanya asam lisergik dietilamide meningkatkan efek serotonin di otak. Penelitan
lebih lanjut memunculkan adanya komponen obat yang memblok reseptor
dopamin dan serotonin, tidak seperti obat lain, yang hanya memiliki efek pada
reseptor dopamin. Obat terbaru ditemukan bermanfaat dalam mengurangi gejala
positif dan negatif dari skizofrenia.

STRES-TERKAIT KASKADE PENSINYALAN


Adanya stres terkait kaskade pembuat sinyal diketahui dapat mengontrol
perkembangan dan mempertahankan hubungan sinaps, khususnya yang
melibatkan proses imflamasi serta stres oksidatif. Adanya keterlibatan mikroglia
pada sinaps yang masih ada serta yang sudah rusak, khususnya pada sinaps yang
sudah berkurang di usia remaja, serta sistem komplemen dan MHC (nayor
histocompability complex) tipe I turut berperan dalam pastisitas sinaptik dari dua
contoh ini. Disamping itu, peningkatan tajam interneuron positif-parvalbumin
yang cenderung rentan terhadap stres oksidatif dapat juga merusak bentuk dan
merusak mielinisasi yang ada sebelumnya. teori ini diperkuat berdasarkan studi
terbaru pada model penelitian pre klinis.

DIAGNOSIS
Skizofrenia adalah gangguan penyakit kronik dengan berbagai gejala, dimana
gejala ini tidak patogenik, oleh karena itu diagnosis diagnosis skizofrenia dibuat
berdasarkan penilaian penuh pada tanda dan gejala yang muncul pada masing

7
masing pasien, seperti yang dikatakan pada DSM 5. DSM 5 mengatakan bahwa
kriteria diagnostik harus termasuk adanya dua atau lebih dari berbagai fase aktif
yang sebagian besar muncul dalam durasi minimal satu bulan. Gejala ini termasuk
delusi, halusinasi, perilaku katatonik yang tidak teratur atau perlaku yang tidak
teratur, gangguan berbicara, dan gejala negatif. Setidaknya terdapat satu gejala
yakni gangguan bicara, delusional, atau halusinasi. Selain itu, DMS-5 menyatakan
bahwa, untuk mengkonfirmasi diagnosis skizofrenia, pasien harus menunjukkan
adanya penurunan fungsional dalam pekerjaan, hubungan interpersonal atau
merawat diri sendiri. Terdapat gejala skizofrenia yang harus terjadi secara terus
menrus dengan durasi minimal 6 bulan.
Diagnosis banding dari skizofrenia penting difikirkan dalam rangka membedakan
ganguan mental ini dengan penyakit yang lain, misalnya gangguan depresif mayor
dengan gejala katatonik dan psikotik, gangguan skizoafektif, gangguan body
dismorfik, atau gangguan skizofreniform, dan gangguan PTSD (post taumatic
stres disorder), serta gangguan obsesif kompulsif. Oleh karena itu skizofrenia
dapat dibedakan dari kondisi lain dengan pemeriksaan yang cermat dari durasi
penyakit, periode delusional dan halusinasi, dan intensitas serta keparahan gejala
depresif dan manik. Misalnya saja, sesuai dengan DSM 5, banyak pasien yang
memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia, namun tidak dapat memenuhi
gejala yang berjalan selama 6 bulan, oleh karena itu diagnosis skizofreniform
untuk sementara dibuat.
Jika gejalanya bertahan hingga 6 bulan diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan.
Selain itu, dokter juga harus menyetujui bahwa adanya gejala tambahan mungkin
terjadi bukan karena kecanduan obat obatan atau berbagai kondisi medis lainnya.

TERAPI SKIZOFRENIA
Tujuan dari menterapi skizofrenia meliputi penatalaksaan gejala, mencegah
kekambuhan, serta menumbuhkan fungsi adaptif sehingga pasien dapat
bersosialisasi lagi dikomunitas (dikembalikan lagi ke lingkungan). Karena pasien
jarang yang bisa kembali kekeadaan fungsi adaptif seperti pada keadaan normal,
baik obat obatan farmakologi maupun non farmakologi harus digunakan untuk
meningkatkan hasil jangka panjang. Farmakoterapi adalah pancang dari sebuah

8
terapi skizofrenia, namun gejala yang masih ada mungkin dapat berlanjut. Untuk
alasan ini, terapi non farmakologi misalnya saja psikoterapi, juga penting
diberikan.
Pada kebanyakan pasien skizofrenia, sulit untuk menterapkan program rehabilitasi
yang bermanfaat tanpa bantuan terapi antipsikotik. Pemberian yang cepat dari
obat obatan ini penting dilakukan, khususnya pada lima tahun setelah episode akut
awal, utamanya ketika beragam variasi penyakit ternyata turut terjadi bersamaan
pada otak. Prediktor dari prognosis yang buruk, misalnya adanya penggunaan
amfetamin yang tergolong obat terlarang,serta obat obatan stimultan SSP (sistem
saraf pusat) lainnya, begitu juga dengan penggunaan alkohol. Alkohol, nikotin
serta kafein juga beresiko untuk sebabkan interaksi dengan obat obatan
skizofrenia sehingga merugikan pasien.

