Anda di halaman 1dari 35

PENGARUH INTENSITAS PENGGUNAAN TREND FITUR ‘PRIDE DAY’ DI

INSTAGRAM TERHADAP TINGKAT KESADARAN SOSIAL


MAHASISWA YOGYAKARTA TERKAIT ISU LGBT

MATA KULIAH METODE PENELITIAN KUANTITATIF

Oleh :

Rachel Novitasari 190907037

Devi Puspita 190907039

Thursky Angel 190907048

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN 

A.     Latar Belakang 
Dalam dunia sosial, manusia sangat membutuhkan komunikasi untuk terus
berhubungan dengan manusia yang lainnya. Menurut Agus M. Hardjana (dalam Ivony,
2017a) komunikasi merupakan kegiatan penyampaian pesan antara satu orang dengan
yang lainnya menggunakan media. Komunikasi yang dominan menggunakan media
disebut dengan komunikasi massa. Salah satu macam media komunikasi massa yaitu
media elektronik yang meliputi radio, televisi, internet, dan komputer. Pada media
elektronik berupa komputer dan internet, komunikasi mengutamakan isi pesan yang
bersifat umum. Selain itu, media ini juga memiliki kecepatan penyebaran pesan yang
tinggi dengan proses komunikasinya bersifat satu arah ataupun dengan umpan balik
(Kurniawan, 2020b). Maka dari itu, tidak mengherankan jika internet banyak diminati
oleh seluruh populasi dunia termasuk masyarakat Indonesia.
Saat ini, penggunaan internet di Indonesia dapat digolongkan menjadi suatu gaya
hidup. Pasalnya berdasarkan laporan terbaru dari We Are Social, pengguna internet di
Indonesia telah mencapai 175,4 juta jiwa dari 272,1 jiwa pada tahun 2020. Dari total
tersebut, 160 juta pengguna juga merupakan pengguna media sosial (Haryanto, 2020).
Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (dalam Kurniawan, 2020c), media sosial
sendiri merupakan sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang memungkinkan
adanya pertukaran dan penciptaan suatu konten karya dari pengguna. Salah satu contoh
media sosial yang kerap digunakan masyarakat Indonesia adalah Instagram, dengan
persentase pengguna sebesar 76% dari 160 juta pengguna aktif media sosial berdasarkan
laporan terbaru dari We Are Social (Jayani, 2020). Fakta tersebut selaras dengan laporan
Good News From Indonesia yang menyatakan bahwa, dominasi pengguna Instagram di
Indonesia berusia 18 tahun sampai dengan 34 tahun (Iman, 2020). Hal juga dapat
diartikan bahwa dominan pengguna Instagram di Indonesia merupakan generasi
millenial. Generasi milenial sendiri memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap
perkembangan media sosial khususnya Instagram. Pengaruh yang kuat ini rata-rata
dihasilkan oleh masyarakat yang berstatus sebagai mahasiswa.   
Platform Instagram merupakan media sosial yang memiliki fokus terhadap konten
foto dan video. Seiring dengan perkembangan media massa, Instagram semakin
memperbaharui fitur-fiturnya yang dapat mendukung dan mendorong kreativitas
penggunanya. Beragam fitur yang dapat diakses di Instagram meliputi filter instagram,
instagram story, IGTV, dan yang terbaru adalah fitur pelangi yang mendukung Pride
Day atau hari kebebasan. Pride Day merupakan hari yang ditujukan untuk mendukung
kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Fitur tersebut dapat digunakan
dengan menuliskan tagar #pride atau menggunakan sticker khusus saat akan mengunggah
story instagram. Sehingga, ketika story telah terunggah maka warna sampul story
menjadi pelangi yang melambangkan simbol kaum LGBT (Detik.com, 2020). Peluncuran
fitur tersebut menjadi bukti nyata bahwa Instagram semakin menegaskan bahwa
perusahaan internasional tersebut mendukung LGBT. Selaras dengan pernyataan dari
Tara Bedi, Manajer Kebijakan Publik dan Penjangkauan Komunitas Instagram. Beliau
menyatakan bahwa, Instagram ingin membantu untuk melakukan perayaan virtual dan
memperoleh dukungan online selama pandemi berlangsung (Parahyangan, 2020). 
Berdasarkan pernyataan Tara Bedi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia saat ini
masih perlu untuk memaksimalkan dukungannya terhadap kaum LGBT. Bahkan di
Indonesia sendiri cukup banyak kontroversi terkait isu tersebut. Berdasarkan survei oleh
Wahid Foundation bersama Lembaga Survei Indonesia pada Maret sampai April 2016,
masyarakat Indonesia paling intoleran dengan kaum LGBT. Kaum LGBT memperoleh
tingkat intoleran sebesar 26,1% dengan total responden 1.520 di 34 provinsi yang
berbeda (Tempo.co, 2017). Selain itu, hasil data dari survei oleh Lembaga Legatum
Institute di 167 negara menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi ke-63 sebagai
negara yang memiliki toleransi terhadap kaum LGBT pada tahun 2019 (Katumiri, 2019).
Tak hanya itu, setelah perusahaan-perusahaan internasional besar menunjukan
dukungannya kepada kaum LGBT seperti Unilever, Indonesia selalu menjadi salah satu
negara yang kerap melontarkan protes. Melalui postingan di media sosial, dominan
masyarakat Indonesia menyatakan akan mengambil sikap boikot terhadap produk
Unilever (Widiarini, 2020). Data-data tersebut cukup menjadi fakta bahwa fenomena
Indonesia minim akan toleransi yang merupakan wujud dari kesadaran sosial khususnya
terhadap kaum LGBT benar adanya. Namun, walaupun Indonesia merupakan salah satu
negara yang intoleran terhadap isu LGBT, rupanya terdapat satu daerah di Indonesia yang
dijuluki “the city of tolerance”. Daerah yang dimaksud yaitu Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Menurut Satyawati (2019), secara historis, Yogyakarta merupakan
tempat pergelaran kongres lesbian dan gay di Indonesia pada tahun 1993. Selain itu,
Yogyakarta juga merupakan cikal bakal terbentuknya The Yogyakarta Principles yang
mencakup hak yang wajib diperoleh kaum LGBT dan dipenuhi negara tanpa
mengucilkan orientasi seksualnya pada tahun 2006. 
Melihat fenomena Yogyakarta sebagai “city of tolerance”, Penulis tertarik untuk
membuktikan apakah mahasiswa Yogyakarta benar-benar aware akan isu LGBT melalui
penelitian trend fitur “Pride Day” di Instagram sebagai bentuk penyebaran awareness
dan dukungan untuk LGBT berpengaruh terhadap tingkat kesadaran sosial yang
dihasilkan oleh mahasiswa Yogyakarta. Mengingat mahasiswa merupakan dominan
pengguna di Instagram di negara Indonesia sebagai salah satu media sosial teraktif dan
Yogyakarta merupakan daerah dengan toleransi tinggi terhadap isu LGBT.  

B.        Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis merumuskan masalah dalam
penelitian ini yaitu “Apakah intensitas penggunaan trend fitur pelangi “Pride Day” di
Instagram berpengaruh terhadap tingkat kesadaran sosial mahasiswa Yogyakarta pada isu
LGBT?”

