Anda di halaman 1dari 3

Belajar Menjadi Pendoa

Bersama Beato Titus Brandsma


Oleh: Fr. Marianus Ivo Meidinata, O.Carm.

“Seorang Karmelit harus bekerja dan belajar, berkotbah dan


melakukan banyak kegiatan lain. Ia harus selalu membantu sesama.
Akan tetapi semua pekerjaan yang dilakukan itu tidak boleh menjadi
penghalang baginya untuk bersatu dengan Allah secara mesra. Itulah
tujuan utama dari panggilannya. Tujuan untuk bersatu mesra dengan
Allah tidak boleh diganti dengan tujuan lain.”
Beato Titus Brandsma

Sejak semula, para Karmelit dipanggil untuk memusatkan hidup pada doa. Mereka
berkumpul dan bersatu dengan satu tujuan yang sama yaitu bersemuka dengan Allah dalam
doa. Kenyataan inilah yang membuat mereka memiliki perhatian yang penuh pada doa. Jiwa
inilah yang selalu tertanam dan tumbuh pada jiwa para Karmelit. Jiwa pendoa yang semakin
mengakar seiring bertumbuhkan Ordo Karmel di tengah Gereja.
Sebagai seorang Karmelit, Beato Titus Brandsma juga memiliki perhatian yang lebih
dalam doa. Bahkan sejak awal panggilannya, dia memiliki ketertarikan dalam hidup doa. Hal
inilah yang membuat dia tertarik dan memberanikan diri untuk masuk Ordo Karmel. Jiwa doa
yang dia miliki ini, akhirnya mendorongnya untuk menghidupi hidup doa dengan mendalam.
Dia sadar bahwa doa adalah panggilannya. Baginya doa adalah suatu kehidupan.
Dalam hidupnya, Titus Brandsma tidak menunjukkan kehidupan doa yang
mengagumkan atau menakjubkan. Hidup doanya adalah hidup doa yang sederhana, yang
mungkin menurut kita adalah hidup doa yang biasa saja. Namun kita perlu belajar pada hidup
doa Titus Brandsma yang biasa ini. Dia begitu setia dan penuh penghayatan menghidupi
hidup doa yang biasa ini. Dia tidak mengharapkan untuk menjadi sama dengan St. Teresa
Avila ‘guru’ doanya, khususnya dalam memperoleh karunia rohani yang agung. Baginya
menghidupi doa dengan setia dan penuh panghayatan inilah yang perlu dilakukan bagi setiap
Karmelit di zaman ini.