TERAPI FARMAKOLOGI
Pada suatu keadaan episode psikotik, terapi obat obatan harus diberikan sesegera
mungkin. Selama 7 hari pertama penatalaksanaan, tujuan terapi adalah untuk
menurunkan agresi serta mencoba untuk mengembalikan pasien ke keadaan
fungsional seperti saat sebelum sakit (misalnya tidur dan makan). Saat permulaan
terapi, dosis yang tepat harus dititrasi berdasarkan respon klinis pasien.
Terapi pada fase akut dari skizofrenia harus memperhatikan juga terapi
pemeliharaan, yang diharapkan dapat meningkatkan fungsi sosial serta
meningkatkan kepedulian terhadap diri sendiri dan perasaan hati pasien. terapi
pemerliharaan penting diterapkan untuk mencegah kekambuhan. Adanya
kekambuhan pada pasien yang mendapatkan terapi pemeliharan vs yang tidak
mendapatkan terapi pemeliharaan, adalah 18% hingga 32% dibandingkan dengan
60 hingga 80%. Terapi menggunakan obat obatan harus terus dilanjutkan selama
setidaknya satu tahun setelah perbaikan gejala psikotik awal.
Obat antipsikotik atipikal generasi kedua, kecuali klozapine, adalah pilihan terapi
sebagai terapi lini pertama terhadap skizofrenia. Clozapine tidak disarankan
karena berbahaya dan sebabkan agranulositosis. SGA dipertimbangkan dari pada
obat antipsikotik tipikal generasi pertama (FGA) karena efek samping

9
ekstrapiramidalnya lebih sedikit. Namun, SGA menunjukkan efek samping
metabolik seperti peningkatan berat badan, diabetes melitus, dan hiperlipidemia.
Berbagai efek samping ini dapat meningkatkan resiko mortalitas jantung pada
pasien skizofrenia.
Terapi kombinasi hanya disarankan pada fase terakhir dari algoritma
penatalaksanaan skizofrenia. Peresepan lebih dari dua obat obatan antipsikotik
tidak disarankan karena dapat meningkatkan resiko interaksi obat, medication
error, dan ketidakpatuhan berobat. Sebelum obat obatan antipsikotik dimulai,
riwayat berobat pasien harus juga dipertimbangkan. Apakah pasien akan memiiki
reaksi yang baik atau malah merugikan dari pemberian terapi antipsikotik
sebelumnya membandu proses pemilihan obat obatan terbaru untuk diberikan
pada pasien.

OBAT ANTIPSIKOTIK INJEKSI DENGAN DURASI KERJA PANJANG


(LONG ACTING)
Antipsikotik longacting injectable (LAI) menawarkan kesempatan untuk pasien
yang tidak dapat menerima pemberian obat secara oral. Perawat medis harus
meregulasi apakah pasien yang tidak patuh terhadap obat obatan ini terjadi karena
adanya efek samping terapi. Bila iya, dokter harus mempertimbangkan obat
obatan oral dengan efek samping yang lebih baik dan profil obat yang lebih aman.
sebelum mengganti terapi menjadi terapi injeksi, percobaan kecil harus diarahkan
dengan obat oral terhadap LAI dalam menentukan penerimaan pasien terhadap
obat obatan ini.
Penelitian metaanalisis terbaru dengan desain studi RCT menyatakan bahwa efek
dari LAI dapat setara dengan obat antipsikotik oral. Penulis menyatakan bahwa,
RCT mungkin tidak mencontohkan keadaan yang sebenarnya dari keefektifitasan
dan keamanan obat obatan antipsikotik tipe injeksi. Akibatnya, mereka pun
melakukan lagi penelitian metanalisis yang terdiri dari 25 studi dengan total
peserta penelitian sebanyak 5940 orang yang dikondisikan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya. Analisis ini dilakukan dan menyatakan bahwa LAI lebih
bermanfaat dibandingkan obat antipsikotik oral dalam mencegah resiko rawat inap

10
(risk ratio 0.43) dan menurunkan angka dimasukkannya pasien ke rumah sakit
(RR-0.38).