C.        Tujuan Penelitian


Dari rumusan masalah penelitian tersebut, Penulis berkeinginan untuk mengetahui
pengaruh intensitas penggunaan trend fitur pelangi “Pride Day” yang diluncurkan oleh
Instagram sebagai bentuk dukungan kepada kaum LGBT terhadap tingkat kesadaran
sosial mahasiswa Yogyakarta terkait isu LGBT.
D.        Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis 
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman pembaca dengan
menggunakan landasan uses and gratification, teori agenda setting, dan teori
stimulus organism response (SOR) dalam bentuk pendekatan eksplanatif kuantitatif
disiplin ilmu komunikasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan terkait
dan perusahan yang berkecimpung dalam komunikasi massa khususnya media
sosial mengenai pemahaman pengaruh fitur pada media tertentu terhadap kesadaran
sosial para pengguna media, sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan
dalam merancang fitur baru pada masa yang akan datang. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan dapat menjadi sarana referensi untuk mengkaji mengenai topik
kesadaran sosial bagi peneliti lain. 
3. Manfaat Sosial
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
kesadaran pada masyarakat serta pengguna fitur pelangi - pendukung trend “Pride
Day” - terkait pengaruh yang diberikan oleh trend tersebut terhadap kesadaran
sosialnya. 
E.        KERANGKA TEORI
1. Intensitas Penggunaan Fitur “Pride Day”
a. Pengertian Intensitas
Intensitas yaitu tinggi rendahnya kekerapan dan lama waktu individu saat
melaksanakan atau menjalankan sesuatu didasari oleh minat terhadap kegiatan
yang dijalankan (Yuniar & Nurwidawati, 2013). Sehingga, intensitas juga dapat
diartikan sebagai frekuensi dan durasi seseorang dalam melakukan kegiatan
berdasarkan minatnya. 
b. Pengertian Internet 
Internet merupakan jaringan gabungan dari seluruh komputer di seluruh
penjuru dunia dan jaringan tersebut dimanfaatkan sebagai media komunikasi
secara eksternal maupun internal (Kadir, 2014). Selain itu internet juga diartikan
sebagai wujud dari media komunikasi massa yang berfungsi sebagai sarana
konektivitas, edukasi dan pendidikan, akses informasi, ekonomi, dan
membangun kebahagiaan atau hiburan (Rhani, 2020). Sehingga, internet dapat
disimpulkan sebagai media komunikasi massa yang terbentuk dari jaringan atas
seluruh komputer dan dimanfaatkan sebagai sarana penyebaran informasi. 
c. Pengertian Media Sosial
Seiring berkembangnya teknologi, pengguna internet terutama pada media
sosial pun semakin banyak tak terkecuali Indonesia. Menurut McQuail dan
Laughey (dalam Mulawarman & Nurfitri, 2017) media adalah, sebuah alat
komunikasi. Sedangkan, sosial diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh
setiap orang untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Namun, kita
perlu melihat hubungan manusia dengan perangkat media yang terus - menerus
berkembang. Dengan melihat perkembangan teknologi yang semakin pesat dan
kemudian menghadirkan internet, maka media sosial merupakan alat komunikasi
yang terus berkembang dengan basis internet dan digunakan untuk bersosialisasi
dengan orang lain di seluruh penjuru dunia. 
d. Jenis - Jenis Media Sosial
Menurut Hidayatullah (2020), terdapat berbagai jenis media sosial, yaitu : 
1. Social Network
Social network atau jejaring sosial merupakan media sosial yang
digunakan untuk membentuk jaringan pertemanan dari setiap pengguna.
Sebagai contoh jenis media sosial ini adalah LinkedIn dan Facebook.
2. Forum
Jenis media sosial ini memungkinkan penggunanya untuk membicarakan
suatu topik atau hal tertentu secara spesifik dalam sebuah ruang diskusi
yang sudah disiapkan. Contohnya seperti Quora dan Kaskus.
3. Media Sharing
Media sharing atau media berbagi merupakan jenis media sosial yang
mempunyai fokus untuk membagikan konten baik berupa foto, audio,
maupun video. Sebagai contoh yaitu Youtube, Instagram, dan Soundcloud.
4. Blog
Media sosial jenis ini, biasa digunakan untuk menulis jurnal pribadi
ataupun tulisan lainnya yang dilakukan dengan berbasis internet.
Nantinya, jurnal tersebut dapat dibaca oleh orang lain. Sebagai contoh
yaitu WordPress, Blogger, dan Kompasiana.
5. Microblogging
Microblogging mempunyai fungsi serupa dengan blog, namun yang
membuat beda adalah microblogging atau blog mikro memiliki alur
interaksi yang lebih cepat karena penulisannya lebih ringkas. Contohnya
adalah Twitter.
6. Kolaborasi
Media sosial jenis ini, memberikan ruang bagi pengguna untuk melakukan
kolaborasi konten. Pengguna dapat bersama - sama mengoreksi,
menyunting, dan memuat konten. Sebagai contoh yaitu Wikipedia.
e. Instagram
Dari semua jenis media sosial di atas, ada beberapa media sosial yang masuk
ke dalam penggunaan terbanyak di Indonesia. Dilansir dari Kompas.id, pada
Januari 2020, pengguna media sosial di Indonesia meningkat sebanyak 12 juta
pengguna dengan perhitungan yaitu, Instagram menduduki peringkat ke-4 pada
media sosial yang paling sering digunakan di Indonesia setelah Youtube,
WhatsApp, dan Facebook (Jayani, 2020). Seperti yang telah dipaparkan di atas,
Instagram merupakan media sharing dimana para pengguna dapat membagikan
konten atau cerita dengan bentuk visual maupun audio visual. Dengan pengguna
yang banyak dan menjangkau berbagai daerah, adapun tujuan pengguna
Instagram yang berbagi konten tersebut. Beberapa tujuannya menurut Asfihan
(2019), yaitu :
1. Melakukan Promosi 
Orang yang berbagi foto dan video di Instagram bisa mempromosikan
produk yang sedang dijual sehingga dapat menarik pengguna yang lain
untuk membeli produk tersebut.
2. Memberi Informasi
Melalui Instagram, kita dapat membagikan informasi - informasi terkait
tempat wisata, kuliner daerah, peristiwa terkini dan informasi lainnya.
3. Hiburan
Berbagi cerita lucu atau pengalaman menarik yang akan mengundang
interaksi dengan pengguna lainnya.
Fungsi tersebut menyebabkan Instagram selalu digunakan oleh masyarakat
Indonesia sejak 9 tahun yang lalu (Annistri, 2020). Untuk memenuhi tujuan di
atas, Instagram menyediakan berbagai fitur yang terus berkembang sejak
pertama kali dirilis hingga saat ini. Fitur yang dirilis memudahkan pengguna
untuk berbagi dan mendapatkan informasi serta membuat para pengguna
nyaman dalam menggunakan Instagram. Menurut Deva (2020), berikut
merupakan beberapa fitur di Instagram.
1. Dark Mode 
Fitur ini membuat tampilan Instagram yang semula bernuansa putih
menjadi berwarna hitam. Fitur ini dibuat dengan tujuan agar warna
tampilan Instagram tidak membuat mata para pengguna sakit karena
pencahayaan berlebih secara terus - menerus. 
2. Restrict
Sesuai dengan namanya, fitur restrict atau pembatasan ini digunakan
untuk  membatasi pengguna agar tidak ada bully atau kata - kata yang
kasar. Fitur ini digunakan ketika ada pengguna yang memberikan
komentar negatif namun kemudian komentar tersebut tidak dapat dilihat
oleh pengguna lain karena telah dibatasi.
3. Instagram Story Interface 
Fitur ini merupakan fitur terbaru yang dikeluarkan oleh Instagram. Dalam
fitur ini, ada banyak fitur lainnya yang dapat digunakan sesuai dengan
keinginan pengguna. Ada Gif, Quiz, Polls, Hashtag, Sticker, dan masih
banyak lagi. 
Yang ditekankan pada penelitian ini adalah jenis Instagram Story Interface
yaitu Fitur Sticker. Stiker dalam Instagram digunakan untuk memperindah
tampilan konten para pengguna. Namun, selain itu, fitur stiker juga ada yang
digunakan untuk menyuarakan suara masyarakat minoritas seperti yang menjadi
fenomena terkini yaitu kaum LGBT. Mereka melakukan kampanye pendukung
LGBT dengan menciptakan fitur stiker pelangi atau “Pride Day”.
f. Pengertian Intensitas Penggunaan fitur “Pride Day”
Intensitas penggunaan adalah seberapa banyak atau seberapa sering individu
memberikan reaksi atas stimulus yang didapat dan kemudian mengakibatkan
individu tersebut untuk melakukan tindakan tertentu seperti pemakaian internet