Berdoa sebagai Seorang Katolik


Dalam menghidupi hidup doa, dia tampak sebagai seorang Katolik sejati. Dia begitu
setia mengikuti Perayaan Ekaristi. Walaupun sudah sekian lama hidup bersama Ekaristi, dia
tidak bosan mengikutinya dan bahkan semakin berusaha menghayati lebih mendalam.
Baginya Perayaan Ekaristi adalah nafas kehidupannya. Dan nafas kehidupan yang berasal
dari tubuh dan darah Kristus. Setiap harinya, dia merasa memperoleh kekuatan untuk
menjalani hidup.
Kitab Suci dan Ibadat harian adalah pegangan hidup dan penyemangat hidupnya. Dari
sana, Titus menemukan sabda Allah yang berguna bagi jalan hidupnya. Karena hal ini, Titus
selalu menyempatkan diri untuk membaca Kitab Suci setiap harinya. Di tengah segala
kesibukan yang ada, dia akan selalu membaca Kitab Suci, entah itu bacaan untuk esok hari
maupun bacaan lain yang menurutnya perlu untuk dibaca.
Titus juga akan selalu merayakan Ibadat harian. Bahkan ibadat siang pun dia doakan,
walaupun dia berada di Universitas Nijemen tempat kerjanya. Setiap siang, dia
menyempatkan diri untuk pulang, sejenak mendarasakan ibadat siang bersama konfrater di
biara. Dari hal ini, kita bisa melihat bahwa pendarasan ibadat yang dilakukan Titus Brandsma
ini, bukan sebatas rutinitas. Tetapi lebih dari itu, dia memang sungguh menjadikan ibadat
harian sebagai bagian dari hidupnya. Baginya tidak ada yang bisa menghalanginya untuk
mendaraskan ibadat harian.
Sebagai usaha untuk bersatu dengan Allah, dia juga setia untuk merenungkan misteri
sengsara Putra-Nya dalam doa Jalan Salib. Dalam doa ini, dia belajar untuk bisa
mengalahkan diri. Dia meyakini bahwa persatuan dengan Allah dapat dicapai dengan usaha
untuk meninggalkan diri. Dia sadar bahwa Yesus pun demikian. Yesus mampu
menyelesaikan segala tugasnya dan bersatu lagi dengan Allah Bapa karena sengsara dan
wafat di Salib. Yesus mampu meninggalkan diri dan menghilangkan rasa takut menjelang
Jalan Salib yang ditanggungnya. Karena hal inilah, Titus Brandsma setia mendoakan kisah
sengsara ini. Jalan Salib adalah jalan setia meneladan Yesus Kristus dan jalan untuk bersatu
dengan Allah Bapa. Iman inilah yang menguatkan dia ketika berada di kamp konsentrasi
Nazi.
Segala hal yang dia kerjakan di atas adalah semata untuk bersatu dengan Allah.
Namun dia sadar bahwa dirinya lemah dan perlu bantuan dari figur lain untuk dapat bersatu
dengan Allah. Dalam hal ini, dia meminta bantuan/perantaraan dari Bunda Maria. Doa
Rosario adalah doa favoritnya. Dia begitu rendah hati dan mengakuti kelemahannya. Hal
inilah yang membuat dia merasa butuh bantuan/perantaraan dari Bunda Maria. Baginya,
Maria adalah seorang ibu dan penolongnya untuk bisa mencapai Allah. Maria adalah figur
yang mengetahui segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Dia sangat mencintai Maria. Hal ini
juga yang mendorongnya untuk masuk ke Ordo Karmel. Dia berharap semakin dekat dengan
Bunda Maria yang dia cintai.

Berdoa sebagai Karmelit


Sebagai seorang pendoa, Titus Brandsma hidup dalam keheningan. Kehingan
bukanlah sesuatu yang mudah didapat, namun Titus selalu berusaha untuk menciptakan
keheningan dalam dirinya. Aktifitas dan lingkungan kerjanya kurang mendukung, namun dia
tetap berusaha menempatkan hati dan batinnya dalam keheningan.
Keheningan adalah sarana yang tepat baginya untuk berjumpa dengan Allah.
Keheningan membantunya untuk sadar bahwa Allah hadir secara mendalam dalam dirinya.
Dari keheningan inilah, Titus mampu masuk ke dalam dirinya dan berjumpa dengan Allah.
Di tempat itulah dia berdoa dan bersemuka dengan Allah.
Tempat kudus bagi Allah tidak hanya terletak di gereja, kapel, atau ruang doa. Titus
menganggap bahwa tempat kudus bagi Tuhan terletak dimana-mana. Titus merasa bahwa, dia
mampu menemukan Allah di semua tempat kerja maupun aktifitasnya. Allah mampu dia
temukan dimana-mana, dan di tempat itulah Dia berada. Baginya, semua ini mampu dialami
hanya karena keheningan. Pertemuannya dengan Allah ini disebutya sebagai doa.
Dalam keheningan dia mendengarkan bisikan Roh Kudus yang menyampaikan
kehendak Allah. Keheningan membawanya pada situasi dimana Allah sungguh meraja dan
menjadi pemilik dirinya. Dengan keyakinan ini, hal-hal yang bukan berasal dari Allah
mampu dia hindari. Hidupnya begitu dekat dengan Allah. Keheningan membantu Titus untuk
mengenal Allah dengan mendalam.
Ketika di penjara, dia bersyukur kepada Allah karena dia merasakan suasana hening
yang mendalam. Dia merasa begitu dekat dengan Allah. Dia sungguh yakin bahwa Allah
sungguh bersemayam dalam keheningan. Allah sungguh dia rasakan ketika di penjara yang
hening tersebut. Bukan lagi suasana mencekam yang dia dapat, namun suasana damai
bersama Allah.