TERAPI UNTUK SKIZOFRENIA RESISTEN


Sekitar 10-30% pasien dengan skizofrenia mengalami menunjukkan sedikit
perbaikan gejala setelah berbagai percobaan menggunakan FGA, dan penambahan
sekitar 30-60% mengakui adanya sebagian atau sedikit perbaikan maupun efek
samping yang tidak dapat ditoleransi saat menggunakan terapi antipsikotik.
Klozapine adalah obat antipsikotik yang paling efektif dalam menterapi Pasien
skizofrenia yang resisten. Obat ini efektif sekitar 30% dalam menterapi episode
skizofrenia yang resisten terhadap obat obatan, setara dengan efikasi sebesar 4%
pada campuran obat chlorpromazine dan benztropine. Klozapien juga menjukkan
peningkatan kadar natrium darah pada pasien dengan polidipsia dan pasien
dengan kadar natrium darah yang rendah sebelum terapi.
Meskipun begitu, seperti yang disebutkan sebelumnya, clozapine memiliki profil
yang sedikit rumit. Misalnya saja, pasien yang diobati dengan penyakit ini
beresiko tinggi untuk alami hipotensi ortostatik, yang memerlukan montoring
ketat. Selain itu, klozapine dosis tinggi berkaitan dengan efek samping yan besar
untuk didapatkannya kejang pada pasien yang mengkonsumsi obat ini.

TERAPI TAMBAHAN DAN KOMBINASI


Baik terapi tambahan (obat obatan dengan ECT atau penstabil mood) dan terapi
kombinasi (bersamaan dengan terapi antipsikotik) yang mungkin dapat diberikan
pada pasien dengan respon terapi yang tidak memuaskan terhadap klozapine. Staf
atau pegawai yang merawat harus juga memperhatikan pedoman sambil
memberikan terapi tambahan pada pasien :
- Terapi harus digunakan pada pasien dengan respon yang tidak maksimal
pada terapi sebelumnya
- Obat obatan tambahan jarang bekerja apabila diberikan tanpa obat obatan
lain (single drug) untuk mengobati gejalanya

11
- Jika pendekatan tambahan tidak dapat membantu memperbaiki gejala
pasien, maka obat obatan ini harus dihentikan secara perlahan
Penstabil mood sering kali digunakan sebagai obat tambahan. Litium, contohnya,
memperbaiki perasaan hati dan perilaku pada beberap pasien namun tidak
mempunyai efek antipsikotik.
Pada terapi kombinasi, dua obat obatan antispikotik, FGA dan SGA, atau dua obat
SGA yang berbeda jenisnya, diberikan secara simultan. Disisi lain, paparan
terhadap berbagai obat obatan antipsikotik diwaktu yang sama mungkin beresiko
menimbulkan efek samping yang besar.

MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja dari obat obatan antipsikotik belum diindentifikasi, meksipun
dikatakan bahwa berbagai obat obatan ini terdiri dari tiga golongan :
1. Tipikal, atau antipsikotik tradisional, yang berkaitan dengan antagonisme
dopamin (D2) dan sedikit antagonis serotonin (5-HT2a)
2. Antipsikotik antipikal yang memiliki efek sedang sampai tinggi terhadap
aktifitas antagonisme D2 dan tingginya aktifitas antagonisme terhadap
reseptor 5-HT2a,serta
3. Antipsikotik atipikal yang memiiki efek antagonisme lemah terhadap D2
dan 5-HT2A.
60-65% dari resepotr D2 penting adanya karena berkaitan dengan penurunan
gejala positif dari skizofrenia, sednagkan blokade terhadap reseptor D2 adalah
sebesar 77% atau lebih dan berkaitan dengan gejala ekstrapiramidal. Peningkatan
gejala negatif serta kognitif saat menggunakan antipsikotik atipikal mungkin
karena efek antagonisme terhadap 5-HT2A bersamaan dengan blokade D2,
sebabkan pengeluaran dopamine ke daerah korteks prefrontal. Meskipun obat
obatan antipsikotik dapat memperbaiki gejala negatif, belum adan pendekatan
terapi yang tepat dalam rangka mengatasi berbagai gejala ini.

KESIMPULAN
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang paling sering terjadi, namun etiologi dan
penatalaksanaannya masih belum diketahui dengan jelas. Terdapat beberapa

12
penyebab yang dapat dicegah yang diidentifikasi dan faktor lain yang tidak bisa
bisa dimodifikasi. Dalam beberapa tahun terakhir banyak pemilihan terapi yang
muncul menggunakan obat obatan terbaru dan kombinasinya dengan atau tanpa
terapi farmakologi dengan hasil yang cukup menjanjikan. Penelitian lebih lnjut
harus dilakukan untuk menerapkan perbaikan pada regimen terapi skizofrenia.

13

Anda mungkin juga menyukai