(Syafrida, 2014).  Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa intensitas penggunaan internet yaitu seberapa sering dan lama waktu yang
digunakan pengguna internet dalam mengakses internet tersebut. Sedangkan
aspek-aspek yang memengaruhi intensitas penggunaan menurut  Chaplin (2011),
yaitu :
1. Emosi
Emosi merupakan luapan perasaan yang dirasakan oleh individu ketika
menggunakan internet. Emosi ini akan membuat individu untuk semakin
terlibat dan semakin terlarut pada internet. Contoh emosi yaitu seperti rasa
sedih, bahagia, marah, takut, dan khawatir. 
2. Perhatian Penuh
Perhatian penuh yang dimaksud yaitu kondisi ketika individu memusatkan
konsentrasinya untuk fokus dalam penggunaan internet dan cenderung
akan mengabaikan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan internet.
3. Frekuensi
Frekuensi berhubungan dengan tingkat keseringan individu menggunakan
internet. Tingkatan ini ditandai melalui bentuk hitungan seperti sekali, tiga
kali, sampai berkali kali sesuai dengan banyaknya penggunaan internet.
4. Lama Waktu
Lama waktu merupakan panjangnya waktu atau durasi yang digunakan
untuk memakai internet. Hitungan waktu biasanya ditandai melalui jam,
menit, dan detik. 
Sehingga, intensitas penggunaan trend fitur “Pride Day” di Instagram
dapat dilihat melalui variansi nilai atau sifat yaitu rentang waktu penggunaan fitur
“Pride Day” (durasi), seberapa sering mahasiswa terlibat dalam penggunaan fitur
“Pride Day” (frekuensi), perasaan yang dirasakan individu ketika terlibat dalam
penggunaan media sosial (emosi), dan ketertarikan pada sesuatu karena kebutuhan
atau memiliki makna (minat).
2. Kesadaran Sosial
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran merupakan susunan tinggi rendahnya respon yang diberikan
individu terhadap stimulus yang ada. Menurut Freud (dalam Masita, n.d.),
kesadaran manusia memiliki tiga tingkatan, yaitu :
1) Alam Tak Sadar (Unconscious)
Alam tak sadar merupakan bagian paling dalam sekaligus bagian paling
dominan pada struktur kesadaran. Pada bagian ini mencakup insting dan
nafsu yang ditekan dan tidak bisa dibawa ke alam sadar.
2) Alam Pra Sadar (Preconscious)
Alam pra sadar merupakan penghubung dari alam tak sadar dengan alam
sadar yang kerap dikatakan sebagai available memory. Pada bagian ini
mencakup pengalaman, kenangan, dan persepsi yang sewaktu-waktu dapat
dimunculkan ke alam sadar.
3) Alam Sadar (Conscious)
Alam sadar merupakan bagian paling kecil pada struktur kesadaran, sebab
hanya mencakup perasaan, pikiran, persepsi, pengalaman, dan kenangan
yang memiliki kontak secara langsung dengan kenyataan.
b. Kesadaran Sosial 
Menurut Goleman, kesadaran sosial merupakan kemampuan individu
menyadari dan memahami keadaan lingkungan sekitarnya sebagai salah satu cara
untuk menumbuhkan kepedulian yang merujuk kepada sifat empati seseorang
terhadap orang lain di sekitarnya. Sedangkan menurut Wegner & Guiliano,
kesadaran sosial merupakan susunan proses untuk merepresentasi diri.
Representasi yang dimaksud yaitu perwakilan diri dari orang lain atau melihat
orang lain sebagai diri kita sendiri. Proses ini dimulai dengan penangkapan
stimuli oleh penginderaan, dilanjutkan dengan penafsiran oleh akal sehat
manusia, kemudian penafsiran tersebut dikembangkan menjadi suatu gagasan
atau konsep yang dapat disampaikan kembali (Dosensosiologi.com).
Selanjutnya, Sheldon (dalam Abute, 2019) menyatakan bahwa kesadaran sosial
seseorang dipengaruhi oleh sistem kognisinya sebab individu memiliki
interpretasinya masing-masing dalam mengolah Informasi. Davis, Franzoi, dan
Markweise (dalam Abute, 2019) menambahkan bahwa kesadaran sosial
merupakan hasil refleksi yang dipengaruhi oleh motif dan tujuan. Sehingga,
kesadaran sosial juga dapat diartikan yaitu kemampuan individu dalam
memahami dan menyadari lingkungannya sebagai bentuk representasi diri yang
dapat menghasilkan kepedulian dan empati yang dipengaruhi oleh sistem
kognisi, motif, dan tujuan. 
Berdasarkan Wegner dan Guiliano (dalam Ayu, 2017) adapun dua dimensi
kesadaran sosial, yaitu:
1. Tacit Awareness 
berhubungan dari paradigma seseorang mengenai dari sisi pandang mana
orang tersebut memandang kejadian, umumnya dibagi menjadi perspektif
diri sendiri dan perspektif orang lain.
2. Focal Awareness 
berhubungan dengan paradigma terhadap objek mengenai apa yang orang
tersebut lihat, umumnya dibagi menjadi dua yaitu memandang diri sebagai
objek dan memandang orang lain sebagai objek.
Kemudian berdasarkan Figurski (dalam Ayu, 2017), kedua dimensi ini
dikembangkan kembali dan tercipta tambahan satu dimensi tambahan yaitu
content awareness yang berhubungan dengan penampilan fisik atau pengalaman
yang dapat diobservasi atau tidak dapat diobservasi. Dimensi ketiga ini
kemudian berkaitan dengan privileged (akses istimewa terhadap pemilihan cara
pandang untuk menilai orang lain tanpa diketahui) dan non-privileged. 
Melihat ketiga dimensi tersebut, Sheldon dan Johnson (dalam Ayu, 2017),
mengusulkan delapan bentuk-bentuk kesadaran sosial, yaitu :
1. Pengalaman orang lain dilihat dari perspektif dirinya
Merupakan bentuk kesadaran sosial dengan keinginan untuk memahami
orang lain melalui perbandingan imajinasi. Sebagai contoh, yaitu ketika orang
lain mengalami kejadian mengerikan sampai badannya bergetar, maka kita
berpikiran bahwa juga akan gemetaran jika mengalami kejadian yang sama.  
2. Pengalaman orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri.
Merupakan bentuk kesadaran sosial seperti penyangkalan hak orang lain. 
3. Pengalaman diri dilihat dari perspektif diri sendiri.
Merupakan bentuk kesadaran sosial dengan menafsirkan kejadian
berdasarkan pengalaman yang kemudian membentuk cara pandang. Sebagai
contoh, jika kejadiannya seperti ini dan menimbulkan reaksi tertentu seperti
menangis bagi saya maka artinya saya sedang sedih. 
4. Pengalaman diri dilihat dari perspektif orang lain
Merupakan bentuk kesadaran sosial seperti reaksi yang ditunjukkan pasien
kepada psikolog.
5. Penampilan orang lain dilihat dari perspektif dirinya.
Merupakan bentuk kesadaran sosial seperti rasa obsesi terhadap dirinya
sendiri
6. Penampilan orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri.
Merupakan bentuk kesadaran sosial seperti reaksi tertawa yang timbul akibat
melihat tingkah orang lain
7. Penampilan diri dilihat dari perspektif diri sendiri.
Merupakan bentuk kesadaran sosial ketika apa yang ia yakini atau cara
pandangnya sangat mempengaruhi penampilannya sendiri tanpa
memperdulikan perspektif orang lain.
8. Penampilan diri dilihat dari perspektif orang lain.
Merupakan bentuk kesadaran sosial ketika memandang penampilannya dari
sudut pandang orang lain. Sebagai contoh, ketika baru masuk cafe, maka ia
akan merasa bahwa seluruh pengunjung cafe memperhatikannya.
c. Isu LGBT 
LGBT merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender.
Istilah LGBT telah digunakan sejak tahun 1990-an untuk menggantikan istilah
‘kaum gay’ (Suherry, Mandala, Mustika, Bastiar, & Novalino, 2016). Isu terkait
LGBT kini menjadi hal yang banyak diperbincangkan. Pasalnya, istilah ini
menggambarkan penyimpangan orientasi seksual manusia yang pada umumnya
adalah heteroseksual yaitu memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis – pria dan
wanita – menjadi homoseksual atau penyuka sesama jenis (Papilaya, 2016).
Selain itu, melalui istilah LGBT ada pula istilah biseksual yang merupakan
penyimpangan ketertarikan seksual terhadap lawan jenis maupun yang sesama
jenis.
Menurut Papilaya (2016), jumlah kaum LGBT lebih sedikit dibandingkan
dengan kaum heteroseksual sehingga kaum LGBT merupakan kelompok
minoritas di dunia khususnya di Indonesia seperti yang telah dijelaskan pada
latar belakang. Dengan begitu, kaum LGBT seringkali menerima hujatan dan
pandangan negatif, kebencian, serta prasangka buruk atau bahkan tindakan