Berdoa sebagai Sesama


Sebagai Karmelit tidak boleh lupa bahwa kita berada di dunia nyata bersama orang
lain. Sebagai sesama, kita diberi oleh Allah sarana lain untuk berdoa. Titus Brandsma
menyadarkan kita bahwa doa tidak melulu dilakukan dalam sikap doa. Namun doa bisa
dilakukan dari tindakan kita peduli kepada sesama.
Kepeduliannya kepada sesama, dimaknainya sebagai ungkapan terima kasih kepada
Yesus akan segala kebaikan yang telah diterima. Maka dalam hidupnya, dia dikenal sebagai
Karmelit yang peduli pada orang lain. Kepada mereka yang membutuhkan, Titus bersedia
dengan rela menolong dan membantu. Tidak heran jika banyak orang datang ke biaranya
hanya untuk meminta bantuan entah itu materi maupun non materi kepadanya. Dia juga
memberikan kasih kepada konfrater di biara dengan segala perbedaan yang ada. Bahkan dia
juga mengasihi musuh-musuhnya, yaitu mereka yang telah membunuhnya. Salah satunya
adalah perawat yang menyuntikkan racun kepadanya diberi Rosario olehnya.
Sebagai sesama, dia rela untuk melaksanakan perintah para uskup untuk
menyampaikan pesan kepada seluruh redaksi majalah Katolik. Pesan yang menentang kerja
sama dengan Nazi tersebut sangat berbahaya. Namun dengan rela, dia menyampaikan semua
yang dipercayakan kepadanya. Selain itu, ketika di penjara dia masih merayakan Ekaristi
bersama tahanan yang lain padahal kegiatan itu dilarang oleh Nazi. Dia rela dan tanpa takut
merayakan Ekaristi demi melayani sesamanya yang butuh kekuatan rohani. Dia tidak
memikirkan lagi dirinya, entah nantinya disiksa atau bahkan dibunuh. Dia rela berkorban dan
tidak takut mati hanya demi sesamanya. Sungguh inilah yang dimaksudkannya dengan
berdoa sebagai sesama, yaitu melakukan segala sesuatu demi sesamanya sebagai bentuk
cintanya kepada Allah.
Penutup
Itulah kehidupan doanya yang begitu kental dengan jiwa Katolik, Karmelit, dan jiwa
sebagai sesama. Tidak ada hal yang menakjubkan dalam hidup doanya. Dia hanya
menunjukkan setiaan dan kesungguhan dalam menghidupi hidup doanya. Dia sadar bahwa
Karmelit memang dipanggil untuk setia dan penuh penghayatan dalam hidup doa. Hidup doa
adalah anugerah Allah yang tidak pernah dia sia-siakan.
Hidup doa yang mendalam membawanya pada hidup kontemplasi; dan hidup
kontemplasi membawanya pada Allah. Usaha untuk selalu mencari wajah Allah, ternyata
membuahkan hasil. Dia sadar dan menemukan bahwa Allah ada dan bersemayam dalam
lubuk jiwanya yang mendalam, yang selama ini selalu mendorongnya untuk hidup dalam doa
dan kotemplasi. Allah hidup dan besemanyam dalam dirinya. Lewat doa, dia telah menyapa
Allah. Dan membiarkan Allah memimpin hidupnya. Inilah yang membentuknya menjadi
pribadi yang terbuka pada kehendak Allah.

“Kini Dialah (Tuhanlah) satu-satunya pengungsianku dan aku merasa aman serta bahagia.”

Beato Titus Brandsma

Anda mungkin juga menyukai