kekerasan dari lingkungan sekitarnya. Selaras dengan penjelasan Morrow dan
Messinger (dalam Papilaya, 2016), yang menyatakan bahwa kaum LGBT atau ia
tekankan pada transgender memiliki risiko sangat tinggi untuk mengalami
kekerasan dan pelecehan baik secara fisik maupun seksual.
d. Tingkat Kesadaran Sosial terkait Isu LGBT 
Social Awareness Inventory (SAI) dicetuskan oleh Sheldon (dalam Abute,
2019) untuk mengklasifikan bentuk, dimensi, dan ukuran dari kesadaran sosial.
Ukuran kesadaran sosial dibagi menjadi dua, yaitu self-grounded dan self-
divided. Self-grounded yaitu penyesuaian diri didorong oleh sumber-sumber
internal diri. Bentuk kesadaran sosial yang dapat digolongkan sebagai self-
grounded yaitu, pengalaman orang lain dilihat dari perspektif dirinya,
pengalaman orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri, pengalaman diri dilihat
dari perspektif diri sendiri, penampilan orang lain dilihat dari perspektif dirinya,
penampilan orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri. Sedangkan, self-divided
merupakan penyesuaian diri didorong oleh sumber-sumber eksternal diri. Bentuk
kesadaran sosial yang dapat digolongkan sebagai self-divided yaitu pengalaman
diri dilihat dari perspektif orang lain dan penampilan diri dilihat dari perspektif
orang lain. Maka kemudian, tingkat kesadaran sosial terhadap isu LGBT berarti
ukuran yang dituangkan pada seseorang yang memiliki sifat empati terhadap
kaum LGBT.
3. Mahasiswa
Seseorang yang telah melewati beberapa jenjang pendidikan dimulai dari SD,
SMP, SMA/SMK dan sekarang berada pada tingkat pendidikan yang tinggi disebut
sebagai Mahasiswa. Menurut Knopfemacher (dalam Kurniawan, 2020a), mahasiswa
adalah orang-orang yang telah ikut dan bergabung di dalam suatu lembaga
pendidikan perguruan tinggi yang nantinya akan memperoleh gelar sebagai seorang
sarjana dan diharapkan untuk bisa menjadi orang-orang yang memiliki intelektual.
Maka dari itu, sangat diharapkan bahwa mahasiswa bisa menjadi pembawa
perubahan dalam memberikan solusi terkait permasalahan di berbagai belahan dunia
yang sedang terjadi akhir-akhir ini.
Terdapat beberapa peran dan fungsi yang melekat pada diri mahasiswa,
diantaranya:
a. Mahasiswa bisa melakukan suatu perubahan secara langsung ketika jumlah
SDMnya banyak (Direct of Change)
b. Mahasiswa merupakan sebuah agen perubahan (Agent of Change). Dimana
mahasiswa sangat memahami peranannya yaitu dapat melakukan suatu
perubahan menjadi lebih baik berdasarkan ilmu pengetahuan yang telah
didapatkannya ketika berada di perguruan tinggi
c. SDM dari kelompok mahasiswa sangat banyak dan tidak akan pernah
habis (Iron Stock)
d. Mahasiswa adalah sekumpulan orang-orang yang dimana mempunyai
moral yang baik (Moral Force). Ketika mahasiswa sedang berada di suatu
perguruan tinggi, di sana mereka telah diberi kebebasan untuk bisa
menjalani kehidupannya. Dari kebebasan ini mereka dituntut untuk bisa
bertanggung jawab terhadap dirinya masing-masing sesuai dengan moral
yang telah tercipta di dalam kehidupan masyarakat
e. Mahasiswa sebagai suatu pengontrol dalam menjalani kehidupan sosial di
masyarakat (Social Control). Diharapkan bahwa mahasiswa tidak hanya
bertanggung jawab secara individu terhadap dirinya namun juga memiliki
peran sosial di masyarakat. Dimana dapat memberikan suatu pengaruh dan
manfaat yang positif kepada lingkungan sekitarnya.
Menurut Kartono (dalam Selvi, 2020), ciri-ciri seorang mahasiswa adalah:
a. Yang memiliki kemampuan dan berkesempatan untuk melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi
b. Dengan kesempatan yang ada maka, diharapkan mahasiswa nantinya bisa
menjadi seorang pemimpin yang baik
c. Mahasiswa diharapkan dapat menjadi suatu penggerak modernisasi dalam
melakukan perubahan secara langsung di masyarakat
d. Setelah lulus, mahasiswa diharapkan dapat menjadi seorang tenaga kerja
yang profesional dalam bidangnya
Sehingga jika dilihat dari ciri-ciri, peran, dan fungsi mahasiswa maka mahasiswa
memiliki potensi untuk membawa perubahan bagi lingkungan sekitarnya khususnya
dalam lingkungan sosial. Potensi ini akan sangat bermanfaat bagi penyelesaian
problematika sosial yang terjadi di Indonesia yang dalam hal ini mengenai isu
LGBT. Sebab dibutuhkan kelompok yang memiliki pikiran terbuka dan bersedia
untuk menerima perubahan yang bersifat konstruktif guna menciptakan perubahan
sosial secara global.
4. Teori Agenda Setting
Teori agenda setting dipilih sebagai teori yang mewakilkan variabel mengenai
Instagram sebagai media massa. Salah satu teori komunikasi massa ini menjelaskan
mengenai media yang memiliki peran dalam memengaruhi audience. McCombs dan
Shaw (dalam Griffin, 2010) menyatakan bahwa media memiliki kuasa untuk
menyalurkan agenda berita menjadi agenda publik. Hal ini bermakna bahwa apa
yang media beritakan seringkali memengaruhi pandangan publik terkait dengan suatu
isu tertentu. Namun hal ini bukan berarti media menyuarakan pendapatnya melalui
penerbitan berita, melainkan lebih kepada menyampaikan isu seperti apa yang
penting dan harus menjadi pertimbangan serta perhatian publik. Hal ini yang
menyebabkan teori agenda setting menyusun dua asumsi dasar yaitu media massa
memiliki kuasa atau peran dalam menyusun dan memengaruhi pandangan publik dan
publik juga memiliki kuasa untuk tidak serta merta langsung menerima apa yang
disampaikan media, melainkan memiliki kebebasan mempertimbangkan terlebih
dahulu atau bahkan menolak.
Teori tersebut sesuai dengan problematika yang diangkat menjadi topik
penelitian seputar upaya Instagram untuk membentuk pandangan publik. Instagram
sebagai sebuah platform media sosial turunan media komunikasi massa yang cukup
banyak digunakan oleh masyarakat dunia tentunya memiliki power untuk
memengaruhi pandangan publik terhadap suatu isu. Sebagai contoh konkret dari
power yang ditunjukkan oleh Instagram kepada publik yaitu peluncuran fitur
terbarunya yang disebut “Pride Day”. Fitur ini berkaitan dengan kaum LGBT.
Melalui fitur tersebut, pengguna Instagram dapat menyuarakan dukungannya kepada
kaum LGBT dengan menggunakan tagar #pride atau menggunakan sticker pelangi
yang disediakan Instagram. Melalui fitur tersebut, Instagram berusaha untuk
memberikan publik kesadaran dan kepekaan terkait isu LGBT yang melanda dunia
dan secara tidak langsung Instagram juga menyuarakan dukungannya kepada kaum
LGBT itu sendiri. Namun, diterima atau tidaknya isu tersebut tergantung dengan
bagaimana publik menyikapinya. 
5. Teori Stimulus Organism Response
Selanjutnya untuk menjelaskan dari adanya perubahan perilaku publik
sebagai penikmat dan pengguna media sosial Instagram, Penulis menganalisis
dengan menggunakan teori stimulus organism response. Teori stimulus organism
response ini berasumsi bahwa perubahan perilaku disebabkan oleh ketergantungan
dari adanya kualitas stimulus atau rangsangan yang berasal dari komunikator kepada
komunikan. Dalam teori stimulus organism response, suatu perubahan atau reaksi
perilaku publik bisa terjadi karena adanya faktor dorongan serta bantuan dari pihak
eksternal. Tujuan dari teori stimulus organism response ini adalah untuk dapat
menerapkan sebuah strategi ketika melaksanakan sebuah penyadaran atau
penyuluhan kepada publik tentang suatu hal. Sehingga strategi yang dilakukan
seperti penggunaan tren fitur pride day di Instagram ini, diharapkan dapat
menimbulkam sebuah efek atau respon terkait dengan stimulus yang diberikan.
Misalnya penyadaran tentang pentingnya nilai toleransi dan perilaku saling
menghargai yang dilakukan melalui penggunaan tren fitur pride day di Instagram
oleh publik khususnya mahasiswa Yogyakarta kepada kaum LGBT.
Menurut Houland (dalam Ivony, 2017b), dikatakan bahwa sebuah proses
perubahan perilaku pada dasarnya sama dengan proses belajar. Proses belajar yang
dialami individu (komunikan) adalah sebagai berikut:

a. Stimulus pesan atau rangsangan yang disampaikan oleh komunikator


kepada komunikan bisa ditolak atau diterima. Apabila pesan atau
rangsangannya ditolak atau tidak diterima oleh komunikan, berarti
pesannya kurang efektif sehingga belum bisa memengaruhi perhatian dari
individu maka proses belajar berhenti sampai disini. Namun, apabila
pesannya diterima oleh komunikan maka timbul sebuah respon perhatian
sehingga pesannya dianggap efektif.
b. Jika stimulus pesan atau rangsangan memperoleh perhatian dari
komunikan. Hal ini berarti bahwa pesan tersebut efektif, dapat dipahami
dan memberikan pengertian kepada komunikan sehingga proses belajar
dapat berlanjut ketahap berikutnya.

c. Selanjutnya, komunikan pun mengolah pesan yang telah diperolehnya,


sehingga terjadilah proses dimana komunikan bersedia untuk mengambil
sikap atau melakukan tindakan terhadap stimulus pesan atau rangsangan
yang telah diperolehnya.

d. Pada akhirnya berdasarkan bantuan fasilitas dan juga dorongan atau


dukungan dari lingkungan sekitar, maka stimulus pesan memperoleh efek
atau respon dari komunikan yaitu berupa tindakan atau perubahan perilaku.

Teori stimulus organism response ini sesuai dengan problematika yang diangkat
pada penelitian ini terkait bagaimana publik melakukan perubahan perilaku dalam
menyikapi informasi yang tersebar di media sosial khususnya Instagram. Teori ini
membahas mengenai proses belajar dalam perubahan perilaku atau tindakan
seseorang atau masyarakat dunia berdasarkan pada sebuah stimulus pesan yang
diberikan. Fenomena penggunaan tagar #pride yang mendukung kaum LGBT tentu
akan mendapatkan pandangan tersendiri dari setiap individu penggunanya baik
pengguna fitur tersebut atau hanya sebagai pengguna Instagram. Beberapa orang
yang belum mengetahui terkait isu tersebut kemudian dapat mengetahuinya setelah
fitur ini diluncurkan, beberapa orang yang sudah mendukung LGBT kemudian akan
lebih terbantu oleh fitur yang menyuarakan dukungannya terhadap kaum LGBT.
Sehubungan dengan teori ini, maka bisa terjadi suatu perubahan perilaku atau
tindakan pada masyarakat atau individu melalui penggunaan tren fitur ‘pride day’ di
Instagram dalam menyikapi isu terkait kaum LGBT. Yaitu dengan memberikan
respon seperti, bisa menerima adanya kaum LGBT dengan tetap mengutamakan
sikap saling menghargai dan nilai toleransi terhadap kaum LGBT. Selain itu,
memberikan kebebasan dan dapat mengakui bahwa kaum LGBT layak untuk
mendapatkan perhatian yang sama dengan individu pada umumnya.
6. Teori Uses and Gratification
Teori selanjutnya yang digunakan Penulis untuk menjadi landasan dalam
penelitian ini adalah teori uses and gratification. Teori ini merupakan salah satu teori
komunikasi massa yang berfokus pada khalayak atau audiens yang menggunakan
media karena adanya needs (kebutuhan) dan interest (kepentingan atau minat). Katz
dan Blumer (dalam Humaizi, 2018) adalah pencetus teori uses and gratification.
Mereka menekankan pada peran aktif dari pengguna media untuk memilih dan
menggunakan media yang sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Maka dari itu,
teori ini beranggapan bahwa khalayak atau audiens sebagai penikmat sekaligus
pengguna media memiliki motif tertentu yaitu kebutuhan dan kepentingan tersebut
dalam menggunakan media (Arifin, 2013). Kemudian, apabila media dapat
memenuhi kebutuhan dan minat penggunanya, maka media tersebut dapat dikatakan
sebagai media yang efektif. 
Lebih lanjut, Katz, Blumer, dan Gurevitch  (dalam Humaizi, 2018), dijelaskan
bahwa seiring berjalannya perkembangan, asumsi teori uses and gratification
dijabarkan dalam lima asumsi utama, yaitu:
a. Khalayak berperan aktif
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa dalam teori ini, khalayak
tidak bertindak sebagai penerima informasi dari media secara pasif tetapi
dapat memilih dan menentukan media yang ingin digunakan berdasarkan
tujuan, motivasi, dan kebutuhan lainnya.
b. Kebebasan dalam memilih media
Khalayak diberikan kebebasan dalam menyeleksi dan memilih media yang
sesuai dengan tujuannya yaitu kebutuhannya dapat terpuaskan. Seperti
misalnya memilih media hiburan jika sedang membutuhkan hiburan.
c. Media bukan satu-satunya sumber pemuas
Kebutuhan khalayak tidak hanya dipuaskan oleh media saja melainkan ada
aktivitas lain yang dapat digunakan untuk memuaskan diri, misalnya
berolahraga, berlibur, dan sebagainya. Khalayak yang mudah dipengaruhi
oleh media adalah mereka yang tidak memiliki inisiatif diri sendiri.
d. Tujuan khalayak dalam memilih media dapat disimpulkan pada sebuah
data.
Asumsi keempat adalah konsumen media atau khalayak dapat
memberikan data kepada Peneliti terkait tujuan, motif, dan minat dalam
menggunakan media sehingga dapat memberikan keakuratan bagi Peneliti.
Hal ini juga menerangkan bahwa khalayak sadar akan aktivitas ini.
e. Konten media bersifat global
Konten media harus bersifat global karena pengguna media tersebar secara
global dengan kultur yang berbeda pula. 
Dari kelima asumsi dasar teori uses and gratification di atas, dapat dilihat secara
umum bahwa teori ini berfokus pada audiens atau khalayak media. Keputusan untuk
menggunakan media sepenuhnya berada di tangan khalayak untuk tetap
menggunakan atau tidak. Sehingga kemudian teori ini menunjukkan bahwa
permasalahannya terletak pada seberapa besar pengaruh media untuk dapat
memenuhi kebutuhan khalayak bukan pada bagaimana media memengaruhi bahkan
mengubah sikap serta perilaku khalayak.
Penulis melihat teori uses and gratification ini sesuai dengan problematika yang
diangkat pada penelitian ini terkait dengan khalayak yang menggunakan media
sesuai dengan kebutuhannya untuk memuaskan dirinya. Kepuasan khalayak yang
terpenuhi ini nantinya dapat menentukan bagaimana dampak dari media tersebut
kepada khalayak itu sendiri. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan teori difusi inovasi
yang menyatakan bahwa apabila publik semakin puas atas konten yang disajikan
maka semakin tinggi kemungkinannya bagi publik untuk menerima konten tersebut
bahkan untuk dijadikan bahan adaptasi.

F. KERANGKA KONSEP
Dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Intensitas Penggunaan Trend Fitur
“Pride Day” di Instagram Terhadap Tingkat Kesadaran Sosial Mahasiswa Yogyakarta
terkait isuu LGBT”, Penulis mengambil konsep “kesadaran” dengan konstruk “kesadaran
sosial terkait isu LGBT”. Sehingga, Penulis menetapkan :
1. Variabel
 Intensitas penggunaan trend fitur “Pride Day” di Instagram (Variabel X)
 Tingkat kesadaran sosial Mahasiswa Yogyakarta terkait isu LGBT
(Variabel Y)
2. Proposisi
Intensitas seperti emosi, minat, frekuensi, durasi yang dimiliki mahasiswa dalam
melihat intensitas penggunaan trend fitur “Pride Day” di Instagram dapat
memengaruhi tinggi rendahnya tingkat kesadaran sosial mereka. 
Berdasarkan variabel yang telah ditetapkan, maka diketahui bahwa hubungan
antara dua variabel diatas adalah intensitas penggunaan trend fitur “Pride Day” di
Instagram dapat mempengaruhi tingkat kesadaran sosial mahasiswa Yogyakarta terkait
isu LGBT. Intensitas penggunaan trend fitur “Pride Day” di Instagram yang dapat
diukur melalui variansi nilai atau sifat yaitu rentang waktu penggunaan fitur “Pride
Day” (durasi), seberapa sering mahasiswa terlibat dalam penggunaan fitur “Pride Day”
(frekuensi), perasaan yang dirasakan individu ketika terlibat dalam penggunaan media
sosial (emosi), dan ketertarikan pada sesuatu karena kebutuhan atau memiliki makna
(minat), dapat mempengaruhi tingkat kesadaran sosial. Sedangkan, tingkat kesadaran
sosial mahasiswa dapat dilihat melalui respon apa saja yang diberikan usai mahasiswa
melihat fitur “Pride Day” di Instagram. Apakah kemudian ia semakin intoleran atau
justru mulai sadar dan mendukung akan keberadaan LGBT.
Keterkaitan antara dua variabel tersebut didasari oleh teori agenda setting yang
menjelaskan tujuan media massa seperti Instagram mencoba untuk memengaruhi publik
dan mengkomunikasi isu apa yang semestinya perlu diperhatikan publik melalui perilisan
fitur “Pride Day” di Instagram. Sedangkan, teori stimulus organism respons dipilih
untuk menjelaskan proses bagaimana stimulus berupa fitur “pride day” memengaruhi
kesadaran sosial individu sebagai organisme dilihat dari respon yang diberikan individu
terhadap stimulus. Selain itu, teori uses and gratification dipilih Penulis sebab sesuai
dengan problematika yang diangkat pada penelitian ini terkait dengan khalayak yang
menggunakan media sesuai dengan kebutuhannya untuk memuaskan dirinya. Oleh karena
itu, teori agenda setting dipilih untuk menjelaskan pengaruh media kepada publik,
sedangkan penerimaan publik terhadap pengaruh yang ingin dikomunikasikan media
dijelaskan melalui teori SOR (Stimulus Organism Respons) dan teori uses and
gratification. 
Mahasiswa/i FISIPOL UGM
Yogyakarta

Intensitas Penggunaan Trend Tingkat Kesadaran Sosial terkait


Fitur “Pride Day” di Instagram isu LGBT

Menurut Chaplin (2011), aspek- Berdasarkan Houland ( dalam


aspek Intensitas Penggunaan Ivony, 2017b), proses belajar
Agenda Setting
Internet menurut Chaplin, yaitu : yang memicu timbulnya respon
Theory, Uses &
oleh organisme yang dalam hal
1. Emosi Gratification
ini adalah kesadaran sosial
2. Minat Theory,
terkait isu LGBT dipengaruhi
3. Frekuensi Stimulus
oleh :
4. Lama waktu Organism
1. Perhatian Respons Theory
2. Pengertian
3. Sikap
4. Perilaku
G.       DEFINISI KONSEPTUAL

Berdasarkan kerangka teori, maka dapat diturunkan definisi konseptual dari dua variabel,
sebagai berikut :

3. Intensitas penggunaan media sosial merupakan lama waktu dan tingkat


keseringan mengakses media sosial yang dipengaruhi oleh emosi yang dirasakan
ketika mengakses dan minat yang diberikan.
4. Kesadaran sosial terkait isu LGBT merupakan hasil dari suatu proses penolakan
atau penerimaan stimulus oleh organisme yang dapat dilihat dari respon yang
diberikan seperti perhatian, pengertian, pengambilan sikap, dan tindakan.
H.       DEFINISI OPERASIONAL

Definisi Operasional
Definisi
Variabel Skala
Konseptual Dimensi Skor
Pengukuran

1. Frekuensi, 1. Frekuensi
seringnya penggunaan Sangat sering
fitur “Pride Day” (4),
dilakukan sering (3),
Menurut
jarang (2),
Chaplin (2011), 2. Durasi, lama waktu
sangat
Intensitas yang jarang (1).
penggunaan digunakan untuk
media melakukan 2. Durasi
sosial penggunaan fitur lama (3), sedang
merupakan lama “Pride Day” Frekuensi dan
Intensitas (2), cepat (1).
waktu dan
Penggunaan Durasi = interval
tingkat 3. Emosi, perasaan
trend fitur
keseringan yang dirasakan 3. Emosi
“Pride
mengakses individu ketika terlibat Sangat tinggi
Day” penggunaan (4), tinggi (3), Emosi dan
media sosial dalam
rendah (2),
yang media sosial khususnya Minat = ordinal
dipengaruhi ketika diterpa konten sangat rendah
oleh emosi yang yang menggunakan (1).
dirasakan ketika fitur “Pride Day”
4. Minat
mengakses dan
minat yang 4. Minat, ketertarikan Sangat tertarik
diberikan. pada fitur “Pride Day” (4), tertarik (3),
cukup tertarik
sesuatu karena
(2), kurang
kebutuhan
atau memiliki makna. tertarik (1).

Kesadaran Berdasarkan 1. Perhatian, 1. Perhatian Interval


Sosial Houland (dalam merupakan Ya (1) dan
terkait isu Ivony, 2017), ketertarikan yang Tidak (0)
LGBT Kesadaran diperoleh ketika
sosial terkait dihadapkan dengan isu 2. Pengertian
isu LGBT LGBT Ya (1) dan
merupakan hasil Tidak (0)
dari suatu 2. Pengertian,
merupakan sistem
proses pemahaman terkait
penolakan atau fakta-fakta yang ada
penerimaan pada isu LGBT
stimulus oleh
3. Sikap
organisme yang 3. Sikap, merupakan
Ya (1) dan
dapat dilihat kecenderungan untuk
Tidak (0)
dari respon memilih cara pandang
yang diberikan atau rencana dalam
4. Perilaku
seperti menanggapi isu LGBT
Ya (1) dan
perhatian,
Tidak (0)
pengertian, 4. Perilaku,
pengambilan merupakan bentuk
sikap, dan nyata dari tindakan
tindakan yang dipilih dalam
pemberian respon isu
LGBT

I.       DAFTAR PERTANYAAN (KUESIONER)

No Pertanyaan Pilihan Jawaban

1. Apakah Anda memiliki akun media sosial Ya Tidak


Instagram?

Apakah Anda pernah menggunakan fitur


2. Ya Tidak
“Pride Day” di Instagram?

1. Intensitas Penggunaan Fitur "Pride Day" (Vx)

Dimensi Frekuensi

Pilihan Jawaban
No Pertanyaan
J SJ S SS

Dalam seminggu, berapa kali Anda


1. 1 - 2x 3 - 4x 5 - 6x > 7x
menggunakan media sosial Instagram?

Dalam seminggu penggunaan Instagram


2. tersebut, berapa kali Anda menggunakan 1 - 2x 3 - 4x 5 - 6x > 7x
fitur “Pride Day”?

Keterangan :

J = Jarang (1)

SJ = Sangat Jarang (2)

S = Sering (3)

SS = Sangat Sering (4)

Dimensi Durasi

No Pertanyaan Pilihan Jawaban

C S L
Berapa lama waktu yang Anda habiskan
3. < 1 jam 1 – 2 jam > 2 jam
ketika menggunakan Instagram? 

Berapa lama waktu yang Anda habiskan


5 – 15
4. untuk menggunakan atau mengakses fitur < 5 menit > 15 menit
menit
“Pride Day”?

Keterangan :

C = Cepat (1)

S = Sedang (2)

L = Lama (3)

Dimensi Emosi

No Pernyataan Pilihan Jawaban

TS KS S SS
Dalam menggunakan fitur “Pride day”,
Anda mencoba memposisikan diri sebagai Tidak Kurang Sangat
5. Setuju
LGBT dengan membayangkan perasaan Setuju Setuju Setuju
dan pikiran sebagai seorang LGBT.

Dalam menggunakan fitur “Pride Day”,


Anda merasa senang ketika dapat Tidak Kurang Sangat
6. Setuju
mengekspresikan dukungan terhadap Setuju Setuju Setuju
LGBT.

Anda merasa sedih jika respon yang


diberikan terhadap konten dalam Tidak Kurang Sangat
7. Setuju
penggunaan fitur “Pride Day” cenderung Setuju Setuju Setuju
buruk.

Keterangan :

TS = Tidak Setuju (1)

KS = Kurang Setuju (2)

S = Setuju (3)

SS = Sangat Setuju (4)

Dimensi Minat

No Pernyataan Pilihan Jawaban


TS KS S SS

Anda tertarik untuk menggunakan fitur Tidak Kurang Sangat


8. Setuju
“Pride Day” di Instagram. setuju setuju Setuju

Anda menggunakan fitur “Pride Day” Tidak Kurang Sangat


9. Setuju
sebab isu LGBT menarik perhatian Anda. setuju setuju Setuju

Anda menggunakan fitur “Pride Day”


Tidak Kurang Sangat
10. dalam rangka memenuhi kebutuhan Anda Setuju
Setuju Setuju Setuju
akan pengakuan terhadap kaum LGBT.

Anda bersedia merekomendasikan


Tidak Kurang Sangat
11. penggunaan fitur “Pride Day” terhadap Setuju
Setuju Setuju Setuju
orang lain.

Anda mengeksplorasi lebih dalam


mengenai fitur “Pride Day” seperti
Tidak Kurang Sangat
12. menanyakan fungsi dan cara penggunaan Setuju
Setuju Setuju Setuju
fitur tersebut kepada orang yang telah lebih
dulu menggunakannya.

Keterangan :

TS = Tidak Setuju (1)

KS = Kurang Setuju (2)

S = Setuju (3)

SS = Sangat Setuju (4)

2. Kesadaran Sosial terkait Isu LGBT (Vy)


Dimensi Perhatian

No Pertanyaan Pilihan Jawaban

Apakah Anda mengetahui adanya isu


1. Ya Tidak
LGBT?

Apakah isu LGBT menarik perhatian


2. Ya Tidak
Anda?

Dimensi Pengertian

No Pertanyaan Pilihan Jawaban

3. Apakah Anda memahami isu LGBT? Ya Tidak

Apakah Anda mengetahui kepanjangan


4. Ya Tidak
LGBT?

Dimensi Sikap

No Pertanyaan Pilihan Jawaban

Apakah Anda bersedia menerima


5. Ya Tidak
kehadiran LGBT?

Apakah Anda bersedia mendukung kaum


6. Ya Tidak
LGBT?

7. Apakah Anda bersedia berteman dengan Ya Tidak


kaum LGBT?

Dimensi Perilaku

No Pertanyaan Pilihan Jawaban

Apakah Anda pernah menyuarakan


8. Ya Tidak
dukungan terhadap isu LGBT?

Apakah Anda pernah menyuarakan


9. Ya Tidak
kebebasan bagi kaum LGBT?

Keterangan :

Ya = (1)

Tidak = (0)

DAFTAR PUSTAKA
Abute, E. L. (2019). Konsep Kesadaran Sosial dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan Glasser,
3(2): 186 - 195. 

Annistri, A. (2020). Mengulik Sejarah Instagram, Media Sosial Paling Banyak Digandrungi
Masa Kini. Diambil dari https://www.cekaja.com/info/mengulik-sejarah-instagram-
media-sosial-paling-banyak-digandrungi-masa-kini/ 

Arifin, P. (2013). Persaingan Tujuh Portal Berita Online Indonesia berdasarkan Analisis Uses
and Gratifications. Jurnal Ilmu Komunikasi, 10(2): 195-211.

Asfihan, A. (2019). Instagram Adalah : Sejarah, Fungsi dan Keistimewaan Instagram.


Dikutip dari https://adalah.co.id/instagram/ 

Ayu, D. R. (2017, Januari 4). Apa yang Dimaksud dengan Kesadaran Sosial (Social
Awareness)?. Diambil dari https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-
kesadaran-sosial-social-awareness/4561 

Chaplin, J. (2011). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Deva, A. (2020). 20+ Fitur Instagram Terbaru Paling Update!. Dikutip dari
https://resellerindo.com/fitur-instagram-terbaru/ 

Griffin. (2010). A First Look at Communication Theory (8 ed.). Boston : McGraw Hill
th

Bungin. 

Hasil Survei, Orang Indonesia Paling Intoleran dengan LGBT.    (2017, Februari 17).
Tempo.co. Diambil dari https://nasional.tempo.co/read/847431/hasil-survei-orang-
indonesia-paling-intoleran-dengan-lgbt/full&view=ok

Haryanto, A. T. (2020, Februari 20). Riset : Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia.
Detik.com. Diambil dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-
pengguna-internet-di-indonesia

Hidayatullah, S. (2020). Memahami Jenis - Jenis Media Sosial. Dikutip dari


https://marketingcraft.getcraft.com/id-articles/memahami-jenis-jenis-media-sosial 
Humaizi. (2018). Uses and Gratification Theory. Medan: USU Press 2018. Dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/70743/Fulltext.pdf?
sequence=1&isAllowed=y 

Iman, M. (2020). Pengguna Instagram di Indonesia Didominasi Wanita dan Generasi


Milenial. Diambil dari https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/06/14/pengguna-
instagram-di-indonesia-didominasi-wanita-dan-generasi-milenial

Ivony. (2017a). 35 Pengertian Komunikasi Menurut Para Ahli. Diambil dari


https://pakarkomunikasi.com/pengertian-komunikasi-menurut-para-ahli

Ivony. (2017b). Teori S-O-R (Stimulus Organism Respons). Diambil dari


https://pakarkomunikasi.com/teori-sor

Jayani, D. H.   (2020). 10 Media Sosial yang Paling Sering Digunakan di Indonesia. Diambil
dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/26/10-media-sosial-yang-
paling-sering-digunakan-di-indonesia

Kadir, A. (2014). Pengenalan Sistem Informasi. Yogyakarta : Andi Offset.

Kurniawan, A. (2020a). Pengertian Mahasiswa Menurut Para Ahli Beserta Peran Dan
Fungsinya. Diambil dari https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-mahasiswa/ 

Kurniawan, A. (2020b). Pengertian Media Komunikasi - Jenis, Fungsi, Bentuk, Prinsip,


Macam, Tujuan, Karakteristik, Para Ahli. Diambil dari
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-media-komunikasi/

Kurniawan, A. (2020c). Pengertian Media Sosial - Sejarah, Fungsi, Peran, Jenis, Ciri,
Pertumbuhan, Dampak, Para Ahli. Diambil dari
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-media-sosial/

Katumiri. (2019). Survei Legatum Institute di 167 Negara Mencatat Toleransi Terhadap
Orang-orang LGBT Meningkat. Diambil dari http://www.suarakita.org/2019/11/32980/
Masita, H. (n.d.). 5 Tingkat Kesadaran dalam Psikologi. Diambil dari
https://dosenpsikologi.com/tingkatan-kesadaran-dalam-psikologi

Mulawarman & Nurfitri, A.D. (2017). Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya
Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan. Jurnal Buletin Psikologi, 25(1): 36-
44.  Dikutip dari https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/22759/pdf 

Papilaya, J. O. (2016). Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dan Keadilan Sosial.
Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, 3(1): 25-34.

Parahyangan, R. (2020). Tuai Kecaman Netizen, Apa Itu Pride di Instagram. Diambil dari
https://cianjurtoday.com/tuai-kecaman-netizen-apa-itu-pride-di-instagram/

Pengertian Kesadaran Sosial, Bentuk, dan Contohnya. (2019, September 9). Diambil dari
https://dosensosiologi.com/kesadaran-sosial/

Rhani. (2020). 5 Manfaat Internet. Diambil dari


https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/08/224859069/5-manfaat-internet 

Satyawati, P. (2019). LGBT di Yogyakarta, Histori hingga Eksistensi. Muslimahnews.com.


Diambil dari https://www.muslimahnews.com/2019/08/11/lgbt-di-yogyakarta-histori-
hingga-eksistensi/

Selvi. (2020). Peran, Fungsi, Dan Pengertian Mahasiswa Menurut Para Ahli. Diambil dari
https://www.masukuniversitas.com/mahasiswa/#:~:text=Ciri%2Dciri%20Mahasiswa
%20Menurut%20Kartono%20(dalam%20Ulfah%2C%202010)%20%3A,-Memiliki
%20kemampuan%20dan&text=Dengan%20memiliki%20kesempatan%20yang
%20ada,maupun%20dalam%20dunia%20kerja%20nantinnya

Sticker LGBT di Instagram Dikritik Pengguna. (2020, Juni 27). Detik.com. Diambil dari
https://inet.detik.com/cyberlife/d-5070809/stiker-lgbt-di-instagram-dikritik-pengguna 

Suherry., Mandala, E., Mustika, D., Bastiar, R., Novalino, D. (2016). Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam Perspektif Masyarakat dan Agama. Jurnal
Aristo, 4(2): 89-99.
Syafrida, R. (2014). Regulasi Diri dan Intensitas Penggunaan Smartphone terhadap
Keterampilan Sosial. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 8(2): 375-384.

Widiarini, A. (2020, Juni 26). Heboh Unilever LGBT, Ini 20 Perusahaan yang Dukung
LGBT, Ada Google lho. Diambil dari https://www.hops.id/heboh-unilever-ini-20-
perusahaan-yang-juga-dukung-lgbt-ada-google/

Yuniar, G.S & Nurwidawati, D. (2013). Hubungan antara Intensitas Penggunaan Situs
Jejaring Sosial Facebook dengan Pengungkapan Diri (Self Disclosure) pada Siswa-
Siswi Kelas VIII SMP Negeri 26 Surabaya. Character, 2(1). Dikutip dari
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/4588/6894

Anda mungkin juga menyukai